Minggu, 20 Desember 2015

Serangan Jamur Saprolegnia Pada Telur dan Ikan

Arsip Cofa No. A 019
donasi dg belanja di Toko One


Selama pengeraman, sebagian telur ikan mungkin mati dan segera diserang oleh jamur. Dengan cepat telur-telur ini diselubungi miselium jamur. Kecuali bila dilakukan penanganan yang serius, jamur ini dapat menyerang semua telur yang ada. Kanouse (1932) membuktikan bahwa pada kondisi tertentu (misalnya telur bergerombol rapat) filamen jamur dapat menembus telur yang masih hidup. Pada kondisi percobaan, telur yang masih hidup (mungkin yang tidak bergerombol) tidak diserang jamur. Davis (1953) menyatakan bahwa tidak ada bukti Saprolegnia dapat tumbuh pada telur normal kecuali bila ada bahan organik asing di dekat telur tersebut yang bisa ditumbuhi jamur dan dari sini jamur menular ke telur.

Luka-luka pada tubuh ikan akibat aktivitas pemijahan dan kecelakaan lain, atau luka akibat terinfeksi kuman penyakit lain, seringkali diserang jamur. Ikan dari perairan hangat yang dimasukkan ke dalam perairan dingin selama musim panas dan ikan yang kelelahan akibat faktor lain mudah diserang jamur.

Jamur Saprolegnia yang tergolong ke dalam kelas Phycomycetes ini memiliki ciri khas berupa miselium yang tidak bersekat. Phycomycetes yang membawahi Saprolegnia (famili Saprolegniales) dicirikan oleh sporangia berbentuk bulatan-lonjong yang berisi zoospora dan oogonia yang berbentuk bulat. Yang terakhir ini hanya dapat diperoleh dengan mengkultur jamur tersebut pada media khusus. Identifikasi spesies hanya dapat dilakukan setelah mempelajari struktur-struktur ini. Bergantung pada suhu, waktu selama 24 sampai 48 jam dibutuhkan untuk menyempurnakan satu siklus hidup minimum dari spora reproduktif menjadi miselium ke spora reproduktif kembali.

Jamur ini tumbuh pada berbagai jenis bahan organik yang sedang membusuk, dan pembentukan spora melalui reproduksi aseksual hampir selalu berlangsung di perairan alami.

Kerentanan telur mati dan ikan terhadap serangan jamur ini merupakan hal yang umum. Pada kondisi yang menguntungkan, telur yang sehat kebal terhadap serangan jamur, dan pada kondisi seperti ini telur yang mati tidak mudah ditembus oleh miselium jamur meskipun telur mati ini sudah berhari-hari ditumbuhi jamur dan warnanya telah berubah menjadi putih. Telur ikan yang tak dibuahi masih bisa bertahan dari serangan Saprolegnia selama sebulan atau lebih.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Sabtu, 31 Oktober 2015

Interaksi Antara Kelp, Bulu Babi dan Lobster

Arsip Cofa No. A 018
donasi dg belanja di Toko One


Sebuah studi selama bertahun-tahun menunjukkan adanya jalinan interaksi rumit yang melibatkan produsen primer, herbivora, detritivora dan predator, yang semuanya berpengaruh kuat terhadap perikanan lobster yang sangat ekonomis penting di Nova Scotia. Pertama-tama perlu diperhatikan kejadian-kejadian di Teluk Margaret, Nova Scotia, antara 1968 dan 1976 yang diringkaskan oleh Mann (1977). Zona rumput laut (seaweed) dari garis pasang-surut tinggi, meluas ke zona pasang-surut (intertidal) dan turun sampai ke kedalaman sekitar 30 meter telah disurvei secara rinci pada 1968. Diketahui bahwa kepadatan rata-rata bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis dalam rumput laut adalah 37 ekor per m2, tetapi distribusinya tidak merata. Ada gerombolan-gerombolan bulu babi yang padat, melebihi 100 per m2 , di daerah di mana rumput lautnya telah dibersihkan sama sekali hingga meninggalkan daerah berbatu yang hampir tak tertutup dan ada daerah yang penuh ditumbuhi kelp (lamun) dengan kepadatan bulu babi kurang dari 20 per m2. Selama periode sekitar 8 tahun, daerah-daerah ini didominasi oleh bulu babi yang tumbuh makin besar hingga mereka bergabung menjadi satu. Hal ini dilakukan oleh bulu babi-bulu babi yang membentuk gerombolan rapat di tepian hamparan kelp dan bergerak maju memakan tumbuhan tersebut atau menggigit tangkainya sehingga tumbuhan ini hanyut. Populasi bulu babi yang tetap tinggal di bebatuan akan mencegah pembentukan koloni baru mikro-alga yang permanen. Dalam delapan tahun lebih dari 90 % hamparan rumput laut subtidal di Teluk Margaret hancur oleh mereka.

Diduga bahwa, setelah menghabisi alga, populasi bulu babi akan berkurang akibat kelaparan sehingga alga akan kembali muncul. Hal ini tidak selalu benar. Dalam tahun pertama atau kedua setelah pembersihan alga, terjadi rekruitmen besar-besaran juvenil bulu babi. Dalam beberapa tahun berturut-turut intensitas rekruitmen ini melemah, tetapi kelas-kelas tahun yang sangat berhasil bertahan hidup akan tampak karena mendominasi populasi. Kepadatan populasi mula-mula naik sampai ke tingkat sedemikian hingga terlihat pertama kali pada tahun 1968. Setelah 12 tahun, tidak ada kasus rekolonisasi permanen permukaan batu oleh makro alga.

Penjelasan yang menarik mengenai ledakan populasi bulu babi adalah berkurangnya tekanan predator. Predator potensial bagi bulu babi meliputi berbagai jenis ikan, kepiting, bintang laut dan lobster. Di antaranya, hanya lobster yang menjadi sasaran perikanan yang intensif, dan telah ditunjukkan bahwa selama periode 1961 – 1971 hasil tangkapan lobster di Teluk Margaret menurun dari 360 menjadi 90 kg per nelayan, suatu petunjuk yang jelas bahwa biomas lobster sedang menurun. Diduga bahwa ada umpan balik positif dalam sistem ini, karena meskipun lobster bersembunyi di bawah batu atau meliang sepanjang siang, mereka berkeliaran dan memangsa invertebrata terutama pada malam hari. Lobster muda rentan terhadap pemangsaan oleh ikan, kepiting, anjing laut, dll., dan lobster yang berkeliaran di atas permukaan bebatuan yang tak tertutup pasti mengalami mortalitas yang lebih tinggi daripada lobster yang berkeliaran di sela-sela hamparan padat rumput laut. Selain itu, hamparan rumput laut dengan produktivitas dan keragaman habitatnya yang tinggi mempunyai lebih banyak fauna invertebrata daripada yang dimiliki permukaan bebatuan yang tak tertutup. Karena itu, diduga bahwa daerah di mana hamparan alga telah habis akan mendukung lebih sedikit produksi lobster daripada daerah yang ditumbuh-suburi oleh kelp.

Baru-baru ini studi ini telah dikembangkan agar dapat melingkupi daerah berskala geografis yang lebih luas (Wharton, 1980). Telah diketahui bahwa pada hampir 600 km sepanjang garis pantai Nova Scotia, dari ujung selatan Pubnico sampai Selat Canso di utara, dapat ditemukan rangkaian spasial (tempat terpisah-pisah) komunitas bulu babi yang sangat bersesuaian dengan rangkaian waktu yang diamati di Teluk Margaret. Pada ujung selatan, luas daerah yang ditutup kelp hampir 100 %, sedangkan populasi bulu babi kurang dari 0,1 per m2, dan keberadaan bulu babi ini sulit diketahui, seolah-olah bersembunyi dari predator. Mereka memakan potongan-potongan detritus rumput laut yang berserakan dan hanyut di bawah bebatuan.

Di Tanjung Sable, 20 km timur-laut Pubnico terjadi perubahan mendadak. Dalam beberapa kilometer kepadatan bulu babi meningkat sampai melebihi 40 per m2 dan ada bukti penggerombolan dan perusakan kelp. Beberapa km ke arah timur laut, kepadatan bulu babi melebihi 100 per m2, yang didominasi oleh rekruit baru dan luas daerah yang ditutupi kelp kurang dari 10 %. Jadi, sepanjang 400 km dari garis pantai ada sedikit tapi terlihat dasar laut terbuka yang didominasi bulu babi. Kepadatan bulu babi menurun perlahan dan ukuran rata-ratanya makin ke arah timur laut makin meningkat. Laju pertumbuhan bulu babi yang ada di dasar laut terbuka hanya sekitar sepertiga dari laju pertumbuhan bulu babi penghuni hamparan lebat kelp.

Kesimpulan dari hasil pengamatan ini adalah bahwa terjadi perusakan hamparan kelp di sepanjang pesisir, kecuali di ujung barat daya provinsi ini, dan bahwa kerusakan terjadi bertahun-tahun yang lalu di daerah timur-laut tetapi kerusakan yang terjadi di daerah ke arah ujung barat-daya baru akhir-akhir ini terjadi. Sebenarnya, proses ini masih berlanjut di sekitar Tanjung Sable, dan populasi bulu babi masih mengancam keberadaan hamparan kelp di sekitar Pubnico.

Studi terpisah telah dilakukan mengenai hasil tangkapan lobster di berbagai bagian provinsi ini. Telah diketahui bahwa dalam banyak kasus terjadi penurunan tajam hasil tangkapan dari mana perikanan ini tak pernah pulih. Rata-rata tangkapan dalam periode sepuluh tahun 1947 – 1956 bila dijadikan patokan 100 % maka terjadi penurunan drastis sampai di bawah 60 % dan tak pernah terpulihkan. Hasil tangkapan menurun pertama kali di ujung timur-laut daerah studi, dan makin ke arah barat daya menunjukkan makin meningkatnya laju penurunan tersebut pada tahun–tahun terakhir ini. Dengan demikian kejadian yang menimpa populasi lobster sejalan dengan yang menimpa komunitas bulu babi-kelp, tetapi antara kedua kejadian ini ada selang waktu, karena ada dua lokasi (70 km dan 130 km dari Pubnico) di mana hamparan kelp telah rusak tetapi tangkapan lobster belum berkurang di bawah 40 %.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Sabtu, 24 Oktober 2015

Persaingan Antara Manusia (Nelayan), Mamalia dan Burung Memperebutkan Ikan

Arsip Cofa No. A 017
donasi dg belanja di Toko One


Manusia bersaing dengan binatang berdarah panas (burung dan mamalia) memperebutkan ikan, dan semuanya merupakan bagian ekosistem yang sama. Pada masa jaya perikanan anchoveta di Arus Peru, Schaeffer (1970) menduga bahwa hasil lestari maksimum (maximum sustainable yield) perikanan gabungan adalah sekitar 10 x 106 ton, yang pada saat itu terdiri dari 9,3 x 106 ton untuk manusia dan 0,7 x 106 ton untuk populasi lokal burung-burung guano (cormorant, bobby dan pelikan).

Menurut sejarahnya, produksi stok anchoveta dipengaruhi secara relatif oleh El Nino, gangguan periodik terhadap proses upwelling, dan akibatnya jumlah burung menjadi jatuh. Pada 1956 jumlahnya diperkirakan lebih dari 25 juta, tetapi El Nino 1975 mengurangi jumlah mereka menjadi sekitar 6 juta. Populasi burung-burung guano meningkat lagi sampai melebihi 15 juta pada 1961 – 1964, tetapi El Nino muncul lagi pada 1965, yang menurunkan jumlah mereka menjadi kurang dari 5 juta. Pada saat itu perikanan berkembang luas, dan antara 1965 – 1971 populasi burung tinggal kurang dari 5 juta. Idyll (1973) melaporkan bahwa El Nino pada 1972 terjadi lagi dan memperkirakan bahwa populasi burung-burung guano mungkin akan berkurang lebih lanjut atau bahkan lenyap.

Dampak yang lebih besar mamalia dan burung terhadap stok ikan adalah seperti yang didokumentasikan Laevestu dan Favorite (1978). Mereka menghitung bahwa konsumsi ikan hering oleh mamalia dan burung di bagian timur Laut Bering adalah 431 x 103 ton, jadi sepuluh kali lipat hasil tangkapan manusia (43 x 103 ton pada 1973). Bagaimanapun, hering bukanlah spesies yang paling dicari di bagian timur Laut Bering. Sejak tahuh 1960 terjadi peningkatan tajam hasil tangkapan ikan Pacific Polloc, Theragro chalcogramma. Pada 1973, setelah kehancuran perikanan anchoveta Peru, perikanan Pacific polloc menjadi perikanan spesies tunggal terbesar di dunia, dengan tangkapan hampir 4 x 106 ton terutama oleh orang-orang Jepang dan Rusia. Di antaranya, sebanyak 1,8 x 106 ton berasal dari Laut Bering timur, sisanya terutama berasal dari Pasifik barat laut, lebih dekat ke Jepang. Studi pemodelan oleh Laevestu dan Favorite (1976) menunjukkan bahwa karena ikan pollock dewasa bersifat kanibal, dan karena perikanan ini menangkap ikan dewasa, pengaruh penangkapan ikan tersebut adalah menurunkan mortalitas ikan juvenil yang sedang tumbuh cepat, sehingga meningkatkan produktivitas stok. Pollock besar merupakan pemangsa hering, sehingga model tadi meramalkan bahwa peningkatan tekanan penangkapan terhadap pollock akan menyebabkan peningkatan stok hering. Mereka berdua menduga bahwa anjing laut berbulu dan singa laut memakan paling tidak sebanyak Pollock yang ditangkap manusia. Alton dan Fredin (1974) memusatkan perhatian pada penurunan hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit effort) pada awal 1970-an dan menyarankan agar jumlah ikan yang boleh ditangkap dikurangi. Disepakati bahwa pengelolaan stok Laut Bering yang baik membutuhkan perhatian bukan hanya terhadap interaksi ikan multi spesies, tetapi juga terhadap pengelolaan secara bersama-sama stok burung dan mamalia laut.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 21 Oktober 2015

Larva Ikan Sebagai Tahap Kritis

Arsip Cofa No. A 016
donasi dg belanja di Toko One


Telah dilaporkan adanya penurunan biomas ikan sardine Pasifik (Sardinops caerulea) dan peningkatan biomas ikan anchovy utara (Engraulis mordax) di lepas pantai sebelah barat USA yang bermula pada sekitar tahun 1945. Vrooman dan Smith (1970) menghitung bahwa antara tahun 1950 dan 1965 biomas pemijahan ikan anchovy meningkat dari sekitar 0,7 x 106 ton sampai hampir 8 x 106 ton. Rata-rata biomas total untuk periode 1962 – 1966 diduga 6,2 x 106 ton, yang dibagi menjadi tiga sub-populasi : stok bagian tengah di lepas pantai selatan California sebanyak 4,8 x 106 ton, stok utara sebanyak 0,27 x 106 ton yang tersebar di sepanjang pantai utara California dan selatan Oregon, dan stok selatan sebesar 1,1 x 106 ton di lepas pantai Baja California. Peningkatan tajam biomas anchovy pada saat biomas sardine menurun tajam memperkuat dugaan bahwa interaksi kompetitif berlangsung di antara kedua spesies, tetapi Smith (1972) menyimpulkan bahwa baik tingkah laku makan anchovy dan sardine maupun dinamika populasi organisme makanan tidak cukup untuk mendukung timbulnya kompetisi. Ia menunjukkan bahwa kurva frekuensi panjang larva memperlihatkan sedikit perubahan, dan diduga bahwa kompetisi akan berlangsung dalam tahap juvenil dan pra-rekruitmen.

Pada dekade terakhir, Lasker (1975, 1978) telah melakukan studi intensif terhadap tingkah laku makan larva anchovy. Ia memijahkan anchovy di dalam laboratorium, menetaskan telur dan mulai mempelajari perilaku makan larva ikan tersebut di laboratorium. Ia menemukan bahwa ketika larva pertama kali mencaplok makanannya (pada panjang sekitar 3,5 mm) mulutnya masih kecil dan kebanyakan makanan berupa partikel-partikel berdiameter 60 – 80 mikron. Larva-larva ikan ini relatif tidak efisien, hanya berhasil mencaplok satu dari sepuluh organisme makanan yang diserangnya, dan dengan demikian memerlukan konsentrasi makanan yang sangat tinggi di dalam lingkungannya agar mereka tetap hidup. Dengan meningkatnya konsentrasi makanan maka laju penelanan meningkat, tetapi tidak semua organisme dalam kisaran ukuran penelanan dapat dijadikan sebagai makanan. Dari berbagai spesies plankton yang diuji, hanya dinoflagelata Gymnodinium spendens yang dapat menyokong pertumbuhan ikan. Banyak spesies zooplankton yang dapat dijadikan makanannya, tetapi tampaknya tidak ada yang terdapat di alam dengan konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan.

Tahap penelitian selanjutnya adalah memindahkan larva yang sedang dalam kondisi pertama kali-makan ke laut dan menghadapkannya kepada organisme-organisme mangsa dalam sampel air laut alami. Ternyata bahwa agar dapat berhasil makan maka dalam setiap ml air laut paling sedikit harus ada 20 – 30 sel fitoplankton dengan diameter minimum 30 mikron. Larva dengan baik memakan Gymnodinium spendens, tetapi tidak mengambil Chaetoceros sp. atau pun Thalassiosira sp. Konsentrasi fitoplankton yang cocok dijumpai dalam lapisan klorofil maksimal yang, pada April 1974, terletak pada kedalaman 15 – 20 meter sepanjang pesisir California. Angin badai yang menyebabkan pengadukan massa air permukaan setebal 20 m membuyarkan lapisan berkonsentrasi fitoplankton tinggi ini, dan bisa menyebabkan kematian masal larva ikan yang sedang dalam fase pertama kali-makan.

Dengan memanfaatkan informasi ini, kondisi oseanografis di Southern California Bight (Teluk California Selatan) dipantau selama musim pemijahan ikan anchovy 1975 (Januari – Mei). Makanan yang sesuai ditemukan melimpah dalam lapisan klorofil maksimum pada Januari, tetapi upwelling yang kuat mulai berlangsung pada Februari dan setelah terganggu sebentar pada awal Maret, mereka kembali pulih pada April dan berlanjut sampai melewati akhir musim pemijahan tersebut. Pengaruh upwelling adalah menghamburkan massa air kaya-dinoflagelata dan menggantikannya dengan berbagai jenis diatom kecil yang tidak cocok sebagai makanan larva ikan ini. Akibatnya bisa diduga bahwa ikan anchovy utara kelas tahun 1975 akan menjadi sedikit.

Kesimpulan umum hasil penelitian seperti ini adalah bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan anchovy yang baru menetas merupakan fase yang sangat kritis karena kondisi yang menyediakan cukup makanan yang sesuasi tergantung pada adanya dinoflagelata berkonsentrasi tinggi pada kondisi yang relatif tenang. Angin kuat dari utara, yang menyebabkan upwelling, atau angin kencang dari arah lain yang mengaduk lapisan permukaan samudra, menyebabkan pemencaran semua masa air kaya-dinoflagelata yang penting. Hal ini merupakan kasus khusus teori Hjort (1914) yang menyatakan bahwa keberhasilan kelas tahun suatu ikan bergantung terutama pada kecukupan konsentrasi makanan yang cocok yang ada selama tahap pertama kali mencari-makan yang kritis. Salah satu fenomena yang masih membingungkan adalah mengapa biomas anchovy meningkat luar biasa sejak tahun 1950.

Penjelasan yang bagus mengenai hal ini dijumpai dalam makalah yang baru-baru ini ditulis oleh Methot dan Kramer (1979). Dengan menggunakan teknik yang baru saja dikembangkan untuk mengetahui cincin pertumbuhan harian dalam “sagittal otolith” (batu-telinga segitiga), mereka menentukan laju pertumbuhan larva anchovy utara berumur kurang dari sebulan dari dua belas stasiun di lepas pantai Los Angeles. Mereka menemukan bahwa pada sembilan stasiun pertumbuhannya serupa, yang berkisar dari 0,34 sampai 0,40 mm per hari untuk ikan sepanjang 8 mm, sedangkan pada tiga stasiun sisanya pertumbuhannya lebih baik, yaitu 0,47 sampai 0,55 mm per hari. Nilai ini bersesuaian dengan laju pertumbuhan yang diperoleh dari laboratorium pada kondisi makanan melimpah. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa larva anchovy yang memperoleh cukup makanan untuk bertahan hidup tampaknya memperoleh cukup energi untuk tumbuh dengan cepat. Mereka mempersoalkan apakah kelangsungan hidup larva-larva ini ditentukan terutama oleh makanan ataukah oleh pemangsaan, tetapi sayangnya tidak ada data yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Secara umum, tampak bahwa studi biologi anchovy utara ini bergeser dari dinamika populasi stok tunggal yang ketat ke pertimbangan hubungan makanan, tetapi informasi tersebut saat ini lebih terbatas daripada pengetahuan kita mengenai hubungan rantai makanan beberapa stok pelagis di Atlantik.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Jumat, 16 Oktober 2015

Interaksi Multispesies Dalam Stok Ikan

Arsip Cofa No. A 015
donasi dg belanja di Toko One


Teluk St. Lawence bagian selatan merupakan daerah pemijahan utama bagi ikan hering (Clupea harengus harengus) dan tenggiri (Scomber scombrus), dan interaksi antara kedua spesies ini telah dipelajari. Pada akhir tahun 1950-an stok ikan hering ada pada tingkat rendah, tampaknya sebagai akibat penyakit jamur. Mereka meningkat sampai mencapai biomas dugaan 1,9 x 106 ton pada tahun 1964, dan ini mendorong meningkatnya tekanan penangkapan yang hebat sehingga kembali menurunkan stok menjadi 0,36 x 106 ton. Tengiri juga berkurang jumlahnya oleh serangan jamur, tetapi stoknya tetap rendah sampai tahun 1967, setelah itu mereka mulai bertambah dengan cepat. Jelas bahwa saling-hubungan antara kedua biomas ikan ini memberikan dasar dugaan adanya interaksi kompetitif antara kedua spesies ikan pelagis tersebut yang memijah di daerah yang sama. Winters (1976) meneliti perubahan panjang dan berat rata-rata kelompok-kelompok pemijahan (umur 3 – 7 tahun) dan menunjukkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara biomas total hering dan tengiri di bagian selatan teluk tersebut (koefisien korelasi r = 0,94 untuk panjang dan 0,98 untuk berat). Saat meningkatnya biomas ikan tengiri diperkirakan ditentukan oleh suhu. Tenggiri adalah ikan pemijah pelagis yang membutuhkan suhu permukaan 11 – 18 oC dan periode setelah tahun 1965 merupakan musim-musim panas yang hangat yang sesuai bagi pemijahan dan kelangsungan hidup ikan tengiri. Plot logaritme rekruitmen terhadap logaritme suhu menunjukkan korelasi positif kuat dengan r = 0,82. Disimpulkan bahwa carrying capacity (daya dukung lingkungan) Teluk St. Lawrence bagian selatan untuk ikan pelagis adalah terbatas. Dan bahwa pertumbuhan ikan hering berespon dengan cara yang tergantung kepadatan terhadap biomas total hering dan tengiri sedangkan biomas tengiri ditentukan terutama oleh suhu pada tahun pertama kehidupannya.

Lett dan Kohler (1976) memperhatikan secara cermat interaksi kompetitif antara spesies-spesies ini, terutama interaksi larva, dan mengamatinya dengan bantuan model simulasi. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan ikan hering umur 2 – 10 tahun dapat dijelaskan secara cukup memuaskan dengan persamaan regresi :
Loge Ga = -4,701 loge Ya – 0,161 loge MY + (0,827 loge Ya) x (loge Tm) + 6,028
Di mana Ga adalah laju pertumbuhan sesaat (instantaneous growth rate) untuk kelas tahun Ya, MY adalah ukuran kelas-umur untuk tengiri kelompok-umur 0 x 106, dan Tm adalah suhu rata-rata bulanan maksimum pada suatu tahun. Dengan demikian, hanya kompetisi interspesifik nyata memperebutkan makanan pada kelompok-umur 0 saja yang didukung oleh data lapangan.

Dengan menggunakan laju pertumbuhan sesaat yang dihitung seperti di atas dan jumlah-jumlah untuk setiap kelas tahun, produksi P populasi ikan dewasa untuk setiap tahun bisa dihitung, dan diketahui bahwa kelimpahan larva dapat disesuaikan dengan persamaan regresi antara produksi ikan dewasa dan suhu sedemikian hingga bila suhu dipertahankan konstan pada 10 oC maka akan diperoleh korelasi yang sangat erat antara produksi ikan dewasa dan kelimpahan larva.

Ukuran kelas tahun untuk ikan hering YR bisa dihubungkan dengan kelimpahan larva LR dan total biomas pelagis BTP oleh persamaan :
Loge YR = 2,679 Loge LR – 5,000 x 10-5 (Loge LR)2 x BTP – 0,165 (Loge LR)2
Yang berarti bahwa pemangsaan oleh ikan tengiri dan kanibalisme oleh hering yang lebih tua merupakan faktor utama yang mempengaruhi ukuran kelas tahun juvenil hering.

Hubungan antara larva hering dan kompetitornya (ikan tengiri kelompok umur 0) dan predatornya (ikan hering dan tengiri) serta suhu air dapat digunakan dalam model simulasi stokastik untuk menduga biomas hering pada bagian selatan Teluk St. Lawrence. Telah ditunjukkan bahwa tanpa kehadiran tengiri, populasi hering dapat diharapan berfluktuasi di sekitar nilai 2,0 x 106 ton, tetapi dengan adanya 1 x 106 ton tengiri maka akan ada dua perbedaan : populasi hering menjadi lebih stabil, dan biomasnya akan menjadi kira-kira 0,8 x 106 ton. Plot biomas hering terhadap biomas tengiri menunjukkan bahwa nilai riil dan nilai hasil simulasi mengikuti kecenderungan yang sama, mekipun ada gangguan akibat upaya penangkapan yang berubah-ubah.

Telah ditunjukkan bahwa ikan tengiri kelas umur 0 berkompetisi dengan hering. Bila tengiri dieksploitasi dengan cara yang optimal maka ukuran tengiri kelas tahun 0 meningkat, dan kompetisinya dapat menyebabkan kegagalan peremajaan dalam stok hering. Lett dan Kohler (1976) menyimpulkan bahwa bila modelnya benar, tengiri sebaiknya dieksploitasi-kurang (under-exploitation) atau dieksploitasi-lebih, dengan tujuan melindungi hering. Hal ini mungkin kedengarannya aneh, hingga orang menyadari bahwa stok ikan-ikan tersebut berkembang bersama-sama sebagai spesies yang tak dieksploitasi, sampai baru-baru ini. Pandangan seperti ini hanya dapat diperoleh dari pertimbangan yang sangat mendetail mengenai interaksi antar spesies, dan sama sekali tidak dari studi intensif spesies yang diisolasi.

Akhir-akhir ini, Lett (1980) mengamati dengan cermat interaksi antara ikan tengiri dan cod di Teluk St. Lawrence. Larva cod melimpah ketika tengiri sedang memulihkan diri dari pemijahan dan makan dengan rakus, sehingga hal ini menjadi alasan yang baik bagi anggapan bahwa kepadatan populasi tengiri merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan cod. Rincian model ini, yang disusun dengan cara yang serupa dengan yang diuraikan di atas untuk hering dan tengiri, terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini. Bagaimanapun, salah satu penemuan utama adalah bahwa ketika biomas tengiri bervariasi antara 0,5 dan 1,5 x 106 ton timbul pengaruh besar terhadap perkiraan hubungan antara biomas dan tangkapan ikan cod. Faktor-faktor ini diyakini paling tidak ikut bertanggung jawab sebagian atas hubungan terbalik antara biomas ikan cod dan tengiri di teluk tersebut antara tahun 1950 dan 1980.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Selasa, 13 Oktober 2015

Prinsip-Prinsip Pencegahan Penyakit Ikan

Arsip Cofa No. A 014
donasi dg belanja di Toko One


Ciri-ciri penting strategi pencegahan penyakit ikan epizootik adalah praktek pemeliharaan yang baik dan pemonitoran yang tepat. Untuk mencapai tujuan ini, tindakan-tindakan berikut perlu dilakukan dengan efektif.

Disenfeksi Daerah Perairan
Pada awalnya kolam sebaiknya dikeringkan atau didisinfeksi. Pada kolam yang tidak dapat dikeringkan di mana pengeringan biasanya sulit dilakukan karena kelangkaan air untuk mengisinya kembali dan diperlukan saluran untuk mengalirkan air, disinfeksi kolam merupakan langkah yang paling sesuai. Pemakaian minyak biji tumbuhan mahua (Bassia latifolia) sebanyak 25 ppm atau serbuk pemutih (kapur berklorin) sebanyak 50 ppm dengan cepat membunuh semua spesies ikan liar, moluska, kecebong, kodok, kepiting, dll. dan juga akan mensucihamakan tanah dan air kolam.

Disinfeksi Peralatan
Semua peralatan seperti jaring, alat tangkap, peralatan plastik dan hapa ternyata ditempeli organisme patogen dan cukup berperan dalam penyebaran penyakit. Untuk mencegah penyebaran patogen dari satu daerah perairan ke daerah perairan lain maka peralatan tersebut sebaiknya dicuci dan dijemur dengan sempurna atau dicelupkan dalam larutan pekat disinfektan sebelum digunakan.

Disinfeksi Ikan
Umumnya disinfeksi ikan dilakukan dengan “memandikan” ikan secara rutin 4 kali setahun. Bahan kimia yang dipakai adalah Nace 3 – 4 % dan KMnO4. Bahan-bahan kimia ini biasanya dipakai untuk membasmi ektoparasit. Kepadatan penebaran yang tinggi sering menjadi penyebab utama stres pada ikan budidaya. Kepadatan yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu air, yang kemudian menyebabkan ikan mengalami stres. Bila ada ikan yang mati maka harus segera disingkirkan.
Penurunan keparahan gejala EUS pada tahun-tahun selanjutnya di berbagai negara memperkuat dugaan bahwa daya tahan terhadap penyakit perlahan-lahan terbentuk pada generasi-generasi yang berturutan. Penebaran stok ikan kebal-penyakit akan mencegah terjadinya penyakit tersebut, tetapi disarankan hanya dilakukan di daerah di mana penyakit telah berjangkit karena mereka bisa saja tidak tampak tetapi kemudian dapat menginfeksi dengan hebat ikan-ikan di daerah yang masih “bersih”. Penebaran spesies kebal-penyakit seperti Tilapia dilakukan besar-besaran selama musim EUS.

Pemberian Pakan Yang Cukup
Perawatan harus dilakukan untuk mempertahankan jumlah optimum pakan agar dapat melestarikan populasi ikan (yang biasanya padat) di dalam suatu perairan dengan sistem budidaya intensif dan semi intensif. Bila pakan alami tidak cukup maka harus diberi pakan tambahan dengan mutu yang baik. Kekurangan mutu dan jumlah pakan sering menyebabkan penyakit defisiensi gizi dan meningkatkan kerentanan terhadap banyak penyakit infeksi.

Pemisahan Ikan Muda dan Induk
Ikan-ikan dewasa dan induk sering berperan sebagai pembawa bibit patogen (carrier) tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis. Mereka kadang-kadang tetap bertahan hidup ketika terjadi penyakit epizootik karena telah membangun kekebalan tetapi bisa mengandung beberapa patogen. Untuk mencegah resiko ini perlakuan yang terbaik adalah memisahkan ikan muda dari ikan induk dan ikan lain. Hatchery seharusnya tetap mencatat perpindahan anak ikan (yang mencakup spesies, jumlah, ukuran dan alamat tujuan), sehingga bila terjadi penyakit maka lokasi wabah bisa ditelusuri.

Pengendalian Ikan Liar
Ikan liar sering membawa patogen yang dapat menyebabkan kerusakan serius bagi populasi ikan budidaya yang sangat padat. Banjir berkala (selama musim hujan) bisa menciptakan hubungan dengan ikan liar. Pertanian yang menerima pasokan arnya dari saluran irigasi atau dari sawah padi beresiko tinggi terkena infeksi sebagai mana dibuktikan selama berjangkitnya EUS. Bila wabah epizootik terjadi maka air kolam sebaiknya jangan diganti dan pematang kolam ditinggikan untuk mencegah masuknya air banjir.

Pengendalian Vektor dan Hama
Ikan budidaya merupakan bagian kompleks fauna di mana ada tiga tipe fauna lain yang berbahaya bagi ikan yang ikut menyusun kompleks tersebut (a) binatang yang berfungsi sebagai inang-antara parasit yang melengkapi siklus hidupya dalam tubuh ikan, misal binatang ini adalah siput. Siput sebaikhya dibunuh untuk diamati secara rutin. (b) Lintah yang berfungsi sebagai penular protozoa darah Cryptobia. Argulus juga merupakan parasit potensial yang dapat berperan sebagai vektor. (c) Beberapa binatang dan tumbuhan air (terutama plankton) yang selalu ada dalam habitat terkendali bisa mengalami ledakan populasi yang membahayakan ikan. Dalam kolam pemeliharaan (nursery pond) dan pembesaran (rearing pond) perlu diberi malation sebanyak 0,25 ppm 4 – 5 hari sebelum penabaran. Malation membasmi kopepoda besar yang muncul dalam jumlah banyak sebelum penebaran.

Pengaturan Karantina
Dalam rangka pencegahan penyakit ikan, perlu ditekankan bahwa pemasukan (introduksi) dan perpindahan ikan sebaiknya dikenai perlakuan karantina. Penyebaran ikan terinfeksi berperanan penting dalam menurunkan produktivitas ikan di Asia Tenggara. Hanya sedikit perhatian diarahkan pada kemungkinan bahwa ikan dan invertebrata impor juga dapat membawa penyakit dan parasit luar yang berbahaya. Lilley et al. (1992) berpendapat bahwa cepatnya penyebaran sindrom borok (ulcerative syndrome) melintasi daerah aliran sungai, laut dan batas-batas negara, memperkuat dugaan bahwa kemungkinan besar manusia bertanggung jawab atas penyebaran EUS, baik di dalam negeri maupun melintasi batas-batas antar negara. Karena itu perlu dimantapkan sistem karantina ikan yang didukung undang-undang.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Metode Diagnosis Penyakit Ikan Epizootik

Arsip Cofa No. A 013
donasi dg belanja di Toko One


Adanya suatu kondisi penyakit ikan terwujud melalui suatu ketidaknormalan. Diagnosis pada dasarnya merupakan suatu pengenalan ketidaknormalan ini dan menentukan penyebabnya dengan mengikuti serangkaian prosedur yang dikembangkan melalui pengalaman selama bertahun-tahun oleh para peneliti penyakit ikan.

Monitoring Kesehatan Ikan
Aspek ini penting karena melalui monitoring berkala terhadap kondisi kesehatan pada suatu daerah tertentu maka penyimpangan-penyimpangan dari kondisi kesehatan normal pada ikan dapat ditentukan. Penting bagi para pekerja kesehatan ikan untuk memperoleh informasi dasar melalui monitoring secara teratur sehingga masalah-masalah kesehatan ikan dapat dideteksi.
Informasi umum mengenai ikan yang perlu dicatat :
1. Gerak (reflek meloloskan diri)
2. Tingkah laku makan (rakus, lamban, bersembunyi)
3. Penampilan eksternal (berlendir atau kasar)
4. Mortalitas (data terakhir)
5. Kondisi umum (umur, berat, faktor kondisi)
6. Pengujian ikan (parasit, histologi mikroorganisme, darah)

Informasi umum mengenai lingkungan ikan yang perlu dicatat :
1. Deskripsi lokasi
2. Tipe badan perairan
3. Pasokan air (air hujan, irigasi, air selokan, sumur-dalam)
4. Tumbuhan air dan tumbuhan darat di sekitar daerah perairan tersebut
5. Tipe dasar kolam
6. Binatang yang hidup berasosiasi di daerah perairan tersebut (plankton, bentos, amfibi, burung)
7. Perubahan lingkungan yang terakhir
8. Pengujian kualitas air (suhu, warna. kejernihan, pH, alkalinitas, keasaman, kesadahan, amonia, klorida, oksigen terlarut, hidrogen sulfida, karbon dioksida bebas).

Metode Sampling
Ikan : Sampling untuk tujuan monitoring rutin bervariasi dalam situasi di mana ikan ditemukan mati. Biasanya metode sampling ini memperhatikan :
1. Ukuran sampel : ukuran sampel disesuaikan dengan ukuran populasi yang disampling, dan sesuai dengan derajat yang dikehendaki peluang ditemukannya patogen secara merata.
2. Ikan yang hampir mati merupakan contoh terbaik untuk pengujian di daerah perairan dalam hal masalah kesehatan ikan.

Prosedur Sampling Lapangan
Bell (1978) memperkenalkan tiga kemungkinan penyebab kematian pada populasi ikan liar.
a. Stres lingkungan atau keracunan – Ini ditandai oleh kematian serentak yang bersifat non selektif pada ikan-ikan dari berbagai kelompok umur dan bahkan sering pula ikan-ikan dari berbagai spesies.
b. Infeksi mikroba (virus, bakteri, protozoa, jamur). Ini dicirikan oleh kerusakan jaringan internal dan/atau eksternal makroskopik di bawah kulit dan serta ketidaknormalan lain seperti haemorrhagi, pembengkakan, koreng (ulcer), pemudaran warna, pemucatan insang yang menunjukkan kerusakan daun insang, sirip robek-robek, insang dan kulit ditutupi banyak lendir tebal. Biasanya hanya satu spesies ikan yang diserang. Kematian relatif cepat.
c. Metazoa – Ekto atau endoparasit ataupun keduanya mudah dilihat dengan mata telanjang. Kematian seringkali lambat.

Prosedur sampling lapangan untuk pengujian rutin dan selama berjangkitnya penyakit (untuk mengidentifikasi penyebabnya) bisa berubah-ubah. Pada kondisi lapangan di mana fasilitas untuk melakukan pengujian yang memerlukan laboratorium tersedia maka seorang petugas diagnostik bisa menjalankan metode-metode diagnosis tetapi bila fasilitas seperti ini tidak tersedia dan ikan hidup tidak dapat diangkut maka sampel jaringan ikan (seperti insang, ginjal, limfa atau organ yang terlihat terserang) bisa dikumpulkan dengan metode standar yang diketahui untuk penelitian virus ataupun bakteri atau untuk penerapan metode histologis.
Sampel darah : Pengumpulan sampel memerlukan kecermatan dan keseragaman metode pengumpulan untuk menjamin kesamaannya. Sampel dikumpulkan di lapangan dengan stres minimum misalnya dengan bantuan obat bius. Untuk darah yang disampling di lapangan paling baik diperoleh dengan melukai batang ekor.
Sampel bakteriologis : Tenik bakteriologis standar digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri patogen. Sebagian besar sampel bakteriologi diuji dengan teknik inokulum lempengan (plate inoculum technique). Cawan petri yang berisi agar-agar zat hara padat dipakai sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri.
Sampel parasit : Sampel parasit dikumpulkan dan disimpan untuk pengujian laboratorium dengan menggunakan prosedur standar.
Protozoa : Disiapkan sebagai timbunan atau pulasan sementara yang diwarnai dengan larutan lugol ataupun diwarnai dengan metode haematoxylin besi Heidenhain atau Giemsa. Ciliata urceolariidae disiapkan sebagai pulasan kering-udara dan diwarnai dengan teknik peresapan perak Kleins.
Parasit helminthes : yakni, monogenea dan acanthocephala dikumpulkan dalam garam fisiologis dan diawetkan di dalam AFA.
Parasit krustasea : Dikumpulajn dan diawetkan di dalam formalin 10 % dan diamati di bawah sediaan asam laktat.
Air : Sampel air paling baik dianalisa di lapangan dengan menggunakan alat-alat kimiawi (misal, Hach). Untuk pengujian laboratorium digunakan metode kimia standar lainnya.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Sabtu, 03 Oktober 2015

Luas Area Budidaya Mempengaruhi Keberhasilan Pijah Rangsang Bandeng

Arsip Cofa No. A 012
donasi dg belanja di Toko One


Pada penelitian yang dilakukan oleh Marte et al. (1988) dengan ikan bandeng yang dipelihara dalam berbagai ukuran jaring apung, bandeng mencapai pertumbuhan normal tetapi tidak pernah matang gonad di dalam jaring apung berdiameter kurang dari 6 meter (28,3 m2). Fasilitas pemeliharaan lain di mana bandeng dilaporkan matang gonad paling tidak berdiameter 6 meter atau lebih (Kelley dan Lee, 1986). Mungkin keterbatasan ruang yang luasnya kurang dari 28 m2 tidak menyediakan cukup area renang bagi bandeng yang sangat aktif. “Stres kronis” akibat keterbatasan ruang ini mungkin menghambat daya respon sumbu pituitari-gonad pada ikan yang dipelihara dalam jaring apung kecil. Selain itu, bandeng yang dipelihara dalam jaring apung mungkin masih memiliki sifat sebagai ikan liar dan lebih peka terhadap stres penangkapan dan stres penanganan daripada bandeng yang dipelihara dalam tangki. Hal ini sebagian bisa menjadi sebab respon negatif ikan dalam beberapa percobaan.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Merangsang Kematangan Gonad Bandeng Muda

Arsip Cofa No. A 011
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya untuk merangsang kematangan gonad tahap dini pada bandeng belum-matang gonad umur 5 atau 6 tahun memberikan hasil negatif. Ikan umur 6 tahun yang pernah memijah juga tetap menyusut gonadnya. Bandeng umur 5 dan 6 tahun dipelihara dalam jaring apung berdiameter 5 meter dan dibiarkan tak diganggu kecuali ketika perawatan jaring yang kadang-kadang dilakukan hingga mereka dipindahkan ke jaring apung berdiameter 6 meter pada awal percobaan. Ikan yang pernah memijah juga dipindah dari jaring apung berdiameter 10 meter hanya selama perlakuan awal. Pemindahan ini mungkin cukup mengganggu fungsi pituitari atau gonad. Efek negatif stres penanganan ini diduga kuat menjadi penyebab kegagalan bandeng tidak-matang gonad dalam berespon terhadap pemberian gonadotropin dan steroid pada percobaan-percobaan terdahulu (Lacanilao et al., 1985). Dalam studi ini, ikan dipelihara dalam jaring apung berdiameter 3 meter dan ditangani secara berulang. Ikan dari stok yang sama dengan yang digunakan dalam percobaan perangsangan hormonal, dipelihara dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan sama sekali tak diganggu, matang gonad dan memijah selama periode ketika percobaan perangsangan dengan hormon dilakukan (Lacanilao dan Marte, 1980; Marte dan Lacanilao, 1986). Demikian pula, ikan yang dibiarkan dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan ikan umur 6 tahun yang pernah memijah mulai melakukan pemijahan pada bulan April. Total 31 pemijahan diperoleh dari stok ini sejak 10 April sampai Oktober (Marte, 1988).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Selasa, 29 September 2015

Pengaruh Suhu dan Musim Terhadap Keberhasilan Pijah Rangsang Pada Ikan Bandeng

Arsip Cofa No. A 009
donasi dg belanja di Toko One


Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu bahwa ikan bandeng yang diberi perlakuan kronis metil testosteron + LHRH-A memiliki laju pematangan gonad yang tinggi, hasil penelitian yang dilakukan Marte et al. (1988) menunjukkan sedikit kemajuan pada ikan yang diberi testosteron atau testosteron + GnRH-A. Pada beberapa percobaan, ikan diduga matang gonad secara spontan karena ikan yang telah matang gonad dengan persentase tinggi diperoleh baik dari kelompok yang diberi pelakuan maupun kelompok kontrol 9 – 12 minggu sejak pencangkokan. Di Hawaii, laju pematangan gonad ikan yang diberi hormon adalah rendah dalam bulan April dan memuncak hanya pada Juli (Lee et al., 1986). Perbedaan hasil-hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sejarah reproduki ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan di Hawaii diduga merupakan ikan yang baru pertama kali matang gonad sedangkan ikan dalam penelitian ini adalah induk yang sudah pernah memijah. Suhu air laut lebih rendah di daerah Hawaii (22 – 26 oC) daripada suhu air dalam fasilitas yang dipakai dalam penelitian ini (26 – 32 oC).

Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya. Di Hawaii, musim pemijahan bandeng adalah pada bulan Juli (Kuo dan Nash, 1979) dan percobaan untuk merangsang kematangan gonad dimulai pada bulan Januari, 6 bulan sebelum musim pemijahan (Lee et al., 1986). Jumlah ikan telah matang-gonad pada kelompok yang diberi hormon pada awalnya rendah tetapi meningkat ketika mendekati puncak musim pemijahan. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari, 3 bulan sebelum puncak musim pemijahan bandeng. Bisa diharapkan bahwa pematangan gonad dimulai pada saat ini dan pemberian hormon berpengaruh sedikit terhadap peningkatan laju pematangan gonad yang sudah tinggi itu (Marte et al., 1988).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 27 September 2015

Merangsang Spermiasi Ikan Bandeng Dengan Hormon LHRH-A

Arsip Cofa No. A 009
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa pencangkokan LHRH-A dapat merangsang dan mempertahankan spermiasi pada bandeng jantan matang-gonad. Penyuntikan intraperitoneal LHRH-A dalam air garam atau dalam propilen glikol 40 %, pencangkokan 1,5 mg/kg LHRH-A dalam silastik atau 25 mikrogram/ikan D-Nal(2)6-LHRH dalam pelet kolesterol merangsang spermatogenesis dan spermiasi pada ikan salmon Atlantik (Crim et al., 1983; Well dan Crim, 1983; Crim, 1984). Penyuntikan LHRH-A juga merangsang spermiasi dan meningkatkan volume sperma pada ikan mas (Billard et al., 1983; Takashima et al., 1984; Ngamvongchon et al., 1987). Sedikit perhatian diarahkan pada spermiasi bandeng jantan kecuali dalam sebuah laporan terdahulu di mana spermiasi pada ikan jantan liar dipertahankan selama 8 hari dengan menggunakan sediaan androgen komersial (Durandron Forte 250, Organon; Juario et al., 1980). Spermiasi dipertahankan pada bandeng yang dicangkoki secara kronis dengan metil testosteron yang dikombinasikan dengan pelet LHRH-A tetapi ikan jantan hanya menunjukkan sedikit respon terhadap LHRH-A (Lee et al., 1986).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Upaya Merangsang Pemijahan Gonad Bandeng Dengan Hormon

Arsip Cofa No. A 008
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya-upaya yang pertama kali dilakukan untuk merangsang kematangan gonad pada juvenil ikan bandeng tidak berhasil. Ikan yang belum matang gonad atau induk bandeng liar dengan gonad telah menyusut tidak berespon terhadap gonadotropin (GtH) atau berbagai kombinasi GtH dan steroid. Teknik mutakhir yang melibatkan pemberian secara kronis testosteron saja atau dikombinasikan dengan analog luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH-A) efektif untuk merangsang agar gonad berkembang sangat cepat pada ikan rainbow trout yang belum matang gonad (Crim dan Evans, 1983; Magri et al., 1985). Mekanisme di belakang perangsangan kecepatan perkembangan ini tampaknya merupakan aksi umpan balik positif testosteron terhadap sekresi GtH pituitari. Sejumlah studi menunjukkan bahwa testosteron atau androgen lain yang dapat-diaromatisasi merangsang penimbunan GtH pituitari (Crim dan Peter, 1978; Crim dan Evans, 1979, 1982, 1983; Crim et al., 1981). Dengan adanya aktivitas LHRH-A dalam melepaskan GtH, konsentrasi GtH yang bersirkulasi meningkat, yang selanjutnya merangsang gonad (Peter, 1983).

Marte et al. (1988) menambahkan bahwa strategi ini telah berhasil diterapkan untuk merangsang perkembangan gonad pada bandeng yang dipelihara dalam tangki di Hawaii. Pemberian secara kronis cairan 17a-metiltestoseron (MT) dalam bentuk kapsul silastik bersama-sama dengan pelet kolesterol LHRH-A merupakan cara efektif untuk meningkatkan persentase ikan bandeng yang matang gonad.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Senin, 21 September 2015

Kematangan Gonad Bandeng Budidaya Secara Alami

Arsip Cofa No. A 007
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) melaporkan bahwa ikan bandeng secara spontan matang gonad pada berbagai kondisi pemeliharaan (Lam, 1984; Kuo, 1985; Kelley dan Lee, 1986) tetapi faktor-faktor yang memicu kematangan gonad pertama kali belum dipahami dengan baik. Di Taiwan dan Hawaii, ikan bandeng yang dipelihara di dalam tangki secara spontan matang gonad untuk pertama kali pada umur 6 tahun atau lebih, tetapi persentase ikan yang mencapai kematangan sempurna adalah rendah (Liao dan Chen, 1984; Lee et al., 1986) dan tidak ada yang memijah tanpa rangsangan hormon. Pematangan dan pemijahan ikan bandeng yang dipelihara dalam kolam di Taiwan telah dilaporkan (Lin, 1982, 1984). Bagaimanapun, ikan pertama kali matang gonad pada umur 9 sampai 10 tahun. Demikian pula, bandeng umur 11 – 12 tahun yang dipelihara dalam tangki di Gondol, Indonesia, matang gonad dan memijah secara spontan (Vanstone, 1986). Kematangan gonad secara spontan dan pemijahan alami terjadi pada hampir semua bandeng umur 5 tahun yang dipelihara dalam kurungan (Lacanilao dan Marte, 1980; Marte dan Lacanilao, 1986).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A

Arsip Cofa No. A 006
donasi dg belanja di Toko One


Marte et al. (1988) telah melakukan sembilan percobaan untuk meneliti pengaruh pemberian secara kronis (menahun) hormon testosteron dan analog hormon pelepas gonadotropin tehadap kematangan pertama kali ikan bandeng umur 4 – 6 tahun dan pematangan kembali ikan umur 6 sampai lebih dari 9 tahun yang gonadnya telah menyusut/telah dikeluarkan isinya.

Pencangkokan hormon testosteron (T) atau T yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone-releasing hormone analogue (LHRH-A) tidak banyak berpengaruh terhadap laju pematangan gonad ikan bandeng umur 4 tahun. Persentase ikan matang gonad adalah rendah dan sama dengan kontrol pada percobaan 1 (T, 31 – 35 %; kontrol, 35 %) dan percobaan 3 (T, 13 %; T plus LHRH-A, 28 %; kontrol, 22,2 %). Kebanyakan ikan umur 4 tahun yang matang gonad adalah jantan; betina matang gonad hanya diperoleh dari kelompok yang dicangkoki T pada percobaan 1. Pada percobaan 3, betina matang gonad yang dicangkoki T dapat menahan telur-telur yang berkuning telur, sedangkan ikan betina kontrol yang matang gonad tidak dapat, hal ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin meningkatkan vitelogenesis dan mempertahankan kesatuan oosit vitelogenik. Ikan betina umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki, sekitar setengah ukuran ikan betina lebih tua yang pertama kali matang gonad, dirangsang untuk memijah. Hal ini merupakan masus pertama pematangan dan pemijahan bandeng umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki (Marte et al., 1988).

Marte et al., (1988) menambahkan bahwa seperti pada percobaan 1 dan 3, persentase ikan dengan gonad telah dikeluarkan isinya yang matang kembali pada percobaan 7 dan 8 serupa dengan yang dicangkoki-T dan kontrol. Sebaliknya, ikan umur 4 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 2 dan 4, ikan umur 5 dan 6 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 5 dan 6, serta ikan umur 6 tahun dengan gonad telah dikeluarkan isinya pada percobaan 9 tetap tidak matang gonad atau gonadnya menyusut semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil percobaan ini mencakup umur dan sejarah reproduktif ikan, waktu pencangkokan hormon, kondisi percobaan dan pemeliharaan, serta stres.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 16 September 2015

Peran Kalsium dan Magnesium Dalam Penyerapan Kadmium Oleh Ginjal

Arsip Cofa No. A 004
donasi dg belanja di Toko One


Kasprzak dan Poirier (1983) melakukan penelitian mengenai pengaruh kalsium dan magnesium asetat terhadap distribusi kadmium dalam jaringan tubuh tikus Wistar. Secara fisiologis garam-garam bervalensi dua, seperti mangan, seng, magnesium dan kalsium, memperlihatkan aksi yang berlawanan dengan aksi logam-logam penyebab kanker, yaitu kadmium, nikel dan timah hitam. Mekanisme kerja logam-logam bervalensi dua ini masih belum jelas. Pada studi kami, di mana magnesium – tapi tidak berlaku bagi kalsium – ternyata mencegah pertumbuhan kanker pada lokasi penyuntikan kadmium klorida, sehingga disimpulkan bahwa efek pencegahan yang dimiliki kalsium mungkin ditimbulkan oleh menurunnya jumlah kadmium yang diikat oleh jaringan sasaran.

Kasprzak dan Poirier (1983) melaporkan bahwa penyerapan kadmium oleh jaringan, distribusi dan konsentrasinya yang ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian terdahulu (Lucius et al., 1972; Hordberg, 1972; Kotsonis dan Klaassen, 1977). Konsentrasi kadmium awal dalam jaringan tidak selalu sebanding dengan dosis penyuntikan. Bila dosis penyuntikan dilipat-duakan maka peningkatan konsentrasi kadmium yang bersesuaian dialami oleh darah, hati, ginjal, pankreas, jantung, paru-paru dan kulit yang jauh dari lokasi penyuntikan, tetapi tidak dialami oleh kulit pada lokasi penyuntikan itu sendiri atau oleh limfa dan testes. Pada lokasi penyuntikan pemberian kedua macam dosis CdCl2 , praktis menghasilkan laju penyerapan kadmium yang sama. Pada limfa dan testes, penyerapan CdCl2 dosis tinggi selama empat hari pertama melebihi dua kali lipat; kedua organ ini diketahui sangat peka terhadap sifat racun kadmium (Bondia et al., 1980; Suzuki et al., 1981) Konsentrasi kadmium pada lokasi penyuntikan menurun pada hari ke-4 sampai hari ke-45, baik pada kelompok dosis tinggi maupun dosis rendah. Pada tikus yang diberi dosis rendah, tetapi tidak pada tikus yang diberi dosis tinggi, penurunan ini umumnya bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi kadmium pada jaringan yang jauh dari lokasi penyuntikan pada hari ke-4 sampai ke-15. Pengamatan ini memperkuat dugaan bahwa kadmium perlahan-lahan dilepaskan dari lokasi penyuntikan dan diserap oleh jaringan-jaringan lain yang kapasitas pengikatannya belum terlampaui.

Kalsium asetat dan magnesium asetat yang diberikan bersama CdCl2 sangat mempengaruhi penyerapan kadmium. Bagaimanapun, hampir semua pengaruh ini tampaknya merupakan akibat tak langsung dari interaksi antara logam-logam tersebut dengan jaringan-jaringan pada lokasi penyuntikan, jadi bukan dari interaksi masing-masing organ atau jaringan secara terpisah. Jadi, kalsium asetat, yang meningkatkan lama penyimpanan kadmium pada lokasi penyuntikan, mengurangi timbunan kadmium pada jaringan-jaringan lain. Sebaliknya, pemberian magnesium asetat menghambat penimbunan kadmium pada lokasi penyuntikan sehingga meningkatkan lama penyimpanan logam ini pada jaringan-jaringan lain. Sangat mungkin, perbedaan pola penyerapan kadmium pada lokasi penyuntikan merupakan akibat dari perbedaan pengaruh antara kalsium asetat dan magnesium asetat terhadap pembuluh darah. Kalsium, melalui aksinya dalam mempengaruhi otot polos pembuluh darah agar berkontraksi (Aikawa, 1981), akan merintangi aliran darah sehingga memperlambat mobilisasi kadmium. Magnesium, yang sifatnya bertolak belakang dengan kalsium dalam masalah ini (Aikawa, 1981), akan menghasilkan efek yang berlawanan pula.

Hasil penelitian ini secara umum mendukung dugaan kami bahwa efek penyebab-kanker (carcinogenesis) yang ditimbulkan oleh kadmium dihambat oleh magnesium asetat melalui aksi penghambatan terhadap pengikatan agen penyebab-kanker pada jaringan sasaran (Kasprzak et al., 1983). Bagaimanapun, penghambatan terhadap pengikatan kadmium oleh magnesium asetat berjalan tidak sempurna dan pengaruh dosis kadmium terhadap pembentukan kanker pada lokasi penyuntikan tidak jelas. Jadi, penurunan penyerapan kadmium adalah mungkin, tetapi hal ini tidak selalu berkaitan dengan kemampuan magnesium dalam menghambat efek karsinogenik kadmium.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Selasa, 08 September 2015

Peran Protein Dalam Penyerapan Kadmium oleh Ginjal

Arsip Cofa No. A 003
donasi dg belanja di Toko One


Templeton dan Cherian (1983) menyatakan bahwa berbagai bentuk senyawa kadmium memperlihatkan perbedaan menyolok dalam hal distribusi pada jaringan dan daya racunnya. Telah diketahui bahwa penyuntikan garam-garam Cd2+ ke dalam tubuh binatang percobaan menyebabkan sejumlah besar kadmium tertimbun dalam hati, karena Cd yang terikat lemah oleh protein plasma mudah diserap oleh sel-sel hati. Kadmium yang diberikan sebagai kompleks metalotionin-Cd terikat kuat pada protein ini (log ß3 = 25,5), dan kompleks metalotionin-kadmium disaring-hisap oleh glomerulus. Akibatnya, kadmium mengendap di dalam tubula proksimal ginjal. Kompleks chelat Cd-tiolat berberat molekul rendah memperlihatkan distribusi sedang, dan pengendapan kadmium dalam ginjal berkaitan dengan kestabilan kompleks antara senyawa kadmium dengan chelator.

Kadmium yang terikat pada polimer MT lebih lama bersirkulasi bersama darah dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain senyawa kadmium yang dapat larut. Polimer-polimer ini mengikat Cd dengan kuat, seperti yang dilakukan MT, tetapi menghambat penyaringan oleh glomerulus ginjal. Hasil penelitian Templeton dan Cherian (1983) ini bisa disamakan dengan data yang diperoleh Pesce et al. mengenai hubungan antara koefisien penyaringan oleh glomerulus ginjal dengan panjang jari-jari molekul protein. Semua bentuk MT merupakan asam protein dan bermuatan negatif tinggi pada pH filtrat plasma darah. Akibatnya, perbedaan filtrasi ditentukan terutama oleh ukuran protein. Ada dugaan kuat bahwa ukuran protein merupakan faktor utama yang menentukan pengendapan kadmium dalam ginjal. Polimer-polimer ini tercakup dalam kisaran kritis untuk penyaringan, dan dengan demikian berguna untuk memeriksa mekanisme pembersihan ginjal. Sebagai akibat terhambatnya pembersihan plasma darah dari kadmium yang terikat pada polimer-polimer ini, maka sistem retikulo endotelial juga berperanan dalam menyingkirkan bentuk-bentuk senyawa kadmium ini dari darah.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Minggu, 06 September 2015

Penyerapan Kadmium dan Tembaga Pada Sel-Sel Hati Tikus Yang Diisolasi

Arsip Cofa No. A 002
donasi dg belanja di Toko One


Din dan Frazier (1983) mempelajari penyerapan kadmium dan tembaga pada sel-sel hati tikus yang diisolasi. Kadmium diketahui menyebabkan keracunan akut dan kronis pada manusia. Bila hewan-hewan laboratorium dikenai kadmium melalui pembuluh darah, lebih dari 90 % dosis yang dimasukkan telah diserap dari plasma darah dalam waktu 15 menit dan 50 – 70 % dari dosis awal tertimbun di dalam hati. Penyerapan kadmium di dalam hati memainkan peranan penting dalam penyebaran logam ini melalui pembuluh darah, dan hal ini menyebabkan keracunan logam berat. Walau demikian, mekanisme proses penyerapan ini tetap tidak diketahui. Frazier et al. (1976) telah mempelajari kinetika transportasi kadmium dalam sel hati yang diisolasi dan memperkirakan bahwa penyerapan kadmium ke dalam hati berlangsung melalui aksi gabungan difusi sederhana dan proses penyerapan-berperantara (carried-mediated process). Stacey et al. (1980) telah mempelajari lebih jauh penyerapam kadmium pada sel-sel hati tikus yang diisolasi. Dalam penelitian mereka, penyerapan kadmium menunjukkan kinetika penyerapan dua-fase pada kisaran dosis 25 – 800 mikromol. Bagaimanapun, konsentrasi ini sangat tinggi dan proses penyerapan-berperantara mungkin telah terhenti. Selain itu, keracunan-tak kentara yang disebabkan kadmium dapat terjadi.

Pada konsentrasi-konsentrasi yang diamati dalam penelitian ini, baik kadmium maupun tembaga menunjukkan kinetika yang dapat-dijenuhkan selama penyerapan. Adanya pra-perangsangan seng–metalotionin di dalam sel-sel hati tidak berpengaruh pada kinetika penyerapan kedua logam tersebut. Data ini memperkuat dugaan bahwa penyerapan logam dibatasi oleh kemampuan menembus membran pada konsentrasi fisiologis. Bila difusi sederhana merupakan mekanisme dominan maka tingginya kemampuan pengikatan yang dimiliki sitosol akan bertindak sebagai faktor penyerap logam ke dalam sel sehingga meningkatkan laju penyerapan. Setelah kadmium masuk ke dalam sel, kadmium terdistribusi kembali di dalam sel dalam waktu 6 jam, akibat perangsangan oleh metalotionin (MT). Tidak ada sintesis MT yang dapat dideteksi pada konsentrasi-konsentrasi tembaga yang diamati di sini. Diperkirakan bahwa pada tingkat seluler, kadmium mungkin lebih kuat dirangsang oleh MT daripada yang dialami oleh tembaga. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis ini, pengaruh logam-logam tersebut harus dipelajari lebih mendetail dalam rangka menghilangkan kemungkinan efek racun logam-logam ini (Din dan Frazier, 1983).

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 02 September 2015

Zonasi Hutan Bakau

Arsip Cofa No. A 001
donasi dg belanja di Toko One


Macnae (1968) menjelaskan zonasi hutan bakau di daerah Indo Pasifik barat. Tiga skema telah diusulkan untuk menggambarkan zonasi mangrove, dua di antaranya mendasarkan zonasi pada sifat-sifat fisik lingkungan sedangkan skema ketiga, yang lebih praktis, memberi nama zona berdasarkan genus dominan yang tumbuh pada masing-masing zona.

1. Watson (1928) yang memelopori studi mangrove Malaysia mengemukakan lima kelas berdasarkan frekuensi perendaman air pasang :
a. Spesies yang tumbuh di daerah yang terendam oleh segala jenis pasang : secara normal tidak ada spesies yang dapat tumbuh pada kondisi semacam ini, kecuali Rhizophora mucronata.
b. Spesies yang hidup di daerah yang terendam oleh pasang medium : spesies-spesies dari genus Avicennia, A. alba, A. marina smile emotikon A. intermedia) dan Sonneratia griffithii, serta penghuni tepian sungai, Rhizophora mucronata.
c. Spesies yang tumbuh di daerah yang digenangi oleh air pasang normal : kebanyakan mangrove tumbuh subur pada kondisi seperti ini tetapi Rhizophora cenderung mendominasi.
d. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya digenangi oleh air pasang purnama : daerah-daerah semacam ini agak terlalu kering bagi Rhizophora tapi cocok untuk Bruguiera gymnorhiza dan B. cylindrica.
e. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya terendam oleh air pasang equinoktial atau air pasang yang tak normal lainnya : Bruguiera gymnorhiza dominan tetapi Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatus masih bisa hidup.

2. De Haan (1931) memasukkan salinitas air tanah sebagai faktor pengendali distribusi dan ketergenangan oleh air pasang sebagai faktor tambahan.
A. Zona berair payau sampai asin dengan salinitas pada saat pasang sebesar 10 – 30 ‰.
1. Daerah yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari sebulan.
2. Daerah yang tergenang pasang 10 – 19 kali per bulan.
3. Daerah yang terendam pasang 9 kali atau kurang dalam sebulan.
4. Daerah yang terendam air pasang hanya beberapa hari dalam satu tahun.
B. Zona berair tawar sampai payau dengan salinitas antara 0 – 10 ‰.
1. Daerah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut.
2. Daerah yang secara musiman terendam air pasang.

Jelas bahwa zona A-1 dan A-4 sama dengan kelas (a) dan (e) pada zonasi menurut Watson; zona A-2 bertumpang tindih dengan kelas Watson (b) dan (c) sedangkan zona A-3 bertumpang tindih dengan (c) dan (d). Zona B-1 mencakup baik asosiasi barringtonia asiatica maupun asosiasi nypa, dan zona B-2 meliputi daerah gambut dan hutan rawa lainnya serta daerah yang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus.

3. Walter dan Steiner (1936) yang mempelajari mangal (hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang) di Tanga, Afrika Timur, memberi nama zona berdasarkan tumbuhan dominan. Pemikiran mereka diikuti oleh Macnae dan Kalk (1962) serta dikembangkan dan diperluas oleh Macnae (1966) agar dapat diterapkan untuk berbagai daerah mangrove. Mereka membedakan beberapa zona sebagai berikut.
1. Daerah yang mengarah ke daratan.
2. Zona semak-semak ceriop.
3. Zona hutan bruguiera.
4. Zona hutan rhizophora.
5. Zona avicennia yang mengarah ke laut.
6. Zona sonneratia.

Tiga zona pertama bisa mengalami modifikasi, dan zona terakhir tidak terdapat pada semua pantai karena ia terbatas di daerah pantai yang hangat.
A. Daerah yang mengarah ke daratan (landward fringe)
Zona ini paling bervariasi dari semua zona mangal. Komponen utama tanah yang ditempatinya bisa berupa pasir atau lumpur; mereka bisa hidup di daerah yang sangat kering maupun daerah yang sering terendam air; tanahnya bisa subur bila berasal dari batu vulkanik muda; atau miskin (gersang) bila berasal dari batu granit atau kuarsa tua; tanahnya juga mungkin berkapur, yang berasal dari batuan kapur, atau bergambut yang kaya materi organik. Salinitas air tanah bisa tinggi bisa rendah. Semuanya menghasilkan sifat-sifat yang bervariasi. Pada daerah ini dapat ditemukan asosiasi barringtonia dan asosiasi nypa.

a. Asosiasi barringtonia
Asosiasi ini didominasi oleh spesies Barringtonia yang tumbuh dalam dua tipe lingkungan yang berbeda.
i. Asosiasi Barringtonia asiatica. Asosiasi dengan Barringtonia asiatica smile emotikon B. speciosa) sebagai spesies dominan atau spesies yang sangat menyolok terletak di belakang asosiasi pes-caprae pada pantai berpasir. Asosiasi ini seringkali terdiri dari beberapa jenis pohon yang bisa hidup di ekoton mangal, misalnya Terminalia catappa, Thespesia populnea dan Pandanus tectorius.
ii. Asosiasi Barringtonia racemos. Asosiasi ini tampaknya mencapai perkembangan maksimum di sepanjang pantai bagian timur Afrika, antara Kenya dan Natal, serta sebagian daerah selatan Jawa. Di Afrika bagian Timur ia cenderung menempati tanah yang sangat kering sekali di belakang dan di bagian atas mangal. Jadi asosiasi ini setara dengan asosiasi nypa yang banyak tumbuh di Asia Tenggara.

b. Asosiasi nypa
Asosiasi ini merupakan salah satu asosiasi yang paling penting, dan dilihat dari udara ia tampak paling menyolok di antara seluruh mangal yang ada di daerah Indo-Malaysia dan Asia Tenggara. Ia menempati daerah yang luas, seringkali sangat luas, di bagian tanah yang digenangi oleh air pasang purnama. Ciri yang menarik dari daerah yang ditempati oleh asosiasi ini adalah banyaknya gundukan tanah tinggi (sampai setinggi 3 meter) bekas tanah galian liang kepiting Thalassina anomala dan hal ini berpengaruh positif terhadap asosiasi nypa tersebut.
Dalam asosiasi ini pohon Heritiera littoralis, pohon Xylocarpus granatus, X. moluccensis, Bruguiera sexangula, B. gymnorhiza atau Lumnitzera littorea tumbuh subur di tempat yang lebih tinggi sedangkan pohon Rhizophora apiculata hanya sebagian hidup di tempat yang lebih rendah. Juga sering dijumpai Excoecaria agallocha, Bruguiera cylindrica dan Sonneratia caseolaris. Hibiscus tiliaceus dan spesies dari genus Pandanus juga tumbuh di daerah di mana air hampir tawar.

B. Zona semak ceriops
Ceriops tagal terdapat mulai dari perbatasan Mozambik-Natal meluas sampai sepanjang pantai timur Afrika dan Madagaskar melalui India dan Srilangka terus ke Taiwan (Formosa) di sebalah utara dan Queensland dan Kaledonia Baru di sebelah selatan. Ia merupakan mangrove yang jarang mencapai dimensi pohon, mereka lebih sering berupa perdu dengan tinggi antara 1 – 6 meter.
Di daerah-daerah Malaysia dan Indonesia yang kadang-kadang basah, zona ceriops tidak tampak menyolok. Di sini Ceriops tumbuh di dalam hutan bruguiera atau, seperti di Sabah dan semenanjung Thailand, tumbuh bersama dengan Rhizophora spp. Di mana mereka membentuk hutan perawan yang sangat lebat. Di bawah kondisi semacam ini Ceriops tagal mencapai dimensi pohon hingga setinggi 10 meter dengan diameter pangkal batang 20 cm. Tumbuhan lain yang paling banyak ditemukan di zona semak ceriops yang ada di Australia adalah Bruguiera exaristata. Juga dijumpai pohon Avicennia marina, B. gymnorhiza, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis: Scyphiphora hydrophyllacea tumbuh di zona ini sepanjang terusan Hinchinbrook. Di Afrika bagian timur hanya A. marina dan B. gymnorhiza yang hidup berasosiasi dengan zona ini.

C. Zona hutan bruguiera
Watson memperkenalkan tiga tipe hutan bruguiera, yang didominasi berturut-turut oleh B. cylindrica, B. parviflora dan B. gymnorhyza. Hutan B. cylindrica sering tumbuh di tanah lempung biru yang keras dengan lapisan humus tipis dan berpermukaan kering serta tanpa ada teluk.
B. parviflora merupakan spesies oportunis (bisa hidup di mana saja) tetapi kurang dikenal oleh para perimba karena kayunya kurang bagus dibandingkan kayu spesies lain. Di Australia dan Myanmar spesies ini juga bersifat oportunis dan tumbuh subur dengan batang tinggi di daerah yang mulanya telah digunduli. Di Malaysia ia juga sering tumbuh di daerah yang pepohonannya telah ditebang habis, dan ia mungkin menjadi pohon pengasuh kumpulan benih Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. dan pohon lain yang lebih berharga.
Watson menganggap hutan B. gymnorhiza sebagai “tahap akhir perkembangan hutan litoral dan awal transisi ke arah pembentukan hutan darat”. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya sedikit regenerasi yang terjadi di bawah pohon-pohon ini dan adanya suksesi deposit humus serta kenyataan bahwa aktivitas Thalassina anomala perlahan-lahan mengangkat permukaan tanah hingga mencapai tinggi di atas jangkauan pasang-surut. Pada tahap ini Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus microcarpa, Pandanus spp. dan Daemonorops leptopus dan lain-lain tumbuh di hutan ini. Dengan demikian menurut Watson hutan B. gymnorhiza merupakan transisi ke bentuk hutan subur yang mengarah ke daratan.
Di Cilacap, yang terletak di bagian selatan Jawa, de Haan (1931) juga mengemukakan tiga macam hutan Bruguiera, yaitu asosiasi Bruguiera gymnorhiza yang berkembang di zona A-2 – A-3, asosiasi Bruguiera cylindrica dan asosiasi Xylocarpus – Heritiera yang keduanya tumbuh di zona A-3 – A-4.

D. Zona hutan rhizophora
Biasanya orang membayangkan rawa mangrove sebagai hutan spesies Rhizophora dengan akar-akar tunjang melengkung yang membuatnya sulit dilalui. Ada tiga spesies Rhizophora yang ada di dalam mangal Indo-Pasifik Barat di mana mereka tumbuh bercampur aduk. R. mucronata adalah spesies yang paling banyak ditemui dan tersebar paling luas dari Malaysia sampai New Guinea, terus ke Kepulauan Ryu-Kyu dan Afrika. R. stylosa terdapat mulai dari Malaysia sampai Queensland; R. apiculata menyebar dari Malaysia ke seluruh Asia Tenggara terus ke India dan Sri Langka serta ke sebelah utara Queensland. R. apiculata lebih toleran terhadap air tawar daripada spesies Rhizophora lainnya.

E. Zona Avicennia yang mengarah ke laut
Hampir di sepanjang pantai di mana tumbuh mangrove sebagian besar zona pohon-pohon yang mengarah ke laut tersusun dari satu atau lebih spesies Avicennia.
Watson (1928) menunjukkan bahwa di Malaysia Avicennia alba dan A. marina (=A. intermedia) menempati sektor yang berbeda dalam zona ini. Setelah mengamati beberapa mangal di Malaysia dan Asia Tenggara, Macnae menerima dan menyetujui pendapat Watson ini, tapi ada kesulitan ! Biasanya dua spesies ini mudah dibedakan – A. alba berdaun runcing dan sisi daun sebaliknya berwarna agak putih sehingga mudah dibedakan dari A. marina yang ujung daunnya tumpul dan sisi bawah daun berwarna kekuningan. Bagaimanapun, mereka tumbuh bercampur aduk. Menurut Ridley (1930) A. intermedia merupakan hibrid antara A. alba dan A. officinalis; tetapi hal ini tidak benar. Moldenke (1958) berpendapat bahwa hibridisasi bisa terjadi karena spesies-spesies dari genus ini tumbuh bersama-sama.
A.marina memiliki penyebaran sangat luas, ia merupakan satu-satunya wakil dari genus ini yang tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik-Barat.

F. Zona Sonneratia
Di Asia Tenggara Sonneratia griffithii dan/atau S. alba, sedangkan di Australia hanya S. alba, sementara di India dari Bombay sampai Myanmar S. apetala bisa tumbuh pada daerah yang mengarah ke laut, yakni di depan zona Avicennia.
Menurut De Haan, di Cilacap ada asosiasi avicennia-sonneratia yang berkembang pada zona A-1, yang tumbuh di atas tanah muda yang tidak kompak.
Sonneratia tampaknya lebih menyukai kondisi yang lebih hangat daripada kebanyakan tumbuhan lainnya – ia tidak dijumpai di daerah sebelah selatan Inhambane pada pantai Mozambik, juga tidak terdapat di sebelah selatan Innisfail di Queensland.

donasi dg belanja di Toko One

Referensi :
Artikel Terkait

Rabu, 26 Agustus 2015

Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Sifat Fisika-Kimia Daging Ikan Scabbardfish

donasi dg belanja di Toko One


Dias (1994) menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan black scabbardfish (Aphanopus carbo) dan silver scabbardfish (Lepidopus caudatus) meningkat tajam pada beberapa tahun terakhir ini di lepas pantai pesisir Atlantik Barat Portugis. Meskipun banyak ikan black scabbardfish yang didaratkan, namun permintaan ikan ini kecil dan akibatnya berharga rendah. Lemahnya permintaan pasar untuk spesies ikan ini mungkin bisa dijelaskan oleh buruknya penampilan luar ikan tersebut karena kerusakan sebagian kulit hitamnya yang sangat rapuh selama penanganan di kapal. Sebaliknya, silver scabbardfish hampir selalu dipasarkan sebagai ikan segar karena sering dianggap bahwa tekstur dan sifat liat dagingnya dipengaruhi oleh pembekuan dan selanjutnya oleh penyimpanan beku. Untuk meningkatkan mutu spesies-spesies ini, upaya telah dilakukan guna memasarkan silver scabbardfish beku dan menganekaragamkan produk blackscabbardfish dengan memperkenalkan potongan ikan beku tanpa kulit. Telah diketahui bahwa kebanyakan spesies ikan mengalami kemunduran mutu dalam hal tekstur, cita rasa dan warna dalam kondisi beku. Bagaimanapun, perubahan ini berbeda untuk tiap spesies.

Dias (1994) melaporkan bahwa ikan black scabbardfish (Aphanopus carbo) dan silver scabbardfish (Lepidopus caudatus) dibekukan dan disimpan pada suhu -18 oC selama 8 minggu. Sampel diambil tiap minggu dan dianalisis ketidak larutan (insolubilisation) protein, profil elektroforetik, tekstur dan warnanya. Penurunan cukup besar dalam hal persentase nitrogen protein yang dapat diektraksi dalam 50 gram per liter natrium klorida diamati pada kedua spesies selama penyimpanan beku, yang juga mencerminkan penurunan fraksi sarkoplasmik dan myofibrilar. Sebaliknya, fraksi stroma dan fraksi yang dapat-dilarutkan alkali cenderung meningkat. Perilaku ini dianggap sebagai indikator terjadinya denaturasi (kerusakan) protein. Analisis profil elektroforetik hanya menunjukkan sedikit perbedaan antara kedua spesies maupun perbedaan selama penyimpanan beku. Korelasi yang sangat nyata (P < 0,05) ditemukan pada hubungan antara parameter protein terlarut dan tekstur. Korelasi ini memungkinkan disusunnya persamaan turunan rumus statistik yang membantu meramalkan mutu tekstur selama penyimpanan beku kedua spesies scabbardfish berdasarkan kandungan protein terlarut.

REFERENSI :

donasi dg belanja di Toko One