Jumat, 07 Desember 2018

Bioekologi dan Sumberdaya Ikan Pelagis


Konsep Ikan Pelagis dan Demersal

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa komunitas ikan laut biasanya di modelkan sebagai dua komponen : demersal dan pelagis, dan pendekatan pertama adalah bahwa setiap komponen memperoleh energinya dari makanan yang ditangkap dari ekosistem bentik dan planktonik, berturut-turut. Bagaimanapun, kategori-kategori ini biasanya menyebabkan salah arah karena banyak spesies yang normalnya dianggap sebagai ikan demersal memperoleh makanannya dari ekosistem pelagis, termasuk dari komponen ikan pelagis tersebut. Sebaliknya, beberapa spesies ikan yang tampaknya pelagis memakan invertebrata penghuni-dasar, setidaknya selama sebagian musim atau sebagian siklus hidupnya, seperti yang dilakukan oleh ikan Decapterus besar di Pasifik barat.

Keragaman Spesies Ikan dan Rantai Makanan Pada Ekosistem Pelagis Laut

Ekosistem pelagis laut terbuka berbeda dengan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang adalah salah satu dari dua habitat di planet bumi yang paling heterogen secara ruang dan paling terstruktur. Sebaliknya, zona pelagis laut terbuka mungkin merupakan ruang hidup di planet kita yang paling monoton, dengan sedikit keragaman suhu, cahaya dan kelimpahan organisme. Keragaman ini terutama terdapat pada bidang batas air-udara dan zona termoklin di mana densitas air dan suhu berubah dengan cepat.

Dengan demikian tidaklah mengherankan bila keragaman ikan teleostei adalah rendah pada ekosistem pelagis di mana sebagian besar ikan bersifat predator secara umum karena mereka memakan mangsa yang lebih kecil daripada ukuran tubuhnya sendiri dengan rasio yang hampir konstan; pemangsaan ini menggunakan teknik sederhana “kejar dan caplok” yang tidak membutuhkan keragaman bentuk seperti yang kita lihat pada ikan terumbu karang, di mana keragaman ikan teleostei paling tinggi. Tidak hanya predator-predator puncak yang mengalami generalisasi di laut terbuka. Sebagian besar ikan, semua ikan predator, berapapun ukurannya, fungsinya kurang-lebih sama dan beberapa spesialisasi yang patut diperhatikan adalah yang ada pada ikan mesopelagis, sebagian di antaranya mempunyai lubang bukaan mulut sangat besar dan memiliki organ cahaya yang menyala dalam gelap di bawah zona eufotik atau pada malam hari seperti predator di paparan benua dan terumbu karang yang menggunakan teknik “sergap dan caplok”. Selain itu, di laut terbuka mungkin hanya ikan todak (famili Istiophoridae) yang menunjukkan spesialisasi “melesat dan serang dari samping” seperti ikan barakuda di dekat pesisir. Jadi, pada ekosistem pelagis laut terbuka, rantai predator umum dimulai dari krustasea planktonik kemudian ikan mesopelagis dan beberapa ikan pelagis kecil sampai ke ikan tuna dan todak.

Perbedaan Karakteristik Darah Ikan Demersal dan Pelagis

Techilina (1992) mempelajari karakteristik morfologis darah 16 spesies ikan laut pelagis, bentopelagis dan ikan demersal. Pola perbedaan karakteristik darah bisa diamati, misalnya, jumlah eritrosit (sel darah merah) dan kadar hemoglobin yang lebih rendah pada ikan demersal yang aktivitas geraknya rendah. Ikan pelagis dengan tingkat metabolisme tinggi memiliki jumlah eritrosit yang lebih banyak dan kadar haemolgobin lebih tinggi. Ada korelasi negatif antara jumlah eritrosit dan leukosit (sel darah putih).

Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Indonesia

Menurut Anonymous (1992), ikan pelagis kecil didefinisikan sebagai gerombolan ikan-kecil yang hidup di dekat permukaan laut. Spesies kelompok ini (tidak termasuk tuna) adalah ikan layang (Decapterus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Selar spp.), lemuru (Sardinella spp.), ikan golok-golok (Chirocentrus spp.), teri (Stolephorus spp.), layur (Trichiurus spp.) dan lain-lain. Untuk menghitung sumberdaya kelompok ini, survei akustik, statistik pendaratan dan metode ekstrapolasi digunakan untuk menentukan kepadatan populasi. MSY (Maximum Sustainable Yield) diduga sebesar 50 % dari sumberdaya ini. Secara nasional, sumberdaya ikan pelagis kecil di Indonesia diduga volumenya adalah 4.950.000 ton per tahun dan MSY-nya 2.580.200 ton per tahun dalam daerah seluas 2.100.000 km persegi. Sumberdaya ikan pelagis kecil di ZEE Indonesia diduga sebesar 1.462.000 ton per tahun.

Daftar Pustaka :

Anonymous. 1992. The Indonesian Fisheries Profile. Department of Agriculture, Directorate General of Fisheries. Jakarta. 25 pp.

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Techilina, L.V. 1992. Summer Haematologic Characteristics of Marine Fishes. Hydrobiology Journal, vol. 28, no. 4, pp. 40 - 44

Minggu, 25 November 2018

Bioekologi Bentos


Zonasi Bentos di Pantai Berbatu dan Hutan Mangrove

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) penampilan umum pantai berbatu tropis mengikuti pola yang sama seperti daerah berlintang tinggi. Pada bagian terendah yang terpapar, ada zona makroalga kecil (Sargassum, Caulerpa, dan Dictyopteris di Afrika Barat, Sargassum dan Bifurcaria di Galapagos dan Turbinaria di Madagaskar), yang membentuk zona tersendiri dan terdapat bersama dengan berbagai jenis echinoidae, anemon dan zoanthidae. Di atas zona ini adalah zona eulitoral atau litoral-tengah yang didominasi di bagian atas oleh teritip (Chtamalus) dengan Siphonaria, Nerita dan Ostrea di tempat-tempat terlindung dan bagian bawah dihuni oleh alga koralin menghampar dan berbagai jenis moluska (Fissurella, Mytilus, Patella, Thais) dan kepiting. Di atas zona Chtamalus di litoral-tengah terdapat zona-percikan dengan moluska littorinidae dan di atasnya lagi ditempati lichenes (lumut kerak) yang menghampar. Zonasi umum seperti ini terutama dikendalikan oleh derajat keterpaparan (exposure) terhadap pasang surut dan aksi angin. Zonasi ini ditemukan di sepanjang Teluk Guinea, di pesisir Madagaskar, dan Galapagos meskipun tanpa littorinidae atau Nerita, dan diduga juga ada di seluruh tropis.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa zonasi seperti tersebut di atas membentang sampai ke tiang-tiang dermaga dan batang mangrove. Zonasi seperti ini di estuaria mempunyai fauna yang berkurang akibat faktor-faktor lingkungan. Pada batang mangrove, terutama dekat sisi luar hutan mangrove, dua dari tiga zona utama pantai berbatu dapat dikenali meskipun dengan beberapa perbedaan besar. Zona littorinidae didominasi oleh spesies Littorina yang mengkhususkan diri terhadap habitat tertentu ini; zona eulitoral didominasi di bagian atas oleh teritip, kadang-kadang oleh spesies yang berspesialisasi terhadap mangrove, dan oleh Ostrea yang tumbuh rapat pada bagian batang yang lebih bawah bersama dengan gastropoda Thais. Di bawah zona ini, bagaimanapun, kondisinya sangat berbeda dengan pantai berbatu dan di tempat tumbuhnya rumpun-rumpun alga merah dan coklat sublitoral, ada fauna lumpur pada kaki batang mangrove dan akar nafas (pneumatofora), termasuk gastropoda, kelomang dan ikan belodok Periopthalmus.

Pengaruh Pemupukan Terhadap Bentos Kolam

Menurut Boyd (1982), berdasarkan hasil-hasil penelitian lain, pengaruh pemupukan juga tercermin dalam produksi bentos di kolam ikan. Kelimpahan bentos di dua kolam pembenihan ikan yang tak dipupuk dan dua kolam pembenihan yang dipupuk rata-rata adalah 425 dan 694 organisme/m2, berturut-turut. Di kolam pembenihan lain, kepadatan organisme bentik makanan ikan rata-rata 371 dan 640 organisme/m2 di kolam yang tak dipupuk dan yang dipupuk, berturut-turut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh McIntire dan Bond pada tahun 1962 menyimpulkan bahwa pemupukan dengan nitrogen dan fosfor meningkatkan biomas organisme bentik makanan ikan sebanyak 76 kali di sebuah kolam dan 19,5 kali di kolam yang lain. Larva nyamuk “midge” (famili Tendipedidae) sedemikian jauh merupakan kelompok bentos paling penting di kolam.

Kolam-kolam di New York, sebagaimana dilaporkan oleh Hall et al. dan dikutip oleh Boyd (1982), mempunyai komunitas bentos yang tersusum terutama dari organisme-organisme berikut :
- Diptera : Chironomus tentans, Procladius sp., Ablabesmyia sp., Tanytarsini sp., Glypotendipes sp., Microtendipes sp., Ceratopogonidae dan Chironomus sp.
- Trichoptera : Ocetis sp. dan Polycentropis sp.
- Ephemeroptera : Caenis simulans dan Callibaetis ferrugineus
- Zygoptera : Ishneura sp.dan Enallagra sp.
- Anisoptera : Libelludidae dan Gomphidae
- Amphipoda : Hyalella azteca

Pemupukan dengan nitrogen dan fosfor menyebabkan biomas bentos meningkat cukup besar. Pada kolam yang dipupuk, Chironomus tentans merupakan spesies bentos yang paling dominan; Caenis simulans paling dominan di kolam yang tak dipupuk. Penelitian juga menunjukkan bahwa pemupukan meningkatkan biomas organisme bentik makanan ikan di kolam di Alabama, Amerika Serikat. Larva chironomidae melimpah di dalam contoh-contoh yang diambil dari kolam-kolam yang dipupuk.

Pengaruh Faktor Fisika dan Kimia Air Terhadap Keragaman Bentos Sungai

Selama tahun 1980 dan 1981, sebuah survei limnologis telah dilakukan di daerah Uraba di sungai-sungai Turbo, Apartado dan Chigorodo. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis-jenis makroinvertebrata berikut adalah yang paling umum : Baetis, Leptohyphes, Tricorythodes, Ambrisus, Phyllogomphoides dan Chironomus. Secara umum, keragaman zoobentosnya tinggi, dan kondisi fisika serta kimia air bukan merupakan faktor pembatas untuk mendukung keragaman ini (Ramirez dan Roldan, 1989).

Pengaruh Jenis Tumbuhan Bakau Terhadap Kepadatan Bentos Mangrove :

Vanhove et al. (1991) melaporkan bahwa distribusi vertikal meiofauna dalam sedimen tumbuhan bakau Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhyza, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba di Teluk Gazi (Kenya) dibahas. Tujuh belas taksa telah diamati dengan kepadatan tertinggi pada sedimen Bruguiera (6707 individu/10 cm2), diikuti oleh Rhizophora (3998 individu/10 cm2), Avicennia (3442 individu/10 cm2), Sonneratia (2889 individu/10 cm2) dan Ceriops (1976 individu/10 cm2). Nematoda menyusun sampai 95 % dari total kepadatan; taksa lainnya adalah kopepoda , turbellaria, oligokhaeta, polikhaeta, ostracoda dan rotifera. Kepadatan-kepadatan tinggi terdapat pada kedalaman sampai 20 cm dalam sedimen. Terutama sedimen Ceriops masih menunjukkan kepadatan tinggi untuk nematoda (342 individu/10 cm2) dan kopepoda (11 individu/10 cm2) di lapisan terdalam (15 – 22 cm). Ukuran partikel dan kondisi oksigen merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi distribusi meiobentos; liang-liang kepiting Uca berdampak besar terhadap distribusi dan kelimpahan meiofauna.

