Selasa, 31 Mei 2016

Pengaruh Aerasi Oksigen Terhadap Kesehatan dan Produksi Ikan

donasi dg belanja di Toko One


Meade et al. (1991) meneliti pengaruh penambahan udara versus oksigen dalam sistem budidaya yang penggunaan airnya berangkai (air bekas kolam masuk ke kolam berikutnya) terhadap kalitas air dan pertumbuhan ikan, hematologi serta kondisi ginjal. Rangkaian ulangan lima unit budidaya, yang ditebari dengan ikan trout danau Salvelinus namaycush di Wisconsin dan Pennsylvania, telah dilengkapi dengan aerasi atau oksigenasi, kemudian air dan ikannya dipantau selama 2 bulan. Seperti yang diharapkan, konsentrasi amonia dan konduktivitas (daya hantar) air meningkat, sedangkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut (DO), tekanan gas total dan pertumbuhan ikan menurun karena airnya bekas kolam(-kolam) sebelumnya. Ada perbedaan tekanan gas total antara air yang diaerasi dan air yang dioksigenasi, karena efek penyingkiran nitrogen yang ditimbulkan oksigenasi mengakibatkan tekanan gas total menjadi jauh lebih rendah pada akhir rangkaian kolam dibandingkan dengan air pada kolam yang diaerasi. Jadi penggunaan oksigen jauh lebih efektif daripada penggunaan udara untuk mengendalikan nitrogen terlarut dan tekanan gas total. Disimpulkan bahwa penggunaan oksigen, sebagai pengganti udara, untuk mengendalikan oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis, tetapi juga tidak meningkatkan kesehatan maupun produksi ikan.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Senin, 30 Mei 2016

Kelangsungan Hidup, Umur dan Mortalitas Acartia

donasi dg belanja di Toko One


Trujillo-Ortiz dan Arroyo-Ortega (1991), dengan tujuan menganalisis mortalitas dan umur harapan hidup kopepoda calanoida Acartia californiensis selama siklus hidupnya, melakukan penelitian di bawah kondisi laboratorium (suhu 17 ± 1 °C dan salinitas 35 ppt). Telur dari individu dewasa yang dikumpulkan di Estero de Punta Banda, Baja California, Mexico, dikultur hingga tahap dewasa. Mereka diberi pakan mikroalga Tetraselmis sp dan Isochrysis tahitiana. Selama perkembangan organisme, laju mortalias maksimum terjadi pada tahap-tahap nauplius. Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, rata-rata umur harapan hidup atau umur lebih lama bagi binatang hidup dalam populasi menunjukkan nilai-nilai tertinggi untuk tahap nauplius-I sampai nauplius-VI (3,98 hari ± 0,24 simpangan baku); nilai terendah diperoleh pada tahap-tahap kopepodid (2,26 hari ± 1,05 simpangan baku). Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, selama sepuluh hari pertama umur organisme, kelangsungan hidup dan umur harapan hidup adalah 0,67 ± 0,24 simpangan baku dan 6,45 ± 0,82 simpangan baku, berturut-turut. Sebaliknya, nilai-nilai ini menurun sampai menjadi 0,183 ± 0,13 simpangan baku untuk kelangsungan hidup, dan 2,30 hari ± 1,32 simpangan baku untuk umur harapan hidup selama hari-hari akhir percobaan. Variasi mortalitas dan umur harapan hidup ungkin disebabkan perbedaan jenis akan dan variasi metabolisme organisme yang dipengaruhi tahap hidup.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 29 Mei 2016

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Arsip Cofa No. A 030
donasi dg belanja di Toko One


Jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan medium cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH medium. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter-parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh suatu jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Pengaruh Oksigen Terhadap Penetasan, Daya Hidup Telur dan Embryo Acartia

donasi dg belanja di Toko One


Lutz et al. (1992) meneliti pengaruh konsentrasi oksigen yang rendah terhadap penetasan dan daya hidup telur kopepoda laut. Telur dari empat spesies kopepoda, Acartia tonsa, Labidocera aestiva, Tortanus discaudatus dan Centropages hamatus dipaparkan terhadap oksigen berkonsentrasi kurang dari 0,02 ml oksigen per liter. Ketika telur-telur tersebut kemudian dipaparkan terhadap oksigen berkonsentrasi normal, tingkat penetasan bervariasi antar sesies, yang menunjukkan variasi kemampuan telur untuk bertahan hidup pada kondisi konsentrasi oksigen rendah. Pengeraman telur pada konsentrasi oksigen rendah menyebabkan perkembangan embryo menjadi lebih lama.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 22 Mei 2016

Morfologi Jamur Saprolegniaceae

Arsip Cofa No. A 029
donasi dg belanja di Toko One


Anggota-anggota famili ini sebagian besar hanya dapat hidup di lingkungan perairan, tetapi kebanyakan spesies hidup di tanah. Berlawanan dengan pendapat para ilmuwan masa dahulu, kebanyakan jamur ini hidup saprofit pada serasah tumbuhan dan sedikit yang hidup pada bangkai binatang. Hanya beberapa spesies Achlya dan Saprolegnia yang kadang-kadang menyebabkan kematian anak-anak ikan dan telur ikan pada hatchery. Beberapa spesies Aphanomyces dan satu atau dua genus lainnya hidup parasit pada alga, akar tumbuhan tingkat tinggi atau pada binatang air.

Sekitar separuh genus memiliki oogonium yang berisi satu telur, tetapi sebagian besar genus dari famili ini memiliki oogonium yang bertelur-banyak. Jumlah telur per oogonium bervariasi dari 2 atau 3 sampai 50. Pada proses pembuahan telur, inti sperma – satu untuk setiap telur – masuk biasanya melalui tabung konjugasi yang menembus dinding oogonium dari antheridium. Pada beberapa kasus meskipun mempunyai antheridium namun tampaknya tidak ada lubang masuk bagi inti sperma sehingga telur berkembang secara partenogenetik. Oospora mungkin bertunas menjadi tabung tunas (germ tube) yang menghasilkan miselium baru. Pada Thraustotheca primoachlya Coker & Couch oospora yang sedang bertunas mungkin membelah diri menjadi beberapa spora internal atau spora internal ini dibentuk di dalam tabung tunas yang tumbuh keluar melalui celah-celah pada dinding oogonium (Coker & Couch, 1924). Ziegler (1948) mempelajari pertunasan 26 spesies dari famili ini yang mewakili 6 genus dan menemukan 4 tipe berikut ini. (1) “Sebuah tabung tunas dibentuk, dengan sebuah sporangium di puncaknya”; (2) “tabung tunas menghasilkan sebuah miselium yang sedikit bercabang dengan sebuah sporangium pada puncak hifa utama atau pada sebuah cabang”; (3) “tabung tunas primer membentuk sebuah miselium bercabang”; (4) “tabung tunas primer membentuk sebuah hifa panjang yang tak bercabang”.

Tampaknya bentuk zoospora primitif berupa seperti buah pear dengan dua flagela anterior yang sama panjang. Zoospora primer semacam ini hanya dibentuk oleh dua spesies Pythiopsis. Kebanyakan spesies dari ordo ini bersifat dimorfik (memiliki dua macam bentuk). Spesies-spesies lainnya menunjukkan berbagai modifikasi bentuk dimorfik ini.

Zoosporangia dibentuk pada ruas terakhir hifa, tetapi kadang-kadang dibentuk berderet satu di belakang yang lain. Ketika zoospora dilepaskan maka zoosporangium baru akan muncul, kadang-kadang lima atau enam kali. Pada kasus lain zoosporangia baru dibentuk pada cabang-cabang hifa. Biasanya mereka berbentuk ramping , seperti hifa penyokong, atau ujungnya membulat atau bulat telur. Pada kondisi kultur tertentu, hifa mungkin membentuk bulatan-bulatan zoosporangium yang berderet seperti rantai, yang masing-masing memiliki sebuah lubang pengeluaran di dekat ujungnya. Pada kondisi tertentu, zoosporangia membulat menjadi spora istirahat yang berdinding tebal atau chlamydiospora.

