Senin, 29 Oktober 2018

Kakap dan Kerapu : Habitat, Distribusi, Reproduksi dan Kandungan Racun


Kakap dan Kerapu Sebagai Komponen Penting Komunitas Ikan Demersal


Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sumberdaya ikan demersal di perairan dengan dasar berbatu, baik di estuaria maupun di lepas pantai ketiga samudra tropis, didominasi oleh tiga famili ikan besar mirip-bass, yang biasanya dikenal sebagai kakap dan kerapu, yang banyak di antaranya mencapai ukuran sangat besar dan berwarna cerah. Secara khas mulut mereka besar dan mangsanya terutama berupa spesies ikan lain. Serranidae mempunyai banyak genus (misal Liopoma, Epinephelus, Mycteroperca, Paralabrax, Plectropomus, Serranus) dan lebih dari 300 spesies; Lutjanidae mempunyai 23 genus (misal Caesio, Lutjanus, Ocyurus) dan lebih dari 200 spesies yang beberapa di antaranya mengandung racun ciguatera; Lethrinidae memiliki 2 genus (Lethrinus, Neolethrinus) dan sekitar 20 spesies.

Lutjanus Sebagai Ikan Demersal Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) mengulas beberapa laporan mengenai komunitas ikan di Indo-Pasifik dengan dasar perairan yang keras. Di Tebing Kenya Utara, yang merupakan wilayah paparan benua terluas di garis pantai Afrika Timur, hasil survei menunjukkan bahwa fauna ikan ekonomis di atas kedalaman termoklin didominasi oleh 14 spesies ikan dari famili yang sama : Lutjanus rivulatus, Lutjanus bohar dan Lethrinus crocineus yang masing-masingnya menyumbangkan biomas lebih dari 10 %; di bawah termoklin, fauna spesies Lutjanus, Epinephelus dan Lethrinus memberikan ruang bagi fauna ikan-ikan kecil, yang disebut “fauna ikan pink”, dengan Cheimerius nufar, Pristipomoides microlepis, Polysteganus caeruleopunctatus dan Argyrops spinifer menjadi spesies yang paling melimpah. Ke arah selatan, tebing-tebing sekitar Pulau Pemba dan Tebing Malindi, yang jauh lebih sempit daripada Tebing Kenya Utara, memiliki lebih sedikit fauna Lutjanidae besar dan jauh lebih banyak ikan-ikan kecil non ekonomis. Lebih ke arah selatan lagi, di Tebing St. Lazarus di lepas pantai Mozambique, Lutjanus bohar mendominasi komunitas ikan kakap-kerapu penghuni tebing berbatu yang khas.

Habitat dan Distribusi Kakap dan Kerapu

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di perairan tropis Indo-Pasifik pada dasar keras berpasir ditemukan fauna ikan mirip-bream (Nemipterus, Pomadasys, dll.), bersama dengan ikan kakap dan kerapu (Lutjanus, Epinephelus, dll.), yang berkembang paling baik pada tebing-tebing berbatu dan berkarang. Di Laut Cina Selatan telah dilakukan survei trawl pada daerah antara Sungai Rajang dan Kepulauan Natuna Besar, Indonesia. Di daerah ini, dengan dasar berpasir pada kedalaman 60 – 90 meter dan air dasar perairan yang hangat, ditemukan kumpulan ikan lutjanid di mana Lutjanidae membentuk 49 % biomas, diikuti oleh Priacanthus (10,2 %), Pentapodidae (8,3 %), carangidae (7,1 %) dan triglidae (2,6 %). Juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit ikan Parapristipoma, Saurida, sciaenidae, nemipteridae. Ikan kakap yang utama adalah Lutjanus sebae, Lutjanus lineolatus, Lutjanus lutjanus, Lutjanus vitta dan Lutjanus gibbus. Spesies yang berasosiasi mencakup Nemipterus bathybus, Nemipterus personii, Nemipterus nematophorus, Epinephelus hata, Epinephelus diacanthus, Epinephelus areolatus, Upeneus bensasi, Psettodes erumei dan Argyrops spinifer. Kerapu besar (misal Epinephelus aeneus) merupakan ikhtiofagus (pemakan ikan) yang terkamuflase di dasar perairan; ia berbaring menunggu di tempat persembunyian sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan sedikit gerakan maju ia mencaplok mangsanya.

Keberadaan Epinephelus dan Kerabat-Kerabatnya di Teluk Meksiko

Bullock dan Smith (1991) mengumpulkan 16 spesies ikan serranidae (Centropristis ocyurus, Centropristis striata, Diplectrum formosum, Epinephelus flavolimbatus, Epinephelus morio, Epinephelus niveatus, Holanthias martinicensis, Hypoplectrus unicolo, Mycteroperca microlepis, Mycteroperca phenax, Serraniculus pumilio, Serranus notospilus, Serranus phoebe, Serranus subligarius, Rypticus bistrispinus dan Rypticus maculatus) selama Proyek Hourglass. Centropristis ocyurus (n = 982) dan Diplectrum formosum (n = 616) adalah spesies yang paling banyak dikumpulkan. Melimpahnya ikan-ikan ini dalam sampel penelitian tersebut antara lain disebabkan oleh kesukaannya terhadap dasar perairan berelief rendah, yang disampling lebih efisien oleh alat tangkap trawl. Pengamatan oleh penyelam SCUBA menunjukkan bahwa beberapa spesies lain (misal Serranus subligarius), meskipun sedikit terwakili dalam sampel trawl, sangat banyak dijumpai di terumbu karang berbatu. Penangkapan Epinephelus mystacinus dan Gonioplectrus hispanus merupakan laporan pertama keberadaan spesies-spesies ikan ini di Teluk Meksiko timur.

Sejarah Hidup dan Reproduksi Ikan Kakap Lates calcarifer

Menurut Almendras et al. (1988) kakap Lates calcarifer merupakan ikan konsumsi penting di perarian tropis dan semi tropis. Sejarah hidupnya yang lain dari biasanya membuat ikan kakap menjadi sasaran penelitian fisiologi reproduksi. Pengamatan terhadap ikan kakap liar di dalam habitat alaminya menunjukkan bahwa larva ikan ini tetap tinggal di perairan pesisir hingga mereka mencapai panjang 5 mm; mereka kemudian memasuki rawa-rawa pesisir di mana mereka tetap di sini hingga berumur 6 bulan dan sepanjang 20 cm. Ketika rawa-rawa tempat pembesarannya mulai mengering, ikan kakap ini menuju ke daerah pesisir dan estuaria di mana mereka ditemukan pada umur sekitar 1 tahun. Selama tahun kedua dan ketiga, banyak - tetapi tidak semua – ikan kakap berenang ke perairan tawar di darat. Beberapa ikan yang berumur 3 tahun dan banyak yang berumur 4 tahun melakukan migrasi tahunan dari perairan darat menuju perairan pesisir untuk memijah. Ikan kakap juga mengalami pembalikan jenis kelamin (sex reversal) dari jantan ke betina. Metode histologi digunakan untuk menunjukkan bahwa peralihan dari jantan ke betina dimulai dalam gonad ketika testes matang untuk terakhir kalinya dan sempurna tak lama setelah pemijahan. Secara umum, kakap pertama kali matang gonad sebagai ikan jantan pada umur 3 tahun dan menjadi betina pada umur 4 atau 5 tahun.

Perilaku Reproduksi, Telur dan Larva Lutjanus

Hamamoto et al. (1992) mengamati perilaku reproduksi dan sejarah hidup awal ikan kakap berbintik putih, Lutjanus stellatus Akazaki, berdasarkan pengamatan di akuarium. Pemijahan terjadi di antara seekor betina dan 2 -12 ikan jantan pada jam-jam pertama setiap sore sejak pertengahan Mei sampai pertengahan Juni 1984. Enam pola tingkah laku mudah dibedakan dalam urutan pemijahan : a) bergerombol; b) mencari-cari; c) menyungkur; d) berenang cepat ke arah permukaan; e) memijah; dan f) pasca memijah. Spesies ini dianggap sebagai pemijah kelompok. Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat, transparan, mengapung dan tak berpigmen. Telur tersebut berdiameter 0,80 – 0,85 mm, dan mengandung sebuah butiran minyak yang berdiameter 0,16 – 0,17 mm. Penetasan berlangsung 30 jam setelah pembuahan. Segera setelah menetas, larva memiliki panjang total 2,48 – 2,56 mm dan mempunyai kuning telur besar berbentuk elips. Sebuah butiran minyak terletak pada ujung depan kuning telur ini.

Racun Pada Kakap dan Kerapu

Hashimoto (1979) melaporkan adanya ciguatoksin dan racun mirip-ciguatoksin pada ikan kakap merah, Lutjanus bohar, dan kerapu, Epinephelus fuscoguttatus. Lutjanus bohar paling sering menyebabkan kasus keracunan ciguatera di Pasifik sedangkan kasus keracunan akibat Epinephelus fuscoguttatus kurang sering. Ikan-ikan ciguaterik ini menghuni terumbu karang yang telah berkembang di daerah tropis dan sub tropis. Pada ikan-ikan ini juga ditemukan racun lain yang larut-air dan menyebabkan muntah yang hebat bila diberikan lewat mulut atau disuntikkan di bawah-kulit pada kucing. Racun penyebab muntah ini dinamakan ciguaterin. Ciguaterin tidak beracun bagi tikus dan manusia. Racun ini kadang-kadang ditemukan di dalam otot tetapi hampr selalu dijumpai dengan kadar tinggi di dalam hati ikan ciguaterik khas : Lutjanus bohar dan Epinephelus fuscoguttatus. Ciguaterin cepat rusak selama penyimpanan, bahkan bila dibekukan.

Pengaturan Perikanan Kakap Lates calcarifer

Kakap (Lates calcarifer) adalah ikan perch centropomidae besar yang tumbuh sampai sedikitnya 150 cm panjang total dan bobot sampai 50 kg. Spesies ini mendukung perikanan jaring insang komersial penting dan rekreasi pemancingan di Queensland, Northern Territory dan Australia Barat. Pengaturan ukuran resmi telah diperkenalkan di Queensland pada 1877 (16 ons) dan kemudian ditingkatkan pada tahun 1989 menjadi 55 cm panjang total. Panjang resmi minimum 23 inci (58 cm) telah dimantapkan pada Juli 1966 di Northern Territory dan ini dianggap sebagai hasil langsung dari pengaturan Queensland ( memijah sedikitnya sekali). Ada tiga kelompok masalah yang dijumpai bila mempertimbangkan ukuran resmi untuk digunakan dalam manajemen perikanan kakap : sifat-sifat reproduksi, hasil dan multi-spesies (Glaister (1990) dalam Hancock, (1992)).

Daftar Pustaka :

Almendras, J.M., C. Duenas, J. Nacario, N.M. Sherwood and L.W. Crim. 1988. Sustained Hormone Release. III. Use of Gonadotropin Releasing Hormone Analogue to Induce Multiple Spawnings in Sea Bass, Lates calcarifer. Aquaculture, Vol. 74, pp. 97 - 111

Bullock, L.H. and G.B. Smith. 1991. Seabasses (Pisces : Serranidae). Memoar of Hourglass Cruises. Florida Marine Research Institute, Department of Natural Resources, St. Petersburg, Florida, USA, vol. 8, no. 2, 243 pp. ISSN 0085-0683

Glaister, J.P. 1990. Barramundi in Hancock, D.A. (Ed.). 1992. Australian Society for Fish Biology Workshop. Legal Sizes and Their Use in Fisheries Management. Australian Gov. Publ. Serv., Canbera (Australia). pp. 73 - 77

Hamamoto, S., S. Kumagai, K. Nosaka, S. Manabe, A. Kasuga and Y. Iwatsuki. 1992. Reproductive Behavior, Eggs and Larvae of a Lutjanid Fish, Lutjanus stellatus, Observed in An Aquarium. Japan Journal of Ichthyology, vol. 39, no. 3, pp. 219 - 228

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Pengaruh Lingkungan Terhadap Distribusi Organisme


Penemuan Organisme Laut di Luar Daerah Distribusi Normalnya

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa pengusiran, atau adanya populasi yang “berakhir dengan kematian” yang terdiri dari individu-individu spesies yang tua dan tak bereproduksi yang hidup jauh dari pusat distribusinya, biasanya terlihat dalam data hasil survei plankton regional. Populasi yang terusir ini tidak selalu mudah dibedakan dari spesies kosmopolit (tersebar di seluruh dunia) yang hidup pada kedalaman yang makin dalam ke arah tropis sedemikian hingga tetap ada dalam kisaran toleransi suhunya. Perlu dicatat bahwa tidak hanya plankton saja yang mengalami pengusiran : selama terjadinya El Nino Southern Oscillation (ENSO) spesies-spesies ikan perairan hangat dengan jumlah sangat banyak bergerak ke arah kutub pada arus-arus perbatasan timur, dengan kemampuan memantapkan polulasi baru sebagai respon terhadap perubahan kondisi laut berskala puluhan tahun. Pengusiran organisme “tuna wisma” ini juga terjadi pada ikan demersal, seperti ikan sea bass Eropa (Morone saxatilis) yang tampaknya sehat pernah ada seekor tertangkap oleh trawl di lepas pesisir Nigeria, atau ikan Latimeria chalumnae yang pertama kali tertangkap di Durban, jauh ke arah selatan dari habitat normalnya di Comoro.

Pengaruh Musim Terhadap Distribusi Ikan di Bendungan

Pavlov et al. (1992) menyatakan bahwa data survei hidroakustik memungkinkan untuk memperoleh beberapa gambaran mengenai pola-pola umum distribusi-ruang ikan di bendungan. Ciri khas distribusi kepadatan ikan skala makro adalah distribusi “marginal” yang tak tergantung musim. Pada musim dingin kebanyakan ikan berkumpul di teluk sedangkan pada musim panas ikan tersebar merata di seluruh bagian bendungan. Kepadatannya di daerah pesisir bendungan adalah lebih tinggi.

Pengaruh Arus Terhadap Perubahan Distribusi Ikan Clupea dan Scomber

Salah satu perubahan alami yang menarik pada stok ikan Laut Utara pada tahun 1980-an adalah pergeseran distribusi musim panas ikan hering (Clupea harengus) dewasa. Selama tahun 1970-an dan dekade awal, daerah pencarian makan utama pada bulan Juni/Juli adalah perairan lepas pantai timur Skotlandia sebelah selatan garis 57o Lintang Utara dan sebelah barat garis 2o Bujur Timur. Selama tahun 1980-an, sangat sedikit ikan hering yang ditemukan di daerah ini selama musim makan. Distribusi ikan dewasa telah bergeser ke utara dan timur laut, ke tepi paparan benua dan Palung Norwegia. Rekruitmen ikan hering selalu meningkat selama awal tahun 1980-an, dan melebihi rata-rata jangka panjang dari tahun 1984 sampai 1986. Selama tahun-tahun dengan rekruitmen melimpah, ikan juvenil di Laut Utara dengan proporsi relatif tinggi tumbuh di Skagerrak/Kattegat. Perubahan distribusi ikan hering dewasa bersesuaian dalam hal waktu dan tempat dengan perubahan ikan tengiri (Scomber scombrus) yang telah didokumentasikan. Pada kedua spesies, distribusi musim panas bergeser ke arah timur laut Laut Utara. Perubahan pada kedua spesies terjadi di tepi paparan benua, di daerah arus tepi paparan. Dengan demikian diduga bahwa perubahan arus tepi paparan bertanggung jawab atas perubahan yang diamati tersebut (Corten et al. (1991) dalam Dickson et al. (1992)).



Referensi :

Corten, A. and G. Van de Kamp. 1991. Natural Changes in Pelagic Fish Stocks of The North Sea in The 1980s in Dickson, R.R., P. Maelkki, G. Radach, R. Saetre and M.P. Sissenwine. 1992. Hydrobiological Variability in The Ices Area, Ices, Copenhagen (Denmark), pp. 402 - 417

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc. San Diego. 407 pp.

Pavlov, D.S., A.I. P’yanov and M.P. Ostrovskij. 1992. Distribution of Fish in The Nurek Reservoir from Echometric Survey Data. Journal of Ichthyology, Vol. 32, No. 4, pp. 37 - 43

Jumat, 19 Oktober 2018

Teknik Pencegahan dan Pemulihan Pencemaran Danau


Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa saat ini ada banyak metode pemulihan danau. Pemilihan metode yang tepat merupakan salah satu masalah manajemen danau, masalah lainnya adalah penentuan kriteria pemilihan. Metode pemulihan danau dapat dikelompokkan menjadi dua kelas : (1) pengurangan beban masukan dari luar (misalnya pengolahan limbah cair), dan (2) perlakuan di dalam ekosistem danau (misalnya aerasi, penyingkiran lapisan atas sedimen dan lain-lain). Bagaimanapun, seringkali kedua macam metode ini harus dilakukan bersama-sama. Penerapan metode kelas ke-2 sering tidak membawa hasil bila tidak dibarengi dengan usaha pengurangan buangan limbah cair. Metode kelas ke-2 dapat dibagi lagi menjadi : (a) aerasi air, (b) pembalikan massa air hipolimnion, (c) pengendapan fosfor di dalam danau, (d) pengurangan konsentrasi biomas di dalam danau secara langsung, (e) aerasi sedimen, (f) penyingkiran sedimen, (g) penutupan sedimen dan (h) membiarkan air yang tak tercemar masuk ke dalam danau.

Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau

Jorgensen (1980) menjelaskan metode pemulihan danau dengan mencegah air tercemar memasuki perairan tersebut sehingga dapat mengurangi beban masukan bahan pencemar dari luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalirkan limbah ke ekosistem lain, misal ke laut, atau dengan menggunakan metode pengolahan limbah. Dari sudut pandang ekologis yang lebh global, cara pertama ini tidak menguntungkan karena pencemaran tidak dihilangkan melainkan hanya dipindahkan ke ekosistem lain di mana limbah tersebut kurang membahayakan keseimbangan ekologisnya. Bila limbah hanya mengandung sedikit bahan beracun, misalnya limbah domestik, cara tadi mungkin dapat dibenarkan karena ekosistem yang menerima limbah tersebut masih dapat mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Masuknya fosfor, sebagai contoh, ke ekosistem laut mungkin tidak berbahaya, tetapi sebelum memutuskan untuk membuang limbah berfosfor ke laut sebaiknya mempertimbangkan dulu dengan cermat semua dampak yang mungkin timbul.

Kerugian membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau adalah meningkatnya retention time (lama air tinggal di danau sebelum dialirkan keluar); hal ini bisa menyebabkan upaya pemulihan danau menjadi kurang berpengaruh. Selain itu, koordinasi pasokan air dan perencanaan pengelolaan air limbah tidak boleh dilupakan. Membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau berarti menutup sebuah sumber air mentah bagi danau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa membelokkan aliran limbah sehingga langsung masuk ke laut merupakan pilihan yang salah. Beberapa tahun setelah membuang limbah ke laut maka timbul pencemaran di laut meski danau masih bisa dimanfaatkan sebagai pemasok air (Jorgensen, 1980).

Pengerukan Sedimen Danau Untuk Mengendalikan Tumbuhan Air Potamogeton

Tumbuhan kolam berdaun keriting, Potamogeton crispus, merupakan spesies Eurasia yang diintroduksikan ke Amerika Serikat pada awal tahun 1800-an. Catatan pertama tentang tumbuhan ini muncul pada tahun 1841, sejak itu ia menyebar ke seluruh Amerika Serikat dan Kanada selatan dan menjadi tumbuhan pengganggu di banyak danau yang bersifat basa di daerah itu. Danau Collins merupakan danau kota di Scotia, New York, yang telah lama menghadapi masalah pertumbuhan vegetasi air yang pesat. Potamogeton crispus tidak dapat tumbuh pada kedalaman lebih dari 3 meter, sehingga daerah danau yang diserang tumbuhan ini bisa digali sampai kedalaman tersebut guna mengendalikannya (Tobiessen et al., 1992).

Daftar Pustaka :

Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management. Pergamon Press. Oxford. 167 pp.

Tobiessen, P., J. Swart and S. Benjamin. 1992. Dredging To Control Curly-Leaved Pondweed : A Decade Later. Journal of Aquatic Plant Management, Vol. 30, pp. 71 - 72

Selasa, 16 Oktober 2018

Ekologi Jamur Air


Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Keberadaan Jamur Laut Endofit dan Parasit Pada Alga Laut

Stanley (1992) menyajikan makalah mengenai tiga asosiasi jamur-alga pada alga laut intertidal. Mereka terdiri dari dua anggota Ascomycotina, Lautitia danica yang memarasiti alga Chondrus crispus, dan jamur Mycosphaerella ascophylli yang bersifat endofit-wajib pada Ascophyllum nodosum, dan satu anggota Basidiomycotina, Mycaureola dilseae yang memarasiti Dilsea carnosa. Rincian diberikan mengenai siklus hidup dan periodisitas musiman. Siklus reproduksi Mycosphaerella ascophylli dan Ascophyllum nodosum adalah bersamaan, dengan sporocarp jamur sesuai dengan reseptakel alga. Lautitia danica terdapat pada cystocarpic Chondrus crispus sepanjang tahun, dengan daun-daun yang lebih tua mengandung lebih banyak sporocarp. Mycaureola dilseae yang menginfeksi Dilsea carnosa hanya ditemukan selama bulan September dan Oktober.

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.

Referensi :

Alderman, D.J. 1982. Fungal Disease of Aquatic Animals in R.J. Roberts. (Ed.). 1982. Microbial Disease of Fish. Academic Press. New York. Pp. 189 - 242

Alexopoulus, C.J. 1960. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. New York. 482 pp.

Dick, M.W. 1976. The Ecology of Aquatic Phycomycetes in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Gleason, F. 1976.The Physiology of The Lower Freshwater Fungi in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Garraway, M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley & Sons. New York. 401 pp.

Stanley, S.J. 1992. Observations on The Seasonal Occurrence of Marine Endophytic and Parasitic Fungi. Canadian Journal of Botany, Vol. 70. No. 10, pp. 2089 - 2096

Sabtu, 13 Oktober 2018

Subsistem Perairan Pesisir : Estuaria


Definisi Estuaria

Subsistem perairan pesisir (coastal) dapat digolongkan menjadi tiga regim : estuaria, perairan dekat pantai (near shore) dan regim laut lepas (oceanic).

Menurut Mann (1982) bila dibandingkan unit-unit sistem yang berdasarkan fitoplankton, rumput laut atau lamun maka estuaria merupakan unit yang lebih tinggi karena ia umumnya mencakup beberapa di antara sistem tersebut, dan mencakup pula interaksi di antara mereka. Secara sederhana estuaria didefinisikan sebagai daerah di mana air sungai bercampur dengan air laut dan mengencerkannya. Pritchard, seorang pakar ekologi laut, berpendapat bahwa daerah pesisir yang luas seperti Laut Baltik dan bentangan luas air laut encer di lepas pantai terbuka seperti New York Bight adalah tidak termasuk ke dalam pengertian estuaria, sehingga Pritchard memberikan definisi estuaria yang diterima secara luas : “Estuaria adalah badan air pesisir semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut terbuka, di mana air laut cukup banyak diencerkan oleh air tawar yang berasal dari darat”. Definisi ini pada akhirnya sesuai dengan definisi sederhana di atas.

Istilah “estuaria” mempunyai arti yang beraneka ragam, tetapi, seperti yang digunakan di sini, estuaria diartikan sebagai perairan pesisir yang tertutup dan masih berhubungan bebas dengan laut serta kandungan garam di dalam airnya masih dapat diukur. “Dapat diukur” maksudnya memiliki salinitas lebih dari 0,5 ppt. Kita memilih definisi ini karena hanya mencakup badan air tertutup yang menerima masukan air tawar dalam jumlah cukup. Definisi ini meliputi semua perairan pesisir yang tertutup atau terlindung tetapi tidak mencakup laguna yang terpisah dari estuaria karena kecepatan pemasukan air tawarnya rendah. Namun bila diperlukan untuk keperluan pengelolaan (misal karena alirannya lambat) laguna dapat dianggap sebagai salah satu tipe estuaria. Oleh karena itu, definisi ini bersesuaian dengan definisi yang diberikan oleh E.P. Odum (yang dimodifikasi dari D.W. Pritchard) : “suatu badan air setengah tertutup yang terdapat di pesisir dan berhubungan bebas dengan laut; sehingga sangat dipengaruhi oleh aksi pasang-surut, dan di dalamnya air laut bercampur (biasanya sampai cukup encer) dengan air tawar dari darat”.


