Selasa, 29 September 2015

Pengaruh Suhu dan Musim Terhadap Keberhasilan Pijah Rangsang Pada Ikan Bandeng

Arsip Cofa No. A 009
donasi dg belanja di Toko One


Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu bahwa ikan bandeng yang diberi perlakuan kronis metil testosteron + LHRH-A memiliki laju pematangan gonad yang tinggi, hasil penelitian yang dilakukan Marte et al. (1988) menunjukkan sedikit kemajuan pada ikan yang diberi testosteron atau testosteron + GnRH-A. Pada beberapa percobaan, ikan diduga matang gonad secara spontan karena ikan yang telah matang gonad dengan persentase tinggi diperoleh baik dari kelompok yang diberi pelakuan maupun kelompok kontrol 9 – 12 minggu sejak pencangkokan. Di Hawaii, laju pematangan gonad ikan yang diberi hormon adalah rendah dalam bulan April dan memuncak hanya pada Juli (Lee et al., 1986). Perbedaan hasil-hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sejarah reproduki ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan di Hawaii diduga merupakan ikan yang baru pertama kali matang gonad sedangkan ikan dalam penelitian ini adalah induk yang sudah pernah memijah. Suhu air laut lebih rendah di daerah Hawaii (22 – 26 oC) daripada suhu air dalam fasilitas yang dipakai dalam penelitian ini (26 – 32 oC).

Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya. Di Hawaii, musim pemijahan bandeng adalah pada bulan Juli (Kuo dan Nash, 1979) dan percobaan untuk merangsang kematangan gonad dimulai pada bulan Januari, 6 bulan sebelum musim pemijahan (Lee et al., 1986). Jumlah ikan telah matang-gonad pada kelompok yang diberi hormon pada awalnya rendah tetapi meningkat ketika mendekati puncak musim pemijahan. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari, 3 bulan sebelum puncak musim pemijahan bandeng. Bisa diharapkan bahwa pematangan gonad dimulai pada saat ini dan pemberian hormon berpengaruh sedikit terhadap peningkatan laju pematangan gonad yang sudah tinggi itu (Marte et al., 1988).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 27 September 2015

Merangsang Spermiasi Ikan Bandeng Dengan Hormon LHRH-A

Arsip Cofa No. A 009
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa pencangkokan LHRH-A dapat merangsang dan mempertahankan spermiasi pada bandeng jantan matang-gonad. Penyuntikan intraperitoneal LHRH-A dalam air garam atau dalam propilen glikol 40 %, pencangkokan 1,5 mg/kg LHRH-A dalam silastik atau 25 mikrogram/ikan D-Nal(2)6-LHRH dalam pelet kolesterol merangsang spermatogenesis dan spermiasi pada ikan salmon Atlantik (Crim et al., 1983; Well dan Crim, 1983; Crim, 1984). Penyuntikan LHRH-A juga merangsang spermiasi dan meningkatkan volume sperma pada ikan mas (Billard et al., 1983; Takashima et al., 1984; Ngamvongchon et al., 1987). Sedikit perhatian diarahkan pada spermiasi bandeng jantan kecuali dalam sebuah laporan terdahulu di mana spermiasi pada ikan jantan liar dipertahankan selama 8 hari dengan menggunakan sediaan androgen komersial (Durandron Forte 250, Organon; Juario et al., 1980). Spermiasi dipertahankan pada bandeng yang dicangkoki secara kronis dengan metil testosteron yang dikombinasikan dengan pelet LHRH-A tetapi ikan jantan hanya menunjukkan sedikit respon terhadap LHRH-A (Lee et al., 1986).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Upaya Merangsang Pemijahan Gonad Bandeng Dengan Hormon

