Kamis, 20 September 2018

Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea


Klasifikasi Sub Filum Krustasea

Hickman et al. (2001) menyusun klasifikasi sub filum krustasea. Klasifikasi yang lebih tinggi untuk krustasea adalah komplek dan berubah-ubah akibat penambahan data baru. Klasifikasi berikut berdasarkan pada beberapa sumber dan mengabaikan taksa yang lebih kecil :

Kelas Remipedia (ri-mi-pee’dee-a) (Latin : remipedes, kaki-dayung). Tanpa karapas; protopoda berruas satu; memiliki antena dan antenula biramus (bercabang dua); semua alat gerak pada tubuh adalah sama; alat gerak pada kepala besar dan raptorial (berfungsi menangkap mangsa); ruas maxiliped bersatu dengan kepala. Contoh : Speleonectes.

Kelas Cephalocarida (sef’a-lo-kar’i-da) (Yunani : kephale, kepala, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak). Tanpa karapas; protopoda bersegmen satu, filopodia (kaki seperti daun); antenula uniramus (tak bercabang), antena biramus; tidak ada mata majemuk; tidak ada alat gerak pada bagian perut (abdominal), maksiliped mirip dengan kaki toracik. Contoh : Hutchinsoniella.


Kelas Branchipoda ((bran’kee-op’o-da) (Yunani : branchia, insang, + pous, podos, kaki). Filopodia; karapas kadang ada kadang tidak ada; tanpa maksiliped; antenula menyusut; ada mata majemuk; tanpa alat gerak abdominal; maksila menyusut.

- Ordo Anostraca (an-os’tra-ka) (Yunani : an-, awalan yang berarti tanpa, + ostrakon, cangkang). Tanpa karapas, tanpa alat gerak abdominal; antena uniramus. Contoh Artemia, Branchinecta.

- Ordo Notostraca (no-tos’tra-ka)(Yunani : notos, punggung, + ostrakon, cangkang) : udang kecebong. Karapas membentuk perisai dada yang besar; memiliki alat gerak abdominal, yang menyusut ke arah belakang; antena menyusut. Contoh : Triops, Lepidurus.

- Ordo Cladocera (kla-dah’se-ra) (Yunani : klados, cabang, + keras, tanduk) : kutu air. Karapas terlipat, biasanya menutupi badan tetapi tidak menutupi kepala; antena biramus; memiliki alat gerak abdominal. Contoh : Daphnia, Leptodora.

- Ordo Conchostraca (kon-kos’tra-ka) (Yunani : konche, cangkang + ostrakon, cangkang). Udang remis. Karapas berkatup-dua (seperti bivalva atau kerang) yang menutupi seluruh tubuh; antena biramus; semua alat gerak badan sama. Contoh : Lynceus.


Kelas Maxillopoda (maks-i-lah’po-da) (Latin : maxilla, tulang rahang, + pous, podos, kaki). Biasanya memiliki somit (ruas tubuh) terdiri dari lima ruas cephalic (kepala), enam ruas thoracic (dada), dan empat abdominal ditambah satu telson (perpanjangan ruas terakhir tubuh ke arah belakang), tetapi menyusut; tidak ada alat gerak khas pada perut; mata nauplius memiliki struktur yang unik (mata maxillopoda); karapas ada atau tidak ada.

- Subkelas Ostracoda (os-trak’o-da) (Yunani : ostrakodes, bercangkang). Karapas berkatup dua yang menutupi seluruh tubuh; badan tidak beruas atau ruasnya tidak jelas; alat gerak badan tidak lebih dari dua pasang. Contoh : Cypris, Cypridina, Gigantocypris.

- Subkelas Mystacocarida (mis-tak’o-kar’i-da) (Yunani : mystax, kumis, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak) : udang berkumis. Tanpa karapas; tubuh berruas-sepuluh; telson dengan cabang ekor mirip-cakar; alat gerak kepala hampir mirip, tetapi antena dan mandibula (alat gerak mirip rahang) bercabang dua, alat gerak kepala lainnya tak bercabang; ruas tubuh kedua sampai kelima memiliki alat gerak pendek berruas-satu. Contoh : Derocheilocaris.

- Subkelas Copepoda (ko-pep’o-da) (Yunani : kope, dayung, + pous, podos, kaki) : kopepoda. Tanpa karapas; torak (dada) secara khas memiliki tujuh ruas di mana ruas pertama dan kadang-kadang ruas kedua bersatu dengan kepala membentuk cephalohorax; antenula uniramus; antena bi- atau uniramus;memilki empat sampai lima pasang kaki renang; bentuk parasitik seringkali sangat termodifikasi. Contoh : Cyclops, Diaptomus, Calanus, Ergasilus, Lernaea, Salmincola, Caligus.

- Subkelas Tantulocarida (tan’tu-lo-kar’i-da) (Latin : tantulus, sangat kecil, + caris, udang). Tidak ada alat gerak kepala yang dapat dikenali kecuali antena pada individu betina seksual; memilki stylet di tengah-tengah kepala yang kuat; enam ruas dada masing-masing dengan sepasang alat gerak; ruas abdominal ada enam; ekto parasit mirip-kopepoda kecil. Contoh : Basipodella, Deoterthron.

- Subkelas Branchiura (bran-ki-ur’a) (Yunani : branchia, insang, + ura, ekor) : kutu ikan. Badan oval; kepala dan sebagian besar badan ditutupi oleh karapas pipih, yang bersatu secara tidak sempurna dengan ruas dada pertama; thorax (dada) memiliki empat pasang alat gerak, biramus; abdomen (perut) tidak besegmen, berkeping-dua; mata majemuk; antena dan antenula menyusut; maksilula sering membentuk cakram penghisap. Contoh : Argulus, Chonopeltis.

- Subkelas Cirripedia (sir-i-ped’i-a) (Latin : cirrus, rambut keriting, + pes, pedis, kaki) : barnakel/teritip. Sesil (hidup menempel) atau parasit ketika dewasa; kepala mengecil dan abdomen menyusut; tidak ada mata majemuk berpasangan; ruas badan tidak jelas; biasanya hermafrodit; pada bentuk yang hidup bebas, karapas berubah menjadi mantel yang mensekresi lempengan berkapur; antenula berubah menjadi organ penempel kemudian menghilang. Contoh : Balanus,Policipes, Sacculina.


Kelas Malacostraca (mal-a-kos’tra-ka) (Yunani : malakos, lunak, + ostrakon, cangkang). Biasanya memiliki delapan ruas pada torak dan enam plus telson pada abdomen; semua ruas memiliki alat gerak; antenula seringkali biramus; alat gerak dada pertama sampai ketiga sering menjadi maksiliped (jadi, bergabung dengan atau menjadi bagian mulut); karapas menutupi kepala dan sebagian atau seluruh torak, kadang-kadang tidak ada; insang biasanya berupa thoracic epipod (tonjolan di samping dada yang berubah menjadi alat pernafasan).

- Ordo Isopoda (i-sop’o-da) (Yunani : isos, sama, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula biasanya uniramus, kadang-kadang menyusut;mata tidak bertangkai; insang terletak pada alat gerak abdominal; badan umumnya gepeng punggung-perut; alat gerak toracik kedua biasanya tidak berkembang menjadi alat pemegang. Contoh : Armadillidium, Caecidotea, Ligia, Porcellio.

- Ordo Amphipoda (am-fip’o-da) (Latin : amphis, pada kedua sisi, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula sering biramus; mata biasanya tanpa tangkai; insang terletak pada “thoracic coxae” (sendi pada pangkal kaki pertama di bagian dada); alat gerak kedua dan ketiga pada dada biasanya diadaptasikan untuk memegang; bentuk tubuhnya pipih secara bilateral (kanan-kiri). Contoh : Orchestia, Hyalella, Gammarus.

- Ordo Euphausiacea (yu-faws-i-a’si-a) (Yunani : eu, baik + phausi, bersinar terang, + Latin : acea, akhiran yang menyatakan berkaitan dengan) : udang kril. Karapas bersatu dengan semua ruas dada tetapi tidak semuanya menutupi insang; tanpa maksiliped; semua alat gerak dada memiliki eksopoda (kaki luar). Contoh : Meganyctiphanes.

- Ordo Decapoda (de-kap’o-da) (Yunani : deka, sepuluh + pous, podos, kaki) : udang, kepiting, lobster. Semua ruas dada bersatu dengan dan ditutupi oleh karapas;mata memiliki tangkai; tiga pasang alat gerak dada pertama berubah menjadi maksiliped. Contoh : Penaeus, Cancer, Pagurus, Grapsus, Homarus, Panulirus.

Fosil Ostracoda dan Kadar Oksigen Masa Silam

Boomer dan Whatley (1992) melaporkan bahwa ostracoda merupakan subkelas dari krustasea kecil yang menghuni sebagian besar lingkungan perairan; mereka telah dilaporkan dari jaman Kambrian sampai masa kini. Sifat-sifat biologi salah satu grup ostracoda laut, Platycopina (Triasik-Masa Kini), memungkinkan mereka untuk lebih sanggup bertahan terhadap penurunan kadar oksigen terlarut. Studi terhadap sejumlah seksi geologi menunjukkan bahwa subordo ini sering mendominasi interval stratigrafi yang kondisinya disaerobik (kekurangan oksigen). Dengan demikian, perubahan komposisi fauna pada jaman Jurasik Bawah di Mochras Borehole, Wales bisa ditafsirkan sebagai serangkaian perubahan lingkungan dengan kadar oksigen berfluktuasi.

Distribusi Kepiting Laut Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa rajungan tropis merupakan organisme berumur pendek bila dibandingkan dengan lobster batu, dan kebanyakan spesies mungkin bersifat tahunan. Meski beberapa genus, seperti Euphylax di Pasifik Timur, bersifat pelagis dan oseanis dalam hal distribusinya, sebagian besar bersifat neritik dan bahkan estuarin. Pada habitat-habitat ini mereka membentuk komponen penting biomas predator, yang memangsa banyak jenis invertebrata kecil dan ikan kecil. Jenis rajungan Indo-Pasifik barat yang penting adalah Neptunus pelagicus yang terdapat di seluruh kepulauan sebelah barat. Di Atlantik, rajungan biru dari genus Callinectes sapidus dari Atlantik barat merupakan basis perikanan kepiting utama di Karibia dan Teluk Meksiko; Callinectes latimanus (estuaria) dan Callinectes gladiator (paparan benua) merupakan spesies yang serupa dengan yang ada di Teluk Guinea.

Pengaruh Fase Bulan dan Pasang Surut Terhadap Kelimpahan Larva Penaeidae

Goswami dan Goswami (1992) mempelajari larva udang di Estuaria Mandovi, Goa, India, dengan tujuan menentukan waktu, fase bulan dan fase pasang-surut yang tepat untuk mengumpulkan benih udang tersebut dalam skala besar guna kebutuhan akuakultur. Larva dan post larva 8 spesies udang komersial penting ditemukan dalam sampel zooplankton dari permukaan dan dasar perairan. Mereka adalah, dalam urutan kelimpahan, Metapenaeus dobsoni (Miers), Metapenaeus affinis (H. Milne-Edwards), Metapenaeus monoceros (Fabricius), Parapeneopsis stylifera (H. Milne-Edwards), Penaeus merguiensis De Man, Penaeus indicus (H. Milne-Edwards), Penaeus monodon Fabricius dan Penaeus semisulcatus De Haan. Tahap mysis adalah dominan. Bagaimanapun, fase bulan, siklus harian dan naik-turunnya pasang-surut mempengaruhi keberadaan mereka. Lebih melimpahnya tahap protozoea dan misis terlihat dalam sampel yang diambil selama siang hari sedangkan post larva umum dijumpai pada malam hari. Kelimpahan larva udang penaeidae adalah lebih banyak selama bulan purnama dan pasang tinggi daripada selama periode bulan baru dan pasang rendah.

Daftar Pustaka :

Boomer, I and R. Whatley. 1992. Ostracoda and dysaerobia in the Lower Jurassic of Wales : The reconstruction of past oxygen levels. Palaeogeografy, Palaeoclimatology, Palaeoecology, vol. 99, no. 3 - 4, pp. 373 - 379

Goswami, S.C. and U. Goswami. 1992. Lunar, Diel and Tidal Variability in Penaeid Prawn Larval Abundance in The Mandovi Estuary, Goa. Indian Journal of Marine Sciences, vol. 21, no. 1, pp. 21 – 25, ISSN 0379-5136

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Selasa, 18 September 2018

Lamun : Habitat, Pertumbuhan dan Peranan Ekologis


Asosiasi Lamun di Dekat Hutan Bakau

Macnae (1968) menjelaskan asosiasi vegetasi pantai laut yang tumbuh di berbagai tipe substrat yang tak berbatu di sepanjang pantai Samudra Hindia dan Pasifik barat. Ia menyatakan bahwa ada kumpulan tumbuhan lamun (sea grass) yang kadang-kadang dijumpai di zona bawah hutan bakau, yaitu asosiasi Cymodocea. Asosiasi ini didominasi oleh salah satu spesies Cymodocea bersama spesies Diplanthera, Enhalus, Halodule, Syringodium, Thalassia dan Zostera.

Variasi Genetik dan Asal Usul Spartina anglica

Lamun penghuni rawa asin Spartina anglica merupakan salah satu contoh klasik spesiasi alopoliploid. Tumbuhan ini berasal dari pantai selatan Inggris pada akhir abad ke-19 sebagai akibat penggandaan kromosom pada Spartina x townsendii, spesies hibrida antara spesimen asli Inggris Spartina maritima dengan spesies yang diintroduksi dari Amerika Serikat, Spartina alterniflora. Sifat-sifat asli Spartina anglica belum jelas; tidak diketahui apakah ia memiliki asal tunggal atau ganda. Untuk mengetahui masalah ini, Raybould, et al. (1991) melaklukan survei variasi genetik pada spesies induk Spartina anglica dengan menggunakan elektroforesis isozyme. Hasilnya menunjukkan bahwa Spartina alterniflora tidak memiliki variasi yang bisa dideteksi dan bahwa Spartina maritima memiliki derajat variasi yang sangat rendah (Raybould et al., 1991).

Pengaruh Nitrogen dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan Lamun

Bulthuis et al. (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan lamun Heterozostera tasmanica den Hartog di sedimen berpasir di teluk Port Philip Bay, Australia tenggara, dibatasi oleh kandungan nitrogen (tetapi tidak oleh fosfor) di dalam air sela-sela sedimen. Pada musim semi (September) sedimen di bawah Heterozostera tasmanica di 5 lokasi di teluk ini diperkaya dengan nitrogen (1000 g per m2) dan fosfor (20 g P per m2); responnya diukur 5 bulan kemudian pada akhir musim panas (Februari). Di satu lokasi (Rye), nitrogen dan fosfor ditambahkan baik secara terpisah maupun bersama-sama dalam rancangan faktorial 2 x 2; di empat lokasi lainnya nitrogen dan fosfor ditambahkan bersama-sama. Di Rye, pengayaan nitrogen menyebabkan peningkatan konsentrasi nitrogen total di dalam akar/rizoma dan daun Heterozostera tasmanica serta menyebabkan peningkatan secara nyata dalam hal berat kering daun (50 %), kepadatan kumpulan daun (40 %) dan ketinggian kanopi (20 %). Pengayaan fosfor menyebabkan peningkatan konsentrasi fosfor di dalam daun Heterozostera tasmanica tetapi tidak mengubah berat kering daun, kepadatan kumpulan daun maupun ketinggian kanopi.

Komunitas Seagrass Tropis dan Peranannya Dalam Menstabilkan Sedimen

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ada tiga komunitas tumbuhan yang penting dalam geografi pesisir di daerah tropis : makroalga (rumput laut) intertidal dan sublitoral pada pantai berbatu, padang lamun (seagrass) di laguna, dan hutan bakau di hamparan lumpur intertidal. Lamun dari dua famili tumbuhan berbunga, Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae, tersebar luas di seluruh daerah tropis. Dua kelompok spesies dapat dikenali : spesies berakar-dangkal yang dapat mengkoloni sedimen teroksidasi dan tak stabil (Halodule, Cymodocea dan Syringodium), dan spesies yang memiliki jalinan kuat akar rhizoma dan membentuk padang lamun dewasa (Thalassia dan Posidonia). Padang lamun muncul sebagai hamparan rumput rapat di perairan dangkal, di mana aksi gelombang dan pasang surut tidak berlebihan; padang lamun bertindak sebagai agen penimbun sedimen yang melayang-layang di dalam air. Spesialisasi spesifik dan generik memungkinkan padang lamun terdapat di berbagai situasi ekologis, termasuk di daerah pembentukan terumbu karang; mereka merupakan komponen yang umum terdapat dalam ekosistem laguna pesisir dan laguna di dalam atol atau di belakang terumbu penghalang. Daun yang luwes dan berbentuk pita memungkinkannnya dapat menahan gerakan air dan juga dapat beregenerasi dengan cepat sebagai respon terhadap grazing (aktivitas memakan tumbuhan) yang dilakukan penyu, duyung, manatee, dan banyak spesies ikan dengan cara yang sama seperti respon Zostera terhadap grazing yang dilakukan angsa di daerah lintang tinggi belahan bumi utara. Di mana sedimen tidak dapat stabil, terdapat spesies lamun pengkoloni; bila sedimen dapat distabilkan, seringkali terbentuk padang lamun permanen yang terdiri dari rumput penyu (Thalassia). Seperti halnya karang dan banyak biota laut lain, flora sea grass Atlantik kurang kaya daripada flora sea grass Indo-Pasifik barat yang memilki tiga per empat dari semua spesies. Ekosistem lamun paling umum terdapat di seluruh daerah Karibia, dan juga di Samudra Hindia serta Pasifik barat.

Lamun Mengurangi Energi Gelombang Laut

Fonseca dan Cahalan (1992) menyatakan bahwa lamun dapat memodifikasi arus air dan komposisi sedimen. Empat spesies lamun, Halodule wrightii, Syringodium filiforme, Thalassia testudinum dan Zostera marina telah dievaluasi kemampuannya dalam mengurangi energi gelombang pada berbagai kombinasi kepadatan tunas (tumbuhan) dan kedalaman air. Persen penurunan energi gelombang per meter hamparan lamun adalah 40 % bila panjang tumbuhan lamun ini sama dengan kedalaman air. Vegetasi lamun hampir sama dengan tumbuhan rawa asin dalam hal kemampuan mengurangi energi gelombang pada basis satuan jarak, tetapi hanya bila kedalaman air seimbang dengan ukuran tumbuhan. Jika lamun muncul sebagai hamparan yang lebar dan dangkal, maka pengaruh lamun terhadap energi gelombang akan besar.

Padang Lamun Sebagai Nursery Ground

McNeill et al. (1992) melaporkan keragaman kelimpahan ikan yang berasosiasi dengan hamparan lamun Zostera capricorni dari 16 lokasi di New South Wales, Australia. Sampel dikumpulkan dari setiap lokasi dengan seine net setiap 3 bulan selama 2,5 tahun. Satu lokasi secara nyata memiliki kelimpahan juvenil lima spesies ikan ekonomis penting yang lebih tinggi selama ketiga musim rekruitmen dibandingkan lokasi-lokasi lain. Lokasi ini adalah di dalam sebuah dermaga kecil di teluk Botani Bay. Antara Juni dan Maret setiap tahun, kelimpahan lima spesies ikan (Acanthopagrus australis, Rhabdosargus sarba, Girella tricuspidata, Achoerodus viridis dan Meuschenia trachylepis) mencapai 73 kali lebih banyak dibandingkan kelimpahan di 15 lokasi lainnya. Bagaimanapun, pada saat-saat lain dalam tahun tersebut, tidak ada perbedaan nyata antara lokasi itu dan 15 lokasi lainnya.

Interaksi Antara Kelp, Bulu Babi dan Lobster

Sebuah studi selama bertahun-tahun menunjukkan adanya jalinan interaksi rumit yang melibatkan produsen primer, herbivora, detritivora dan predator, yang semuanya berpengaruh kuat terhadap perikanan lobster yang sangat ekonomis penting di Nova Scotia. Pertama-tama perlu diperhatikan kejadian-kejadian di Teluk Margaret, Nova Scotia, antara 1968 dan 1976 yang diringkaskan oleh Mann (1977). Zona rumput laut (seaweed) dari garis pasang-surut tinggi, meluas ke zona pasang-surut (intertidal) dan turun sampai ke kedalaman sekitar 30 meter telah disurvei secara rinci pada 1968.

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kepadatan rata-rata bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis dalam rumput laut adalah 37 ekor per m2, tetapi distribusinya tidak merata. Ada gerombolan-gerombolan bulu babi yang padat, melebihi 100 per m2 , di daerah di mana rumput lautnya telah dibersihkan sama sekali hingga meninggalkan daerah berbatu yang hampir tak tertutup dan ada daerah yang penuh ditumbuhi kelp (lamun) dengan kepadatan bulu babi kurang dari 20 per m2. Selama periode sekitar 8 tahun, daerah-daerah ini didominasi oleh bulu babi yang tumbuh makin besar hingga mereka bergabung menjadi satu. Hal ini dilakukan oleh bulu babi-bulu babi yang membentuk gerombolan rapat di tepian hamparan kelp dan bergerak maju memakan tumbuhan tersebut atau menggigit tangkainya sehingga tumbuhan ini hanyut. Populasi bulu babi yang tetap tinggal di bebatuan akan mencegah pembentukan koloni baru mikro-alga yang permanen. Dalam delapan tahun lebih dari 90 % hamparan rumput laut subtidal di Teluk Margaret hancur oleh mereka.

Diduga bahwa, setelah menghabisi alga, populasi bulu babi akan berkurang akibat kelaparan sehingga alga akan kembali muncul. Hal ini tidak selalu benar. Dalam tahun pertama atau kedua setelah pembersihan alga, terjadi rekruitmen besar-besaran juvenil bulu babi. Dalam beberapa tahun berturut-turut intensitas rekruitmen ini melemah, tetapi kelas-kelas tahun yang sangat berhasil bertahan hidup akan tampak karena mendominasi populasi. Kepadatan populasi mula-mula naik sampai ke tingkat sedemikian hingga terlihat pertama kali pada tahun 1968. Setelah 12 tahun, tidak ada kasus rekolonisasi permanen permukaan batu oleh makro alga.

Penjelasan yang menarik mengenai ledakan populasi bulu babi adalah berkurangnya tekanan predator. Predator potensial bagi bulu babi meliputi berbagai jenis ikan, kepiting, bintang laut dan lobster. Di antaranya, hanya lobster yang menjadi sasaran perikanan yang intensif, dan telah ditunjukkan bahwa selama periode 1961 – 1971 hasil tangkapan lobster di Teluk Margaret menurun dari 360 menjadi 90 kg per nelayan, suatu petunjuk yang jelas bahwa biomas lobster sedang menurun. Diduga bahwa ada umpan balik positif dalam system ini, karena meskipun lobster bersembunyi di bawah batu atau meliang sepanjang siang, mereka berkeliaran dan memangsa invertebrata terutama pada malam hari. Lobster muda rentan terhadap pemangsaan oleh ikan, kepiting, anjing laut, dll., dan lobster yang berkeliaran di atas permukaan bebatuan yang tak tertutup pasti mengalami mortalitas yang lebih tinggi daripada lobster yang berkeliaran di sela-sela hamparan padat rumput laut. Selain itu, hamparan rumput laut dengan produktivitas dan keragaman habitatnya yang tinggi mempunyai lebih banyak fauna invertebrata daripada yang dimiliki permukaan bebatuan yang tak tertutup. Karena itu, diduga bahwa daerah di mana hamparan alga telah habis akan mendukung lebih sedikit produksi lobster daripada daerah yang ditumbuh-suburi oleh kelp.

Baru-baru ini studi ini telah dikembangkan agar dapat melingkupi daerah berskala geografis yang lebih luas (Wharton, 1980). Telah diketahui bahwa pada hampir 600 km sepanjang garis pantai Nova Scotia, dari ujung selatan Pubnico sampai Selat Canso di utara, dapat ditemukan rangkaian spasial (tempat terpisah-pisah) komunitas bulu babi yang sangat bersesuaian dengan rangkaian waktu yang diamati di Teluk Margaret. Pada ujung selatan, luas daerah yang ditutup kelp hampir 100 %, sedangkan populasi bulu babi kurang dari 0,1 per m2, dan keberadaan bulu babi ini sulit diketahui, seolah-olah bersembunyi dari predator. Mereka memakan potongan-potongan detritus rumput laut yang berserakan dan hanyut di bawah bebatuan.

Di Tanjung Sable, 20 km timur-laut Pubnico terjadi perubahan mendadak. Dalam beberapa kilometer kepadatan bulu babi meningkat sampai melebihi 40 per m2 dan ada bukti penggerombolan dan perusakan kelp. Beberapa km ke arah timur laut, kepadatan bulu babi melebihi 100 per m2, yang didominasi oleh rekruit baru dan luas daerah yang ditutupi kelp kurang dari 10 %. Jadi, sepanjang 400 km dari garis pantai ada sedikit tapi terlihat dasar laut terbuka yang didominasi bulu babi. Kepadatan bulu babi menurun perlahan dan ukuran rata-ratanya makin ke arah timur laut makin meningkat. Laju pertumbuhan bulu babi yang ada di dasar laut terbuka hanya sekitar sepertiga dari laju pertumbuhan bulu babi penghuni hamparan lebat kelp.

Kesimpulan dari hasil pengamatan ini adalah bahwa terjadi perusakan hamparan kelp di sepanjang pesisir, kecuali di ujung barat daya provinsi ini, dan bahwa kerusakan terjadi bertahun-tahun yang lalu di daerah timur-laut tetapi kerusakan yang terjadi di daerah ke arah ujung barat-daya baru akhir-akhir ini terjadi. Sebenarnya, proses ini masih berlanjut di sekitar Tanjung Sable, dan populasi bulu babi masih mengancam keberadaan hamparan kelp di sekitar Pubnico.

Daftar Pustaka :

Bulthuis, D.A., D.M. Axelrad and M.J. Mickelson. 1992. Growth of The Seagrass Heterozostera tasmanica Limited by Nitrogen in Port Philip Bay, Australia. Marine Ecology Progress Series, vol. 89, no. 2 – 3, pp. 269 – 275, ISSN 0171-8630

Fonseca, M.S. and J.A. Cahalan. 1992. A Preliminary Evaluation of Wave Attenuation by Four Species of Seagrass. Estuaria and Coastal Shelf Sciences, vol. 35, no. 6, pp. 565 – 576, ISSN 0272-7714

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forests in The Indo-West-Pacific Region. Advances in Marine Biology. Vol. 6, pp. 73 – 270

McNeill, S.E., D.G. Worthington, D.J. Ferrell and J.D. Bell. 1992. Consistently Oustanding Recruitment of Five Species of Fish to A Seagrass Bed in Botany Bay, NSW. Australian Journal of Ecology, vol. 17, no. 4, pp. 359 - 365

Raybould, A.F., A.J. Gray, M.J. Lawrence and D.F. Marshall. 1991. The Evolution of Spartina anglica C.E. Hubbard (Gramineae) : Genetic Variation and Status of Parental Species in Britain. Biological Journal of the Linnean, vol. 44, no. 4, pp. 369 – 380

Senin, 17 September 2018

Echinodermata : Keragaman Spesies, Distribusi dan Embryo


Keragaman Spesies Echinodermata

Hickman et al. (2001) menjelaskan kelas-kelas utama echinodermata sebagai berikut :

- Asteroidea (bintang laut) banyak ditemukan di sepanjang garis pantai di mana mereka berkumpul dalam jumlah besar di bebatuan. Kadang-kadang mereka melekat begitu erat sehingga sulit dilepaskan tanpa memutuskan beberapa kaki tabungnya. Mereka juga hidup di dasar perairan berlumpur atau berpasir dan di antara terumbu karang. Mereka sering berwarna cerah dengan ukuran diameter tubuh berkisar dari satu sentimeter sampai satu meter. Asterias (Yunani, asteros : bintang) adalah salah satu genus yang umum di pesisir timur Amerika Serikat dan banyak dipelajari di laboratorium zoologi. Pisaster (Yunani, pisos : kacang, + asteros : bintang) sering terlihat di pesisir barat Amerika Serikat sama seperti Dermasterias (Yunani : dermatos : kulit, + asteros : bintang), bintang laut kulit.

- Beberapa ophiuroidea (bintang ular) yang umum dijumpai di sepanjang pesisir Amerika Serikat adalah Amphipholis (Yunani , amphi : kedua sisi, + pholis : sisik bertanduk) (vivipar dan hermafrodit), Ophioderma (Yunani, ophis : ular, + dermatos, kulit), Ophiothrix (Yunani, ophis : ular, + thrix, rambut), dan Ophiura (Yunani, ophis : ular, + oura : ekor). Bintang keranjang Gorgonocephalus (Yunani, Gorgo : nama monster betina yang menakutkan, + kephale : kepala) dan Astrophyton (Yunani, asteros : bintang, + phyton : mahluk, binatang) memiliki delapan lengan dengan cabang yang berulang-ulang.

- Echinoidea (bulu babi) tersebar luas di semua laut, dari daerah intertidal sampai samudra dalam. Bulu babi biasanya suka meliang ke dalam substrat berpasir. Mereka tersebar di salah satu atau kedua pesisir Amerika Utara dengan genus-genus bulu babi yang umum adalah Arbacia (Yunani, Arbakes : raja pertama kerajaan Media), Strongylocentrotus (Yunani, strongylos : bundar, kompak, + kentron : runcing, duri), dan Lytechinus (Yunani, lytos : pecah, patah, + echinos : bulu babi) dan dolar pasir Dendraster (Yunani, dendron : pohon, tongkat, + asteros : bintang) serta Echinarachnius (Yunani, echinos : bulu babi, + arachne : laba-laba). Daerah Hindia Barat-Florida kaya akan echinodermata, termasuk echinoidea, di antaranya adalah Diadema (Yunani, diadeo : diikat sekeliling), dengan duri-duri panjang dan tajam seperti jarum.

- Holothuroidea (teripang) yang umum di sepanjang pesisir timur Amerika Utara adalah Cucumaria frondosa (Latin, cucumis : ketimun), Sclerodactyla briareus (Yunani, skleros : keras, + daktylos : jari tangan), dan teripang peliang yang transparan Leptosynapta (Yunani, leptos : ramping, + synapsis : bergabung). Sepanjang pesisir Pasifik ada beberapa spesies Cucumaria dan teripang coklat kemerahan Parastichopus (Yunani, para : di samping, + stichos : garis atau baris, + pous, podos : kaki) dengan papila yang sangat besar.

- Crinoidea (lili laut) mencakup lili laut dan bintang bulu (feather star). Mereka mempunyai beberapa karakteristik primitif. Sebagaimana ditunjukkan oleh catatan fosil, krinoidea pernah melimpah jauh lebih banyak daripada sekarang. Mereka berbeda dari echinodermata lainnya karena melekat selama bagian penting kehidupannya. Lili laut memiliki badan berbentuk bunga yang terletak pada ujung tangkai. Bintang bulu mempunyai lengan yang panjang dan bercabang banyak, sedangkan dewasanya bergerak bebas namun mereka tetap ada di tempat yang sama selama periode yang panjang. Selama metamorfosis bintang bulu hidup menempel dan memiliki tangkai, tetapi setelah beberapa bulan mereka melepaskan diri dan bergerak bebas. Banyak crinoidea menghuni perairan dalam, tetapi bintang bulu bisa juga menghuni perairan dangkal, terutama di daerah Indo-Pasifik dan Karibia-Hindia-Barat, di mana jumlah spesies yang ditemukan di sini paling banyak. Contohnya adalah Antedon dan Comantheria.

Morfologi dan Biologi Krinoid Purba

Brower (1992) melaporkan bahwa dua spesies cupulocrinid, Cupulocrinus crossmani n.sp. dan Praecupulocrinus conjugans (Billings) n.gen. , telah ditemukan dari Ordovician Tengah (Galena Group, Dunleith Formation) di Iowa utara dan Minnesota selatan. Berbagai ciri morfologi dan ontogenetik menunjukkan bahwa Praecupulocrinus lebih primitif daripada Cupulocrinus. Dua spesies ini umumnya ada bersama-sama. Selain itu, kedua taksa hidup bersama-sama pada tingkat-tingkat yang sama dengan panjang batang berkisar dari sekitar 1,5 cm untuk juvenil sampai 15 cm untuk dewasa. Urutan pertumbuhan yang relatif lengkap menggambarkan pertumbuhan dan variasi serta menunjukkan bagaimana dua krinoid berkerabat dekat ini membagi niche makanan. Volume mahkota (crown volume) bisa menjadi variabel yang memuaskan untuk menduga ukuran binatang ini. Sistem pencari makanan pada cupulocrinid terutama terbentuk dari penambahan lempengan baru pada ujung-ujung lengan. Jumlah lempengan lengan dan panjang lengan menunjukkan alometri positif relatif terhadap volume mahkota, terutama disebabkan perkembangan cabang baru pada ujung lengan. Kapasitas pencari makanan sama dengan jumlah kaki-tabung penangkap-makanan dikalikan dengan lebar rata-rata celah makanan. Kapasitas pencarian makananan juga bersifat alometri positif dari aspek volume mahkota dan jumlah jaringan yang harus dipasok makanan. Dengan demikian, rasio kapasitas pencarian makanan : volume mahkota adalah bersifat konstan atau sedikit menurun sejalan dengan bertambahnya ukuran dan umur. Lebar celah makanan bertambah untuk seluruh ontogeni sehingga krinoid dewasa memakan partikel makanan yang lebih besar daripada juvenilnya. Praecupulocrinus conjugans (Billings) n.gen. memiliki celah-celah makanan yang lebih sempit daripada Cupulocrinus crossmani n.sp. pada ukuran dan umur yang sama; hal ini menunjukkan adanya diferensiasi niche berdasarkan ukuran partikel makanan. Geometri kaki tabung dan lengan menunjukkan bahwa kedua cupulocrinid ini menggunakan cara yang sama dalam memakan suspensi. Morfologi kantung anus dan ketiadaan tonjolan-tonjolan “patelloid” pada lengan menunjukkan bahwa Cupulocrinus sepulchrum Ramsbotton dari Ordovician Atas yang ditemukan di Skotlandia adalah termasuk Dendrocrinus.

Distribusi Teripang di Indonesia

Anonymous (1992) menyusun daftar distribusi teripang di Indonesia. Actino ehinities, Actino lecanora, Actino mauritania dan Actino miliaris tersebar di barat Sumatera, selatan Jawa Tengah, selatan Kalimantan, selatan Sulawesi, timur Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Timor, Halmahera, Ambon dan utara Papua. Bohadschia argus, Bohadschia graeffei, Bohadschia marmorata, Bohadschia tenuissima dan Bohadschia vitiensis ditemukan di Sabang (utara Sumatera), barat Sumatera, Bangka-Belitung, timur Kalimantan, Kalimantan Selatan, selatan Sulawesi, Kendari, utara Sulawesi, Halmahera, Ambon-Banda. Distribusi Holothuria atra, Holothuria edulis, Holothuria leucospilota, Holothuria scabra, Holothuria nobilis, Holothuria impatiens, Stichopus chloronotus, Stichopus variegatus dan Thelenota ananas meliputi Sabang (utara Sumatera), barat Sumatera, Lampung, Bangka-Belitung, Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, selatan Jawa Tengah, selatan kalimantan, timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, tenggara Sulawesi, Halmahera, Ambon, Banda dan utara Papua Barat.

Perkembangan Telur Sampai Juvenil Bintang Laut

Komatsu et al. (1992) mengamati proses perkembangan bintang laut, Luidia maculata, dari telur sampai juvenil. Telur berdiameter rata-rata 173 mikron. Satu setengah jam setelah pembuahan, terjadi pembelahan pertama pada suhu 20 °C. Pembelahan bersifat total dan radial. Embryo berkembang menjadi bipinaria melalui tahap blastula yang berkerut-kerut (bipinaria : larva bintang laut yang berenang bebas, bersilia, bilateral dan memiliki dua struktur mirip sayap). Metamorfosis terjadi secara bertahap pada bagian posterior (belakang) bipinaria 40 hari setelah pembuahan. Pada tahap ini muncul 9 spikula, yang bersesuaian dengan lempeng terminal pada rangka individu dewasa. Satu minggu kemudian, bipinaria mencapai panjang 2,5 mm. Enam puluh empat hari setelah pembuahan, metamorfosis menjadi sempurna dan menghasilkan juvenil dengan diameter sekitar 700 mikron. Juvenil ini memiliki 9 lengan dan setiap lengan mempunyai dua pasang kaki tabung. Perkembangan spesies ini menunjukkan tipe non brachiolaria sebagai mana semua spesies Luidia yang telah dilaporkan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa juvenil yang baru saja bermetamorfosis memiliki 9 lengan seperti individu dewasa. Adalah sangat menarik bahwa waktu pembentukan lengan pada spesies bintang laut berlengan-banyak tampaknya berkaitan dengan sistematika spesies Luidia.

Pemijahan Buatan Pada Ekinodermata

ASEAN-Canada Cooperative Programe on Marine Science Phase II (1995) menyusun prosedur pemijahan buatan pada ekinodermata sebagai berikut. Balikkan tubuh ekinodermata dewasa dan tempatkan di dalam sebuah gelas piala yang dipenuhi dengan air encer/kontrol sampai luber. Rangsang binatang dewasa ini dengan menyuntikkan 1 ml kalium klorida (KCl) 0,5 M melalui membran peristomeal ke dalam coelom. Bila tidak ada respon setelah 30 detik maka penyuntikan KCl diulangi lagi dengan dosis yang berbeda. Perhatikan binatang dengan cermat ketika mereka mulai memijah karena ekinodermata jantan harus ditangani dengan cara yang berbeda. Ekinodermata jantan biasanya menghasilkan semburan sperma putih, sedangkan betinanya menghasilkan telur-telur yang relatif besar. Kedua jenis kelamin ini mungkin menghasilkan zat berwarna yang sebaiknya disingkirkan bila mungkin. Ekinodermata betina dibiarkan melakukan ”pemijahan-basah” di dalam gelas piala selama 15 – 30 menit. Telur yang dihasilkan seharusnya bundar dan bulat sempurna. Ekinodermata jantan sebaiknya dibiarkan melakukan “pemijahan kering”, artinya bahwa sperma dikumpulkan sebelum diencerkan dan diaktifkan dalam air laut. Bila jantan mulai memijah di dalam gelas piala mereka sebaiknya segera dipindahkan. Tempatkan ekinodermata jantan dengan sisi aboral menghadap ke atas di dalam cawan ceper dengan air laut menutupi sekitar setengah badannya. Ketika sperma berkumpul di permukaan tubuh ekinodermata ini dan di dalam cawan, kumpulkan sperma-sperma tersebut dengan pipet pasteur, dan pindahkan ke dalam sebuah gelas piala kecil atau tabung uji yang disimpan di dalam es hingga siap digunakan. Biarkan binatang memijah selama 15 – 30 menit. Sperma akan tetap tidak aktif bila dibiarkan dalam kondisi “kering” atau dalam konsentrasi sperma sangat tinggi dengan air laut sangat sedikit. Sperma ini dapat diaktifkan kembali dengan menambahkan air laut. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari kontaminasi-silang antara sperma dan telur; gunakan pipet yang berbeda untuk memindahkan sperma dan telur.

Kepekaan Embryo Bulu Babi Terhadap Panas

Fujisawa (1992) melaporkan bahwa bulu babi, Hemicentrotus pulcherrimus, merupakan salah satu echinoidea yang tersebar paling luas di Jepang, dari bagian selatan Hokkaido sampai Kagoshima. Bulu babi ini memijah pada musim yang sama, dari musim dingin sampai musim semi, tidak tergantung pada perbedaan habitat. Suhu air laut selama musim pemijahan adalah sektar 6 °C di Teluk Mutsu, dan sekitar 17 °C di Sendai, Kagoshima. Perbedaan suhu air laut selama musim pemijahan dengan demikian lebih dari 10 °C antara kedua lokasi. Dalam penelitian ini dua kelompok bulu babi digunakan, satu kelompok dikumpulkan di Teluk Mutsu dan kelompok lain diperoleh di lepas pantai Sendai, Kagoshima. Kepekaan panas pada embryo kedua kelompok ini diamati. Kepekaan panas (thermosensitivity) didefinisikan sebagai suhu di mana embryo bulu babi dapat berkembang normal. Kepekaan panas embryo bulu babi di Teluk Mutsu adalah dari 5 sampai 19 °C, sedangkan untuk embryo bulu babi di Sendai adalah dari 8 sampai 22 °C. Batas-batas kepekaan panas bergeser secara nyata sebesar 3 °C. Selanjutnya kepekaan panas telur bulu babi dari Teluk Mutsu (M betina) yang dibuahi dengan sperma bulu babi dari Sendai (S jantan) serta persilangan sebaliknya (M jantan x S betina) diamati. Kepekaan panas embryo (M betina x S jantan) adalah sama dengan embryo (M betina x M jantan). Kepekaan panas embryo (M jantan x S betina) adalah sama dengan embryo (S betina x S jantan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepekaan panas embryo bulu babi diwarisi dari induk betina.

Daftar Pustaka :

Anonymous. 1992. The Indonesian Fisheries Profile. Department of Agriculture, Directorate General of Fisheries. Jakarta. 25 pp.

ASEAN-Canada Cooperative Programe on Marine Science Phase II. 1995. Draft Protocol for Sublethal Toxicity Tests Using Tropical Marine Organisms. Regional Workshop on Chronic Toxicity Testing, Burapha University, Institute of Marine Science, May 29 – June 9, 1995. 52 pp

Brower, J.C. 1992. Cupulocrinid Crinoids from the Middle Ordovician (Galena Group, Dunleith Formation) of Northern Iowa and Southern Minnesota. Journal of Paleontology, vol. 66, no. 1, pp. 99 - 128

Fujisawa, H. 1992. Thermosensitivity of Sea Urchin Embryos Is Determined Maternally. Zoological Sciences, vol. 9, no. 6, p. 1299, ISSN 0289-0003

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Komatsu, M., M. Kawai, S. Nojima and C. Oguro. 1992. Development of The Sea Star, Luidia maculata Mueller et Troshel. Zoological Sciences, vol. 9, no. 6, p. 1299, ISSN 0289-0003

Minggu, 16 September 2018

Ikan Umpan Pada “Pole and Line” dan Longline


Penangkapan Ikan Umpan Tuna

Maniku et al. (1989) dalam Blaber and Copland (1990) menyatakan bahwa perikanan tuna di Maldives merupakan salah satu komponen utama perekonomian di negara itu. Kebanyakan ikan tuna ditangkap dengan “pole and line”, yang membutuhkan banyak ikan kecil hidup sebagai umpan. Metode penangkapan ikan umpan ini adalah sebagai berikut : kapal “pole and line” meninggalkan pulau untuk menangkap ikan umpan di terumbu karang sekitarnya tepat sebelum fajar kemudian segera setelah memperoleh cukup umpan kapal tersebut menjelajahi daerah penangkapan ikan tuna di luar atol. Kapal kembali dengan membawa hasil tangkapannya pada akhir sore atau awal petang. Tiga kelompok ikan umpan yang dominan adalah ikan pisang-pisang (caesionidae), Spratelloides dan cardinal fish (Apogonidae).

Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkap Ikan Umpan Tuna

Mohan dan Kunhikoya (1987) mempelajari hasil tangkap ikan umpan dan tuna dalam hubungannya dengan fase bulan selama musim penangkapan ikan tuna pole-and-line 1983 – 1984. Hasil tangkap ikan umpan dan tuna selama musim tersebut secara keseluruhan adalah relatif tinggi selama fase bulan baru dan rendah selama fase bulan seperempat terakhir. Hasil tangkap tuna per kg ikan umpan adalah tinggi selama fase bulan seperempat terakhir dan rendah selama fase bulan baru. Upaya pada perikanan umpan maupun tuna serta CPUE ikan umpan dan ikan tuna adalah paling tinggi selama fase bulan baru, kemudian menurun perlahan-lahan dan mencapai nilai terendah pada fase seperempat terakhir.

Mohan dan Kunhikoya (1987) menambahkan bahwa nelayan di Pulau Minicoy menangkap ikan hidup dari laguna pada pagi atau sore hari, tetapi tidak pada malam hari, dengan menggunakan cahaya, sebagaimana yang sering dilakukan di Kepulauan Hawaii dan pulau-pulau Pasifik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena cahaya menarik ikan-ikan engraulidae yang merupakan komponen utama tangkapan ikan umpan di pulau-pulau Pasifik. Di Minicoy, ikan umpan yang paling banyak tertangkap adalah tergolong famili Dussumieridae, Pomacentridae, Lutjanidae dan Atherinidae. Di Papua New Guinea, hasil tangkap ikam umpan dilaporkan rendah selama fase bulan baru. Tetapi di Minicoy hasil tangkap ikan umpan adalah paling tinggi selama fase bulan baru dan rendah selama seperempat terakhir. Selama fase bulan baru gerombolan ikan tuna muncul dalam konsentrasi sangat tinggi di dekat permukaan laut sehingga CPUE untuk ikan umpan maupun ikan tuna adalah sama-sama tinggi selama periode ini. Bagaimanapun, kadang-kadang ketika kondisi laguna menjadi buruk akibat cuaca, ikan umpan sulit ditangkap pada fase bulan apapun, yang menyebabkan penurunan CPUE untuk ikan umpan. Hal ini selanjutnya mempengaruhi CPUE tuna, yang tergantung secara langsung pada ketersediaan ikan umpan.

Upaya Mengurangi Kehilangan Ikan Umpan Akibat Dimakan Burung Laut

Løkkeborg (1998) melaporkan bahwa burung laut yang memakan umpan selama pemasangan long-line kadang-kadang terkait dan mati. Kehilangan umpan akibat masalah ini bisa berdampak serius terhadap efisiensi long line. Dua metode pemasangan long line telah diuji sebagai jawaban atas masalah ini dalam perikanan long line otomatis di Atlantik utara : (1) tali pancing dipasang melewati semacam terowongan yang menjaga agar tali tersebut tetap di bawah permukaan laut, dan (2) menggunakan alat pengusir burung. Kehilangan umpan dan hasil tangkap spesies sasaran serta burung laut dibandingkan dengan penggunaan long line tanpa kedua metode tersebut. Tertangkapnya burung tanpa sengaja berkurang pada kedua metode ini ; yang paling efektif adalah alat pengusir burung. Kehilangan umpan tengiri juga berkurang secara nyata dengan penggunaan alat pengusir burung, tetapi tidak pada penggunaan metode terowongan. Tidak ada peningkatan hasil tangkap spesies ikan sasaran untuk kedua metode tersebut. Bagaimanapun, kehilangan umpan akibat dimakan burung dianggap sebagai masalah kecil dalam eksperimen penangkapan ikan ini. Disarankan menggunakan kombinasi kedua metode ini agar dapat banyak mengurangi kejadian tertangkapnya burung dalam perikanan long line otomatis di Atlantik utara.

Kelemahan Cumi-Cumi Sebagai Umpan Long Line

Woll et al. (2001) melaporkan bahwa survei longline kerja sama Norwegia-Greenland telah dilakukan di East Greenland pada bulan Agustus 1997, dengan menggunakan berbagai tipe mata pancing dan umpan. Kebanyakan nelayan longline Norwegia menggunakan mata pancing tipe EZ 12/0. Mata pancing ini dibandingkan dengan tiga versi pancing baru “sirkular 14/0”. Total tangkapan 2.899 ekor halibut Greenland (sejenis ikan sebelah) dari 45.760 pancing berumpan cumi-cumi telah digunakan dalam analisis selektivitas pancing. Secara rata-rata, CPUE adalah 281 kg/1.000 pancing untuk pancing EZ. CPUE untuk pancing sirkular adalah 36 % lebih tinggi sehingga secara keseluruhan ada perbedaan nyata dalam hal CPUE antara pancing EZ dan pancing sirkular. Cumi-cumi dan ikan grenadier digunakan secara bergantian pada 6.630 pancing. CPUE ikan halibut Greenland adalah 25 % lebih tinggi untuk umpan ikan grenadier. Umpan ikan grenadier memberikan hasil-samping tangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan umpan cumi-cumi (1,1 dan 20,7 % berdasarkan jumlah, berturut-turut).

Pengaruh Jenis dan Warna Umpan Terhadap Hasil Tangkap Penyu dan Ikan Non Sasaran

Yokota et al. (2009) melaporkan bahwa pengaruh spesies umpan (tengiri dan cumi-cumi) dan warna umpan (biru dan tanpa warna) terhadap kejadian tertangkapnya penyu loggerhead Caretta caretta tanpa sengaja dalam perikanan longline pelagis di Pasifik Utara bagian barat telah dipelajari dalam eksperimen perikanan longline yang dipasang dangkal. Hasil tangkap penyu loggerhead dianalisis menggunakan “generalized linear model” (GLM) dengan distribusi Poisson. Faktor-faktor potensial (spesies umpan, warna umpan, hasil tangkap spesies lain dan suhu permukaan laut) yang mempengaruhi hasil tangkap penyu loggerhead diikut sertakan sebagai variabel penjelas. Analisis model menunjukkan bahwa spesies umpan mempengaruhi hasil tangkap penyu loggerhead, sedangkan warna umpan tidak. Model ini memperkirakan bahwa laju penangkapan penyu loggerhead adalah 75 % lebih kecil untuk umpan berupa ikan tenggiri daripada umpan berupa cumi-cumi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemilihan ikan umpan sangat efektif dalam pengurangi kejadian tertangkapnya penyu loggerhead tanpa sengaja dalam perikanan longline pelagis, tetapi penggunaan umpan berwarna biru tidak berpengaruh. Analisis terhadap model yang serupa juga dilakukan terhadap spesies ikan sasaran dan spesies ikan bukan sasaran, seperti ikan pedang Xiphias gladius, marlin bergaris Tetrapturus audax, tuna mata besar Thunnus obesus, hiu biru Prionace glauca dan cucut mako sirip pendek Isurus oxyrinchus serta spesies non sasaran lainnya. Perbedaan besar antara spesies umpan dan warna umpan yang ditemukan pada kasus penyu loggerhead tidak ada pada spesies-spesies non sasaran tersebut.

Ikan Cincang Sebagai Umpan Buatan Untuk Longline

Løkkeborg (1991) melaporkan bahwa umpan longline alternatif yang terbuat dari cincangan ikan mentah sebagai perangsang nafsu makan dan kantung nilon sebagai pembungkus telah diteliti dalam beberapa uji coba penangkapan ikan torsk (Brosme brosme), ling (Molva molva), cod (Gadus morhua) dan haddock (Melanogrammus aeglefinus). Dibandingkan dengan umpan alami, cincangan ikan herring (Clupea harengus) yang dibungkus kantung nilon memberikan hasil tangkap yang lebih tinggi untuk ikan haddock (58 %), torsk dan ling. Untuk ikan cod, umpan ini memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan umpan alami. Tekstur kantung nilon berdampak negatif terhadap laju penangkapan, terutama untuk ikan cod dan haddock. Penjepit logam yang digunakan untuk menutup kantung membuat umpan menjadi lebih besar, dan hal ini memberikan dampak yang bersifat selektif, di mana panjang rata-rata ikan cod yang tertangkap menjadi meningkat. Penambahan binder (bahan perekat) pada umpan mempengaruhi jumlah umpan yang hilang maupun laju penangkapan.

Referensi :

Løkkeborg, S. 1991. Fishing Experiments With An Alternative Longline Bait Using Surplus Fish Products. Fisheries Research, Vol. 12, Issue 1, pp. 43 – 56

Løkkeborg, S. 1998. Seabird By-Catch and Bait Loss in Long-Lining Using Different Setting Methods. ICES Journal of Marine Science, vol. 55, issue 1, pp. 145 – 149

Maniku, H., R.C. Anderson and A. Hafiz. 1989. Tuna Baitfishing in Maldives in Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (Eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop Honiara, Solomon Islands. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, ACIAR Proceedings no. 30, pp. 22 - 29

Mohan, A. & K.K. Kunhikoya. 1987. Bait-Fish And Tuna Catches At Minicoy Island (Lakshadweep) In Relation To Lunar Cycle During 1983-84 Season. Indian Journal of Fisheries, vol. 34, pp. 355 - 358

Woll, A.K., J. Boje, R. Holst and A.C. Gundersen. 2001. Catch Rates And Hook And Bait Selectivity in Longline Fishery for Greenland Halibut (Reinhardtius hippoglossoides Walbaum) at East Greenland. Fisheries Research, Vol. 51, Issues 2–3, pp. 237 – 246

Yokota, K., M. Kiyota and H. Okamura. 2009. Effect of Bait Species And Color On Sea Turtle Bycatch And Fish Catch in A Pelagic Longline Fishery. Fisheries Research, Vol. 97, Issues 1 – 2, pp. 53 – 58

Sabtu, 15 September 2018

Bioekologi dan Dinamika Populasi Ikan Layang (Decapterus)


Bioekologi Tiga Spesies Ikan Layang

Randall (1995) mendaftar tiga spesies ikan layang yang ada di perairan Oman, Arab : Decapterus macarellus, Decapterus macrosoma dan Decapterus russelli . Decapterus macarellus Cuvier bisa mencapai panjang tubuh 32 cm, terdapat di daerah tropis dan membentuk gerombolan pada habitat di dekat permukaan laut sampai kedalaman sekitar 200 meter; speseis ikan layang ini memakan zooplankton. Decapterus macrosoma Bleeker bisa mencapai panjang tubuh sekitar 30 cm; terdapat di daerah Indo-Pasifik termasuk Teluk Oman tetapi tidak ada laporan keberadaan spesies ini di Teluk Arab; ikan ini juga terdapat di Pasifik timur; spesies ikan layang ini membentuk gerombolan pada kedalaman habitat sekitar 30 sampai setidaknya 170 meter. Decapterus russelli Ruppell merupakan ikan layang yang bisa mencapai ukuran terpanjang, 39 cm; ikan layang jenis ini tersebar luas di Samudra Hindia di mana ia merupakan spesies paling umum dari genus Decapterus di perairan pesisir sampai kedalaman sedikitnya 100 meter; ia juga terdapat di Pasifik barat dari Australia sampai Jepang. Decapterus kiliche merupakan sinonim untuk Decapterus russelli.

Carpenter et al. (1997) menyatakan bahwa Decapterus macarellus bisa mencapai panjang total maksimum 32 cm, tetapi yang paling sering dijumpai memiliki panjang cagak sekitar 26 cm; spesies ini terdapat terutama di perairan terbuka pada kedalaman di bawah 40 meter; ia merupakan spesies yang membentuk gerombolan dan memakan terutama invertebrata planktonik kecil; ikan layang ini tertangkap dengan purse seine dan trawl. Decapterus macrosoma bisa mencapai panjang cagak maksimum 30 cm; memakan invertebrata planktonik kecil; tertangkap dengan purse seine dan trawl. Decapterus russelli atau “indian scad” umumnya memiliki panjang cagak 20 cm dengan maksimum 35 cm; menghuni perairan pesisir sampai kedalaman 100 meter; memakan invertebrata planktonik kecil serta tertangkap dengan purse seine dan trawl.

Biologi dan Dinamika Populasi Decapterus russelli

Murty (1991) mempelajari beberapa aspek biologi dan dinamika populasi ikan layang (Decapterus russelli) di lepas pantai Kakinada, India. Decapterus russelli melimpah di perairan yang relatif dalam dan menyumbangkan 80 – 90 % hasil tangkap ikan carangidae dengan trawl. Parameter-parameter pertumbuhan von Bertalanffy diduga adalah sebagai berikut : L8 = 232,3 mm, K = 1,08 per tahun dan t0 = - 0,08 tahun. Hubungan panjang berat bisa dijelaskan oleh persamaan W (gram) = - 5,93433 + 3,40764 log L (mm). Panjang dan umur saat pertama kali matang gonad diduga adalah 150 mm dan 0,88 tahun, berturut-turut. Spesies ini memijah di lepas pantai Kakinada selama Desember – Agustus. Laju mortalitas diduga adalah Z = 6,65, M = 1,90 dan F = 4,75, sedangkan panjang dan umur saat pertama kali tertangkap adalah 158 mm dan 0,98 tahun, berturut-turut. Analisis hasil tangkap (yield) per rekruit menunjukkan bahwa : dengan tc di atas 0,6 maka Yw/R meningkat dengan meningkatnya F tanpa mencapai maksimum. Bagaimanapun, nilai Yw/R tertinggi diperoleh dengan tc hanya pada 0,6 saja.

Kebiasaan Makan Decapterus dayi

Decapterus dayi (sinonim Decapterus russelli) merupakan ikan karnivora pelagis, yang memakan ikan kecil, telur dan larva ikan, serta plankton dari golongan krustasea, polikhaeta dan moluska. Kesukaan makanan tampaknya ke arah Stolephorus spp., Leiognathus spp., Sardinella spp., larva ikan, Acetes spp., Penaeus spp., larva alima, kopepoda dan Cresis sp. Ikan layang kecil terutama memangsa krustasea sedangkan ikan yang lebih besar memangsa ikan lain. Ikan mangsa tersebut merupakan bagian utama makanan ikan layang sepanjang tahun dan sepanjang hari. Ikan layang aktif mencari makan pada bulan-bulan sebelum dan setelah angin muson namun melemah selama angin muson. Baik tahap kedewasaan maupun waktu dalam sehari tidak banyak mempengaruhi aktivitas makan. Berdasarkan kesukaan makanan dan tingkah laku makan Decapterus dayi, disarankan untuk mengeksploitasi ikan ini dengan teknik “light fishing” (penangkapan ikan dengan bantuan cahaya).

Pertumbuhan, Pemijahan dan Kelimpahan Decapterus maruadsi dan Decapterus macrosoma

Hallier (1989) dalam Blaber and Copland (1990) melaporkan bahwa beberapa survei telah dilakukan terhadap ikan-ikan umpan tuna di Seychelles : pada Mahe Plateau di daerah lepas pantai dan di pesisir. Di Mahe Plateau, dua spesies ikan layang Decapterus maruadsi dan Decapterus macrosoma memiliki ukuran yang cocok untuk digunakan sebagai umpan tuna (kurang dari 15 cm) ketika juvenil. Decapterus maruadsi lebih melimpah tetapi kelimpahannya mengalami fluktuasi musiman. Ia memijah dari Maret sampai Juni. Setelah satu tahun, panjang cagak (fork length) Decapterus maruadsi mencapai 14 – 15 cm, dan setelah 2 tahun mencapai 21 – 22 cm ketika memijah. Stoknya diperkirakan 55.000 ton. Decapterus macrosoma ada sepanjang tahun tetapi dalam jumlah kecil. Pemijahan ikan ini tampaknya terjadi dari Maret – April sampai September dengan puncaknya pada bulan Juni – Juli. Panjang cagaknya hanya mencapai 10 cm setelah satu tahun dan 17 cm setelah 2 tahun ketika ia memijah. Stoknya diperkirakan 2.000 ton.

Distribusi, Fluktuasi Kelimpahan dan Musim Pemijahan Decapterus

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) di Pasifik barat ikan layang (Decapterus) adalah penting, bahkan dua spesies saja (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) membentuk hampir 40 % dari semua pendaratan ikan komersial dan 10 % dari semua hasil tangkap di Filipina selama tahun 1970-an. Bagaimana pun, perikanan layang didasarkan pada kelompok-kelompok umur juvenil; ikan layang yang didaratkan umumnya berukuran panjang kurang dari 20 cm meskipun merupakan ikan pasar yang istimewa. Laut Sulu dan selat-selat antar pulau di Filipina merupakan pusat populasi utama Decapterus. Meskipun seluruhnya ada di dalam kepulauan Filipina, Laut Sulu termasuk dalam (lebih dari 5.000 meter) dengan beberapa bagian yang menghadap Samudra Pasifik adalah dangkal, dan daerah yang dihuni oleh stok Decapterus adalah bagian-bagian yang lebih dangkal yang merupakan rangkaian pulau yang mengelilingi Laut Sulu tersebut - di pesisir selatan Palawan, selat antara Leyte dan Panay, sepanjang pesisir selatan Mindanao dan bagian selatan semenanjung Luzon. Walaupun ikan ini ada sepanjang tahun, puncak kelimpahan hasil tangkap yang didaratkan adalah selama musim kemarau April dan Mei. Tampaknya ada beberapa hubungan umum antara kelimpahan plankton dan fishing ground Decapterus; makanan ikan layang hampir seluruhnya berupa zooplankton.

Pemijahan Decapterus berlangsung agak sporadis sepanjang tahun di daerah yang sangat bervariasi dan luas, dan musim reproduksinya tidak serentak antar daerah. Selain keragaman lokal dalam hal musim reproduksi, ada perbedaan kelimpahan relatif antara dua spesies ikan layang. Di lepas pantai selatan Palawan, hasil tangkap ikan layang terutama adalah Decapterus macrosoma, sedang di dekat Manila dan sepanjang pesisir utara Palawan sebagian besar ikan layang adalah Decapterus russelli; belum ada penjelasan umum mengenai perbedaan distribusi ini (Longhurst dan Pauly, 1987).

Kelimpahan Musiman, Habitat dan Makanan Decapterus punctatus

Hales (1987) melaporkan bahwa studi dengan trawl-dasar (bottom trawl) selama lima tahun menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus punctatus) melimpah dan tersebar luas di seluruh South Atlantic Bight pada musim panas dan musim gugur, tetapi kurang melimpah dan terbatas di perairan yang lebih dalam (28 – 110 meter) dan lebih hangat (lebih dari 15 °C) selama musim dingin dan musim semi. Ikan dewasa dan juvenil terpisah secara ruang, dengan ikan dewasa mendominasi hasil tangkapan di bagian dalam dan luar paparan benua, sedangkan ikan juvenil mendominasi daerah pertengahan paparan sepanjang tahun. Hasil tangkapan di habitat karang-sepon secara nyata lebih besar dibandingkan hasil tangkapan di dasar berpasir pada musim dingin, namun hasil tangkapan di kedua habitat ini adalah sama pada musim-musim lainnya. Perubahan distribusi musiman ini mungkin berhubungan dengan produktivitas yang lebih tinggi dan stabilitas suhu di habitat karang. Analisis isi perut menunjukkan bahwa ikan layang memakan zooplankton pada siang hari; makanan berubah secara musiman dan keragaman mangsa meningkat sejalan dengan pertumbuhan ikan layang tersebut.

Referensi :

Carpenter, K.E., F. Krupp, D.A. Jones and U. Zajonz. 1997. The Living Marine Resources of Kuwait, Eastern Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, and The United Arab Emirates. FAO, Rome. 329 pp.

Hales, L.S., Jr., 1987. Distribution, Abundance, Reproduction, Food Habits, Age, and Growth of Round Scad, Decapterus punctatus , in The South Atlantic Bight. Fishery Bulletin, Vol. 85, no. 2, pp. 251 – 268

Hallier, J.-P. 1989. Biology of Tuna Baitfish of Seychelles in Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop, Honiara, Solomon Island, 11-13 December 1989, pp. 60 – 69, ISBN 1-86320-011-8

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Murty, V.S. 1991. Observations on Some Aspects of Biology and Population Dynamics of The Scad Decapterus russelli (Ruppell) (Carangidae) in The Trawling Grounds off Kakinada. Journal of Marine Biologist Association of India, vol. 33, no. 1 – 2, pp. 396 – 408

Randall, J.E. 1995. Coastal Fishes of Oman. University of Hawaii Press, Honolulu. 443 pp.

Sreenivasan, P. V. 1979. Feeding Biology of the Scad Decapterus dayi Wakiya. Journal of the Marine Biological Association of India, Vol. 21, No. 1 & 2, pp. 97 - 102

Jumat, 14 September 2018

Sungai : Perubahan Ekologi serta Dampak Terhadap Biota dan Laut


Sungai di Asia Tropis Sebagai Ekosistem Yang Terancam Punah

Dudgeon (1992) menyatakan bahwa di antara pengaruh manusia terhadap sungai-sungai Asia tropis, ada tiga yang mengkhawatirkan. Pertama, kerusakan basin drainase (terutama melalui penebangan hutan secara berlebihan) menyebabkan peningkatan beban sedimen tersuspensi dan meluasnya banjir. Lumpur yang secara luas menutupi hamparan banjir mengubah habitat yang menyebabkan lenyapnya atau berkurangnya jumlah spesies. Kedua, modifikasi aliran air yang mengancam eksistensi sungai dan telah dilakukan secara luas di Asia selama berabad-abad. Pencemaran sungai terjadi di seluruh benua Asia ini dan berperanan dalam memunculkan ancaman ketiga. Secara bersama-sama, ketiga ancaman tersebut menyebabkan penurunan populasi dan berbagai rintangan bagi binatang air dan spesies darat yang berhubungan dengan sungai dan dataran banjirnya. Lumba-lumba sungai dan beberapa jenis buaya sangat terancam; selain itu penurunan jumlah spesies unggas air, rusa dataran banjir, ikan, makrofita dan invertebrata telah didokumentasikan. Pembalikan kecenderungan ini adalah sulit karena kerusakan basin drainase, modifikasi aliran air dan pencemaran memiliki pengaruh merusak terhadap ekosistem sungai dan meningkatkan keberhasilan masuknya spesies asing.

Di samping itu, kemampuan ahli ekologi untuk menduga hasil perubahan buatan-manusia dibatasi oleh kekurangan pengetahuan mengenai sejarah hidup spesies dan kekurangan data mengenai basis kesuburan produksi. Walaupun kekurangan informasi rinci, konservasi sungai Asia tropis bisa diefektifkan hanya bila ahli limnologi lebih berperanan. Juga, strategi manajemen berbasis ekologi untuk sungai-sungai Asia tropis akan berhasil hanya bila segi sosio-ekonomi rencana pengembangannya ikut dipertimbangkan. Kegagalan mengatasi tantangan ini bisa menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada ekosistem sungai yang terancam punah tersebut.

Perubahan Ekologi Sungai Akibat Limbah Air Panas

Srivastava et al. (1993) melaporkan bahwa air limbah dari pusat listrik tenaga panas berbahan bakar batu bara di Obra, India, masuk ke Sungai Rihand dan mengubah ciri-ciri ekologis ekosistem sungai tersebut. Suhu dan pH air sungai tersebut naik sedangkan kejernihan air, konsentrasi oksigen terlarut, klorida, NO3-N dan PO4-P berkurang. Di bagian sungai yang menerima air limbah, tidak ada fitoplankton selama periode penelitian satu tahun (Januari – Desember 1987). Alga chlorophyceae seperti Spirogyra dan Scenedesmus yang ada di hulu sungai yang tak terpengaruh limbah (lokasi kontrol) digantikan oleh alga Bacillariophyceae seperti Pinnularia dan Nitzschia dengan kepadatan fitoplankton berkurang di hilir sungai yang terpengaruh imbah. Di lokasi kontrol (rata-rata 12 bulan) kepadatan Chlorophyta menyumbangkan 335 unit/liter dari kepadatan fitoplankton total (774 unit/liter) diikuti oleh Cyanophyta (260 unit/liter) dan Bacillariophyta (188 unit/liter). Di lokasi yang terpengaruh limbah, kepadatan maksimum 112 unit/liter disumbangkan oleh Bacillariophyta diikuti oleh Chlorophyta 90 unit/liter dan Cyanophta 60 unit/liter, dengan kepadatan fitoplankton total 221 unit/liter. Indek keragaman fitoplankton dan produktivitas primer berkurang di zona yang terpengaruh limbah panas tersebut.

Perubahan Habitat Sungai dan Dampaknya Bagi Biota

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa pohon tumbang dan batu yang ada di dalam air sungai serta tumbuhan bawah-air adalah penting bagi ekosistem sungai karena mereka menyediakan tempat berlindung, tempat memijah dan substrat tempat menempel. Perubahan habitat sungai seperti penyingkiran pohon tumbang dari sungai, termasuk penyingkiran kayu atau cabang pohon baik yang terendam maupun yang mencuat ke permukaan air, dan kanalisasi sungai (modifikasi buatan terhadap aliran air untuk memaksimumkan aliran air sungai dan meminimumkan banjir) akan menyebabkan tempat-tempat tersebut menjadi berkurang. Berkurangnya tempat memijah bisa menyebabkan penurunan keberhasilan pemijahan dan selanjutnya mengurangi keragaman fauna ikan yang ada. Penyingkiran vegetasi yang tumbuh di tepi atau tebing sungai juga menyebabkan kehilangan habitat karena vegetasi ini memberikan sumbangan secara langsung kepada habitat sungai melalui pohon-pohon yang tumbang, serasah daun dan ranting yang jatuh ke sungai. Sisa-sisa vegetasi yang tenggelam menyediakan tempat berlindung dan tempat pemijahan yang penting bagi ikan. Penyingkiran vegetasi tepi sungai merupakan salah satu penyebab utama kehilangan habitat di sungai-sungai Queensland, Australia.

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) menambahkan bahwa bendungan bertindak sebagai perangkap sedimen dan dapat menjebak lebih dari 95 % beban sedimen yang diangkut oleh sungai, dengan air yang meninggalkan bendungan relatif bebas dari sedimen. Hal ini menyebabkan perubahan tajam pada komposisi substrat dan morfologi sungai bagian hilir. Bila kecepatan arus yang meninggalkan bendungan adalah cukup deras, maka hamparan sedimen di hilir sungai bisa terkikis. Hal ini bisa menyebabkan erosi yang cukup besar dan pergeseran tebing sungai bagian hilir serta kerusakan habitat yang penting bagi biota sungai.

Pemasukan Sedimen dan Perubahan Morfologi Paparan Benua Oleh Sungai

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sungai-sungai besar bisa memodifikasi morfologi paparan benua : sungai Indus, Gangga, Irawady, Amazon, Orinoco, Niger, Zambezi dan sungai Tigris-Eufrat semua memperlebar paparan benua di dekatnya dan membentuk hamparan sedimen mirip kipas di bawah lereng benua. Kipas Gangga meluas sampai ribuan kilometer di dalam Teluk Benggala. Laut-laut tropis menerima sedimen lebih dari 11 juta ton per tahun dari beberapa sungai besar yang mendominasi limpasan air dari benua. Nilai total ini adalah lebih dari 83 % dari semua sedimen yang dibuang ke laut secara global. Tidaklah mengherankan bahwa statistik ini tercermin dalam distribusi sedimen di laut dan paparan benua tropis, juga tercermin dalam tingginya kekeruhan laut pesisir di daerah-daerah tropis.

Pengaruh Sungai Terhadap Salinitas Air Laut

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di beberapa paparan benua, massa air permukaan tropis menjadi lebih dipengaruhi oleh buangan sungai dan diencerkan oleh hujan. Hal ini muncul sebagai fenomena yang secara umum disebut “estuarisasi” paparan benua, atau muncul sebagai lidah buangan air sungai. Peta salinitas permukaan air menunjukkan beberapa daerah di mana estuarisasi paparan benua adalah penting : Teluk Benggala, Laut Cina Selatan, Teluk Panama dan Teluk Guinea. Lidah massa air dari sungai-sungai besar seperti Kongo dan Amazon, dan juga beberapa sungai kecil selama musim hujan, tetap dapat diidentifikasi bahkan di dalam daerah-daerah yang mengalami estuarisasi ini, dan massa air permukaan tropis bersalinitas rendah juga cenderung memiliki kekeruhan dan endapan lumpur yang relatif tinggi.

Teluk Benggala merupakan lokasi klasik estuarisasi paparan benua, dan salinitas di bawah 20 ‰ ditemukan di sebagian besar daerah ini pada akhir periode bertiupnya angin muson barat-daya pada bulan September – Oktober yang disebabkan oleh air buangan sungai dan curah hujan yang melebihi penguapan. Setelah angin muson timur-laut (kering) bertiup, salinitas mulai naik karena penguapan melebihi pemasukan air tawar dari semua sumber. Pembalikan arah angin muson ini juga membalikkan arah “gyre” (sirkulasi massa air laut) di Teluk Benggala sehingga salinitasnya naik selama musim dingin utara, sementara massa air payau perlahan-lahan hilang dari pesisir India dan didorong kembali ke arah pesisir timur Teluk Benggala (Longhurst dan Pauly, 1987).

Referensi :

Dudgeon, D. 1992. Endangered Ecosystems : A Review of The Conservation Status of Tropical Asia Rivers. Hydrobiologia, Vol. 248, No. 3, pp. 167 - 191

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries .1999. Our Inland Wetlands. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 23 pp.

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Srivastava, N.K. R.S. Ambasht, R. Kumar and Shardendu. 1993. Effect of Thermal Power Effluents on The Community Structure and Primary Production of Phytoplankton, Environ. Int., Vol. 19, No. 1, pp. 79 – 90

Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur


Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Produksi Penaeus monodon dan Kualitas Air

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa enam belas kolam fiberglas berdiameter 3,5 meter dan tinggi 1,2 meter dengan dasar sedimen telah digunakan sebagai model kolam budidaya udang windu (Penaeus monodon) untuk meneliti pengaruh empat tingkat padat penebaran (5, 15, 25 dan 40 udang per m2) terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perolehan berat pada udang serta kualitas air, sumber daya pakan alami, perilaku makan udang dan pengembalian ekonomi (economic return). Kelangsungan hidup udang adalah tinggi (lebih dari 88 %) dan tak terpengaruh (P > 0,05) oleh padat penebaran dan ada hubungan eksponensial yang makin menurun secara nyata (P < 0,05) antara perolehan berat dan padat penebaran (y = 9,177 e-0,0103x; r = -0,88) dan hubungan linier yang meningkat secara nyata (P < 0,001) antara biomas final total (g/m2) dan padat penebaran (y = 21,044 + 8,348x ; r = 0,99). Perolehan biomas, konsumsi pakan semu (input pakan) dan rasio konversi pakan meningkat (P < 0,001) dengan meningkatnya padat penebaran.

Analisis ekonomi sederhana menunjukkan bahwa pengembalian ekonomi dipengaruhi oleh padat penebaran (P < 0,01), tetapi perbedaan antara perlakuan-perlakuan yang lebih menguntungkan (15, 25 dan 40 udang per m2) adalah tidak nyata (P > 0,05). Konsentrasi oksigen terlarut dan konsentrasi pigmen alga dipengaruhi oleh padat penebaran (P < 0,001), namun efek terkait-padat penebaran terhadap kualitas air tidak menjelaskan penurunan pertumbuhan udang akibat meningkatnya padat penebaran. Kepadatan populasi makrobentos, tetapi tidak berlaku untuk meiobentos, dalam lapisan sedimen pada setiap kolam menurun dengan meningkatnya padat penebaran. Bagaimanapun, penurunan pertumbuhan udang pada padat penebaran yang lebih tinggi mungkin disebabkan oleh menurunnya aktivitas memakan plankton (grazing) seperti ditunjukkan oleh jumlah lambung yang tidak mengandung pakan alami maupun pakan tambahan.

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Mortalitas Kerang Abalon (Haliotis)

McCormick et al. (1989) dalam Guzman del Proo (1992) melaporkan bahwa kerang abalon merah (Haliotis rufescens), hijau (Haliotis fulgens) dan pink (Haliotis corrugata) yang dibesarkan di hatchery dan panjang rata-rata 35 mm telah dibudidayakan selama 11 bulan dalam sistem budidaya tangki di darat di Oxnard, California, AS, dan pada saat yang bersamaan selama 9 bulan dalam rangkaian wadah berupa separuh-tong yang digantungkan dalam air di lepas pantai pulau San Martin, Baja California, Meksiko. Abalon juvenil ditebarkan dalam tangki pada kepadatan yang setara dengan 10 % dan 20 % dari luas permukaan yang tersedia. Padat penebaran di dalam tong berkisar antara 8 % sampai 17 % dari luas permukaan interior. Abalon hijau menunjukkan mortalitas terendah, dengan rata-rata 1 % per bulan, baik pada padat penebaran rendah maupun tinggi. Mortalitas abalon merah pada padat penebaran tinggi dan rendah di dalam tangki dan tong rata-rata 4 % per bulan selama 6 bulan pertama kemudian turun menjadi 1 % per bulan. Abalon pink yang ditebarkan pada kepadatan tinggi di dalam tangki memiliki mortalitas tinggi (7 % - 16 %) selama dua bulan pertama. Abalon merah dan hijau tumbuh dengan laju yang bisa dianggap sama di dalam tangki dan tong. Dampak laju pertumbuhan, kelangsungan hidup serta rasio panjang dan total berat menunjukkan bahwa abalon hijau bisa menjadi alternatif pengganti abalon merah, yang merupakan standar industri, untuk budidaya komersial di daerah perairan hangat.

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Produksi Ikan Polikultur

Fex de Santis (1988) mempelajari pengaruh padat penebaran terhadap polikultur ikan black cachama (Colossoma macropomum), ikan nila (Oreochromis niloticus) dan bocachico (Prochilodus reticulatus magdalenae). Kolam budidaya dipupuk setiap 15 hari, dan diberi pakan dengan kadar protein neto 24 % untuk semua ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padat penebaran yang diuji tidak berpengaruh terhadap produktivitasnya. Ikan cachama mencapai laju pertumbuhan yang lebih tinggi.