Bila kita menggunakan istilah “tertutup” untuk menyatakan salah satu sifat estuaria, maka kita memakainya dalam pengertian relatif, mengingat bahwa derajat ketertutupan merupakan faktor penting yang dapat berubah-ubah. Dengan demikian definisi ini mencakup badan-badan air pesisir dari yang berupa teluk terbuka dengan mulut lebar sampai yang berupa kolam asin yang hampir tertutup dengan saluran penghubung ke laut yang sangat sempit.

Bila dipandang penting untuk membedakan estuaria dengan daerah terbuka untuk tujuan pengelolaan atau perencanaan, disarankan untuk menerapkan “aturan ibu jari” yang berdasarkan pada derajat ketertutupan : suatu badan air pesisir yang tertutup, atau estuaria, adalah suatu perairan yang memiliki panjang garis pantai melebihi tiga kali lebar outlet (saluran air keluar) yang menghubungkan perairan tersebut dengan laut.

Sistem estuaria mencakup basin air (atau basin-basin) dan daerah marjinal (daerah tepi) yang terdapat di sekitar pinggiran basin dan secara musiman terendam oleh air pasang atau hujan lebat. Basin air bisa berupa embayment (tempat di garis pantai yang membentuk teluk), selat, fyord, laguna, kolam asin, atau sungai pasang-surut. Daerah marginal meliputi dataran pasang-surut dan dataran lumpur, rawa bagian bawah (lower wetland), rawa asin pasang-surut dan mangrove, serta rawa bagian atas (upper wetland, yaitu rawa di bagian tanah yang tinggi yang terendam oleh air pasang purnama) terus ke belakang sampai ke batas banjir tahunan (garis banjir satu-tahun), yang merupakan awal dataran banjir.


Tipe Basin Air Estuaria

Mann (1982) menjelaskan bahwa ciri khas estuaria adalah adanya density gradient (perbedaan kepadatan) antara air tawar dan air asin, yang menyebabkan timbulnya pola sirkulasi air yang sangat khas. Sirkulasi ini sangat dipengaruhi oleh bentuk basin estuaria. Dalam hal ini sangat berguna untuk mengenal empat tipe estuaria berdasarkan geomorfologi. Sekitar 20.000 tahun yang lalu atau lebih sejak Jaman Es muka air laut naik cukup tinggi terhadap daratan. Di tempat di mana air laut menggenangi lembah sungai yang ada pada waktu itu ditemukan estuaria dataran pesisir (coastal plain estuary), atau yang lebih tepat disebut “lembah sungai tenggelam”. Di tempat di mana lembah sungai mengalami glasiasi yang parah sehingga terbentuk lereng yang curam, dan endapan glasial tertimbun di mulut lembah, terbentuk estuaria yang disebut fjord, dan dicirikan oleh adanya bukit bawah-air yang menghalangi sirkulasi air di lapisan bawah. Di dataran rendah yang sangat datar, di mana pasir cenderung diendapkan di sekitar penghalang-penghalang yang terletak sejajar dengan pantai, ditemukan “estuaria yang dibentuk oleh penghalang” (bar-built estuary). Terakhir, ada sekelompok estuaria yang terbentuk akibat patahan atau lipatan kulit bumi. Ini dikenal sebagai estuaria tektonik.

Basin air pesisir memiliki keragaman bentuk dan ukuran yang hampir tidak terbatas, tetapi empat tipe yang dibahas berikut ini akan mencakup hampir semua macam basin tersebut. Badan air yang tertutup rapat biasanya mudah dibedakan, mudah dikenal, dan mudah dikelola; bagaimanapun, pembagian laut menjadi unit-unit terpisah dan dapat-ditangani mungkin sangat sulit. Bantuan dari ahli ekologi terlatih biasanya dibutuhkan dalam mengidentifikasi badan air dan dalam memberikan penjelasan terinci mengenai fungsi dan kerentanannya. Dalam hal pengelolaan, estuaria sangat menarik karena daya dukungnya yang tinggi dan kerentanannya – mereka digolongkan di sini sebagai daerah lingkungan kritis. Adapun keempat tipe basin utama tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Sungai pasang-surut (tidal river). Tidal river adalah bagian bawah sungai yang memasuki laut, seringkali melalui sebuah basin estuaria. Bagian pesisir sungai – yang sering menjadi sasaran pengelolaan – melebar sampai ke arah hulu di mana kadar garam dalam air masih cukup tinggi (salinitas 0,5 ppt). Daerah perbatasannya berupa front garam. Bagian berair tawar (salinitas kurang dari 0,5 ppt) biasanya tidak diperhatikan, apalagi bila pasang surut berpengaruh, atau ia dijadikan daerah pengelolaan sekunder. Tidal river mendapatkan air dengan cukup melalui aksi aliran air tawar dan pasang surut, tetapi kedua aksi ini bekerja berlawanan.

2. Teluk (bay). Badan air pesisir, semi tertutup, dengan ukuran lebih besar disebut teluk (untuk sederhananya, ke dalam pengertian in termasuk juga selat). Banyak badan air yang dengan salah disebut teluk sebenarnya adalah embayment atau laguna. Basin air semacam ini seharusnya digolongkan dalam sistem manajamen berdasarkan pada karakteristik alamnya, bukan berdasarkan pada sebutan sehari-hari. Teluk sangat terbuka terhadap laut, pengaruh arus pasang-surut kuat, pergantian air baik melalui aksi pertukaran pasang-surut, dan sirkulasinya sering diperkuat dengan adanya aliran pemasukan air tawar.

3. Embayment. Badan air pesisir terbatas dengan inlet (saluran pemasukan air) sangat sempit namun pemasukan airnya cukup besar disebut embayment. Mereka biasanya memiliki inlet (atau saluran penghubung embayment dan laut) lebih sempit daripada teluk dan umumnya lebih dangkal serta lebih kecil. Embayment biasanya mempunyai amplitudo (perbedaan tinggi rendah) pasang-surut yang relatif rendah, dan sirkulasi air lamban sehingga kecepatan pergantian air rendah, kecuali bila input air tawar besar. Dalam hal ini dan hal lainnya embayment terletak di antara teluk dan laguna.

4. Laguna. Badan air pesisir yang terbatas dengan inlet yang menghubungkannya dengan laut sangat sempit sementara pemasukan air tawar cukup besar disebut laguna. Pergerakan airnya lamban dan rentan terhadap polusi; dengan demikian pertumbuhan dan aktivitas penduduk di sekitar laguna banyak mengurangi daya dukungnya. Komunitas akuatik laguna mungkin sangat berbeda dengan komunitas akuatik basin air lainnya karena salinitasnya yang lebih tinggi dan relatif konstan, pH yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstan, peranan sirkulasi yang kuat tapi berubah-ubah, akumulasi bahan organik di bagian dasar, dan faktor lainnya.


Tipe Sirkulasi Estuaria

Ketiga tipe sirkulasi air estuaria utama dikendalikan oleh gabungan pasang-surut, angin atau struktur geologis. Baik intensitas tenaga pengadukan maupun kecepatan pergantian air basin menentukan produktivitas ekosistem estuaria. Ketiga tipe sirkulasi utama tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sirkulasi estuaria berlapis. Sistem sirkulasi berlapis merupakan ciri khas estuaria dengan pemasukan air tawar banyak. Sirkulasi estuaria berlapis paling sering dijumpai di teluk-teluk yang terbentuk akibat tenggelamnya lembah sungai serta di fyord dan basin-basin air lain yang dalam. Ia timbul karena air laut yang lebih berat mengalir di bawah air tawar yang lebih ringan dan kurang asin (fenomena ini disebut baji garam). Dalam situasi ini, yang umum bagi estuaria dalam dengan gerakan neto air tawar keluar tunggi, air dasar mengalami gerakan neto ke dalam, ke arah bagian atas estuaria. Ini dinyatakan sebagai aliran neto (net flow), di mana pengaruh osilasi (naik turun) pasang-surut diperkecil untuk mendeteksi gerakan maju sisa air aktual pada arah tertentu. Di bawah kondisi yang menguntungkan dua lapisan air bergerak dengan kecepatan cukup tinggi, dengan arah berlawanan, menyebabkan hampir seluruh air pada estuaria berlapis mengalami sirkulasi. Makin tinggi kecepatan masuknya air tawar makin tinggi pula kecepatan arus permukaan yang menuju ke arah luar estuaria (surface outflow) dan kecepatan arus dasar yang masuk ke estuaria (bottom inflow). Kekuatan arus mempengaruhi posisi salt front (batas antara air sungai dan air pesisir) dan dengan demikian menentukan pula lokasi pusat kelimpahan ikan dan mikroorganisme. Pola arus permukaan dan arus dasar yang berlawanan menghasilkan net transport organisme permukaan ke arah luar estuaria dan net transport organisme dasar (bentos) masuk ke dalam estuaria berlapis.


2. Sirkulasi estuaria tak berlapis. Pada tipe estuaria tak berlapis, atau bercampur, gerakan air lebih lamban dan kecepatan pergantian air lebih rendah dibandingkan dengan tipe berlapis. Meskipun demikian sirkulasi airnya cukup baik hingga dapat memberikan daya dukung yang tinggi. Sirkulasi estuaria tak berlapis umum dijumpai pada embayment dangkal dan teluk yang kekurangan pasokan air tawar dari sungai. Kemampuan pergantian air estuaria bercampur ini tergantung pada kombinasi empat variabel : konfigurasi (morfologi) basin, amplitudo pasang surut, pemasukan air tawar dan kekuatan serta arah angin. Arus dua lapis tak lazim terjadi pada sistem tipe laguna atau estuaria dangkal di mana air begitu mudah dan terus menerus teraduk oleh angin dan pasang surut dari permukaan sampai ke dasar hingga ia tidak dapat mempertahankan dua lapisan air yang terpisah.

3. Sirkulasi lagunal. Sirkulasi lagunal memiliki ciri khas berupa gerakan air yang pelan sebagai akibat dari (1) rendahnya input air tawar ke dalam laguna, dan (2) lemahnya pertukaran pasang surut karena sempitnya inlet yang menghubungkan laguna dengan laut. Angin sering menjadi tenaga utama penggerak sirkulasi. Sirkulasi lagunal adalah khas untuk basin tipe lagunal yang tertutup rapat yang tenaga net outflow (dari input air tawar) terlalu kecil untuk memperbesar pengeluaran air. Pada sistem basin tipe laguna faktor utama pembatas produktivitas biologis adalah sirkulasi air. Estuaria (biasanya laguna) dengan sirkulasi lagunal sangat mudah terkena polusi.


Regim Dekat Pantai dan Oseanik

Regim dekat pantai (near shore) mencakup semua perairan asin mulai batas estuaria ke arah laut ditambah bagian wilayah laut yang mengarah ke pantai (secara nominal ia berjarak tiga mil dari pantai). Istilah “inshore” (sekitar pantai) dan “perairan inshore” mempunyai arti yang bervariasi sehingga tidak digunakan di sini dalam pengertian khusus. Keduanya secara umum bisa mencakup estuaria dan sedikitnya mencakup bagian zona near shore.

Regim oseanik (laut lepas) meliputi semua perairan mulai batas wilayah laut sampai ke arah laut.

Pesisir terpapar (exposed coast) adalah front pantai laut (ocean shore front) yang dicirikan oleh adanya formasi batu padat atau deposit pasir berat. Besarnya kapasitas bukit pasir dan “beach berm” (tebing tinggi) dalam menahan pasir menyebabkan mereka menjadi penstabil utama pada front pantai laut berpasir. Gerakan air biasanya cepat, dan pencampuran, pengenceran serta penyebaran limbah berlangsung cepat sepanjang pesisir yang terpapar.

Pesisir terlindung terdapat di tempat-tempat tertentu sepanjang front pantai laut di mana dasarnya melandai dan penghalang pasir lepas pantai terdorong mendekati pantai oleh aksi gelombang, atau terumbu karang membentuk formasi penghalang pada bagian front pantai yang menghadap ke laut. Penghalang pasir atau karang ini menyediakan daerah terlindung di belakangnya di mana ekosistem terlindung ini dalam banyak hal merupakan ciri khas perairan estuaria – di sini tumbuh lamun, kerang hidup subur, dan dijumpai juga daerah asuhan untuk ikan-ikan kecil. Selain itu, ada pesisir “bernergi rendah” (seperti pada pantai Florida barat laut), di mana aksi gelombang sangat berkurang hingga, sekalipun tanpa penghalang lepas pantai, pesisirnya terlindung, air mengalir lebih lamban, dan terbentuk perairan semi estuaria.

Jumat, 12 Oktober 2018

Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton


Perbandingan Ukuran dan Keragaman Spesies Zooplankton di Daerah Tropis dan Daerah Sedang

Fernando (1980) melaporkan bahwa perbandingan fauna zooplankton Cladocera, Copepoda dan Rotifera antara daerah beriklim sedang dan tropis menunjukkan perbedaan yang menyolok dalam hal komposisi ukuran dan keragaman spesies. Ada lebih sedikit spesies dan biasanya berukuran lebih kecil di daerah tropis daripada di daerah sedang baik di utara maupun selatan. Spesies yang lebih besar untuk genus Daphnia dan Simocephalus relatif jarang di daerah tropis, sedangkan anggota-anggota Eurycerus dan Saycia tidak ada. Anggota-anggota famili Holopedidae, Leptodoridae dan Polyphemidae meningkat kelimpahannya ke arah daerah beriklim sedang. Dua kopepoda cyclopoid kecil adalah umum dalam komunitas zooplankton tropis, namun banyak spesies yang lebih besar dan umum di daerah-daerah beriklim sedang tidak ada atau sangat jarang di daerah tropis. Komponen-komponen rotifera utama adalah Keratella tropica dan species dari Brachionus.

Siklus Tahunan Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton Laut

de Puelles et al (2003) mempelajari perubahan musiman biomas, kelimpahan dan komposisi spesies zooplankton di sebuah stasiun neritik di Laut Balearic antara bulan April 1993 dan Mei 1994. Sampling dilakukan setiap 10 hari di sebuah zona yang dipengaruhi oleh arus utama yang bersirkulasi melewati kanal Mallorca. Tiga puncak utama biomas dan kelimpahan zooplankton telah ditemukan : (1) pada awal musim panas ketika termoklin berkembang, (2) pada musim gugur ketika termoklin lenyap, dan (3) pada awal musim semi. Fraksi zooplankton yang lebih kecil (100 – 250 mikron) menyumbangkan rata-rata 32 % dari total biomas dan 73 % dari total kelimpahan. Kopepoda merupakan kelompok yang dominan (64 % dari total kelimpahan) dengan Clausocalanus, Oithona dan Paracalanus sebagai genus-genus paling melimpah. Paracalanus parvus, Clausocalanus furcatus, Acartia clausi, Oithona plumifera, Temora stylifera, Centropages typicus dan Oncaea mediterranea merupakan spesies-spesies yang paling melimpah di daerah ini. Kelompok lain yang melimpah adalah cladocera (15 %) dan larva meroplankton (12 %; meroplankton merupakan plankton-sementara yang bila sudah tumbuh besar tidak menjadi plankton lagi), kedua kelompok ini sangat melimpah selama periode stratifikasi. Komunitas kopepoda dicirikan oleh spesies-spesies yang disebutkan di atas, yang melimpah selama siklus yang dipelajari. Bagaimanapun, pengaruh kondisi hidrologis Laut Balearic, seperti masuknya massa air Atlantik dan struktur fisik kolom air (stratifikasi dan pengadukan) menyebabkan keragaman zooplankton serta mempengaruhi kemunculan spesies-spesies khas selama siklus tahunan.

Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Komposisi Spesies Zooplankton Laut

Coyle et al. (2008) melaporkan bahwa Laut Bering bagian tenggara memiliki sumber daya perikanan terbesar di Amerika Serikat. Populasi ikan dan organisme liar berkembang dengan dukungan jaring-jaring makanan yang menghubungkan produsen primer dengan predator puncak melalui komunitas zooplankton. Perubahan iklim akhir-akhir ini ke arah kondisi yang lebih hangat bisa mengancam sumberdaya tersebut dengan cara mengubah produktivitas dan rantai makanan di dalam ekosistem Laut Bering tenggara. Komunitas zooplankton telah dipelajari di dekat kepulauan Pribilof dan di tengah-tengah paparan benua Laut Bering tenggara pada musim panas 1999 dan 2004 untuk mendokumentasikan perbedaan dan kesamaan dalam hal komposisi spesies, kelimpahan dan biomas antar daerah dan antar tahun. Antara Agustus 1999 dan Agustus 2004, komunitas zooplankton musim panas di tengah-tengah laut paparan benua bergeser dari spesies besar ke spesies kecil. Penurunan yang nyata diamati pada biomas scyphozoa besar (Chrysaora melanaster), kopepoda besar (Calanus marshallae), cacing panah (Sagitta elegans) dan euphausiid (Thysanoessa raschii, Thysanoessa inermis) antara tahun 1999 dan 2004. Sebaliknya, peningkatan kepadatan secara nyata terlihat pada kopepoda kecil (Pseudocalanus spp., Oithona similis) dan hidromedusa kecil (Euphysa flammea) pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999.

Analisis isi perut ikan pollock (Theragra chalcogramma) umur 0 tahun yang ditangkap dari tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan pergeseran makanan dari kopepoda besar ke kecil pada tahun 2004 dibandingkan pada tahun 1999. Pergeseran komunitas zooplankton diikuti oleh peningkatan 3 kali lipat stabilitas kolom air pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999, terutama karena massa air yang lebih hangat di atas termoklin, dengan suhu rata-rata 7,3 °C pada tahun 1999 dan 12,6 °C pada tahun 2004. Peningkatan stabilitas kolom air dan kondisi yang lebih hangat bisa mempengaruhi komposisi zooplankton dengan cara menurunkan produksi primer musim panas dan menseleksi spesies yang lebih toleran terhadap lingkungan hangat oligotrofik (kurang subur). Data suhu dari waktu ke waktu di tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan bahwa kondisi yang lebih hangat pada tahun 2004 merupakan bagian dari kecenderungan pemanasan global, bukannya bagian dari keragaman antar-tahun. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa bila iklim di Laut Bering terus-menerus hangat, maka komunitas zooplankton bisa bergeser dari taksa besar ke taksa kecil dan hal ini sangat berpengaruh terhadap predator puncak dan perekonomian yang didukung oleh predator puncak tersebut.

Variasi Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Estuaria

Lonsdale dan Coull (1977) melaporkan bahwa zooplankton di estuaria North Inlet dekat Georgetown, South Carolina, telah dikumpulkan pada selang waktu dua-minggu dari bulan Januari 1974 sampai Agustus 1975 (20 bulan) di empat stasiun. Jumlah zooplankton berkisar dari 377 sampai 84.414 per m3 (rata-rata = 9.257 per m3) dan biomas dari 640 sampai 140.169 mikrogram berat kering per m3 (rata-rata = 16.178 mikrogram berat kering per m3). Puncak utama kepadatan zooplankton terjadi antara bulan April dan Juli pada kedua tahun. Kopepoda (termasuk tahap-tahap larva) merupakan taksa dominan yang menyusun 64 – 69 % dari total jumlah dan biomas zooplankton. Spesies yang paling umum adalah Parvocalanus crassirostris (Dahl), Acartia tonsa Dana, Oithona colcarva Bowman, dan Euterpina acutifrons (Dana). Nauplius cirripedia merupakan meroplankton yang paling umum yang menyusun 13 % dari total zooplankton selama seluruh periode sampling. Kelompok lain yang penting adalah larva bivalva dan cacing polikhaeta serta larva Oikopleura sp. Perbandingan spesies-spesies utama kopepoda dan periodisitas reproduksi mereka dengan yang dikaporkan dalam literatur menunjukkan bahwa fauna North Inlet paling mirip dengan fauna perairan Florida.

Perubahan Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton di Sekitar Bendungan

Nogueira (2001) mempelajari pola ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam hal distribusi zooplankton di sebuah bendungan tropis besar selama setahun. Zooplankton disampling di 10 stasiun limnetik. Rotifera merupakan kelompok yang paling kaya dalam hal jumlah spesies dan jumlah individu, terutama di zona-zona peralihan sungai-danau. Mereka dominan selama musim panas di sembilan stasiun sampling, dan berkurang pada musim semi. Spesies utamanya adalah Polyarthra vulgaris, Keratella americana, Keratella cochlearis dan Conochilus unicornis. Polyarthra vulgaris tersebar luas. Keratella lebih melimpah di stasiun-stasiun bagian hulu, sementara populasi padat Conochilus unicornis terlihat di sebuah daerah pinggiran yang terlindung. Di antara kopepoda, Calanoida lebih melimpah pada musim semi sedangkan Cyclopoida melimpah pada musim gugur. Tampak adanya fenomena ”longitudinal gradient” (perubahan perlahan-lahan ke arah hulu-hilir) dalam hal hubungan Calanoida/Cyclopoida, dengan Cyclopoida mendominasi stasiun-stasiun sampling di daerah hulu sedangkan Calanoida melimpah di zona-zona danau yang dekat bendungan. Notodiaptomus iheringi, Thermocyclops minutus and Thermocyclops decipiens merupakan spesies-spesies utama. Diaphanosoma birgei, cladocera yang paling banyak, terutama terdapat di zona-zona danau, sedangkan Moina minuta lebih melimpah di stasiun-stasiun sampling di sungai, yang umumnya berasosiasi dengan Bosminopsis deitersi. Puncak-puncak kelimpahan protozoa tintinnid terlihat di zona-zona bagian hulu selama musim panas dan semi.

Daftar Pustaka :

Coyle, K.O., A.I. Pinchuk, L.B. Eisner, J.M. Napp. 2008. Zooplankton Species Composition, Abundance and Biomass on The Eastern Bering Sea Shelf During Summer: The Potential Role of Water-Column Stability and Nutrients in Structuring The Zooplankton Community. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, Vol. 55, Issues 16–17, pp. 1775 – 1791

de Puelles, M. F., D. Grás and S. Hernández-León. 2003. Annual Cycle of Zooplankton Biomass, Abundance and Species Composition in the Neritic Area of the Balearic Sea, Western Mediterranean. Marine Ecology, Vol. 24, Issue 2, pp. 123 – 139

Fernando, C. H. 1980. The Species and Size Composition of Tropical Freshwater Zooplankton with Special Reference to the Oriental Region (South East Asia). Internationale Revue der Gesamten Hydrobiologie und Hydrographie, Vol. 65, Issue 3, pp. 411 – 426

Lonsdale, D.J. and B.C. Coull. 1977. Composition and Seasonality of Zooplankton of North Inlet, South Carolina. Chesapeake Science, Vol. 18, No. 3, pp. 272 - 283

Nogueira, M.G. 2001. Zooplankton Composition, Dominance and Abundance as Indicators of Environmental Compartmentalization in Jurumirim Reservoir (Paranapanema River), São Paulo, Brazil. Hydrobiologia, Vol. 455, No. 1 - 3, pp. 1 - 18

Kamis, 11 Oktober 2018

Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Ikan


Morfologi Otot Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa otot rangka merupakan sistem organ terbesar pada banyak ikan. Pada ikan salmonidae, otot rangka menyumbangkan sampai 60 % dari bobot tubuh, sedikit lebih kecil dibandingkan pada mamalia. Mungkin mengejutkan bahwa otot rangka sebegitu besar pada ikan mengingat ikan tidak memerlukan penyokong-berat dan penyokong-postur seperti pada manusia. Binatang darat tidak terangkat oleh udara dengan derajat yang hampir sama seperti ikan diangkat oleh air. Bahwa sebagian besar otot rangka ikan berfungsi tidak untuk menyokong berat tetapi untuk mendorong merupakan bukti sangat besarnya upaya yang diperlukan oleh ikan perenang cepat.

Smith (1982) menambahkan bahwa walaupun proses-proses molekular dan selular kontraksi otot pada ikan diduga sama dengan pada vertebrata lain, anatomi kasar otot ikan berbeda jauh dengan vertebrata darat yang banyak dibuat preparatnya di laboratorium. Otot vertebrata “khas” melekat langsung pada tulang dengan satu ujung dan meruncing menjadi tendon khas dengan ujung yang lebih mobil (mudah bergerak). Otot ikan, sebaliknya, membentuk lapisan-lapisan vertikal melintang pada kedua sisi rangka aksial dan jarang menempel langsung pada tulang atau tendon yang jelas. Selain itu, lapisan-lapisan melintang (myomer) ini tersusun zigzag dalam arah anterior-posterior (depan-belakang) menjadi bentuk seperti huruf W agak gepeng yang bahkan menjadi lebih gepeng lagi pad bagian yang dekat rangka dibandingkan pada bagian permukaannya. Fungsi bentuk W ini belum sepenuhnya jelas, namun diduga berfungsi memencarkan kontraksi myomer ke hampir sepanjang tubuh ikan, bukan hanya ke sepanjang myomer tersebut. Myosepta (lapisan putih terdiri dari jaringan penghubung yang terletak antar myomer) tampaknya berfungsi sama seperti fungsi tendon, sehingga kemiringan perlekatannya pada rangka mungkin dimaksudkan untuk mengubah kontraksi otot (yang kurang lebih sejajar dengan rangka aksial) menjadi gerak menyamping/melengkung untuk berenang.

Keanekaragaman Bentuk Badan Ikan

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada kelompok binatang utama lain yang bisa menjadi contoh pemencaran adaptif yang lebih baik selain ikan-ikan bertulang sejati. Adaptasi yang dilakukan kelompok ikan ini memungkinkan mereka sesuai untuk hidup di semua habitat perairan kecuali habitat yang memang sangat tidak mendukung. Bentuk badannya sendiri merupakan petunjuk keanekaragaman ikan. Beberapa ikan memiliki bentuk badan fusiform (seperti cerutu) dan mengembangkan adaptasi-adaptasi untuk mengurangi gesekan dengan air. Ikan pelagis predator memiliki badan yang langsing memanjang dengan sirip ekor kuat dan ciri-ciri mekanin lain yang memungkinkannya meluncur cepat. Ikan-ikan pemakan-dasar yang malas bergerak memiliki badan berbentuk gepeng untuk membantu pergerakan dan persembunyiannya di dasar laut. Badan sidat yang panjang merupakan adaptasi agar dapat meliuk-liuk menembus lumpur dan tumbuhan air serta memudahkannya memasuki lubang dan celah. Beberapa ikan, seperti ikan pipa, bentuknya sangat mirip cambuk hingga mereka sering keliru dikira filamen alga laut yang meliuk-liuk terkena arus. Banyak jenis ikan lain dengan bentuk badan yang aneh yang tampkanya merupakan adaptasi pemyamaran atau pengaburan agar tersembunyi dari pemangsa atau agar tidak dikira pemangsa. Contoh-contoh di atas yang masih sedikit ini belum dapat menggambarkan besarnya keaneka ragaman spesialisasi fisiologis dan anatomis untuk tujuan pertahanan diri dan penyerangan, pencarian makanan, navigasi dan reproduksi di berbagai habitat perairan di mana ikan bertulang keras mengadaptasikan diri.

Pengaturan Daya Apung Pada Ikan

Moyle dan Cech (1988) menyatakan bahwa daya apung netral (tanpa bobot) memungkinkan ikan meminimkan kebutuhan energi agar tetap tinggal di kedalaman tertentu untuk mencari makan, bersembunyi, bereproduksi atau bermigrasi. Karena seekor ikan aktif dapat mengeluarkan gaya dorong lebih dari 25 % sampai 50 % berat tubuhnya hanya selama periode yang singkat, maka usaha yang terus-menerus untuk menyokong tubuhnya dengan gerakan otot saja akan sangat membutuhkan banyak energi. Tidak mengherankan, dengan demikian, bahwa berbagai cara untuk memperoleh daya apung netral berkembang pada ikan. Pada dasarnya ada empat strategi untuk mencapai hal ini : (1) pengumpulan sejumlah besar senyawa berdensitas rendah di dalam tubuh; (2) pembangkitan daya angkat dengan membentuk dan membengkokan sirip serta permukaan tubuh selama bergerak maju; (3) mengurangi jaringan yang berat seperti tulang dan otot; dan (4) memanfaatkan gelembung renang sebagai ruang penampung gas berdensitas rendah.

Penggunaan senyawa berdensitas rendah untuk mengurangi densitas total tubuh merupakan ciri khas kebanyakan ikan hiu dan beberapa jenis teleostei. Pada banyak jenis hiu sejumlah besar lipida (berat jenis 0,90 – 0,92) dan senyawa hidrokarbon squalen (berat jenis 0,86) ditemukan terutama dalam hatinya yang besar sehingga seluruh tubuhnya mendekati daya apung netral dalam air laut (1,026). Lagi pula, bentuk sirip ekor hiu yang heteroserkal (belahan sirip ekor atas lebih panjang daripada belahan bawah) bersama dengan pembengkokan sirip dada dan permukaan kepala ke atas memberikan daya angkat tambahan ketika ia berenang. Hambatan hidrodinamik diminimkan pada ikan hiu yang lebih bersifat pelagis, yang memiliki sirip relatif lebih kecil dan hati berlemak yang relatif lebih besar (Moyle dan Cech, 1988).
Referensi :

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Moyle, P.B. and J.J. Cech. 1988. Fishes, An Introduction to Ichthyology. Prentice Hall. New Jersey. 559 pp.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Rabu, 10 Oktober 2018

Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)


Makroinvertebrata Yang Berasosiasi Dengan Eceng Gondok

Bailey and Litterick (1993) melaporkan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) membentuk hamparan lebat yang hampir ada di mana-mana di habitat perairan terbuka di rawa permanen Sudd, Sudan. Di sebuah danau-sungai yang khas, hamparan ini memiliki lebar yang bervariasi antara 9 dan 16 meter dan biomas tumbuhan terbanyak berada di tengah. Jumlah terbanyak makroinvertebrata dalam massa akar eceng gondok ditemukan pada sampel perangkap-jatuh dan didominasi oleh coleoptera (kumbang), odonata, gastropoda dan udang Caridina nilotica. Tepi terluar hamparan eceng gondok ini menyediakan habitat yang mudah dicapai, konsentrasi oksigen terlarut yang cukup dan berbagai sumber makanan potensial bagi invertebrata air. Sebaliknya, zona dekat-darat yang kurang dapat dihuni memiliki lebih sedikit fauna di mana coleoptera, hydracarina dan gastropoda dominan. Pengurangan yang menyolok dalam hal jumlah invertebrata pada sampel jaring angkat dari hamparan eceng gondok disebabkan karena dimangsa ikan. Massa akar eceng gondok tampaknya menggantikan niche yang semula disediakan oleh massa akar kubis Nil bagi invertebrata air ini.

Pengendalian Eceng Gondok Dengan Kumbang Air

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa salah satu tumbuhan air yang diintroduksikan ke Australia adalah eceng ondok (Eichhornia crassipes), yang merupakan tumbuhan-mengapung yang paling berhasil di dunia. Sebagai contoh, tiga individu eceng gondok bisa memproduksi 3.000 individu baru dalam waktu 50 hari. Mereka mengkoloni perairan sedemikian hingga membatasi gerakan perahu, menyumbat pipa pompa dan saluran irigasi serta secara nyata mengubah kualitas air dengan menghalangi pemasukan cahaya ke kolom air dan menghabiskan oksigen terlarut di bawah permukaan air. Eceng gondok di Ausralia pertama kali dilaporkan pada tahun 1895 dari Botanical Gardens di Brisbane. Keberhasilan pengendalian eceng gondok telah dicapai di beberapa bagian Australia dengan memanfaatkan kumbang weevil Amerika Selatan (Neochetina eichhorniae). Kumbang Neochetina bruchi baru-baru ini dilepaskan untuk membantu pengendalian eceng gondok dan kini kumbang tersebut telah mapan.

Toleransi Salinitas dan Kemampuan Eceng Gondok Menyingkirkan Nitrogen Dari Perairan

Vejar P. et al. (1991) menunjukkan bahwa nitrogen merupakan zat hara pembatas pertumbuhan paling penting bagi eceng gondok Eichhornia crassipes (Mart.) Solms yang dipelihara pada kondisi laboratorium sejak berbunga sampai awal kondisi dorman (tak aktif) musim dingin. Spesies ini telah terbukti dapat bertindak sebagai agen biologis penyingkir nitrogen dari perairan dengan hasil 24,0 mg (berat kering)/mg N-NO3-/liter. Percobaan yang dilakukan pada berbagai salinitas menunjukkan bahwa Eichhornia crassipes dapat mentolerir salinitas sampai sekitar 7,5 gram/liter natrium klorida.

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menyingkirkan dan Mengurangi Daya Racun Merkuri

James et al. (1992) mempelajari pengaruh konsentrasi air raksa subletal terhadap transformasi makanan pada ikan Heteropneustes fossilis dan peranan eceng gondok Eichhornia crassipes dalam mengurangi daya racun logam merkuri ini. Nilai LC-50 96 jam untuk air raksa adalah 0,099 ppm. Konsentrasi subletal air raksa secara nyata menurunkan laju makan, penyerapan, konversi dan metabolisme. Binatang yang terpapar terhadap 0,03 ppm air raksa dan air raksa + eceng gondok mengkonsumsi makanan 48 dan 45 % lebih sedikit, berturut-turut, daripada binatang yang dipelihara di dalam air bebas-merkuri. Binatang kontrol menghabiskan 65 % energi makanan yang dikonsumsi untuk metabolisme dan nilai ini meningkat menjadi 75 dan 70 % pada binatang yang terpapar air raksa dan air raksa + eceng gondok, berturut-turut. Efisiensi untuk mengkonversi energi makanan menjadi jaringan tubuh berkurang sampai maksimum 65 % pada ikan yang terpapar air raksa saja dan 48 % pada ikan yang terpapar air raksa + eceng gondok, bila dibandingkan dengan ikan kontrol. Penurunan pertumbuhan pada ikan Heteropneustes fossilis mungkin disebabkan penurunan laju penelanan makanan, efisiensi konversi makanan yang rendah, dan tingginya bagian energi makanan yang dihabiskan untuk metabolisme. Bagaimanapun, ikan yang terpapar air aksa + eceng gondok menunjukkan dengan jelas perbaikan parameter-parameter transformasi makanan dibandingkan pada ikan yang terpapar air raksa saja. Eichhornia crassipes diduga banyak menyingkirkan air raksa dari medium uji dan dengan demikian secara tidak langsung mengurangi daya racun logam berat ini bagi binatang uji. Konsentrasi klorofil Eichhornia crassipes menunjukkan penurunan secara perlahan-lahan akibat meningkatnya konsentrasi air raksa.

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menghilangkan Zat Hara Anorganik dan Mengurangi Fitoplankton

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai kemungkinan pembudidayaan spesies-spesies tumbuhan air tertentu dalam sistem perairan eutrofik untuk menghilangkan zat hara anorganik dan membatasi pertumbuhan fitoplankton. Telah dibuktikan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) menyerap rata-rata 3,4 kg/ha nitrogen dan 0,34 kg/ha fosfor per hari selama pertumbuhan yang cepat. Telah dilakukan penelitian di mana luas penutupan perairan oleh eceng gondok sebesar 0, 5, 10 dan 25 % dari luas permukaan kolam yang kaya zat hara di Auburn, Alabama. Kelimpahan fitoplankton adalah lebih rendah di kolam yang luas penutupan eceng gondoknya 10 dan 25 % daripada di kolam yang luas penutupannya 0 dan 5 %. Persaingan antara eceng gondok dengan fitoplankton melibatkan penaungan dan pengambilan zat hara. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan eceng gondok dan makrofita air lainnya untuk mengurangi fitoplankton di kolam budidaya ikan intensif bisa diterapkan secara praktis.

Daftar Pustaka :

Bailey, R.G. and M.R. Litterick. 1993. The Macroinvertebrate Fauna of Water Hyacinth Fringes in The Sudd Swamps (River Nile, Southern Sudan). Hydrobiologia, vol. 250, no. 2, pp. 97 – 103

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries .1999. Our Inland Wetlands. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 23 pp.

James, R., K. Sampath, V. Jancy Pattun and G. Devakiamma. 1992. Utilization of Eichhornia crassipes for The Reduction of Mercury Toxicity on Food Transformation in Heteropneutes fossilis. Journal of Aquaculture Tropica, vol. 7, no. 2, pp. 189 – 196, ISSN 0970-0846

Vejar P., M., V. Dellarossa, V. and J. Cespedes. 1991. Mineral Nutrition and Yield Coefficient in Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. BOL. SOC. BIOL. CONCEPTION, no. 62, pp. 189 – 193, ISSN 0037-850X

Selasa, 09 Oktober 2018

Kematian Masal Ikan


Penyebab Kematian Masal Pada Ikan

Abdelaziz dan Zaki (2010) membahas hasil-hasil penelitian tentang kematian masal ikan. Bencana lingkungan kematian masal populasi ikan di perairan alami terjadi akibat sejumlah masalah lingkungan, seperti keracunan akut yang ditimbulkan oleh pengunaan garam-garam sianida dalam perikanan ilegal, infeksi oleh virus, jamur dan bakteri, pasang merah, perubahan suhu secara mendadak, penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara ekstrim dan peningkatan konsentrasi amonia sampai melebihi ambang batas toleransi spesies organisme akuatik. Selain itu, kematian masal ikan juga bisa disebabkan oleh adanya saponin, glikosida hemolitik dalam air. Kematian masal ikan akibat virus telah dipublikasikan; virus herpes telah diisolasi dari ikan mas dewasa, Cyprinus carpio, yang mengalami kematian masal. Juga, kematian masal ikan kerapu (Epinephelus septemfasciatus), ikan red drum (Sciaenops ocellatus) dan ikan kakap (Lates calcarifer) akibat nodavirus telah ditemukan. Lebih lanjut, ada laporan bencana kematian pada populasi ikan karper budidaya dan karper liar akibat virus herpes cyprinidae 3 (CyHV-3). Ledakan populasi bakteri Hemidiscus hardmannianus (Bacilariophyceae) dilaporkan berkaitan dengan kematian masal ikan. Juga, kematian masal ikan akibat cyanobakteri di perairan di Spanyol telah didokumentasi. Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan kematian masal ikan nila Oreochromis niloticus di seluruh dunia. Beberapa kasus kematian masal akut pada tahap produksi ikan brook trout, brown trout dan rainbow trout dalam kultur ikan intensif telah dilaporkan di Michigan, USA. Kematian akibat jamur pernah terjadi pada bulan Januari 2001 setelah cuaca dingin yang sangat buruk, di mana kematian masal akibat jamur Saprolegnia parasitica dialami oleh anak ikan nila Oreochromis niloticus pada kolam budidaya semi intensif di delta Nil.

Kejadian Kematian Masal Ikan di Perairan

Laws (2000) menyatakan bahwa kematian ikan skala besar, pada beberapa kasus melibatkan ratusan ribu atau bahkah jutaan ikan, mungkin merupakan dampak paling dramatis dan paling banyak dipublikasikan akibat kehabisan oksigen yang berkaitan dengan eutrofikasi. Fluktuasi musiman konsentrasi oksigen tidak mungkin berakibat kematian mendadak sejumlah besar organisme karena penurunan konsentrasi oksigen musiman berlangsung secara bertahap. Pada kasus seperti ini, organisme lebih mungkin mati karena ketidakmampuannya untuk berfungsi secara efisien (misal tidak mampu meloloskan diri dari pemangsa, mencari makanan atau bereproduksi) daripada karena mati lemas. Adalah mungkin, bagaimanapun, dalam perairan yang sangat produktif konsentrasi oksigen berfluktuasi dari kondisi jenuh atau superjenuh selama siang hari ke kondisi hampir nol pada malam hari. Banyak contoh kolam budidaya ikan yang berpotensi menunjukkan perilaku seperti ini, tetapi masalah serupa juga bisa berkembang pada sistem perairan yang lebih alami yang mengalami dampak serius akibat eutrofikasi. Bila konsentrasi fitoplankton dalam air sangat padat, dapat diharapkan bahwa herbivora, karnivora primer, dan organisme dengan tingkat trofik lebih tinggi juga akan melimpah karena organisme secara alami tertarik pada sumber makanan. Bila situasi ini berkembang dalam sistem perairan terbuka, dan bila konsentrasi oksigen turun sampai tingkat rendah yang berbahaya pada malam hari, semua organisme yang dapat bergerak akan segera mencoba meninggalkan daerah tersebut, dan usaha ini kebanyakan akan berhasil sepanjang ada banyak kesempatan untuk meloloskan diri. Kematian organisme air skala besar, bagaimanapun, bisa terjadi di perairan yang jalur untuk melarikan dirinya terbatas. Pada badan perairan yang terisolasi dan sangat eutrofik seperti ini, sangat banyak organisme yang tertarik oleh melimpahnya makanan selama siang hari ketika konsentrasi oksigen tinggi. Pada malam hari respirasi semua organisme ini bisa menghabiskan oksigen dalam air, dan organisme yang tidak dapat menemukan jalan keluar dari perairan akan mati lemas. Sistem ini pastilah sangat eutrofik agar situasi tersebut bisa berkembang, tetapi tidak diragukan bahwa kematian organisme air skala besar seperti ini terjadi dari waktu ke waktu di beberapa sistem perairan.

Dapatkah Aerasi Menyelamatkan Ikan Ketika Terjadi Kematian Masal ?

Boyd (1982) mengutip hasil penelitian mengenai aerasi sebuah kolam ikan channel catfish seluas 1,4 ha dengan total 0,96 m3/menit udara yang dipadatkan yang dilepaskan melalui 25 alat pendifusi yang ada di atas dasar kolam. Kolam ditebari sangat banyak ikan dan diberi pakan dalam jumlah besar. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan sangat bagus pada kondisi cuaca normal. Bagaimanapun, kepadatan planktonnya tinggi sebagai akibat tingginya tingkat pemberian pakan, dan banyak ikan yang mati selama satu periode cuaca berawan yang berkepanjangan di bulan September – hanya beberapa minggu sebelum ikan akan dipanen. Secara kebetulan sistem aerasi dioperasikan pada kapasitas penuh ketika terjadi kematian ikan. Sistem aerasi saja tidak cukup untuk memasok oksigen yang diperlukan biota kolam ketika laju fotosintesis rendah.

Kematian Masal Ikan Nila Akibat Limbah Pabrik

Abdelaziz dan Zaki (2010) mempelajari kematian masal ikan nila (Oreochromis niloticus) di Kanal Mariotia, salah satu anak Sungai Nil, yang melintasi sejumlah kota di Giza, Mesir. Kematian masal serta kesulitas bernafas pada ikan terjadi di daerah sepanjang 4 km di Kanal Mariotia. Zona bencana meluas dari kota Shabramant sampai Aboseer dan diduga beberapa ton ikan nila mati. Secara klinis, ikan yang mati masal menunjukkan gejala-gejala khas asphyxia (sesak nafas). Perlu ditekankan bahwa kesulitan bernafas terutama terjadi pada ikan kecil, dan kebanyakan ikan yang mati masal terbatas pada individu yang berukuran besar. Kasus kematian masal ikan yang serupa pernah terjadi 3 tahun lalu, tetapi jumlah ikan yang mati lebih sedikit. Analisis data lapangan dan penelitian laboratorium menghasilkan kesimpulan bahwa bahan kimia organik dan non organik hasil samping dari pabrik gula Elhawamdia yang mencemari Kanal Mariotia merupakan penyebab utama bencana lingkungan ini. Pengujian sampel air secara fisika dan kimia menunjukkan adanya warna air yang tidak normal, tingginya konsentrasi amonia, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan juga keberadaan fenol dan hidrokarbon polisiklik aromatik. Jadi, disimpulkan bahwa kondisi kimia air sungai yang tidak normal menyebabkan kesulitan bernafas yang parah pada ikan nila yang berakibat terjadinya kematian masal.

Referensi :

Abdelaziz, M.A. and Zaki, M.M. 2010. . Investigation of Mass Mortality Problem of Oreochromis niloticus in Mariotia Channel in Egypt. World Journal of Fish and Marine Sciences, Vol. 2, no. 5, pp. 461-470

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.

Laws, E.A. 2000. Aquatic Pollution : An Introductory Text. 3rd ed. John Wiley & Sons. New York

Senin, 08 Oktober 2018

Mana Yang Lebih Cepat Tumbuh : Individu Jantan atau Betina ?


Lobster Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Lobster Betina

Jong (1993) memelihara spiny lobster Panulirus homarus jantan dan betina secara bersama-sama kemudian memisahkannya untuk mempelajari pengaruh jenis kelamin terhadap pertumbuhan dan reproduksi. Pada pemeliharaan kedua jenis kelamin bersama-sama menunjukkan aktivitas reproduksi yang lebih tinggi dan laju pertumbuhan lebih rendah daripada bila kedua jenis kelamin dipelihara terpisah. Lobster jantan tumbuh lebih cepat daripada lobster betina bila dipelihara terpisah. Lobster jantan juga tumbuh lebih cepat daripada individu betina ketika dipelihara bersama-sama, yakni laju pertumbuhannya sama dengan laju pertumbuhan lobster betina yang dipelihara terpisah. Berbagai rasio jenis kelamin di alam bisa menyebabkan perbedaan tingkat keberhasilan reproduksi dan pertumbuhan lobster.

Udang Windu Betina Tumbuh Lebih Cepat Daripada Udang Jantan

Perkembangan industri budidaya udang windu Australia di masa depan akan tergantung pada penurunan biaya produksi. Sebagian besar perbaikan ini bisa dicapai melalui teknik pengelolaan kolam yang lebih baik. Bagaimanapun, produkvititas bisa lebih banyak ditingkatkan dengan memanfaatkan sifat bawaan udang betina yang tumbuh lebih cepat dibandingkan udang jantan (Anonymous, 1991).

Jenis Kelamin Tidak Mempengaruhi Pertumbuhan Siput Astrea

Guanes Mercado dan Torres Moye (1991) mempelajari pertumbuhan siput Astrea turbanica di Teluk Todos Santos, Meksiko. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan melihat garis-garis pada tutup cangkang (operculum); hubungan antara ukuran dan umur diduga untuk siput jantan dan betina. Pertumbuhan Astrea turbanica adalah sama untuk kedua jenis kelamin sampai tahun kelima.

Perbedaan Karakteristik Pertumbuhan Akibat Perbedaan Jenis Kelamin Ikan

Joung dan Chen (1992) menentukan umur dan pertumbuhan 1.172 ekor ikan mata besar Priacanthus macracanthus yang ditangkap dengan trawl-dasar di perairan Taiwan timur laut dari bulan September 1981 sampai Agustus 1982. Zona-zona (jalur-jalur) istirahat pada sisik terbentuk dua kali setahun, pada bulan Februari dan Agustus. Parameter kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang diperoleh menggunakan regresi non linier berdasarkan data umur dan penghitungan-mundur adalah sebagai berikut : pertumbuhan asimptot (L∞) = 620 mm panjang cagak (fork length), koefisien pertumbuhan (K) = 0,088, umur ketika panjang nol (to) = -1,05 tahun untuk ikan betina; dan L∞ = 482 mm panjang cagak, K = 0,113, to = - 0,75 untuk ikan jantan. Laju pertumbuhan ikan betina diduga adalah 102 mm untuk tahun pertama, 44 mm untuk tahun kedua, 40 mm untuk tahun ketiga dan 37 mm untuk tahun keempat; laju pertumbuhan ikan jantan adalah 112 mm untuk tahun pertama, 40 mm untuk tahun kedua, 35 mm untuk tahun ketiga dan 32 mm untuk tahun keempat.

Ikan Lele India Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Ikan Betina

Devi et al. (1990) menentukan umur 224 ekor ikan lele India (Rita rita) dengan menghitung zona bening pada tulang tutup insang dan otolit. Penghitungan-mundur pertumbuhan tahunan ikan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan absolut ikan betina lebih baik dibandingkan pada ikan jantan sampai tahun ketiga. Dari tahun keempat dan seterusnya pertumbuhan ikan jantan melebihi pertumbuhan ikan betina.

Ikan Kakap Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Ikan Betina

McPherson dan Squire (1992) dengan menggunakan otolit utuh menentukan umur ikan kakap Lutjanus sebae, Lutjanus malabaricus dan Lutjanus erythropterus dari perairan Great Barrier Reef, Australia. Ada perbedaan nyata di antara jenis-jenis kelamin untuk beberapa parameter pertumbuhan von Bertalanffy dan panjang ikan-ikan tua. Secara umum, ikan jantan tumbuh lebih cepat daripada ikan betina pada kelas umur tua, tampaknya setelah mencapai kematangan gonad.

Populasi Ikan Trout Semua-Betina Lebih Cepat Tumbuh

Bastardo dan Sofia B. (2003) melakukan penelitian di Stasiun Penelitian La Mucuy dekat Mérida, Venezuela. Air di perairan ini berasal dari glasier. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi pertumbuhan populasi ikan trout semua-betina dan populasi campuran jantan-betina. Populasi ikan trout semua-betina merupakan kelompok percobaan, sedang kelompok kontrol diwakili oleh ikan-ikan hasil persilangan antara jantan normal dan betina normal. Rata-rata pertumbuhan dan panjang total ikan trout semua-betina adalah 106.92 gram dan 17.33 cm (n = 1440), berturut-turut. Kelompok kontrol mencapai nilai berat dan panjang badan 58.77 gram dan 14.37 cm, berturut-turut. Berat dan panjang ikan trout semua-betina secara nyata lebih besar daripada kelompok kontrol (P<0.05). Pertumbuhan ikan trout semua-betina dan kelompok kontrol menunjukkan kemiripan selama bulan-bulan pertama percobaan, tetapi perbedaan tampak setelah 207 hari. Pertumbuhan kelompok percobaan adalah 43.57% lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Ikan trout semua-betina menyediakan material yang menjanjikan untuk budidaya ikan trout karena keunggulan pertumbuhannya dibandingkan ikan trout campuran jantan-betina yang biasa dipelihara dalam sistem budidaya tradisional di Venezuela

Daftar Pustaka :

Anonymous. 1991. More Females in Prawn Ponds Could Cut Production Costs. Australian Fisheries, vol. 50, no. 10, pp. 32 - 34

Bastardo, H.R. and S.B. Sofía B. 2003. Growth of All-Female And Mixed Sex Trout in A Venezuelan Fish Hatchery. Zootecnia Tropical, Vol. 21, No. 1, pp. 17-26, ISSN: 0798-7269

Devi, N.T., M.S. Siddiqqui and S. Anwar. 1990. The Age and Growth of Catfish Rita rita (Ham.) From The River Yamuna in North India. Journal of Indian Fisheries Association, vol. 20, pp. 37 - 41

Guanes Mercado, R.J. and Torres Moye, G. 1991. Growth of The Sea Snail Astrea turbanica Dall (Mollusca : Gastropoda) at Todos Santos Bay, B.C. Mexico. SER. CIENC. MAR., vol. 2, no. 1, pp. 73 – 81

Jong, K.-J. 1993. Growth of he Spinny Lobster Panulirus homarus (Linnaeus, 1758), Depending on Sex and Influenced by Reproduction (Decapoda, Palinuridae). Crustaceana, vol. 64, no. 1, pp. 18 – 23, ISSN 0011-216X

Joung, S.-J. and C.-T. Chen. 1992. Age and Growth of The Big Eye Priacanthus macracanthus From The Surrounding Water of Guel-Shan Island, Taiwan. Nippon Suisan Gakkaishi, vol. 58, no. 4, pp. 601 – 609, ISSN 0021-5392

McPherson, G.R. and L. Squire. 1992. Age and Growth of Three Dominant Lutjanus Species of The Great Barrier Reef Inter-Reef Fishery, Asian Fisheries Sciences, vol. 5, no. 1, pp. 25 - 36

Sabtu, 06 Oktober 2018

Aedes : Habitat, Ekdison dan Daya Tahan Terhadap Insektisida


Keberadaan Aedes di Hutan Bakau

Macnae (1968) mengamati ekologi nyamuk Aedes di dalam hutan bakau. Ia melaporkan bahwa keberadaan serangga penggigit menyulitkan penelitian di daerah bakau, karena gigitannya menyakitkan dan bisa menimbulkan reaksi keras pada orang yang digigit. Nyamuk sering sangat banyak sekali. Di hutan bakau di Darwin, Australia, pada Januari 1962, lebih dari delapan puluh ekor nyamuk, diduga Aedes vigilax (Skuse), hinggap di lengannya yang terbuka dalam waktu dua menit. Tingkat kelimpahan ini tidak wajar. Banyak nyamuk yang berasosiasi dengan hutan bakau memiliki kebiasan berkembang biak yang aneh. Sebagai contoh Aedes pembaensis (Theobald), yang umum dijumpai di Teluk Lourenzo Marques ke arah utara pesisir Afrika, meletakkan telurnya di cangkang kepiting Sesarma meinerti dan larva menetas serta berkembang menjadi dewasa di genangan air di kaki liang yang dihuni oleh kepiting itu. Larva dan kepompongnya berwarna pucat.

Tempat Bertelur Nyamuk Aedes

Beehler et al. (1992) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan telur pada nyamuk Aedes triseriatus. Kelima faktor tersebut mencakup air yang pernah diteluri, keberadaan bahan organik busuk, wadah air gelap, air bekas media pemeliharaan larva Aedes triseriatus sampai fase ke-4, dan keberadaan telur pada substrat kayu balsa. Analisis regresi menunjukkan bahwa air yang pernah diteluri dan keberadaan telur pada substrat secara nyata menarik nyamuk betina Aedes triseriatus untuk meletakkan telurnya.

Habitat Larva Nyamuk Aedes

Samarawickrema et al. (1993) melaporkan bahwa dalam rangka program pengendalian penyakit filariasis di Samoa, selama tahun 1978 survei bulanan terhadap larva nyamuk vektor penyakit tersebut, yaitu Aedes polynesiensis, telah dilakukan di empat desa di pulau utama Upolu. Survei yang lebih ekstensif terhadap distribusi habitat larva kemudian dilakukan di 22 desa di Upolu dan 18 desa di pulau Savai’i, untuk menentukan arti penting tipe habitat menurut kelimpahannya dan volume air serta apakah produktivitas mereka bersifat permanen atau musiman. Kepadatan larva dan distribusi habitat Aedes aegypti juga dipantau dan keberadaan larva pemangsanya, Toxorhynchites amboinensis, di Upolu utara dicatat dari 41 koleksi. Kelimpahan lava Aedes berfluktuasi sesuai dengan pola curah hujan di dua desa pantai dan di sebuah desa pedalaman yang penuh-belukar, tetapi tidak di desa perkebunan kelapa. Lima tipe utama habitat larva Aedes telah dijumpai : drum penyimpan air 200 liter, botol dan kaleng bekas, batok kelapa, ban mobil dan lubang-lubang pohon. Aedes pra dewasa selalu ditemukan di dalam drum dan lubang pohon, tetapi pemijahan nyamuk bersifat terputus di dalam kaleng, botol dan batok kelapa selama bulan Juli yang kering.

Fluktuasi Konsentrasi Hormon Ekdisteroid

Whisenton et al. (1989) mempelajari fluktuasi konsentrasi hormon ecdysteroid selama perkembangan pupa sampai dewasa pada nyamuk Aedes aegypti. Ekdisteroid adalah hormon-hormon steroid yang terutama bertanggung jawab atas ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga. Pada nyamuk, telah banyak diketahui peranannya dalam mengendalikan perkembangan ovari individu dewasa, namun pada dasarnya belum diketahui peranannya dalam mengendalikan perkembangan pasca embryo diptera. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa perubahan kuantitatif dan kualitatif konsentrasi ekdisteorid selama perkembangan pupa-dewasa nyamuk demam kuning, Aedes aegypti, adalah berhubungan dengan “sexual dimorphisme” pada saat nyamuk dewasa menetas dari kepompong. (Catatan : “sexual dimorphisme” berarti individu jantan dan betina memiliki bentuk yang berbeda). Selama perkembangan ini, konsentrasi ekdisteroid mencapai maksimum sebanyak satu kali pada Aedes jantan maupun betina. Puncak konsentrasi pada jantan (sekitar 220 pikogram ekdison ekuivalen per mg), adalah kira-kira 1,5 kali lebih banyak dibandingkan pada betina (sekitar 150 pikogram ekdison ekuivalen per mg), dan terjadi kira-kira 4 jam lebih awal. Akibatnya, nyamuk jantan menetas kira-kira 12 jam lebih dulu daripada betina. Ekdisteorid yang ada dalam tubuh nyamuk jantan dan betina mencakup ekdison, 20-hidroksiekdison, 26-hidroksiekdison dan 20, 26-dihidroksiekdison serta metabolit-metabolit polar. Jumlah relatif ekdistroid-ekdisteroid ini beserta senyawa-senyawa terkait adalah berfluktuasi selama perkembangan, dan pada dasarnya sama untuk jantan dan betina. Bila konsentrasi ekdisteroid total dihitung relatif terhadap reaktivitas-silang radioimunesei ekdisteroid yang ada maka tidak ada perbedaan seksual kuantitatif. Dengan demikian, tampak bahwa dimorfisme seksual dalam perkembangan Aedes mungkin disebabkan oleh perbedaan sementara konsentrasi ekdisteroid terkait.

Daya Racun Lima Jenis Insektisida Terhadap Larva Aedes aegypti

Parsons dan Surgeoner (1991) menentukan daya racun akut lima jenis insektisida (permetrin teknis, permetrin mikrokapsul, fenitrotion, karbaril dan karbofuran) terhadap fase-ketiga Aedes aegypti yang dipaparkan dua kali masing-masing selama 1 jam. Daya racun akut dua pemaparan 1-jam terhadap senyawa-senyawa ini, masing-masing diselingi dengan periode bebas-pestisida selama 6 jam, dibandingkan dengan hasil pemaparan 2-jam terus-menerus. Daya racun akut dinyatakan sebagai nilai LC 50 berdasarkan kelangsungan hidup sampai tahap dewasa. LC 50 untuk dua pemaparan 1-jam terhadap permetrin mikrokapsul (180 mikrogram/liter) secara nyata lebih rendah daripada nilai LC 50 untuk pemaparan 2-jam terus-menerus (250 mikrogram/liter). Tidak ada perbedaan nyata antara nilai-nilai LC 50 untuk dua pemaparan 1-jam dan pemaparan 2 jam terus menerus pada permetrin teknis (2,03 – 2,32 mikrogram/liter), fenitrotion (49,4 – 48,8 mikrogram/liter), karbaril (3.040 – 3.470 mikrogram/liter) dan karbofuran (1.590 – 2.130 mikrogram/liter). Penambahan selang waktu antar dua pemaparan 1-jam untuk karbaril dari 6 menjadi 24 jam tidak mempengaruhi secara nyata daya racun akut (nilai LC 50 selang waktu 6 jam dan 24 jam adalah 3,0 mg/liter dan 3,8 mg/liter, berturut-turut). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes aegypti tidak pulih dari keracunan insektisida selama periode bebas-pestisida antar pemaparan.

Efisiensi Xanthan Dalam Membasmi Aedes

Pittendrigh and Zacharuk (1992) melakukan evaluasi laboratorium terhadap bubuk xanthan dalam mengendalikan nyamuk Aedes atropalpus (Diptera : Culicidae). Bubuk getah xanthan, yang merupakan agen potensial pengendali nyamuk, ditaburkan pada permukaan air yang menggenang dalam nampan laboratorium untuk menentukan efisiensinya dalam membunuh pupa Aedes atropalpus (Coquillett). Nilai ED-50 getah xanthan adalah 6,18 gram/m2 , dengan nilai LT-50 14,2 menit. Bila getah xanthan dberikan sebanyak 22,47 gram/m2, maka kedalaman air tidak mempengaruhi mortalitas pupa. Lapisan permukaan xanthan mencegah pupa mencapai bidang batas udara-air. Lapisan ini tidak secara nyata menurunkan konsentrasi oksigen terlarut di nampan uji.

Daftar Pustaka :

Beehler, J., S. Lohr and G. Defoliart. 1992. Factors Influencing Oviposition in Aedes triseriatus (Diptera : Culicidae). Great Lakes Entomology, vol. 25, no. 4, pp. 259 - 264

Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna And Flora of Mangrove Swamps and Forests in The Indo-West-Pacific Region. Advances in Marine Biology. Vol. 6, pp. 73 – 270

Parsons, J.T. and G.A. Surgeoner. 1991. Acute Toxicities of Permethrin, Fenitrothion, Carbaryl and Carbofuran to Mosquito Larvae During Single- or Multiple-Pulse Exposures. Environmental Toxicology and Chemistry, vol. 10, no. 9, pp. 1229 - 1233

Pittendrigh, B.R. and R.Y. Zacharuk . 1992. Laboratory Evaluation of Xanthan Gum for The Control of Aedes atropalpus (Diptera : Culicidae). Environmental Entomology, vol. 21, no. 6, pp. 1267 – 1270

Samarawickrema, W.A., F. Sone, E. Kimura, L.S. Self, R.F. Cummings and G.S. Paulson. 1993. The Relatif Importance and Distribution of Aedes polynesiensis and Aedes aegypti Larval Habitats in Samoa. Medical Veterinary and Entomology, vol. 7, no. 1, pp. 27 – 36, ISSN 0269-283X

Whisenton, L.R., J.T. Warren, M.K. Manning and W.E. Bollenbacher. 1989. Ecdysteroid Titres During Pupal-Adult Development of Aedes aegypti : Basis for A Sexual Dimorphism in The Rate of Development. Journal of Insect Physiology, vol. 35, no. 1, pp. 67 - 73

Jumat, 05 Oktober 2018

Habitat, Distribusi dan Migrasi Lobster Batu

Habitat dan Distribusi Lobster Batu

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa lobster batu (Panulirus spp.) terdapat di mana-mana pada substrat keras di laut-laut tropis dan merupakan bagian penting fauna terumbu karang, dengan sifat ekologis mirip seperti kerabatnya yang hidup di daerah sub tropis (Jasus dan Palinurus). Meskipun tersebar luas, pusat-pusat kelimpahan yang komersial agak jarang dijumpai, dan jumlah spesies yang melimpah di setiap daerah tidak banyak, sehingga hanya sekitar 11 spesies yang menjadi komponen utama semua hasil tangkapan lobster batu tropis. Panulirus longipes, P. ornatus, P. penicillatus dan P. versicolor menghuni terumbu karang dari Mozambique sampai Laut Merah dan Teluk Aden, yang mencakup juga pulau-pulau Mascarene. Di Pasifik barat, dua spesies (Panulirus cygnus dan P. versicolor) terdapat di sekitar Australia dan pulau-pulau di sekitarnya. Spesies yang sama, bersama-sama dengan Panulirus penicillatus, ditemukan hampir di seluruh Pasifik tengah, namun Panulirus marginatus mendominasi Hawaii. Di Pasifik timur, Panulirus inflatus tropis terdapat di sebelah selatan daerah distribusi P. interruptus California, dan kisarannya sampai mencapai daerah upwelling Peru. Di Atlantik, Panulirus argus mendominasi stok Karibia, sedangkan Panulirus regius merupakan satu-satunya spesies di lepas pantai Afrika Barat.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa meskipun hanya Panulirus regius yang ada di pesisir Afrika Barat, pada sisi lain benua ini empat sesies Samudra Hindia hidup bersama sepanjang pesisir dari Mozambique sampai Somalia, dengan beberapa spesialisasi lokal yang menarik. Pesisir barat Madagaskar dihuni oleh asosiasi Panulirus versicolor – ornatus – longipes, namun hanya Panulirus penicillatus (yang juga merupakan spesies dominan di Laut Merah dan Somalia) yang ada di pesisir timurnya, kecuali satu daerah yang sempit jauh di sebelah tenggara di mana populasi Panulirus hormarus sangat melimpah dan dominan. Di lepas pantai Australia, ada perbedaan ekologis antara Panulirus longipes – versicolor – ornatus – penicillatus : Panulirus longipes hanya hidup di terumbu, sedang tiga spesies lainnya menempati habitat yang lebih beragam.

Distribusi Larva Panulirus Oleh Arus Laut

Pearce et al. (1992) melakukan sampling larva dengan memotong jalur Arus Leeuwin di lepas pantai kepulauan Houtman Abrolhos dari atas kapal RV Franklin pada bulan Agustus/September 1987. Arus ini mengalir deras sepanjang patahan benua, dengan jalur sedikit berliku-liku di dekat pulau-pulau. Suhu air, salinitas dan zat-zat hara teraduk sempurna di daerah paparan benua, tetapi distribusi berbagai plankton agak berbeda di lepas pantai, di dalam Arus, dan di perairan dekat-pantai. Larva Panulirus cygnus terkumpul di lepas paparan benua, yang menunjukkan bahwa metamorfosis ke fase puerulus terjadi di dekat patahan benua.

Distribusi Larva Lobster Panulirus cygnus

Phillips et al. (1979) mempelajari data larva lobster Panulirus cygnus fase phylllosoma yang ditangkap dalam tujuh pelayaran antara bulan April 1976 dan Januari 1977 di lepas pantai barat Australia. Studi ini dilakukan dengan tujuan menentukan panjang siklus plankton, distribusi phyllosoma di Samudra Hindia tenggara dan kisaran penyebaran lepas-pantai. Analisis menunjukkan bahwa rata-rata panjang umur planktonik adalah kurang dari satu tahun dan mungkin antara 9 dan 11 bulan. Setelah menetas kebanyakan larva phyllosoma tahap awal hanyut ke arah lepas pantai. Sedikit larva tetap ada di atau dekat paparan benua. Kisaran paling barat distribusi larva phyllosoma Panulirus cygnus tidak dapat ditentukan dalam penelitian ini karena banyak phyllosoma masih ditemukan di lepas pantai sampai sejauh 99o 00’ Bujur Timur (1.500 km ke arah lepas pantai), stasiun sampling paling jauh. Phyllosoma terdistribusi di daerah yang luas di Samudra Hindia tenggara, dan ada beberapa stasiun di seberang paparan benua antara 24o 30' Lintang Selatan. dan 35o 00' Lintang Selatan, dari 99o 00' Bujur Timur sampai 115o 00' Bujur Timur, selama pertengahan musim dingin, di mana phyllosoma tidak ditangkap. Kepadatan tertinggi phyllosoma tahap-pertengahan dan akhir ditemukan antara 111o 00' Bujur Timur dan 104o 00' Bujur Timur (antara 375 dan 1.030 km ke arah lepas pantai), pada 29o 30' Lintang Selatan. Daerah dengan kelimpahan larva terbanyak adalah di sebelah barat pusat distribusi lobster dewasa di pesisir.

Distribusi Larva Panulirus ornatus di Australia

Dennis et al. (2001) melakukan survei distribusi larva fase phyllosoma dan fase puerulus dari lobster batu Panulirus ornatus dan spesies Panulirus lainnya di Laut Koral barat-laut pada bulan Mei 1997 dan membandingkannya dengan arus-arus samudra. Distribusi larva Panulirus ornatus menunjukkan bahwa ia merupakan sumber rekruitmen bagi perikanan lobster di Selat Torres. Larva fase phyllosoma dan puerulus Panulirus ornatus mendominasi Panulirus spp. yang tertangkap oleh trawl-plankton. Puerulus yang masih hidup dibawa ke akuarium untuk menunggu konfirmasi identitasnya. Larva Panulirus ornatus fase “pregilled phyllosoma “ (filosoma belum berinsang) adalah paling melimpah di daerah sekitar 300 km sebelah timur Great Barrier Reef utara dan dekat pertemuan Arus Katulistiwa Selatan dan Gyre Laut Koral. Phyllosoma berinsang juga umum di sana tetapi paling banyak jumlahnya di sekitar Great Barrier Reef. Larva fase puerulus paling melimpah di dekat Great Barrier Reef sebelah selatan Selat Torres. Distribusi phyllosoma dan puerulus Panulirus ornatus dalam kaitannya dengan arus laut adalah sesuai dengan hipotesis bahwa phyllosoma dihanyutkan dari daerah pemijahan di Teluk Papua oleh arus batas Hiri menuju ke Gyre Laut Koral dan kemudian ditranspor oleh arus permukaan laut ke arah pantai menuju ke pesisir Queensland dan Selat Torres. Distribusi larva spesies Panulirus lainnya dan Palinurellus wieneckii berbeda dengan distribusi larva Panulirus ornatus.

Migrasi Harian dan Distribusi Vetikal Larva Lobster

Rimmer dan Phillips (1979) mempelajari migrasi harian dan distribusi vertikal larva phyllosoma lobster batu Panulirus cygnus George . Studi di lepas pantai Australia menunjukkan bahwa larva lobster fase filosoma ini melakukan migrasi vertikal harian, dengan cahaya sebagai faktor penting yang mempengaruhi distribusi-kedalaman untuk kesemua 9 tahap phyllosoma. Tahap awal (I sampai III) terjadi di permukaan pada malam hari tanpa terpengaruh intensitas cahaya bulan, sedang tahap akhir (VI sampai IX) terkonsentrasi di permukaan laut hanya pada malam hari dengan intensitas cahaya bulan kurang dari 5 % (dibandingkan intensitas cahaya bulan purnama). Puncak kepadatan tengah-hari larva tahap awal adalah di kedalaman 30 sampai 60 meter, sedangkan puncak kepadatan larva tahap pertengahan (IV sampai VI) dan tahap akhir ada di kisaran kedalaman 50 sampai 120 meter. Kedalaman puncak kepadatan larva meningkat dengan main jauhnya jarak dari pantai. Batas-batas distribusi vertikal phyllosoma tetap ada di dalam kisaran pencahayaan yang diduga sebesar 50 sampai 250 mgrE/m2/detik untuk tahap-tahap awal, 20 sampai 200 mgrE/m2/detik untuk tahap pertengahan dan 5 sampai 50 mgrE/m2/detik untuk tahap akhir. Larva tahap awal menunjukkan kecepatan neto gerakan naik dan turun 13,7 dan 13,0 meter per jam. Migrasi harian dan distribusi vertikal berperanan penting dalam transpor dan penyebaran larva phyllosoma dengan memanfaatkan sirkulasi air Samudra Hindia tenggara. Migrasi harian larva tahap awal menempatkan mereka di permukaan laut pada malam hari, ketika arus permukaan samudra ke arah lepas-pantai yang dikendalikan-angin menjadi dominan, dan di bawah kedalaman arus permukaan (yang menuju ke arah pantai) selama siang hari, ketika arus ke lepas pantai kecil atau negatif, sehingga bertanggung jawab atas transpor larva ke lepas pantai. Larva tahap pertengahan dan akhir, karena distribusi siang harinya lebih dalam dan tidak berada di permukaan air pada malam terang bulan, dihanyutkan oleh arus yang mengalir di bawah permukaan laut. Hipotesis ini menjelaskan kembalinya larva phyllosoma ke daerah dekat tepi paparan benua akibat terbawa transpor masa air ke arah pantai yang mengalir di bawah lapisan permukaan laut.

Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Settlement Larva Lobster

Caputi dan Brown (1993) mempelajari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi settlement (pendaratan ke dasar laut) larva lobster batu (Panulirus cygnus). Laju settlement larva lobster fase puerulus bisa digunakan secara meyakinkan untuk menduga rekruitmen perikanan lobster batu (Panulirus cygnus) tiga dan empat tahun kemudian. Telah diterima secara umum bahwa larva tahap-tahap awal dihanyutkan ke lepas pantai oleh arus permukaan yang dikendalikan-angin. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa ketinggian muka laut pesisir, yang digunakan sebagai indikator kekuatan Arus Leeuwin yang mengalir ke pesisir barat Australia, berhubungan secara positif dengan laju settlement di terumbu karang dekat-pantai setelah umur larva 9 sampai 11 bulan. Dalam makalah ini hubungan yang nyata juga ditunjukkan antara badai musim dingin/semi, yang biasanya berkaitan dengan angin barat, dan laju settlement puerulus (korelasi ganda 0,83, R2 = 0,68, n = 22). Curah hujan dari wilayah-wilayah pesisir digunakan sebagai indeks badai. Sisa (residu) dari hubungan ini menunjukkan autokorelasi positif yang nyata.

Daftar Pustaka :

Caputi, N. and R.S. Brown. 1993. The Effect of Environment on Puerulus Settlement of The Western Rock Lobster (Panulirus cygnus) in Western Australia. Fisheries and Oceanography, vol. 2, no. 1, pp. 1 – 10, ISSN 1054-6006

Dennis,D.M., C.R. Pitcher and T.D. Skewes. 2001. Distribution and Transport pathways of Panulirus ornatus (Fabricius, 1776) and Panulirus spp. larvae in the Coral Sea, Australia, Marine and Freshwater Research, vol. 52,no. 8, pp. 1175 - 1185

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Pearce, A.F., B.F. Phillips and C.J. Crossland. 1992. Larval Distributions Across The Leeuwin Current : Report on RV Franklin Cruise FR8/87 in August/September 1987. Report of CSIRO Marine Laboratory, no. 217, 15 pp.

Phillips, B.F., P.A. Brown, D.W. Rimmer and D.D. Reid. 1979. Distribution and Dispersal of the Phyllosoma Larvae of the Western rock Lobster, Panulirus cygnus, in the South-eastern Indian Ocean, Australian Journal of Marine and Freshwater Research, vol. 30, no.6, pp. 773 - 783

Rimmer, D.W. and B.F. Phillips. 1979. Diurnal Migration and Vertical Distribution of Phyllosoma Larvae of The Western Rock Lobster Panulirus cygnus, Marine Biology, Vol. 54, No. 2, pp. 109 - 124