Pengaruh Gas Dasar Laut Terhadap Bentos

Bubinas (1991) melaporkan bahwa pada bulan Oktober – November 1982 penelitian zoobentos telah dilakukan di bagian timur Laut Baltik selama ekspedisi di atas kapal “Ayu-Dag”. Peneliti menemukan dua biocenoses makrozoobentos : lithophilic (senang habitat berbatu) – Mytilus edulis - dan psammophilic (suka habitat berpasir) – Macoma baltica. Kedua biocenoses merupakan bagian utama biomas zoobentos. Ada 17 spesies zoobentos. Biocenoses yang diwakili oleh Mytilus edulis ditemukan meluas ke bawah sampai 35 meter. Ada sangat banyak bangkai Macoma baltica. Lebih dalam dari 100 meter zoobentos tidak ditemukan karena adanya rejim gas yang buruk dan pencemaran dasar laut oleh hidrogen sulfida.

Pengaruh Budidaya Kerang Terhadap Bentos Laut di Sekitarnya

Lim et al. (1992) telah melakukan penelitian untuk menjelaskan pola distribusi makrobentos penghuni dasar-lunak dekat lokasi budidaya kerang di Teluk Chinhae, Korea. Binatang bentos yang dikumpulkan selama penelitian ini mencakup 107 spesies dengan perincian 6.978 individu : 52 spesies dari polikhaeta (48,6 %), 34 spesies dari krustasea (31,8 %), 14 spesies dari moluska (13,1 %) dan 7 spesies dari kelompok fauna lain (6,5 %). Spesies dominan adalah 4 polikhaeta dan 1 amfipoda : Lumbrineris longifolia, Capitella capitata, Mediomastus sp., Sigambra tentaculata dan Erictonius pugnax. Daerah penelitian bisa dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan kesamaan fauna yang sangat berhubungan dengan konsentrasi bahan organik pada sedimen permukaan. Komunitas bentos yang terletak dekat lokasi budidaya kerang menunjukkan variasi-ruang dan variasi-musiman yang besar dalam hal keragaman spesies dan kemerataan, berbeda dengan kestabilan-kestabilan pada komunitas-komunitas yang jauh dari lokasi budidaya.

Dihipotesiskan bahwa fenomena bersiklus mortalitas musim panas yang diikuti oleh pemulihan pada musim dingin mungkin merupakan karakteristik umum pada komunitas bentos yang sangat banyak terkena pencemaan bahan organik.

Pengaruh Tekstur Sedimen dan Energi Gelombang Terhadap Zoobentos Pantai Berpasir

Corbisier (1991) melaporkan bahwa komposisi spesies, kepadatan fauna, keragaman spesies dan pola zoonasi makrozoobentos serta hubungannya dengan karakteristik sedimen telah dipelajari dan dibandingkan di tiga pantai berpasir pada daerah polyhaline (banyak garam) di sistem estuaria Santos, Sao Paulo, Brazil. Sampel dikumpulkan tiap tiga bulan selama setahun (Juli 1977 – Mei 1978). Lokasi sampling adalah daerah intertidal rendah, rata-rata dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polikhaeta mendominasi fauna ini, baik dalam hal jumlah spesies maupun jumlah individu. Struktur komunitas pantai Ponta da Praia dicirikan oleh kepadatan yang tinggi, serta keragaman dan kemerataan yang rendah, akibat didominasi oleh spionidae Scolelepis squamata. Di Vicente de Carvalho, faunanya dicirikan oleh dominasi polikhaeta Laeonereis acuta dan Capitella capitata dengan kepadatan rendah, keragaman tinggi serta kemerataan tinggi. Di Bertioga Channel, nilai-nilainya intermediet dan faunanya didominasi oleh Scolelepis squamata dan Laeonereis acuta. Tekstur sedimen bertangung jawab atas gambaran-gambaran ini, namun beberapa perbedaan dalam hal keragaman bisa disebabkan oleh perbedaan energi gelombang. Sedikitnya jumlah krustasea dan moluska menunjukkan pengaruh pencemaran di estuaria terhadap fauna. Pola zonasi untuk distribusi spesies dan struktur komunitas berbeda di lokasi-lokasi penelitian; ia tidak berhubungan dengan karakteristik sedimen yang relatif seragam di bagian bawah pantai; bagaimanapun, keragaman terendah ditemukan di bagian atas di semua lokasi.

Daftar Pustaka :

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 318 pp.

Bubinas, A. 1991. Species Composition, Distribution and Biomass of Zoobenthos in The Eastern Part of The Baltic Sea. Ecology, No. 1, pp. 33 – 42

Corbisier, T.N. 1991. Benthic Macrofauna of Sandy Intertidal Zone at Santos Estuarine System, Sao Paulo, Brazil. Biol. Inst. Oceanogr. Sao Paulo, Vol. 39, No. 1, pp. 1 - 13

Lim, H.-S., J.-W. Choi, J.-G. Je and J.-H. Lee. 1992. Distribution Pattern of Macrozoobenthos at The Farming Ground in The Western Part of Chinhae Bay, Korea. Bulletin of Korean Fisheries Society, Vo. 25, No. 2, pp. 115 - 132

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc. San Diego. 407 pp.

Ramirez, J.J. and G. Roldan. 1989. Contribution to The Limnological Knowledge and The Aquatic Macroinvertebrates in Some Rivers of The Uraba Region (Antioquia). Actual Biology, Vol. 18, No. 66, pp. 113 - 121

Vanhove, S., M. Vincx, D. Van Gansbeke, W. Gijselinck and D. Schram. 1992. The Meiobenthos of Five Mangrove Vegetation Types in Gazi Bay, Kenya. Hydrobiologia, Vol. 247, no. 1 – 3, pp. 99 - 108

Minggu, 11 November 2018

Pernafasan Tambahan Pada Ikan


Pernafasan Udara Pada Ikan

Menurut Hickman et al. (2001) ada banyak jenis ikan yang dapat hidup di luar air selama beberapa periode waktu dengan melakukan pernafasan udara. Berbagai organ digunakan oleh berbagai jenis ikan untuk keperluan ini. Alat pernafasan udara berupa paru-paru dimiliki oleh ikan paru, Polypterus, dan sejenis ikan crossopterygii yang telah punah. Sidat air tawar seringkali menjelajahi daratan selama cuaca berhujan, dengan menggunakan kulitnya sebagai permukaan respirasi utama. Ikan bowfin, Amia, mempunyai insang serta gelembung renang yang mirip paru-paru. Pada suhu rendah ikan bowfin hanya menggunakan insang, tetapi ketika suhu dan aktivitas meningkat ikan ini melakukan lebih banyak pernafasan udara dengan gelembung renangnya. Sidat listrik mempunyai insang yang menyusut dan harus melengkapi respirasi insangnya dengan menelan udara melalui rongga mulut yang penuh pembuluh darah. Salah satu ikan yang bernafas udara yang paing baik adalah ikan betok India (Indian climbing perch) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di darat dekat tepi perairan dengan melakukan pernafasan udara melalui ruang-ruang udara khusus di atas insangnya yang telah menyusut.

Pernafasan Udara dan Permasalahannya Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa alasan ikan untuk bernafas dengan udara tampaknya jelas – bila oksigen menjadi jarang di dalam air atau bahkan ketika air itu sendiri menjadi jarang, maka kemampuan untuk memperoleh oksigen dari udara mempunyai nilai kelangsungan hidup yang nyata. Gagasan ini cukup berguna karena perkembangan pernafasan udara terjadi berkali-kali, walaupun paling sering pada iklim tropis. Pernafasan ini terjadi pada banyak famili ikan yang menggunakan berbagai modifikasi struktur untuk bernafas dengan udara. Memilih pernafaan udara berarti juga membawa perubahan dan permasalahan, dan demikianlah, banyak ikan bernafas udara hanya untuk sementara waktu untuk menghidari atau setidaknya untuk meminimumkan masalah berkenaan dengan udara seperti kekeringan dan kesulitan akibat timbunan internal karbon dioksida. Kondisi ekstrim lain adalah kasus pada ikan paru-paru Australia yang bernafas dengan udara, tetapi tampaknya jarang menjumpai kondisi lingkungan tak menguntungkan di mana pada kondisi tersebut bernafas-udara berperanan penting. Jadi mungkin banyak alasan bagi ikan untuk bernafas dengan udara selain dengan air.

Struktur yang dipakai untuk bernafas-udara berbeda-beda sesuai dengan alasannya. Pertama, kebanyakan insang ikan tidak berfungsi dalam udara dan sangat sulit untuk pertukaran gas. Beberapa ikan (misal, sidat Anguillidae) mempunyai struktur pendukung tambahan yang bisa menyokong insang dalam kondisi tanpa air, tetapi kebanyakan ikan penafas udara mempunyai beberapa struktur bagi perukaran gas dalam udara selain insang dan bagian-bagian insangnya yang khas bagi teleostei menyusut atau bahkan hilang sama sekali. Struktur seperti ini yang dikenal baik adalah gelembung renang fisostomus, yang diduga merupakan paru-paru sederhana pada ikan primitif bersirip-lembaran sebelum mereka berevolusi menjadi amfibi dan sebelum struktur tersebut digunakan sebagai organ pengapung. Ikan paru-paru modern (ketiga spesies semuanya) juga menggunakan gelembung renang sebagai paru-paru. Pada ikan sidat listrik Amazon, lapisan mulut sangat berlipat-lipat dan meluas sedemikian efektif hingga insangnya hampir hilang. Ada banyak ragam perluasan permukaan di belakang mulut ikan dan di bawah tutup insang, termasuk beberapa jenis kantung dan berbagai tonjolan mirip-pohon atau mirip-karang sebagai perluasan permukaan pernafasan. Banyak ikan dengan jenis-jenis “insang-udara” ini, termasuk ikan betta dari daerah tropis, yang hanya bisa bernafas dengan udara dan mati lemas di dalam air bila tidak bisa berhubungan dengan udara. Ada sedikit ikan yang menggunakan lambung atau ususnya untuk pertukaran gas dengan menelan udara. Sangat beragamnya adaptasi struktural untuk pernafasan udara ini biasanya ditafsirkan sebagai petunjuk banyaknya asal evolusi adaptasi tersebut (Smith, 1982).

Masalah fisiologis yang dihadapi ikan penafas udara lebih dari sekedar menyediakan permukaan pernafasan baru dan mencegah kekeringan. Masalah utama adalah penimbunan karbon dioksida. Di air karbon dioksida melintasi insang dalam bentuk larutan dengan tekanan parsialnya rendah. Di udara, penyingkiran karbon dioksida tergantung pada difusi saja, sementara tekanan parsial karbon dioksida yang cukup tinggi (25 – 40 mmHg) tertimbun di dalam darah ikan. Hal ini tidak akan menjadi masalah selama hemoglobin ikan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai efek Bohr maupun efek Root. Bila kedua efek ini ada, maka kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen akan sangat tertekan sehingga hampir tak berfungsi. Hemoglobin kebanyakan ikan penafas udara yang sebegitu jauh telah diteliti menunjukkan sedikit atau tidak mempunyai efek Bohr atau efek Root. Tingkat tekanan parsial karbon dioksida naik cukup banyak dan ekskresi karbon dioksida diduga terjadi melalui kulit karena karbonat anhidrase ditemukan di sini dalam konsentrasi tinggi pada ikan penafas udara. Juga, salah satu alasan beberapa ikan penafas udara sering kembali ke air adalah untuk menghilangkan timbunan karbon dioksida.

Masalah lainnya mencakup adaptasi pola aliran darah sedemikian hingga oksigen dikirimkan sebagaimana mestinya ke jaringan. Pada ikan paru-paru, sebagai contoh, darah teroksigenasi dari gelembung renang menuju ke jantung, kemudian sebagian besar melintasi lengkung insang pertama (yang tidak mempunyai kemampuan pertukaran gas) dan kemudian ke bagian tubuh lainnya. Bila darah teroksigenasi melintasi insang normal ketika tekanan parsial oksigen dalam air lebih renah dari pada tekanan parsial oksigen dalam darah, maka darah akan melepaskan oksigen ke air. Juga ada masalah upaya mengurangi percampuran antara darah vena teroksigenasi dari organ petukaran gas baru (pernafasan udara) dengan darah vena dari bagian tubuh lainnya. Sedikit ikan penafas udara mempunyai darah vena teroksigenasi dan yang tak teroksigenasi dalam kondisi hampir terpisah agak seperti yang dimiliki mamalia. Sebaliknya, pengendalian pernafasan air dan udara yang digabungkan kadang-kadang menimbulkan respon yang tidak sesuai yang dilakukan oleh salah satu sistem pernafasan tersebut (Smith, 1982).

Pernafasan Tambahan Pada Ikan Paru-Paru, Arapaima, Belodok dan Sidat

Pada ikan paru-paru, nostril (lubang hidung) hanya digunakan untuk kemoresepsi (menerima rangsang kimia). Air masuk ke dalam faring hanya melalui mulut. Perkembangan insang sangat buruk sehingga ikan paru-paru akan mati lemas bila tidak dapat menuju ke udara bebas. Ikan ini menelan udara di permukaan air dengan bantuan bagian khusus saluran pencernaan yang dapat mengikat oksigen; bagian khusus ini disebut “ventral diverticula” yang strukturnya serupa dengan paru-paru vertebrata. Ikan paru-paru melakukan estivasi atau tidur musim panas. Selama estivasi ini metabolisme dan respirasinya minimal; kantung lipoprotein disekresi menyelubungi dirinya untuk mencegah kekeringan.

Pada ikan arapaima gelembung gas dimodifikasi dengan adanya pembuluh darah tambahan yang memiliki kantung-kantung kecil sempurna. Udara melewati gelembung gas melalui duktus pneumatikus.

Ikan belodok bernafas dengan udara. Ikan ini menghabiskan sebagian besar waktunya di darat dekat perairan.

Selama migrasi melintasi darat, ikan sidat diyakini melakukan pernafasan tambahan yang disebut respirasi kutaneus (pernafasan kulit). Hal ini menimbulkan masalah karena kehilangan air dan garam terjadi secara bersamaan.

Lapisan Operkulum Clarias Dalam Hubungannya Dengan Respirasi Tambahan

Garg dan Mittal (1990) mengamati lapisan tutup insang (operkulum) pada ikan lele Clarias batrachus dalam hubungannya dengan respirasi tambahan. Operkulum bisa dibagi menjadi daerah proksimal, distal dan intermediet. Epitelium yang melapisi permukaan-dalam operkulum dan epidermis operkulum di daerah-daerah ini pada ikan Clarias batrachus menunjukkan perbedaan nyata dalam hal ketebalan, kepadatan, ukuran sel-sel lendir dan “club cell” (sel tongkat), dan distribusi limfosit, melanosit, taste bud (organ perasa) serta organ ampullary. Perbedaan-perbedaan ini dalam hal organisasi struktural adalah berhubungan dengan perbedaan kondisi yang mendominasi lokasi-lokasi tersebut. Pembuluh darah yang banyak terlihat dalam jaringan yang ada di bawah epidermis operkulum adalah berhubungan dengan respirasi tambahan pada ikan ini. Sebaliknya, jaringan yang ada di bawah epitelium pelapis sisi-dalam operkulum memiliki sedikit pembuluh darah. Respirasi tambahan di daerah ini mungkin tidak begitu menguntungkan.

Daftar Pustaka :

Garg, T.K. and A.K. Mittal. 1990. The Epidermal and Inner Epithelial Lining of The Operculum in Clarias batrachus (Clariidae, Siliruformes). Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 2, pp. 149 - 157

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Sabtu, 03 November 2018

Penangkapan dan Manajemen Perikanan Udang Laut


Sumberdaya Udang di Indonesia

Udang merupakan komoditi ekspor perikanan primadona di Indonesia. Ditemukan sekitar 83 spesies udang di perairan Indonesia dan hanya sedikit di antaranya dieksploitasi secara komersial. Penaeidae merupakan spesies utama yang banyak ditangkap. Spesies ini hampir selalu ditemukan di semua perairan pesisir, terutama dekat daerah estuaria, di perairan sedalam 30 – 40 meter dengan dasar lumpur berpasir. Khusus untuk tiger prawn atau udang windu (Penaeus monodon dan Penaeus semisulcatus), kedalaman yang sesuai adalah 40 – 60 meter dengan kondisi air jernih dan dasar lumpur berpasir. Pendugaan MSY (Maximum Sustainable Yield) untuk udang dan lobster didasarkan pada model Graham-Schaefer yang menggunakan analisis regresi terhadap hasil tangkap per satuan upaya versus jumlah upaya. Data yang digunakan adalah data primer dari hasil survei laut (hasil tangkapan kapal penelitian dan nelayan) dan survei pendaratan (pangkalan pendaratan dan stasiun pengumpulan udang). Sumberdaya nasional udang penaeidae di Indonesia diduga sebanyak 199.400 ton per tahun dan MSY-nya adalah 100.700 ton per tahun (Anonymous, 1992).

Evaluasi Terhadap Larangan Penangkapan Udang Laut di Perairan Queensland

Long et al. (1991) menyajikan data hasil survei tahun 1989 setelah dilarangnya operasi trawl udang Pesisir Timur di perairan utara Queensland, Ausralia, untuk menduga pengaruh larangan trawl terhadap laju tangkap dan ukuran udang serta menentukan apakah waktu diberlakukannya larangan berhasil dalam melindungi stok udang juvenil untuk setiap spesies. Perikanan ini terutama dipusatkan pada brown tiger prawn (Penaeus esculentus), tetapi juga menangkap groobed tiger prawn (Penaeus semisulcatus), endeavour prawn (Metapenaeus endeavour), Metapenaeus ensis dan Penaeus latisulcatus. Hasil survei menunjukkan bahwa larangan ini secara efektif menurunkan jumlah juvenil Penaeus esculentus dan Penaeus latisulcatus yang tertangkap secara kebetulan; bagaimanapun, karena perbedaan regional dalam hal populasi udang dan perbedaan interspesifik dalam hal biologi populasi udang, larangan untuk seluruh pesisir timur tidak sama efektifnya untuk setiap daerah.

Penutupan Musim Penangkapan Udang Dengan Trawl di Moreton Bay, Queensland

Courtney et al. (1991) melaporkan bahwa pada tahun 1988, penutupan musim penangkapan udang dengan trawl diperkenalkan di Moreton Bay, Queensland, Australia, untuk mengurangi upaya penangkapan udang-udang kecil. Untuk itu dilakukan program penelitian yang dimulai pada bulan Agustus 1988 guna membahas penutupan musim penangkapan di teluk ini serta mempelajari kemungkinan pengaruh, bila ada, manipulasi penangkapan tersebut terhadap perikanan. Pola ruang dan pola waktu dalam hal distribusi udang dari semua spesies komersial utama yang sedang berekruitmen telah dipelajari untuk menentukan bulan apa dan daerah mana yang penangkapannya melebihi pertumbuhan udang; tiga spesies komersial yang terlibat dalam perikanan ini adalah Metapenaeus bennettae, Penaeus plebejus dan Penaeus esculentus. Secara keseluruhan, ditemukan bahwa pengaruh penutupan musim penangkapan terhadap hasil-per-rekruit untuk tiga spesies utama adalah tidak nyata, dan juga disimpulkan bahwa kelanjutan penutupan musim penangkapan ini tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Daftar Pustaka :

Anonymous. 1992. The Indonesian Fisheries Profile. Department of Agriculture, Directorate General of Fisheries. Jakarta. 25 pp.

Courtney, A.J., J.M. Masel and D.J. Die. 1991. An Assessment of Recently Introduced Seasonal Prawn Trawl Closures in Moreton Bay, Queensland. INF. SER. DEP. PRIMARY IND. (QUEENSLAND), No. Q191037, 84 pp.

Long, W.J.L., S.A. Helmke and R.G. Coles. 1991. Preliminary Assessment of The 1988/89 East Coast Prawn Trawling Closure. INF. SER. DEP. PRIMARY IND. (QUEENSLAND), No. Q191038, 14 pp.

Senin, 29 Oktober 2018

Kakap dan Kerapu : Habitat, Distribusi, Reproduksi dan Kandungan Racun


Kakap dan Kerapu Sebagai Komponen Penting Komunitas Ikan Demersal


Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sumberdaya ikan demersal di perairan dengan dasar berbatu, baik di estuaria maupun di lepas pantai ketiga samudra tropis, didominasi oleh tiga famili ikan besar mirip-bass, yang biasanya dikenal sebagai kakap dan kerapu, yang banyak di antaranya mencapai ukuran sangat besar dan berwarna cerah. Secara khas mulut mereka besar dan mangsanya terutama berupa spesies ikan lain. Serranidae mempunyai banyak genus (misal Liopoma, Epinephelus, Mycteroperca, Paralabrax, Plectropomus, Serranus) dan lebih dari 300 spesies; Lutjanidae mempunyai 23 genus (misal Caesio, Lutjanus, Ocyurus) dan lebih dari 200 spesies yang beberapa di antaranya mengandung racun ciguatera; Lethrinidae memiliki 2 genus (Lethrinus, Neolethrinus) dan sekitar 20 spesies.

Lutjanus Sebagai Ikan Demersal Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) mengulas beberapa laporan mengenai komunitas ikan di Indo-Pasifik dengan dasar perairan yang keras. Di Tebing Kenya Utara, yang merupakan wilayah paparan benua terluas di garis pantai Afrika Timur, hasil survei menunjukkan bahwa fauna ikan ekonomis di atas kedalaman termoklin didominasi oleh 14 spesies ikan dari famili yang sama : Lutjanus rivulatus, Lutjanus bohar dan Lethrinus crocineus yang masing-masingnya menyumbangkan biomas lebih dari 10 %; di bawah termoklin, fauna spesies Lutjanus, Epinephelus dan Lethrinus memberikan ruang bagi fauna ikan-ikan kecil, yang disebut “fauna ikan pink”, dengan Cheimerius nufar, Pristipomoides microlepis, Polysteganus caeruleopunctatus dan Argyrops spinifer menjadi spesies yang paling melimpah. Ke arah selatan, tebing-tebing sekitar Pulau Pemba dan Tebing Malindi, yang jauh lebih sempit daripada Tebing Kenya Utara, memiliki lebih sedikit fauna Lutjanidae besar dan jauh lebih banyak ikan-ikan kecil non ekonomis. Lebih ke arah selatan lagi, di Tebing St. Lazarus di lepas pantai Mozambique, Lutjanus bohar mendominasi komunitas ikan kakap-kerapu penghuni tebing berbatu yang khas.

Habitat dan Distribusi Kakap dan Kerapu

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di perairan tropis Indo-Pasifik pada dasar keras berpasir ditemukan fauna ikan mirip-bream (Nemipterus, Pomadasys, dll.), bersama dengan ikan kakap dan kerapu (Lutjanus, Epinephelus, dll.), yang berkembang paling baik pada tebing-tebing berbatu dan berkarang. Di Laut Cina Selatan telah dilakukan survei trawl pada daerah antara Sungai Rajang dan Kepulauan Natuna Besar, Indonesia. Di daerah ini, dengan dasar berpasir pada kedalaman 60 – 90 meter dan air dasar perairan yang hangat, ditemukan kumpulan ikan lutjanid di mana Lutjanidae membentuk 49 % biomas, diikuti oleh Priacanthus (10,2 %), Pentapodidae (8,3 %), carangidae (7,1 %) dan triglidae (2,6 %). Juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit ikan Parapristipoma, Saurida, sciaenidae, nemipteridae. Ikan kakap yang utama adalah Lutjanus sebae, Lutjanus lineolatus, Lutjanus lutjanus, Lutjanus vitta dan Lutjanus gibbus. Spesies yang berasosiasi mencakup Nemipterus bathybus, Nemipterus personii, Nemipterus nematophorus, Epinephelus hata, Epinephelus diacanthus, Epinephelus areolatus, Upeneus bensasi, Psettodes erumei dan Argyrops spinifer. Kerapu besar (misal Epinephelus aeneus) merupakan ikhtiofagus (pemakan ikan) yang terkamuflase di dasar perairan; ia berbaring menunggu di tempat persembunyian sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan sedikit gerakan maju ia mencaplok mangsanya.

Keberadaan Epinephelus dan Kerabat-Kerabatnya di Teluk Meksiko

Bullock dan Smith (1991) mengumpulkan 16 spesies ikan serranidae (Centropristis ocyurus, Centropristis striata, Diplectrum formosum, Epinephelus flavolimbatus, Epinephelus morio, Epinephelus niveatus, Holanthias martinicensis, Hypoplectrus unicolo, Mycteroperca microlepis, Mycteroperca phenax, Serraniculus pumilio, Serranus notospilus, Serranus phoebe, Serranus subligarius, Rypticus bistrispinus dan Rypticus maculatus) selama Proyek Hourglass. Centropristis ocyurus (n = 982) dan Diplectrum formosum (n = 616) adalah spesies yang paling banyak dikumpulkan. Melimpahnya ikan-ikan ini dalam sampel penelitian tersebut antara lain disebabkan oleh kesukaannya terhadap dasar perairan berelief rendah, yang disampling lebih efisien oleh alat tangkap trawl. Pengamatan oleh penyelam SCUBA menunjukkan bahwa beberapa spesies lain (misal Serranus subligarius), meskipun sedikit terwakili dalam sampel trawl, sangat banyak dijumpai di terumbu karang berbatu. Penangkapan Epinephelus mystacinus dan Gonioplectrus hispanus merupakan laporan pertama keberadaan spesies-spesies ikan ini di Teluk Meksiko timur.

Sejarah Hidup dan Reproduksi Ikan Kakap Lates calcarifer

Menurut Almendras et al. (1988) kakap Lates calcarifer merupakan ikan konsumsi penting di perarian tropis dan semi tropis. Sejarah hidupnya yang lain dari biasanya membuat ikan kakap menjadi sasaran penelitian fisiologi reproduksi. Pengamatan terhadap ikan kakap liar di dalam habitat alaminya menunjukkan bahwa larva ikan ini tetap tinggal di perairan pesisir hingga mereka mencapai panjang 5 mm; mereka kemudian memasuki rawa-rawa pesisir di mana mereka tetap di sini hingga berumur 6 bulan dan sepanjang 20 cm. Ketika rawa-rawa tempat pembesarannya mulai mengering, ikan kakap ini menuju ke daerah pesisir dan estuaria di mana mereka ditemukan pada umur sekitar 1 tahun. Selama tahun kedua dan ketiga, banyak - tetapi tidak semua – ikan kakap berenang ke perairan tawar di darat. Beberapa ikan yang berumur 3 tahun dan banyak yang berumur 4 tahun melakukan migrasi tahunan dari perairan darat menuju perairan pesisir untuk memijah. Ikan kakap juga mengalami pembalikan jenis kelamin (sex reversal) dari jantan ke betina. Metode histologi digunakan untuk menunjukkan bahwa peralihan dari jantan ke betina dimulai dalam gonad ketika testes matang untuk terakhir kalinya dan sempurna tak lama setelah pemijahan. Secara umum, kakap pertama kali matang gonad sebagai ikan jantan pada umur 3 tahun dan menjadi betina pada umur 4 atau 5 tahun.

Perilaku Reproduksi, Telur dan Larva Lutjanus

Hamamoto et al. (1992) mengamati perilaku reproduksi dan sejarah hidup awal ikan kakap berbintik putih, Lutjanus stellatus Akazaki, berdasarkan pengamatan di akuarium. Pemijahan terjadi di antara seekor betina dan 2 -12 ikan jantan pada jam-jam pertama setiap sore sejak pertengahan Mei sampai pertengahan Juni 1984. Enam pola tingkah laku mudah dibedakan dalam urutan pemijahan : a) bergerombol; b) mencari-cari; c) menyungkur; d) berenang cepat ke arah permukaan; e) memijah; dan f) pasca memijah. Spesies ini dianggap sebagai pemijah kelompok. Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat, transparan, mengapung dan tak berpigmen. Telur tersebut berdiameter 0,80 – 0,85 mm, dan mengandung sebuah butiran minyak yang berdiameter 0,16 – 0,17 mm. Penetasan berlangsung 30 jam setelah pembuahan. Segera setelah menetas, larva memiliki panjang total 2,48 – 2,56 mm dan mempunyai kuning telur besar berbentuk elips. Sebuah butiran minyak terletak pada ujung depan kuning telur ini.

Racun Pada Kakap dan Kerapu

Hashimoto (1979) melaporkan adanya ciguatoksin dan racun mirip-ciguatoksin pada ikan kakap merah, Lutjanus bohar, dan kerapu, Epinephelus fuscoguttatus. Lutjanus bohar paling sering menyebabkan kasus keracunan ciguatera di Pasifik sedangkan kasus keracunan akibat Epinephelus fuscoguttatus kurang sering. Ikan-ikan ciguaterik ini menghuni terumbu karang yang telah berkembang di daerah tropis dan sub tropis. Pada ikan-ikan ini juga ditemukan racun lain yang larut-air dan menyebabkan muntah yang hebat bila diberikan lewat mulut atau disuntikkan di bawah-kulit pada kucing. Racun penyebab muntah ini dinamakan ciguaterin. Ciguaterin tidak beracun bagi tikus dan manusia. Racun ini kadang-kadang ditemukan di dalam otot tetapi hampr selalu dijumpai dengan kadar tinggi di dalam hati ikan ciguaterik khas : Lutjanus bohar dan Epinephelus fuscoguttatus. Ciguaterin cepat rusak selama penyimpanan, bahkan bila dibekukan.

Pengaturan Perikanan Kakap Lates calcarifer

Kakap (Lates calcarifer) adalah ikan perch centropomidae besar yang tumbuh sampai sedikitnya 150 cm panjang total dan bobot sampai 50 kg. Spesies ini mendukung perikanan jaring insang komersial penting dan rekreasi pemancingan di Queensland, Northern Territory dan Australia Barat. Pengaturan ukuran resmi telah diperkenalkan di Queensland pada 1877 (16 ons) dan kemudian ditingkatkan pada tahun 1989 menjadi 55 cm panjang total. Panjang resmi minimum 23 inci (58 cm) telah dimantapkan pada Juli 1966 di Northern Territory dan ini dianggap sebagai hasil langsung dari pengaturan Queensland ( memijah sedikitnya sekali). Ada tiga kelompok masalah yang dijumpai bila mempertimbangkan ukuran resmi untuk digunakan dalam manajemen perikanan kakap : sifat-sifat reproduksi, hasil dan multi-spesies (Glaister (1990) dalam Hancock, (1992)).

Daftar Pustaka :

Almendras, J.M., C. Duenas, J. Nacario, N.M. Sherwood and L.W. Crim. 1988. Sustained Hormone Release. III. Use of Gonadotropin Releasing Hormone Analogue to Induce Multiple Spawnings in Sea Bass, Lates calcarifer. Aquaculture, Vol. 74, pp. 97 - 111

Bullock, L.H. and G.B. Smith. 1991. Seabasses (Pisces : Serranidae). Memoar of Hourglass Cruises. Florida Marine Research Institute, Department of Natural Resources, St. Petersburg, Florida, USA, vol. 8, no. 2, 243 pp. ISSN 0085-0683

Glaister, J.P. 1990. Barramundi in Hancock, D.A. (Ed.). 1992. Australian Society for Fish Biology Workshop. Legal Sizes and Their Use in Fisheries Management. Australian Gov. Publ. Serv., Canbera (Australia). pp. 73 - 77

Hamamoto, S., S. Kumagai, K. Nosaka, S. Manabe, A. Kasuga and Y. Iwatsuki. 1992. Reproductive Behavior, Eggs and Larvae of a Lutjanid Fish, Lutjanus stellatus, Observed in An Aquarium. Japan Journal of Ichthyology, vol. 39, no. 3, pp. 219 - 228

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Pengaruh Lingkungan Terhadap Distribusi Organisme


Penemuan Organisme Laut di Luar Daerah Distribusi Normalnya

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa pengusiran, atau adanya populasi yang “berakhir dengan kematian” yang terdiri dari individu-individu spesies yang tua dan tak bereproduksi yang hidup jauh dari pusat distribusinya, biasanya terlihat dalam data hasil survei plankton regional. Populasi yang terusir ini tidak selalu mudah dibedakan dari spesies kosmopolit (tersebar di seluruh dunia) yang hidup pada kedalaman yang makin dalam ke arah tropis sedemikian hingga tetap ada dalam kisaran toleransi suhunya. Perlu dicatat bahwa tidak hanya plankton saja yang mengalami pengusiran : selama terjadinya El Nino Southern Oscillation (ENSO) spesies-spesies ikan perairan hangat dengan jumlah sangat banyak bergerak ke arah kutub pada arus-arus perbatasan timur, dengan kemampuan memantapkan polulasi baru sebagai respon terhadap perubahan kondisi laut berskala puluhan tahun. Pengusiran organisme “tuna wisma” ini juga terjadi pada ikan demersal, seperti ikan sea bass Eropa (Morone saxatilis) yang tampaknya sehat pernah ada seekor tertangkap oleh trawl di lepas pesisir Nigeria, atau ikan Latimeria chalumnae yang pertama kali tertangkap di Durban, jauh ke arah selatan dari habitat normalnya di Comoro.

Pengaruh Musim Terhadap Distribusi Ikan di Bendungan

Pavlov et al. (1992) menyatakan bahwa data survei hidroakustik memungkinkan untuk memperoleh beberapa gambaran mengenai pola-pola umum distribusi-ruang ikan di bendungan. Ciri khas distribusi kepadatan ikan skala makro adalah distribusi “marginal” yang tak tergantung musim. Pada musim dingin kebanyakan ikan berkumpul di teluk sedangkan pada musim panas ikan tersebar merata di seluruh bagian bendungan. Kepadatannya di daerah pesisir bendungan adalah lebih tinggi.

Pengaruh Arus Terhadap Perubahan Distribusi Ikan Clupea dan Scomber

Salah satu perubahan alami yang menarik pada stok ikan Laut Utara pada tahun 1980-an adalah pergeseran distribusi musim panas ikan hering (Clupea harengus) dewasa. Selama tahun 1970-an dan dekade awal, daerah pencarian makan utama pada bulan Juni/Juli adalah perairan lepas pantai timur Skotlandia sebelah selatan garis 57o Lintang Utara dan sebelah barat garis 2o Bujur Timur. Selama tahun 1980-an, sangat sedikit ikan hering yang ditemukan di daerah ini selama musim makan. Distribusi ikan dewasa telah bergeser ke utara dan timur laut, ke tepi paparan benua dan Palung Norwegia. Rekruitmen ikan hering selalu meningkat selama awal tahun 1980-an, dan melebihi rata-rata jangka panjang dari tahun 1984 sampai 1986. Selama tahun-tahun dengan rekruitmen melimpah, ikan juvenil di Laut Utara dengan proporsi relatif tinggi tumbuh di Skagerrak/Kattegat. Perubahan distribusi ikan hering dewasa bersesuaian dalam hal waktu dan tempat dengan perubahan ikan tengiri (Scomber scombrus) yang telah didokumentasikan. Pada kedua spesies, distribusi musim panas bergeser ke arah timur laut Laut Utara. Perubahan pada kedua spesies terjadi di tepi paparan benua, di daerah arus tepi paparan. Dengan demikian diduga bahwa perubahan arus tepi paparan bertanggung jawab atas perubahan yang diamati tersebut (Corten et al. (1991) dalam Dickson et al. (1992)).



Referensi :

Corten, A. and G. Van de Kamp. 1991. Natural Changes in Pelagic Fish Stocks of The North Sea in The 1980s in Dickson, R.R., P. Maelkki, G. Radach, R. Saetre and M.P. Sissenwine. 1992. Hydrobiological Variability in The Ices Area, Ices, Copenhagen (Denmark), pp. 402 - 417

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc. San Diego. 407 pp.

Pavlov, D.S., A.I. P’yanov and M.P. Ostrovskij. 1992. Distribution of Fish in The Nurek Reservoir from Echometric Survey Data. Journal of Ichthyology, Vol. 32, No. 4, pp. 37 - 43

Jumat, 19 Oktober 2018

Teknik Pencegahan dan Pemulihan Pencemaran Danau


Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa saat ini ada banyak metode pemulihan danau. Pemilihan metode yang tepat merupakan salah satu masalah manajemen danau, masalah lainnya adalah penentuan kriteria pemilihan. Metode pemulihan danau dapat dikelompokkan menjadi dua kelas : (1) pengurangan beban masukan dari luar (misalnya pengolahan limbah cair), dan (2) perlakuan di dalam ekosistem danau (misalnya aerasi, penyingkiran lapisan atas sedimen dan lain-lain). Bagaimanapun, seringkali kedua macam metode ini harus dilakukan bersama-sama. Penerapan metode kelas ke-2 sering tidak membawa hasil bila tidak dibarengi dengan usaha pengurangan buangan limbah cair. Metode kelas ke-2 dapat dibagi lagi menjadi : (a) aerasi air, (b) pembalikan massa air hipolimnion, (c) pengendapan fosfor di dalam danau, (d) pengurangan konsentrasi biomas di dalam danau secara langsung, (e) aerasi sedimen, (f) penyingkiran sedimen, (g) penutupan sedimen dan (h) membiarkan air yang tak tercemar masuk ke dalam danau.

Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau

Jorgensen (1980) menjelaskan metode pemulihan danau dengan mencegah air tercemar memasuki perairan tersebut sehingga dapat mengurangi beban masukan bahan pencemar dari luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalirkan limbah ke ekosistem lain, misal ke laut, atau dengan menggunakan metode pengolahan limbah. Dari sudut pandang ekologis yang lebh global, cara pertama ini tidak menguntungkan karena pencemaran tidak dihilangkan melainkan hanya dipindahkan ke ekosistem lain di mana limbah tersebut kurang membahayakan keseimbangan ekologisnya. Bila limbah hanya mengandung sedikit bahan beracun, misalnya limbah domestik, cara tadi mungkin dapat dibenarkan karena ekosistem yang menerima limbah tersebut masih dapat mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Masuknya fosfor, sebagai contoh, ke ekosistem laut mungkin tidak berbahaya, tetapi sebelum memutuskan untuk membuang limbah berfosfor ke laut sebaiknya mempertimbangkan dulu dengan cermat semua dampak yang mungkin timbul.

Kerugian membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau adalah meningkatnya retention time (lama air tinggal di danau sebelum dialirkan keluar); hal ini bisa menyebabkan upaya pemulihan danau menjadi kurang berpengaruh. Selain itu, koordinasi pasokan air dan perencanaan pengelolaan air limbah tidak boleh dilupakan. Membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau berarti menutup sebuah sumber air mentah bagi danau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa membelokkan aliran limbah sehingga langsung masuk ke laut merupakan pilihan yang salah. Beberapa tahun setelah membuang limbah ke laut maka timbul pencemaran di laut meski danau masih bisa dimanfaatkan sebagai pemasok air (Jorgensen, 1980).

Pengerukan Sedimen Danau Untuk Mengendalikan Tumbuhan Air Potamogeton

Tumbuhan kolam berdaun keriting, Potamogeton crispus, merupakan spesies Eurasia yang diintroduksikan ke Amerika Serikat pada awal tahun 1800-an. Catatan pertama tentang tumbuhan ini muncul pada tahun 1841, sejak itu ia menyebar ke seluruh Amerika Serikat dan Kanada selatan dan menjadi tumbuhan pengganggu di banyak danau yang bersifat basa di daerah itu. Danau Collins merupakan danau kota di Scotia, New York, yang telah lama menghadapi masalah pertumbuhan vegetasi air yang pesat. Potamogeton crispus tidak dapat tumbuh pada kedalaman lebih dari 3 meter, sehingga daerah danau yang diserang tumbuhan ini bisa digali sampai kedalaman tersebut guna mengendalikannya (Tobiessen et al., 1992).

Daftar Pustaka :

Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management. Pergamon Press. Oxford. 167 pp.

Tobiessen, P., J. Swart and S. Benjamin. 1992. Dredging To Control Curly-Leaved Pondweed : A Decade Later. Journal of Aquatic Plant Management, Vol. 30, pp. 71 - 72

Selasa, 16 Oktober 2018

Ekologi Jamur Air


Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Keberadaan Jamur Laut Endofit dan Parasit Pada Alga Laut

Stanley (1992) menyajikan makalah mengenai tiga asosiasi jamur-alga pada alga laut intertidal. Mereka terdiri dari dua anggota Ascomycotina, Lautitia danica yang memarasiti alga Chondrus crispus, dan jamur Mycosphaerella ascophylli yang bersifat endofit-wajib pada Ascophyllum nodosum, dan satu anggota Basidiomycotina, Mycaureola dilseae yang memarasiti Dilsea carnosa. Rincian diberikan mengenai siklus hidup dan periodisitas musiman. Siklus reproduksi Mycosphaerella ascophylli dan Ascophyllum nodosum adalah bersamaan, dengan sporocarp jamur sesuai dengan reseptakel alga. Lautitia danica terdapat pada cystocarpic Chondrus crispus sepanjang tahun, dengan daun-daun yang lebih tua mengandung lebih banyak sporocarp. Mycaureola dilseae yang menginfeksi Dilsea carnosa hanya ditemukan selama bulan September dan Oktober.

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.

Referensi :

Alderman, D.J. 1982. Fungal Disease of Aquatic Animals in R.J. Roberts. (Ed.). 1982. Microbial Disease of Fish. Academic Press. New York. Pp. 189 - 242

Alexopoulus, C.J. 1960. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. New York. 482 pp.

Dick, M.W. 1976. The Ecology of Aquatic Phycomycetes in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Gleason, F. 1976.The Physiology of The Lower Freshwater Fungi in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Garraway, M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley & Sons. New York. 401 pp.

Stanley, S.J. 1992. Observations on The Seasonal Occurrence of Marine Endophytic and Parasitic Fungi. Canadian Journal of Botany, Vol. 70. No. 10, pp. 2089 - 2096

Sabtu, 13 Oktober 2018

Subsistem Perairan Pesisir : Estuaria


Definisi Estuaria

Subsistem perairan pesisir (coastal) dapat digolongkan menjadi tiga regim : estuaria, perairan dekat pantai (near shore) dan regim laut lepas (oceanic).

Menurut Mann (1982) bila dibandingkan unit-unit sistem yang berdasarkan fitoplankton, rumput laut atau lamun maka estuaria merupakan unit yang lebih tinggi karena ia umumnya mencakup beberapa di antara sistem tersebut, dan mencakup pula interaksi di antara mereka. Secara sederhana estuaria didefinisikan sebagai daerah di mana air sungai bercampur dengan air laut dan mengencerkannya. Pritchard, seorang pakar ekologi laut, berpendapat bahwa daerah pesisir yang luas seperti Laut Baltik dan bentangan luas air laut encer di lepas pantai terbuka seperti New York Bight adalah tidak termasuk ke dalam pengertian estuaria, sehingga Pritchard memberikan definisi estuaria yang diterima secara luas : “Estuaria adalah badan air pesisir semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut terbuka, di mana air laut cukup banyak diencerkan oleh air tawar yang berasal dari darat”. Definisi ini pada akhirnya sesuai dengan definisi sederhana di atas.

Istilah “estuaria” mempunyai arti yang beraneka ragam, tetapi, seperti yang digunakan di sini, estuaria diartikan sebagai perairan pesisir yang tertutup dan masih berhubungan bebas dengan laut serta kandungan garam di dalam airnya masih dapat diukur. “Dapat diukur” maksudnya memiliki salinitas lebih dari 0,5 ppt. Kita memilih definisi ini karena hanya mencakup badan air tertutup yang menerima masukan air tawar dalam jumlah cukup. Definisi ini meliputi semua perairan pesisir yang tertutup atau terlindung tetapi tidak mencakup laguna yang terpisah dari estuaria karena kecepatan pemasukan air tawarnya rendah. Namun bila diperlukan untuk keperluan pengelolaan (misal karena alirannya lambat) laguna dapat dianggap sebagai salah satu tipe estuaria. Oleh karena itu, definisi ini bersesuaian dengan definisi yang diberikan oleh E.P. Odum (yang dimodifikasi dari D.W. Pritchard) : “suatu badan air setengah tertutup yang terdapat di pesisir dan berhubungan bebas dengan laut; sehingga sangat dipengaruhi oleh aksi pasang-surut, dan di dalamnya air laut bercampur (biasanya sampai cukup encer) dengan air tawar dari darat”.


Bila kita menggunakan istilah “tertutup” untuk menyatakan salah satu sifat estuaria, maka kita memakainya dalam pengertian relatif, mengingat bahwa derajat ketertutupan merupakan faktor penting yang dapat berubah-ubah. Dengan demikian definisi ini mencakup badan-badan air pesisir dari yang berupa teluk terbuka dengan mulut lebar sampai yang berupa kolam asin yang hampir tertutup dengan saluran penghubung ke laut yang sangat sempit.

Bila dipandang penting untuk membedakan estuaria dengan daerah terbuka untuk tujuan pengelolaan atau perencanaan, disarankan untuk menerapkan “aturan ibu jari” yang berdasarkan pada derajat ketertutupan : suatu badan air pesisir yang tertutup, atau estuaria, adalah suatu perairan yang memiliki panjang garis pantai melebihi tiga kali lebar outlet (saluran air keluar) yang menghubungkan perairan tersebut dengan laut.

Sistem estuaria mencakup basin air (atau basin-basin) dan daerah marjinal (daerah tepi) yang terdapat di sekitar pinggiran basin dan secara musiman terendam oleh air pasang atau hujan lebat. Basin air bisa berupa embayment (tempat di garis pantai yang membentuk teluk), selat, fyord, laguna, kolam asin, atau sungai pasang-surut. Daerah marginal meliputi dataran pasang-surut dan dataran lumpur, rawa bagian bawah (lower wetland), rawa asin pasang-surut dan mangrove, serta rawa bagian atas (upper wetland, yaitu rawa di bagian tanah yang tinggi yang terendam oleh air pasang purnama) terus ke belakang sampai ke batas banjir tahunan (garis banjir satu-tahun), yang merupakan awal dataran banjir.


Tipe Basin Air Estuaria

Mann (1982) menjelaskan bahwa ciri khas estuaria adalah adanya density gradient (perbedaan kepadatan) antara air tawar dan air asin, yang menyebabkan timbulnya pola sirkulasi air yang sangat khas. Sirkulasi ini sangat dipengaruhi oleh bentuk basin estuaria. Dalam hal ini sangat berguna untuk mengenal empat tipe estuaria berdasarkan geomorfologi. Sekitar 20.000 tahun yang lalu atau lebih sejak Jaman Es muka air laut naik cukup tinggi terhadap daratan. Di tempat di mana air laut menggenangi lembah sungai yang ada pada waktu itu ditemukan estuaria dataran pesisir (coastal plain estuary), atau yang lebih tepat disebut “lembah sungai tenggelam”. Di tempat di mana lembah sungai mengalami glasiasi yang parah sehingga terbentuk lereng yang curam, dan endapan glasial tertimbun di mulut lembah, terbentuk estuaria yang disebut fjord, dan dicirikan oleh adanya bukit bawah-air yang menghalangi sirkulasi air di lapisan bawah. Di dataran rendah yang sangat datar, di mana pasir cenderung diendapkan di sekitar penghalang-penghalang yang terletak sejajar dengan pantai, ditemukan “estuaria yang dibentuk oleh penghalang” (bar-built estuary). Terakhir, ada sekelompok estuaria yang terbentuk akibat patahan atau lipatan kulit bumi. Ini dikenal sebagai estuaria tektonik.

Basin air pesisir memiliki keragaman bentuk dan ukuran yang hampir tidak terbatas, tetapi empat tipe yang dibahas berikut ini akan mencakup hampir semua macam basin tersebut. Badan air yang tertutup rapat biasanya mudah dibedakan, mudah dikenal, dan mudah dikelola; bagaimanapun, pembagian laut menjadi unit-unit terpisah dan dapat-ditangani mungkin sangat sulit. Bantuan dari ahli ekologi terlatih biasanya dibutuhkan dalam mengidentifikasi badan air dan dalam memberikan penjelasan terinci mengenai fungsi dan kerentanannya. Dalam hal pengelolaan, estuaria sangat menarik karena daya dukungnya yang tinggi dan kerentanannya – mereka digolongkan di sini sebagai daerah lingkungan kritis. Adapun keempat tipe basin utama tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Sungai pasang-surut (tidal river). Tidal river adalah bagian bawah sungai yang memasuki laut, seringkali melalui sebuah basin estuaria. Bagian pesisir sungai – yang sering menjadi sasaran pengelolaan – melebar sampai ke arah hulu di mana kadar garam dalam air masih cukup tinggi (salinitas 0,5 ppt). Daerah perbatasannya berupa front garam. Bagian berair tawar (salinitas kurang dari 0,5 ppt) biasanya tidak diperhatikan, apalagi bila pasang surut berpengaruh, atau ia dijadikan daerah pengelolaan sekunder. Tidal river mendapatkan air dengan cukup melalui aksi aliran air tawar dan pasang surut, tetapi kedua aksi ini bekerja berlawanan.

2. Teluk (bay). Badan air pesisir, semi tertutup, dengan ukuran lebih besar disebut teluk (untuk sederhananya, ke dalam pengertian in termasuk juga selat). Banyak badan air yang dengan salah disebut teluk sebenarnya adalah embayment atau laguna. Basin air semacam ini seharusnya digolongkan dalam sistem manajamen berdasarkan pada karakteristik alamnya, bukan berdasarkan pada sebutan sehari-hari. Teluk sangat terbuka terhadap laut, pengaruh arus pasang-surut kuat, pergantian air baik melalui aksi pertukaran pasang-surut, dan sirkulasinya sering diperkuat dengan adanya aliran pemasukan air tawar.

3. Embayment. Badan air pesisir terbatas dengan inlet (saluran pemasukan air) sangat sempit namun pemasukan airnya cukup besar disebut embayment. Mereka biasanya memiliki inlet (atau saluran penghubung embayment dan laut) lebih sempit daripada teluk dan umumnya lebih dangkal serta lebih kecil. Embayment biasanya mempunyai amplitudo (perbedaan tinggi rendah) pasang-surut yang relatif rendah, dan sirkulasi air lamban sehingga kecepatan pergantian air rendah, kecuali bila input air tawar besar. Dalam hal ini dan hal lainnya embayment terletak di antara teluk dan laguna.

4. Laguna. Badan air pesisir yang terbatas dengan inlet yang menghubungkannya dengan laut sangat sempit sementara pemasukan air tawar cukup besar disebut laguna. Pergerakan airnya lamban dan rentan terhadap polusi; dengan demikian pertumbuhan dan aktivitas penduduk di sekitar laguna banyak mengurangi daya dukungnya. Komunitas akuatik laguna mungkin sangat berbeda dengan komunitas akuatik basin air lainnya karena salinitasnya yang lebih tinggi dan relatif konstan, pH yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstan, peranan sirkulasi yang kuat tapi berubah-ubah, akumulasi bahan organik di bagian dasar, dan faktor lainnya.


Tipe Sirkulasi Estuaria

Ketiga tipe sirkulasi air estuaria utama dikendalikan oleh gabungan pasang-surut, angin atau struktur geologis. Baik intensitas tenaga pengadukan maupun kecepatan pergantian air basin menentukan produktivitas ekosistem estuaria. Ketiga tipe sirkulasi utama tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sirkulasi estuaria berlapis. Sistem sirkulasi berlapis merupakan ciri khas estuaria dengan pemasukan air tawar banyak. Sirkulasi estuaria berlapis paling sering dijumpai di teluk-teluk yang terbentuk akibat tenggelamnya lembah sungai serta di fyord dan basin-basin air lain yang dalam. Ia timbul karena air laut yang lebih berat mengalir di bawah air tawar yang lebih ringan dan kurang asin (fenomena ini disebut baji garam). Dalam situasi ini, yang umum bagi estuaria dalam dengan gerakan neto air tawar keluar tunggi, air dasar mengalami gerakan neto ke dalam, ke arah bagian atas estuaria. Ini dinyatakan sebagai aliran neto (net flow), di mana pengaruh osilasi (naik turun) pasang-surut diperkecil untuk mendeteksi gerakan maju sisa air aktual pada arah tertentu. Di bawah kondisi yang menguntungkan dua lapisan air bergerak dengan kecepatan cukup tinggi, dengan arah berlawanan, menyebabkan hampir seluruh air pada estuaria berlapis mengalami sirkulasi. Makin tinggi kecepatan masuknya air tawar makin tinggi pula kecepatan arus permukaan yang menuju ke arah luar estuaria (surface outflow) dan kecepatan arus dasar yang masuk ke estuaria (bottom inflow). Kekuatan arus mempengaruhi posisi salt front (batas antara air sungai dan air pesisir) dan dengan demikian menentukan pula lokasi pusat kelimpahan ikan dan mikroorganisme. Pola arus permukaan dan arus dasar yang berlawanan menghasilkan net transport organisme permukaan ke arah luar estuaria dan net transport organisme dasar (bentos) masuk ke dalam estuaria berlapis.


2. Sirkulasi estuaria tak berlapis. Pada tipe estuaria tak berlapis, atau bercampur, gerakan air lebih lamban dan kecepatan pergantian air lebih rendah dibandingkan dengan tipe berlapis. Meskipun demikian sirkulasi airnya cukup baik hingga dapat memberikan daya dukung yang tinggi. Sirkulasi estuaria tak berlapis umum dijumpai pada embayment dangkal dan teluk yang kekurangan pasokan air tawar dari sungai. Kemampuan pergantian air estuaria bercampur ini tergantung pada kombinasi empat variabel : konfigurasi (morfologi) basin, amplitudo pasang surut, pemasukan air tawar dan kekuatan serta arah angin. Arus dua lapis tak lazim terjadi pada sistem tipe laguna atau estuaria dangkal di mana air begitu mudah dan terus menerus teraduk oleh angin dan pasang surut dari permukaan sampai ke dasar hingga ia tidak dapat mempertahankan dua lapisan air yang terpisah.

3. Sirkulasi lagunal. Sirkulasi lagunal memiliki ciri khas berupa gerakan air yang pelan sebagai akibat dari (1) rendahnya input air tawar ke dalam laguna, dan (2) lemahnya pertukaran pasang surut karena sempitnya inlet yang menghubungkan laguna dengan laut. Angin sering menjadi tenaga utama penggerak sirkulasi. Sirkulasi lagunal adalah khas untuk basin tipe lagunal yang tertutup rapat yang tenaga net outflow (dari input air tawar) terlalu kecil untuk memperbesar pengeluaran air. Pada sistem basin tipe laguna faktor utama pembatas produktivitas biologis adalah sirkulasi air. Estuaria (biasanya laguna) dengan sirkulasi lagunal sangat mudah terkena polusi.


Regim Dekat Pantai dan Oseanik

Regim dekat pantai (near shore) mencakup semua perairan asin mulai batas estuaria ke arah laut ditambah bagian wilayah laut yang mengarah ke pantai (secara nominal ia berjarak tiga mil dari pantai). Istilah “inshore” (sekitar pantai) dan “perairan inshore” mempunyai arti yang bervariasi sehingga tidak digunakan di sini dalam pengertian khusus. Keduanya secara umum bisa mencakup estuaria dan sedikitnya mencakup bagian zona near shore.

Regim oseanik (laut lepas) meliputi semua perairan mulai batas wilayah laut sampai ke arah laut.

Pesisir terpapar (exposed coast) adalah front pantai laut (ocean shore front) yang dicirikan oleh adanya formasi batu padat atau deposit pasir berat. Besarnya kapasitas bukit pasir dan “beach berm” (tebing tinggi) dalam menahan pasir menyebabkan mereka menjadi penstabil utama pada front pantai laut berpasir. Gerakan air biasanya cepat, dan pencampuran, pengenceran serta penyebaran limbah berlangsung cepat sepanjang pesisir yang terpapar.

Pesisir terlindung terdapat di tempat-tempat tertentu sepanjang front pantai laut di mana dasarnya melandai dan penghalang pasir lepas pantai terdorong mendekati pantai oleh aksi gelombang, atau terumbu karang membentuk formasi penghalang pada bagian front pantai yang menghadap ke laut. Penghalang pasir atau karang ini menyediakan daerah terlindung di belakangnya di mana ekosistem terlindung ini dalam banyak hal merupakan ciri khas perairan estuaria – di sini tumbuh lamun, kerang hidup subur, dan dijumpai juga daerah asuhan untuk ikan-ikan kecil. Selain itu, ada pesisir “bernergi rendah” (seperti pada pantai Florida barat laut), di mana aksi gelombang sangat berkurang hingga, sekalipun tanpa penghalang lepas pantai, pesisirnya terlindung, air mengalir lebih lamban, dan terbentuk perairan semi estuaria.

Jumat, 12 Oktober 2018

Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton


Perbandingan Ukuran dan Keragaman Spesies Zooplankton di Daerah Tropis dan Daerah Sedang

Fernando (1980) melaporkan bahwa perbandingan fauna zooplankton Cladocera, Copepoda dan Rotifera antara daerah beriklim sedang dan tropis menunjukkan perbedaan yang menyolok dalam hal komposisi ukuran dan keragaman spesies. Ada lebih sedikit spesies dan biasanya berukuran lebih kecil di daerah tropis daripada di daerah sedang baik di utara maupun selatan. Spesies yang lebih besar untuk genus Daphnia dan Simocephalus relatif jarang di daerah tropis, sedangkan anggota-anggota Eurycerus dan Saycia tidak ada. Anggota-anggota famili Holopedidae, Leptodoridae dan Polyphemidae meningkat kelimpahannya ke arah daerah beriklim sedang. Dua kopepoda cyclopoid kecil adalah umum dalam komunitas zooplankton tropis, namun banyak spesies yang lebih besar dan umum di daerah-daerah beriklim sedang tidak ada atau sangat jarang di daerah tropis. Komponen-komponen rotifera utama adalah Keratella tropica dan species dari Brachionus.

Siklus Tahunan Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton Laut

de Puelles et al (2003) mempelajari perubahan musiman biomas, kelimpahan dan komposisi spesies zooplankton di sebuah stasiun neritik di Laut Balearic antara bulan April 1993 dan Mei 1994. Sampling dilakukan setiap 10 hari di sebuah zona yang dipengaruhi oleh arus utama yang bersirkulasi melewati kanal Mallorca. Tiga puncak utama biomas dan kelimpahan zooplankton telah ditemukan : (1) pada awal musim panas ketika termoklin berkembang, (2) pada musim gugur ketika termoklin lenyap, dan (3) pada awal musim semi. Fraksi zooplankton yang lebih kecil (100 – 250 mikron) menyumbangkan rata-rata 32 % dari total biomas dan 73 % dari total kelimpahan. Kopepoda merupakan kelompok yang dominan (64 % dari total kelimpahan) dengan Clausocalanus, Oithona dan Paracalanus sebagai genus-genus paling melimpah. Paracalanus parvus, Clausocalanus furcatus, Acartia clausi, Oithona plumifera, Temora stylifera, Centropages typicus dan Oncaea mediterranea merupakan spesies-spesies yang paling melimpah di daerah ini. Kelompok lain yang melimpah adalah cladocera (15 %) dan larva meroplankton (12 %; meroplankton merupakan plankton-sementara yang bila sudah tumbuh besar tidak menjadi plankton lagi), kedua kelompok ini sangat melimpah selama periode stratifikasi. Komunitas kopepoda dicirikan oleh spesies-spesies yang disebutkan di atas, yang melimpah selama siklus yang dipelajari. Bagaimanapun, pengaruh kondisi hidrologis Laut Balearic, seperti masuknya massa air Atlantik dan struktur fisik kolom air (stratifikasi dan pengadukan) menyebabkan keragaman zooplankton serta mempengaruhi kemunculan spesies-spesies khas selama siklus tahunan.

Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Komposisi Spesies Zooplankton Laut

Coyle et al. (2008) melaporkan bahwa Laut Bering bagian tenggara memiliki sumber daya perikanan terbesar di Amerika Serikat. Populasi ikan dan organisme liar berkembang dengan dukungan jaring-jaring makanan yang menghubungkan produsen primer dengan predator puncak melalui komunitas zooplankton. Perubahan iklim akhir-akhir ini ke arah kondisi yang lebih hangat bisa mengancam sumberdaya tersebut dengan cara mengubah produktivitas dan rantai makanan di dalam ekosistem Laut Bering tenggara. Komunitas zooplankton telah dipelajari di dekat kepulauan Pribilof dan di tengah-tengah paparan benua Laut Bering tenggara pada musim panas 1999 dan 2004 untuk mendokumentasikan perbedaan dan kesamaan dalam hal komposisi spesies, kelimpahan dan biomas antar daerah dan antar tahun. Antara Agustus 1999 dan Agustus 2004, komunitas zooplankton musim panas di tengah-tengah laut paparan benua bergeser dari spesies besar ke spesies kecil. Penurunan yang nyata diamati pada biomas scyphozoa besar (Chrysaora melanaster), kopepoda besar (Calanus marshallae), cacing panah (Sagitta elegans) dan euphausiid (Thysanoessa raschii, Thysanoessa inermis) antara tahun 1999 dan 2004. Sebaliknya, peningkatan kepadatan secara nyata terlihat pada kopepoda kecil (Pseudocalanus spp., Oithona similis) dan hidromedusa kecil (Euphysa flammea) pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999.

Analisis isi perut ikan pollock (Theragra chalcogramma) umur 0 tahun yang ditangkap dari tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan pergeseran makanan dari kopepoda besar ke kecil pada tahun 2004 dibandingkan pada tahun 1999. Pergeseran komunitas zooplankton diikuti oleh peningkatan 3 kali lipat stabilitas kolom air pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999, terutama karena massa air yang lebih hangat di atas termoklin, dengan suhu rata-rata 7,3 °C pada tahun 1999 dan 12,6 °C pada tahun 2004. Peningkatan stabilitas kolom air dan kondisi yang lebih hangat bisa mempengaruhi komposisi zooplankton dengan cara menurunkan produksi primer musim panas dan menseleksi spesies yang lebih toleran terhadap lingkungan hangat oligotrofik (kurang subur). Data suhu dari waktu ke waktu di tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan bahwa kondisi yang lebih hangat pada tahun 2004 merupakan bagian dari kecenderungan pemanasan global, bukannya bagian dari keragaman antar-tahun. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa bila iklim di Laut Bering terus-menerus hangat, maka komunitas zooplankton bisa bergeser dari taksa besar ke taksa kecil dan hal ini sangat berpengaruh terhadap predator puncak dan perekonomian yang didukung oleh predator puncak tersebut.

Variasi Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Estuaria

Lonsdale dan Coull (1977) melaporkan bahwa zooplankton di estuaria North Inlet dekat Georgetown, South Carolina, telah dikumpulkan pada selang waktu dua-minggu dari bulan Januari 1974 sampai Agustus 1975 (20 bulan) di empat stasiun. Jumlah zooplankton berkisar dari 377 sampai 84.414 per m3 (rata-rata = 9.257 per m3) dan biomas dari 640 sampai 140.169 mikrogram berat kering per m3 (rata-rata = 16.178 mikrogram berat kering per m3). Puncak utama kepadatan zooplankton terjadi antara bulan April dan Juli pada kedua tahun. Kopepoda (termasuk tahap-tahap larva) merupakan taksa dominan yang menyusun 64 – 69 % dari total jumlah dan biomas zooplankton. Spesies yang paling umum adalah Parvocalanus crassirostris (Dahl), Acartia tonsa Dana, Oithona colcarva Bowman, dan Euterpina acutifrons (Dana). Nauplius cirripedia merupakan meroplankton yang paling umum yang menyusun 13 % dari total zooplankton selama seluruh periode sampling. Kelompok lain yang penting adalah larva bivalva dan cacing polikhaeta serta larva Oikopleura sp. Perbandingan spesies-spesies utama kopepoda dan periodisitas reproduksi mereka dengan yang dikaporkan dalam literatur menunjukkan bahwa fauna North Inlet paling mirip dengan fauna perairan Florida.

Perubahan Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton di Sekitar Bendungan

Nogueira (2001) mempelajari pola ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam hal distribusi zooplankton di sebuah bendungan tropis besar selama setahun. Zooplankton disampling di 10 stasiun limnetik. Rotifera merupakan kelompok yang paling kaya dalam hal jumlah spesies dan jumlah individu, terutama di zona-zona peralihan sungai-danau. Mereka dominan selama musim panas di sembilan stasiun sampling, dan berkurang pada musim semi. Spesies utamanya adalah Polyarthra vulgaris, Keratella americana, Keratella cochlearis dan Conochilus unicornis. Polyarthra vulgaris tersebar luas. Keratella lebih melimpah di stasiun-stasiun bagian hulu, sementara populasi padat Conochilus unicornis terlihat di sebuah daerah pinggiran yang terlindung. Di antara kopepoda, Calanoida lebih melimpah pada musim semi sedangkan Cyclopoida melimpah pada musim gugur. Tampak adanya fenomena ”longitudinal gradient” (perubahan perlahan-lahan ke arah hulu-hilir) dalam hal hubungan Calanoida/Cyclopoida, dengan Cyclopoida mendominasi stasiun-stasiun sampling di daerah hulu sedangkan Calanoida melimpah di zona-zona danau yang dekat bendungan. Notodiaptomus iheringi, Thermocyclops minutus and Thermocyclops decipiens merupakan spesies-spesies utama. Diaphanosoma birgei, cladocera yang paling banyak, terutama terdapat di zona-zona danau, sedangkan Moina minuta lebih melimpah di stasiun-stasiun sampling di sungai, yang umumnya berasosiasi dengan Bosminopsis deitersi. Puncak-puncak kelimpahan protozoa tintinnid terlihat di zona-zona bagian hulu selama musim panas dan semi.

Daftar Pustaka :

Coyle, K.O., A.I. Pinchuk, L.B. Eisner, J.M. Napp. 2008. Zooplankton Species Composition, Abundance and Biomass on The Eastern Bering Sea Shelf During Summer: The Potential Role of Water-Column Stability and Nutrients in Structuring The Zooplankton Community. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, Vol. 55, Issues 16–17, pp. 1775 – 1791

de Puelles, M. F., D. Grás and S. Hernández-León. 2003. Annual Cycle of Zooplankton Biomass, Abundance and Species Composition in the Neritic Area of the Balearic Sea, Western Mediterranean. Marine Ecology, Vol. 24, Issue 2, pp. 123 – 139

Fernando, C. H. 1980. The Species and Size Composition of Tropical Freshwater Zooplankton with Special Reference to the Oriental Region (South East Asia). Internationale Revue der Gesamten Hydrobiologie und Hydrographie, Vol. 65, Issue 3, pp. 411 – 426

Lonsdale, D.J. and B.C. Coull. 1977. Composition and Seasonality of Zooplankton of North Inlet, South Carolina. Chesapeake Science, Vol. 18, No. 3, pp. 272 - 283

Nogueira, M.G. 2001. Zooplankton Composition, Dominance and Abundance as Indicators of Environmental Compartmentalization in Jurumirim Reservoir (Paranapanema River), São Paulo, Brazil. Hydrobiologia, Vol. 455, No. 1 - 3, pp. 1 - 18

Kamis, 11 Oktober 2018

Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Ikan


Morfologi Otot Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa otot rangka merupakan sistem organ terbesar pada banyak ikan. Pada ikan salmonidae, otot rangka menyumbangkan sampai 60 % dari bobot tubuh, sedikit lebih kecil dibandingkan pada mamalia. Mungkin mengejutkan bahwa otot rangka sebegitu besar pada ikan mengingat ikan tidak memerlukan penyokong-berat dan penyokong-postur seperti pada manusia. Binatang darat tidak terangkat oleh udara dengan derajat yang hampir sama seperti ikan diangkat oleh air. Bahwa sebagian besar otot rangka ikan berfungsi tidak untuk menyokong berat tetapi untuk mendorong merupakan bukti sangat besarnya upaya yang diperlukan oleh ikan perenang cepat.

Smith (1982) menambahkan bahwa walaupun proses-proses molekular dan selular kontraksi otot pada ikan diduga sama dengan pada vertebrata lain, anatomi kasar otot ikan berbeda jauh dengan vertebrata darat yang banyak dibuat preparatnya di laboratorium. Otot vertebrata “khas” melekat langsung pada tulang dengan satu ujung dan meruncing menjadi tendon khas dengan ujung yang lebih mobil (mudah bergerak). Otot ikan, sebaliknya, membentuk lapisan-lapisan vertikal melintang pada kedua sisi rangka aksial dan jarang menempel langsung pada tulang atau tendon yang jelas. Selain itu, lapisan-lapisan melintang (myomer) ini tersusun zigzag dalam arah anterior-posterior (depan-belakang) menjadi bentuk seperti huruf W agak gepeng yang bahkan menjadi lebih gepeng lagi pad bagian yang dekat rangka dibandingkan pada bagian permukaannya. Fungsi bentuk W ini belum sepenuhnya jelas, namun diduga berfungsi memencarkan kontraksi myomer ke hampir sepanjang tubuh ikan, bukan hanya ke sepanjang myomer tersebut. Myosepta (lapisan putih terdiri dari jaringan penghubung yang terletak antar myomer) tampaknya berfungsi sama seperti fungsi tendon, sehingga kemiringan perlekatannya pada rangka mungkin dimaksudkan untuk mengubah kontraksi otot (yang kurang lebih sejajar dengan rangka aksial) menjadi gerak menyamping/melengkung untuk berenang.

Keanekaragaman Bentuk Badan Ikan

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada kelompok binatang utama lain yang bisa menjadi contoh pemencaran adaptif yang lebih baik selain ikan-ikan bertulang sejati. Adaptasi yang dilakukan kelompok ikan ini memungkinkan mereka sesuai untuk hidup di semua habitat perairan kecuali habitat yang memang sangat tidak mendukung. Bentuk badannya sendiri merupakan petunjuk keanekaragaman ikan. Beberapa ikan memiliki bentuk badan fusiform (seperti cerutu) dan mengembangkan adaptasi-adaptasi untuk mengurangi gesekan dengan air. Ikan pelagis predator memiliki badan yang langsing memanjang dengan sirip ekor kuat dan ciri-ciri mekanin lain yang memungkinkannya meluncur cepat. Ikan-ikan pemakan-dasar yang malas bergerak memiliki badan berbentuk gepeng untuk membantu pergerakan dan persembunyiannya di dasar laut. Badan sidat yang panjang merupakan adaptasi agar dapat meliuk-liuk menembus lumpur dan tumbuhan air serta memudahkannya memasuki lubang dan celah. Beberapa ikan, seperti ikan pipa, bentuknya sangat mirip cambuk hingga mereka sering keliru dikira filamen alga laut yang meliuk-liuk terkena arus. Banyak jenis ikan lain dengan bentuk badan yang aneh yang tampkanya merupakan adaptasi pemyamaran atau pengaburan agar tersembunyi dari pemangsa atau agar tidak dikira pemangsa. Contoh-contoh di atas yang masih sedikit ini belum dapat menggambarkan besarnya keaneka ragaman spesialisasi fisiologis dan anatomis untuk tujuan pertahanan diri dan penyerangan, pencarian makanan, navigasi dan reproduksi di berbagai habitat perairan di mana ikan bertulang keras mengadaptasikan diri.

Pengaturan Daya Apung Pada Ikan

Moyle dan Cech (1988) menyatakan bahwa daya apung netral (tanpa bobot) memungkinkan ikan meminimkan kebutuhan energi agar tetap tinggal di kedalaman tertentu untuk mencari makan, bersembunyi, bereproduksi atau bermigrasi. Karena seekor ikan aktif dapat mengeluarkan gaya dorong lebih dari 25 % sampai 50 % berat tubuhnya hanya selama periode yang singkat, maka usaha yang terus-menerus untuk menyokong tubuhnya dengan gerakan otot saja akan sangat membutuhkan banyak energi. Tidak mengherankan, dengan demikian, bahwa berbagai cara untuk memperoleh daya apung netral berkembang pada ikan. Pada dasarnya ada empat strategi untuk mencapai hal ini : (1) pengumpulan sejumlah besar senyawa berdensitas rendah di dalam tubuh; (2) pembangkitan daya angkat dengan membentuk dan membengkokan sirip serta permukaan tubuh selama bergerak maju; (3) mengurangi jaringan yang berat seperti tulang dan otot; dan (4) memanfaatkan gelembung renang sebagai ruang penampung gas berdensitas rendah.

Penggunaan senyawa berdensitas rendah untuk mengurangi densitas total tubuh merupakan ciri khas kebanyakan ikan hiu dan beberapa jenis teleostei. Pada banyak jenis hiu sejumlah besar lipida (berat jenis 0,90 – 0,92) dan senyawa hidrokarbon squalen (berat jenis 0,86) ditemukan terutama dalam hatinya yang besar sehingga seluruh tubuhnya mendekati daya apung netral dalam air laut (1,026). Lagi pula, bentuk sirip ekor hiu yang heteroserkal (belahan sirip ekor atas lebih panjang daripada belahan bawah) bersama dengan pembengkokan sirip dada dan permukaan kepala ke atas memberikan daya angkat tambahan ketika ia berenang. Hambatan hidrodinamik diminimkan pada ikan hiu yang lebih bersifat pelagis, yang memiliki sirip relatif lebih kecil dan hati berlemak yang relatif lebih besar (Moyle dan Cech, 1988).
Referensi :

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Moyle, P.B. and J.J. Cech. 1988. Fishes, An Introduction to Ichthyology. Prentice Hall. New Jersey. 559 pp.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Rabu, 10 Oktober 2018

Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)


Makroinvertebrata Yang Berasosiasi Dengan Eceng Gondok

Bailey and Litterick (1993) melaporkan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) membentuk hamparan lebat yang hampir ada di mana-mana di habitat perairan terbuka di rawa permanen Sudd, Sudan. Di sebuah danau-sungai yang khas, hamparan ini memiliki lebar yang bervariasi antara 9 dan 16 meter dan biomas tumbuhan terbanyak berada di tengah. Jumlah terbanyak makroinvertebrata dalam massa akar eceng gondok ditemukan pada sampel perangkap-jatuh dan didominasi oleh coleoptera (kumbang), odonata, gastropoda dan udang Caridina nilotica. Tepi terluar hamparan eceng gondok ini menyediakan habitat yang mudah dicapai, konsentrasi oksigen terlarut yang cukup dan berbagai sumber makanan potensial bagi invertebrata air. Sebaliknya, zona dekat-darat yang kurang dapat dihuni memiliki lebih sedikit fauna di mana coleoptera, hydracarina dan gastropoda dominan. Pengurangan yang menyolok dalam hal jumlah invertebrata pada sampel jaring angkat dari hamparan eceng gondok disebabkan karena dimangsa ikan. Massa akar eceng gondok tampaknya menggantikan niche yang semula disediakan oleh massa akar kubis Nil bagi invertebrata air ini.

Pengendalian Eceng Gondok Dengan Kumbang Air

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa salah satu tumbuhan air yang diintroduksikan ke Australia adalah eceng ondok (Eichhornia crassipes), yang merupakan tumbuhan-mengapung yang paling berhasil di dunia. Sebagai contoh, tiga individu eceng gondok bisa memproduksi 3.000 individu baru dalam waktu 50 hari. Mereka mengkoloni perairan sedemikian hingga membatasi gerakan perahu, menyumbat pipa pompa dan saluran irigasi serta secara nyata mengubah kualitas air dengan menghalangi pemasukan cahaya ke kolom air dan menghabiskan oksigen terlarut di bawah permukaan air. Eceng gondok di Ausralia pertama kali dilaporkan pada tahun 1895 dari Botanical Gardens di Brisbane. Keberhasilan pengendalian eceng gondok telah dicapai di beberapa bagian Australia dengan memanfaatkan kumbang weevil Amerika Selatan (Neochetina eichhorniae). Kumbang Neochetina bruchi baru-baru ini dilepaskan untuk membantu pengendalian eceng gondok dan kini kumbang tersebut telah mapan.

Toleransi Salinitas dan Kemampuan Eceng Gondok Menyingkirkan Nitrogen Dari Perairan

Vejar P. et al. (1991) menunjukkan bahwa nitrogen merupakan zat hara pembatas pertumbuhan paling penting bagi eceng gondok Eichhornia crassipes (Mart.) Solms yang dipelihara pada kondisi laboratorium sejak berbunga sampai awal kondisi dorman (tak aktif) musim dingin. Spesies ini telah terbukti dapat bertindak sebagai agen biologis penyingkir nitrogen dari perairan dengan hasil 24,0 mg (berat kering)/mg N-NO3-/liter. Percobaan yang dilakukan pada berbagai salinitas menunjukkan bahwa Eichhornia crassipes dapat mentolerir salinitas sampai sekitar 7,5 gram/liter natrium klorida.

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menyingkirkan dan Mengurangi Daya Racun Merkuri

James et al. (1992) mempelajari pengaruh konsentrasi air raksa subletal terhadap transformasi makanan pada ikan Heteropneustes fossilis dan peranan eceng gondok Eichhornia crassipes dalam mengurangi daya racun logam merkuri ini. Nilai LC-50 96 jam untuk air raksa adalah 0,099 ppm. Konsentrasi subletal air raksa secara nyata menurunkan laju makan, penyerapan, konversi dan metabolisme. Binatang yang terpapar terhadap 0,03 ppm air raksa dan air raksa + eceng gondok mengkonsumsi makanan 48 dan 45 % lebih sedikit, berturut-turut, daripada binatang yang dipelihara di dalam air bebas-merkuri. Binatang kontrol menghabiskan 65 % energi makanan yang dikonsumsi untuk metabolisme dan nilai ini meningkat menjadi 75 dan 70 % pada binatang yang terpapar air raksa dan air raksa + eceng gondok, berturut-turut. Efisiensi untuk mengkonversi energi makanan menjadi jaringan tubuh berkurang sampai maksimum 65 % pada ikan yang terpapar air raksa saja dan 48 % pada ikan yang terpapar air raksa + eceng gondok, bila dibandingkan dengan ikan kontrol. Penurunan pertumbuhan pada ikan Heteropneustes fossilis mungkin disebabkan penurunan laju penelanan makanan, efisiensi konversi makanan yang rendah, dan tingginya bagian energi makanan yang dihabiskan untuk metabolisme. Bagaimanapun, ikan yang terpapar air aksa + eceng gondok menunjukkan dengan jelas perbaikan parameter-parameter transformasi makanan dibandingkan pada ikan yang terpapar air raksa saja. Eichhornia crassipes diduga banyak menyingkirkan air raksa dari medium uji dan dengan demikian secara tidak langsung mengurangi daya racun logam berat ini bagi binatang uji. Konsentrasi klorofil Eichhornia crassipes menunjukkan penurunan secara perlahan-lahan akibat meningkatnya konsentrasi air raksa.

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menghilangkan Zat Hara Anorganik dan Mengurangi Fitoplankton

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai kemungkinan pembudidayaan spesies-spesies tumbuhan air tertentu dalam sistem perairan eutrofik untuk menghilangkan zat hara anorganik dan membatasi pertumbuhan fitoplankton. Telah dibuktikan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) menyerap rata-rata 3,4 kg/ha nitrogen dan 0,34 kg/ha fosfor per hari selama pertumbuhan yang cepat. Telah dilakukan penelitian di mana luas penutupan perairan oleh eceng gondok sebesar 0, 5, 10 dan 25 % dari luas permukaan kolam yang kaya zat hara di Auburn, Alabama. Kelimpahan fitoplankton adalah lebih rendah di kolam yang luas penutupan eceng gondoknya 10 dan 25 % daripada di kolam yang luas penutupannya 0 dan 5 %. Persaingan antara eceng gondok dengan fitoplankton melibatkan penaungan dan pengambilan zat hara. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan eceng gondok dan makrofita air lainnya untuk mengurangi fitoplankton di kolam budidaya ikan intensif bisa diterapkan secara praktis.

Daftar Pustaka :

Bailey, R.G. and M.R. Litterick. 1993. The Macroinvertebrate Fauna of Water Hyacinth Fringes in The Sudd Swamps (River Nile, Southern Sudan). Hydrobiologia, vol. 250, no. 2, pp. 97 – 103

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries .1999. Our Inland Wetlands. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 23 pp.

James, R., K. Sampath, V. Jancy Pattun and G. Devakiamma. 1992. Utilization of Eichhornia crassipes for The Reduction of Mercury Toxicity on Food Transformation in Heteropneutes fossilis. Journal of Aquaculture Tropica, vol. 7, no. 2, pp. 189 – 196, ISSN 0970-0846

Vejar P., M., V. Dellarossa, V. and J. Cespedes. 1991. Mineral Nutrition and Yield Coefficient in Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. BOL. SOC. BIOL. CONCEPTION, no. 62, pp. 189 – 193, ISSN 0037-850X