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Dambo dan Rana (1993) mengevaluasi pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup anak ikan nila (Oreochromis niloticus). Anak ikan nila ini (berat rata-rata 10,56 ± 0,28 mg, panjang rata-rata 9,09 ± 0,05 mm) ditebarkan dalam tangki-tangki bervolume 2 liter dengan kepadatan 2, 5, 10, 15 dan 20 ekor per liter dan dipelihara selama 33 hari setelah pembuahan, pada suhu 30 oC (± 1 oC). Panjang rata-rata, berat rata-rata, dan laju pertumbuhan spesifik secara nyata lebih rendah (P < 0,05) untuk padat penebaran yang lebih banyak. Koefisien keragaman untuk kelima tingkat padat penebaran adalah berbeda nyata (P < 0,05). Faktor kondisi, bagaimanapun, tidak berbeda nyata (P < 0,05) dan kelangsungan hidupnya adalah tinggi untuk semua perlakuan padat penebaran. Data ini menunjukkan bahwa kultur Oeochromis niloticus adalah layak pada semua tingkat padat penebaran yang diuji tetapi 5 – 10 ikan per liter disarankan untuk kultur anak ikan di hatchery (pembenihan) bila menghendaki ukuran yang lebih seragam.

Pengaruh Padat Penebaran Ikan Terhadap Konsumsi Makanan, Pertumbuhan dan Konsumsi Oksigen

Joergensen et al. (1993) mengukur laju pengambilan makanan, laju pertumbuhan dan laju konsumsi oksigen pada ikan Arctic charr (Salvelinus alpinus), yang ditebarkan dengan kepadatan rendah (15 kg/m3), sedang (60 kg/m3) dan tinggi (120 kg/m3). Laju pertumbuhan adalah sama untuk ikan-ikan yang ditebarkan pada kepadatan sedang dan tinggi, tetapi berkurang banyak untuk kelompok ikan yang ditebarkan pada kepadaan terendah. Perbedaan pertumbuhan mungkin disebabkan oleh perbedaan yang serupa dalam hal laju pengambilan makanan. Rendahnya laju pengambilan makanan mungkin juga merupakan sebab utama rendahnya laju konsumsi oksigen pada kelompok ikan yang ditebarkan dengan kepadatan rendah. Padat penebaran mempengaruhi perilaku ikan, dan perilaku menggerombol diamati pada kelompok ikan dengan padat penebaran sedang dan tinggi. Tidak ditemukan korelasi nyata antara panjang badan awal, laju pengambilan makanan dan laju pertumbuhan ikan pada semua kelompok padat penebaran. Oleh karena itu, hambatan sosial akibat pembentukan hierarki dominansi pastilah bukan merupakan sebab utama penurunan nafsu makan dan pertumbuhan pada ikan-ikan yang ditebarkan dengan kepadatan rendah.

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Kondisi Fisik dan Pertumbuhan Ikan

Purser dan Hart (1991) mengulas hasil-hasil penelitian yang mempelajari hubungan antara padat penebaran ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dan pertumbuhannya. Pada padat penebaran yang tinggi, ikan terlihat stres, kondisinya buruk, berwarna gelap, bergerak lamban, siripnya rusak dan tampak kesulitan mencari makan. Hubungan yang terbalik ditemukan antara pertumbuhan dan kepadatan ikan.

Referensi :

Allan, G.L. and G.B. Maguire. 1992. Effects of Stocking Density on Production of Penaeus monodon Fabricius in Model Farming Ponds. Aquaculture, Vol. 107, No. 1, pp. 49 - 66

Dambo, W.B. and K.J. Rana. 1993. Effect of Stocking Density on Growth and Survival of Oreochromis niloticus (L.) Fry in The Hatchery. Aquaculture and Fisheries Management, Vol. 24, No. 1, pp. 71 - 80

Fex de Santis, R. 1988. Policultivo de La Cachama Negra (Colossoma macropomum), Mojarra Plateada (Oreochromis niloticus) y bocachico (Prochilodus reticulatus magdalenae) Bajo Tres Densidades de Slembra. Memorias Segunda Reunion Red Nacional de Acuicultura, Neiva, Septembre 1988, no. 1989, pp. 187 – 191

Joergensen, E.H., J.S. Christiansen and M. Jobling. 1993. Effects of Stocking Density on Food Intake, Growth Performance and Oxygen Consumption in Arctic charr (Salvelinus alpinus). Aquaculture, Vol. 110, No. 2, pp. 191 – 204

McCormick, T.B., A. Aguirre, T.S. Mill and K.T. Herbinson. 1989. Growth and Survival of Red (Haliotis rufescens), Green (Haliotis fulgens), and Pink (Haliotis corrugata) Abalone in Land- And Ocean-Based Cultivation Systems in Guzman del Proo, S.A., M.J. Tegner and S.A. Shepherd (Eds.). 1992. Abalon of The World. Biology, Fisheries and Culture (Supplementary Papers). Proceedings of The First International Symposium on Abalone in La Paz, Mexico, 21 – 25 November 1989, pp. 49 - 60

Purser, J. and P. Hart. 1991. Effect of Stocking Density on The Growth of Juvenile Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Austasia Aquaculture, Vol. 5, No. 12, pp. 46 - 48

Rabu, 12 September 2018

Racun Pada Hewan Laut


Perbedaan Istilah Toxin, Venom dan Poison

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa “toxin” (racun) adalah satu kelompok senyawa yang berpengaruh merugikan secara fisiologis terhadap mahluk hidup, sekalipun diberikan dalam jumlah kecil. Selain istilah ini, istilah “poison” dan “venom” sering digunakan, tetapi ketiga istilah ini memiliki definisi yang berbeda-beda. Toksin biasa digunakan dalam pengertian yang paling luas. Pernah disarankan dalam Simposium Internasional Mengenai Toksinologi agar istilah “toksin” sebaiknya dibatasi untuk substansi berprotein dan substansi antigenik. Dalam hal ini suatu senyawa bisa disebut toksin bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : terdapat pada tumbuhan, binatang, bakteri dan lain-lain; merupakan benda asing bagi korban, misal manusia dan lebih banyak bersifat racun dan berpengaruh buruk terhadap kesehatan atau kehidupan korban. Suatu substansi, bagaimanapun, tidak bisa disebut toksin bila digunakan sebagai obat dan dilihat dari aspek pengobatan. “Venom” biasanya merupakan substansi berprotein yang disekresi dari kelenjar racun atau dari sel pensekresi yang sangat khusus dan disalurkan oleh organ racun ke binatang lain. Sebaliknya, “poison” merupakan senyawa penyebab keracunan pada manusia akibat memakan organisme laut, yang memiliki substansi beracun di dalam seluruh tubuh atau dalam organ-organ tertentu. Untuk mudahnya, bagaimanapun, ketiga istilah tersebut digunakan dengan arti yang sama.

Iktiotoksin (Racun Dalam Tubuh Ikan)

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ichthyotoxin (racun pada ikan; Hashimoto (1979) mengartikan “ichthyotoxin” sebagai racun yang mematikan bagi ikan, sedangkan istilah “fish toxin” diartikan sebagai racun yang diproduksi ikan) dijumpai di seluruh daerah tropis, mungkin (dan sejalan dengan intensifikasi rantai makanan) terdapat terutama pada predator puncak : barakuda dan jack (carangidae) merupakan dua jenis ikan yang paling umum beracun. Sesuai dengan asal racun dari luar, banyak spesies ikan yang beracun dengan gejala-gejala yang khas : keracunan histidin-histamin dari ikan scombroidea, keracunan yang bersifat halusinogenik dari ikan belanak, racun saraf yang fatal dari ikan belut moray, dan keracunan yang mirip racun Gonyaulax dari ikan clupeidae kecil pemakan-penyaring. Bagaimanapun, iktiotoksin yang paling berbahaya dan paling luas penyebarannya adalah racun yang secara umum diberi nama ciguatera; diberi nama demikian berdasarkan nama invertebrata laut beracun yang dijumpai oleh orang-orang Spanyol yang pertama kali mendiami Kepulauan Karibia. Istilah ini sekarang digunakan untuk sekelompok neurotoksin (racun saraf) yang ditemukan pada banyak jenis spesies ikan tropis yang kadang-kadang mengandung racun. Telah dibuat daftar sekitar 450 spesies ikan tropis , kebanyakan dari habitat terumbu karang, yang memiliki racun jenis ini. Di antara mereka yang menonjol adalah spesies ikan herbivora (grazer) yang memakan karang dan material alga.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa iktiotoksin saat ini cukup banyak dijumpai pada ikan karang laut tropis, seperti snapper (lutjanidae), grouper (serranidae), jack (carangidae) dan ikan besar lain yang biasa dipasarkan. Di beberapa gugusan pulau seperti Johnston dan Phoenix, persentase spesies ikan yang beracun adalah sangat tinggi. Di tempat di mana terjadi komersialisasi ikan-ikan besar, misalnya untuk ekspor dari Pulau Midway dan Christmas ke Hawaii, maka ditemukannya ciguatera dalam satu “batch” (kumpulan) ikan tidak hanya menjadi tragedi yang membahayakan kesehatan masyarakat, tetapi juga secara efektif bisa mematikan suatu industri perikanan, seperti yang terjadi pada akhir tahun 1940-an.

Distribusi Tetrodotoksin dalam Jaringan Tubuh Ikan Buntal, Fugu

Kim et al. (1991) mengumpulkan dua puluh empat spesimen ikan buntal Fugu xanthopterus, dari sebuah pasar ikan di Pusan dan menelitinya dalam hal distribusi daya racun tetrodotoksin dengan metode bioesei tikus. Frekuensi spesimen beracun adalah 88, 75, 54, 13, 71, 80 dan 71 % untuk hati, usus, kulit, daging, testis, ovari dan empedu, berturut-turut. Daya racun paling tinggi adalah 417, 387, 112, 17, 39, 403 dan 178 MU/g, berturut-turut; dan daya racun rata-ratanya adalah 110 ± 25,0 (rata-rata ± standard error), 73 ± 20,3, 17,8 ± 5,1, 2,7 ± 1,1, 15,6 ± 5,4, 115 ± 33,0 dan 34 ± 9,3 MU/g, berturut-turut. Ada korelasi yang nyata antara daya racun hati dan usus, antara hati dan kulit dan antara hati dan ovari.

Fungsi Racun Bagi Binatang Yang Memproduksinya

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa penelitian etologis pada beberapa binatang laut beracun menunjukkan bahwa racun memegang peranan penting dalam menangkap mangsa. Racun seperti ini dicontohkan oleh racun nematokista pada ubur-ubur, “cephalotoksin” dalam kelenjar ludah gurita (octopodae) dan racun penyengat pada siput Conus; sebagian di antaranya dapat juga digunakan sebagai substansi pertahanan diri terhadap pemangsaan. Sebaliknya, racun yang terdapat dalam duri racun ikan tertentu dan racun kulit, tampaknya digunakan hanya untuk mempertahankan diri. Sering diamati bahwa ikan karnivora besar memuntahkan ikan yang mengandung racun kulit segera setelah mencaploknya. Moluska opisthobranchia, yang tidak bercangkang, mengembangkan kemampuan mensekresi racun yang sangat ampuh untuk mengusir pemangsa. Diduga bahwa racun yang diproduksi oleh karang atau sepon memiliki fungsi pelindung tidak hanya terhadap pemangsa, tetapi juga terhadap beberapa bentuk binatang sesil (penempel) yang bila tidak diusir akan menempel dan menutupi karang dan sepon. Bila binatang sesil tersebut menutupinya maka karang dan sepon itu bisa mati karena zooxanthellae yang bersimbiosis dengan binatang induk ini akan tertutup dan tidak mampu lagi berfotosintesis. Pada situasi seperti ini berbagai antibiotik atau terpenoid befungsi sebagai substansi pertahanan.

Hashimoto (1979) menambahkan bahwa beberapa racun laut diyakini memiliki arti penting fisiologis bagi organisme inangnya. Hal ini berlaku untuk beberapa binatang, misal ikan yang bermigrasi vertikal menempuh jarak jauh mengandung sejumlah besar ester lilin sebagai lipida utamanya, jadi bukannya gliserida, dan ikan (berumur) tua yang menimbun banyak vitamin A dalam hatinya. Sebagian ikan memiliki substansi beracun di dalam telurnya; tetradotoksin pada ikan tetraodontidae, ester lilin dalam telur ikan belanak, dan dinogunelin dalam ikan yang mengandung iktiotoksin. Racun terakhir ini merupakan sejenis fosfolipida istimewa yang memiliki adenosin sebagai bagian molekulnya yang mengandung nitrogen. Racun-racun ini memiliki fungsi fisiologis bagi perkembangan embryo.

Racun Dalam Lendir Kulit Ikan Sidat

Shiomi et al. (1992) melaporkan bahwa racun berprotein dalam lendir kulit ikan sidat Jepang, Anguilla japonica, telah dimurnikan sampai kondisi murni secara elektroforetik dengan kromatografi kolom DEAE-selulosa dan HPLC pada TSKgel DEAE-SPW dan TSKgel G3000SW. Gliserol telah dibuktikan sangat efektif untuk menstabilkan racun ini. Dapat dilihat bahwa racun yang telah dimurnikan ini sangat mematikan bagi tikus; nilai dugaan LD 50 intravena untuk racun ini adalah serendah 3,1 mikrogram/kg. Berat molekul racun utuh adalah 40.000 sebagaimana ditentukan dengan HPLC pada TSKgel C3000SW. Hasil elektroforesis SDS menunjukkan bahwa racun ini terdiri dari dua subunit dengan berat molekul 230.000 dan 110.000. Glisin dan alanin melimpah dalam racun ini sedangkan asam-asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan setengah-sistin) dan dua asam amino aromatik (tirosin dan triptofan) sangat sedikit.

Pengaruh Kondisi Habitat Terhadap Racun Yang Disekresi Siput Niotha

Hwang et al. (1992) mengumpulkan hampir 300 spesimen moluska gastropoda Niotha clathrata dari Taiwan Selatan. Semua spesimen diuji daya racunnya untuk menentukan tetradotoksin. Nilai frekuensi spesimen Niotha beracun adalah 30,0 %, 68,0 % dan 80,4 % untuk daerah Anping, Chiating dan Tungkang, berturut-turut. Potensi letal tertinggi untuk spesimen gastropoda ini adalah 1900 mouse unit (MU). Siput yang dikumpulkan dari Tungkang menunjukkan nilai tertinggi untuk spesimen beracun dan daya racunnya, diikuti dengan spesimen dari Chiating dan Anping. Spesimen yang dkumpulkan pada musim gugur dan semi menunjukkan daya racun yang lebih tinggi dibandingkan spesimen yang dikumpulkan pada musim-musim lain. Selain itu, juga telah dikumpulkan 17 spesimen Niotha clathrata lain untuk uji sekresi racun dengan menggunakan perlakuan kejutan listrik. Hasilnya menunjukkan bahwa gastropoda tersebut tidak mensekresi racun lebih lanjut bila diberi perlakuan kejutan listrik sebanyak dua kali dengan selang waktu sekitar 1 jam. Daya racun toksin yang disekresi adalah 206 MU. Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa frekuensi kejadian spesimen beracun dan daya racunnya dipengaruhi oleh kondisi habitat gastropoda tersebut.

Referensi :

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Hwang, D.F., L.C. Lin and S.S. Jeng. 1992. Variation and Secretion of Toxins in Gastropod Mollusc Niotha clathrata. Toxicon, Vol. 30, no. 10, pp. 1189 - 1194

Kim, H.-D, D.-Y. Jeong dan D.-S. Kim. 1991. Difference of Toxicities Among Tissues in The Pufferfish Fugu xanthopterus (“ggachlbog”). Bulletin of Korean Fisheries Society, vol. 24, no. 6, pp. 363 - 368

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Shiomi, K., S. Tsuchiya, K. Shimakura and T. Kikuchi. 1992. Purification and Properties of A Proteinaceous Toxin in The Skin Mucus of The Japaneses Eel. Nippon Suisan Gakkaishi/ Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 4, pp. 781 – 786

Selasa, 11 September 2018

Keunggulan dan Kelemahan Sistem Budidaya Polikultur

Pengaruh Polikultur Terhadap Produksi Ikan Laut, Konsentrasi Oksigen dan Karbon Dioksida Terlarut

Hirata et al. (2007) melakukan pengamatan dengan tujuan untuk mengetahui efek polikultur ikan dan rumput laut terhadap konsentrasi oksigen dan karbon dioksida di dalam air dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, efisiensi makan dan faktor kondisi ikan pada sistem polikultur karamba (karamba A, yang berisi ikan “red sea bream” (Pagrus major) dan alga hijau (Ulva lectuca)) versus sistem monokultur (karamba B, yang berisi ikan red sea bream saja). Percobaan dilakukan dari Agustus 1992 sampai februari 1993. Kedua karamba masing-masing berukuran 7 m x 7 m x 7 m. Ikan red sea bream yang digunakan dalam percobaan ini berumur tiga tahun dengan berat badan rata-rata 654 gram pada awal percobaan, serta merupakan hasil seleksi selama lebih dari 25 tahun. Setiap karamba ditebari 1.750 ekor ikan. Alga yang digunakan adalah varietas Ulva pertusa hasil seleksi setiap dua minggu selama dua tahun. Ulva pertusa dikultur dalam kantong jaring terapung di permukaan karamba A dan dipanen setiap dua minggu. Tanaman yang tumbuh paling baik dalam grup yang dipanen digunakan untuk ditumbuhkan-kembali dalam karamba A. Sisa-sisa alga tersebut kemudian dikeringkan, dihancurkan dan diformulasi menjadi pelet pakan standar red sea bream, dan diberikan kepada ikan dalam karamba A. Ikan dalam karamba kontrol diberi pakan standar red sea bream. Tekanan parsial oksigen terlarut (pO2) dan karbon dioksida (pCO2) di dalam air karamba dan pertumbuhan ikan (berat basah, panjang baku) diukur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata pO2 dan pCO2 secara nyata lebih rendah (5,2 %) dalam karamba polikultur daripada dalam karamba kontrol. Hampir semua ikan dalam kedua karamba tetap bertahan hidup selama percobaan. Rata-rata pertumbuhan, rata-rata efisiensi makan dan rata-rata faktor kondisi ikan dalam karamba polikultur adalah, berturut-turut, 3,2 % lebih tinggi, 6,0 % lebih tinggi dan 2,2 % lebih tinggi daripada dalam karamba kontrol. Selain itu, ikan polikultur berwarna lebih merah (dan dengan demikian lebih laku dijual) daripada ikan dalam karamba kontrol. Proyek sederhana ini menunjukkan keuntungan potensial jenis polikultur ini di perairan laut Jepang dan, dari sudut pandang yang lebih luas, keunggulan polikultur alga-ikan secara umum.

Polikultur Udang Galah Dengan Ikan Danau

Sarig (1992) melakukan percobaan budidaya udang galah Macrobrachium rosenbergii dalam sistem polikultur dengan ikan mas (Cyprinus carpio) dan/atau ikan tilapia (Sarotherodon aureus x Sarotherodon niloticus). Diperoleh hasil yang memuaskan; total pendapatan meningkat antara 17 dan 47 % dan polikultur ini tidak memberikan efek negatif terhadap ikan.

Keunggulan Polikultur Ikan - Ayam

Pretto Malca (1988) melaporkan beberapa proyek agropiscicultur yang dikembangkan di Panama. Spesies ikan yang dibudidayakan adalah mujaer, ikan mas dan silver carp. Budidaya ikan digabungkan dengan pemeliharaan babi, bebek, ayam dan sapi perah. Ternyata bahwa budidaya yang paling menguntungkan adalah polikultur ikan - ayam.

Polikultur Menghasilkan Produksi Ikan Yang Lebih Tinggi Daripada Monokultur

Boyd (1982) menyatakan bahwa kombinasi beberapa spesies (polikultur) memberikan produksi ikan yang lebih tinggi daripada yang bisa diperoleh dengan satu spesies (monokultur) karena organisme makanan yang tidak dimakan oleh satu spesies bisa dimakan oleh spesies lain. Bila kombinasi spesies yang dipilih tepat, maka akan ada sedikit persaingan antara ikan-ikan polikultur. Sebagai contoh, di kolam channel catfish yang diberi pakan, spesies yang mengkonsumsi organisme makanan alami tetapi tidak memakan pelet akan meningkatkan produksi ikan total. Telah ditunjukkan dengan jelas bahwa polikultur channel catfish, tilapia (Tilapia aurea), ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) dan ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) akan meningkatkan produksi ikan melebihi yang bisa dicapai oleh kultur channel catfish saja. Lebih lanjut, tidak ada kombinasi spesies yang sangat mempengaruhi produksi channel catfish, yang merupakan spesies kultur utama. Sebuah laporan menyebutkan produksi total 6.282 kg/hektar ikan mas, ikan mola, ikan kowan dan tilapia dalam 126 hari di kolam yang diberi pakan pelet kaya protein.

Perbandingan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Produksi Udang Crayfish Antara Sistem Monokultur dan Polikultur

Mazlum dan Eversole (2008) membandingkan produksi sistem monokultur dan polikultur udang crayfish rawa merah (Procambarus clarkii) dan crayfish sungai putih (Procambarus acutus acutus). Percobaan terdiri dari tiga perlakuan masing-masing dengan enam ulangan. Padat penebarannya adalah 43 crayfish per m2 dalam tangki 0,18 m2. Setiap tangki berisi enam ekor crayfish, ada yag terdiri dari enam ekor dari spesies yang sama atau tiga ekor dari setiap spesies. Rata-rata ukuran panjang total crayfish yang ditebarkan untuk monokultur dan polikultur adalah 32.6 ± 0.05 dan 33.0 ± 0.07 mm, berturut-turut. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan diduga setiap 30 hari sekali selama periode percobaan 90 hari. Kelangsungan hidup kedua spesies adalah sama dalam sistem monokultur (62,5 %). Kelangsungan hidup Procambarus clarkii dalam sistem polikultur (25,0 %) secara nyata lebih rendah daripada dalam sistem monokultur (62,5 %), sedangkan kelangsungan hidup Procambarus acutus acutus dalam sistem polikultur adalah 41,7 % dan dalam sistem monokultur 62,5 %. Kelangsungan hidup lebih rendah tetapi pertumbuhannya lebih tinggi dalam sistem polikultur daripada dalam sistem monokultur untuk kedua spesies. Pertumbuhan Procambarus acutus acutus dalam sistem polikultur secara nyata lebih tinggi daripada dalam sistem monokultur. Tidak ada perbedaan pertumbuhan Procambarus clarkii antara polikultur dan monokultur; secara keseluruhan pertumbuhan Procambarus acutus acutus dan Procambarus clarkii adalah sama selama 90 hari. Hasil produksi crayfish tidak berbeda nyata antara sistem monokultur dan polikultur (P < 0.05). Hasil produksi totalnya adalajh 1,15 kg/hektar dalam sistem monokultur dan 1,18 kg/hektar dalam polikultur.

Kerugian Polikultur Kerang Laut

Cho et al. (1990) melaporkan bahwa polikultur oyster (Crassostrea gigas) di bagian atas tali-tergantung dan “sea squirt” (Halocynthia roretzi) di bagian bawahnya telah berkembang baik di pesisir selatan Laut Korea. Ada perbedaan dalam hal pertumbuhan, mortalitas, hasil dan faktor-faktor lingkungan antara polikultur dan monokultur oyster atau sea squirt. Pertumbuhan oyster dan sea squirt adalah lebih baik dalam monokultur; lebar cangkang dan berat daging oyster menunjukkan peningkatan 2,9 % dan 5,8 %, berturut-turut, sedangkan tinggi badan dan berat daging sea squirt menunjukkan peningkatan 30,1 % dan 24,4 %, berturut-turut, bila dibandingkan dengan polikultur. Berdasarkan peningkatan laju pertumbuhan dan koefisien regresi, bisa ditegaskan bahwa pertumbuhan adalah lebih baik dalam kultur tunggal walaupun keuntungannya kecil. Kematian oyster maupun sea squirt terutama terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober dan mortalitas ini tinggi pada polukultur : 63,1 % lebih tinggi untuk oyster dan 28,4 % lebih tinggi untuk sea squirt dibandingkan pada mono kultur. Rendahnya pertumbuhan dan tingginya mortalitas pada polikultur diduga disebabkan oleh tingginya kepadatan organisme yang dikultur. Walaupun keuntungan besar merupakan aspek yang nyata dalam polikultur, turunnya harga sea squirt akibat produksi yang berlebihan, pengunduran jadwal produksi yang telah direncanakan, dan umur daerah kultur yang lebih cepat habis akibat tingginya kepadatan organisme kultur merupakan aspek-aspek negatif polikultur.

Referensi :

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.

Cho, C.H., J.W. Chang, P.A. Bae, W.S. Kwon, M.S. Kim, G.H. Na, C.S. Lee, and Y.I. Won. 1990. Studies on The Effectiveness of The Polyculture. Bulletin of Institute of Fisheries Sciences National Tong-Yeong Fisheries College, Vol. 2, pp. 143 - 153

Hirata, H., T. Yamauchi, M. Matsuda and S.Yamasaki. 2007. A Simple Experiment in Polyculture: Red Sea Bream (Pagrus major) and Ulvales (Ulva pertusa). Ecological and Genetic Implications of Aquaculture Activities : Methods and Technologies in Fish Biology and Fisheries, Vol. 6, pp. 425 - 431

Mazlum, Y. and A.G. Eversole. 2008. Comparison of the Survival, Growth and Yield of Red Swamp Crayfish and White River Crayfish in Monoculture and Polyculture Systems, Aquaculture International, Vol. 16, Issue 4, pp. 345 - 350

Pretto Malca, R. 1988. Consideraciones En Torno A La Agroacuicultura En Panama. Memorias Segunda Reunion Red Nacional de Acuicultura, Neiva, Septembre 1988, no. 1989, pp. 33 – 61

Sarig, S. 1992. Un Tentativo Di Coltivare Gamberetti D’Acqua Dolce (Macrobrachium rosenbergii) in Policoltura Con i Pesci Di Lago. IL PESCE, No. 4, pp. 51 - 55