Biasanya zoospora terlepas setelah bagian atas zoosporangium melunak. Pada Saprolegnia, Leptolegnia dan Isoachlya zoospora primer berenang menjauh segera setelah dilepaskan kemudian mengkista pada jarak tertentu dari zoosporangium. Pada Achlya, Aphanomyces dan beberapa genus lain, zoospora primer mengkista segera setelah dilepaskan kemudian membentuk sebuah bola berisi sel-sel yang menghasilkan zoospora sekunder. Pada Thraustotheca dan genus lainnya zoospora primer mengkista di dalam zoosporangium dan ketika zoopsorangium pecah spora yang telah mengkista tadi keluar dan kemudian membentuk spora sekunder. Pada Dictyuchus spora yang telah mengkista berbentuk segi-banyak dan bertunas di dalam zoosporangium menjadi tabung pendek yang menembus keluar dinding zoosporangium, jadi bisa langsung melepaskan zoospora sekunder secara individu. Pada Aplanes dan Geolegnia dan beberapa genus lainnya spora primer yang telah mengkista bertunas menjadi tabung tunas di dalam zoosporangium atau setelah zoosporangium ini pecah. Pada berbagai kondisi kultur, individu-individu dari satu spesies Saprolegnia atau Achlya mungkin bisa dirangsang untuk membentuk zoospora dengan cara seperti yang ditempuh oleh Saprolegnia, Achlya, Thraustotheca atau Aplanes, yang menunjukkan bahwa modifikasi-modifikasi cara pembentukan zoospora ini tidak harus diikuti. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa Salvin (1942) telah berhasil mengawinkan Thraustotheca clavata (de Bary) Humphrey dengan Achlya flagellata Coker; yang pertama menghasilkan anteridium dan yang terakhir memproduksi oogonium. Oospora yang dihasilkan dari perkawinan ini tidak dapat membentuk tunas melalui metode yang dicobakan.

Aphanomyces mempunyai zoosporangium yang ramping tetapi hanya memiliki saru deretan tunggal zoospora yang proses pelepasannya sama seperti pada Achlya. Oogonium hanya memiliki satu telur saja. Spesies dari genus ini bersifat parasit pada alga dan pada akar tumbuhan tingkat tinggi, di mana mereka bisa menyebabkan akar menjadi busuk, juga memparasiti binatang air, terutama krustasea. Aphanomyces acinetophagus ditemukan pada sejenis protozoa air tawar. Agak sulit dibedakan dari Aphanomyces adalah Hydatinophagus yang memparasiti rotifera. Genus lain yang berkerabat dekat dengannya adalah Sommerstorffia yang juga parasit pada rotifera dan memiliki cabang-cabang mirip paku untuk mencengkeram tubuh inangnya. Plectospira bersifat parasit pada akar tumbuhan dan mirip dengan Aphanomyces kecuali bahwa ia memproduksi sekumpulan hifa dengan bentuk lembaran-lembaran kecil yang tampaknya berfungsi sebagai tempat penyimpanan tambahan sebagian zoosporangia, seperti yang dijumpai pada beberapa spesies dari genus Pythium. Oogonium hanya memiliki sebutir telur tetapi tanpa periplasma (plasma tepi) dan dikelilingi oleh banyak antheridia, sampai lebih dari 50, tetapi hanya sedikit antheridia yang berkembang penuh. Leptolegnia mirip dengan Aphanomyces dalam hal hifa yang berbentuk ramping dan zoosporangium yang juga ramping dengan sederet zoospora serta dalam hal oogonium yang hanya membentuk satu telur saja. Ia berbeda dalam hal zoospora primer yang berenang menjauh segera setelah dilepaskan dan membentuk kista pada jarak tertentu dari zoosporangium seperti pada Saprolegnia.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Faktor-Faktor Lingkungan Pendukung Produksi Kultur Brachionus

donasi dg belanja di Toko One


Lubzens et al. (1990) meneliti kemungkinan memelihara rotifera (Brachionus plicatilis O.F. Müller) pada suhu 4 °C selama periode waktu yang lebih lama pada kepadatan tinggi dan biaya rendah. Ditemukan bahwa proses-proses dinamika yang terlibat dalam pemeliharaan populasi rotifera (penetasan dan produksi telur) terus berjalan pada suhu 4 °C, tetapi lajunya berkurang menjadi satu per sepuluh dibandingkan pada suhu 25 °C. Kelangsungan hidup rotifera dan persentase telur yang dibawanya dipengaruhi oleh frekuensi penggantian media kultur, salinitas media kultur dan jumlah pakan yang tersedia serta jenisnya (alga, ragi atau Topal). Tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi diamati pada rotifera yang dipelihara dalam kondisi gelap. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada banyak kasus, pemeliharaan pada suhu 4 °C berpengaruh secara nyata terhadap kelangsungan hidup dan persentase telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kultur yang paling murah adalah yang melibatkan pemeliharaan rotifera (sedikitnya 1000 per ml) dalam media air laut bersalinitas 10 ‰ pada suhu 4 °C dengan ragi sebagai pakan. Media kultur sebaiknya diganti setiap 4 – 8 hari, dan kultur sebaiknya dipelihara dalam kondisi gelap. Rotifera hasil kultur ini bisa digunakan secara langsung, setelah diperkaya secara tepat dengan asam-asam lemak tak-jenuh, sebagai pakan untuk larva ikan laut, atau digunakan untuk memulai kultur baru. Makalah ini menyajikan metode baru pengawetan rotifera untuk periode yang lebih lama beberapa hari atau beberapa minggu. Metode ini memungkinkan untuk melakukan pengelolaan yang lebih fleksibel terhadap pasokan dan permintaan rotifera di hatchery budidaya air laut. Selain itu, rotifera yang diawetkan bisa didistribusikan dari satu lokasi utama ke hatchery-hatchery yang lebih kecil atau ke pengguna lain yang tidak memiliki fasilitas untuk mengkultur rotifera.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Brachionus

donasi dg belanja di Toko One


Jinqiu dan Deshang (1997) melakukan penelitian pengaruh cahaya dan intensitas cahaya terhadap dinamika populasi Brachionus calyciflorus yang diberi pakan Chlorella pyrenoidosa dan Saccharoices carlsbergensis secara terpisah dengan metode “batch culture” pada suhu terkendali 32 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa cahaya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan populasi rotifera ini. Pertumbuhan populasi rotifera yang dikultur dengan diberi cahaya adalah lebih besar daripada yang dikultur dalam kondisi gelap. Tetapi pengaruh intensitas cahaya tidak ditemukan dalam kisaran kekuatan cahaya 100 – 12.000 lx .

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Sabtu, 21 Mei 2016

Produksi Masal dan Pengawetan Telur Istirahat Brachionus

donasi dg belanja di Toko One


Hagiwara et al. (1997) melaporkan bahwa produksi masal telur istirahat rotifera laut Brachionus plicatilis (dulu disebut tipe-L) dan Brachionus rotundiformis (disebut tipe-S) berhasil dilakukan dengan menggunakan metode “batch culture” (kultur sekumpulan besar). Efisiensi produksi telur istirahat bisa diperbaiki dengan menggunakan metode kultur semi-kontinyu. Beberapa kultur semi-kontinyu hancur antara hari ke-15 sampai 20 akibat efek bakteri. Bagaimanapun, kultur rotifera bisa distabilkan dengan menempatkan alat penyaring untuk menghilangkan bahan-bahan organik. Demikianlah, panen sebanyak 8,1 x 102 telur istirahat per hari per gram (berat kering) bisa diperoleh, yang artinya 3,0 kali lebih efisien daripada yang diperoleh dengan metode “batch culture”. Telur istirahat Brachionus rotundiformis, bagaimanapun, tidak dapat diproduksi masal setelah penggantian air kultur. Telur istirahat dapat disimpan dalam air laut selama lebih dari 20 tahun pada suhu 5 °C dengan kondisi gelap total. Laju penetasan telur, bagaimanapun, berkurang bila disimpan bersama bahan organik yang melimpah. Telur istirahat dapat dikalengkan di bawah tekanan atmosfir 48–61 kPa setelah “lyophilization” (metode pengeringan tanpa merusak struktur fisiknya; dilakukan dengan membekukan material dan kemudian menghangatkannya di dalam ruang hampa udara sehingga es-nya menguap) pada suhu - 30 °C tanpa mengurangi laju penetasan.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 08 Mei 2016

Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen Pada Ikan

Arsip Cofa No. A 028
donasi dg belanja di Toko One


Sejak pergantian abad ini, banyak literatur mengenai ikan dan binatang air lain yang diparasiti jamur phycomyecetes yang secara umum dikenal sebagai “cendawan ikan” (fish mold). Identifikasi spesies sebagian besar jamur yang diuraikan dalam literatur tersebut diragukan karena kebanyakan deskripsi dan ilustrasi spesies jamur yang diuraikannya tidak lengkap. Bahkan literatur yang mendeskripsikan spesies jamur tidak dapat digunakan karena deskripsinya kurang tepat dan penanganan spesimen kurang cermat. Seringkali deskripsi spesies dilakukan berdasarkan morfologi ciri vegetatif dan struktur aseksual. Hal ini menyebabkan spesies jamur air yang telah diidentifikasi dalam literatur di atas tidak dapat dipercaya. Dalam kasus lain, spesies jamur yang akan diidentifikasi diperoleh dari kultur campuran tanpa memperdulikan kemungkinan tercemar spesies jamur lain. Lagi pula, dalam melaporkan jamur penyebab penyakit pada ikan, sebagian besar peneliti hampir tidak berusaha memisahkan antara spesies jamur saprofitik yang muncul setelah ikan mati dan spesies jamur parasitik yang menyebabkan kematian ikan, mereka juga tidak melakukan pembuktian-ulang daya patogen isolat jamur yang didapat dari peralatan percobaan. Jadi, kebanyakan literatur terdahulu tidak dapat dipakai sebagai bahan rujukan untuk menyiapkan makalah seperti ini.

Dalam mempelajari taksonomi jamur ini, sebelumnya kita harus mengumpulkan dari inang yang sakit isolat parasit sebanyak mungkin, mengembangbiakkan jamur ini dalam kultur murni, membuktikan bahwa isolat jmur-jamur tersebut sanggup memparasiti ikan, kemudian mempelajari morfologi agen penyebab penyakit serta membandingkannya dengan spesies yang diuraikan dalam literatur terdahulu. Harus diperhatikan di sini bahwa, meskipun genus jamur air dibedakan terutama oleh tipe reproduksi aseksual, pengamatan yang cermat terhadap reproduksi seksualnya mutlak diperlukan untuk mengidentifikasi spesies dalam setiap genus. Taksonomi jamur ini diperumit oleh kenyataan bahwa kisaran variasi struktur yang penting untuk mengidentifikasi spesies tidak diketahui bahkan pada beberapa spesies yang sudah dikenal sekalipun. Struktur semacam ini malah mungkin tidak ada pada material yang diparasiti. Dahulu, identifikasi tampaknya dilakukan tanpa memperhatikan pedoman klasik yang seharusnya dipakai dalam identifikasi. Yang juga penting adalah fakta bahwa ada peneliti yang cenderung mengidentifikasi suatu spesies sebagai spesies baru bila siklus hidupnya tidak dapat diamati dengan sempurna. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa isolat spesies tersebut biasanya merupakan varietas murni dari suatu spesies yang telah dikenal.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 01 Mei 2016

Penyakit Jamur Pada Ikan

Arsip Cofa No. A 027
donasi dg belanja di Toko One


Dari sekian banyak laporan mengenai jamur phycomycetes sebagai parasit ikan, identifikasi yang tepat spesies jamur tersebut masih diragukan. Telah hampir menjadi kebiasaan di antara ahli biologi perikanan untuk menyatakan semua jamur ikan dengan nama Saprolegnia parasitica.

Total lebih dari 250 jamur yang diisolasi dari ikan dan telur ikan yang sakit dikumpulkan hingga saat ini dari 20 negara bagian. Kultur murni jamur ini telah diperoleh dan dipelajari dengan mendalam di laboratorium. Ada dua belas spesies yang dilaporkan di sini. Beberapa spesies di antaranya dilaporkan segera setelah mereka muncul secara alami sebagai penyebab penyakit ikan.

Studi inokulasi menunjukkan bahwa Saprolegnia parasitica, Saprolegnia ferax, Saprolegnia delica, Saprolegnia monoica, Achlya bisexualis dan semua isolat Saprolegnia sp. akan memarasiti ikan platyfish yang terluka pada kondisi laboratorium yang terkendali.

Mikopatalogi ikan merupakan bidang ilmu yang relatif baru, dan banyak fase jamur parasit ini yang belum banyak dipelajari. Kebanyakan organisme hidup pada kondisi lingkungan tertentu menjadi sasaran serangan jamur, tak terkecuali ikan. Bila ikan air tawar ditangani secara kasar atau terkena luka ringan sekalipun, jamur akan menginfeksinya sehingga tingkat kematian ikan sangat tinggi. Infeksi jamur juga menyebabkan kematian masal populasi ikan padahal kondisi lingkungan menguntungkan bagi kehidupan ikan. Selain itu, baik pada kondisi alami maupun hatchery, hampir semua telur ikan rentan terhadap serangan jamur.

Tujuan awal penelitian ini adalah mempelajari taksonomi dan biologi jamur penyebab penyakit pada ikan dan telur ikan. Ada anggapan yang tidak benar di kalangan para ahli biologi perikanan bahwa hampir semua infeksi jamur pada ikan disebabkan oleh anggota genus Saprolegnia. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa banyak jenis jamur yang terlibat dalam kompleks ikan-jamur. Beberapa di antara jamur ini semula tidak dilaporkan sebagai parasit ikan, dan identitasnya yang pasti sangat dibutuhkan. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam mengendalikan jamur ini dengan suatu teknik mungkin menggambarkan kerumitan hubungan jamur-ikan tersebut.

Kebutuhan untuk mempelajari sifat-sifat jamur ini mudah dipahami bila orang menyadari pesatnya perkembangan dan pengelolaan budidaya kolam, baik di tingkat pusat, negara bagian maupun hatchery swasta serta industri perikanan tropis. Tampaknya bahwa jamur ini paling ditakuti industri hatchery dan budidaya kolam di mana infeksi sporadis menyebabkan wabah penyakit tanpa ada peringatan terlebih dahulu (Agersborg, 1933; Tiffney dan Wolf, 1937). Penulis sering mengamati wabah penyakit ikan pada kolam budidaya dan di daerah wisata pemancingan ikan – wabah di mana tingkat kematian inang hampir mencapai 100 %. Sejumlah besar laporan yang diterima oleh penulis menunjukkan bahwa petani-petani ikan mengalami kerugian besar akibat infeksi jamur. Pengamatan dan laporan di atas menunjukkan bahwa jamur ini memiliki nilai ekonomi penting.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait