Jumat, 27 April 2018

Bioekologi Jamur Air


Daftar Isi

Bab I. Ekologi Jamur Air

- Klasifikasi dan Habitat Jamur Air
- Jamur Air Saprolegniales
- Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air
- Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air
- Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air
- Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air
- Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air
- Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur
- Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Bab II. Respirasi dan Metabolisme Jamur Air

- Katabolisme Substrat dan Sintesis Enzim Pencernaan Oleh Jamur Air
- Produksi Asam Laktat Oleh Jamur Air dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya
- Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Bab III. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Bab IV. Pertumbuhan Jamur Air

- Pertumbuhan Jamur Berfilamen
- Pertumbuhan Jamur Bersel-Satu
- Metode Pengukuran Pertumbuhan Jamur Air

Bab V. Pembentukan Enzim Selulase pada Jamur Trichoderma : Pengaruh Logam dan Sumber Karbon

- Kebutuhan Mineral Bagi Pembentukan Enzim Selulase
- Pengaruh Logam dan Sumber Karbon Terhadap Pembentukan Selulase

Referensi


Bab I
Ekologi Jamur Air


Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.

Bab II
Respirasi dan Metabolisme Jamur Air


Katabolisme Substrat dan Sintesis Enzim Pencernaan Oleh Jamur Air

Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai katabolisme substrat oleh zoospora. Zoospora yang mampu bergerak dan sedang bertunas dari jamur Phytophthora mengkatabolisasi asparagin, glutamat, serin, asetat dan glukosa yang diberi label C-14 radioaktif.

Banyak jamur air dapat menghidrolisa molekul-molekul besar baik yang dapat-larut maupun yang tak dapat-larut, misalnya pati, glikogen, selulosa, kitin, pektin, gelatin, kasein dan keratin dengan mengekskresi enzim esktraseluler. Kemampuan untuk mengekskresi enzim protease, kitinase, selulase dan pektinase dapat diideteksi pada media agar. Secara umum sifat-sifat fisika dan kimia enzim-enzim ini belum banyak diketahui. Baru-baru ini dilaporkan bahwa dua jenis enzim ekstraseluler yakni enzim endopoligalakturonase dan kitinase telah ditemukan pada jamur Aphanomyces. Enzim selulase berhasil diperoleh dari jamur Achlya dan tampaknya enzim ini lebih suka bekerja pada dinding sel daripada menguraikan selulosa yang ada di luar sel. Jamur Pythium juga dapat mensintensis selulase.

Produksi Asam Laktat Oleh Jamur Air dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Banyak jamur Chytridiomycetes dan Oomycetes menfermentasi gula menjadi asam laktat. Isomer asam laktat yang dihasilkan adalah D(-). Beberapa peneliti melaporkan bahwa D(-)laktase dehidrogenase dari Pythium, Sapromyces dan Allomyces telah diisolasi dan dibandingkan dengan enzim laktase dehidrogenase dari sumber lainnya. Ada perbedaan yang cukup menyolok dalam hal sifat-sifat fisika, kimia dan kinetika enzim laktase dehidrogenase dari jamur Oomycetes. Dalam kultur campuran, Blastocladiella dan Sapromyces mengubah glukosa menjadi asam laktat dan kemudian mengasimilasi asam laktat kembali. Mindeniella tidak mempunyai organ-organ enzimatik untuk mengasimilasi kembai asam laktat yang telah dilepaskan ke dalam medium. Berdasarkan hasil beberapa penelitian disimpulkan bahwa laju produksi asam laktat tergantung pada aerasi karena aerasi menurunkan laju glikolisis. Laju produksi asam laktat juga bergantung pada tahap perkembangan jamur. Pada Allomyces diferensiasi membutuhkan aerasi yang cukup; jadi aerasi merangsang diferensiasi, yakni pembentukan gametangia. Pada kultur yang tak diaerasi di mana diferensiasi tidak berlangsung, aktivitas enzim laktase dehidrogenase jauh lebih tinggi dibandingkan pada kultur yang diaerasi. Reproduksi seksual berlangsung dengan disertai oleh pergeseran pola respirasi dari respirasi glikolitik menjadi respirasi oksidatif pada Allomyces. Adalah menarik bahwa aktivitas enzim laktase dehidrogenase pada galur jamur yang berdiferensiasi menjadi jantan dua kali lipat aktivitas enzim yang sama pada galur jamur yang berdiferensiasi menjadi betina dalam kultur yag diaerasi. Juga galur yang berdiferensiasi menjadi jantan menghasilkan lebih banyak asam laktat daripada galur yang berdiferensiasi menjadi betina. Terakhir, laju produksi asam laktat dipengaruhi oleh konsentrasi gula pada jamur air.

Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Tujuan utama sebagian besar studi nutrisi jamur adalah mengembangkan media sintetis agar jamur dapat tumbuh optimal di mana media tersebut relatif mudah disiapkan. Bagaimanapun, beberapa penelitian penting telah dilakukan dengan media campuran. Di alam, jamur tumbuh dalam media campuran dari berbagai jenis substrat, jadi bukan satu jenis substrat saja sebagai sumber karbon dan energinya. Pertumbuhan Phytophthora pada media minyak sayur dan jenis-jenis lemak lainnya telah diamati. Leptomitus dan Saprolegnia tumbuh subur pada media campuran asam amino. Pengaruh satu komponen campuran terhadap pemanfaatan komponen lainnya telah diamati oleh beberapa peneliti. Pada Allomyces, penambahan sedikit glukosa ke dalam medium pertumbuhan merangsang jamur untuk memanfaatkan fruktosa dan manosa dengan mempercepat fase-lambat (lag phase). Telah dibuktikan bahwa asam amino asparagin, arginin, sitrulin, ornitin, asam glutamat dan prolin juga merangsang pemanfaatan manosa oleh Allomyces.

Telah dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan Aphanomyces pada media campuran glukosa, manosa dan galaktosa. Jamur ini tumbuh baik pada media glukosa sebagai sumber karbon dan tumbuh jelek pada media manosa maupun galaktosa. Laju pertumbuhan jamur pada media campuran manosa dan galaktosa, manosa dan glukosa, serta galaktosa dan glukosa kira-kira sama dengan laju pertumbuhan pada media glukosa saja di mana jumlah total gula pada setiap media sama. Pada jamur Apodachlya sejumlah kecil metionin dapat menghambat pertumbuhan jamur pada media yang mengandung asam glutamat sebagai sumber karbon. Campuran leusin dan glukosa memungkinkan jamur tumbuh lebih baik dibandingkan bila jamur ditumbuhkan pada media leusin saja atau glukosa saja khususnya pada jamur Leptomitus.

Bab III
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur


Dengan memperhatikan kerumitan proses yang terlibat dalam pertumbuhan, maka tidak mengherankan bila pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan. Di antara faktor lingkungan tersebut adalah nutrisi, air, suhu, pH, iradiasi, aerasi dan karbon dioksida serta bahan-bahan kimia seperti pestisida dan herbisida.

Suhu

Jamur berbeda menyolok dalam hal suhu optimalnya. Penelitian tentang pertumbuhan jamur laut pada media agar pada berbagai suhu menunjukkan bahwa pertumbuhan paling lambat terjadi pada suhu 5 oC dan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu. Jamur Alternaria sp., Stachybotrys atra dan Dendryphiella salina tumbuh subur pada suhu 30 oC, tetapi suhu ini di atas suhu optimal bagi spesies-spesies jamur lain.

Beberapa jenis jamur membutuhkan suhu di atas 20 oC dan seringkali tumbuh subur pada suhu 50 oC atau lebih. Jamur termofilik (suka-panas) seperti ini ditemukan di dalam sampah kebun yang sedang membusuk (kompos), timbunan kotoran binatang dan produk-produk hutan serta pertanian yang sedang disimpan. Mereka juga terlibat dalam pembakaran material secara spontan dan dalam penyakit binatang. Contoh jamur termofilik ini adalah Mucor miehei dan Sporotrichum thermophile yang mempunyai suhu optimal pada kisaran 40 -45 oC.

Meskipun beberapa jenis jamur dapat bertahan hidup pada lingkungan yang teramat dingin, pertumbuhan pada suhu rendah berlangsung dengan laju minimal pada sebagian besar jamur dan merupakan salah satu kunci yang perlu diperhatikan dalam mengawetkan makanan. Suhu di mana jamur disimpan berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur selanjutnya. Penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan Gyromitro esculenta pada suhu di bawah titik beku menyebabkan penurunan daya tahan hidup bila jamur ini kemudian diinkubasikan pada suhu 15 – 23 oC, kisaran suhu untuk pertumbuhan normalnya. Penyimpanan kryogenik (atau penyimpanan beku) telah diterapkan untuk mempertahankan jamur dalam jangka panjang. Sebuah penelitian melaporkan bahwa beberapa galur jamur tetap hidup setelah sembilan tahun disimpan secara kryogenik.


Pengaruh pH

Nilai pH optimum untuk pertumbuhan jamur bervariasi antar galur atau spesies jamur dan kondisi nutrisinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur Dendryphiella salina tumbuh paling subur pada pH 4 – 6, Cladosporium herbarium pada pH 5 – 6, Monodictys pelagica pada pH 6, Alternaria sp pada pH 6 – 7. Telah diketahui bahwa pH berperanan dalam penyerapan berbagai jenis nutrien, dan dengan demikian respon pertumbuhan ini dapat dipahami dengan memperhatikan perbedaan laju penyerapan tersebut. Pengamatan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum pada hifa Trichoderma viride berbanding lurus dengan konsentrasi ion H+ yang berkaitan dengan pengaruh pH terhadap penyerapan nutrien.


Iradiasi Sinar Tampak dan Sinar Tak Tampak

Pengaruh berbagai bentuk radiasi terhadap perkembangan dan reproduksi jamur telah mendapat perhatian besar selama bertahun-tahun, namun pengaruhnya terhadap pertumbuhan jamur berfilamen maupun tak berfilamen kurang diperhatikan. Cahaya telah terbukti merangsang pertumbuhan spesies jamur tertentu, menghambat spesies lain, dan tak berpengaruh bagi spesies lainnya lagi.

Telah dilakukan penelitian pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan empat galur jamur Candida albicans. Cahaya dengan semua panjang gelombang terbukti menghambat pertumbuhan galur SA# 1. Pada galur 3C, cahaya bisa menghambat bisa pula tak berpengaruh. Pada dua galur lainnya, cahaya hitam (UV) bersifat menghambat tetapi cahaya dengan panjang gelombang lainnya mendorong pertumbuhan.


Sulit menentukan dengan mekanisme bagaimana mana cahaya berengaruh terhadap pertumbuhan jamur. Pada galur-galur Candida albicans di atas, cahaya umumnya menghambat sintesis protein dan merangsang sintesis karbohidrat. Pada Blastocladiella emersonii, perangsangan pertumbuhan oleh cahaya berkaitan dengan peningkatan sintesis polisakarida dan penurunan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase. Pada Penicillium spp penghambatan pertumbuhan oleh cahaya berkaitan dengan penurunan sintesis dinding sel. Bagaimanapun, sulit untuk menentukan apakah pengaruh cahaya tersebut bersifat langsung atau tidak langsung.

Pengaruh irradiasi sinar tak tampak terhadap pertumbuhan telah dipelajari pada beberapa spesies jamur. Sebagai contoh, iradiasi sinar gamma (1,6 – 4,1 rad/jam) sangat mendorong pertumbuhan dan produksi asam organik pada Aspergillus niger. Iradiasi sinar gamma dengan kadar rendah juga mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi aflatoksin pada Aspergillus flavus, tetapi dalam kadar tinggi ia bersifat menghambat.

Bab IV
Pertumbuhan Jamur Air


Pertumbuhan Jamur Berfilamen

Pertumbuhan berbagai jenis jamur berfilamen menunjukkan kinetika sigmoidal. Sebagai contoh, kurva pertumbuhan jamur Pycnoporus cinnabarinus yang dikultur dalam media cairan esktrak malt (sejenis selai) menunjukkan fase-fase lambat, logaritmik, perlambatan, stasioner dan penurunan. Bagaimanapun, bentuk kurva pertumbuhan ini berbeda jauh bila menggunakan medium dasar kaldu Czapek. Sekilas tampaknya aneh bahwa kurva pertumbuhan jamur bersel-satu dan jamur berfilamen sangat mirip, terutama fase eksponensial. Jelas bahwa produksi autokatalitik sel-se baru yang diamati pada ragi tidak terjadi pada jamur berfilamen. Hifa hanya tumbuh pada bagian ujungnya, dan dengan demikian tidak seluruh panjang hifa berperanan dalam pertumbuhan, khususnya pertumbuhan eksponensial. Bagaimanapun, kemampuan jamur berfilamen untuk membentuk cabang baru berarti memperbanyak ujung hifa baru, yang memungkinkan koloni tumbuh secara eksponensial. Percabangan seringkali terbentuk pada interval yang tak teratur, pertumbuhan eksponensial menyebabkan laju pembentukan cabang sebandiing dengan panjang hifa. Pembentukan cabang pada jamur berfilamen dengan demikian dapat disamakan dengan pembelahan sel pada jamur bersel-satu.

Miselia jamur yang ditumbuhkan dalam media yang teraerasi akan tumbuh menjadi bentuk yang hampir menyerupai bulatan. Telah ditunjukkan bahwa pertumbuhan eksponensial jamur Neurospora cardia (diukur sebagai berat kering, x) lebih merupakan fungsi kubik (pangkat tiga) daripada fungsi logaritme. Persamaan yang sangat sesuai untuk menggambarkan pertumbuhan ini adalah :

xt 1/3 – xo 1/3 + kt

di mana k adalah konstanta. Perbedaan kinetika pertumbuhan jamur yang berbentuk bulat tersebut disebabkan oleh pengurangan nutrien di dalam koloni. Sekali jamur mencapai bentuk bola besar dengan diameter tertentu, difusi nutrien ke bagian pusat jaringan terlalu lambat untuk dapat mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi pada seluruh miselium. Jadi, pertumbuhan berlangsung terutama pada bagian tepi bulatan jamur, sementara hifa di bagian tengah bulatan mingkin mati.

Kinetika jamur berfilamen yang tumbuh pada permukaan media padat serupa dengan yang ditemukan pada jamur yang berbentuk bulatan. Pertumbuhan kultur permukaan pada fase eksponensial dapat dinyatakan dalam persamaan :

Xt = (pHdro2) e µt

di mana koloni diasumsikan tumbuh menjadi bentuk seperti cakram berjari-jari r, tinggi H, dan kepadatan d, sedangkan e adalah bilangan dasar logaritma natural (2,71828...), µ laju pertumbuhan spesifik, dan t waktu. Bagaimanapun, makin ke arah pusat koloni kondisi makin tidak menguntungkan, dan pertumbuhan di daerah ini lambat.

Pertumbuhan Jamur Bersel-Satu

Studi kinetika pertumbuhan jamur seringkali berguna untuk menganalisa bagaimana pertumbuhan organisme tersebut mengalami perubahan akibat perubahan lingkungan. Bila suatu organisme bersel satu seperti ragi dimasukkan ke dalam medium yang masih baru dan pertumbuhan populasinya diukur selama periode waktu tertentu, maka akan diperoleh kurva sigmoid khas. Mulanya akan terjadi fase lambat (lag phase) di mana pada saat itu organisme baru beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Hal ini mungkin melibatkan pengaktivan enzim untuk memetabolisme nutrien yang tersedia. Sebagai tambahan, beberapa organisme mungkin memodifikasi lingkungan barunya itu dengan memproduksi CO2, H+ atau senyawa metabolit sekunder sehingga kondisi media tersebut sesuai bagi pertumbuhannya.

Setelah periode adaptasi dilewati, populasi memasuki fase eksponensial. Pada fase in jamur mengalami pertumbuhan maksimal selama kondisi lingkungan sesuai, dan pembelahan sel berlangsung dengan laju yang konstan yang disebut laju pertumbuhan spesifik, dinyatakan dengan µ. Laju pertumbuhan spesifik didefinisikan sebagai jumlah jaringan yang diproduksi oleh satu satuan organisme per satu satuan waktu. Pertumbuhan pada fase ini bersifat autokatalitik : jumlah sel (N) pada waktu t (dilambangkan berama-sama sebagai Nt) merupakan fungsi eksponensial jumlah sel yang ada pada awal periode pertumbuhan (dinyatakan sebagai No). Jadi ,

Nt = No eµt

di mana e adalah bilangan dasar logaritma natural (2,71828...). Fase pertumbuhan ini disebut juga fase logaritma (atau log) karena plot log N terhadap periode waktu ini menghasilkan garis lurus yang kemiringan garisnya sama dengan µ. Jadi, laju pertumbuhan spesifik merupakan parameter yang berguna untuk membandingkan pertumbuhan berbagai jenis jamur atau pertumbuhan satu jenis jamur pada berbagai kondisi kultur yang berbeda. Jelas bahwa kondisi nutrisi yang berbeda bisa menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan spesifik karena adanya perbedaan laju penyerapan dan metabolisme nutrien.

Dalam kultur campuran di mana tidak ada nutrien baru yang ditambahkan, laju pertumbuhan eksponensial tidak dapat dipertahankan sehingga populasi memasuki fase perlambatan. Timbulnya fase ini mungkin disebabkan konsentrasi beberapa nutrien berkurang sampai menjadi faktor pembatas, atau terjadi perubahan faktor lingkungan seperti tekanan oksigen dan pH yang tidak menguntungkan, atau karena adanya racun yang diekskresi oleh organisme. Akibatnya, pertumbuhan populasi menurun sampai titik di mana jumlah sel tidak bertambah, dan populasi memasuki fase datar atau fase tetap (stationery). Berhentinya pertumbuhan mungkin disebabkan oleh berhentinya pembelahan sel atau kematian sel dengan laju yang sama dengan laju pembentukan sel baru. Bila kondisi pembatasan pertumbuhan ini tetap bertahan, laju kematian akhirnya akan meningkat dan populasi memasuki fase penurunan.

Metode Pengukuran Pertumbuhan Jamur Air

Pertumbuhan umumnya didefinisikan sebagai pertambahan massa suatu organisme yang terjadi setelah periode waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan hasil bersih pelipatgandaan molekular dan selular serta perubahan morfologis. Sebelum mempelajari pertumbuhan jamur, ada baiknya kita mempelajari lebih dulu metode pengukuran pertumbuhan dan cara-cara analisa pertumbuhan jamur. Hal ini menjadi dasar untuk membahas mekanisme pertumbuhan jamur, baik yang berfilamen maupun yang tak berfilamen, serta beberapa faktor yang mempengaruhi proses yang kompleks terrsebut.

Metode pengukuran pertambahan massa jamur pada satuan waktu tertentu merupakan cara langsung untuk menduga pertumbuhan jamur. Bagaimanapun, secara operasional morfologi jamur, kondisi kultur dan pertimbangan eksperimental memaksa kita menggunakan metode lain. Jadi seorang peneliti mungkin mendasarkan defisnisi pertumbuhan pada metode yang dipakainya. Ada beberapa metode pengukuran pertumbuhan jamur, di antaranya adalah metode berat kering, metode ekstensi linier, metode jumlah sel, metode konsentrasi komponen sel dan metode metabolisme.


Penimbangan berat kering adalah cara yang paling luas dan memuaskan dalam mengukur pertumbuhan jamur. Jaringan jamur ditempakan pada sebuah nampan, dipanaskan selama 24 jam pada suhu 80 oC, dibiarkan mendingin dan kemudian ditimbang. Kelemahan metode ini adalah membutuhkan jaringan jamur dalam jumlah besar, dan hanya mengukur meterial dinding sel saja. Selain itu, bila menggunakan media padat seringkali merepotkan untuk memisahkan jaringan dari media tersebut. Dan, tampaknya, perubahan kontinyu pertumbuhan spesimen jamur tidak dapat diamati

Metode ini melibatkan pendugaan pertambahan panjang setiap hifa atau pertambahan diameter koloni. Dalam penerapannya, metode ekstensi linier tidak merusak jaringan jamur, sehingga pertambahan kontinyu jamur tersebut bisa diamati. .Metode ini paling sedikit memakan waktu bila menggunakan media padat. Bagaimanapun, karena metode ini mengukur diameter koloni, pertumbuhan vertikal hifa tidak teramati., sehingga kinetika pertumbuhan yang diamatinya mungkin berbeda dengan hasil yang diperoleh melalui metode berat kering.
Penghitungan jumlah sel sangat berguna dalam menentukan pertumbuhan jamur bersel satu seperti ragi. Penghitungan jumlah sel dapat dilakukan dengan bantuan counting chamber seperti jenis hemasitometer atau sel Sedgwick-Rafter. Cara lain adalah dengan menggunakan spektrofotometer yang sering dipakai untuk menentukan jumlah sel secara tidak langsung dengan mengukur kekeruhan kultur. Dalam hal ini, kekeruhan dapat diubah menjadi jumlah sel dengan menggunakan kurva standar nilai hemasitometer yang diplotkan terhadap densitas optik. Bagaimanapun, metode ini harus dilakukan dengan hati-hati. Perlu diingat bahwa meskipun laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae yang diukur dengan spektrofotometer mapun dengan metode berat kering adalah sama, namun nilai dugaan mutlak jumlah sel yang diukur dengan kedua metode tersebut adalah berbeda.



Bab V
Pembentukan Enzim Selulase pada Jamur Trichoderma :
Pengaruh Logam dan Sumber Karbon


Selulase merupakan enzim adaptif bagi sebagian besar jamur, meskipun ditemukan juga pada bakteri selulitik. Banyak enzim polisakarase yang bersifat khas bagi jamur, di antaranya adalah pentosanase, poligalakturonase, kitinase, dekstranase, xilanase dan mananase. Karena banyak substrat enzim ini tidak dapat larut, masalah muncul berkaitan dengan bagaimana suatu subtsrat yang tak dapat larut bisa merangsang pembentukan enzim ekstraseluler.

Hasil hidrolisis polisakarida sering dapat merangsang pembentukan enzim polisakarase yang bersesuaian : asam galakturonat merangsang enzim poligalakturonase pada Penicillium chrysogenum; xilose merangsang pentosanase pada beberapa jenis cendawan; maltosa merangsang amilase pada Aspergillus niger; N-asetilglukosamin merangsang kitinase pada Aspergillus fumigatus dan Myrothecium verrucaria. Penggunaan hasil hidrolisis ini sebagai perangsang pembentukan enzim seringkali memberikan hasil enzim yang lebih sedikit daripada hasil enzim yang diperoleh dengan bantuan substrat.

Pada kebanyakan jamur selulolitik yang dicobakan, bagaimanapun, baik glukosa maupun selobiosa tidak dapat bertindak sebagai perangsang pembentukan enzim selulase. Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan masalah ini menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu beberapa jenis gula dapat merangsang pembentukan enzim selulase pada Trichoderma viride.

Kebutuhan Mineral Bagi Pembentukan Enzim Selulase

Komposisi mineral dalam medium pertumbuhan jamur berpengaruh besar terhadap produksi enzim selulase bila 0,5 % gula dipakai sebagai sumber karbon. Magnesium dan kalsium dalam berbagai konsentrasi mempengaruhi baik produksi selulase maupun konsumsi gula. Dalam kondisi ketiadaan magnesium, pertumbuhan tertunda (sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi gula) dan produksi selulase terhenti. Dalam kondisi medium mengandung MgSO4 sebanyak 0,003 %, pertumbuhan berlangsung baik dengan sedikit produksi selulase. MgSO4 pada konsentrasi 0,03 % juga memacu pertumbuhan, tetapi produksi selulase lebih seikit daripada bila konsentrasi MgSO4 sebanyak 0,003 %.

Kalsium tidak dapat menggantikan magnesium dalam memacu pertumbuhan jamur. Bagaimanapun, magnesium yang dilengkapi dengan 0,003 % CaCl2 sangat meningkatkan produksi selulase, dan bila dilengkapi dengan 0,03 % CaCl2 maka produksi selulase tersebut jauh lebih tinggi lagi. Data ini memperkuat dugaan bahwa kalsium mungkin bertindak menghilangkan sebagian efek menghambat yang ditimbulkan oleh magnesium. Strontium dapat menggantikan sebagian fungsi kalsium. Barium tidak mempunyai pengaruh.

Pengaruh berbagai konsentrasi CaCl2 diuji lebih lanjut dalam kondisi ada MgSO4 0,03 %. Aktivitas selulase rendah bila CaCl2 tidak ditambahkan. Penambahan 0,001 % CaCl2 (3,6 ppm Ca) menyebabkan aktivitas selulase meningkat tajam. Aktivitas ini terus meningkat sampai mencapai maksimum pada 0,02 % (72 ppm kalsium) dan kemudian menurun. Pertumbuhan berlangsung dengan laju sama bila konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan melebihi 72 ppm. Gula dikonsumsi pada semua kultur setelah 2 hari, hal ini menunjukkan kecilnya pengaruh konsentrasi kalsium terhadap laju pertumbuhan.

Trichoderma viride tumbuh pesat bila medium kultur tidak diberi ekstrak ragi, kalsium atau trace elemen. Trace elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur ini tampaknya dipasok dalam jumlah cukup pada inokulum tersebut, trace elemen ini juga terdapat sebagai “pengotor” di dalam gula dan garam-garam nutrien yang dipakai sebagai medium. Bagaimanapun, untuk produksi selulase tidak hanya kalsium tetapi juga trace elemen tertentu harus ditambahkan ke dalam medium. Keberadaan atau ketiadaan kalsium atau trace elemen berpengaruh sedikit terhadap pertumbuhan jamur ini bila diukur berdasarkan berat maksimum.

Pada percobaan terpisah, diketahui bahwa penambahan besi, mangan atau seng sebanyak 20 kali konsentrasi di atas tidak menurunkan laju pertumbuhan, jadi pada percobaan ini unsur-unsur tersebut beraksi pada konsentrasi di atas yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maksimum, tetapi jauh di bawah batas konsentrasi racun. Trace elemen sangat mempengaruhi hasil selulase. Hasil terbaik diperoleh pada saat ada besi, mangan, seng dan kobalt di dalam medium. Penyingkiran seng akan mengurangi hasil; penghilangan salah satu dari tiga trace elemen lainnya berpengaruh kecil. Percobaan lebih lanjut menunjukkan bahwa gabungan besi atau mangan dengan seng atau kobal memberikan hasil selulase yang tinggi. Kobalt merupakan satu-satunya elemen yang mampu aktif sendirian.

Penelitian tentang pengaruh konsentrasi kobalt terhadap pertumbuhan dan produksi selulase menunjukkan bahwa hasil selulase meningkat sejalan dengan penambahan kobalt sampai 10 ppm kemudian menurun ketika kobalt ditambah sampai mencapai 100 ppm. Selulase tidak tampak dalam kultur ini hingga hari ke-3 (hari ke-4 untuk 50 dan 100 ppm). Pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi kobalt sampai 0,5 ppm. Dari 1,0 sampai 10 ppm, berat maksimum sedikit berkurang dan laju pertumbuhan menurun, yakni, laju konsumsi gula lebih lamban dan berat maksimum baru dicapai setelah 3 hari, bukannya 2 hari. Pada konsentrasi 50 dan 10 ppm, berat maksimum belum tercapai meskipun sudah hari ke-4 sejak inokulasi. Pada percobaan kontrol dengan trace elemen lengkap (Fe 1,0; Zn 0,8; Mn 0,5; Co 0,5 ppm), selulase muncul pada hari kedua dengan berat maksimum 4,7 unit per ml.

Pada dasarnya Trichoderma viride tidak memproduksi selulase pada medium selobiose tanpa kehadiran kalsium dan trace elemen. Pada medium laktosa, selulase dihasilkan tanpa kehadiran kalsium dan trace elemen, tetapi produksi selulase meningkat bila kalsium dan trace elemen ditambahkan. Pada medium selulosa sulfat, baik pertumbuhan maupun produksi selulase tidak berlangsung tanpa kehadiran kalsium ataupun trace elemen, sedangkan bila kalsium dan trace elemen ditambahkan maka pertumbuhan dan produksi selulase bisa berlangsung. Pada medium CMC (carboxymethylcellulose) dan pada medium selulosa seperti solka floc, pertumbuhan dan produksi selulase berlangsung bila kalsium dan unsur-unsur minor dihilangkan dari medium tersebut.

Data ini memperkuat dugaan bahwa selulosa mungkin mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan. Sebuah sampel solka floc diabukan (pada suhu 600 oC) dan abunya dimasukkan ke dalam HCl lalu ditambahkan ke medium glukosa dengan jumlah yang setara dengan 0,4 % selulosa. Penambahan abu ini ke medium glukosa yang kekurangan kalsium dan trace elemen memberikan produksi selulase sebesar 2,0 unit per ml. Bagaimanapun, abu sendirian atau dicampur dengan kalsium atau trace elemen tidak memberikan hasil yang sama dengan hasil yang diperoleh campuran kalsium dan trace elemen, yang menghasilkan selulase 4,5 unit per ml.

Data ini memperkuat dugaan bahwa kebutuhan mineral untuk pembentukan selulase adalah sama pada glukosa, selobiosa, laktosa atau selulosa, tetapi kehadiran mineral tersebut sebagai pengotor dalam selulosa sangat mengurangi kebutuhan ini.

Pengaruh Logam dan Sumber Karbon Terhadap Pembentukan Selulase

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selulase dibentuk bila Trichoderma viride ditumbuhkan pada medium kultur yang mengandung selulosa, laktosa, glukosa atau selobiosa. Selulosa dan laktosa diduga dapat menjadi perangsang pembentukan selulase dalam pengertian yang umum.

Glukosa tampaknya tidak bisa menjadi perangsang bagi enzim selulase karena alasan-alasan berikut. Konsentrasi glukosa awal yang agak tinggi dibutuhkan untuk memproduksi selulase, tetapi selulase tidak muncul sampai glukosa habis dari medium kultur. Beberapa senyawa yang mungkin dimetabolisasi menjadi glukosa, seperti kanji, maltosa, trehalosa dan –metil glukosida, merupakan penyokong pertumbuhan yang baik tetapi tidak merangsang pembentukan selulase. Mungkin bahwa glukosa dimetabolisasi menjadi suatu perangsang, kemungkinannya adalah glikosida.

Referensi :


Alderman, D.J. 1982. Fungal Disease of Aquatic Animals in R.J. Roberts. (Ed.). 1982. Microbial Disease of Fish. Academic Press. New York. Pp. 189 - 242

Alexopoulus, C.J. 1960. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. New York. 482 pp.

Dick, M.W. 1976. The Ecology of Aquatic Phycomycetes in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Garraway, M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley & Sons. New York. 401 pp.

Gleason, F. 1976.The Physiology of The Lower Freshwater Fungi in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Mandels, M. and E.T. Reese. 1957. Induction of Cellulase in Trichoderma viride as Influenced by Carbon Sources and Metals. Journal of Bacteriology, Vol 73, No. 2, pp. 269 - 278

Selasa, 24 April 2018

Ekologi Penyakit Ikan


Daftar Isi

Bab I. Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

- Penyakit Jamur Pada Ikan
- Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen Pada Ikan
- Kesulitan Dalam Mengidentifikasi Jamur Patogen Pada Hewan Air
- Daya Patogen Jamur Penyebab Penyakit Ikan
- Kejadian Wabah Aphanomycosis Pada Udang Crayfish
- Gejala dan Gambaran Klinis Aphanomycosis
- Patogenesis dan Penularan Penyakit Pest Pada Crayfish Akibat Jamur
- Epizootiologi dan Kisaran Jenis Inang Penyakit Krebpest
- Jamur Perairan Tawar
- Peranan Jamur Dalam Ekosistem Laut
- Distribusi Jamur di Laut
- Kemungkinan Penggunaan Air Laut Buatan Sebagai Pengganti Air Laut Alami Dalam Penelitian Jamur Laut
- Infeksi Jamur Pada Ikan Danau
- Wabah Penyakit Jamur Akibat Saprolegnia Pada Ikan Sungai
- Transpor Ikan Dalam Kondisi Berdesakan Menyebabkan Infeksi Jamur Saprolegnia
- Kematian Masal Ikan Budidaya Akibat Serangan Jamur Saprolegnia

Bab II. Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan

- Metode Diagnosis Penyakit Ikan Epizootik
- Daya Patogen Beberapa Bakteri
- Bakteri Pada Ikan Turbot Budidaya
- Penyakit Ginjal Akibat Hafnia
- Mycobacterium Pada Ikan

Bab III. Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

- Pengaruh Aerasi Terhadap Bakteri Patogen Edwardsiella ictaluri
- Pengaruh Aerasi Terhadap Kejadian Penyakit Octomitiasis
- Pengaruh Aerasi Terhadap Penyakit Akibat Flexobacter
- Penyakit dan Parasit Ikan Juga Terjadi Pada Kolam Yang Diaerasi
- Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Kejadian Parasit Ikan
- Penyakit Gelembung Gas Akibat Aerasi Yang Berlebihan

Bab IV. Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan

- Pengaruh Stres Terhadap Hormon
- Hormon-Hormon Yang Terpengaruh Stres
- Hubungan Stres dan Daya Tahan Terhadap Penyakit
- Pencegahan Stres Untuk Memperbaiki Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Ikan Hias
- Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Ikan

Referensi

Bab I
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya


Penyakit Jamur Pada Ikan

Dari sekian banyak laporan mengenai jamur phycomycetes sebagai parasit ikan, identifikasi yang tepat spesies jamur tersebut masih diragukan. Telah hampir menjadi kebiasaan di antara ahli biologi perikanan untuk menyatakan semua jamur ikan dengan nama Saprolegnia parasitica.

Total lebih dari 250 jamur yang diisolasi dari ikan dan telur ikan yang sakit dikumpulkan hingga saat ini dari 20 negara bagian. Kultur murni jamur ini telah diperoleh dan dipelajari dengan mendalam di laboratorium. Ada dua belas spesies yang dilaporkan di sini. Beberapa spesies di antaranya dilaporkan segera setelah mereka muncul secara alami sebagai penyebab penyakit ikan.

Studi inokulasi menunjukkan bahwa Saprolegnia parasitica, Saprolegnia ferax, Saprolegnia delica, Saprolegnia monoica, Achlya bisexualis dan semua isolat Saprolegnia sp. akan memarasiti ikan platyfish yang terluka pada kondisi laboratorium yang terkendali.

Mikopatalogi ikan merupakan bidang ilmu yang relatif baru, dan banyak fase jamur parasit ini yang belum banyak dipelajari. Kebanyakan organisme hidup pada kondisi lingkungan tertentu menjadi sasaran serangan jamur, tak terkecuali ikan. Bila ikan air tawar ditangani secara kasar atau terkena luka ringan sekalipun, jamur akan menginfeksinya sehingga tingkat kematian ikan sangat tinggi. Infeksi jamur juga menyebabkan kematian masal populasi ikan padahal kondisi lingkungan menguntungkan bagi kehidupan ikan. Selain itu, baik pada kondisi alami maupun hatchery, hampir semua telur ikan rentan terhadap serangan jamur.

Ada anggapan yang tidak benar di kalangan para ahli biologi perikanan bahwa hampir semua infeksi jamur pada ikan disebabkan oleh anggota genus Saprolegnia. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa banyak jenis jamur yang terlibat dalam kompleks ikan-jamur. Beberapa di antara jamur ini semula tidak dilaporkan sebagai parasit ikan, dan identitasnya yang pasti sangat dibutuhkan. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam mengendalikan jamur ini dengan suatu teknik mungkin menggambarkan kerumitan hubungan jamur-ikan tersebut.

Kebutuhan untuk mempelajari sifat-sifat jamur ini mudah dipahami bila orang menyadari pesatnya perkembangan dan pengelolaan budidaya kolam, baik di tingkat pusat, negara bagian maupun hatchery swasta serta industri perikanan tropis. Tampaknya bahwa jamur ini paling ditakuti industri hatchery dan budidaya kolam di mana infeksi sporadis menyebabkan wabah penyakit tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Sering diamati terjadinya wabah penyakit ikan pada kolam budidaya dan di daerah wisata pemancingan ikan – wabah di mana tingkat kematian inang hampir mencapai 100 %. Sejumlah besar laporan yang diterima oleh penulis menunjukkan bahwa petani-petani ikan mengalami kerugian besar akibat infeksi jamur. Pengamatan dan laporan di atas menunjukkan bahwa jamur ini memiliki nilai ekonomi penting.

Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen Pada Ikan

Sejak pergantian abad ini, banyak literatur mengenai ikan dan binatang air lain yang diparasiti jamur phycomyecetes yang secara umum dikenal sebagai “cendawan ikan” (fish mold). Identifikasi spesies sebagian besar jamur yang diuraikan dalam literatur tersebut diragukan karena kebanyakan deskripsi dan ilustrasi spesies jamur yang diuraikannya tidak lengkap. Bahkan literatur yang mendeskripsikan spesies jamur tidak dapat digunakan karena deskripsinya kurang tepat dan penanganan spesimen kurang cermat. Seringkali deskripsi spesies dilakukan berdasarkan morfologi ciri vegetatif dan struktur aseksual. Hal ini menyebabkan spesies jamur air yang telah diidentifikasi dalam literatur di atas tidak dapat dipercaya. Dalam kasus lain, spesies jamur yang akan diidentifikasi diperoleh dari kultur campuran tanpa memperdulikan kemungkinan tercemar spesies jamur lain. Lagi pula, dalam melaporkan jamur penyebab penyakit pada ikan, sebagian besar peneliti hampir tidak berusaha memisahkan antara spesies jamur saprofitik yang muncul setelah ikan mati dan spesies jamur parasitik yang menyebabkan kematian ikan, mereka juga tidak melakukan pembuktian-ulang daya patogen isolat jamur yang didapat dari peralatan percobaan. Jadi, kebanyakan literatur terdahulu tidak dapat dipakai sebagai bahan rujukan untuk menyiapkan makalah seperti ini.

Dalam mempelajari taksonomi jamur ini, sebelumnya kita harus mengumpulkan dari inang yang sakit isolat parasit sebanyak mungkin, mengembangbiakkan jamur ini dalam kultur murni, membuktikan bahwa isolat jmur-jamur tersebut sanggup memparasiti ikan, kemudian mempelajari morfologi agen penyebab penyakit serta membandingkannya dengan spesies yang diuraikan dalam literatur terdahulu. Harus diperhatikan di sini bahwa, meskipun genus jamur air dibedakan terutama oleh tipe reproduksi aseksual, pengamatan yang cermat terhadap reproduksi seksualnya mutlak diperlukan untuk mengidentifikasi spesies dalam setiap genus. Taksonomi jamur ini diperumit oleh kenyataan bahwa kisaran variasi struktur yang penting untuk mengidentifikasi spesies tidak diketahui bahkan pada beberapa spesies yang sudah dikenal sekalipun. Struktur semacam ini malah mungkin tidak ada pada material yang diparasiti. Dahulu, identifikasi tampaknya dilakukan tanpa memperhatikan pedoman klasik yang seharusnya dipakai dalam identifikasi. Yang juga penting adalah fakta bahwa ada peneliti yang cenderung mengidentifikasi suatu spesies sebagai spesies baru bila siklus hidupnya tidak dapat diamati dengan sempurna. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa isolat spesies tersebut biasanya merupakan varietas murni dari suatu spesies yang telah dikenal.

Kesulitan Dalam Mengidentifikasi Jamur Patogen Pada Hewan Air

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa masalah utama yang sering muncul dalam mengidentifikasi jamur penyebab penyakit adalah apakah jamur tersebut benar-benar bersifat patogen atau hanya saprofitik yang memanfaatkan bangkai binatang. Bahkan bila ada bukti kuat bahwa suatu penyakit benar-benar disebabkan oleh jamur, pada beberapa kasus jamur tersebut baru sedikit dipahami sehingga identitasnya kurang dapat dipastikan. Penjelasan mengenai genus dan spesies jamur yang diperoleh dari binatang air menunjukkan bahwa secara umum parasit itu sendiri menyerang semua jenis organisme, baik vertebrata maupun avertebrata, baik laut maupun air tawar. Jamur penyebab penyakit pada binatang air tercakup dalam beraneka ragam taksa. Yang paling sering di antara semua tipe inang dan lingkungan adalah apa yang disebut “jamur air” (water mold) - Omycetes – tetapi dewasa ini manusia makin menyadari arti penting anggota-anggota jamur tingkat tinggi sebagai parasit binatang air. Beberapa jamur ini, di antaranya dua jenis jamur patogen yang paling penting yakni Branchiomyces dan Ichthyoponus, masih belum dapat dipastikan taksonominya. Jenis lain, Perkinsus (dulu Dermocystidium) yang tekah dipelajari secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu, sekarang dimasukkan ke dalam Apicomplexa (protozoa) dan tidak lagi disertakan ketika membahas penyakit jamur.

Pedoman Umum Media Isolasi Jamur Patogen

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa media isolasi jamur patogen yang sesuai sangat bervariasi, tetapi sebagai pedoman umum sebaiknya media ini mengandung nutrien yang relatif sedikit. Media untuk jamur laut patogen seharusnya disiapkan dengan air laut. Media yang miskin nutrien seperti ini cenderung menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur saprofit. Kontaminasi bakteri dapat dicegah dengan antibiotik, demikian pula kontaminasi jamur mudah diatasi. Selain itu, sebaiknya lempengan agar-agar media isolasi diusahakan mengandung selapis tipis air tawar (atau air laut) pada permukaannya. Secara umum banyak literatur menunjukkan bahwa, kecuali dalam kasus tertentu, tidak ada keuntungan khusus yang dimiliki oleh berbagai jenis media isolasi yang digunakan. Dalam kasus jamur Aphanomyces astaci, pertumbuhannya dalam media agar-agar segera terhenti.

Daya Patogen Jamur Penyebab Penyakit Ikan

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa penelitian daya patogen berbagai jenis jamur penyebab penyakit binatang air secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar jamur tersebut merupakan parasit yang sangat fakultatif (sanggup menyerang berbagai jenis inang). Hanya Aphanomyces astaci, Ichthyoponus dan Trichomaris invadens yang tampaknya bersifat obligatif (hanya menyerang jenis inang tertentu) dan tidak dapat hidup sebagai non parasit, dan ketiga jenis jamur ini menyebabkan penyakit yang sangat berbahaya bagi binatang yang rentan, di mana jamur-jamur ini sangat cepat menginfeksi populasi alami inang. Lagenidium callinectes telah berhasil diisolasi dari permukaan alga laut dan belum dapat dipastikan apakah jamur ini hidup di situ sebagai saprofit ataukah merupakan agen penyebab kematian masal pada berbagai jenis krustasea baik dalam populasi alami maupun populasi budidaya.

Kejadian Wabah Aphanomycosis Pada Udang Crayfish

Amlacher (1970) dalam Conroy dan Herman (1970) melaporkan bahwa aphanomycosis, yang umum dikenal sebagai penyakit pes kepiting atau crayfish, secara praktis menghancurkan semua populasi crayfish (sejenis udang sungai bercapit besar) di sungai dan danau yang ada di Jerman selama abad ke-19. Setelah tahun 1870 penyakit ini meluas dari Perancis ke Jerman (1878 – 1872); pada periode 1891 – 1896 penyakit tersebut menghancurkan populasi crayfish di Rusia, dan menjalar melalui pegunungan Ural ke sebelah timur Siberia. Pada tahun 1894 penyakit ini masuk ke Lithuania, sementara Skandinavia yang sejak lama bebas dari penyakit ini akhirnya diserbu oleh aphanomycosis pada tahun 1929. Selain menyerang kepiting dan crayfish, dilaporkan bahwa aphanomycosis juga menyerang ikan.

Gejala dan Gambaran Klinis Aphanomycosis

Menurut Amlacher (1970) dalam Conroy dan Herman (1970) gejala penyakit aphanomycosis tidak selalu dapat segera dilihat, tetapi sejalan dengan makin parahnya penyakit maka crayfish menunjukkan gejala-gejala tertentu yang membuktikan adanya serangan aphanomycosis. Crayfish cenderung mengambil posisi terlentang dengan kaki sekali-sekali digerakkan hingga akhirnya mati. Mereka terlentang dengan punggung di bawah mungkin disebabkan jamur menyerang dan menghancurkan membran persendian; karena itu binatang yang sakit bila berjalan terlihat kaku dan kaki-kakinya bisa lepas, demikian pula dengan capitnya. Bila diangkat kakinya akan menggantung ke bawah seolah-olah lumpuh. Selanjutnya mungkin terlihat gejala kelelahan. Bila membran berkitin pada permukaan perut bagian bawah atau membran persendian kaki dibedah dengan bantuan sepasang pinset berujung kecil, seringkali terlihat ada bagian-bagian yang terisolasi yang dirusak oleh jamur, dan bagian-bagian ini lunak serta mudah ditekan, kadang-kadang dengan warna kekuningan. Daerah dubur juga biasa diserang jamur ini.

Patogenesis dan Penularan Penyakit Pest Pada Crayfish Akibat Jamur

Daerah kutikula yang tak mengalami pengapuran, seperti membran antar-segmen dan sekitar lubang pada tubuh, hampir selalu diserang Aphanomyces astaci. Jarang ditemukan pada seekor crayfish lebih dari satu bagian badan yang parah diinfeksi. Kutikula yang sudah rusak lebih mudah diserang, bahkan jamur bisa pula meluas sampai ke epikutikula. Miselia tumbuh di dalam kutikula, dan kadang-kadang ditemukan pada permukaan luar. Biasanya, hifa hanya menyerang kutikula di sekitar tempat infeksi, dan tempat-tempat yang terinfeksi ini biasanya sulit dideteksi dengan mata telanjang. Pembentukan warna hitam (melanization) di bagian tubun yang terserang biasanya kurang jelas pada Astacus astacus, tetapi mungkin menyolok pada spesies crayfish yang kebal. Kutikula bisa rusak parah akibat jamur, tetapi jaringan bagian dalam tubuh jarang mengalami kerusakan parah oleh jamur ini. Kadang-kadang jamur tumbuh sepanjang tali saraf ventral dan/atau berkaitan dengan otak dan mata, tetapi organ-organ lain jarang disentuhnya kecuali bila pertumbuhan jamur sangat hebat yang biasa terjadi pada kasus penyakit yang sudah sangat parah.

Hifa pembentuk-zoosporsangia tumbuh keluar dari kutikula sesaat sebelum atau segera setelah inang mati, dan pada saat ini mata serta bagian-bagian kaki crayfish ditutupi oleh jalinan miselia putih halus.

Zoospora yang dilepaskan dari zoosporangia tetap bergerak aktif selama beberapa menit sampai 3 hari, bergantung pada suhu, dan zoospora yang membentuk kista dapat bertahan hidup paling tidak selama 2 minggu dalam air suling. Pertumbuhan zoospora menjadi tunas tampaknya terjadi sebagai respon ketika menyentuh substrat yang cocok, misalnya kutikula crayfish. Tida ada organ khusus untuk melekatkan diri pada substrat. “Infection peg’ (paku penginfeksi), atau tabung tunas, pada zoospora yang sedang bertunas menembus epikutikula melalui aksi penguraian-lemak (lipolytic). Kemampuan menguraikan-lemak tampaknya hanya dmililiki paku penginfeksi, sedang hifa mempunyai kemampuan menguraikan-kitin.

Kematian akibat infeksi biasanya terjadi dalam 1 - 2 minggu, dengan makin tinggi suhu makin cepat kematian. Begitu kutikula terinfeksi, gejala-gejala penyakit muncul. Crayfish yang sakit tidak dapat mempertahankan keseimbangan, jatuh terlentang, dan bila diangkat dari air capitnya akan menggantung atau terkulai seolah-olah sudah mati. Di sungai, crayfish yang menderita penyakit ini suka mencari tebing sungai, dan mereka seringkali kehilangan beberapa kakinya. Kelumpuhan seluruh abdomen umum terjadi 1 atau 2 hari sebelum kematian. Perilaku binatang yang sakit menunjukkan bahwa sejenis neurotoksin mungkin terlibat dalam patogenesis, seperti diduga pertama kali oleh Seligo (1895). Hal lain yang mendukung hipotesis ini adalah fakta bahwa pertumbuhan miselia di dalam tubuh inang sangat terbatas kecuali tepat sebelum kematian, dan bila spora pembunuh masuk ke dalam rongga pembuluh darah (haemocoel) akan mematikan crayfish. Pada dasarnya racun mungkin dihasilkan sebagai reaksi inang terhadap serangan jamur.

Infeksi bakteri sekunder, bergantung pada jenis bakteri, sering terjadi pada binatang yang menderita penyakit pest ini, tetapi limfa darah dari crayfish yang sekarat akibat Krebpest tidak mengandung bakteri.

Epizootiologi dan Kisaran Jenis Inang Penyakit Krebpest

Semua crayfish di dalam perairan atau daerah aliran sungai terbunuh setelah jamur Aphanomyces masuk ke lingkungannya. Penyebaran penyakit krebpest yang cepat pada populasi crayfish di Eropa mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia. Ketenaran crayfish sebagai bahan makanan di kota-kota besar Eropa serta pesatnya pembangunan sistem jalan kereta api pada akhir tahun 1800-an, mendorong manusia dengan cepat membawa dan menyebarkan udang sungai ini ke semua tempat yang didatanginya. Kelembaban wadah yang dipakai untuk menangkap dan membawa crayfsih menguntungkan bagi spora Aphanomyces, sehingga jamur ini mempunyai banyak kesempatan memasuki daerah-daerah baru. Penyakit ini aktif hampir sepanjang tahun . Selama epizootik muncul di dekat Berlin, crayfish yang terinfeksi ditemukan sepanjang tahun kecuali Januari sampai Maret (Schapperclaus, 1935).

Keempat spesies crayfish Eropa, yang tergolong genus Astacus dan Austropotamobius, semuanya mudah diserang penyakit ini. Spesies Jepang, Cambaroides japonicus, dan sembilan spesies Ausralia serta New Guinea dari genus Euastacus, Cherax, Geocherax dan Astacopis juga mudah menderita penyakit ini. Sebaliknya, 13 spesies crayfish Amerika, mencakup spesies Cambarus, Procambarus, Orconectes, Faxonella dan Pacifastacus, kebal. Kutikula rusak yang mengandung jamur mirip Aphanomyces ditemukan pada beberapa spesimen crayfish California Pacifastacus leniusculus yang diambil langsung dari alam. Lima puluh ekor Pacifastacus leniusculus yang diimpor ke Swedia dan dipelihara bersma-sama dalam laboratorium juga menderita kerusakan kutikula akibat Aphanomyces astaci. Infeksi pada binatang-binatang ini tidak mematikan. meskipun jamur tetap ada di dalam kutikula selama sedikitnya setahun. Sejenis penyakit yang mirip dengan krebpest tidak pernah dilaporkan menyerang crayfish yang ada di Amerika Utara, Jepang atau Australia. Diduga bahwa Aphanomyces astaci mungkin berkembang menjadi parasit pada crayfish Amerika Utara, dengan demikian bisa menjadi parasit bagi spesies-spesies crayfish di daerah ini. Crayfish dari bagian lain dunia, di mana Aphanomyces astaci secara alami tidak dijumpai, tidak mengembangkan sistem kekebalan secara genetika terhadap jamur ini. Penyakit pest ini mungkin masuk ke Eropa melalui crayfish terinfeksi yang diimpor dari Amerika. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada populasi Astacus astacus yang mengembangkan kekebalan terhadap penyakit ini di Eropa.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kerentanan krustasea lain terhadap jamur Aphanomyces astaci. Benisch (1940) berhasil menularkan Aphanomyces astaci ke Eriocheir sinensis, sejenis kepiting air tawar. Unestam (1969, 1972) menemukan bahwa banyak jenis krustasea planktonik (spesies dari Eudiaptomus, Mesocyclops, Bosmina, Daphnia, Leptodora, Chydorus, Bytotrephes dan Mysis) tampaknya sangat kebal terhadap Aphanomyces astaci.

Tampaknya parasit ini tidak mengalami tahap kebal terhadap kondisi lingkungan atau tahap spora istirahat (Unestam, 1969). Perairan habitat crayfish yang telah mati semua akibat krebpest masih dapat dihuni setahun lagi atau lebih oleh crayfish yang bebas-Aphanomyces, tanpa kemunculan kembali penyakit tersebut pada polukasi crayfish baru ini.

Unestam (1973) menyatakan bahwa masuknya spesies baru tumbuhan dan binatang non endemik berarti memasukkan pula parasit tumbuhan dan binatang tersebut, yang bisa menghancurkan populasi spesies asli yang tidak mempunyai kekebalan genetik terhadap parasit yang baru masuk ini. Krebpest tampaknya merupakan salah satu contoh kasus seperti ini.

Jamur Perairan Tawar

Wong et al. (1998) menyatakan bahwa ada lebih dari 600 spesies jamur air tawar dengan jumlah dari daerah beriklim sedang lebih banyak dibandingkan dari daerah tropis. Tiga kelompok utama dapat dibedakan yang mencakup jamur Ingoldia (ascomycete air), jamur hyphomycete non Ingoldia (chytrid) dan oomycete. Jamur penghuni habitat perairan-mengalir sangat berbeda dengan jamur yang hidup di perairan menggenang. Walaupun belum ada penelitian menyeluruh mengenai biogeografi semua kelompok jamur air tawar, namun diduga bahwa distribusi mereka sama seperti distribusi jamur Ingoldia yang bisa bersifat kosmopolit (tersebar di seluruh dunia), terbatas di daerah beriklim sedang atau daerah tropis, atau, dalam sedikit kasus, distribusinya terbatas di daerah yang sempit. Jamur air tawar diduga berevolusi dari nenek moyangnya yang hidup di darat. Banyak spesies jamur menunjukkan adaptasi yang jelas untuk hidup di perairan tawar karena anakannya memiliki kemampuan khusus untuk tersebar di lingkungan perairan. Jamur air tawar terlibat dalam pelapukan kayu dan material daun, juga menyebabkan penyakit pada hewan dan tumbuhan.

Peranan Jamur Dalam Ekosistem Laut

Hyde et al. (1998) menyatakan bahwa jamur laut merupakan kelompok yang lebih bersifat ekologis daripada taksonomik dan mencakup sekitar 1500 spesies, termasuk jamur yang membentuk lichen (lumut kerak). Mereka terdapat di sebagian besar habitat laut dan umumnya terdistribusi di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang. Jamur laut merupakan pengurai utama substrat kayu dan material tumbuhan dalam ekosistem laut. Arti penting jamur laut terletak pada kemampuannya yang hebat dalam menguraikan lignoselulosa. Mereka juga penting dalam penguraian binatang mati dan sisa-sisa binatang. Jamur laut merupakan patogen penting pada tumbuhan dan hewan serta membentuk hubungan simbiosis dengan organisme-organisme lain.

Distribusi Jamur di Laut

Moss (1986), berdasarkan beberapa laporan, menjelaskan distribusi jamur laut. Jamur yang merupakan endemik bagi lingkungan laut ditemukan sebagian besar di zona eufotik, terutama daerah litoral. Beberapa spesies selulolitik (pengurai selulosa) dijumpai sampai kedalaman sekitar 1 km; tetapi secara umum, jamur laut tampaknya jarang ada di bagian-bagian samudra yang dalam. Ada beberapa faktor utama yang mengendalikan distribusi jamur laut, yaitu ketersediaan substrat atau inang, suhu, tekanan hidrostatik dan oksigen. Keberadaan ragi yang melimpah di laut telah banyak didokumentasikan. Tampaknya sebagian besar ragi masuk ke laut bersama limpasan air dari darat.

Kemungkinan Penggunaan Air Laut Buatan Sebagai Pengganti Air Laut Alami Dalam Penelitian Jamur Laut

Rohrmann et al. (1992) melaporkan bahwa penelitian jamur laut sering menghadapi kesulitan berupa tidak memadainya metode dan hasil, misalnya penggunaan air laut alami versus air laut buatan. Akibatnya, beberapa jamur laut yang posisi sistematikanya berbeda harus diuji pertumbuhan, aktivitas enzim dan produksi badan buahnya pada media solid dengan air laut alami dan buatan. Pertumbuhan yang dinyatakan sebagai diameter koloni dan produksi enzim oleh ragi basidiomycete Halocyphina villosa dan jamur ascomycete Lulworthia sp. dibandingkan pada kedua media. Pada semua kasus hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan atau hanya ada perbedaan kuantitatif minor. Penelitian terhadap spesies-spesies lain (dua ascomycete, satu ragi basidiomycete, dua deuteromycete) dan enzim-enzim lain juga menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua media dengan kekecualian tiga kasus. Produksi badan buah pada Halocyphina villosa terjadi pada kedua tipe air laut. Penambahan asam borat dengan konsentrasi alami ke medium air laut buatan tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan sembilan jenis jamur laut. Medium air laut buatan memberikan hasil yang bisa disamakan dengan air laut alami dalam penelitian jamur laut, memberikan hasil yang lebih bisa dibandingkan dan percobaannya bisa diulangi dengan hasil yang kira-kira sama, serta seringkali air laut buatan lebih murah dan lebih mudah diperoleh.

Infeksi Jamur Pada Ikan Danau

Khulbe (1992) dalam Suzuki et al. (1992) melaporkan bahwa lima danau penting di Kumaun Himalaya, India, telah dipelajari dalam hal keberadaan jamur air dan kejadian parasit jamur pada telur, anak ikan dan ikan dewasa. Sebanyak total 22 jamur air telah ditemukan tersebar di berbagai danau. Empat belas spesies di antaranya menyebabkan infeksi pada ikan. Jamur air fakultatif menyebabkan berbagai keabnormalan pada ikan termasuk kematian masal pada kondisi alami. Saprolegnia parasitica menunjukkan infeksi maksimum pada ikan. Ikan dewasa Puntius conchonius, Puntius ticto, Tor putitora dan Tor tor mengalami infeksi jamur secara maksimum.

Wabah Penyakit Jamur Akibat Saprolegnia Pada Ikan Sungai

Puckridge (1991) menyajikan hasil-hasil penelitian mengenai epidemi infeksi jamur yang menyerang ikan bony bream (Nematolosa erebi) pada akhir musim dingin di Sungai Murray, Australia Selatan. Diyakini bahwa penyebab dasar epidemi ini adalah penurunan kekebalan terhadap penyakit yang disebabkan dinginnya musim dingin. Infeksi mula pertama tampak sebagai kabut tipis yang merupakan filamen-filamen jamur pada kulit; sejalan dengan makin parahnya infeksi maka lapisan jamur makin tebal dan koreng pada kulit makin serius, sisik terangkat dan lepas serta infeksi makin menjalar. Spesies utama yang terlibat dalam wabah ini adalah jamur Saprolegnia parasitica; tak ada spesies ikan selain bony bream yang ditemukan menunjukkan gejala-gejala infeksi ini selama penelitian, yang berlangsung 4 tahun. Disarankan agar kejadian penyakit ini dipantau karena merupakan indikator penting terjadinya stres pada populasi ikan bony bream; juga, infeksi ini bisa menunjukkan kecenderungan kesehatan sungai dan dengan demikian berdampak besar bagi spesies-spesies ikan lain.

Transpor Ikan Dalam Kondisi Berdesakan Menyebabkan Infeksi Jamur Saprolegnia

Celano et al. (1992) melaporkan bahwa ikan salmon (Salmo trutta fario) dari hatchery di Italia Selatan mengalami kerusakan jaringan kulit serta kesulitan berenang dan bernafas. Analisa histopatologis serta mikrobiologis menunjukkan bahwa gangguan-gangguan tersebut disebabkan oleh jamur Saprolegnia. Infeksi jamur ini diyakini dimungkinkan oleh berbagai operasi budidaya seperti transpor ikan dengan kondisi berdesakan dan trauma selama kondisi berdesakan tersebut.

Kematian Masal Ikan Budidaya Akibat Serangan Jamur Saprolegnia

Hatai dan Hoshiai (1992) melaporkan bahwa wabah penyakit saprolegniasis terjadi pada ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch) berbobot 20 – 60 gram yang dibudidayakan di air tawar di Miyagi Prefecture, Jepang. Miselia mirip-kapas terbentuk di permukaan tubuh ikan yang terinfeksi, terutama di sekitar kepala, sirip adipose dan sirip ekor; dan hifa tak-bersekat muncul dalam jaringan tubuh yang rusak. Hifa ini juga menembus ke dalam otot dan pembuluh darah. Isolat jamur yang diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi aseksual ternyata adalah Saprolegnia parasitica (sinonim Saprolegnia diclina Tipe 1), yang dikenal sebagai agen patogen pada ikan salmonidae.

Bab II
Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan


Metode Diagnosis Penyakit Ikan Epizootik

Adanya suatu kondisi penyakit ikan terwujud melalui suatu ketidaknormalan. Diagnosis pada dasarnya merupakan suatu pengenalan ketidaknormalan ini dan menentukan penyebabnya dengan mengikuti serangkaian prosedur yang dikembangkan melalui pengalaman selama bertahun-tahun oleh para peneliti penyakit ikan. M. Kr. Das dalam buku “Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases” menjelaskan metode diagnosis penyakit ikan sebagai berikut :

Monitoring Kesehatan Ikan

Aspek ini penting karena melalui monitoring berkala terhadap kondisi kesehatan pada suatu daerah tertentu maka penyimpangan-penyimpangan dari kondisi kesehatan normal pada ikan dapat ditentukan. Penting bagi para pekerja kesehatan ikan untuk memperoleh informasi dasar melalui monitoring secara teratur sehingga masalah-masalah kesehatan ikan dapat dideteksi.

Informasi umum mengenai ikan yang perlu dicatat :
1. Gerak (reflek meloloskan diri)
2. Tingkah laku makan (rakus, lamban, bersembunyi)
3. Penampilan eksternal (berlendir atau kasar)
4. Mortalitas (data terakhir)
5. Kondisi umum (umur, berat, faktor kondisi)
6. Pengujian ikan (parasit, histologi mikroorganisme, darah)

Informasi umum mengenai lingkungan ikan yang perlu dicatat :
1. Deskripsi lokasi
2. Tipe badan perairan
3. Pasokan air (air hujan, irigasi, air selokan, sumur-dalam)
4. Tumbuhan air dan tumbuhan darat di sekitar daerah perairan tersebut
5. Tipe dasar kolam
6. Binatang yang hidup berasosiasi di daerah perairan tersebut (plankton, bentos, amfibi, burung)
7. Perubahan lingkungan yang terakhir
8. Pengujian kualitas air (suhu, warna. kejernihan, pH, alkalinitas, keasaman, kesadahan, amonia, klorida, oksigen terlarut, hidrogen sulfida, karbon dioksida bebas).

Metode Sampling

Ikan : Sampling untuk tujuan monitoring rutin bervariasi dalam situasi di mana ikan ditemukan mati. Biasanya metode sampling ini memperhatikan :
1. Ukuran sampel : ukuran sampel disesuaikan dengan ukuran populasi yang disampling, dan sesuai dengan derajat yang dikehendaki peluang ditemukannya patogen secara merata.
2. Ikan yang hampir mati merupakan contoh terbaik untuk pengujian di daerah perairan dalam hal masalah kesehatan ikan.

Prosedur Sampling Lapangan

Bell (1978) memperkenalkan tiga kemungkinan penyebab kematian pada populasi ikan liar.
a. Stres lingkungan atau keracunan – Ini ditandai oleh kematian serentak yang bersifat non selektif pada ikan-ikan dari berbagai kelompok umur dan bahkan sering pula ikan-ikan dari berbagai spesies.
b. Infeksi mikroba (virus, bakteri, protozoa, jamur). Ini dicirikan oleh kerusakan jaringan internal dan/atau eksternal makroskopik di bawah kulit dan serta ketidaknormalan lain seperti haemorrhagi, pembengkakan, koreng (ulcer), pemudaran warna, pemucatan insang yang menunjukkan kerusakan daun insang, sirip robek-robek, insang dan kulit ditutupi banyak lendir tebal. Biasanya hanya satu spesies ikan yang diserang. Kematian relatif cepat.
c. Metazoa – Ekto atau endoparasit ataupun keduanya mudah dilihat dengan mata telanjang. Kematian seringkali lambat.

Prosedur sampling lapangan untuk pengujian rutin dan selama berjangkitnya penyakit (untuk mengidentifikasi penyebabnya) bisa berubah-ubah. Pada kondisi lapangan di mana fasilitas untuk melakukan pengujian yang memerlukan laboratorium tersedia maka seorang petugas diagnostik bisa menjalankan metode-metode diagnosis tetapi bila fasilitas seperti ini tidak tersedia dan ikan hidup tidak dapat diangkut maka sampel jaringan ikan (seperti insang, ginjal, limfa atau organ yang terlihat terserang) bisa dikumpulkan dengan metode standar yang diketahui untuk penelitian virus ataupun bakteri atau untuk penerapan metode histologis.

Sampel darah : Pengumpulan sampel memerlukan kecermatan dan keseragaman metode pengumpulan untuk menjamin kesamaannya. Sampel dikumpulkan di lapangan dengan stres minimum misalnya dengan bantuan obat bius. Untuk darah yang disampling di lapangan paling baik diperoleh dengan melukai batang ekor.

Sampel bakteriologis
: Tenik bakteriologis standar digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri patogen. Sebagian besar sampel bakteriologi diuji dengan teknik inokulum lempengan (plate inoculum technique). Cawan petri yang berisi agar-agar zat hara padat dipakai sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri.

Sampel parasit : Sampel parasit dikumpulkan dan disimpan untuk pengujian laboratorium dengan menggunakan prosedur standar.

Protozoa
: Disiapkan sebagai timbunan atau pulasan sementara yang diwarnai dengan larutan lugol ataupun diwarnai dengan metode haematoxylin besi Heidenhain atau Giemsa. Ciliata urceolariidae disiapkan sebagai pulasan kering-udara dan diwarnai dengan teknik peresapan perak Kleins.

Parasit helminthes
: yakni, monogenea dan acanthocephala dikumpulkan dalam garam fisiologis dan diawetkan di dalam AFA.

Parasit krustasea
: Dikumpulkan dan diawetkan di dalam formalin 10 % dan diamati di bawah sediaan asam laktat.

Air
: Sampel air paling baik dianalisa di lapangan dengan menggunakan alat-alat kimiawi (misal, Hach). Untuk pengujian laboratorium digunakan metode kimia standar lainnya.

Daya Patogen Beberapa Bakteri

Austin dan Austin (1999), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mendaftar jenis-jenis bakteri patogen pada ikan di antaranya sebagai berikut :


- Eubacterium tarantellae : infeksi bakteri ini bisa melalui luka atau kerusakan jaringan ikan yang ditimbulkan oleh parasit, patogen lemah atau stres. Begitu memasuki jaringan tubuh, kerusakan lebih lanjut bisa terjadi akibat racun ekso- dan endotoksin. Bakteri anaerob ini menghasilkan hemolisin dan lesitinase, yang berbahaya bagi ikan.

- Carnobacterium piscicola : percobaan skala kecil telah dilakukan dengan ikan rainbow trout yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C dan hasilnya menunjukkan bahwa kematian bisa terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan bakteri ini secara intraperitoneal (lewat-perut) sebanyak 105 sel/ikan. Ikan mati dan ikan sekarat memiliki ginjal yang membengkak dan menimbun cairan nanah di dalam rongga perut. Bagaimanapun, efek merugikan tidak terlihat setelah penyuntikan ekstrak bebas-bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa eksotoksin (racun luar) tidak berperanan penting dalam patogenisitas.

- Lactococcus garvieae : infeksi terjadi dengan penyuntikan 104 sampai 105 sel bakteri ini; juga terjadi setelah ikan dipaparkan selama 10 menit terhadap 106 bakteri ini. Penyakit kemudian menjadi makin parah hingga terjadi kematian. Beberapa ikan peka terhadap bakteri ini, misalnya trout yang bisa mengalami kematian masal, sedangkan ikan mujaer (Sarotherodon mossambicus), mujaer bergaris (Tilapia sparramanii), ikan mas (Cyprinus carpio) dan largemouth bass (Micropterus salmoides) tidak.

- Streptococcus milleri (G3K) : bakteri ini yang disuntikkan sebanyak 5 x 106 sel/ikan menyebabkan 20% mortalitas pada salmon Atlantik. Yang menarik, semua ikan menjadi berwarna gelap, namun tidak ada tanda-tanda ketidak normalan internal atau eksternal. Pada rainbow trout, ada bukti bahwa ginjalnya dipenuhi cairan.

- Vagococcus salmoninarum : infeksi bakteri ini dicapai dengan dosis yang agak tinggi, yaitu 1,8 x 106 sel/ikan pada rainbow trout.


- Bacillus sp : infeksi pada lele (Clarias gariepinus) telah dilakukan melalui mulut dan penyuntikan secara subcutaneous (bawah-kulit) dengan dosis yang agak rendah 0,5 ml, yang mengandung 1,8 x 103 sel/ml. Mortalitas sebesar 60 % dan 30 % terjadi selama periode 3 minggu untuk infeksi bakteri lewat mulut dan bawah-kulit, berturut-turut.
- Bacillus mycoides : penyuntikan bakteri ini sebanyak 1,6 x 104 sel secara intramuscullar (lewat-otot) menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan channel catfish; kerusakan tersebut mirip dengan gejala penyakit yang asli. Penyuntikan bakteri secara intraperitoneal dan subcutaneous tidak mengakibatkan kerusakan jaringan pada ikan yang terinfeksi.

- Corynebacterium aquaticum : isolat bakteri dari ikan, RB 968 BA,membunuh rainbow trout dan ikan stripped bass dengan LD-50 (lethal dose; dosis mematikan) hasil perhitungan 5,8 x 104 dan 1,0 x 105, berturut-turut. Ikan yang diinfeksi secara eksperimental mengembangkan hemoragi (pendarahan) di dalam rongga tengkorak, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun gejala-gejala penyakit eksternal.

- Coryneform : sebagai hasil percobaan patogenisitas dengan ikan rainbow trout (berat rata-rata 8 gram) yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C, telah diketahui bahwa 1,25 x 106 sel, yang diberikan melalui penyuntikan intraperitoneal, dapat membunuh ikan dalam beberapa hari.

- Micrococcus luteus : penyuntikan 105 sel, secara intramuscullar dan intraperitoneal, menyebabkan mortalitas 54 % pada anak rainbow trout dalam 14 hari.

- Mycobacterium spp. : hanya Mycobacterium chelonei subspesies piscarium yang telah dipelajari secara mendetail. Pada suhu air 12 °C, infeksi eksperimental telah dilakukan pada rainbow trout melalui penyuntikan secara intraperitoneal sebanyak kira-kira 107 sel. Mortalitas akumulatif berkisar dari 20 % sampai 52 %. Pada juvenil chinook salmon, 98 % mortalitas dilaporkan dalam 10 hari pada suhu air 18 °C.

- Nocardia spp. : infeksi eksperimental telah dilakukan pada ikan gabus Formosa (Chanos maculata) (catatan : yang benar di sini Chanos atau Channos ?) dan largemouth bass (Micropterus salmoides). Kerusakan jaringan yang diikuti kematian terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan 8 mg suspensi Nocardia asteroides secara intraperitoneal.

- Planococcus sp. : ikan, yang disuntik secara intraperitoneal dengan 105 sel tampak berenang tidak menentu dalam 48 jam. Pada saat itu, insangnya menjadi pucat, anus menjulur dan perut membengkak. Usus bengkak dan berdarah. Ginjal sedikit berair. Sekitar 30 – 40 % ikan yang terinfeksi mati.

Bakteri Pada Ikan Turbot Budidaya

Novoa et al. (1990) dalam Banning (1992) melaporkan bahwa perkembangan budidaya ikan turbot (Scophthalmus maximus L.) meningkat pesat di Galicia (Spanyol Barat-laut). Perkembangan ini diikuti oleh munculnya masalah patologis pada spesies ikan tesebut. Laporan pendahuluan hasil survei mikrobiologis pada budidaya ikan turbot menunjukkan bahwa bakteri yang sering diisolasi adalah dari genus Vibrio (Vibrio splendidus, Vibrio pelagius), dan yang kurang sering adalah dari genus Pseudomonas, Streptococcus serta Staphylococcus. Birnavirus (virus mirip-IPN) diisolasi hanya dari dua sampel. Flagelata Costia sp., ciliata Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp., mikrosporidia Tetramicra brevifilum dan cacing cestoda Bothriocephalus scorpii semua jarang dijumpai.

Penyakit Ginjal Akibat Hafnia

Teshima et al. (1992) menemukan penyakit ginjal yang diakibatkan oleh infeksi alami bakteri Hafnia alvei pada juvenil umur setahun ikan cherry salmon Oncorhynchus masou yang dipelihara di kolam ikan lokal di Jepang. Dari luar, ikan yang sakit menunjukkan permukaan tubuh yang gelap dan perut membengkak, dan mereka berenang perlahan-lahan. Dari dalam tubuh, kerusakan jaringan dengan berbagai ukuran, yang tampak seperti benjolan putih keabuan, timbul pada sisi ventral ginjal; secara histopatologis gejala-gejala ini mirip dengan gejala “bacterial kidney disease” (penyakit ginjal bakterial) yang diakibatkat oleh bakteri Renibacterium salmoninarum. Patologi ginjal secara eksperimental bisa ditimbulkan kembali dengan isolat murni Hafnia alvei yang diambil dari luka-luka pada ginjal ikan yang terinfeksi alami. Periode inkubasi penyakit ini pada ikan cherry salmon muda adalah sekitar 3 bulan setelah penyuntikan intraperitoneal tunggal. Penyakit ini, bagaimanapun, bisa muncul lebih cepat sejalan dengan peningkatan frekuensi penyuntikan isolat bakteri.

Mycobacterium Pada Ikan

Lansdell et al. (1993) mengamati spesies-spesies bakteri Mycobacterium pada ikan. Beberapa spesies ikan laut yang ditangkap dari alam liar dan ikan hias air tawar digunakan dalam studi ini. Organ-organ yang diinfeksi (hati, limfa, dan ginjal) disampling untuk menemukan mycobakteria. Sampel jaringan yang telah didekontaminasi diletakan pada media selektif untuk mencari mycobakteria. Setelah isolasi awal, teknik fluoresensi dan penodaan asam-cepat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri sampai ke genus. Profil karakteristik pertumbuhan biokimia dipakai untuk menidentifikasi lebih lanjut isolat tersebut sampai ke spesies. Lima spesies Mycobacterium telah diidentifikasi : Mycobacterium simiae, Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonae dan Mycobacterium fortuitum. Di antara mereka Mycobacterium simiae dan Mycobacterium scrofulaceum belum pernah dilaporkan ditemukan pada ikan.

Bab III
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan


Pengaruh Aerasi Terhadap Bakteri Patogen Edwardsiella ictaluri

Mqolomba dan Plumb (1992) melaporkan bahwa ikan lele channel catfish (Ictalurus punctatus) telah diinfeksi secara eksperimental dengan bakteri Edwardsiella ictaluri dengan cara pencelupan. Setelah penyakit klinis berjalan selama 52 hari, ikan yang masih hidup diberi salah satu perlakuan lingkungan berikut : suhu 25 °C dengan aerasi, 25 °C tanpa aerasi, atau suhu yang berubah-ubah (18 – 23 °C) tanpa aerasi. Setelah 29 hari mendapat perlakuan lingkungan tersebut, berbagai organ dan jaringan ikan percobaan diperiksa untuk menentukan pengaruh kondisi-kondisi tersebut terhadap konsentrasi Edwardsiella ictaluri (dinyatakan dalam “colony-forming unit per ml” sampel jaringan). Konsentrasi patogen ini secara nyata lebh tinggi (P < 0,05) dalam semua jaringan (ginjal badan, hati, ginjal kepala, darah, limfa, gelembung renang, otot, otak dan gonad) 52 hari pasca infeksi daripada 29 hari setelah diberi berbagai perlakuan lingkungan (81 hari pasca infeksi). Ikan yang dikenai konsentrasi oksigen terlarut mendekati normal (6,4 mg/liter) dan suhu konstan 25 °C memiiki konsentrasi Edwardsiella ictaluri yang secara nyata lebih sedikit (P < 0,01) daripada ikan yang dikenai konsentrasi oksigen rendah (2,6 atau 1,8 mg/liter) dan suhu konstan atau berubah-ubah.

Pengaruh Aerasi Terhadap Kejadian Penyakit Octomitiasis

Moore (1929) melaporkan adanya hubungan antara aerasi pasokan air dengan kejadian penyakit di hatchery (pembenihan ikan). Banyak lokasi hatchery lama dipilih berdasarkan dua kriteria, yaitu volume dan suhu air pasokan. Sejalan dengan waktu, disadari bahwa ada faktor ketiga yang tidak boleh diabaikan dalam praktek hatchery yang efisien, yaitu aerasi atau oksigenasi. Sehubungan dengan hal ini, telah dilaporkan kejadian penyakit di tiga hatchery lama di mana kondisi gas dalam pasokan air tampaknya menjadi faktor pembatas. Di hatchery di Caledonia, pemeliharaan anak ikan brook trout semakin sulit karena timbulnya penyakit octomitiasis pada anak ikan tersebut. Mortalitas anak ikan ini akibat penyakit tersebut adalah tinggi, tetapi ikan yang bertahan hidup, meskipun konsentrasi oksigennya rendah, mencapai pertumbuhan yang baik. Di hatchery lain yang konsentrasi oksigennya tinggi, sekitar 9 – 10 ppm, mortalitas anak ikan akibat penyakit octomitiasis adalah rendah.

Pengaruh Aerasi Terhadap Penyakit Akibat Flexobacter

Boyd (1982) secara sepintas mengulas hasil penelitian berkaitan dengan hubungan antara aerasi dan kejadian penyakit ikan. Ikan channel catfish ditebarkan di kolam yang diaerasi secara kontinyu dan di kolam kontrol yang tidak diaerasi. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Flexobacter columnaris dijumpai pada dua kejadian terpisah dalam satu periode 6 hari setelah konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 2 mg/liter. Dua kasus penyakit lainnya berhubungan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut. Bagaimanapun, diduga bahwa sebagian besar masalah penyakit tersebut dipicu oleh cepatnya perubahan suhu air akibat peralihan ke musim dingin dan hujan musim dingin.

Penyakit dan Parasit Ikan Juga Terjadi Pada Kolam Yang Diaerasi

Boyd (1982) melaporkan hasil penelitian aerasi di kolam tanah seluas 0,02 – 0,04 hektar yang ditebari dengan benih ikan channel catfish sebanyak 20.000 ekor per hektar. Kolam ada yang diaerasi pada malam hari dan ada yang tidak. Rata-rata semua pengukuran konsentrasi oksigen terlarut adalah 1,52 dan 7,29 mg/liter saat fajar dan senja, berturut-turut, untuk kolam yang tak diaerasi serta 4,64 dan 8,25 saat fajar dan senja untuk kolam yang diaerasi. Parasit seperti Scyphidia sp., Cryptobia branchialis, Costia sp. dan Trichopyra sp. ditemukan pada ikan dari kolam yang diaerasi maupun yang tidak diaerasi. Infeksi Aeromonas hydrophila terjadi pada ikan di sebuah kolam yang diaerasi. Karena tidak terjadi kehabisan oksigen di kolam yang diaerasi, rata-rata kematian 8 % disebabkan oleh penyakit dan parasit. Kematian ikan di kolam yang tak diaerasi tidak disebabkan semata-mata oleh kehabisan oksigen terlarut karena masalah penyakit dan parasit sering muncul.

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Kejadian Parasit Ikan

Malhotra et al. (1991) melaporkan bahwa studi tiga tahun terhadap ekologi parasit ikan snow trout Schizothorax richardsonii penghuni perairan sungai Neeru Nullah, Bhaderwah, India, menunjukkan infeksi musiman Diplozoon sp. (Trematoda), Spinitectus sp. (Nematoda) dan sejenis Cestoda. Kejadian parasit yang rendah (secara kualitatif dan kuantitatif) pada ikan snow trout ini mungkin disebabkan oleh efek mekanis arus deras, konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, dan sedikitnya populasi kopepoda, moluska dan burung (ketiganya merupakan inang-antara) di sungai tersebut. Infeksi parasit yang diamati selama musim semi dan panas hanya menunjukkan hubungan positif dengan naiknya suhu dan relatif rendahnya konsentrasi oksigen terlarut.

Penyakit Gelembung Gas Akibat Aerasi Yang Berlebihan

Espmark et al. (2010) melaporkan bahwa dalam sistem pemeliharaan smolt (ikan juvenil salmon yang bermigrasi ke laut) Atlantik salmon yang intensif, dibutuhkan penambahan oksigen ke dalam air, tetapi ada resiko bahwa ikan bisa terpapar terhadap air yang super jenuh dengan oksigen. Untuk itu dilakukan studi guna meneliti proses dan tingkat keterpaparan berkaitan dengan penyakit gelembung gas yang disebabkan oleh hiperoksia (konsentrasi oksigen sangat tinggi), melalui kombinasi metode pengamatan morfologi dan tingkah laku ikan. Dalam percobaan tersebut, ikan Atlantik salmon tahap pra smolt dibagi menjadi tiga kelompok; satu kelompok kontrol (tidak diberi tambahan oksigen), dan dua kelompok yang menerima perlakuan peningkatan kejenuhan oksigen secara perlahan-lahan selama tiga minggu, kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen tinggi (130 %, 160 % dan 220 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berurut-turut) dan kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen rendah (110 %, 140 % dan 190 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berturut-turut).

Pada percobaan di atas, gejala pertama gangguan kesehatan muncul 8 hari setelah ikan dipaparkan ketika satu lapisan tipis bahan organik muncul di permukaan salah satu tangki kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Gejala pertama adanya gelembung gas di bawah-kulit muncul setelah 14 hari pada kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Setelah 16 hari, sebanyak 50 % ikan dari kelompok kejenuhan oksigen rendah dan 77 % ikan dari kelompok kejenuhan tinggi memiliki gelembung-gelembung gas di bagian-bagian utama tubuhnya, pada tingkat pemaparan kejenuhan oksigen 190 % dan 220 %, berturut-turut. Gelembung-gelembung gas muncul pada sebagian besar sirip, sepanjang gurat sisi, pada insang dan dalam mata. Gelembung gas terdeteksi melalui pengamatan visual dan diperkuat oleh pengamatan histologi. Pengamatan perilaku ikan menunjukkan bahwa selama minggu pertama ikan pada kelompok kejenuhan oksigen rendah (110 %) berenang lebih aktif secara nyata daripada kelompok kontrol maupun kelompok kejenuhan oksigen tinggi. Pada minggu ke-3, pada kelompok kejenuhan 190 %, aktivitas renang berkurang. Ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen 110 % selama minggu pertama juga menunjukkan lebih sering berbelok daripada ikan kelompok kontrol, dan perbedaan ini tetap terlihat dalam minggu ke-3 pada kelompok kejenuhan oksigen 190 %. Ikan pada kelompok kejenuhan oksigen tinggi maupun rendah tampak lebih panik daripada ikan kelompok kontrol, yang menunjukkan adanya stres fisiologis dan mungkin rasa sakit.

Bab IV
Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan


Pengaruh Stres Terhadap Hormon

Mazeaud et al. (1977) melaporkan bahwa penanganan ikan mendorong timbulnya gangguan berbagai parameter biologis yang telah banyak diteliti atau diulas dengan tujuan menganalisis dan menentukan stres yang ditimbulkannya. Penanganan ikan seperti penangkapan, transportasi, pemindahan dari air tawar ke air air laut dan vaksinasi menimbulkan beberapa jenis stres yang mendorong ikan meronta-ronta, mengalami hipoksia, kejutan suhu dan kejutan osmotik. Banyak jenis stres membawa akibat yang mematikan. Kematian yang lambat dan kondisi yang menyedihkan mungkin tidak tampak untuk sementara waktu setelah ikan mengalami stres. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa stres pada ikan diikuti oleh cepatnya perubahan konsentrasi hormon katekolamin dan kortikosteroid dalam plasma darah. Adrenalin dan noradrenalin ada di dalam plasma darah dengan konsentrasi tinggi pada ikan yang sedang beristirahat dan meningkat dengan cepat setelah beberapa menit mengalami hipoksia atau meronta-ronta pada ikan siklostoma, selachii dan teleostei; adrenalin (atau noradrenalin, tergantung spesies ikan) menjadi dominan.

Mazeaud et al. (1977) menyatakan bahwa perubahan konsentrasi endokrin (hormon), yang merupakan akibat awal dari stres, dianggap sebagai efek utama. Data yang diperoleh dari ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch), dan sockeye salmon (Oncorhynchus tshawytscha) menunjukkan bahwa semua jenis stres menyebabkan peningkatan konsentrasi katekolamin, terutama adrenalin, yang beredar bersama darah. Tidak ada perbedaan kuantitatif dalam hal intensitas respon antar spesies ikan tetapi ada variasi antar individu yang besar. Pada ikan coho salmon jantan dewasa, perilaku meronta-ronta dan hipoksia (kekurangan oksigen) juga menyebabkan peningkatan konsentrasi kortikosteroid dalam plasma darah. Efek sekunder timbul sebagai akibat perubahan endokrin tersebut. Gangguan metabolik ini mencakup peningkatan kadar glukosa darah secara nyata dan penurunan (atau peningkatan, tergantung spesies ikan) kadar asam amino bebas dalam plasma darah. Gangguan metabolik yang disebabkan stres jangka pendek bisa berlangsung dalam periode yang relatif lama. Penelitian terbaru mengenai proses osmoregulasi menunjukkan bahwa aksi katekolamin terhadap permeabilitas insang bisa menjelaskan terjadinya aktivitas minum air yang dipicu stres pada ikan air tawar dan terjadinya bdehidrasi pada ikan air laut.

Hormon-Hormon Yang Terpengaruh Stres

Matty (1985) melaporkan bahwa hormon yang konsentrasinya mungkin berubah akibat rangsangan stres pada ikan adalah hormon-hormon tiroid, prolaktin, angiotensis dan peptida-peptida neurohipofisa, yakni vasotosin dan isotosin. Mengherankan bahwa rangsangan stres tidak menyebabkan perubahan kadar hormon pertumbuhan. Bila ikan rainbow trout budidaya diangkut maka perlu dicatat bahwa kadar tiroksin dan triyodotironin dalam darah turun sampai 75 persen. Pemulihan ke kadar normal dilakukan dengan menyuntikkan hormon TSH. Mungkin stres merangsang faktor hipotalamus penghambat-TSH, tetapi hal ini hanya merupakan dugaan. Sebagai tambahan, hormon prolaktin tak diragukan memainkan peranan dalam respon stres akibat perubahan salinitas. Karena ia merupakan hormon penting bagi keseimbangan mineral-air yang mempertahankan permeabiltas membran terhadap ion dan air, maka perubahan salinitas akan mempengaruhi kadar prolaktin dalam plasma darah. Peranan hormon ini mungkin sepenting kortikosteroid dan katekolamin dalam kondisi ketika rangsangan stres menyebabkan ketidakseimbangan osmoregulasi.

Hubungan Stres dan Daya Tahan Terhadap Penyakit

Ellis (1981) dalam Pickering (1981) menyatakan bahwa stres berhubungan dengan daya tahan terhadap penyakit. Stres menyebabkan banyak perubahan sistem fisiologis ikan, termasuk sistem pertahanan tubuh yang mencakup respon-respon seperti perbaikan jaringan, fagositosis, peradangan serta respon spesifik dan non spesifik yang diperantarai oleh sistem limfa. Stres mempengaruhi banyak mekanisme pertahanan, menghambat beberapa proses dan merangsang proses-proses lainnya. Hal ini bisa menguntungkan atau merugikan bagi ikan, tergantung pada interaksi komplek antara faktor-faktor stres dan kondisi fisiologis ikan tersebut yang selanjutnya menentukan keberhasilan ikan beradaptasi terhadap situasi ini.

Pencegahan Stres Untuk Memperbaiki Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Ikan Hias

Lim et al. (2003) menyatakan bahwa sistem pengemasan ikan hias saat ini dicirikan oleh kepadatan ikan yang sangat tinggi dan limbah metabolik yang banyak di dalam air transpor setelah pengapalan. Studi terbaru dengan menggunakan ikan guppy sebagai model menunjukkan bahwa mortalitas pasca-pengapalan bisa dikurangi dengan cara meningkatkan daya tahan ikan terhadap stres. Oleh karena itu perhatian perlu ditekankan pada persiapan ikan sebelum diangkut dan pemulihan ikan setelah pengapalan. Dalam hal ini petani ikan bisa memberikan sumbangan penting dengan memberikan pakan yang bisa meningkatkan kesehatan sebelum ikan dikumpulkan untuk diangkut. Eksportir bisa melakukan uji stres salinitas untuk mengidentifikasi ikan-ikan yang siap diangkut, memberi obat pembasmi parasit dan mengoptimalkan teknik-teknik seperti mem-puasa-kan (melaparkan) ikan atau menambahkan garam ke dalam air transpor untuk meningkatkan daya tahan ikan terhadap stres. Importir bisa melakukan prosedur aklimasi yang layak dan membiarkan ikan memulihkan diri di dalam air bersalinitas rendah guna mengurangi kematian pasca pengapalan. Karena kebanyakan mortalitas pasca pengapalan diperantarai oleh stres dan terjadi selama periode pemulihan satu minggu, maka perlu dipertimbangkan upaya merevisi basis sistem garansi bagi pelanggan, yaitu kematian saat kedatangan diubah menjadi kematian kumulatif pada 7 hari pasca pengapalan (atau kematian setelah 7 hari), dengan tujuan mengurangi kehilangan ikan setelah pengapalan.

Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Ikan

Furevik et al. (1993) menyatakan bahwa perilaku meloncat-loncat dan berputar-putar pada ikan salmon Atlantik di dalam jaring apung bisa memberikan petunjuk penting tentang kondisi ikan. Aktivitas di permukaan air ini telah dipelajari pada ikan dalam jaring apung dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan prosedur operasional. Perilaku meloncat pada salmon dalam jaring apung berbeda dengan perilaku serupa ketika migrasi ke hulu sungai. Ikan biasanya mendarat di permukaan air dengan sisi tubuhnya, dan dalam sekitar 6 % loncatan dilaporkan bahwa ikan menabrak pagar jaring apung. Aktivitas meloncat ini jarang dilakukan pada musim dingin. Aktivitas meloncat meningkat dengan meningkatnya serangan kutu parasit dan berkurang setelah kutu tersebut hilang. Bagaimanapun, selama perlakuan kimiawi untuk menanganai serangan kutu parasit, aktivias meloncat adalah tinggi. Ketika berputar-putar, ikan perlahan-lahan mengenai permukaan air. Aktivitas berputar-putar berrvariasi antar hari, tetapi relatif konstan sepanjang tahun. Aktivitas berputar-putar meningkat setelah timbul berbagai gangguan, dan mungkin berkaitan dengan kehilangan gas gelembung renang selama situasi stres. Tingginya aktivitas berputar-putar dengan demikian menjadi petunjuk adanya stres akut, sedangkan tingginya aktivitas meloncat-loncat menunjukan tingginya serangan kutu parasit atau adanya stres akut.

Referensi :


Alderman, D.J. 1982. Fungal Disease of Aquatic Animals in R.J. Roberts. (Ed.). 1982. Microbial Disease of Fish. Academic Press. New York. pp. 189 - 242

Amlacher, E. 1970. Aphanomycosis in Conroy, D.A. and R.L. Herman. 1970. Textbook of Fish Diseases. TFH Publications Inc. New Jersey. Pp. 175 - 177

Austin, B. and D.A. Austin. 1999. Bacterial Fish Pathogens : Disease of Farmed and Wild Fish. 3rd rev. ed. Praxis Publishing Ltd., Chichester, UK. 459 pp.

Celano, C.V., C. Cafarchia, F. Caloiero and P. Sebastio. 1992. Hygienic-Sanitary Aspects in Reared Trout Affected by Saprolegnosis. IL PESCE, no. 2, pp. 75 - 78

Das, M.Kr. . Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases.

Ellis, A.E. 1981. Stress and The Modulation of Defence Mechanisms in Fish dalam Pickering, A.D. (ed.). 1981. Stress and Fish. Academic Press, London. 367 pp.

Espmark, A.M., K. Hjelde and G. Baeverfjord. 2010. Development of Gas Bubble Disease in Juvenile Atlantic Salmon Exposed to Water Supersaturated With Oxygen. Aquaculture, Vol. 306, Issues 1 – 4, pp. 198 – 204

Furevik, D.M., A. Bjordal, I. Huse and A. Fernoe. 1993. Surface Activity of Atlantic Salmon (Salmo salar L.) in Net Pens. Aquaculture, vol. 110, no. 2, pp. 119 – 128, ISSN 0044-8486

Hatai, K. and G. Hoshiai. 1992. Mass Mortality Cultured Coho Salmon (Oncorhynchus kisutch) Due to Saprolegnia parasitica Coker. Journal of Wildlife Diseases, Vol. 20, no. 4, pp. 532 - 536

Hyde, K.D., E.B.G. Jones, E. Leaño, S.B. Pointing, A.D. Poonyth and L.L.P. Vrijmoed. 1998. Role of Fungi in Marine Ecosystems. Biodiversity and Conservation,Vol. 7, No. 9, pp. 1147 - 1161

Khulbe, R.D. 1992. Watermolds and Their Activity in Kumaun Himalaya, India in Suzuki, M. et al. (Eds.). 1992. Water Quality International ’92 Washington DC, pp. 2595 - 2598

Lansdell, W., B. Dixon, N. Smith and L. Benjamin. 1993. Isolation of Several Mycobacterium Species From Fish. Journal of Aquatic and Animal Health, vol. 5, no. 1, pp. 73 – 76, ISSN 0899-7659

Malhotra, Y.R., S.P.S. Dutta and C. Shekhar. 1991. Studies on Ecology of Parasites of Schizothorax richardsonii (Grey and Hard) Inhabiting Neeru Nullah, Bhaderwah, Jammu. Indian Journal of Ecology, Vol. 18, no. 1, pp. 50 - 53

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. 267 pp

Mazeaud, M.M., F. Mazeaud and E. Donaldson. 1977. Primary and Secondary Effects of Stress in Fish : Some New Data With a General Review. Transactions of The American Fisheries Society, Vol. 106, no. 3, pp. 201 - 212

Moore, E. 1929. The Aeration of Hatchery Water Supplies and the Incidence of Disease, Transactions of the American Fisheries Society, Vol. 59, Issue 1, pp. 195 - 196

Moss, S.T. 1986. The Biology of Marine Fungi. Cambridge University Press. Cambridge. 395 pp.

Mqolomba, T.N. and J.A. Plumb. 1992. Effect of Temperature and Dissolved Oxygen Concentration on Edwardsiella ictaluri in Experimentally Infected Channel Catfish. Journal of Aquatic Animal Health, Vol. 4, no. 3, pp. 215 – 217

Novoa, B., S. Nunez, C. Fernandez-Puentes, A.J. Figueras and A.E. Toranzo. 1990. Epizootic Study in A Turbot Farm : Bacteriology, Virology, Parasitology and Histology in Banning, P. van (ed.). 1992. PAMAQ IV : Fourth International Colloquium on Pathology in Marine Aquaculture, pp. 253 – 258

Puckridge, J. 1991. Epidemics in A Murray Fish. SAFISH, vol. 16, no. 1, pp. 12 - 14

Rohrmann, S., R. Lorenz and H.P. Molitoris. 1992. Use of Natural and Artificial Seawater for Investigation of Growth, Fruit Body Production, and Enzyme Activities in Marine Fungi. Review of Canadian Botany, Vol. 70, No. 10, pp. 2106 – 2110

Teshima, C., S. Kudo, Y. Ohtani and A. Saito. 1992. Kidney Pathology From The Bacterium Hafnia alvei : Experimental Evidence. Transactions of American Fisheries Societies, vol. 121, no. 5, pp. 599 – 607, ISSN 0002-8487

Wong, M.K.M., T.-K. Goh, I.J. Hodgkiss, K.D. Hyde, V.M. Ranghoo, C.K.M. Tsui, W.-H. Ho, W.S.W. Wong and T.-K. Yuen. 1998. Role of Fungi in Freshwater Ecosystems. Biodiversity and Conservation, Vol. 7, No. 9, pp. 1187 - 1206