Arsip Cofa No. A 008
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya-upaya yang pertama kali dilakukan untuk merangsang kematangan gonad pada juvenil ikan bandeng tidak berhasil. Ikan yang belum matang gonad atau induk bandeng liar dengan gonad telah menyusut tidak berespon terhadap gonadotropin (GtH) atau berbagai kombinasi GtH dan steroid. Teknik mutakhir yang melibatkan pemberian secara kronis testosteron saja atau dikombinasikan dengan analog luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH-A) efektif untuk merangsang agar gonad berkembang sangat cepat pada ikan rainbow trout yang belum matang gonad (Crim dan Evans, 1983; Magri et al., 1985). Mekanisme di belakang perangsangan kecepatan perkembangan ini tampaknya merupakan aksi umpan balik positif testosteron terhadap sekresi GtH pituitari. Sejumlah studi menunjukkan bahwa testosteron atau androgen lain yang dapat-diaromatisasi merangsang penimbunan GtH pituitari (Crim dan Peter, 1978; Crim dan Evans, 1979, 1982, 1983; Crim et al., 1981). Dengan adanya aktivitas LHRH-A dalam melepaskan GtH, konsentrasi GtH yang bersirkulasi meningkat, yang selanjutnya merangsang gonad (Peter, 1983).

Marte et al. (1988) menambahkan bahwa strategi ini telah berhasil diterapkan untuk merangsang perkembangan gonad pada bandeng yang dipelihara dalam tangki di Hawaii. Pemberian secara kronis cairan 17a-metiltestoseron (MT) dalam bentuk kapsul silastik bersama-sama dengan pelet kolesterol LHRH-A merupakan cara efektif untuk meningkatkan persentase ikan bandeng yang matang gonad.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Senin, 21 September 2015

Kematangan Gonad Bandeng Budidaya Secara Alami

Arsip Cofa No. A 007
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa ikan bandeng secara spontan matang gonad pada berbagai kondisi pemeliharaan (Lam, 1984; Kuo, 1985; Kelley dan Lee, 1986) tetapi faktor-faktor yang memicu kematangan gonad pertama kali belum dipahami dengan baik. Di Taiwan dan Hawaii, ikan bandeng yang dipelihara di dalam tangki secara spontan matang gonad untuk pertama kali pada umur 6 tahun atau lebih, tetapi persentase ikan yang mencapai kematangan sempurna adalah rendah (Liao dan Chen, 1984; Lee et al., 1986) dan tidak ada yang memijah tanpa rangsangan hormon. Pematangan dan pemijahan ikan bandeng yang dipelihara dalam kolam di Taiwan telah dilaporkan (Lin, 1982, 1984). Bagaimanapun, ikan pertama kali matang gonad pada umur 9 sampai 10 tahun. Demikian pula, bandeng umur 11 – 12 tahun yang dipelihara dalam tangki di Gondol, Indonesia, matang gonad dan memijah secara spontan (Vanstone, 1986). Kematangan gonad secara spontan dan pemijahan alami terjadi pada hampir semua bandeng umur 5 tahun yang dipelihara dalam kurungan (Lacanilao dan Marte, 1980; Marte dan Lacanilao, 1986).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A

Arsip Cofa No. A 006
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) telah melakukan sembilan percobaan untuk meneliti pengaruh pemberian secara kronis (menahun) hormon testosteron dan analog hormon pelepas gonadotropin tehadap kematangan pertama kali ikan bandeng umur 4 – 6 tahun dan pematangan kembali ikan umur 6 sampai lebih dari 9 tahun yang gonadnya telah menyusut/telah dikeluarkan isinya.

Pencangkokan hormon testosteron (T) atau T yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone-releasing hormone analogue (LHRH-A) tidak banyak berpengaruh terhadap laju pematangan gonad ikan bandeng umur 4 tahun. Persentase ikan matang gonad adalah rendah dan sama dengan kontrol pada percobaan 1 (T, 31 – 35 %; kontrol, 35 %) dan percobaan 3 (T, 13 %; T plus LHRH-A, 28 %; kontrol, 22,2 %). Kebanyakan ikan umur 4 tahun yang matang gonad adalah jantan; betina matang gonad hanya diperoleh dari kelompok yang dicangkoki T pada percobaan 1. Pada percobaan 3, betina matang gonad yang dicangkoki T dapat menahan telur-telur yang berkuning telur, sedangkan ikan betina kontrol yang matang gonad tidak dapat, hal ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin meningkatkan vitelogenesis dan mempertahankan kesatuan oosit vitelogenik. Ikan betina umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki, sekitar setengah ukuran ikan betina lebih tua yang pertama kali matang gonad, dirangsang untuk memijah. Hal ini merupakan masus pertama pematangan dan pemijahan bandeng umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki (Marte et al., 1988).

Marte et al., (1988) menambahkan bahwa seperti pada percobaan 1 dan 3, persentase ikan dengan gonad telah dikeluarkan isinya yang matang kembali pada percobaan 7 dan 8 serupa dengan yang dicangkoki-T dan kontrol. Sebaliknya, ikan umur 4 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 2 dan 4, ikan umur 5 dan 6 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 5 dan 6, serta ikan umur 6 tahun dengan gonad telah dikeluarkan isinya pada percobaan 9 tetap tidak matang gonad atau gonadnya menyusut semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil percobaan ini mencakup umur dan sejarah reproduktif ikan, waktu pencangkokan hormon, kondisi percobaan dan pemeliharaan, serta stres.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 16 September 2015

Peran Kalsium dan Magnesium Dalam Penyerapan Kadmium Oleh Ginjal

Arsip Cofa No. A 004
donasi dg belanja di Toko One


Kasprzak dan Poirier (1983) melakukan penelitian mengenai pengaruh kalsium dan magnesium asetat terhadap distribusi kadmium dalam jaringan tubuh tikus Wistar. Secara fisiologis garam-garam bervalensi dua, seperti mangan, seng, magnesium dan kalsium, memperlihatkan aksi yang berlawanan dengan aksi logam-logam penyebab kanker, yaitu kadmium, nikel dan timah hitam. Mekanisme kerja logam-logam bervalensi dua ini masih belum jelas. Pada studi kami, di mana magnesium – tapi tidak berlaku bagi kalsium – ternyata mencegah pertumbuhan kanker pada lokasi penyuntikan kadmium klorida, sehingga disimpulkan bahwa efek pencegahan yang dimiliki kalsium mungkin ditimbulkan oleh menurunnya jumlah kadmium yang diikat oleh jaringan sasaran.

Kasprzak dan Poirier (1983) melaporkan bahwa penyerapan kadmium oleh jaringan, distribusi dan konsentrasinya yang ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian terdahulu (Lucius et al., 1972; Hordberg, 1972; Kotsonis dan Klaassen, 1977). Konsentrasi kadmium awal dalam jaringan tidak selalu sebanding dengan dosis penyuntikan. Bila dosis penyuntikan dilipat-duakan maka peningkatan konsentrasi kadmium yang bersesuaian dialami oleh darah, hati, ginjal, pankreas, jantung, paru-paru dan kulit yang jauh dari lokasi penyuntikan, tetapi tidak dialami oleh kulit pada lokasi penyuntikan itu sendiri atau oleh limfa dan testes. Pada lokasi penyuntikan pemberian kedua macam dosis CdCl2 , praktis menghasilkan laju penyerapan kadmium yang sama. Pada limfa dan testes, penyerapan CdCl2 dosis tinggi selama empat hari pertama melebihi dua kali lipat; kedua organ ini diketahui sangat peka terhadap sifat racun kadmium (Bondia et al., 1980; Suzuki et al., 1981) Konsentrasi kadmium pada lokasi penyuntikan menurun pada hari ke-4 sampai hari ke-45, baik pada kelompok dosis tinggi maupun dosis rendah. Pada tikus yang diberi dosis rendah, tetapi tidak pada tikus yang diberi dosis tinggi, penurunan ini umumnya bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi kadmium pada jaringan yang jauh dari lokasi penyuntikan pada hari ke-4 sampai ke-15. Pengamatan ini memperkuat dugaan bahwa kadmium perlahan-lahan dilepaskan dari lokasi penyuntikan dan diserap oleh jaringan-jaringan lain yang kapasitas pengikatannya belum terlampaui.

Kalsium asetat dan magnesium asetat yang diberikan bersama CdCl2 sangat mempengaruhi penyerapan kadmium. Bagaimanapun, hampir semua pengaruh ini tampaknya merupakan akibat tak langsung dari interaksi antara logam-logam tersebut dengan jaringan-jaringan pada lokasi penyuntikan, jadi bukan dari interaksi masing-masing organ atau jaringan secara terpisah. Jadi, kalsium asetat, yang meningkatkan lama penyimpanan kadmium pada lokasi penyuntikan, mengurangi timbunan kadmium pada jaringan-jaringan lain. Sebaliknya, pemberian magnesium asetat menghambat penimbunan kadmium pada lokasi penyuntikan sehingga meningkatkan lama penyimpanan logam ini pada jaringan-jaringan lain. Sangat mungkin, perbedaan pola penyerapan kadmium pada lokasi penyuntikan merupakan akibat dari perbedaan pengaruh antara kalsium asetat dan magnesium asetat terhadap pembuluh darah. Kalsium, melalui aksinya dalam mempengaruhi otot polos pembuluh darah agar berkontraksi (Aikawa, 1981), akan merintangi aliran darah sehingga memperlambat mobilisasi kadmium. Magnesium, yang sifatnya bertolak belakang dengan kalsium dalam masalah ini (Aikawa, 1981), akan menghasilkan efek yang berlawanan pula.

Hasil penelitian ini secara umum mendukung dugaan kami bahwa efek penyebab-kanker (carcinogenesis) yang ditimbulkan oleh kadmium dihambat oleh magnesium asetat melalui aksi penghambatan terhadap pengikatan agen penyebab-kanker pada jaringan sasaran (Kasprzak et al., 1983). Bagaimanapun, penghambatan terhadap pengikatan kadmium oleh magnesium asetat berjalan tidak sempurna dan pengaruh dosis kadmium terhadap pembentukan kanker pada lokasi penyuntikan tidak jelas. Jadi, penurunan penyerapan kadmium adalah mungkin, tetapi hal ini tidak selalu berkaitan dengan kemampuan magnesium dalam menghambat efek karsinogenik kadmium.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Selasa, 08 September 2015

Peran Protein Dalam Penyerapan Kadmium oleh Ginjal

Arsip Cofa No. A 003
donasi dg belanja di Toko One


Templeton dan Cherian (1983) menyatakan bahwa berbagai bentuk senyawa kadmium memperlihatkan perbedaan menyolok dalam hal distribusi pada jaringan dan daya racunnya. Telah diketahui bahwa penyuntikan garam-garam Cd2+ ke dalam tubuh binatang percobaan menyebabkan sejumlah besar kadmium tertimbun dalam hati, karena Cd yang terikat lemah oleh protein plasma mudah diserap oleh sel-sel hati. Kadmium yang diberikan sebagai kompleks metalotionin-Cd terikat kuat pada protein ini (log ß3 = 25,5), dan kompleks metalotionin-kadmium disaring-hisap oleh glomerulus. Akibatnya, kadmium mengendap di dalam tubula proksimal ginjal. Kompleks chelat Cd-tiolat berberat molekul rendah memperlihatkan distribusi sedang, dan pengendapan kadmium dalam ginjal berkaitan dengan kestabilan kompleks antara senyawa kadmium dengan chelator.

Kadmium yang terikat pada polimer MT lebih lama bersirkulasi bersama darah dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain senyawa kadmium yang dapat larut. Polimer-polimer ini mengikat Cd dengan kuat, seperti yang dilakukan MT, tetapi menghambat penyaringan oleh glomerulus ginjal. Hasil penelitian Templeton dan Cherian (1983) ini bisa disamakan dengan data yang diperoleh Pesce et al. mengenai hubungan antara koefisien penyaringan oleh glomerulus ginjal dengan panjang jari-jari molekul protein. Semua bentuk MT merupakan asam protein dan bermuatan negatif tinggi pada pH filtrat plasma darah. Akibatnya, perbedaan filtrasi ditentukan terutama oleh ukuran protein. Ada dugaan kuat bahwa ukuran protein merupakan faktor utama yang menentukan pengendapan kadmium dalam ginjal. Polimer-polimer ini tercakup dalam kisaran kritis untuk penyaringan, dan dengan demikian berguna untuk memeriksa mekanisme pembersihan ginjal. Sebagai akibat terhambatnya pembersihan plasma darah dari kadmium yang terikat pada polimer-polimer ini, maka sistem retikulo endotelial juga berperanan dalam menyingkirkan bentuk-bentuk senyawa kadmium ini dari darah.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 06 September 2015

Penyerapan Kadmium dan Tembaga Pada Sel-Sel Hati Tikus Yang Diisolasi

Arsip Cofa No. A 002
donasi dg belanja di Toko One


Din dan Frazier (1983) mempelajari penyerapan kadmium dan tembaga pada sel-sel hati tikus yang diisolasi. Kadmium diketahui menyebabkan keracunan akut dan kronis pada manusia. Bila hewan-hewan laboratorium dikenai kadmium melalui pembuluh darah, lebih dari 90 % dosis yang dimasukkan telah diserap dari plasma darah dalam waktu 15 menit dan 50 – 70 % dari dosis awal tertimbun di dalam hati. Penyerapan kadmium di dalam hati memainkan peranan penting dalam penyebaran logam ini melalui pembuluh darah, dan hal ini menyebabkan keracunan logam berat. Walau demikian, mekanisme proses penyerapan ini tetap tidak diketahui. Frazier et al. (1976) telah mempelajari kinetika transportasi kadmium dalam sel hati yang diisolasi dan memperkirakan bahwa penyerapan kadmium ke dalam hati berlangsung melalui aksi gabungan difusi sederhana dan proses penyerapan-berperantara (carried-mediated process). Stacey et al. (1980) telah mempelajari lebih jauh penyerapam kadmium pada sel-sel hati tikus yang diisolasi. Dalam penelitian mereka, penyerapan kadmium menunjukkan kinetika penyerapan dua-fase pada kisaran dosis 25 – 800 mikromol. Bagaimanapun, konsentrasi ini sangat tinggi dan proses penyerapan-berperantara mungkin telah terhenti. Selain itu, keracunan-tak kentara yang disebabkan kadmium dapat terjadi.

Pada konsentrasi-konsentrasi yang diamati dalam penelitian ini, baik kadmium maupun tembaga menunjukkan kinetika yang dapat-dijenuhkan selama penyerapan. Adanya pra-perangsangan seng–metalotionin di dalam sel-sel hati tidak berpengaruh pada kinetika penyerapan kedua logam tersebut. Data ini memperkuat dugaan bahwa penyerapan logam dibatasi oleh kemampuan menembus membran pada konsentrasi fisiologis. Bila difusi sederhana merupakan mekanisme dominan maka tingginya kemampuan pengikatan yang dimiliki sitosol akan bertindak sebagai faktor penyerap logam ke dalam sel sehingga meningkatkan laju penyerapan. Setelah kadmium masuk ke dalam sel, kadmium terdistribusi kembali di dalam sel dalam waktu 6 jam, akibat perangsangan oleh metalotionin (MT). Tidak ada sintesis MT yang dapat dideteksi pada konsentrasi-konsentrasi tembaga yang diamati di sini. Diperkirakan bahwa pada tingkat seluler, kadmium mungkin lebih kuat dirangsang oleh MT daripada yang dialami oleh tembaga. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis ini, pengaruh logam-logam tersebut harus dipelajari lebih mendetail dalam rangka menghilangkan kemungkinan efek racun logam-logam ini (Din dan Frazier, 1983).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 02 September 2015

Zonasi Hutan Bakau

Arsip Cofa No. A 001
donasi dg belanja di Toko One


Macnae (1968) menjelaskan zonasi hutan bakau di daerah Indo Pasifik barat. Tiga skema telah diusulkan untuk menggambarkan zonasi mangrove, dua di antaranya mendasarkan zonasi pada sifat-sifat fisik lingkungan sedangkan skema ketiga, yang lebih praktis, memberi nama zona berdasarkan genus dominan yang tumbuh pada masing-masing zona.

1. Watson (1928) yang memelopori studi mangrove Malaysia mengemukakan lima kelas berdasarkan frekuensi perendaman air pasang :
a. Spesies yang tumbuh di daerah yang terendam oleh segala jenis pasang : secara normal tidak ada spesies yang dapat tumbuh pada kondisi semacam ini, kecuali Rhizophora mucronata.
b. Spesies yang hidup di daerah yang terendam oleh pasang medium : spesies-spesies dari genus Avicennia, A. alba, A. marina smile emotikon A. intermedia) dan Sonneratia griffithii, serta penghuni tepian sungai, Rhizophora mucronata.
c. Spesies yang tumbuh di daerah yang digenangi oleh air pasang normal : kebanyakan mangrove tumbuh subur pada kondisi seperti ini tetapi Rhizophora cenderung mendominasi.
d. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya digenangi oleh air pasang purnama : daerah-daerah semacam ini agak terlalu kering bagi Rhizophora tapi cocok untuk Bruguiera gymnorhiza dan B. cylindrica.
e. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya terendam oleh air pasang equinoktial atau air pasang yang tak normal lainnya : Bruguiera gymnorhiza dominan tetapi Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatus masih bisa hidup.

2. De Haan (1931) memasukkan salinitas air tanah sebagai faktor pengendali distribusi dan ketergenangan oleh air pasang sebagai faktor tambahan.
A. Zona berair payau sampai asin dengan salinitas pada saat pasang sebesar 10 – 30 ‰.
1. Daerah yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari sebulan.
2. Daerah yang tergenang pasang 10 – 19 kali per bulan.
3. Daerah yang terendam pasang 9 kali atau kurang dalam sebulan.
4. Daerah yang terendam air pasang hanya beberapa hari dalam satu tahun.
B. Zona berair tawar sampai payau dengan salinitas antara 0 – 10 ‰.
1. Daerah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut.
2. Daerah yang secara musiman terendam air pasang.

Jelas bahwa zona A-1 dan A-4 sama dengan kelas (a) dan (e) pada zonasi menurut Watson; zona A-2 bertumpang tindih dengan kelas Watson (b) dan (c) sedangkan zona A-3 bertumpang tindih dengan (c) dan (d). Zona B-1 mencakup baik asosiasi barringtonia asiatica maupun asosiasi nypa, dan zona B-2 meliputi daerah gambut dan hutan rawa lainnya serta daerah yang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus.

3. Walter dan Steiner (1936) yang mempelajari mangal (hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang) di Tanga, Afrika Timur, memberi nama zona berdasarkan tumbuhan dominan. Pemikiran mereka diikuti oleh Macnae dan Kalk (1962) serta dikembangkan dan diperluas oleh Macnae (1966) agar dapat diterapkan untuk berbagai daerah mangrove. Mereka membedakan beberapa zona sebagai berikut.
1. Daerah yang mengarah ke daratan.
2. Zona semak-semak ceriop.
3. Zona hutan bruguiera.
4. Zona hutan rhizophora.
5. Zona avicennia yang mengarah ke laut.
6. Zona sonneratia.

Tiga zona pertama bisa mengalami modifikasi, dan zona terakhir tidak terdapat pada semua pantai karena ia terbatas di daerah pantai yang hangat.
A. Daerah yang mengarah ke daratan (landward fringe)
Zona ini paling bervariasi dari semua zona mangal. Komponen utama tanah yang ditempatinya bisa berupa pasir atau lumpur; mereka bisa hidup di daerah yang sangat kering maupun daerah yang sering terendam air; tanahnya bisa subur bila berasal dari batu vulkanik muda; atau miskin (gersang) bila berasal dari batu granit atau kuarsa tua; tanahnya juga mungkin berkapur, yang berasal dari batuan kapur, atau bergambut yang kaya materi organik. Salinitas air tanah bisa tinggi bisa rendah. Semuanya menghasilkan sifat-sifat yang bervariasi. Pada daerah ini dapat ditemukan asosiasi barringtonia dan asosiasi nypa.

a. Asosiasi barringtonia
Asosiasi ini didominasi oleh spesies Barringtonia yang tumbuh dalam dua tipe lingkungan yang berbeda.
i. Asosiasi Barringtonia asiatica. Asosiasi dengan Barringtonia asiatica smile emotikon B. speciosa) sebagai spesies dominan atau spesies yang sangat menyolok terletak di belakang asosiasi pes-caprae pada pantai berpasir. Asosiasi ini seringkali terdiri dari beberapa jenis pohon yang bisa hidup di ekoton mangal, misalnya Terminalia catappa, Thespesia populnea dan Pandanus tectorius.
ii. Asosiasi Barringtonia racemos. Asosiasi ini tampaknya mencapai perkembangan maksimum di sepanjang pantai bagian timur Afrika, antara Kenya dan Natal, serta sebagian daerah selatan Jawa. Di Afrika bagian Timur ia cenderung menempati tanah yang sangat kering sekali di belakang dan di bagian atas mangal. Jadi asosiasi ini setara dengan asosiasi nypa yang banyak tumbuh di Asia Tenggara.

b. Asosiasi nypa
Asosiasi ini merupakan salah satu asosiasi yang paling penting, dan dilihat dari udara ia tampak paling menyolok di antara seluruh mangal yang ada di daerah Indo-Malaysia dan Asia Tenggara. Ia menempati daerah yang luas, seringkali sangat luas, di bagian tanah yang digenangi oleh air pasang purnama. Ciri yang menarik dari daerah yang ditempati oleh asosiasi ini adalah banyaknya gundukan tanah tinggi (sampai setinggi 3 meter) bekas tanah galian liang kepiting Thalassina anomala dan hal ini berpengaruh positif terhadap asosiasi nypa tersebut.
Dalam asosiasi ini pohon Heritiera littoralis, pohon Xylocarpus granatus, X. moluccensis, Bruguiera sexangula, B. gymnorhiza atau Lumnitzera littorea tumbuh subur di tempat yang lebih tinggi sedangkan pohon Rhizophora apiculata hanya sebagian hidup di tempat yang lebih rendah. Juga sering dijumpai Excoecaria agallocha, Bruguiera cylindrica dan Sonneratia caseolaris. Hibiscus tiliaceus dan spesies dari genus Pandanus juga tumbuh di daerah di mana air hampir tawar.

B. Zona semak ceriops
Ceriops tagal terdapat mulai dari perbatasan Mozambik-Natal meluas sampai sepanjang pantai timur Afrika dan Madagaskar melalui India dan Srilangka terus ke Taiwan (Formosa) di sebalah utara dan Queensland dan Kaledonia Baru di sebelah selatan. Ia merupakan mangrove yang jarang mencapai dimensi pohon, mereka lebih sering berupa perdu dengan tinggi antara 1 – 6 meter.
Di daerah-daerah Malaysia dan Indonesia yang kadang-kadang basah, zona ceriops tidak tampak menyolok. Di sini Ceriops tumbuh di dalam hutan bruguiera atau, seperti di Sabah dan semenanjung Thailand, tumbuh bersama dengan Rhizophora spp. Di mana mereka membentuk hutan perawan yang sangat lebat. Di bawah kondisi semacam ini Ceriops tagal mencapai dimensi pohon hingga setinggi 10 meter dengan diameter pangkal batang 20 cm. Tumbuhan lain yang paling banyak ditemukan di zona semak ceriops yang ada di Australia adalah Bruguiera exaristata. Juga dijumpai pohon Avicennia marina, B. gymnorhiza, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis: Scyphiphora hydrophyllacea tumbuh di zona ini sepanjang terusan Hinchinbrook. Di Afrika bagian timur hanya A. marina dan B. gymnorhiza yang hidup berasosiasi dengan zona ini.

C. Zona hutan bruguiera
Watson memperkenalkan tiga tipe hutan bruguiera, yang didominasi berturut-turut oleh B. cylindrica, B. parviflora dan B. gymnorhyza. Hutan B. cylindrica sering tumbuh di tanah lempung biru yang keras dengan lapisan humus tipis dan berpermukaan kering serta tanpa ada teluk.
B. parviflora merupakan spesies oportunis (bisa hidup di mana saja) tetapi kurang dikenal oleh para perimba karena kayunya kurang bagus dibandingkan kayu spesies lain. Di Australia dan Myanmar spesies ini juga bersifat oportunis dan tumbuh subur dengan batang tinggi di daerah yang mulanya telah digunduli. Di Malaysia ia juga sering tumbuh di daerah yang pepohonannya telah ditebang habis, dan ia mungkin menjadi pohon pengasuh kumpulan benih Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. dan pohon lain yang lebih berharga.
Watson menganggap hutan B. gymnorhiza sebagai “tahap akhir perkembangan hutan litoral dan awal transisi ke arah pembentukan hutan darat”. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya sedikit regenerasi yang terjadi di bawah pohon-pohon ini dan adanya suksesi deposit humus serta kenyataan bahwa aktivitas Thalassina anomala perlahan-lahan mengangkat permukaan tanah hingga mencapai tinggi di atas jangkauan pasang-surut. Pada tahap ini Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus microcarpa, Pandanus spp. dan Daemonorops leptopus dan lain-lain tumbuh di hutan ini. Dengan demikian menurut Watson hutan B. gymnorhiza merupakan transisi ke bentuk hutan subur yang mengarah ke daratan.
Di Cilacap, yang terletak di bagian selatan Jawa, de Haan (1931) juga mengemukakan tiga macam hutan Bruguiera, yaitu asosiasi Bruguiera gymnorhiza yang berkembang di zona A-2 – A-3, asosiasi Bruguiera cylindrica dan asosiasi Xylocarpus – Heritiera yang keduanya tumbuh di zona A-3 – A-4.

D. Zona hutan rhizophora
Biasanya orang membayangkan rawa mangrove sebagai hutan spesies Rhizophora dengan akar-akar tunjang melengkung yang membuatnya sulit dilalui. Ada tiga spesies Rhizophora yang ada di dalam mangal Indo-Pasifik Barat di mana mereka tumbuh bercampur aduk. R. mucronata adalah spesies yang paling banyak ditemui dan tersebar paling luas dari Malaysia sampai New Guinea, terus ke Kepulauan Ryu-Kyu dan Afrika. R. stylosa terdapat mulai dari Malaysia sampai Queensland; R. apiculata menyebar dari Malaysia ke seluruh Asia Tenggara terus ke India dan Sri Langka serta ke sebelah utara Queensland. R. apiculata lebih toleran terhadap air tawar daripada spesies Rhizophora lainnya.

E. Zona Avicennia yang mengarah ke laut
Hampir di sepanjang pantai di mana tumbuh mangrove sebagian besar zona pohon-pohon yang mengarah ke laut tersusun dari satu atau lebih spesies Avicennia.
Watson (1928) menunjukkan bahwa di Malaysia Avicennia alba dan A. marina (=A. intermedia) menempati sektor yang berbeda dalam zona ini. Setelah mengamati beberapa mangal di Malaysia dan Asia Tenggara, Macnae menerima dan menyetujui pendapat Watson ini, tapi ada kesulitan ! Biasanya dua spesies ini mudah dibedakan – A. alba berdaun runcing dan sisi daun sebaliknya berwarna agak putih sehingga mudah dibedakan dari A. marina yang ujung daunnya tumpul dan sisi bawah daun berwarna kekuningan. Bagaimanapun, mereka tumbuh bercampur aduk. Menurut Ridley (1930) A. intermedia merupakan hibrid antara A. alba dan A. officinalis; tetapi hal ini tidak benar. Moldenke (1958) berpendapat bahwa hibridisasi bisa terjadi karena spesies-spesies dari genus ini tumbuh bersama-sama.
A.marina memiliki penyebaran sangat luas, ia merupakan satu-satunya wakil dari genus ini yang tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik-Barat.

F. Zona Sonneratia
Di Asia Tenggara Sonneratia griffithii dan/atau S. alba, sedangkan di Australia hanya S. alba, sementara di India dari Bombay sampai Myanmar S. apetala bisa tumbuh pada daerah yang mengarah ke laut, yakni di depan zona Avicennia.
Menurut De Haan, di Cilacap ada asosiasi avicennia-sonneratia yang berkembang pada zona A-1, yang tumbuh di atas tanah muda yang tidak kompak.
Sonneratia tampaknya lebih menyukai kondisi yang lebih hangat daripada kebanyakan tumbuhan lainnya – ia tidak dijumpai di daerah sebelah selatan Inhambane pada pantai Mozambik, juga tidak terdapat di sebelah selatan Innisfail di Queensland.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait