Daftar Isi
Bab I. Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan
- Hepatopankreas Cumi-Cumi Untuk Pembuatan Kecap Ikan
- Kondisi Pengolahan Kecap Ikan Sardin
- Komposisi Kimia Kecap Ikan Dari Berbagai Negara
- Aroma Kecap Ikan
- Pengaruh Gula Terhadap Komponen Aroma Kecap Ikan
Bab II. Kerupuk Ikan : Pengaruh Protein Ikan, Garam, Tepung dan Lama Pengukusan
- Teknologi Produksi Kerupuk Ikan Tradisonal
- Metode Ekstrusi Untuk Membuat Kerupuk
- Kerupuk Ikan Dari Mujair
- Hidrolisat Protein Ikan Untuk Campuran Kerupuk
- Protein Ikan Memperbaiki Sifat-Sifat Kerupuk
- Pengaruh Ikan dan Garam Terhadap Pengembangan Kerupuk
- Tepung Tapioka Untuk Pembuatan Kerupuk Ikan
- Keunggulan Tapioka dan Sagu Untuk Adonan Kerupuk Ikan
- Lama Pengukusan Terbaik Untuk Adonan Kerupuk Ikan
Bab III. Upaya Memperbaiki Mutu Surimi
- Surimi Sebagai Cara Untuk Memanfaatkan Hasil Samping Produk Perikanan
- Pemanasan Bertahap Untuk Memperbaiki Mutu Surimi
- Kanji Sebagai Bahan Tambahan Gel Surimi
- Alginat Untuk Memperbaiki Mutu Surimi Ikan Layur
- Perlindungan-Beku Protein Surimi dengan Oligosakarida
- Hubungan Antara Mutu Surimi Beku dan Kekuatan Gel Kamaboko
- Mutu Gel Yang Dipanaskan Dari Surimi Dengan Menggunakan Pemanasan Joule
- Ekstrak Ginjal Ikan Untuk Meningkatkan Kekuatan Gel Surimi
Bab IV. Ikan Kering : Pengolahan dan Penanganan
- Alat Pengering Ikan Bertenaga Matahari Tipe Rumah Kaca
- Pencoklatan (Browning) dan Senyawa-Senyawa Yang Terbentuk Selama Pengeringan Ikan
- Pengasinan dan Pengeringan Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta)
- Insektisida Untuk Mengendalian Serangan Serangga Pada Produk Ikan Kering
- Minyak Sayur Untuk Mengusir Serangga Dari Ikan Kering
Bab V. Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya
- Senyawa dan Mikroba Berbahaya Dalam Produk Ikan Asap
- Polycyclyc Aromatic Hydrocarbon (PAH) Dalam Ikan Asap
- Jamur Pada Ikan Asap Kering
- Jamur dan Racun Aflatoksin Dalam Produk Ikan Asap
Bab VI. Produk Ikan Fermentasi
- Bakteri Asam Laktat Dalam Produk Fermentasi Ikan Tradisional
- Bakteri Penghasil Bakteriosin Dalam Produk Ikan Fermentasi
- Pengaruh Fermentasi Terhadap Nilai Gizi Ikan
- Proteolisis dan Penghambatannya Dalam Fermentasi Produk Perikanan
- Histidin Untuk Mempercepat Proses Fermentasi Produk Perikanan
- Asam Untuk Mempercepat Autolisis Selama Fermentasi Produk Perikanan
Bab VII. Sosis Ikan
- Daya Awet Sosis Ikan
- Sosis Ikan Yang Menyehatkan Sebagai Pengganti Sosis Babi
- Nisin Untuk Mengawetkan Sosis Ikan
- Penambahan Kitosan Pada Sosis Ikan
- Bakteri Pada Sosis Yang Difermentasi
- Perubahan Karakteristik Sosis Ikan Selama Penyimpanan
- Perubahan Tekstur Sosis Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es
Referensi
Bab I
Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan
Hepatopankreas Cumi-Cumi Untuk Pembuatan Kecap Ikan
Raksakulthal dan Haard (1992) memanfaatkan hepatopankreas cumi-cumi untuk membuat kecap dari ikan jantan capelin pantai (Mallotus villosus) dan garam (perbandingan berat/berat sebesar 4 : 1). Hepatopankeas cumi-cumi secara nyata meningkakan laju dan derajat hidrolisis protein, pembentukan asam amino bebas dan nilai uji organoleptik. Kondisi optimum untuk fermentasi adalah 20 – 25 °C, garam NaCl 25 % dan pH 6. Nilai uji organoleptik kecap ikan tidak banyak dipengarui oleh enzim pencernaan maupun enzim dari bakteri. Sisa-sisa enzim yang ada dalam larutan garam kecap ikan adalah semata-mata berasal dari hepatopankreas cumi-cumi, dan mempunyai nilai optimum untuk hidrolisis protein pada pH 6 serta merupakan enzim protease sulfhidril yang mencakup dipeptidilhidrolase (katepsin C).
Kondisi Pengolahan Kecap Ikan Sardin
Bae et al. (1990a) mempelajari kondisi pengolahan sardin (Sardinops melanosticta) utuh menjadi kecap ikan modifikasi. Ikan sardin lumat dihomogenisasi dan dihidrolisis dengan enzim-enzim proteolitik komersial. Nilai optimal pH, konsentrasi enzim dan suhu untuk hidrolisis dengan komplek enzim-2000 adalah 8, 7 % (berat/berat) dan 52 °C, sedangkan nilai-nilai tersebut untuk hidrolisis dengan alkalase adalah 8, 6 % (berat/berat) dan 60 °C. Pada kedua kasus,jumlah air yang masuk-akal, kecepatan agitasi (pengadukan) dan lama hidrolisis adalah 100 % (berat/berat), 100 rpm (putaran per menit) dan 210 menit. Perlakuan panas hidrolisat hasil penyaringan pada suhu 90 °C selama 2 jam dengan 6 % gula inversi adalah cukup untuk menon-aktifkan enzim-enzim ini dan mempasteurisasi hidrolisat tersebut. Aroma, rasa dan warna hidrolisat menjadi lebih baik selama proses pemanasan di mana produk-produk “browning” (goreng-garing) ikut berperanan. Hasil kecap ikan berdasarkan kadar nitrogen amino bebas dan protein dalam sardin utuh mentah adalah sekitar 86 %, dan sekitar 96 % dari senyawa-senyawa kecap ikan ini ada dalam bentuk nitrogen amino bebas.
Komposisi Kimia Kecap Ikan Dari Berbagai Negara
Park et al. (2001) mengumpulkan kecap ikan cair (n = 61) dari tujuh negara Asia Tenggara dan Asia Timur untuk dianalisis kandungan asam amino bebas, asam organik, nukleosida dan basa asam nukleat serta kreatin, kreatinin, pH, kadar garam, kadar air dan total nitrogen. Kecap ikan ini dibuat hanya dari spesies ikan seperti teri dan sardin. Nitrogen sebanyak 97,9 % ditemukan untuk semua senyawa yang mengandung nitrogen di dalam kecap ikan Vietnam. Kecap ikan dari Vietnam, Jepang dan Thailand menunjukkan konsentrasi yang tinggi untuk senyawa-senyawa ini, kecuali asam-asam organik, dan pola asam amino yang sangat mirip, sedangkan kecap ikan dari Myanmar dan Laos menunjukkan konsentrasi terendah dan pola asam amino yang berbeda dengan pola di ketiga negara pertama tadi. Kecap ikan dari Korea dan Cina menunjukkan konsentrasi menengah dan pola asam amino yang sama. Dari semua asam organik yang ditentukan, asetat dominan dalam kecap ikan Myanmar dan Cina, yang menunjukkan bahwa fermentasi asam asetat adalah dominan. Dalam kecap ikan dari negara-negara lain, kadar piroglutamat dan laktat adalah tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kreatinin yang berasal dari kreatin selama fermentasi kecap ikan dan hanya mengalami sedikit penguraian bakterial merupakan “marker” (penanda) untuk pengendalian kualitas dalam pabrik kecap ikan, karena penentuannya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan senyawa lain.
Aroma Kecap Ikan
Dougan dan Howard (1975) melaporkan bahwa aroma kecap ikan fermentasi terdiri dari tiga macam : aroma keju, daging dan amoniak. Analisis menunjukkan bahwa bau keju dihasilkan oleh asam-asam lemak tingkat rendah, sedangkan bau amoniak disebabkan oleh amonia dan senyawa amina. Aroma mirip-daging jauh lebih komplek dan tidak dianalisis, tetapi telah ditunjukkan bahwa aroma ini mungkin dihasilkan oleh oksidasi atmosfer terhadap “precursor” (bahan-bahan asal) yang masih ada di dalam kecap matang.
Pengaruh Gula Terhadap Komponen Aroma Kecap Ikan
Bae et al. (1990b) mempelajari komponen aroma kecap ikan dari sardin utuh. Senyawa-senyawa volatil (mudah-menguap) dari kecap ikan sardin (Sardinops melanosticta) utuh yang dibuat dengan campuran 7 % enzim-2000 komplek dan 6 % gula inversi dipanaskan pada suhu 90 °C selama 2 jam kemudian hasilnya dibandingkan dengan kecap yang dibuat tanpa gula inversi. Tiga puluh tujuh jenis senyawa telah diidentifikasi dari seluruh komponen volatil kecap hidrolisat yang dipanaskan tanpa gula inversi dan 43 jenis diidentifikasi dari kecap hidrolisat yang dipanaskan dengan 6 % gula inversi. Cukup banyak 2,3-dihidrobenzofuran dan 2-acetylpyrrole, sedikit 2,5-hidrofuran, 2-etilbutanol, 2-pyrone, 2-asetilfuran, 2,6-dimetilpirazin, 2-asetilpirazin, 5-metil-2-furfural, furfuril asetat, butilpirol dan 2-metil-3-hidroksipiron diidentifikasi dalam kecap hidrolisat panas yang diberi 6 % gula inversi, namun senyawa-senyawa tersebut tidak ditemukan di dalam kecap hidrolisat panas tanpa gula inversi. Jumlah 2-metil-1-propanol, heksana, butil asetat dan butil alkohol menurun, sementara asam asetat dan asam butanoat teridentifikasi sebagai asam-asam lemak volatil.
Bab II
Kerupuk Ikan : Pengaruh Protein Ikan, Garam, Tepung dan Lama Pengukusan
Teknologi Produksi Kerupuk Ikan Tradisonal
Siaw et al. (1985) melaporkan bahwa produksi kerupuk merupakan industri rakyat yang penting di Malaysia. Kerupuk merupakan makanan ringan populer di Malaysia dan negara-negara ASEAN. Di negara-negara barat, makanan ini digolongkan sebagai “produk setengah-jadi” atau “intermediet” dan produk makanan ringan yang mengembang. Pada dasarnya, kerupuk dihasilkan melalui proses gelatinisasi tepung kanji dengan air hingga menjadi adonan yang kemudian dibentuk, direbus dan diiris-iris. Irisan-irisan tersebut lalu dijemur dan dicelupkan ke dalam minyak panas agar menjadi produk berpori dengan densitas rendah. Ikan, udang atau bahan makanan lainnya biasanya ditambahkan ke dalam adonan kerupuk. Banyak jenis ikan digunakan, yang paling umum adalah Clupea leiogaster. Ikan dibuang tulangnya secara manual dan dicampur dengan tepung, biasanya adalah tepung sagu (Metroxylon sagu) dan/atau tepung tapioka (Manihot utilissima). Adonan juga diberi garam, monosodium glutamat (MSG), air dan kadang-kadang gula. Bagaimanapun, metode produksinya buruk hingga menghasilkan produk bermutu rendah yang sifat mengembangnya tidak rata, berwarna gelap dengan bentuk, ukuran dan ketebalan bervariasi. Pada dasarnya ia merupakan adaptasi dari teknologi produksi sosis. Produk dari metode ini adalah unggul dalam hal penampilan, bentuk dan sifat mengembang linier serta lebih diterima oleh masyarakat.
Metode Ekstrusi Untuk Membuat Kerupuk
Yu et al. (1981) melaporkan bahwa kerupuk telah berhasil dibuat dengan teknik ekstrusi. Derajat pengembangan kerupuk kering ketika digoreng ditentukan oleh suhu ekstruder dan rasio antara ikan dengan tepung tapioka di dalam produk tersebut. Ternyata bahwa sifat mengembang pada kerupuk berkurang dengan bertambahnya ikan.
Kerupuk Ikan Dari Mujair
Yu (1992) menyatakan bahwa kerupuk ikan ikan (fish cracker) merupakan makanan ringan populer di daerah ASEAN. Penjelasan ringkas diberikan mengenai pengolahan kerupuk ikan dari Oreochromis mossambicus, yang melimpah di tambak-tambak di Malaysia, tetapi tidak diterima sebagai ikan bermutu karena warna dagingnya, daging rebus beraroma lumpur dan tulangnya yang banyak. Spesies ikan mujair ini digunakan dalam berbagai kombinasi dengan ikan kembung Rastrelliger kanagurta untuk menghasilkan kerupuk ikan. Uji menunjukkan bahwa kerupuk ini diterima konsumen sampai jumlah mujair yang menggantikan ikan kembung sebanyak 60 %.
Hidrolisat Protein Ikan Untuk Campuran Kerupuk
Yu dan Tan (1990) melaporkan bahwa protein dari ikan mujair, Oreochromis mossambicus, telah dihidrolisis dengan menggunakan alkalase 0,61 untuk menghasilkan hidrolisat terlarut semprot-kering. Hidrolisis dilakukan pada suhu 50 °C, dengan rasio satu bagian air dan satu bagian ikan cincang, rasio enzim : substrat 1 : 50 pada pH 8,0. Reaksi diakhiri dengan pemanasan sampai suhu 90 °C selama 20 menit. Setelah netralisasi, fraksi terlarut yang diperoleh sesudah sentrifugasi disemprot-kering dengan alat “mini spray-drier” pada suhu udara 170 °C. Hidrolisat semprot-kering dicampurkan ke dalam kerupuk yang kemudian digoreng sebelum dimakan. Sepuluh persen hidrolisat ternyata memberikan nilai pengembangan linier maksimum. Evaluasi inderawi dengan 20 orang berpengalaman menunjukkan bahwa dalam hal penampilan, kerenyahan dan warna, kerupuk dengan hidrolisat memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan krupuk yang dibuat dari ikan Oreochromis mossambicus dan Sciaena sp. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal total penerimaan untuk ketiga sampel. Krupuk dengan hidrolisat juga memiliki kandungan nitrogen tertinggi.
Protein Ikan Memperbaiki Sifat-Sifat Kerupuk
Kyaw et al. (2001) menyatakan bahwa butiran kanji yang ada di tengah-tengah kerupuk yang mengandung 0 sampai 10 % ikan tidak mengalami gelatinisasi setelah pengukusan 2 jam. Hal ini disebabkan oleh gerakan air dari tengah-tengah menuju ke tepi kerupuk selama pengukusan. Jaringan protein ikan mulai berkembang di dalam adonan yang mengandung 15 % ikan dan jaringan protein ini menjebak molekul-molekul air. Molekul air ini membantu menyempurnakan gelatinisasi. Sifat-sifat viscoelastic (kental-elastis) adonan kerupuk meningkat dengan meningkatnya rasio ikan : kanji dan juga disebabkan oleh pembentukan jaringan protein ikan di dalam adonan.
Pengaruh Ikan dan Garam Terhadap Pengembangan Kerupuk
Cheow et al. (1999), melalui pengamatan mikroskop cahaya terhadap gel kerupuk ikan, menunjukkan peranan protein ikan dalam proses pengembangan kanji. Penambahan garam (20 g/kg) ke dalam kerupuk membantu mendistribusikan kanji secara merata di dalam protein ikan. Pembentukan berkas-berkas tipis otot ikan membantu pengembangan kerupuk. Pada kadar ikan 700 – 900 g/kg, berkas-berkas otot ikan membentuk jaringan kontinyu yang menyebabkan berhentinya pengembangan kerupuk. Dari studi scanning electron microscopy dengan pembesaran kuat, terlihat adanya jalur-jalur mirip “pegunungan yang panjang” di dalam sampel kerupuk yang mengandung 600 – 900 g/kg ikan dengan 20 g/kg garam.
Tepung Tapioka Untuk Pembuatan Kerupuk Ikan
Yu dan Low (1992) mempelajari pemakaian tepung tapioka pra-gelatinisasi untuk pembuatan kerupuk dengan metode pengeringan dalam tong. Variabel-variabel pengolahan diamati dengan lima macam campuran air : kanji, dengan perbandingan 50 : 50, 60 : 40, 70 : 30, 80 : 20 dan 90 : 10 pada empat suhu yang berbeda : 120.2 °C, 133.5 °C, 143.6 °C, dan 151.8 °C. Hanya kerupuk yang dibuat dari campuran air : kanji dengan perbandingan 70 : 30 yang di-pragelatinisasi pada suhu 133.5 °C, 143.6 °C dan 151.8 °C memiliki sifat pengembangan linier lebih besar daripada nilai penerimaan minimum 77 %. Kerupuk yang mengandung kanji pra-gelatinisasi dan diproduksi pada suhu 133.5 °C paling diterima oleh uji inderawi.
Keunggulan Tapioka dan Sagu Untuk Adonan Kerupuk Ikan
Cheow et al. (2004) mempelajari pengaruh sifat-sifat fisika kimia kanji terhadap pengembangan kerupuk. “Swelling power” (kekuatan-membengkak), daya larut dan pelepasan amylose dari kanji tergantung pada kadar lipida dan protein dalam kanji. Morfologi berbagai butiran kanji yang digunakan dalam gel kerupuk diamati dengan mikroskop elektron scanning. Ukuran butiran kanji yang membengkak di dalam gel diamati secara kuantitatif dengan analisis gambar. Rata-rata panjang dan lebar butiran kanji tapioka dan sagu yang mengalami gelatinisasi dan membengkak adalah lebih besar secara nyata dibandingkan pada kanji gandum, dan akibatnya, pengembangan linier kerupuk yang terbuat dari kanji gandum adalah lebih kecil daripada kerupuk yang terbuat dari kanji tapioka atau sagu. Pengembangan linier berkorelasi positif dengan swelling power dan daya larut kanji. Sifat-sifat tekstur gel kerupuk juga berkorelasi dengan pengembangan linier produk akhirnya.
Lama Pengukusan Terbaik Untuk Adonan Kerupuk Ikan
Yaw et al. (1999) mempelajari pengaruh lama pengukusan terhadap kerupuk. Morfologi butiran kanji di dalam gel kerupuk dengan lama pengukusan berbeda-beda diamati dengan menggunakan “scanning electron microscopy” (SEM). Ada sebuah nilai optimum lama pengukusan kerupuk yang memberikan pengembangan linier paling baik dan tekstur gel kukus paling keras. Hal ini tercapai ketika butiran kanji mengembang sampai ukuran terbesarnya dan sebelum butiran tersebut pecah. Lama pengukusan 20 – 30 menit adalah cukup untuk memasak gel kerupuk. Pengukusan yang terlalu lama akan menghasilkan produk berkualitas rendah serta menambah biaya produksi.
Bab III
Upaya Memperbaiki Mutu Surimi
Surimi Sebagai Cara Untuk Memanfaatkan Hasil Samping Produk Perikanan
Jeyasekaran dan Shetty (1992) menyatakan bahwa proses ekstrusi bisa diterapkan untuk mengembangkan produk makanan laut berbahan dasar surimi bernilai tinggi. Pasta surimi tersebut bisa diekstraksi menjadi berbagai bentuk yang menyerupai hewan air bercangkang seperti udang, lobster, kepiting dan simping (scallop). Dengan demikian cara ini bisa meningkatkan nilai hasil samping produk perikanan yang biasanya dianggap kurang layak bagi konsumsi manusia.
Pemanasan Bertahap Untuk Memperbaiki Mutu Surimi
Couso et al. (1998) menyatakan bahwa surimi adalah pasta dari daging ikan cincang yang diberi “cryoprotectant” (pelindung-beku) agar tahan lama dalam kondisi beku. Surimi merupakan bahan mentah untuk membuat gel stabil-panas yang secara umum disebut kamaboko, yakni sejenis gel yang menjadi dasar pembuatan sejumlah produk bernilai komersial tinggi (misal tiruan daging kerang). Agar membentuk gel, surimi harus digiling bersama NaCl untuk melarutkan aktomyosin, dan kemudian pemanasan akan memperkuat ikatan antar molekul sehingga terbentuk gel yang stabil-panas. Agar memperoleh gel stabil-panas dengan kualitas optimum, untuk spesies tertentu disarankan memanasinya dalam dua tahap : pertama pada suhu sedang (40 oC) agar terbentuk struktur awal yang elastis, diikuti dengan pemanasan pada suhu lebih tinggi (90 oC) agar terbentuk struktur yang lebih kokoh dan lebih tahan.
Kanji Sebagai Bahan Tambahan Gel Surimi
Couso etal. (1998) menyatakan bahwa sejumlah bahan ditambahkan ke dalam surimi untuk memperbaiki tekstur dan stabilitas pencairan-pembekuan gel atau untuk mengurangi biaya. Kanji merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam pembuatan gel surimi. Kanji bertindak sebagai pengisi di dalam matriks aktomyosin. Ketika ditambahkan, kanji memodifikasi sifat-sifat tekstural gel akibat perubahan struktur dan morfologinya di dalam matriks gel selama pemanasan. Beberapa peneliti melaporkan pembentukan matriks aktomyosin yang lebih padat. Juga, kanji melar dengan tidak sempurna di dalam matriks gel protein yang pemanasannya tidak cukup.
Alginat Untuk Memperbaiki Mutu Surimi Ikan Layur
Xue et al. (2011) menyatakan bahwa ikan layur (Trichiurus lepturus) merupakan salah satu spesies pesisir yang ditangkap di perairan hangat dan perairan beriklim-sedang di seluruh dunia. Ikan layur dapat diolah menjadi produk berbasis surimi, yang merupakan salah satu cara pengolahan utama untuk ikan ini. Surimi merupakan pekatan cair dari protein myofibrilar otot ikan. Begitu dilarutkan dalam air asin, protein-protein ini membentuk ikatan silang sehingga menjadi matriks surimi yang kontinyu setelah dipanaskan. Salah satu karakter utama produk surimi adalah elastisitas. Bagaimanapun, selama penyimpanan dan pengolahan, surimi bisa kehilangan elastisitasnya akibat denaturasi (penguraian) protein myofibrilar. Untuk memperbaiki elastisitas dan kemampuannya menampung-air, hidrokoloid pangan biasanya ditambahkan ke dalam surimi selama pengolahannya.
Menurut Xu et al. (2011), larutan alginat merupakan cairan kental, dan setiap makromolekul asam alginat beserta turunannya mengandung karboksil dan hidroksil, yang bereaksi dengan ion logam membentuk gel. Sebagai contoh, bila alginat ditambahkan ke medium yang mengandung ion kalsium, maka ion kalsium akan menggantikan sebagian ion hidrogen dan ion natrium dalam makromolekul alginat dan membentuk kalsium alginat. Dengan demikian gel ini dibentuk oleh hubungan saling mengait antara natrium alginat, asam alginat dan kalsium alginat. Surimi ikan layur memiliki kemampuan lemah untuk membentuk gel. Jadi ini merupakan titik kunci untuk memperbaiki sifat-sifat pembentukan gel guna mengembangkan produk surimi ikan layur. Penambahan alginat membantu memperbaiki sifat pembentukan gel pada surimi ikan layur dan mengembangkan produk surimi baru.
Selain sifat kimia dan fisika, karakteristik reologis surimi merupakan sifat penting dalam industri makanan. Sifat reologis ditentukan baik oleh komposisi protein surimi maupun kondisi pengolahan. Viskoelastisitas (kental-elastis), salah satu sifat reologis, selalu menjadi indikator kualitas yang penting bagi surimi. Gel alginat memberikan pengaruh besar terhadap sifat-sifat reologis campuran surimi-alginat. Gel alginat (1 – 3 %) menunjukkan efek memperbaiki, terutama bila konsnetrasi gel alginat ditingkatkan. Nilai regangan kritis sampel campuran untuk permulaan viskoelastisitas non-linier adalah sekitar 5 %.
Perlindungan-Beku Protein Surimi dengan Oligosakarida
Miura et al. (1992) menyatakan bahwa oligosakarida liniear terhidrogenasi memberikan efek perlindungan-beku terhadap protein surimi ikan Theragra chalcogramma yang disimpan dalam kondisi beku -30 oC. Ternyata bahwa efek perlindungan-beku tersebut adalah sama dengan yang ditimbulkan oleh sukrosa dan D-sorbitol tanpa memberikan pengaruh negatif apapun terhadap sifat-sifat surimi ataupun kamaboko. Efek perlindungan-beku ini terhadap protein otot ikan adalah berhubungan dengan jumlah air yang tak membeku di dalam surimi.
Hubungan Antara Mutu Surimi Beku dan Kekuatan Gel Kamaboko
Kim dan Cho (1992) mempelajari hubungan antara indeks pengkelasan mutu surimi, seperti aktivitas ATPase (Ca2+-, Mg2+-, EDTA-), kelarutan, kekentalan dan nilai-K surimi beku serta kekuatan gel kamaboko. Penelitian bertujuan mengetahui indeks yang dikehendaki guna evaluasi kelas mutu surimi beku. Kelarutan dan aktivitas Ca2+-ATPase myofibrilar surimi berhubungan erat dengan kekuatan gel kamaboko dari material yang sama, karena koefisien korelasinya adalah 0,9849 dan 0,9584, berturut-turut. Nilai-K, yakni indeks kesegaran, berhubungan dengan kekuatan gel surimi beku. Kekentalan dan aktivitas Mg2+-ATPase dan EDTA-ATPase tidak berhubungan dengan kekuatan gel. Kekuatan dan aktivitas Ca2+-ATPase ternyata bisa menjadi indeks yang baik guna mengevaluasi mutu surimi beku.
Mutu Gel Yang Dipanaskan Dari Surimi Dengan Menggunakan Pemanasan Joule
Siba dan Numakura (1992) melaporkan bahwa daging giling asin dari surimi beku ikan walleye pollack Theragra chalcogramma dipanaskan secara cepat dengan menerapkan “joule heat” (pemanasan joule). Mutu gel yang dipanaskan ini diduga dengan mengukur kekuatan gel beserta ikatan silang rantai berat myosin, dan dibandingkan dengan gel kamaboko yang dibuat dengan pemanasan biasa dengan metode “thermo-bath” (kolam panas). Kekuatan gel pada gel yang dipanasi dengan pemanasan joule menjadi lebih besar dengan meningkatnya kecepatan pemanasan, dan ia sedikit lebih unggul dibandingkan gel kamaboko. Ikatan silang rantai berat myosin tidak terbentuk selama pemanasan daging gling asin dengan kedua metode pemanasan. Konsentrasi rantai berat, aktin dan komponen-komponen protein myofibrilar lain benar-benar tidak berbeda antara gel yang dipanasi dengan pemanasan joule dan gel yang dipanasi dengan thermo-bath.
Ekstrak Ginjal Ikan Untuk Meningkatkan Kekuatan Gel Surimi
Siang dan Niwa (1992) mempelajari pengaruh penambahan ekstrak ginjal ikan terhadap kekuatan gel surimi ikan sardin. Kedua peneliti membandingkan kekuatan gel surimi yang dibuat dari filet ikan saja (tanpa penambahan ekstrak ginjal) dan surimi yang dibuat dari daging ikan ditambah ekstrak jaringan ginjal. Berlawanan dengan yang diduga, pasta surimi sardin tanpa ekstrak jaringan ginjal memiliki kekuatan gel yang lebih lemah daripada surimi yang mengandung ekstrak ginjal. Ternyata bahwa ada satu fraksi dalam ekstrak ginjal ikan sardin dan ikan karang yang, bila ditambahkan ke surimi, meningkatkan kekuatan gel sekalipun dikenai suhu 80 oC selama 10 menit.
Bab IV
Ikan Kering : Pengolahan dan Penanganan
Alat Pengering Ikan Bertenaga Matahari Tipe Rumah Kaca
Demir dan Evcin (1993) memanfaatkan rumah kaca yang dibantu dengan reflektor parabola untuk mengeringkan ikan Merlangius merlangius asin, dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan pengeringan yang dilakukan di luar rumah kaca. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk memperoleh ikan kering dengan kadar air 25 % diperlukan waktu 26 jam di dalam rumah kaca dan 38 jam di luar rumah kaca. Konstanta pengeringan adalah minimum untuk ikan yang dikeringkan di dalam rumah kaca pada sabuk berjalan yang dibantu reflektor matahari.
Pencoklatan (Browning) dan Senyawa-Senyawa Yang Terbentuk Selama Pengeringan Ikan
Sen (2005) mengulas beberapa laporan mengenai masalah timbulnya warna gelap (browning) dan pembentukan senyawa-senyawa selama proses pengeringan ikan. Ikan lemuru (Sardinella longiceps) dikeringkan dengan tiga metode : pengeringan oven pada suhu 80 – 85 oC, pengeringan dengan panas matahari (penjemuran) dan pengeringan beku. Selama proses pengeringan, muncul sejumlah besar senyawa-senyawa karbonil (aldehid jenuh, keton, 2-enal dan dikarbonil) dan 17 senyawa karbonil individual bisa diidentifikasi. Dalam produk ikan kering-oven, pencoklatan adalah maksimum sedangkan karbonil minimum. Pengeringan-beku menghasilkan pencoklatan yang minimum dan total karbonil yang dapat diekstrak memberikan nilai-nilai tertinggi. Ketiadaan fraksi-fraksi 2-enal dalam sampel kering-oven mendukung fakta bahwa reaksi pencoklatan dan interaksi di antara senyawa-senyawa flavour terjadi ketika daging ikan dipanasi dalam kondisi ada oksigen.
Telah dilakukan penelitian lain untuk menguji potensial pencoklatan berbagai jenis senyawa karbonil dan hasilnya menunjukkan bahwa reaksi pencoklatan paling cepat dengan adanya fraksi 2-enal. Pada sampel kering-oven dan kering matahari, konsentrasi senyawa 2-heptanon dan 3-heptanon mengalami peningkatan tajam. Peningkatan konsentrasi 4-heptanon juga terjadi dalam sampel kering-oven. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan memberi flavour panggang pada produk ikan kering-oven dan kering-matahari. Tanpa ada penelitian lebih lanjut, mungkin bisa disimpulkan bahwa senyawa-senyawa karbonil yang terbentuk selama pengeringan bersama-sama dengan asam-asam amino bebas atau gugus-gugus amino berperanan penting dalam reaksi pencoklatan dan pembentukan flavour khas produk ikan kering.
Pengasinan dan Pengeringan Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta)
Poernomo et al. (1992) melakukan penelitian terhadap pengasinan dan pengeringan ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dan penyimpanannya pada suhu lingkungan (29,5 – 32 oC). Pengasinan dilakukan dalam larutan garam 15 %, 21 % dan 27 % (berat/berat) pada suhu lingkungan, sedang udara dengan kelembaban relatif (RH) 62,5 %, suhu 40 oC dan kecepatan 1 m/detik digunakan untuk mengeringkan ikan asin ini. Konsentrasi garam mempengaruhi peresapan garam dan kehilangan air selama pengasinan di mana konsentrasi garam yang lebih rendah menghasilkan ikan yang kurang asin dan lebih banyak kadar airnya. Laju pengeringan ikan asin juga dipengaruhi oleh konsentrasi garam; laju pengeringan yang lebih tinggi dihasilkan oleh konsentrasi garam yang lebih rendah. Ikan kering yang diasinkan dalam larutan garam 15 % menjadi tak diterima setelah disimpan selama 6 minggu pada suhu lingkungan. Penggaraman dengan konsentrasi 21 % selama 16 jam diikuti pengeringan cukup untuk menghasilkan ikan asin kering dengan daya awet memuaskan.
Insektisida Untuk Mengendalian Serangan Serangga Pada Produk Ikan Kering
Taylor dan Evans (1982) menyatakan bahwa ikan kering memerlukan perlindungan terhadap serangan serangga hama seperti Dermestes maculatus selama penanganan dan penyimpanan di daerah beriklim hangat. Serangga hama dapat menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada ikan kering selama pengolahan dan penanganan. Dilaporkan bahwa sebanyak 3 juta ton per tahun produk ikan kering rusak akibat aksi serangga hama ini. Selama pengeringan di tempat terbuka, ikan mudah diserang dan dirusak oleh serangga blow fly. Ketika kelembaban berkurang ikan kering menjadi lebih kebal terhadap hama tersebut, tetapi ketika permukaan produk mengering maka kumbang hama, termasuk spesies dermestidae dan Necrobia refipes, menjadi penting. Salah satu serangga hama paling penting bagi ikan kering adalah Dermestes maculatus yang larvanya rakus memakan ikan sehingga menyebabkan banyak kerusakan. Dermestes maculatus dapat bertahan hidup pada kelembaban yang relatif rendah (30 %). Selama pengasapan ikan, suhu mungkin cukup untuk membunuh serangga atau asap bisa mengusir mereka, tetapi proses ini tidak bisa mencegah serangan bila produk ikan asap ini kemudian terbuka terhadap serangan serangga.
Taylor dan Evans (1982) menambahkan bahwa insektisida yang diberikan secara langsung pada produk ikan kering harus efektif terhadap spesies serangga sasaran tanpa meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen. Ada sejumlah laporan tentang keberhasilan pengendalian Dermestes maculatus pada ikan kering dengan pemberian insektisida. Piretrin sinergis di dalam larutan celup telah disarankan oleh banyak ahli. Piretrin yang disinergiskan dengan piperonil butoksida merupakan satu-satunya bahan kimia yang ada yang memiliki batas kadar residu maksimum yang disarankan untuk ikan kering oleh FAO/WHO Joint Committe on Pesticide Residues. Insektisida lain yang telah diuji keefektivannya dalam mengendalikan serangga hama pada ikan kering mencakup malation, tetapi ternyata bahwa larutan malation pada konsentrasi yang cukup untuk memberikan kontrol yang efektif akan meninggalkan residu dengan kadar yang tidak bisa diterima. Teknik lain yang efektif dalam mengendalikan Dermestes maculatus adalah dengan mencelupkan ikan kering ke dalam larutan tetrachlorvinphos.
Piretrin sinergis disarankan untuk mengendalikan serangga ini, tetapi bahan kimia tersebut memiliki kelemahan yaitu terurai oleh sinar matahari. Senyawa-senyawa alternatif seperti pirimifos metil, klorpirifos metil dan metakrifos ternyata efektif melindungi ikan yang dicelupkan sebentar di dalam larutan berkonsentrasi 0,00625 % sebelum disimpan selama 28 hari. Pirimifos metil pada konsentrasi 0,0125 % memberikan perlindungan terbaik selama periode penyimpanan yang lebih panjang. Permetrin gagal mengendalikan Dermestes maculatus tetapi menunjukkan sifat tidak disukai serangga ini. Kadar residu insektisida di dalam produk ikan yang ditangani ternyata berkurang secara nyata selama penyimpanan pada suhu 27 oC (Taylor dan Evans, 1982).
Minyak Sayur Untuk Mengusir Serangga Dari Ikan Kering
Mathen et al. (1992) mempelajari kemampuan dua belas jenis minyak sayur dalam mengusir serangga dari ikan kering olahan. Kedua belas jenis minyak sayur tersebut adalah minyak gingelly, minyak bunga matahari, minyak safflower, minyak palem, minyak dedak beras, minyak biji kastor, minyak mustard, minyak kacang tanah, minyak neem, minyak hydnocarpus dan cairan kulit cashew nut. Minyak gingelly, minyak mustard, minyak bunga matahari dan minyak hydnocarpus mengandung zat pengusir serangga sedang minyak palem menarik serangga. Minyak gingelly, minyak mustard dan minyak bunga matahari menunda serangan lalat blowfly, sedang minyak hydnocarpus menunda serangan lalat blowfly maupun kumbang. Terlihat bahwa lalat blowfly dominan selama musim hujan sedang kumbang dominan di luar musim hujan. Pengawetan ikan kering dengan pemberian campuran kalsium propionat, butylated hydroxy anisole dan klorin efektif dalam menunda serangan serangga disamping mencegah timbulnya warna merah.
Bab V
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya
Senyawa dan Mikroba Berbahaya Dalam Produk Ikan Asap
Lin et al. (2008) menyatakan bahwa pengasapan merupakan salah satu metode tertua untuk mengawetkan makanan dan masih digunakan secara luas dalam pengolahan ikan. Teknik pengasapan tradisional melibatkan penanganan pra-pengasinan, pengasapan ikan utuh, ikan tanpa isi perut atau filet ikan. Asap dihasilkan oleh pembakaran kayu atau serbuk gergaji di dalam oven, yang diletakkan langsung di bawah ikan atau filet. Bagaimanapun, pengasapan secara langsung berpotensi menimbulkan resiko kesehatan terkait dengan senyawa-senyawa polycyclyc aromatic hydrocarbon (PAH) serta bahaya biologis seperti Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum, histamin dan parasit dalam ikan berflavor-asap.
Menurut Lin et al. (2008) asap kayu mengandung sedikitnya 100 jenis senyawa PAH dan turunannya yang teralkilasi. Total 15 PAH dengan jelas menunjukkan efek mutagenik dan genotoksisitas terhadap sel-sel somatik pada binatang percobaan secara in vivo. Senyawa-senyawa PAH ini harus dianggap berpotensi sebagai genotoksik dan karsinogenik bagi manusia. Senyawa PAH karsinogenik yang paling luas dipelajari adalah benzo(a)pyrene (BaP). Senyawa PAH lain yang berpotensi bersifat genotoksik dan karsinogenik pada manusia adalah benzo(a)anthracene, benzo(b)fluranthene, benzo(j)fluranthene, benzo(k)fluranthene, chrysene, cyclopental(cd)pyrene, dibenzo(ah)anthracene, dibenzo(ac)pyrene, dibenzo(ah)pyrene, dibenzo(ai)pyrene, dibenzo(aj)pyrene, indenol(1,2,3-cd)pyrene dan 5-methylechryzene.
Metode alternatif untuk pengasapan adalah menggunakan flavor asap, yang biasa disebut juga pengasapan cair. Pengasapan cair merupakan alternatif yang lebih terkontrol daripada pembakaran kayu atau serbuk gergaji. Asap cair makin banyak diproduksi sejak akhir tahun 1950-an dan kini menjadi industri yang kuat dan diterima oleh banyak negara. Ikan berflavor-asap mengandung lebih sedikit PAH dibandingkan teknik pengasapan tradisional asalkan residu PAH dikendalikan berdasarkan undang-undang atau standarisasi (Lin et al., 2008).
Polycyclyc Aromatic Hydrocarbon (PAH) Dalam Ikan Asap
Menurut Larrson (1982), polycyclyc aromatic hydrocarbon (PAH) terbentuk dalam proses pembakaran tak sempurna, yang terjadi ketika kayu, batu bara atau minyak terbakar. Dengan demikian PAH bisa ditemukan dalam campuran kompleks di semua lingkungan. Karena PAH merupakan kelompok penting karsinogen, keberadaan senyawa-senyawa ini dalam makanan dipelajari secara intensif. Perhatian utama ditujukan pada benzo(a)pyrene (BaP) yang sangat karsinogenik. Telah diketahui bahwa PAH terdapat dalam asap yang digunakan pada pengolahan makanan, dan bahwa PAH mudah mengendap pada dan menembus permukaan bahan makanan selama pengasapan tradisional. Konsentrasinya dalam makanan asap tergantung pada beberapa variabel, termasuk jenis bahan penghasil asap, suhu pembakaran dan derajat pengasapan.
Sejumlah penelitian terhadap makanan asap menunjukkan bahwa konsentrasi PAH tertinggi ditemukan dalam produk pengasapan tradisional yang menggunakan serbuk gergaji atau kayu yang terbakar perlahan-lahan dengan mengeluarkan asap tanpa api. Pada pengasapan seperti ini suhu pembakaran sulit dikendalikan dan biasanya sangat tinggi. Konsentrasi BaP dan senyawa-senyawa PAH lain meningkat secara linier pada kisaran suhu produksi asap 400 – 1000 oC. Dalam pabrik pengasapan modern, bagaimanapun, adalah mungkin untuk mengendalikan proses pembakaran dan mencapai suhu produksi-asap yang diinginkan. Penggunaan generator asap eksternal memungkinkan untuk membersihkan asap dengan penyemprotan atau penyaringan sebelum asap tersebut memasuki ruang pengasapan bahan makanan. Pemerintah Republik Jerman Bersatu menetapkan batas 1 mikrogram/kg untuk konsentrasi BaP dalam produk daging asap sejak tahun 1973. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa konsentrasi PAH dalam ikan asap umumnya lebih tinggi daripada dalam produk daging asap (Larrson, 1982).
Larrson (1982) menentukan konsentrasi PAH dalam 70 sampel ikan asap dan produk ikan. Metode kromatografi gas kapiler dengan flame ionization digunakan untuk menentukan 13 komponen PAH secara bersamaan. Dalam 19 dari 46 sampel ikan asap komersial, terutama hasil pengolahan tradisional, konsentrasi BaP melebihi 1 mikrogram/kg. Konsentrasi BaP dalam sampel dari pabrik yang menggunakan generator asap eksternal adalah di bawah 1 mikrogram/kg, tanpa kecuali. Empat dari 16 sampel ikan asap kaleng mengandung lebih dari 1 mikrogram/kg BaP. Sebuah sampel ikan hering asap dari home industry menunjukkan konsentrasi tertinggi BaP dan total PAH dalam studi ini, yaitu 11,3 dan 1100 mikrogram/kg, berturut-turut.
Jamur Pada Ikan Asap Kering
Fafioye et al. (2001) menyatakan bahwa ikan kering-asap adalah produk yang umum di pasar-pasar Nigeria. Tujuan utama metode pengawetan tradisional ini adalah memasak ikan sesegera mungkin dalam panas asap-kering guna mencegah penguraian enzimatik. Bagaimanapun, ikan kering asap masih diserang oleh mikroorganisme. Serangan serangga dan mikroorganisme ke dalam ikan kering-asap mungkin disebabkan oleh tingginya kelembaban relatif udara selama penyimpanan, minimnya fasilitas penyimpanan dan penanganan, suhu yang tidak menguntungkan dan tingginya kadar air dalam ikan bahkan setelah pengeringan. Sampel ikan asap-kering tradisional Clarias gariepinus (Burchell), Chrysichthys nigrodigitatus (Lacepede), Sarotherodon galilaeus (Trewavas), Heterotis niloticus (Cuvier) dan Heterobranchus bidorsalis (Geoffroy) telah dikumpulkan dari sebuah pasar di Nigeria dengan tujuan mengamati serangan jamur.
Fafioye et al. (2001), berdasarkan hasil penelitian ini, menyimpulkan bahwa sampel ikan yang diinkubasi pada potato dextrose agar (PDA; agar-agar dektrosa kentang) selama 7 hari menunjukkan adanya serangan jamur. Jamur yang diisolasi dan diidentifikasi meliputi Mucor sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp. dan Fusarium sp. Enam spesies jamur diisolasi dari Chrysichthys nigrodigitatus, lima spesies masing-masing dari Clarias gariepinus dan Heterobranchus bidorsalis dan tiga spesies masing-masing dari Sarotherodon galilaeus dan Heterotis niloticus. Aspergillus spp. adalah dominan pada kelima spesies ikan uji. Mucor spp. ditemukan pada Clarias gariepinus, Chrysichthys nigrodigitatus dan Sarotherodon galilaeus, sedangkan Fusarium spp. dijumpai pada pada Heterobranchus bidorsalis, Clarias gariepinus dan Heterotis niloticus. Jamur yang paling sering ditemukan pada spesies-spesies ikan tersebut adalah, berdasarkan urutan dari yang paling melimpah, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus dan Mucor racemosus. Kelimpahan jamur bervariasi tergantung spesies ikan : 1,0 x 104 untuk Clarias gariepinus dan Chrysichthys nigrodigitatus, 9,0 x 103 untuk Heterobranchus bidorsalis dan 8,0 x 103 untuk Sarotherodon galilaeus dan Heterotis niloticus.
Jamur dan Racun Aflatoksin Dalam Produk Ikan Asap
Jonsyn dan Lahai (1992) menguji 20 sampel ikan Ethmalosa sp. kering-asap dari rumah dan pasar di Njala (Sierra Leone) dan hasilnya menunjukkan adanya 4 spesies jamur Aspergilli : A. flavus Links ex Fries, A. ochraceus Wilhelm, A. tamarii Kita dan A. niger van Tieghem. Ikan segar atau ikan kering-asap yang diawetkan dengan baik tidak menunjukkan tanda-tanda kontaminasi jamur. Ekstrak ikan berjamur mengandung aflatoksin B1, G1, G2 dan ochratoxin A dengan konsentrasi bervariasi. Isolat A. flavus yang ditumbuhkan pada medium yeast extract sucrose (YES; sukrosa ekstrak ragi), menghasilkan cukup banyak aflatoksin B1 dan G1 serta sangat sedikit G2. Pada medium YES, A. ochraceus menghasilkan banyak ochratoxin A tetapi tidak membentuk asam penisilin.
Bab VI
Produk Ikan Fermentasi
Bakteri Asam Laktat Dalam Produk Fermentasi Ikan Tradisional
Produk perikanan fermentasi tradisional bergaram-rendah di Thailand yang dikenal dengan nama “som-fak” mengandung bakteri asam laktat baik pada bahan-bahan mentahnya maupun pada som-fak itu sendiri. Paludan-Müller dan Gram (1999) melaporkan bahwa bakteri asam laktat yang diisolasi dari bahan-bahan mentah (ikan, beras, bawang putih dan daun pisang) dan som-fak olahan telah ditentukan karakteristiknya dengan API 50-CH dan kriteria fenotipik lainnya. Bakteri Lactococcus lactis subsp. lactis dan Leuconostoc citreum berasosiasi secara spesifik dengan filet ikan dan ikan cincang, Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dengan beras dan Weisella confusa dengan daun pisang dan campuran bawang putih. Selain itu, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus pentosus dan Pediococcus pentosaceus telah diisolasi dari bahan-bahan mentah. Suksesi spesies lactobacillus yang bersifat homofermentatif-aciduric, yang didominasi oleh Lactobacillus plantarum/pentosus, ditemukan selama fermentasi. Secara total, 9 % galur menfermentasi zat pati dan 19 % menfermentasi bawang putih, dua komponen utama som-fak. Kemampuan untuk menfermentasi bawang putih diimbangi oleh kemampuan menfermentasi inulin. Peningkatan persentase galur yang menfermentasi bawang putih ditemukan selama fermentasi som-fak, dari 8 % pada hari ke-1 menjadi 40 % pada hari ke-5. Selama fermentasi tidak terisolasi galur yang menfermentasi zat pati.
Tiga kultur campuran bakteri asam laktat, yang terdiri dari Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dan Lactobacillus lactis subsp. lactis yang menfermentasi zat pati, atau Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum yang menfermentasi bawang putih, atau kombinasi galur-galur ini diinokulasikan pada som-fak buatan laboratorium dengan atau tanpa bawang putih. Pada som-fak tanpa bawang putih, pH di atas 4,8 setelah 3 hari, tanpa terpengaruh oleh penambahan kultur campuran bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat penfermentasi zat pati tidak dapat menfermentasi som-fak dan indikasi pembusukan secara inderawi timbul setelah tiga hari. Fermentasi dengan campuran gabungan galur-galur penfermentasi zat pati dan bawang putih menyebabkan produksi 2,5 % asam dan penurunan pH menjadi 4,5 dalam dua hari. Fermentasi sedikit lebih lambat bila menggunakan galur penfermentasi bawang putih saja. Ini merupakan laporan pertama yang menjelaskan peranan bawang putih sebagai sumber karbohidrat bagi bakteri asam laktat dalam menfermentasi produk perikanan (Paludan-Müller dan Gram, 1999).
Bakteri Penghasil Bakteriosin Dalam Produk Ikan Fermentasi
Menurut Lee et al. (2000) bakteriosin diklasifikasikan sebagai protein yang diproduksi oleh kelompok-kelompok bakteri heterogen, yang mempunyai efek antimikroba terhadap organisme yang berkerabat dekat. Baru-baru ini, bakteriosin yang berasal dari bakteri asam laktat dan organisme lain terkait-makanan menjadi subyek banyak penelitian mengenai potensi pengawetan makanan secara biologis. Tujuan studi ini adalah untuk memilih dan mempelajari karakteristik bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dari Jeot-gal (produk perikanan fermentasi komersial di Korea). Semua isolat bakteriosinogenik diidentifikasi sebagai bakteri asam laktat. Isolat NK24, NK34, dan SA72 untuk sementara diidentifikasi sebagai Lactococcus lactis, sedangkan isolat SA131 dikenal sebagai Lactobacillus brevis, berdasarkan database API 50 CHL kit. Semua substansi antimikroba yang dihasilkan dari empat isolat bakteri asam laktat kehilangan semua aktivitas antibakterinya setelah diberi perlakuan dengan beberapa protease, yang menunjukkan sifat protein dalam substansi tersebut. Bakteriosin yang dihasilkan dari isolat NK24, NK34, dan SA72 menunjukkan spektrum aktivitas yang lebar bila dibandingkan dengan yang dihasilkan dari isolat SA131. Semua bakteriosin yang diiisolasi selama berlangsungnya penelitian ini menunjukkan mode penghambatan bakterisidal.
Pengaruh Fermentasi Terhadap Nilai Gizi Ikan
Amano (1962) dalam Heen dan Kreuzer (1962) menyatakan bahwa kecap dan pasta ikan fermentasi dikonsumsi di negara-negara Timur Jauh yang kekurangan protein sebagai pelengkap bagi diet nasi yang monoton. Konsumsi harian individual tidak banyak, tetapi penggunaannya tampaknya bersifat universal, dan perbaikan gizi menjadi nyata. Penelitian dilakukan untuk menguji bagaimana berbagai proses fermentasi mengubah nilai gizi. Produk yang dibuat dengan nama 60 macam dikelompokkan berdasarkan agen penfermentasi utama. Dua kelompok produk tradisional dibahas bersama dengan produk-produk non-tradisional yang dibuat dengan hidrolisis kimia, silase asam, dan sebuah metode "cepat" baru. Hasil penelitian menemukan adanya kehilangan nitrogen selama fermentasi produk tradisional dengan rata-rata sekitar 30 persen. Retensi asam amino tampaknya sangat baik. Minyak ikan fermentasi memiliki nilai gizi yang kecil akibat timbulnya tengik. Arti penting nilai gizi vitamin-vitamin B disimpulkan kecil. Peneliti tidak menemukan laporan kasus keracunan serius akibat mengkonsumsi produk ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai gizi setiap produk adalah terjamin, namun menyarankan untuk segera melakukan pengendalian mutu.
Proteolisis dan Penghambatannya Dalam Fermentasi Produk Perikanan
Orejana dan Liston (1982) mempelajari penggunaan enzim proteinase spesifik sebagai agen utama proteolisis dalam fermentasi “patis”. Aktivitas mirip-tripsin yang berkembang beberapa hari setelah fermentasi dimulai, adalah maksimal selama bulan pertama fermentasi kemudian menurun dengan cepat dan tetap rendah selama sisa periode fermentasi. Penurunan ini terutama disebabkan penghambatan oleh akumulasi produk akhir (asam amino dan peptida kecil). Penghambatan awal aktivitas mirip-tripsin mungkin disebabkan oleh adanya penghambat dalam darah ikan atau oleh substansi yang dihasilkan oleh bakteri yang mencemari ikan. Bakteri tidak bertanggung jawab atas proteolisis.
Histidin Untuk Mempercepat Proses Fermentasi Produk Perikanan
Sanceda et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan histidin mempercepat hidrolisis protein ikan selama fermentasi dalam pembuatan kecap ikan dan setelah 4 bulan fermentasi menghasilkan sebuah produk tradisional khas berupa kecap ikan. Laju pencairan kecap yang diberi perlakuan histidin adalah lebih cepat daripada kontrol. Derajat hidrolisis jauh lebih besar dalam kecap yang diberi histidin daripada dalam kontrol. Kebanyakan asam amino terdapat dalam jumlah lebih banyak pada kecap histidin dibandingkan pada kecap komersial (sebagai rujukan). Penambahan histidin ke dalam campuran ikan selama fermentasi tidak meningkatkan kandungan histamin pada kecap tersebut.
Asam Untuk Mempercepat Autolisis Selama Fermentasi Produk Perikanan
Gildberg et al. (1984) melaporkan bahwa kecap ikan berkualitas tinggi dihasilkan dari ikan anchovies (Stolephorus spp.) yang dibiarkan mengalami autolisis pada pH 4 dan konsentrasi garam rendah. Setelah fase awal autolisis yang cepat, sampel dinetralisir, dan garam ditambahkan sampai ke level normal (250 gram/kg) sebelum kecap ikan dipisahkan dengan cara penghisapan. Dengan metode ini kecap ikan dengan flavour yang dapat-diterima bisa diproduksi setelah dua bulan, padahal lama produksi normal adalah lebih dari 6 bulan. Kecap ikan produksi-cepat ini mengandung asam dan basa volatil (mudah-menguap) dengan konsentrasi lebih rendah, dan komposisi asam-asam amino yang lebih seimbang daripada kecap ikan komersial kelas satu.
Bab VII
Sosis Ikan
Daya Awet Sosis Ikan
Hing et al. (1972) menyatakan bahwa sosis ikan merupakan produk perikanan yang terdiri dari terutama ikan giling dan bahan-bahan lain seperti lemak, kanji, bumbu dan/atau bahan pengawet. Ia dikemas dalam bungkus plastik dan umumnya dipanasi pada suhu 83 – 90 °C selama 40 – 60 menit. Karena perlakuan panas ini tidak cukup untuk membunuh semua mikroorganisme yang terkandung dalam produk, pembusukan menjadi masalah terutama bila disimpan tanpa pendinginan. Industri sosis ikan di Jepang dimulai pada akhir tahun 1953 dengan produksi sekitar 2.000 metrik ton. Pada tahun 1963, produksi naik menjadi lebih dari 118.000 metrik ton. Keberhasilan produk ini disebabkan terutama oleh peningkatan daya awet non pendinginan melalui penggunaan bahan pembungkus impermeable (kedap air) dan bahan pengawet nitrofuran. Bagaimanapun, nitrofuran yang digunakan sebagai bahan pengawet sosis ikan di Jepang dilarang pemakaiannya di Amerika Serikat.
Sosis Ikan Yang Menyehatkan Sebagai Pengganti Sosis Babi
Cardoso et al. (2008) melaporkan bahwa dalam rangka mengembangkan sosis ikan menyehatkan yang rendah lemak dan mengandung “dietary fibre” (DF; serat makanan), tiga perubahan fundamental telah dilakukan terhadap resep asli sosis babi : (1) penambahan 4 % (berat/berat) Swelite® (sejenis serat makanan dari kacang bagian dalam); (2) penggantian daging babi dengan daging cincang ikan hake sebanyak 0 %, 50 % dan 100 %, serta (3) kombinasi penambahan Fibruline® (sejenis serat makanan dari akar tumbuhan chicory) dan daging cincang ikan hake (rasio Fibruline : cincangan ikan hake adalah 2.6 : 5.2, 5.2 : 2.6 dan 7.8 : 0.0, % berat/berat) sebagai pengganti lemak babi. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan Swelite pada sosis babi meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Sebaliknya, makin banyak daging babi yang digantikan oleh daging ikan hake menyebabkan pengurangan kekuatan dan kekerasan gel. Terakhir, sosis tanpa lemak babi menunjukkan parameter-parameter tekstur dan warna menjadi lebih baik. Sosis yang mengandung banyak Fibruline kurang kompak dan lebih mudah dikunyah daripada sosis lemak babi (kontrol), dan juga menunjukkan kekuatan gel yang lebih besar. Sosis yang mengandung sedikit Fibruline memiliki sifat-sifat tekstur yang hampir sama dengan sosis kontrol, kecuali dalam hal kekerasan dan derajat kelengketan. Jadi, dengan memperhatikan beberapa parameter tekstural kunci, adalah mungkin untuk memproduksi sosis ikan rendah-lemak yang mirip dengan sosis babi asli.
Nisin Untuk Mengawetkan Sosis Ikan
Raju et al. (2003) mempelajari efisiensi nisin pada tiga konsentrasi, 12.5, 25 dan 50 ppm, dalam mempertahankan kualitas sosis ikan yang dibungkus dengan kemasan sintetis pada suhu kamar (28 ± 2 °C) dan suhu dingin (6 ± 2 °C). Kekuatan gel, kadar air yang keluar ketika sosis ditekan, “total volatile base nitrogen”, “total plate count” dan jumlah spora aerob dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan konsentrasi nisin. Sosis ikan yang diberi perlakuan 50 ppm nisin masih dapat diterima setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 20 – 22 hari dibandingkan dengan kontrol, yang diterima hanya selama 2 hari. Daya awet sosis, pada suhu dingin, bervariasi dari 30 hari pada kontrol sampai 150 hari pada sampel yang diberi perlakuan 50 ppm nisin. Residu nisin berkurang perlahan-lahan di dalam sampel yang disimpan pada suhu dingin, namun dalam sosis ikan yang disimpan pada suhu kamar, pengurangan residu ini berlangsung cepat. Nisin pada konsentrasi 50 ppm memberikan pengaruh nyata (P = 0.05) terhadap kekuatan gel dan semua kriteria penerimaan, baik pada suhu kamar maupun suhu dingin.
Penambahan Kitosan Pada Sosis Ikan
López-Caballero et al. (2005) melaporkan bahwa sosis ikan cod yang diberi kitosan (1,5 %), sejenis polisakarida asal kitin dari cangkang udang, telah dibuat dengan perlakuan tekanan-tinggi (350 MPa/7 °C/15 menit). Warna, sifat reologis (perubahan bentuk dan aliran materi), indeks biokimia (pH, total volatile basic nitrogen , thiobarbituric acid index) dan jumlah mikrobiologi (total bakteri, bakteri asam laktat, enterobacteria, pseudomonad, staphylococci) ditentukan selama penyimpanan dingin pada suhu 2 ± 1 °C. Penambahan kitosan dalam bentuk kering menyebabkan elastisitas dan “yellowness” (derajat kekuningan) meningkat secara jelas. Bila kitosan ditambahkan dalam bentuk larutan, maka “total volatile basic nitrogen” tetap stabil selama 25 hari penyimpanan. Dalam hal jumlah mikroba, kitosan terlarut tidak memberikan efek nyata pada sosis hasil perlakuan tekanan-tinggi. Bagaimanapun, bila kitosan ditambahkan dalam bentuk kering, jumlah mikrobanya dilaporkan lebih banyak.
Bakteri Pada Sosis Yang Difermentasi
Aryanta et al. (1991) melaporkan bahwa campuran sosis ikan belanak cincang yang diberi gula, garam, nitrat, nitrit dan rempah-rempah telah difermentasi (48 jam, 30 °C) oleh flora indigenous (yaitu, flora yang secara alami ada di dalam bahan makanan tersebut) atau oleh kultur starter (Pediococcus acidilactici). Ekologi mikroba dan perilaku berbagai bakteri dipantau. Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum mendominasi fermentasi indigenous, hingga mencapai populasi 107–108 cfu/g pada jam ke 48, dan menurunkan pH menjadi 4,5 – 4,7. Pertumbuhan Staphylococcus aureus warneri, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Micrococcus varians dan Micrococcus leteus secara nyata (105–107 cfu/g) juga terjadi selama fermentasi ini. Pertumbuhan yang lambat ditunjukkan oleh Bacillus megaterium dan ragi. Pediococcus acidilactici mendominasi fermentasi bila ia diinokulasi sebagai kultur starter, tetapi bakteri asam laktat (Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum) indigenous juga tumbuh sampai 107–108 cfu/g. Pertumbuhan ragi dan bakteri lain terbatas selama fermentasi dengan kultur starter. Inokulum Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Salmonella sofia dan Staphylococcus aureus tumbuh sampai 106–107 cfu/g dalam campuran sosis selama fermentasi indigenous. Petumbuhan yang lebih lambat terjadi pada Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Vibrio parahaemolyticus. Pertumbuhan bakteri-bakteri ini secara nyata terhambat di dalam campuran sosis yang difermentasi oleh Pediococcus acidilactici.
Perubahan Karakteristik Sosis Ikan Selama Penyimpanan
Sini et al. (2008) menyatakan bahwa sosis merupakan makanan yang umum dikonsumsi dan dikenal luas pada tahun-tahun terakhir ini. Para peneliti menyiapkan sosis dari daging cincang filet ikan rohu (Labeo rohita) dengan menggunakan resep standar, dengan dan tanpa penambahan bahan pegawet potassium sorbate (kalium sorbat) pada konsentrasi yang diijinkan dan dikemas menggunakan bahan alami. Sosis yang dihasilkan memiliki penampilan yang menarik dan bersifat lentur (dapat kembali ke bentuk semula meskipun diregangkan). Sosis ini kemudian dievaluasi dalam hal sifat-sifat fisika, kimia, organoleptik dan mikrobiologis selama penyimpanan pada suhu 5 °C dan 25 °C. Setelah 2 hari disimpan pada suhu kamar, sampel kontrol (tanpa kalium sorbat) kehilangan sifat kohesif (dengan kata lain menjadi tidak kompak) dan tampak seperti pasta lengket kemudian cairan kental keluar dari pembungkus akibat fermentasi yang diikuti pembentukan gas, sebagaimana dibuktikan oleh bau fermentasi, penurunan pH dan peningkatan jumlah bakteri total. Pada kasus sampel sosis yang diberi kalium sorbat, gejala-gejala pembusukan seperti ini terjadi pada hari ke-4 penyimpanan. Demikian pula, sampel kontrol pada suhu dingin (5 °C) ditemukan membusuk setelah 13 hari penyimpanan sedang sosis berbahan pengawet membusuk setelah 16 hari.
Perubahan Tekstur Sosis Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es
Chantarat et al. (2005) memepelajari perubahan kimiawi dalam otot ikan dan “natural actomyosin” (NAM) dari otot ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida undosquamis) selama 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari penyimpanan dalam es. “Myosin heavy chain” (MHC; rantai berat myosin) dari NAM yang diekstrak dari kedua ikan mengalami penguraian selama penyimpanan dalam es. Bagaimanapun, tidak terjadi perubahan actin. “Total volatile base” (TVB), trimethylamine (TMA) dan daya hidrofobi (menolak-air) meningkat, sedangkan total konsentrasi sulfhidril dan kapasitas emulsi NAM dari kedua spesies ikan berkurang secara nyata sejalan dengan makin lamanya penyimpanan (p < 0.05). “Texture Profile Analysis” (TPA) dan “shear force” (kekuatan pecah) sosis ikan emulsi yang dibuat dari kedua spesies yang disimpan dalam es selama 0, 4, 8 dan 12 hari diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan, daya kohesi (kekompakan), derajat kelengketan, “chewiness” (kemudahan dikunyah) dan shear force sosis yang dibuat dari ikan yang dies adalah lebih rendah daripada yang dibuat dari ikan segar. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan nyata dalam hal kelengketan. Kehilangan selama pemasakan sosis ikan emulsi dari kedua spesies ikan meningkat selama waktu penyimpanan (p < 0.05). Tekstur sosis ikan big eye snapper adalah lebih baik daripada sosis ikan lizardfish. Gambar mikrograf “scanning electron microscop” (SEM) untuk sosis ikan emulsi dari kedua spesies menunjukkan bahwa sejalan dengan makin lamanya penyimpanan maka rongga-rongga kosong menjadi lebih besar, serat menjadi lebih tebal dan serabut protein menjadi kurang kontinyu. Perubahan-perubahan mikrostruktural lebih banyak diamati pada sosis yang terbuat dari ikan lizardfish dibandingkan dengan sosis yang dibuat dari bigeye snapper.
Referensi :
Amano, K. 1962. The influence of Fermentation on The Nutritive Value of Fish With Special Reference to Fermented Fish Products of South-East Asia in Heen, E. and R. Kreuzer. 1962. Fish in Nutrition. pp. 180-200 Fishing News (Books): London. XXIII, 447 pp.
Aryanta, R.W., G.H. Fleet and K. A. Buckle. 1991. The Occurrence and Growth of Microorganisms During The Fermentation of Fishsausage. International Journal of Food Microbiology, Vol. 13, Issue 2, pp. 143 – 155
Bae, T.-J., B.-H. Han, H.-D. Cho, B.-S. Kim and H.-S.Lee. 1990a. Condition for Rapid Processing of Modified Fish Sauce Using Enzymatic Hydrolisis and Improvement of Product Quality. 3. Fish Sauce From Whole Sardine and Its Quality. Bulletin of Korean Fisheries Societies, vol. 23, no. 5, pp. 361 – 372
Bae, T.-J., B.-H. Han, H.-D. Cho, B.-S. Kim and H.-S.Lee. 1990b. Condition for Rapid Processing of Modified Fish Sauce Using Enzymatic Hydrolisis and Improvement of Product Quality. 4. Flavor Components of Fish Sauce From Whole Sardine. Bulletin of Korean Fisheries Societies, vol. 23, no. 5, pp. 373 – 377
Cardoso, C., Mendes, R. and Nunes, M. L. 2008. Development of A Healthy Low-Fat Fish Sausage Containing Dietary Fibre. International Journal of Food Science & Technology, vol. 43, issue 2, pp. 276 – 283
Chantarat, P., K. Kijroongrojana and M. Vittayanont. 2005. Effect of Ice Storage on Muscle Protein Properties and Qualities of Emulsion Fish Sausage From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus) and Lizardfish (Saurida undosquamis). Songklanakarin Journal of Science and Technology, Vol. 27, Issue 1, pp. 123 – 138
Cheow, C. S., S.Y. Yu, N.K. Howell, Y.C. Man and K. Muhammad. 1999. Effect of Fish, Starch and Salt Contents On The Microstructure and Expansion of Fish Crackers (‘Keropok’). Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 79, Issue 6, pp. 879 – 885
Cheow, C.S., Z.Y. Kyaw, N.K. Howell and M.H. Dzulkifly. 2004. Relationship Between Physicochemical Properties of Starches and Expansion of Fish Cracker ‘Keropok’. Journal of Food Quality, Vol. 27, Issue 1, pp. 1 – 12
Couso, I., C. Alvarez, M.T. Solas, C. Barba and M. Tejada. 1998. Morphology of Starch in Surimi Gels. Zeitschrift für Lebensmitteluntersuchung und -Forschung A, Vol. 206, Issue 1, pp. 38 - 43
Demir, S. and S. Evcin. 1993. Drying Characteristics of Salted Fish in a Greenhouse Type Solar Dryer. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology of Kochi, vol. 30, no. 1, pp. 35 – 39
Dougan, J. and G.E. Howard. 1975. Some Flavouring Constituents of Fermented Fish Sauces. Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 26, Issue 7, pp. 887 – 894
Fafioye, O.O., M.O. Efuntoye and A. Osho. 2001. Studies on The Fungal Infestation of Five Traditionally Smoke-Dried Freshwater Fish in Ago-Iwoye, Nigeria. Mycopathologia, Vol. 154, Issue 4, pp. 177 - 179
Gildberg, A., J. E. Hermes and F.M. Orejana. 1984. Acceleration of Autolysis During Fish Sauce Fermentation by Adding Acid and Reducing The Salt Content. Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 35, Issue 12, pp. 1363 - 1369
Hing, F.S., N.Y.-A. Tang and C.G.Cavaletto. 1972. Stability of Fish Sausage at Low Temperature Storage. Journal of Food Science, vol. 37, issues 2, pp. 191 – 194
Jeyasekaran, G. and S.T. Shetty. 1992. Extrusion Technology for Seafood Industries. Seafood Export Journal, Vol. 24, No. 1, pp. 11 - 18
Jonsyn, F. E. and Lahai, G. P. (1992), Mycotoxic Flora and Mycotoxins in Smoke-Dried Fish From Sierra Leone. Nahrung (Food), Vol. 36, No. 5, pp. 485 – 489.
Kim, Y.-Y. and Y.-J. Cho. 1992. Relationship Between Quality of Frozen Surimi and Jelly Strength of Kamaboko. Bulletin of Korean Fisheries Society, Vol. 25, No. 2, pp. 73 - 78
Kyaw, Z.Y., S.Y. Yu, C.S. Cheow, M.H. Dzulkifly and N.K. Howell. 2001. Effect of Fish to Starch Ratio on Viscoelastic Properties and Microstructure of Fish Cracker (‘Keropok’) Dough. International Journal of Food Science & Technology, Vol. 36, Issue 7, pp. 741 – 747
Larsson, B.K. 1982. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Smoked Fish. Zeitschrift für Lebensmittel-Untersuchung und Forschung, Vol. 174, Issue 2, pp. 101 - 107
Lee, N.-K., S.-A. Jun, J.-U. Ha and H.-D. Paik. 2000. Screening and Characterization of Bacteriocinogenic Lactic Acid Bacteria from Jeot-gal, a Korean Fermented Fish Food. Journal of Microbiology and Biotechnology, Vol. 10, No. 3, pp. 423 - 428
Lin, H., J. Jiang and D. Li. 2008. Potential Hazards in Smoke-Flavored Fish. Journal of Ocean University of China, Vol. 7, Issue 3, pp. 294 - 298
López-Caballero, M.E., M.C. Góamez-Guillén, M. Pérez-Mateos and E Montero. 2005. A Functional Chitosan-Enriched Fish Sausage Treated by High Pressure, Journal of Food Science, Vol. 70, Issue 3, pp. M 166 – M 171
Mathen, C., T.S.U.Nair and P.R. Nair. 1992. Effect of Some Vegetable Oils on Insect Infestation During Storage of Dry Cured Fish. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 57 - 61
Miura, M., T. Takayanaji and A. Nishimura. 1992. Cryoprotective Effects of Hydrogenated Linear Oligosaccharides on Walleye Pollack-Surimi Proteins During Frozen Storage. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 58, No. 6, pp. 1163 - 1169
Orejana, F.M. and J. Liston. 1982. Agents of Proteolysis and Its Inhibition in Patis (Fish Sauce) Fermentation. Journal of Food Science, Vol. 47, Issue 1, pp. 198 - 203
Paludan-Müller, C., H.H. Huss and L. Gram. 1999. Characterization of Lactic Acid Bacteria Isolated from a Thai Low-Salt Fermented Fish Product and The Role of Garlic as Substrate for Fermentation. International Journal of Food Microbiology, Vol. 46, Issue 3, pp. 219 - 229
Park, J.-N., Y. Fukumoto, E. Fujita, T. Tanaka, T. Washio, S. Otsuka, T. Shimizu, K. Watanabe and H. Abe. 2001. Chemical Composition of Fish Sauces Produced in Southeast and East Asian Countries. Journal of Food Composition and Analysis, Vol. 14, Issue 2, pp. 113 – 125
Poernomo, A., Giyatmi, Y.N. Fawaya and F. Ariyani. 1992. Salting and Drying of Mackerel (Rastrelliger kanagurta). Asean Food Journal, Vol. 7, No. 3, pp. 141 - 146
Raju, C. V., B.A. Shamasundar and K.S. Udupa. 2003. The Use of Nisin as A Preservative in Fish Sausage Stored at Ambient (28 ± 2 °C) And Refrigerated (6 ± 2 °C) Temperatures. International Journal of Food Science & Technology, vol. 38, issue 2, pp. 171 – 185
Raksakulthal, N. and N.F. Haard.1992. Fish Sauce From Capelin (Mallotus villosus) : Contribution of Cathepsin C to The Fermentation. Asean Food Journal.,vol.7, no. 3, pp. 147 – 151
Sanceda, N.G., T. Kurata and N. Arakawa. 1996. Accelerated Fermentation Process for the Manufacture of Fish Sauce Using Histidine, Journal of Food Science, Vol. 61, Issue 1, pp. 220 - 222
Sen, D.P. 2005. Advances in Fish Processing Technology. Allied Publisher Pvt. Ltd. New Delhi, India. 823 pp.
Siang, N.C. and K. Niwa. 1992. Gel Strength Enhancing Effect of Aqueous Extract of Fish Kidney Tissue. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 4, p. 805
Siaw, C.L., A.Z. Idrus and S.Y. Yu. 1985. Intermediate Technology for Fish Cracker (‘Keropok’) Production. International Journal of Food Science & Technology, International Journal of Food Science & Technology, Vol. 20, Issue 1, pp. 17 – 21
Siba, M. and T. Numakura. 1992. Quality of Heated Gel From Walleye Pollack Surimi by Applying Joule Heat. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 5, pp. 903 – 907
Sini, T. K., S. Santhosh, A.C. Joseph and C.N. Ravisankar. 2008. Changes in The Characteristics of Rohu Fish (Labeo rohita) Sausage During Storage at Different Temperatures. Journal of Food Processing and Preservation, vol. 32, issue 3, pp. 429 – 442
Taylor, R.W.D. and N.J. Evans. 1982. Laboratory Evaluation of Four Insecticides for Controlling Dermestes maculatus Degeer on Smoke-Dried Fish. International Pest Control, pp. 43 – 49
Xue, Y., X. Liu, L. Zhang, D. Lin, J. Xu and C. Xue. 2011. Effects of Alginate Gel on Rheological Properties of Hair-Tail (Trichiurus lepturus) Surimi. Journal of Ocean University of China, Vol. 10, Issue 2, pp. 191 - 196
Yaw, Z., S. Yu, C. Cheow and M. Dzulkifly. 1999. Effect of Steaming Time on The Linear Expansion of Fish Crackers (‘keropok’). Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 79, Issue 11, pp. 1340 – 1344
Yu, S.Y. 1992. Oreochromis mossambicus in Fish Crackers (“Keropok”). Asean Food Journal, vol. 7, no.1, pp. 51 – 53
Yu, S.Y., J.R. Mitchell and A. Abdullah. 1981. Production and Acceptability Testing of Fish Crackers (‘Keropok’) Prepared by The Extrusion Method. International Journal of Food Science & Technology, Vol. 16, Issue 1, pp. 51 – 58
Yu, S. Y. and S.L. Low. 1992. Utilization of Pre-Gelatinized Tapioca Starch in The Manufacture of A Snackfood, Fish Cracker (‘Keropok’). International Journal of Food Science & Technology, Vol. 27, Issue 5, pp. 593 – 596
Yu, S.Y. and Tan, L.K. 1990. Acceptability of Crackers (‘Keropok’) With Fish Protein Hydrolysate. International Journal of Food Science & Technology, vol. 25, issue 2, pp. 204 – 208