Kamis, 30 Agustus 2018

Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Ikan


Pengaruh Kedalaman dan Suhu Air Kolam Terhadap Pertumbuhan, Konversi Pakan, Mortalitas dan Komposisi Tubuh Ikan Nila

El-Sayed et al. (1996) mempelajari pengaruh berbagai kedalaman dan suhu air kolam terhadap pertumbuhan, pemanfaatan makanan, tingkat mortalitas dan komposisi tubuh ikan nila, Oreochromis niloticus (L.). Satu kelompok ikan, dengan ulangan 3 kali, yang terdiri dari 20 ekor (jenis kelamin campuran) per meter kubik ditebarkan ke kolam tanah seluas 200 m3 dengan empat macam kedalaman air : 50, 100, 200 dan 300 cm. Ikan diberi pakan pelet komersial (protein 23 %), dua kali sehari selama 10 bulan (Mei 1991 – Februari 1992). Suhu air berkisar dari 5 oC sampai 33 oC.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, El-Sayed et al. (1996) menyimpulkan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup secara nyata dipengaruhi oleh kedalaman air kolam dan suhu air. Perolehan berat ikan adalah paling rendah (250 gram per ikan), konversi pakan paling buruk (3,15) dan mortalitas tertinggi (41,5 %) untuk kolam dengan kedalaman 50 cm, sedangkan kolam berkedalaman 100 – 200 cm menghasilkan laju pertumbuhan terbaik pada suhu hangat (> 21 oC). Pada kedalaman 100 – 200 cm, perolehan berat ikannya meningkat secara nyata (P < 0,001) menjadi 348 – 362 gram per ikan, konversi pakan menjadi lebih baik (2,53 – 2,59 ; P < 0,01) dan mortalitas berkurang menjadi 21 – 27 % (P < 0,001). Petumbuhan ikan berkurang secara nyata (P < 0,001) di bawah suhu 21 oC. Di bawah suhu 10 oC, ikan berhenti makan dan menunjukkan stres yang parah, infeksi jamur serta mortalitas yang tinggi. Bagaimanapun, tingkat mortalitas secara nyata berkurang pada kedalaman 300 cm. Kandungan lipida dan protein tubuh ikan banyak berkurang (P < 0,001) dengan menurunnya suhu air dan kedalaman kolam, sedangkan kadar abu dalam tubuh ikan menunjukkan pola yang tidak teratur.

Pengaruh Kedalaman Air Kolam Terhadap Komposisi Tubuh Ikan

Ali et al. (2006) melaporkan bahwa spesimen ikan Labeo rohita , Cirrhinus mrigala , Hypophthalmicthys molitrix dan Catla catla telah disampling dari tiga kolam dengan kedalaman berbeda (152 cm, 122 cm dan 76 cm) untuk membandingkan komposisi tubuh spesies-spesies ikan tersebut dalam hubungannya dengan kedalaman kolam. Ada pengaruh nyata (P < 0,001) kedalaman kolam terhadap kandungan air, abu, bahan organik, lemak dan protein (baik berdasarkan % berat badan basah maupun kering). Terlihat bahwa kedalaman kolam memberikan pengaruh nyata (P < 0,01) terhadap faktor kondisi di kolam berkedalaman 122 cm, tetapi tidak pada kolam berkedalaman 152 dan 76 cm. Nilai rata-rata komposisi tubuh yang maksimum terlihat pada ikan Labeo rohita di ketiga kolam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budidaya ikan di kolam dengan berbagai kedalaman air menghasilkan ikan dengan kandungan protein berbeda-beda dan hal ini diharapkan dapat membantu petani ikan untuk memilih kedalaman kolam terbaik guna memproduksi ikan yang kaya protein.

Pengaruh Kedalaman Air Kolam Terhadap Stres Gelembung Renang

Kolbeinshavn dan Wallace (1985) melaporkan bahwa pada dua percobaan terpisah, juvenil ikan Arctic charr (Salvelinus alpinus) dipelihara di kolam dengan tiga macam kedalaman air (12, 24 dan 37 cm) dan tiga macam padat penebaran (10, 50 dan 100 kg/m3). Mortalitas akibat “swim bladder stress syndrome” (SBSS sindrom stres gelembung renang) terlihat setelah 2 bulan. Kolam berair dangkal menyebabkan mortalitas yang tinggi sedangkan padat penebaran tidak mendorong timbulnya sindrom stres tersebut sampai derajat yang bisa diamati. Analisis kadar katekolamin dalam plasma darah sejumlah ikan menunjukkan peningkatan kadar dopamin pada ikan yang stres.

Kedalaman Kolam Yang Mendukung Budidaya Ikan

Boyd (1982) mengutip pernyataan bahwa kolam yang dalam dan terlindung kurang tahan terhadap masalah kehabisan oksigen terlarut daripada kolam dangkal dan terbuka. Di kolam dangkal dan terbuka, kekuatan angin cukup untuk mencegah pembentukan stratifikasi termal. Pada malam hari, oksigen, yang hanya bisa diserap kolam pada permukaan air, teraduk ke seluruh volume air. Tak hanya difusi yang menyebabkan konsentrasi oksigen lebih tinggi di kolam yang dangkal dan terbuka, hipolimnion yang menimbulkan masalah kekurangan oksigen juga tidak terbentuk. Air yang kekurangan oksigen dengan volume besar bisa menyebabkan masalah kehabisan oksigen terlarut bila secara mendadak terjadi overturn (pembalikan masa air) selama musim panas. Kedalaman ideal untuk kolam ikan tidak diketahui, tetapi diduga bahwa kedalaman maksimum kolam ikan yang terlindung sebaiknya tidak melebihi 1,2 meter.

Pengaruh Kedalaman Kolam Terhadap Makanan dan Pertumbuhan Anak Ikan Karper

Ciborowska (1970) mempelajari makanan dan pertumbuhan ikan karper di dua kelompok kolam dengan padat penebaran sama tetapi kedalamannya berbeda, 0,5 atau 1 meter. Selama 4 minggu isi perut sebanyak 160 ikan dianalisis. Pada kedua kolam volume isi perut meningkat dan menjadi lebih bervariasi sejalan dengan bertambahnya waktu, dan jumlah Tendipedidae yang ditemukan dalam perut ikan meningkat. Di kolam-dangkal berat rata-rata isi perut untuk seluruh musim adalah 35,1 sampai 60,1 mg, sedangkan di kolam-dalam berat rata-ratanya adalah 7,4 sampai 16,4 mg. Ikan di kolam-dalam memakan mangsa yang lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit. Berat Tendipedidae yang dimakan ikan di kolam-dangkal dan kolam-dalam adalah 27 – 35 dan 4 – 11 mg, berturut-turut. Ikan di kolam-dangkal lebih banyak memakan spesies penghuni dasar kolam. Setelah 4 minggu, sebanyak 136 sampai 178 kg anak ikan/hektar dipanen dari kolam-dangkal dan 96 sampai 155 kg dipanen dari kolam-dalam.

Pengaruh Kedalaman Habitat Terhadap Pertumbuhan Ikan Danau

Stoll et al. (2008 ) melaporkan bahwa dalam percobaan di tempat terkurung di zona litoral Danau Constance, Jerman, juvenil ikan cyprinidae menunjukkan penurunan pertumbuhan somatik secara nyata di zona eulitoral dangkal (kedalaman 0,5 meter) daripada di zona sublitoral (kedalaman 1,6 meter). (catatan : pertumbuhan somatik adalah pertumbuhan organ tubuh selain organ reproduksi). Pertumbuhan terutama berkurang untuk kelompok ikan berbadan besar dan lebar, yang menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh meningkatnya stres hidrodinamik (yang diakibatkan oleh gelombang perahu dan angin), di habitat dangkal bila dibandingkan dengan habitat dalam. Faktor lain seperti suhu air dan ketersediaan makanan tampaknya berpengaruh sedikit terhadap perbedaan pertumbuhan ikan. Bagaimanapun, hasil tangkapan jaring insang di lokasi percobaan dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar juvenil cyprinidae, termasuk spesies Abramis brama dan Leuciscus leuciscus, lebih menyukai habitat dangkal daripada habitat sublitoral yang lebih dalam. Juvenil cyprinidae di Danau Constance mungkin lebih menyukai habitat dangkal sebagai upaya menghindari predator besar yang memangsa ikan, terutama ikan perch Perca fluviatilis, meskipun hal ini menyebabkan laju pertumbuhan somatiknya berkurang. Dengan demikian juvenil cyprinidae lebih mementingkan kelangsungan hidup daripada pertumbuhan somatik.

Hubungan Kedalaman Air dan Ukuran Ikan

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa kedalaman air bisa mengubah laju pertumbuhan ikan meskipun faktor ini jarang dibicarakan ketika membahas pertumbuhan. Banyak ahli biologi yang sering menemukan fakta bahwa rata-rata ukuran ikan meningkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman habitat ikan tersebut. Contohnya adalah bahwa di Laut Utara ukuran individu ikan sebelah tergantung, antara lain, pada kedalaman habitatnya. Kecenderungan ikan-ikan besar untuk mendiami perairan yang lebih dalam disebabkan oleh fakta bahwa laju metabolisme rutin menurun dengan makin dalamnya perairan karena suhu airnya lebih rendah.

Hubungan Kedalaman Habitat Ikan Dengan Efek pH

Baines (1974) telah mempelajari pengaruh perubahan pH terhadap keseimbangan oksigen sel darah merah ikan Scorpaena guttata dan tujuh spesies Sebastes (Teleostei : Scorpaenidae) dari pesisir California. Suspensi sel darah merah diseimbangkan dengan berbagai konsentrasi oksigen di dalam sebuah alat tonometer gas mengalir (flowing gas tonometer) dan persen kejenuhan diukur secara fotometrik pada Soret band. Penelitian ini berkaitan dengan efek Root, yaitu penurunan kapasitas pengikatan oksigen dalam darah ketika tekanan parsial oksigen tinggi dan pH rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa besarnya efek Root bervariasi secara konsisten dengan kebutuhan mekanisme pengisian gelembung renang. Ikan yang hidup menetap di dasar perarian dangkal mengalami efek pH yang lebih kecil sedangkan ikan aktif penghuni perairan dalam mengalami efek pH yang lebih besar. Scorpaena guttata, yang tidak memiliki gelembung renang, menunjukkan bahwa ia mengalami efek pH paling kecil.

Hubungan Kedalaman Habitat Dengan Gelembung Renang Ikan

Baines (1974) menyatakan bahwa daya apung kebanyakan ikan teleostei dipertahankan oleh gelembung renang yang diisi gas yang berasal dari darah. Oksigen merupakan gas utama yang dipindahkan dari darah ke dalam gelembung renang. Dengan demikian, darah dan oskigen berperanan penting dalam mempertahankan kesiembangan hidrostatik, terutama pada ikan penghuni habitat yang dalam, yang harus mempertahankan volume gelembung renang pada tekanan tinggi, dan pada ikan yang melakukan migrasi vertikal, yang harus menyesuaikan volume gelembung renang dengan tekanan yang berubah-ubah.

Kedalaman habitat suatu spesies ikan dan pola aktivitasnya berkaitan dengan perbedaan interspesifik daya ikat (afinitas) darah terhadap oksigen. Sebagai contoh, ikan laut-dalam dengan sebuah gelembung renang membutuhkan mekanisme untuk melepaskan oksigen dari darah pada tekanan parsial yang relatif tinggi untuk mengisi gelembung renangnya. Akan tetapi, spesies yang hidup bersamanya tanpa memiliki gelembung renang hanya perlu melepaskan oksigen pada tekanan parsial rendah untuk memasok respirasi jaringan (Baines, 1974).

Referensi :

Ali, M., F. Iqbal, A. Salam, F. Sial and M. Athar. 2006. Comparative Study of Body Composition of Four Fish Species in Relation to Pond Depth. International Journal of Environment Science and Technology, Vol. 2, No. 4, pp. 359 - 364

Baines, G.W. 1974. Blood pH Effects in Eight Fishes From The Teleostean Family Scorpaenidae. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 51 A, pp. 833 - 843

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Ciborowska, J. 1970. Effect of Depth of Nursery Pond on The Composition of The Natural Food Eaten by Young Carp. Rocznik Nauk Rolniczych, Vol. 92 H, No. 4, pp. 7 - 16

El-Sayed, A.-F.M., A. El-Ghobashy and M. Al-Amoudi. 1996. Effects of Pond Depth and Water Temperature on The Growth, Mortality and Body Composition of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.). Aquaculture Research, Vol. 27, Issue 9, pp. 681 – 687

Kolbeinshavn, A. and J. C. Wallace. 1985. Observations on Swim Bladder Stress Syndrome in Arctic Charr (Salvelinus alpinus), Induced by Inadequate Water Depth. Aquaculture, Vol. 46, Issue 3, pp. 259 – 261

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Stoll, S., P. Fischer, P. Klahold, N. Scheifhacken, H. Hofmann and K.-O. Rothhaupt. 2008. Effects of Water Depth and Hydrodynamics on The Growth and Distribution of Juvenile Cyprinids in The Littoral Zone of a Large Pre-Alpine Lake. Journal of Fish Biology, Vol. 72, Issue 4, pp. 1001 – 1022

Rabu, 29 Agustus 2018

Kematian Ikan Akibat Saprolegnia


Morfologi Jamur Saprolegniaceae

Anggota-anggota famili ini sebagian besar hanya dapat hidup di lingkungan perairan, tetapi kebanyakan spesies hidup di tanah. Berlawanan dengan pendapat para ilmuwan masa dahulu, kebanyakan jamur ini hidup saprofit pada serasah tumbuhan dan sedikit yang hidup pada bangkai binatang. Hanya beberapa spesies Achlya dan Saprolegnia yang kadang-kadang menyebabkan kematian anak-anak ikan dan telur ikan pada hatchery. Beberapa spesies Aphanomyces dan satu atau dua genus lainnya hidup parasit pada alga, akar tumbuhan tingkat tinggi atau pada binatang air.

Sekitar separuh genus memiliki oogonium yang berisi satu telur, tetapi sebagian besar genus dari famili ini memiliki oogonium yang bertelur-banyak. Jumlah telur per oogonium bervariasi dari 2 atau 3 sampai 50. Pada proses pembuahan telur, inti sperma – satu untuk setiap telur – masuk biasanya melalui tabung konjugasi yang menembus dinding oogonium dari antheridium. Pada beberapa kasus meskipun mempunyai antheridium namun tampaknya tidak ada lubang masuk bagi inti sperma sehingga telur berkembang secara partenogenetik. Oospora mungkin bertunas menjadi tabung tunas (germ tube) yang menghasilkan miselium baru. Pada Thraustotheca primoachlya Coker & Couch oospora yang sedang bertunas mungkin membelah diri menjadi beberapa spora internal atau spora internal ini dibentuk di dalam tabung tunas yang tumbuh keluar melalui celah-celah pada dinding oogonium (Coker & Couch, 1924). Ziegler (1948) mempelajari pertunasan 26 spesies dari famili ini yang mewakili 6 genus dan menemukan 4 tipe berikut ini. (1) “Sebuah tabung tunas dibentuk, dengan sebuah sporangium di puncaknya”; (2) “tabung tunas menghasilkan sebuah miselium yang sedikit bercabang dengan sebuah sporangium pada puncak hifa utama atau pada sebuah cabang”; (3) “tabung tunas primer membentuk sebuah miselium bercabang”; (4) “tabung tunas primer membentuk sebuah hifa panjang yang tak bercabang”.

Tampaknya bentuk zoospora primitif berupa seperti buah pear dengan dua flagela anterior yang sama panjang. Zoospora primer semacam ini hanya dibentuk oleh dua spesies Pythiopsis. Kebanyakan spesies dari ordo ini bersifat dimorfik (memiliki dua macam bentuk). Spesies-spesies lainnya menunjukkan berbagai modifikasi bentuk dimorfik ini.

Zoosporangia dibentuk pada ruas terakhir hifa, tetapi kadang-kadang dibentuk berderet satu di belakang yang lain. Ketika zoospora dilepaskan maka zoosporangium baru akan muncul, kadang-kadang lima atau enam kali. Pada kasus lain zoosporangia baru dibentuk pada cabang-cabang hifa. Biasanya mereka berbentuk ramping , seperti hifa penyokong, atau ujungnya membulat atau bulat telur. Pada kondisi kultur tertentu, hifa mungkin membentuk bulatan-bulatan zoosporangium yang berderet seperti rantai, yang masing-masing memiliki sebuah lubang pengeluaran di dekat ujungnya. Pada kondisi tertentu, zoosporangia membulat menjadi spora istirahat yang berdinding tebal atau chlamydiospora.

Biasanya zoospora terlepas setelah bagian atas zoosporangium melunak. Pada Saprolegnia, Leptolegnia dan Isoachlya zoospora primer berenang menjauh segera setelah dilepaskan kemudian mengkista pada jarak tertentu dari zoosporangium. Pada Achlya, Aphanomyces dan beberapa genus lain, zoospora primer mengkista segera setelah dilepaskan kemudian membentuk sebuah bola berisi sel-sel yang menghasilkan zoospora sekunder. Pada Thraustotheca dan genus lainnya zoospora primer mengkista di dalam zoosporangium dan ketika zoopsorangium pecah spora yang telah mengkista tadi keluar dan kemudian membentuk spora sekunder. Pada Dictyuchus spora yang telah mengkista berbentuk segi-banyak dan bertunas di dalam zoosporangium menjadi tabung pendek yang menembus keluar dinding zoosporangium, jadi bisa langsung melepaskan zoospora sekunder secara individu. Pada Aplanes dan Geolegnia dan beberapa genus lainnya spora primer yang telah mengkista bertunas menjadi tabung tunas di dalam zoosporangium atau setelah zoosporangium ini pecah. Pada berbagai kondisi kultur, individu-individu dari satu spesies Saprolegnia atau Achlya mungkin bisa dirangsang untuk membentuk zoospora dengan cara seperti yang ditempuh oleh Saprolegnia, Achlya, Thraustotheca atau Aplanes, yang menunjukkan bahwa modifikasi-modifikasi cara pembentukan zoospora ini tidak harus diikuti. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa Salvin (1942) telah berhasil mengawinkan Thraustotheca clavata (de Bary) Humphrey dengan Achlya flagellata Coker; yang pertama menghasilkan anteridium dan yang terakhir memproduksi oogonium. Oospora yang dihasilkan dari perkawinan ini tidak dapat membentuk tunas melalui metode yang dicobakan.

Aphanomyces mempunyai zoosporangium yang ramping tetapi hanya memiliki saru deretan tunggal zoospora yang proses pelepasannya sama seperti pada Achlya. Oogonium hanya memiliki satu telur saja. Spesies dari genus ini bersifat parasit pada alga dan pada akar tumbuhan tingkat tinggi, di mana mereka bisa menyebabkan akar menjadi busuk, juga memparasiti binatang air, terutama krustasea. Aphanomyces acinetophagus ditemukan pada sejenis protozoa air tawar. Agak sulit dibedakan dari Aphanomyces adalah Hydatinophagus yang memparasiti rotifera. Genus lain yang berkerabat dekat dengannya adalah Sommerstorffia yang juga parasit pada rotifera dan memiliki cabang-cabang mirip paku untuk mencengkeram tubuh inangnya. Plectospira bersifat parasit pada akar tumbuhan dan mirip dengan Aphanomyces kecuali bahwa ia memproduksi sekumpulan hifa dengan bentuk lembaran-lembaran kecil yang tampaknya berfungsi sebagai tempat penyimpanan tambahan sebagian zoosporangia, seperti yang dijumpai pada beberapa spesies dari genus Pythium. Oogonium hanya memiliki sebutir telur tetapi tanpa periplasma (plasma tepi) dan dikelilingi oleh banyak antheridia, sampai lebih dari 50, tetapi hanya sedikit antheridia yang berkembang penuh. Leptolegnia mirip dengan Aphanomyces dalam hal hifa yang berbentuk ramping dan zoosporangium yang juga ramping dengan sederet zoospora serta dalam hal oogonium yang hanya membentuk satu telur saja. Ia berbeda dalam hal zoospora primer yang berenang menjauh segera setelah dilepaskan dan membentuk kista pada jarak tertentu dari zoosporangium seperti pada Saprolegnia.

Faktor Pendorong Infeksi Saprolegnia

Brown and Bruno (2002) dalam Woo et al. (2002) menyatakan bahwa jenis jamur yang paling penting, terutama berkaitan dengan dampaknya terhadap telur dan ikan matang gonad, adalah Saprolegnia, di antaranya adalah Saprolegnia diclina. Saprolegnia diclina dibagi menjadi 3 subspesies berdasarkan morfologi oogonianya. Saprolegnia diclina tipe 1 menginfeksi ikan salmonidae dan bersinonim dengan Saprolegnia parasitica. Tipe 2 hidup sebagai parasit pada ikan air tawar selain salmon dan trout. Tipe 3 seluruhnya bersifat saprofit.

Brown and Bruno (2002) dalam Woo et al. (2002) melaporkan bahwa infeksi jamur air pada telur, anak ikan dan ikan besar merupakan masalah yang banyak dijumpai pada ikan budidaya. Kondisi berdesakan, stres penanganan, perubahan suhu, peningkatan konsentrasi bahan organik dalam air budidaya, parasit serta proses kematangan gonad meningkatkan peluang terjadinya infeksi Saprolegnia. Kematian sampai 50 % ikan catfish budidaya terjadi selama musim dingin yang hebat di Amerika Serikat dengan kerugian ekonomi tahunan mencapai US $ 40 juta pada tahun 1994. Berdasarkan hasil tangkapan komersial ikan Atlantic Menhaden (Brevoortia tyrannus), 80 % populasi ikan ini menderita “ulcerative mycosis” (luka akibat jamur), hingga menimbulkan kerugian ekonomi senilai kira-kira US $ 27 juta per tahun. Di Jepang kematian ikan coho salmon budidaya tiap tahun bisa melebihi 50 % . Saprolegnia sp telah diisolasi dari ikan Atlantic salmon, rainbow trout, brown trout, Arctic charr (Salvelinus alpinus) dan coho salmon. Di Jepang S.parasitica dan S. diclina menyebabkan kematian ikan pada budidaya rainbow trout, coho salmon dan ikan ayu (Plecoglossus alivelis). Infeksi S. diclina telah dilaporkan terjadi pada ikan rainbow trout yang sedang memijah di Taiwan.

Infeksi umumnya hanya terjadi akibat perubahan faktor lingkungan, melemahnya kekebalan atau ikan terkena jamur. Hubungan antara kematangan gonad dan peningkatan infeksi jamur disebabkan oleh kerusakan kulit akibat aktivitas pemijahan. Kerentanan terhadap saprolegniasis bisa juga berkaitan dengan meningkatnya kadar kortisol dan hormon-hormon reproduksi tertentu. Diduga bahwa penurunan suhu air mengurangi jumlah sel lendir sehingga kista Saprolegnia lebih mudah menempel dan berkembang biak pada tubuh ikan (Brown and Bruno, 2002 dalam Woo et al. , 2002).

Kondisi Yang Mendukung Terjadinya Saprolegniasis

Menurut Jadhav (2008) jamur air famili Saprolegniaceae memiliki beberapa genus yang menyebabkan banyak jenis penyakit yang menginfeksi dan membunuh ikan, baik telur, larva, anak maupun ikan dewasa. Genus-genus tersebut adalah Saprolegnia sp., Achlya sp dan Branchiomyces sp. Meskipun beberapa spesies jamur dalam famili ini merupakan patogen primer (misal Saprolegnia parasitica), namun sebagian besar (misal, Saprolegnia diclina dan Saprolegnia saprolytica) menyebabkan penyakit hanya bila sebelumnya ikan menderita sakit, luka mekanis atau stres lingkungan. Saprolegniasis merupakan penyakit jamur pada ikan dan telur ikan yang umumnya disebabkan oleh spesies Saprolegnia. Jamur ini banyak terdapat dalam air tawar atau payau dan dapat tumbuh pada kisaran suhu 32 – 95 oF tetapi tampaknya lebih menyukai suhu 59 – 86 oF.

Penyakit saprolegniasis akan menyerang luka yang ada pada tubuh ikan dan dapat menular ke jaringan yang sehat. Kualitas air yang buruk (misal, air dengan sirkulasi kurang, konsentrasi oksigen terlarut rendah atau kadar amonia tinggi) dan konsentrasi bahan organik yang tinggi, termasuk adanya telur-telur mati, sering berhubungan dengan infeksi Saprolegnia. Keberadaan bakteri Columnaris atau parasit eksternal juga bisa memicu serangan Saprolegnia. Saprolegniasis menyebabkan mortalitas ikan yang sangat tinggi. Ikan berukuran lebih dari 1 kg di kolam dengan kondisi berdesakan sangat rentan terhadap saprolegniasis musim dingin. Oleh karena itu penyakit ini memiliki arti penting ekonomi yang besar (Jadhav, 2008).

Saprolegniasis dan Kematian Ikan

Bruno et al. (2011) dalam Woo and Bruno (2011) menyatakan bahwa penyakit jamur pada ikan sulit dicegah dan ditangani, terutama dalam sistem budidaya air tawar intensif, dan menduduki peringkat kedua setelah penyakit bakterial sebagai penyebab utama kerugian ekonomi akuakultur. Infeksi Saprolegnia spp. pada ikan budidaya biasanya bersifat kronis tetapi terus-menerus; bagaimanapun terjadi infeksi Saprolegnia secara dramatis sejak pelarangan penggunaan malasit hijau. Saprolegnia parasitica telah diidentifikasi dari banyak ikan dan dianggap merupakan patogen penting. Saprolegniasis dilaporkan menyerang budidaya ikan di Indonesia dan India. Mortalitas yang tinggi, akibat infeksi Saprolegnia parasitica, terjadi pada berbagai spesies ikan karper yang dibudidayakan di kolam dan pada ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) yang dibudidayakan di kurungan. Infeksi oleh jamur ini menyebabkan kematian pada ikan karper dan karper India (Labeo rohita) selama musim dingin ketika air banyak mengandung bahan organik. Ikan betok (Anabas testudineus) dari sungai di India dilaporkan terinfeksi Saprolegnia parasitica. Spesies ikan hias air tawar tropis yang biasa hidup di perairan bersuhu 23 oC juga menunjukkan gejala-gejala klinis saprolegniasis; ikan hias tersebut mencakup Plecostomus spp. dan platyfish Meksiko (Xiphophorus maculatus).

Bruno et al. (2011) dalam Woo and Bruno (2011) mendaftar kasus-kasus kematian ikan akibat Saprolegnia. Dilaporkan bahwa Saprolegnia telah diisolasi dari ikan sidat dan lamprey sungai (Lampetra fluviatilis). Elver atau larva sidat Anguilla anguilla yang dibudidaya intensif di kolam air hangat mengalami banyak kematian akibat Saprolegnia sp. Telur ikan karper liar di Rusia banyak yang mati akibat Saprolegnia sedangkan di Amerika Serikat jamur Saprolegnia ini telah diisolasi dari ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) yang menyebabkan kematian masal selama bulan-bulan musim dingin. Saprolegniasis juga menyerang budidaya ikan sturgeon Atlantik (Acipenser oxyrhynchus) pada saat pemijahan dan budidaya juvenil ikan kakap (Lates calcarifer) di Australia. Di Nigeria banyak jenis jamur yang mencakup Achlya, Aphanomyces dan Saprolegnia telah ditemukan pada berbagai jenis ikan air tawar. Di sini juga dilaporkan bahwa mata ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di hatchery terinfeksi oleh Myxosoma dan Saprolegnia sp. Anak ikan mujaer (Oreochromis mossambicus), yang dibudidayakan di Afrika Selatan, dilaporkan menjadi inang umum bagi Saprolegnia sp. Di Brazil ikan belanak perak (Mugil curema) yang diaklimatisasi-ulang dalam air tawar rentan terhadap Saprolegnia sp. Spesies ikan belanak lain, yaitu Liza abu, dan ikan karper yang dikultur di Irak terinfeksi oleh Saprolegnia ferax dan Saprolegnia terrestris.

Penyakit Jamur Pada Ikan dan Telur Ikan

Hoffman (1969) menyatakan bahwa spesies jamur dari genus Saprolegnia biasanya dikaitkan dengan penyakit jamur pada ikan dan telur ikan, meskipun Achlya, Aphanomyces, Leptomitus dan Pythium juga dilaporkan menyerang ikan dan telurnya. Penyakit jamur pada ikan ini seringkali dianggap sebagai akibat sekunder setelah ikan mengalami luka, tetapi sekali jamur mulai tumbuh pada ikan maka lukanya akan makin parah dan bisa membawa ke kematian kecuali bila diobati. Jamur sering menyerang telur ikan yang mati dan kemudian menular ke telur-telur di sekitarnya yang masih hidup lalu membunuhnya; dengan demikian jamur menyumbangkan salah satu penyakit yang paling penting pada telur ikan. Jamur ini tumbuh pada berbagai jenis bahan organik yang sedang membusuk dan tersebar luas di alam. Kehadiran jamur pada ikan dan telur ikan ditandai oleh adanya bercak putih seperti kapas yang makin membesar dan terdiri dari sekumpulan miselium benang (hifa) tak bersekat yang masing-masing berdiameter sekitar 20 mikron. Dengan pembesaran lemah, benang jamur yang sudah tua mungkin terlihat ujungnya membesar seperti bulatan lonjong yang berisi zoospora berflagel. Zoospora ini nantinya melepaskan diri dan akan menginfeksi ikan atau telur ikan lainnya.

Serangan Saprolegnia Pada Telur Ikan

Jalilpoor et al. (2006), berdasarkan studi pustaka, menyatakan bahwa infeksi jamur merupakan salah satu faktor utama penyebab mortalitas dan kerugian ekonomi pada industri budidaya ikan, terutama pembenihan/hatchery. Kontaminasi oleh Saprolegnia spp. makin banyak diketahui sebagai patogen penting pada ikan estuaria; genus jamur ini tersebar di seluruh dunia dan lebih dari 85 spesies jamur ini telah dketahui mengganggu biota perairan tawar alami maupun budidaya. Jamur ini juga menyerang telur ikan sturgeon dan intensitas serangannya sering meningkat bila sebelumnya terjadi infeksi virus. Infeksi sering terjadi segera setelah telur ikan ada di dalam air (bahkan sebelum fertilisasi pada kasus air yang terkontaminasi jamur tersebut). Begitu mapan, jamur ini dapat menyebar dengan cepat ke telur-telur yang sehat hingga menyebabkan kematian semua telur yang ada dalam satu wadah atau satu unit.

Jalilpoor et al. (2006) melakukan studi untuk mendokumentasikan kisaran serangan Saprolegnia pada kondisi hatchery praktis budidaya ikan sturgeon di Iran di mana jutaan telur dierami secara serentak. Lima perangkat inkubator skala besar dipantau; laju fertilisasi dan persentase telur yang dipengaruhi oleh jamur dianalisis pada akhir periode pengeraman. Disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas telur (yang ditentukan berdasarkan tingkat fertilisasi dan mortalitas) dengan daya infeksi jamur. Mortalitas akibat jamur ini diperkirakan sebesar 7 sampai 22 % pada kondisi yang dipelajari.

Formalin Untuk Mengurangi Kematian Ikan Akibat Saprolegnia

Geiseker et al. (2006) melaporkan bahwa formalin telah digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada telur ikan, tetapi kemampuannya untuk mengurangi mortalitas ikan yang terkena infeksi jamur belum dibuktikan dengan jelas. Infeksi eksperimental telah dirangsang dengan abrasi (pengikisan permukaan tubuh ikan), stres suhu dan pemaparan ikan terhadap jamur dengan tujuan mengevaluasi kemampuan formalin dalam mengurangi kematian ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang terinfeksi Saprolegnia parasitica (ATCC 22284). Ikan trout ini dibius dan dikikis permukaan tubuhnya dengan teknik abrasi terkendali. Stres suhu dilakukan bersamaan dengan pemaparan ikan terhadap jamur, yaitu dengan cara memindahkan ikan dari suhu aklimasi (15 ± 2 °C) ke suhu tinggi (22 ± 2 °C) yang airnya mengandung Saprolegnia parasitica selama 4 jam. Setelah dipaparkan terhadap jamur, ikan didistribusikan secara acak ke 16 tangki eksperimen (3 ikan/tangki). Empat dosis perlakuan (larutan formalin 0, 50, 100 dan 150 ppm) dievaluasi. Ikan diberi tiga perlakuan selama 1 jam: pada hari pertama, 1 jam setelah dipaparkan terhadap jamur, dan kemudian pagi hari ke-3 dan ke-5. Tingkat infeksi adalah 100 % untuk keempat perlakuan tersebut. Persen mortalitas rata-rata untuk keempat perlakuan dosis adalah 67 % (0 ppm), 35 % (50 ppm), 29 % (100 ppm) dan 40 % (150 ppm). Analisis statistik terhadap persen mortalitas pada hari ke-5 dan ke-19 menunjukkan bahwa dosis 50, 100 dan 150 ppm semuanya memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan dosis 0 ppm, baik pada hari ke-5 maupun ke-19.

Referensi :

Brown, L. and D.W. Bruno. 2002. Infectious Diseases of Coldwater Fish in Fresh Water dalam Woo, P.T.K., D.W. Bruno and L.H. Lim. (Eds.). 2002. Diseases and Disorders of Finfish in Cage Culture. CAB International. Oxfordshire. 354 pp.

Bruno, D.W., P. van West and G.W. Beakes. 2011. Saprolegnia and Other Oomycetes dalam P.T.K. Woo and D.W.Bruno (Eds.). 2011. Fish Diseases and Disorders. Vol. 3 : Viral, Bacterial and Fungal Infections. 2nd ed. CAB International. Oxfordshire. 944 pp.

Gieseker, C.M., S.G. Serfling and R. Reimschuessel. 2006. Formalin Treatment to Reduce Mortality Associated With Saprolegnia parasitica in Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, Vol. 253, Issues 1 – 4, pp. 120 – 129

Hoffman, G.L. 1969. Parasites of Freshwater Fish I. Fungi. 1. Fungi (Saprolegnia and Relatives) of Fish and Fish Eggs. Leaflet Fish Disease Laboratory No. 21. United States Department of The Interior. Washington. 6 pp.

Jadhav, U. 2008. Aquaculture Technology and Environment. PHI Learning Pvt. Ltd. New Delhi. 352 pp.

Jalilpoor, J., A. Shenavar Masouleh, and M. Masoumzadeh. 2006. Fungal Flora in Acipenser persicus Eggs With Particular Emphasis on Saprolegnia sp. (Oomycetes) and Mortality During Mass Incubation at The Shahid Beheshti Hatchery. Journal of Applied Ichthyology, Vol. 22, pp. 265 – 268

Selasa, 28 Agustus 2018

El Nino Southern Oscillation (ENSO) : Pengaruhnya Terhadap Komunitas Biologi Laut


Dinamika Bakterioplankton Selama El Nino

Ducklow et al. (1995) mempelajari stok dan dinamika bakterioplankton di lapisan air 200 meter ke atas pada transek sepanjang garis bujur 140 oBB, pada bulan Maret – April dan Oktober 1992. Biomas bakteri zona eufotik menyumbangkan rata-rata 70 % karbon fitoplankton, baik pada bulan Maret – April maupun Oktober. Nilai yang cukup tinggi ini disebabkan oleh rendahnya biomas fitoplankton yang merupakan ciri khas zona “high nutrient, low chlorophyll” (HNLC; zat hara tinggi, klorofil rendah), sementara kelimpahan bakteri tinggi, dengan rata-rata 6 – 8 x 108 sel/liter di lapisan kedalaman 100 meter ke atas. Laju turnover dan, dengan demikian, laju produksi adalah rendah, dengan produksi bakteri (PB) rata-rata kurang dari 20 % produksi primer (PP). Biomas bakterioplankton lebih tinggi dan produksinya lebih rendah pada kondisi El Nino, yang sering terjadi di bulan Oktober, dibandingkan dengan hasil pengamatan pada kondisi El Nino di bulan Maret – April.

Secara keseluruhan, produksi bakteri memberikan sumbangan kecil bagi produksi primer di daerah dekat katulistiwa selama berlangsungnya El Nino. Diduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor : (1) rasio BP : PP secara umum rendah (yakni, < 20 %) di perairan samudra, dan (2) bakteri berespon lebih lambat di daerah upwelling daripada fitoplankton, sehingga puncak kelimpahan bakteri dan fitoplankton selalu tidak bersamaan. Kelambatan respon bakteri ini bisa berkurang selama El Nino ketika kondisi upwelling berkurang (Ducklow et al., 1995).

Perubahan Distribusi Plankton Akibat ENSO

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa data mengenai perubahan lingkungan dan stok ikan akibat ENSO menunjukkan bahwa El Nino berdampak besar bagi perikanan. Hingga kejadian ENSO 1982 – 1983, perubahan-perubahan tersebut semula diduga hanya mempengaruhi distribusi dan rekruitmen stok ikan anchovy Peru serta menyebabkan transpor organisme tropis di lepas pantai California dan Peru ke arah kutub. Sekarang diketahui bahwa pengaruh ENSO sangat luas. Dari Pasifik ekuatorial tengah sampai garis pantai Amerika Selatan, konsentrasi klorofil di permukaan laut adalah rendah secara tak wajar, dan masa air berklorofil tinggi bergerak ke arah timur-laut, bukannya ke arah barat, dari Galapago sebagai akibat perubahan pola sirkulasi air laut. Produksi primer neto tumbuhan menunjukkan penurunan 1,1 x 1015 ton karbon untuk Pasifik timur saja; nilai ini sama dengan 1,1 x 107 ton produksi ikan dengan asumsi rantai makanan tiga tingkat trofik. Konsentrasi klorofil maksimum di lapisan air yang dalam adalah dua kali nilai normal di lepas pantai California dan Peru; dinoflagelata ekuatorial (Ceratium, Pyrophycus) dan diatom oseanik (Planktoniella, Ethmodiscus) menggantikan diatom yang normalnya ada di pesisir (misal, Nitzschia). Dinoflagelata penyebab pasang merah di pesisir dan Mesodinium rubum tersebar luas di lepas pantai Peru. Biomas kopepoda epiplankton kecil adalah rendah di seluruh Pasifik timur, sedangkan kopepoda oseanik (Acrocalanus, Ischnocalanus, Euchaeta) ditemukan di pesisir Peru.

Dampak Biologis Perubahan Kondisi Oseanografis Akibat El Nino

Sugimoto et al. (2001) mempelajari dampak El Nino terhadap komunitas biologi di Pasifik Utara bagian barat, dengan menitikberatkan pada interaksi antara ENSO dan angin muson Asia Timur. Dampak El Nino terhadap iklim di Timur Jauh dibuktikan dengan adanya fenomena “musim panas yang dingin dan musim dingin yang hangat”. Pengaruh pergeseran rejim iklim akibat aktivitas El Nino terhadap komunitas biologi laut adalah sebagai berikut : (1) Di Pasifik ekuator bagian barat, kolam air hangat meluas ke arah timur akibat El Nino, dan hal ini menyebabkan daerah penangkapan (fishing ground) utama ikan cakalang dan tuna mata besar bergeser ke arah timur; (2) Front salinitas air permukaan pada daerah Arus Ekuatorial Utara mundur ke arah selatan, yang berasosiasi dengan kejadian El Nino. Hal ini menyebabkan daerah pemijahan ikan sidat Jepang bergeser ke arah selatan sehingga terjadi penurunan transpor larva sidat tersebut ke Kuroshio dan daerah pesisir Jepang, yang selanjutnya mengakibatkan rekruitmen menjadi lemah; (3) Intensifikasi pendinginan musim dingin dan pengadukan vertikal terkait kejadian La Nina (El Nino) di daerah subtropis Pasifik Utara menyebabkan penurunan konsentrasi klorofil permukaan air serta penurunan aktivitas makan pada ikan sardin Jepang dan cumi-cumi Neon selama musim dingin sampai awal musim semi. (4) Pergerakan arus Oyashio ke arah selatan yang menjadi sangat melemah di pesisir timur Jepang selama tahun 1988 – 1991 menyebabkan penurunan konsentrasi klorofil dan biomas mesozooplankton pada akhir musim semi sampai awal musim panas di daerah peralihan Kuroshio-Oyashio. Terjadi perubahan spesies dominan ikan pelagis kecil akibat kegagalan rekruitmen ikan sardin Jepang.

Pengaruh El Nino Terhadap Ikan dan Hewan Laut Lain

Menurut Longhurst dan Pauly (1987), di lepas pantai Ekuador, Peru dan di Galapagos fauna ikan pelagis mengalami perubahan besar, dan 61 spesies ikan asing ditemukan di lepas pantai Peru. Perikanan udang tropis mengalami peningkatan tajam di lepas pantai Ekuador dan Peru, padahal kedua tempat ini terletak di luar daerah distribusi udang tersebut. Perikanan scallop (simping) perairan-hangat berkembang di lepas pantai Peru, sedangkan hasil tangkap ikan demersal turun menjadi setengahnya di lepas pantai Ekuador. Ikan anchovy Peru bergerak ke bagian laut yang lebih dalam dan kebanyakan di antaranya mati akibat kelaparan atau kehabisan oksigen, ikan ini selanjutnya hilang sama sekali dari pesisir Peru. Ikan yang kemudian kembali ke pesisir Peru adalah mungkin bagian populasi ikan yang bertahan hidup yang bermigrasi ke selatan pada awal terjadinya El Nino. Ikan sardin, yang pada tahun-tahun belakangan ini menempati daerah distribusi ikan anchovy lama di Peru, bermigrasi ke selatan dan hampir semuanya meninggalkan pesisir Peru. Baik ikan anchovy maupun sardin mengalami mortalitas yang tak lazim di daerah lepas pantai yang diakibatkan oleh ikan pemangsa pelagis; musim reproduksi tahun 1982 untuk kedua spesies ikan ini sangat singkat.

Sebaliknya, akibat El Nino ikan jack mackerel dan mackerel mengalami tahun-tahun pemijahan yang istimewa di lepas pantai Peru. Gerombolan lumba-lumba berbintik menunjukkan distribusi tak wajar di seluruh Pasifik tropis timur, dan tuna albakora mengubah jalur migrasinya di seluruh Samudra Pasifik Utara. Di Galapagos, dan di pesisir Amerika Selatan, burung laut gagal berkembang biak. Populasi burung dewasa pelikan dan cormoran terbang ke selatan dan mengalami mortalitas yang sangat tinggi. Anak-anak anjing laut berbulu mengalami aborsi atau tidak bisa bertahan hidup secara normal, dan banyak anjing laut anak-anak serta dewasa kelaparan. Reproduksi iguana laut gagal karena makanannya yang berupa alga intertidal digantikan oleh spesies alga yang tak bisa dimakan (Longhurst dan Pauly, 1987).

Pengaruh El Nino Terhadap Perikanan dan Sumberdaya Ikan

Espino (1991) mengamati karakteristik ikan demersal di lepas pantai Peru selama dan setelah kejadian El Nino. Terlihat bahwa selama berlangsungnya El Nino, sebagian besar spesies ikan demersal bermigrasi ke arah selatan; spesies ikan penghuni lapisan permukaan laut bergerak turun ke arah dasar, selain itu asosiasi dan dominansi spesies juga berubah. Semua perubahan ini mempengaruhi perikanan karena berkurangnya konsentasi ikan dan berkurangnya ketersediaan ikan sehingga mortalitas ikan akibat penangkapan berkurang. Semua perubahan ini menyebabkan rekruitmen yang lebih baik sehingga pertumbuhan ikan lebih besar dan pemulihan populasi lebih cepat. Selain itu, perikanan yang terpengaruh oleh migrasi ikan-ikan tersebut mengalihkan sasarannya akibat kemunculan sumberdaya hayati lain, misalnya udang, yang dapat mendukung perikanan selama El Nino berlangsung.

Referensi :

Ducklow, H.W., H.L. Quinby and C.A. Carlson. 1995. Bacterioplankton Dynamics in The Equatorial Pacific During The 1992 El Ni̱o. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, Vol. 42, Issues 2 Р3, pp. 621 Р638

Espino, M. 1991. El Nino Phenomena : Its Impact on The Demersal Fishes of Peru. Peru Pesq., Vol.3, No. 6, pp. 19 – 24

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Sugimoto, T., S. Kimura and K. Tadokoro. 2001. Impact of El Ni̱o Events and Climate Regime Shift on Living Resources in The Western North Pacific. Progress in Oceanography, Vol. 49, Issues 1 Р4, pp. 113 Р127

Senin, 27 Agustus 2018

Ekologi Rotifera


Ekologi dan Persebaran Habitat Rotifera

Menurut Hickman et al. (2001) rotifera merupakan kelompok kosmopolitan (ditemukan di seluruh dunia) dengan jumlah anggota sekitar 1800 spesies. Sebagian besar spesies menghuni perairan tawar, sedikit rotifera hidup di laut, dan beberapa spesies mendiami habitat darat, dan ada yang bersifat epizoic (hidup pada tubuh binatang lain) atau parasit. Rotifera beradaptasi terhadap berbagai kondisi ekologis. Kebanyakan spesies bersifat bentik, hidup di dasar perairan atau pada tumbuhan air kolam atau sepanjang tepian danau air tawar di mana mereka berenang atau merayap pada vegetasi. Banyak spesies penghuni lapisan tipis air antar butir-butir pasir pantai (meiofauna) adalah rotifera. Rotifera pelagis adalah umum dijumpai di perairan permukaan danau tawar atau kolam, dan mereka kadang menunjukkan fenomena siklomorfosis, yaitu variasi bentuk badan akibat perubahan musiman atau perubahan nutrisi. Rotifera penghuni laut sangat sedikit. Beberapa spesies rotifera yang ditemukan di pantai laut mungkin adalah spesies air tawar yang dapat beradaptasi terhadap air laut. Banyak spesies rotifera sanggup bertahan lama terhadap kekeringan; selama periode ini bentuk mereka mirip butiran pasir. Pada kondisi kekeringan, rotifera sangat toleran terhadap perubahan suhu, terutama rotifera yang hidup pada lumut. Pengkistaan yang sesungguhnya terjadi hanya pada beberapa rotifera. Jika mendapat air, rotifera yang kekeringan ini kembali menjadi aktif.

Ekologi dan Dinamika Populasi Rotifera Hexarthra

Herzig dan Koste (1988) dalam Snell dan King (1989) menemukan empat spesies rotifera Hexarthra di Neusiedler See, sebuah danau yang bersifat basa dengan salinitas dan ketinggian muka air berfluktuasi. Keempat spesies rotifera tersebut adalah Hexarthra mira, Hexarthra fennica, Hexarthra jenkinae (kadang-kadang) dan Hexarthra polyodonta. Analisis data jangka panjang menunjukkan pola fenologis umum yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Mereka pertama kali muncul pada bulan Mei , berkembang menjadi maksimum pada Juni/Juli, kadang-kadang mengalami maksimum kedua pada Agustus/September dan kemudian hilang pada Oktober. Tetapi suksesi spesiesnya berbeda antar tahun, kadang-kadang hanya satu spesies yang ada (Hexarthra mira atau Hexarthra polyodonta).

Herzig dan Koste (1988) dalam Snell dan King (1989) menambahkan bahwa ada hubungan yang sangat konsisten antara kondisi kimia dan spesies dominan; peningkatan salinitas mendukung perkembangan Hexarthra polyodonta. Suhu rendah dan partikel tersuspensi akibat-angin berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi Hexarthra. Populasi Hexarthra yang lebih kecil memiliki keterkaitan dengan keberadaan Leptodora; hal ini menunjukkan adanya tekanan pemangsaan terhadap spesies rotifera yang terakhir tersebut. Di Neusiedler See, populasi Hexarthra tampaknya dikendalikan oleh faktor-faktor abiotik sampai kisaran yang lebar, tetapi pemangsaan oleh Leptodora dan kemungkinan besar oleh ikan muda memainkan peranan yang juga penting.

Pemilihan Susbtrat dan Habitat Serta Adaptasi Rotifera

Pejler dan Berzins (1988) dalam Snell dan King (1989) melaporkan bahwa informasi mengenai distribusi 28 spesies rotifera famili Brachionidae dari berbagai perairan di Swedia selatan dan tengah telah dianalisis untuk menunjukkan hubungan distribusi organisme ini dengan substrat dan habitat. Beberapa brachionidae lebih menyukai habitat planktonik sedangkan lainnya lebih memilih habitat perifitik dan/atau bentik. Beberapa habitat non planktonik lebih dimanfaatkan daripada habitat lain, tetapi tidak ada bukti adanya daya tarik kimiawi yang ditimbulkan oleh substrat apapun. Sebaliknya, beberapa substrat tampaknya dihindari oleh rotifera, yang mungkin disebabkan oleh adanya sejenis alga perifiton. Selain tipe substrat, faktor-faktor berikut adalah penting dalam menciptakan niche ekologis tersendiri bagi famili brachionidae : suhu, kadar oksigen, tingkat makanan, lingkungan kimiawi, pemilihan makanan dan kepekaan terhadap pemangsaan. Dalam hal substrat dan habitat, beberapa rotifera bersifat spesialis sedangkan lainnya bersifat generalis; kelompok terakhir ini dicirikan oleh variasi morfologis yang besar. Spesies-spesies rotifera ini beradaptasi dengan berbagai cara terhadap habitat yang disukainya, seperti misalnya membentuk tonjolan-tonjolan kaki pembawa-telur. Duri-duri panjang, sebagai contoh, umumnya ditemukan pada rotifera penghuni perairan jernih, yang menunjukkan bahwa duri tersebut berfungsi sebagai perlindungan terhadap predator yang mengandalkan penglihatan dalam mencari mangsa.

Keragaman Spesies Rotifera di Danau

Segers et al. (1993) mempelajari keragaman spesies rotifera di 13 habitat perairan tawar di delta Niger hilir. Total 207 spesies rotifera telah ditemukan. Genus rotifera yang paling beragam adalah Lecane dengan 59 spesies. Sepuluh spesies rotifera tampaknya bersifat endemik bagi delta Niger hilir, tiga spesies lainnya terbatas di Afrika Tengah dan/atau Afrika Barat. Sebelas spesies tersebar di daerah-daerah Oriental (Timur) dan Afrika, sedang enam spesies terdapat baik di Amerika maupun di daerah penelitian. Tiga spesies dari kelompok yang terakhir tersebut mungkin merupakan hasil introduksi baru-baru ini ke benua Afrika. Dua danau yang diteliti (Iyi-Efi dan Oguta), yang mengandung 136 dan 124 spesies, merupakan habitat rotifera terkaya yang pernah diteliti. Diduga bahwa dataran banjir (sub)tropis merupakan habitat rotifera dengan keragaman tertinggi di dunia.

Hubungan Antara Kelimpahan Rotifera dan Kelimpahan Flagelata dan Ciliata

Dolan dan Gallegos (1992) melaporkan bahwa rotifera melimpah (rata-rata sekitar 1.000 individu/liter) dari bulan Maret sampai September 1991 di sebuah sub estuaria dangkal di Chesapeake Bay, Amerika Serikat. Komunitas rotifera biasanya didominasi oleh Synchaeta cecilia dengan Brachionus plicatilis sebagai spesies terbanyak kedua. Kelimpahan rotifera berhubungan secara negatif dengan kelimpahan mikroflagelata. Bagaimanapun, laju reproduktif Synchaeta cecilia, yang dihitung sebagai jumlah telur per individu betina atau “egg ratio”, berkorelasi positif dengan jumlah mikroflagelata. Hubungan terbalik antara rotifera dan ciliata herbivora, yang didominasi oleh Strombidium sp. heterotrofik, muncul pada akhir musim semi sampai pertengahan musim panas, yang bersesuaian dengan periode kelimpahan mikroflagelata autotrofik dan heterotrofik.

Laju Penelanan Bakteri Oleh Rotifera di Danau

Ooms-Wilms (1991) mempelajari aktivitas makan bakteri pada zooplankton yang berukuran lebih dari 33 mikron di Danau Loosdrecht, Belanda, pada bulan Juni dan Juli 1990, berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap bakteri yang diberi label fluoresensi (fluorescently labelled bacteria = FLB; 0,5 x 1,5 mikron) di dalam usus zooplankton tersebut. Spesies rotifera yang menelan FLB, dengan urutan laju penelanan makin menurun, adalah : Conochilus unicornis, Filinia longiseta, Anuraeopsis fissa, Brachionus angularis dan Keratella cochlearis. Spesies cladocera yang menelan FLB (Chydorus sphaericus, Bosmina longirostris dan Daphnia cucullata) melakukannya dengan laju yang lebih rendah daripada spesies rotifera. Laju makan bakteri pada rotifera dan cladocera, berdasarkan penelanan FLB, hanya merupakan 1,8 dan 0,01 % per jam, berturut-turut, dari produksi bakteri pada 28 Juni serta merupakan 3,9 dan kurang dari 0,01 % per jam dari produksi bakteri pada 26 Juli.

Referensi :

Dolan, J.R. and C.C.Gallegos. 1992. Trophic Role of Planktonic Rotifers in The Rhode River Estuary, Spring-Summer 1991. Marine Ecology Progress Series, Vol. 85, No. 1 – 2, pp.187 - 199

Herzig, A. and W. Koste. 1988. The Development of Hexarthra spp. in A Shallow Alkaline Lake in Ricci, C., T.W. Snell and C.E. King. (Eds.) 1989. Rotifer Symposium V, pp. 129 - 136

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Ooms-Wilms, A. 1991. Ingestion of Fluorescently Labelled Bacteria by Rotifers and Cladocerans in Lake Loosdrecht as Measures of Bacterivory : Preliminary Results. Memorie dell' Istituto Italiano di Idrobiologia, Vol. 48, pp. 269 – 278

Pejler, B. and B.Berzins. 1988. On Choice of Substrate and Habitat in Brachionid Rotifers in Ricci, C., T.W. Snell and C.E. King. (Eds.) 1989. Rotifer Symposium V, pp. 186 – 187

Segers, H., C.S. Nwadiaro and H.J. Dumont. 1993. Rotifera of Some Lakes in The Floodplain of The River Niger (Imo State, Nigeria). 2. Faunal Composition and Diversity. Hydrobiologia, Vol. 250, No. 1, pp. 63 - 71

Sabtu, 25 Agustus 2018

Uji Rosette dan Pemanfaatannya Untuk Mendeteksi Kehamilan Dini Pada Domba


Pengikatan Antigen Oleh Sel-Sel Tunggal (Uji Rosette)

Fenomena pengikatan sel-sel kekebalan (imunosit) pertama kali diamati oleh Reiss dan kawan-kawan yang melaporkan daya ikat spesifik yang dimiliki bakteri terhadap permukaan sel-sel limfa dari kelinci yang diimunisasi dengan antigen Salmonella atau Brucella. Di antara teknik-teknik yang dikembangkan untuk mendeteksi sel-sel yang mampu mengikat antigen, uji rosette (rosette assay) yang diterapkan untuk eritrosit domba merupakan salah satu teknik yang paling sering dipakai. Eritrosit domba bisa berfungsi langsung sebagai antigen, atau digunakan sebagai pembawa (carrier) antigen lain yang menyelimuti permukaannya.

Sifat-sifat sel pembentuk-rosette (rosette-forming cell, RFC) telah banyak dipelajari. RFC pada dasarnya merupakan anggota seri limfosit, dan daya ikatnya disebabkan oleh adanya antibodi atau reseptor (penerima) mirip-antibodi yang terdapat pada permukaan sel tersebut. Reseptor-reseptor ini tampaknya lebih banyak disintesis oleh sel-sel tersebut, hanya sedikit yang berasal dari luar. RFC bersifat spesifik terhadap satu jenis antigen tertentu dan dibutuhkan untuk mengembangkan kekebalan terhadap antigen tadi. Pengurangan jumlah RFC yang reaktif terhadap antigen eritrosit domba menyebabkan penurunan kekebalan spesifik RFC tersebut. Jumlah RFC reaktif meningkat jauh setelah ada rangsangan antigenik. RFC pada dasarnya merupakan satu tipe sel yang sama sekali berbeda dengan sel-sel pembentuk plak dalam hal respon kekebalan. Bagaimanapun, ada sebagian kecil sel yang dapat melaksanakan kedua fungsi ini, yaitu sebagai sel RFC dan sebagai sel pembentuk plak, yang menunjukkan bahwa sebagian RFC bisa berubah menjadi sel pembentuk plak. Baik sel T maupun sel B mampu membentuk rosette. Selain itu, sel-sel makrofage dapat membentuk rosette dengan sel-sel darah merah domba, mungkin melalui antibodi anti-eritrosit sitofilik.

Satu tipe khusus rosette, yang disebut rosette E, identik dengan limfosit T pada manusia, yang secara spontan mengikat eritrosit domba pada suhu 4 oC. Rosette-rosette spontan ini tidak dibentuk oleh limfosit manusia yang mengandung sel B. Pembentukan rosette E telah dipakai secara luas sebagai dasar untuk mengidentifikasi dan menghitung jumah sel yang berasal dari kelenjar timus manusia dan dengan demikian membantu dalam menyusun definisi istilah “keadaan imunodefisiensi (kurang-kebal)” dan kondisi lain yang mempengaruhi sistem sel T.

Deteksi Kehamilan Dini Pada Domba Dengan Uji Penghambatan Rosette

Uji penghambatan rosette (rosette inhibition test), suatu uji untuk menentukan kemampuan menghambat yang dimiliki serum anti-limfosit terhadap kekebalan, telah diterapkan pada serum domba yang telah kawin. Hasil titrasi uji penghambatan rosette menghasilkan nilai yang lebih tinggi (12 – 26) untuk 7 ekor domba betina yang telah dikawini dan hamil sampai selama 21 hari dibandingkan nilai untuk 5 ekor domba betina yang mandul (8 – 10). Perbedaan ini tampak pada 24 jam setelah perkawinan. Seeor domba betina menghasilkan nilai uji yang tinggi selama 6 hari setelah perkawinan tetapi nilai ini kemudian jatuh dan domba ini kembali mengalami oestrus; pada kondisi ini diduga terjadi keguguran embryo yang baru dibentuk. Domba betina lainnya yang kembali mengalami oestrus tetap mempertahankan nilai uji yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa uji penghambaan rosette dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya fertilisasi, kematian embryo dini dan kelangsungan kehamilan pada domba.

Referensi :

Garvey, J.S., N.E. Cremer and D.H. Sussdorf. 1977. Methods in Immunology. Third Edition. Addison-Wesley Pub. Co., Inc.

Morton, H., C.D. Nancarrow, R.J. Scaramuzzi, B.M. Evison and G.J.A. Clunie. 1979. Detection of Early Pregancy in Sheep by The Rosette Inhibition Test. Journal of Reproduction abd Fertilization, Vol. 56, pp. 75 - 80

Kamis, 23 Agustus 2018

Gerak Refleks Pada Avertebrata

Salah satu ciri pokok organisme hidup, yang selalu ditekankan oleh para ahli biologi, adalah hubungan erat antara hewan dan tumbuhan dengan lingkungan di mana ia tinggal; dan harus diingat bahwa meskipun, dilihat sepintas kilas, organisme merupakan anggota persekutuan yang aktif, lingkungan tidak berarti pasif. Perubahan dan berbagai proses selalu terjadi di dalamnya; perubahan ini mempengaruhi organisme dan, sebaliknya, organisme memberikan respon terhadap perubahan tersebut. Respon sesaat yang bersifat langsung dan sederhana disebut gerak refleks.

Ciri penting gerak refleks adalah kekonstanan respon. Diduga bahwa salah satu ciri mencolok yang membedakan protoplasma sebagai benda hidup dengan benda mati adalah kemampuannya berespon terhadap rangsangan dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh benda mati. Salah satu perkembangan awal respon ini adalah kecenderungan untuk berespon terhadap rangsangan yang sama dengan cara yang sama : respon yang berhasil diikuti oleh suatu organisme memungkinkan organisme tersebut dapat tetap hidup, sedangkan organisme yang gagal berespon akan tersingkir melalui seleksi alam, jadi organisme yang bisa terus hidup menunjukkan gerak refleks yang adaptif dan sangat membantu dalam kehidupannya.

Definisi baku untuk gerak refleks adalah penyesuaian neuromuscular melalui mekanisme sistem saraf yang bersifat menurun (bisa diturunkan ke anak cucu). Definisi ini, yang ditujukan untuk mamalia, atau mungkin untuk vertebrata, berarti bahwa saraf dan otot merupakan syarat mutlak untuk terjadinya gerak refleks; tetapi sebenarnya adalah mungkin bahwa respon refleks sudah muncul sebelum protoplasma mengalami diferensiasi menjadi sel-sel saraf dan sel-sel otot, karena gerak refleks ditemukan juga pada binatang yang tidak mempunyai kedua macam jaringan tersebut.

Invertebrata menunjukkan refleks sesering pada manusia. Dekatkan kepala Anda ke jendela, lihatlah bayangan mata Anda di dalam cermin kecil, maka Anda akan melihat pupil mata menyempit menjadi lingkaran gelap kecil. Jauhkan kepala Anda secara tiba-tiba dari jendela, dan lihat kembali bayangan mata Anda di dalam cermin maka Anda akan melihat pupil mata mengembang; mungkin ukurannya melebihi normal namun kemudian semakin mengecil sebelum mencapai ukuran normal dan tampak lebih besar dibandingkan ketika Anda mendekatkan kepala ke jendela. Penyesuaian otot iris mata terhadap intensitas cahaya merupakan contoh klasik untuk menggambarkan gerak refleks pada manusia, suatu gerak yang terbawa sejak lahir, tidak berubah-ubah, tanpa sadar, dan adaptif.

Sifat adaptif tingkah laku refleks, yakni cara di mana ia membantu menjamin kelangsungan hidup si binatang, ditunjukkan dengan baik oleh semua invertebrata. Sebagai contoh, respon refleks dapat dengan mudah dilakukan oleh cacing tanah bila kita menyentuhnya pelan-pelan bagian tubuh di dekat kepala di mana cacing segera berespon dengan merubah bentuk ekornya dari silindris menjadi oval gepeng. Nilai respon ini tidak jelas terlihat bila cacing ditaruh di atas meja laboratorium tetapi bila ada di alam ia menunjukkan sifat ingin meliang di mana ruas tubuh paling belakang akan memipih sehingga tubuhnya akan lebih kuat “mencengkeram” bumi. Hal ini, dibantu oleh setae (bulu-bulu halus), membuat si cacing hampir tidak mungkin untuk ditarik keluar dari liangnya.

Demikian pula dengan respon sesaat udang crayfish terhadap rangsangan yang menarik dan efektif; pelengkungan abdomen secara mendadak menyebabkan crayfish dapat meloncat mundur dengan cepat sehingga menjauhkannya dari bahaya.

Adalah penting untuk memperhatikan bahwa gerak cacing tanah dan crayfish ini adalah gerak refleks yang harus dilakukan seolah-olah tidak ada pilihan respon lain sehinga ia merupakan bentuk respon yang terjadi secara teratur; karena itu ia merupakan tingkah laku yang paling menyolok yang ditunjukkan oleh banyak invertebrata. Dengan kata lain, di antara beberapa reaksi yang mungkin terhadap beberapa rangsangan, ada kecenderungan untuk melakukan respon mendadak sebagai respon refleks yang pertama kali dilakukan dalam berbagai kondisi lingkungan.

Labah-labah memberikan gambaran yang sangat baik mengenai hal ini. Tubuhnya memiliki otot yang sangat kecil di dalam abdomennya, karena abdomen ini hampir dipenuhi oleh kelenjar pencernaan, usus dan gonad, dan hanya organ pemintal sutra saja yang membutuhkan otot untuk menggerakannya, sementara cepalotorak, bagian depan tubuh, memiliki otot yang dibutuhkan untuk menggerakan rahang, palpi dan kaki. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan bila gerak refleks sering ditunjukkan oleh kaki; yang mengherankan adalah hasil yang ditimbulkannya.

Respon umum labah-labah terhadap hampir semua jenis rangsangan mendadak adalah berkontraksinya otot yang mengangkat paha sehingga kakinya dapat ditarik mendekati tubuh dengan cepat. Kita menamakan gerak ini “refleks fleksor”.

Sementara labah-labah beristirahat, perubahan metabolik yang mempengaruhi otot dan saraf kaki berlangsung pelan dan terus-menerus sehinga si binatang tetap dalam posisi semula. Hal ini dikenal sebagai “tonic reflex”, dan ahli biologi menganggapnya sebagai bentuk tingkah laku. Seperti yang telah dikatakan, ahli biologi tidak membatasi definisi kata tingkah laku untuk perubahan suatu aktivitas, tetapi memperluasnya hingga meliputi semua kejadian yang berlangsung di dalam tubuh binatang.

Ketika sebuah rangsangan mendadak merusak keseimbangan, tonic reflex digantikan oleh yang lain, dan tubuh binatang berubah dari keadaan diam menjadi keadaan lain yang aktif dan seimbang agar sesuai dengan lingkungannya. Sangat sering penyesuaian ini berlangsung cepat dan otot beraksi sangat singkat. Impuls saraf, bagaimanapun, mungkin terus mengantarkan muatannya dan si binatang tetap diam tak bergerak pada posisinya yang baru hingga impuls saraf berhenti atau ada kejadian lain yang memaksa si binatang bergerak. Yang menarik adalah arti penting aksi diam tersebut bagi kelangsungan hidup si binatang.

Gerakan mungkin merupakan bukti yang paling umum adanya mahluk hidup, bila dibandingkan dengan bau misalnya, meskipun hal ini lebih sering menyesatkan. Bila seorang fotografer burung atau pengamat cerpelai ingin agar kehadirannya tidak diketahui maka yang pertama-tama dilakukan adalah diam tak bergerak, demikian pula dengan labah-labah yang tak bergerak mungkin lolos dari pandangan musuhnya atau dikira benda mati.

Labah-labah yang diam tak bergerak dan ditempatkan di pinggan putih dalam sebuah laboratorium tampak seperti labah-labah mati, tetapi bila binatang yang pura-pura mati ini ditempatkan di alam aslinya maka ia akan tersamar dengan sekelilingnya. Tak ada contoh yang lebih baik mengenai hal ini selain labah-labah bukit pasir Inggris, Philodromus fallax, yang sangat sulit dilihat bila ia diam tak bergerak dan merapatkan diri ke pasir.

Ada jenis labah-labah dengan paha berwarna lebih cerah dibandingkan bagian kaki lainnya, dan bila sekonyong-konyong terjadi refleks fleksor yang menarik kaki tersebut merapat ke tubuh maka warna aha tersebut akan terlihat seperti kilatan api, yang merupakan alat perlindungan terhaap katak pohon. Mata redator dipusatkan pada benda berwarna yang bergerak, dan menghilangnya warna secara mendadak mengganggu usaha oenyerangan oleh predator ini.

Arti penting biologis dari semua contoh di atas cukup besar. Mereka mewakili bentuk gerak refleks yang sangat menekankan sifat adaptif tingkah laku yang sangat berperan dalam kelangsungan hidup si binatang. Refleks vertebrata seperti batuk dan bersin, atau melebar dan menyempitnya pupil seperti disebutkan di muka, sangat penting bagi kehidupannya.

Ada gerak refleks yang mungkin bisa disamakan dengan refleks vertebrata di atas. Refleks fleksor bisa dianggap merupakan respon yang paling mudah dilakukan yang tidak membutuhkan tipe gerak khusus, merupakan cara paling cepat dan lebih terarah untuk membuang kelebihan “energi saraf” yang mengikuti rangsangan yang diterima alat indra. Bila benar, hal ini mungkin bisa disamakan dengan refleks tertawa pada manusia. Sebab yang tepat mengapa manusia merasa sesuatu itu lucu telah lama diperdebatkan, tetapi tak diragukan bahwa humor itu sendiri menyebabkan kita tertawa dengan spontan bila ada kebutuhan untuk melepaskan tegangan saraf secepatnya. Saya tak bermaksud sejauh itu bahwa labah-labah akan tertawa sambil menarik kakinya namun uraian ini hanya untuk mensejajarkannya.

“Refleks pertama” yang dilakukan kalajengking cukup menarik untuk dibahas. Seekor kala jengking dipersenjatai dengan sengat pada ekornya yang aktif itu, dan bila diancam maka ia akan balik mengancam dengan sengatnya. Ekor, yang sebenarnya bukan ekor melainkan ruas abdomen terakhir (ruas keenam), ditegakkan dan sengat digerakan ke depan dengan cepat. Kala jengking tidak menyengat ke belakang seperti lebah, tetapi ke arah depan dengan posisi sengat di atas kepala, mungkin agar mudah mencapai dan menusuk mangsa yang telah digigitnya. Refleks penyengatan ini dapat dirangsang oleh keadaan di mana korban (mangsa) meronta-ronta atau musuh mengancamnya atau keadaan serupa ini misalnya bila ia diberi kloroform (obat bius) atau bila punggungnya dikenai sinar matahari yang difokuskan dengan lensa sehingga ia kepanasan. Hal ini menarik. Legenda lama menceritakan bahwa kala jengking akan membunuh diri dengan menyengat dirinya sendiri bila lingkungan di sekitarnya dibakar.

Kala jengking angin, atau labah-labah unta, dari ordo Solifugae, tidak beracun dan reaksinya terhadap gangguan tampak tidak berguna. Mereka juga menaikkan abdomen hingga tegak, dengan sudut tegak kurus terhadap cephalotorak, dan sama seperti kala jengking mereka akan bereaksi serupa bila dibius atau ditetesi alkohol. Ahli-ahli zoologi yang beruntung dapat mengamati Solifugae di alam aslinya melaporkan adanya kemiripan dengan kala jengking asli; jadi reaksi menegakkan abdomen secara mendadak namun sebenarnya tak berguna ini karena ia tidak beracun merupakan bentuk mimikri. Solifugae tak beracun lain juga berusaha menampilkan kesan bahwa ia merupakan kala jengking ganas.

Segmentasi tubuh avertebrata memungkinkan gerak refleks bisa dilakukan oleh satu segmen saja, atau oleh dua segmen yang berdekatan, atau oleh sekelompok segmen. Gerak maju cacing tanah, misalnya, di mana gelombang pengerutan dan pengembangan tubuh menjalar dari satu segmen ke segmen lain, menunjukkan bahwa rangsangan kontraksi merambat sepanjang tubuh. Demikian pula, labah-labah bisa melipat atau menarik sepasang, dua pasang atau empat pasang kakinya. Dari sini labah-labah sering menunjukkan gerak refleks oleh sebagian tubuhnya sehingga dikatakan bahwa ia hidup lagi setelah mati.

Banyak ahli biologi muda yang terkejut ketika menyaksikan jantung kodok berdenyut sebentar setelah perikardiumnya disingkirkan. Jantung tadi mungkin terus berdenyut selama beberapa menit meskipun hanya dibiarkan begitu saja tanpa kita bantu. Pengamatan terhadap hal ini menunjukkan bahwa kematian tidak berlangsung serentak di seluruh tubuh, dan bahwa aktivitas normal organ-organ penting “mati” paling akhir.

Sebaliknya dengan pemisahan organ-organ penting. Seekor serangga yang dipotong mejadi tiga bagian maka toraknya (yang memiliki ketiga pasang kaki) akan berjalan sendiri meninggalkan abdomen dan kepalanya. Hal ini tidak mustahil karena ganglia saraf penting dan sinus darah terdapat di dalam torak. Tetapi hal ini tidak terjadi pada kaki yang terputus yang tidak mempunyai hubungan dengan sistem saraf pusat, dan pemutusan kaki merupakan hal yang umum dijumpai di duna krustasea dan arachnida sebagai hasil proses autotomi. Salah satu contoh yang paling terkenal untuk tingkah laku ini adalah gerak kejang yang sering dilakukan oleh kaki harvestmen (sejenis labah-labah) setelah kakinya itu dicopot. Dulu pernah diduga bahwa fenomena ini dilakukan oleh kaki itu sendiri sebagai cara labah-labah harvestmen menghindari predator. Teorinya adalah bahwa predator menyerang harvestmen dengan menangkap kakinya yang dengan segera dilepaskan oleh harvestmen sendiri, dan sementara predator sibuk menaklukan kaki tersebut yang terus meronta-ronta harvestmen melarikan diri dengan ketujuh kakinya yang tersisa itu.

Saya tidak tahu apakah cerita ini benar-benar pernah diamati oleh peneliti ataukah hanya khayalan saja; tetapi yang saya ketahui adalah bahwa bila saya sedang mencari harvestmen maka saya sering menjumpai salah satu kakinya menggeletak di atas tanah dengan kaki membengkok pada sendi metatarsal-tibial (= dengkul pada manusia). Terlihat bahwa kaki yang terputus ini, tidak seperti keenam kaki serangga, tidak berhubungan dengan ganglia sistem saraf utama. Akibatnya adalah bahwa meskipun bulu-bulu setae pada kaki labah-labah menyentuh tanah namun ia tidak dapat menerima impuls saraf dari pusat saraf. Oleh karena itu “teori refleks” gugur di sini, dan gerakan kaki tidak dapat dianggap sebagai “adaptasi neuromuscular”. Ia lebih mirip dengan denyutan jantung katak seperti diceritakan di atas, dan rangsang luar pastilah menimbulkan respon langsung pada jaringan kaki tersebut.

Referensi :

Savory, T. 1959. Instinctive Living. A Study of Invertebrate Behaviour. Pergamon Press. London

Rabu, 22 Agustus 2018

Fisiologi Hibernasi dan Estivasi


Hibernasi Larva Mimi, Limulus

Larva mimi Limulus polyphemus berkembang dari telur yang ditimbun oleh induknya di dalam sedimen intertidal. Kebanyakan larva ini muncul dari sedimen selama musim panas. Botton et al. (1992) melaporkan bahwa sebagian kecil populasi larva mimi ini di pantai Teluk Delaware (New Jersey, USA) bisa menunda kemunculan tersebut, dan tetap hidup di dalam sedimen hingga musim semi berikutnya. Larva mimi yang melewati musim dingin ini ditemukan di dalam jalur selebar 3 meter di daerah mid-tide (pertengahan pasang surut) pada kedalaman sedimen lebih dari 15 cm. Sebanyak 1.000 sampai 10.000 larva mimi hidup per meter persegi telah ditemukan sepanjang musim dingin dan awal musim semi. Fenomena ini memiliki arti penting ekologis karena kemunculan larva pada awal musim semi (setelah melewati musim dingin) terjadi ketika pemangsaan oleh burung adalah minimal. Pengadukan sedimen oleh angin badai musim dingin bisa menjadi faktor utama yang membatasi kelangsungan hidup kelompok larva mimi yang melewati musim dingin tersebut.

Hibernasi Mengubah Sistem Kekebalan Kodok Rana

Cooper et al. (1992) menyatakan bahwa organ-organ limfomyeloid dan populasi leukosit darah pada kodok leopard, Rana pipiens, mengalami perubahan menyolok selama hibernasi (tidur musim dingin) pada suhu 4 °C. Di dalam darah, ginjal, timus, badan jugular dan sumsum tulang populasi jaringan pembentuk darah berkurang secara berkelanjutan yang mengakibatkan limfosit banyak berkurang. Penghentian periode hibernasi 135-hari menyebabkan pemulihan semua unsur pembentuk darah di dalam darah dan organ limfomyeloid dalam waktu 30 hari. Kodok yang menjalani hibernasi eksperimental dan diimunisasi menunjukkan lemahnya respon kekebalan bila dikeluarkan dari tempat hibernasi. Jumlah “Plaque Forming Cell” (PFC; sel pembentuk plak) berkurang dalam ginjal, badan jugular dan sumsum tulang, dan antibodi serum juga berkurang. Walaupun kinetika respon primer pada dasarnya sama, namun respon sekunder berbeda yang menunjukkan penyusunan-kembali secara besar-besaran dalam hubungannya dengan jumlah sel dan fungsinya dalam mensekresi antibodi. Aplasia (berhentinya pertumbuhan jaringan) limfosit bertanggung jawab atas ketiadaan respon imunologis selama periode hibernasi.

Peningkatan Konsentrasi Hemosianin Selama Estivasi Pada Siput

Reddy et al. (1978) menentukan kadar protein dan tembaga di dalam darah dan di dalam hemosianin murni dari siput Pila globosa yang aktif dan yang berestivasi (menjadi pasif atau “tidur” selama kondisi tak menguntungkan misalnya kekeringan). Hemosianin adalah sejenis pigmen pernafasan yang mengandung tembaga, mirip dengan hemoglobin. Hemosianin ditemukan terlarut di dalam limfa darah pada beberapa jenis moluska dan artropoda. Konsentrasi tembaga dalam hemosianin moluska berkisar dari 0,245 sampai 0,260 % sedangkan konsentrasi tembaga dalam hemosianin artropoda adalah 0,166 sampai 0,180 %. Disimpulkan bahwa ada peningkatan yang menyolok dalam hal kadar tembaga dan hemosianin pada darah siput yang berestivasi. Rasio persen tembaga/protein adalah sebesar 0,255 di dalam hemosianin murni dari siput yang aktif dan siput yang berestivasi, yang memperkuat dugaan bahwa hemosianin memiliki berat molekul minimal 24.910.

Reddy et al. (1978) menambahkan bahwa kadar tembaga dalam siput yang aktif adalah 46,97 mikrogram/ml. Konsentrasi tembaga pada siput yang berestivasi meningkat tajam sebesar 23 % (menjadi 57,79 mikrogram/ml), konsentrasi hemosianin juga meningkat dengan nilai yang sama karena konsentrasi tembaga dalam darah sebanding dengan konsentrasi hemosianin. Peningkatan konsentrasi tembaga dalam darah pada siput yang berestivasi mungkin disebabkan oleh pelepasan tembaga dari hepatopankreas. Konsentrasi tembaga dan protein dalam hemosianin murni juga meningkat pada siput yang berestivasi. Total konsentrasi protein dalam darah menurun sekitar 20,1 % pada siput yang berestivasi, mungkin disebabkan oleh pemanfaatan protein. Peningkatan konsentrasi hemosianin pada siput yang berestivasi mungkin merupakan respon terhadap kondisi hipoksik (konsentrasi oksigen di bawah normal) selama estivasi.

Pada siput aktif hanya 49,9 % dari total protein merupakan hemosianin sedangkan pada kebanyakan binatang yang darahnya mengandung hemosianin 90 % dari total protein darah merupakan hemosianin. Rendahnya persentase protein hemosianin pada binatang aktif mencerminkan bahwa cara hidup siput tersebut adalah pasif. Persentase protein sisanya (50,1 %) pada binatang aktif mungkin terdiri dari protein dengan berat molekul rendah. Pada siput yang berestivasi, sebanyak 76,7 % dari total protein merupakan hemosianin. Peningkatan ini mungkin disebabkan oleh adanya pemanfaatan protein berberat molekul rendah yang menurun sampai 23,3 %. Peningkatan konsentrasi tembaga dan penurunan konsentrasi protein berberat molekul rendah di dalam darah siput yang berestivasi menyebabkan meningkatnya konsentrasi hemosianin. Hal ini memberi petunjuk bahwa sintesa hemosianin mungkin berlangsung di dalam sel-sel darah seperti yang ditunjukkan oleh mimi (Limulus).

Peningkatan konsentrasi hemosianin pada gastropoda yang berestivasi mungkin merupakan respon terhadap kondisi hipoksik selama estivasi. Banyak peneliti melaporkan terjadinya peningkatan konsentrasi hemoglobin pada kondisi hipokosia. Arti penting aspek ini adalah kemampuan hemosianin dalam darah pada kondisi estivasi untuk mengikat sebagian besar molekul oksigen yang ada, sehingga selalu ada perbedaan konsentrasi antara oksigen di dalam dan di luar jaringan, dan akibatnya oksigen dengan cepat masuk ke dalam jaringan tersebut. Hal ini mungkin merupakan adaptasi berkaitan dengan kelangkaan (atau sama sekali tidak ada) mekanisme transpor aktif bagi oksigen molekular.

Berat molekul minimal hemosianin Pila globosa adalah sekitar 24.910. Nilai ini dengan mudah dapat dibandingkan dengan nilai untuk gastropoda lain. Karena satu molekul oksigen bergabung secara stoikiometri dengan dua atom tembaga, berat molekul unit fungsional oksihemosianin adalah sekitar 49.820. Berat molekul unit fungsional ini pada beberapa gastropoda menunjukkan nilai yang hampir sama. Hal ini memperkuat dugaan bahwa unit fungsional hemosianin pada semua gastropoda kurang lebih memiliki sifa-tsifat fisiko-kimia yang sama.

Perubahan Metabolisme Protein Pada Siput Yang Berestivasi

Sing dan Nayeemunnisa (1977) mengamati perubahan konsentrasi RNA, protein, total asam amino bebas, amonia dan urea pada ganglia visceral, pleuropedal dan cerebral dari siput yang sedang aktif dan siput yang berestivasi selama sembilan bulan. Ada banyak informasi mengenai ketidaknormalan metabolisme protein pada berbagai jaringan siput Pila globosa selama berestivasi. Telah dilaporkan bahwa pada siput yang berestivasi konsentrasi protein dan asam amino meningkat dalam jaringan kaki, hepatopankreas dan mantel. Studi terdahulu mengenai estivasi menunjukkan bahwa rangsangan dehidrasi (kekeringan) atau tekanan osmotik yang lebih lama mendorong aktifnya RNA dan mekanisme pensintesis protein. Estivasi mempengaruhi sifat osmotik dan menyebabkan dehidrasi pada Pila globosa. Konsentrasi RNA, protein dan total asam amino bebas meningkat pada siput yang berestivasi. Konsentrasi asam glutamat meningkat dua kali lipat sedangkan konsentrasi amino transferase menurun tajam dalam sistem saraf Pila globosa selama estivasi. Konsentrasi amonia menurun pada siput yang berestivasi sedangkan konsentrasi urea meningkat pada ganglia visceral dan pleuropedal. Bagaimanapun, konsentrasi urea pada ganglion cerebral siput yang berestivasi telah dilaporkan mengalami penurunan.

Sumber Energi Selama Estivasi Pada Pila globosa

Sing dan Nayeemunnisa mempelajari perubahan konsentrasi glukosa dan glikogen pada ganglia cerebral, pleuropedal dan visceral selama estivasi pada siput Pila globosa. Pada umumnya penurunan konsentrasi glikogen dalam ganglia cerebral dan konsentrasi glukosa dalam ganglia viscera terlihat selama estivasi. Penurunan ini bisa jadi disebabkan oleh pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi selama estivasi. Kebutuhan energi selama estivasi dipenuhi melalui pemanfaatan glikogen pada gastropoda Helix dan Pila virens. Penelitian lain menunjukkan bahwa lipida dan karbohidrat dimanfaatkan sebagai sumber energi cadangan selama estivasi pada Cryptosona.

Referensi :

Botton, M.L., R.E. Loveland and T.R. Jacobsen. 1992. Overwintering by Trilobite Larvae of The Horseshoe Crab Limulus polyphemus on A Sandy Beach of Delaware Bay (New Jersey, USA). Marine Ecology Progress Series, Vol. 88, No. 2 – 3, pp. 289 – 292

Cooper, E.L.., R.K. Wright, A.E. Klempau and C.T. Smith. 1992. Hibernation Alters The Frog’s Immune System. Cryobiology, Vol. 29, No. 5, pp. 616 – 631

Reddy, M.V., S. Krupanidhi, V.V. Reddy and B.P. Naidu. 1978: Purified Haemocyanin in The Blood of Fresh Water Amphibious Snail, Pila globosa (Swainson)in Relation to Aestivation. Proceedings Indian Academy of Science, Vol. 87 B, No. 6, pp. 133 – 136

Singh, I. and Nayeemunnisa. 1977. Neurochemical Correlates of Aestivation : Changes in Ganglionic Protein Metabolism in Indian Apple Snail Pila globosa. Proceedings Indian Academy of Science, Vol. 86 B, No. 2, pp. 139 – 142

Selasa, 21 Agustus 2018

Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya


Pengaruh Cahaya dan Hidrogen Peroksida Terhadap Escherichia coli

Arana et al. (1992) mempelajari mekanisme bagaimana cahaya-tampak menyebabkan sel Escherichia coli menjadi dorman/tak aktif sehingga tidak dapat dikultur. Cahaya-tampak mungkin beraksi secara langsung terhadap sel Escherichia coli atau menghasilkan produk-cahaya (photoproduct) yang berdampak negatif terhadap sel tersebut. Dalam kondisi tak ada cahaya, peningkatan pemberian hidrogen peroksida (salah satu produk-cahaya yang terbentuk dalam sistem akuatik alami), menyebabkan peningkatan jumlah sel Escherichia coli yang tidak dapat dikultur dan sel yang dapat dikultur tapi rusak. Efek negatif ini tergantung pada konsentrasi peroksida. Dalam kondisi ada cahaya, penambahan senyawa-senyawa yang dapat menghilangkan hidrogen peroksida (misal, katalase, natrium piruvat dan tioglikolat) memberikan efek perlindungan bagi sel-sel Escherichia coli, karena jumlah CFU (Colony Forming Unit; unit pembentuk koloni) pada medium minimal dan pada medium yang pulih dari gangguan adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan bila senyawa-senyawa tersebut tidak ada. Bila hidrogen peroksida disingkirkan, jumlah CFU pada medium yang pulih dari gangguan tidak berkurang secara nyata, yang menunjukkan bahwa sel-sel yang tidak dapa dikultur tidak terbentuk. Hasil penelitian ini membuktikan adanya dampak langsung cahaya-tampak terhadap sel Escherichia coli dan bahwa hidrogen peroksida, yang terbentuk secara fotokimia, bisa menyebabkan Escherichia coli tidak dapat dikultur dalam sistem yang terkena cahaya.

Keberadaan Escherichia coli Pada Jaringan Ikan Yang Terluka

Kar et al. (1990) melakukan penelitian sejak Juli 1988 terhadap luka pada ikan yang bersifat wabah di Assam, India, yang menunjukkan bahwa ikan, terutama empat spesies yang tergolong genus Puntius, Channa, Macrognathus, dan Mystus, banyak diserang oleh penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian penyakit mungkin tidak disebabkan oleh polutan organik atau radioaktif dan logam berat. Kultur bakteri menunjukkan adanya koloni Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam luka pada otot permukaan dan jaringan insang, sedangkan studi dengan mikroskop elektron menunjukkan adanya virus di dalam otot dan insang ikan yang sakit.

Sumber Escherichia coli Pada Ikan Bentik dan Ikan Pelagis

Hansen et al. (2008) melaporkan bahwa Escherichia coli dan bakteri coliform tinja telah diisolasi dari lima spesies ikan bentik dan empat spesies ikan pelagis untuk menentukan peranannya dalam pencemaran tinja di perairan rekreasi. Semua ikan dikumpulkan selama musim gugur tahun 2006 di Southworth Marsh, Minnesota, sebuah pantai publik yang banyak mengandung Escherichia coli. Meskipun bakteri coliform tinja diisolasi dari kesemua spesies ikan, mereka hanya diisolasi dari 66 % dan 72 % dari individu ikan bentik dan ikan pelagis, berturut-turut. Sementara 42 % bakteri coliform tinja dari ikan bentik adalah Escherichia coli, hanya 4 % bakteri coliform tinja dari ikan pelagis adalah Escherichia coli. Spesies ikan yang berbeda bisa mengandung galur Escherichia coli yang identik, dan beberapa ikan bisa mengandung banyak galur Escherichia coli. Galur Escherichia coli yang diperoleh adalah sangat mirip dengan galur yang diisolasi dari sedimen, angsa Kanada, itik mallard dan air limbah. Tak satupun DNA Escherichia coli dari ikan yang sesuai dengan DNA isolat Escherichia coli dari pantai atau perairan manapun. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bentik mengandung Escherichia coli, adalah lebih tepat untuk menganggap ikan-ikan ini sebagai vektor Escherichia coli dari sumber-sumber lain, bukannya menganggap ikan bentik sebagai sumber baru pencemaran Escherichia coli di lingkungan perairan.

Dinamika Populasi Escherichia coli di Dalam Usus Ikan

Del Rio-Rodriguez et al.(1997) meneliti keberadaan Escherichia coli dalam usus ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Infeksi dilakukan dengan memberikan makanan yang tercemar tetapi tidak melalui perendaman. Pada suhu 15 oC, Escherichia coli meningkatkan jumlahnya di dalam usus ikan setelah jumlahnya semula turun, dan masih dapat dideteksi setelah 4 hari. Pada suhu 6 oC, bakteri ini terdeteksi selama 2 hari tetapi jumlahnya berkurang terus. Kecenderungan yang sama juga terlihat bila ekstrak isi perut diinokulasi dengan Escherichia coli secara in vitro (di luar tubuh mahluk hidup), setelah menurun pada awalnya, pertumbuhan bakteri kembali pulih. Isi perut secara in vitro juga merupakan lingkungan yang cocok untuk transfer kekebalan dengan perantaraan plasmid.

Kekebalan terhadap oksitetrasiklin telah berhasil ditransfer dari Aeromonas salmonicida ke Escherichia coli. Hal ini tidak dapat dilakukan secara in vivo (di dalam tubuh mahluk hidup), mungkin karena inokulum Aeromonas salmonicida untuk setiap ikan tidak cukup banyak sebab ia tidak dapat mengering dengan baik pada pakan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu sekitar 15 oC, keberadaan Escherichia coli pada ikan tidak bisa dijadikan indikator bahwa ikan tersebut baru-baru ini berenang melewati perairan yang tercemar. Keberadaan bakteri ini mungkin disebabkan infeksi telah terjadi beberapa hari yang lalu sebelum ikan diteliti, dan infeksi tersebut mungkin terjadi di tempat yang jauh dari lokasi penelitian. Selain itu, meskipun transfer kekebalan terhadap antibiotik bisa terjadi di dalam usus, kemungkinan dampak hal ini terhadap manusia adalah rendah (Del Rio-Rodriguez et al., 1997).

Escherichia coli Dalam Usus Ikan Laut : Kekebalannya Terhadap Antibiotik dan Logam Berat

Alves De Lima E Silva dan Hofer (1993) mengisolasi Escherichia coli dari saluran usus ikan laut yang ditangkap di sepanjang pantai tercemar di Rio de Janeiro, Brazil, dan meneliti bakteri ini dalam hal kekebalannya terhadap tujuh jenis antibiotik dan empat logam berat. Hampir 40 % dari galur bakteri yang diamati adalah kebal terhadap satu atau beberapa jenis antibiotik; yang dominan adalah monoresitansi (satu-kekebalan) dan biresistansi (dua-kekebalan). Kekebalan total terhadap logam berat adalah 70,7 %, dan kekebalan terhadap logam berat adalah lebih kuat daripada kekebalan terhadap antibiotik saja. Kekebalan terhadap merkuri sangat berkaitan dengan kekebalan terhadap antibiotik dan terutama dengan kekebalan ganda. Sebagian besar galur yang dianalisis mentransfer kekebalan kepada galur penerima selama konjugasi.

Air Buangan Hatchery Menyebabkan Escherichia coli Kebal Antibiotik

Stachowiak et al. (2010) mempelajari dampak air buangan dari hatchery ikan tawar (ikan trout dan kerabatnya) terhadap keberadaan mikroorganisme kebal-antibiotik di sungai kecil. Selama 6 bulan sebelum penelitian, hatchery ini tidak menggunakan antibiotik, namun memakai berbagai jenis biosida secara rutin untuk tujuan kebersihan. Bakteri heterotrofik dan Escherichia coli diisolasi baik dari sampel kolom air maupun sedimen di lokasi yang terletak di bagian hulu (atas) dan bagian hilir (bawah) hatchery, juga dari air buangan hatchery itu sendiri. Isolat yang dipilih secara acak (kira-kira 96 isolat per lokasi) diuji dalam hal kekebalannya terhadap antibiotik ampicillin, cephalexin, eritromisin dan tetrasiklin.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Stachowiak et al. (2010) menyimpulkan bahwa kekebalan terhadap sedikitnya satu jenis antibiotik adalah lebih dari 30 % baik untuk isolat bakteri heterotrofik maupun Escherichia coli dari setiap lokasi sampel. Tidak ada perbedaan nyata antara lokasi-lokasi pengambilan sampel dalam hal proporsi isolat bakteri heterotrofik yang kebal antibiotik apapun. Proporsi isolat Escherichia coli yang kebal tetrasiklin pada sampel air dan sedimen di lokasi penelitian bagian hilir (lokasi ini menerima air buangan) hatchery adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada air atau sedimen di lokasi bagian hulu (lokasi ini tidak menerima air buangan hatchery). Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan bahwa hatchery mungkin merupakan sumber mikroorganisme kebal-tetrasiklin bahkan ketika hatchery tersebut berhenti menggunakan antibiotik ini.

Referensi :

Alves De Lima E Silva, A. and Hofer, E. 1993. Resistance to Antibiotics and Heavy Metals in Escherichia coli from Marine Fish. Environmental Toxicology and Water Quality, Vol. 8, Issue 1, pp. 1 – 11

Arana, I., A. Muela, J. Iriberri, L. Egea and I. Barcina. 1992. Role of Hydrogen Peroxide in Loss of Culturability Mediated by Visible Light in Escherichia coli in a Freshwater Ecosystem. Applied Environmental Microbiology, Vol. 58, No. 12, pp. 3903 - 3907

Del Rio-Rodriguez, R.E., V. Inglis and S.D. Millar. 1997. Survival of Escherichia coli in The Intestine of Fish. Aquaculture Research, Vol. 28, Issue 4, pp. 257 - 264

Hansen, D.L., J. J. Clark, S. Ishii, M. J. Sadowsky and R. E. Hicks. 2008. Sources and Sinks of Escherichia coli in Benthic and Pelagic Fish. Journal of Great Lakes Research, Vol.34, No. 2, pp. 228 - 234

Kar, D., R.G. Michael, S. Kar and S. Changkija. 1990. Studies on Fish Epidemics from Assam. Journal of Indian Fisheries Association, Vol. 20, pp. 73 - 75

Stachowiak, M., S.E. Clark, R.E. Templin and K.H. Baker. 2010. Tetracycline-Resistant Escherichia coli in a Small Stream Receiving Fish Hatchery Effluent. Water, Air, & Soil Pollution, Vol. 211, Issue 1 - 4, pp. 251 - 259

Senin, 20 Agustus 2018

Aeromonas : Keberadaan, Ciri-Ciri, Kelangsungan Hidup, Penyakit dan Imunisasi


Keberadaan Aeromonas Pada Ikan Cyprinidae

Perantoni et al. (1991) melakukan survei status sanitasi di kolam budidaya ikan cyprinidae. Selama lebih dari setahun, aktivitas diagnostik patologi di hatchery dan kolam pemijahan milik ARIS ichtyological centre (Gavello, Modena, Italia) telah dilakukan. Kegiatan ini berlangsung sampai satu siklus produksi penuh. Lebih dari 200 sampel telah dikumpulkan dan lebih dari 700 ikan (karper, tench dan kowan) telah diuji. Infeksi virus tidak pernah terdeteksi. Pengujian bakteriologis menunjukkan beberapa sampel positif mengandung Aeromonas hydrophila. Ada 3 sampel positif untuk Vibrio sp.

Aeromonas dan Bakteri Penghasil Fosfatase Lainnya Pada Ikan dan Kerang

Eapen et al. (1993) mempelajari mikroba-mikroba penghasil fosfatase yang berasosiasi dengan ikan dan kerang di pesisir Trivandrum, India. Jamur dan bakteri heterotrofik total serta jamur dan bakteri penghasil fosfatase di dalam insang, usus dan otot ikan (Etroplus spp., Gerres sp. dan Glossobius sp.) serta organ dalam dan mantel kerang (Vellorita sp. dan Perna sp.) telah diteliti. Parameter-parameter hidrografi lingkungan tempat asal ikan juga dipelajari. Kecuali kerang Perna indica, semua spesies yang diuji mengandung bakteri penghasil fosfatase. Usus ikan mengandung sangat banyak bakteri heterotrofik total maupun bakteri penghasil fosfatase. Penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri penghasil fosfatase terutama adalah Bacillus, Vibrio, Micrococcus dan Corynebacterium spp. Moraxella memperlihatkan pertumbuhan maksimum pada konsentrasi garam 5 % . Moraxella dan Aeromonas peka ke arah air raksa sedangkan 45 % Vibrio menunjukkan pertumbuhan pada 0,4 ppm air raksa.

Membedakan Aeromonas dari Plesiomonas

Sakata dan Yuki (1992) mengembangkan dua media agar-agar diagnostik supaya bisa cepat menghitung dan mengidentifikasi bakteri genus-genus Plesiomonas dan Aeromonas dalam usus ikan air tawar. Agar-agar KS/PLA mengandung fruktosa dan sukrosa sebagai karbohidrat fermentatif serta “cholate” dan “taurocholate” sebagai agen selektif. Agar-agar Z/SPMF mengandung manitol dan fruktosa sebagai karbohidrat fermentatif dan SDS sebagai agen selektif. Galur Plesiomonas membentuk koloni biru keputihan pada agar-agar KS/PLA dan koloni hijau dengan sebuah lingkaran pada agar-agar Z/SPMF, sedangkan galur Aeromonas menghasilkan koloni kuning atau coklat pada kedua media.

Kelangsungan Hidup Aeromonas Dalam Air Laut

Fernandez et al. (1990) dalam Banning (1992) mempelajari kelangsungan hidup bakteri patogen dalam air laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik kelangsungan hidup bakteri patogen ikan dalam air laut tersaring; bakteri tersebut diisolasi dari salmonidae air tawar. Percobaan kelangsungan hidup dilakukan pada suhu 20 °C dan 10 °C dalam tabung uji yang mengandung 12 ml air laut tersaring dengan inokula primer 106 – 108 sel/ml. Absorbance pada 610 nm dan perhitungan jumlah sel hidup digunakan untuk mengamati kemampuan organisme ini dalam bertahan hidup dan untuk dibiakan. Semua bakteri patogen ikan lenyap dengan laju yang berbeda pada suhu 20 °C dan 10 °C setelah 4 bulan. Hanya Aeromonas salmonicida yang tidak dapat pulih 14 hari setelah inokulasi pada suhu 20 °C dan setelah 1 bulan pada suhu 10 °C.

Kerusakan Jaringan Pada Ikan Lele Akibat Aeromonas

Grizzle dan Kiryu (1993) meneliti ikan lele channel catfish Ictalurus punctatus, yang diinfeksi kompleks Aeromonas hydrophila, selama 2 – 21 hari setelah ikan-ikan tersebut dpindahkan dari kolam tanah ke tangki. Infeksi oleh kompleks Aeromonas hydrophila ini dikelompokkan menjadi tiga : infeksi “motile aeromonad septicemia (MAS; infeksi sistemik dan menunjukkan gejala-gejala penyakit), infeksi kulit (infeksi terbatas pada kulit serta otot di bawahnya), dan infeksi laten (infeksi sistemik tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit eksternal). “Hepatic necrosis” (kerusakan jaringan hati) berkaitan dengan semua tipe infeksi tetapi kejadiannya tidak konsisten dan kadang-kadang lebih parah pada ikan dengan MAS. “Hepatic steatosis” juga berkaitan dengan MAS. Ikan yang terinfeksi secara sistemik, yang mencakup ikan dengan infeksi laten, cenderung mengalami “pancreatic atrophy” (penyusutan pankreas) dan “pancreatic necrosis” (kerusakan jaringan pankreas). Sangat kurang jumlah sel darah putih yang memasuki daerah nekrosis dalam hati dan dalam “intrahepatic exocrine pancreas” pada ikan yang terinfeksi, dan tidak ada hubungan konsisten antara infeksi kompleks Aeromonas hydrophila dengan pendarahan hati atau hemosiderosis (kelebihan kadar besi dalam darah sehingga terjadi penimbunan senyawa hemosiderin). Spongiosis (kerusakan jaringan yang menyebabkan jaringan tersebut menjadi seperti sepon) pada epitel insang terjadi pada ikan dengan salah satu dari ketiga tipe infeksi, tetapi ikan dengan MAS menunjukkan branchitis yang lebih parah, seperti ditunjukkan oleh masuknya sel-sel darah putih dan melebarnya pembuluh sinus vena pusat. Ikan dengan MAS atau infeksi laten mengalami pembesaran inti sel di dalam epitel branchial. Ada hubungan nyata antara kerusakan jaringan insang ini dengan kejadian atau tingkat keparahan kerusakan hati dan pankreas. Rata-rata aktivitas aspartat aminotransferase dan laktat dehidrogenase meningkat secara nyata pada ikan dengan MAS tetapi tidak pada ikan dengan dua tipe infeksi lainnya.

Imunisasi Ikan Lele Terhadap Aeromonas

Ford dan Thune (1992) melaporkan bahwa S-layer (lapisan-S) dari aeromonad dapat-bergerak berhubungan dengan bakteri virulen yang menyebabkan penyakit epizootik “motile aeromonad septicaemia” (MAS). Daya imunisasi protein S-layer pada ikan lele channel catfish telah dievaluasi dengan menggunakan esktrak-asam kasar Aeromonas hydrophila positif S-layer. Lele yang diimunisasi dengan ekstrak-asam protein S-layer yang diemulsi di dalam “Freund’s incomplete adjuvant” (FIA) menjadi terlindung dari bakteri virulen homolog, tetapi lele yang hanya diimunisasi dengan FIA saja tidak terlindung. Imunisasi selanjutnya pada lele yang semula tidak terlindung ini dengan menyuntikkan ekstrak-asam kasar S-layer + FIA menyebabkan ikan ini juga terlindung dari isolat homolog maupun isolat positif S-layer kedua yang memiliki berbagai serotype lipopolisakarida.

Daftar Pustaka :

Eapen, A., K. Maya, K. Dhevendaran and P. Natarajan. 1993. Phosphatase Producing Microbes Associated With Fish and Shellfish in Trivandrum Coast. FISH. TECHNOL. SOC. FISH. TECHNOL. KOCHI, vol. 30, no. 1, pp. 62 – 66, ISSN 0015-3001

Fernandez, A.I.G., L.A. Rodriguez and T.P. Nieto. 1992, Survival of Bacterial Fish Pathogens in Sea Water in Banning, P. van (ed.). 1992. PAMAQ IV : Fourth International Colloquium on Pathology in Marine Aquaculture, pp. 271 - 276

Ford, L.A. and Thune, R.L. 1992. Immunization of Channel Catfish With A Crude, Acid-Extracted Preparation of Motile Aeromonad S-Layer Protein. Biomedical Letter, vol. 47, no. 188, pp. 355 - 362

Grizzle, J.M. and Y. Kiryu. 1993. Histopathology of Gill, Liver and Pancreas and Serum Enzyme Levels of Channel Catfish Infected With Aeromonas hydrophila Complex. Journal of Aquaculture and Animal Health, vol. 5, no. 1, pp. 36 – 50, ISSN 0899-7659

Perantoni, P., H. Cappellaro, S. Bignami, S. Ablondi, G. Ceschla. G. Bovo, A. Tasselli, G. Giorgetti and L. Corradini. 1991. Survey on Sanitary Status in A Cyprinid Fish-Farm. BOLL. SOC. ITAL. PATOL. ITTICA, no. 5, pp. 69 – 76

Sakata, T. and T. Yuki. 1992. Diagnostic Media for Differentiation of Plesiomonas From Intestinal Microflora of Freshwater Fish. BULL. JAP. SOC. SCI. FISH., vol. 58, no. 5, p. 977

Sabtu, 18 Agustus 2018

Ekskresi Nitrogen dan Amonia : Pengaruh Faktor Biotik dan Lingkungan


Pengaruh Kelaparan Terhadap Pola Harian Ekskresi Nitrogen

Brett dan Zala (1975) mengukur laju ekskresi amonia dan urea pada anak ikan sockeye salmon (Oncorhynchus nerka) di perairan tawar, pengukuran dilakukan pada selang waktu 2 – 3 jam sepanjang hari, rata-rata bobot ikan 29 gram dan suhu 15 oC. Satu kelompok ikan diberi pakan dengan ransum tetap sedangkan kelompok lain dilaparkan selama 22 hari. Ekskresi amonia meningkat tajam menjadi 35 mg N/kg per jam, 4 – 4,5 jam setelah mulai makan (pukul 08.30) dan turun ke tingkat dasar 8,2 mg N/kg per jam antara pukul 02.00 dan 08.00. Ekskresi urea relatif tetap stabil pada nilai rata-rata 2,2 mg N/kg per jam sepanjang hari. Ikan yang lapar menunjukkan laju ekskresi nitrogen yang mirip baik dengan ekskresi urea yang stabil maupun dengan ekskresi amonia tingkat dasar pada ikan yang diberi pakan. Konsumsi oksigen naik hingga mencapai puncak 370 mg oksigen/kg per jam tepat sebelum dan selama periode makan 1 jam, kemudian menurun menjadi 170 mg oksigen/kg per jam pada pukul 03.00. Untuk ikan yang lapar, fluktuasi metabolik harian ini berlangsung mulai dari awal (namun bervariasi dan nilainya makin berkurang), sedangkan ekskresi nitrogen tidak menunjukkan respon seperti ini. Disimpulkan bahwa untuk salmon pada suhu 15 oC yang tidak mengalami stres, amonia merupakan produk ekskresi utama metabolisme nitrogen eksogen.

Pengaruh Kadar Protein Pakan dan Tingkat Pemberian Pakan Terhadap Ekskresi Amonia

Chakraborty et al. (1992) mempelajari pengaruh kadar protein pakan dan tingkat pemberian pakan terhadap ekskresi amonia pada ikan mas, Cyprinus carpio. Ekskresi nitrogen dalam bentuk amonia ditentukan pada ikan mas yang bobot badannya 65,0 ± 8,0 gram dalam ruang metabolisme. Ikan diberi pakan dengan kadar protein 20, 35 dan 50 % pada tingkat pemberian 1, 2 dan 3 % bobot badan per hari. Ekskresi nitrogen sebagai persentase pakan yang ditelan adalah meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan tetapi menurun dengan bertambahnya tingkat pemberian pakan. Kehilangan energi dalam ekskresi berkisar dari 4,19 % (dengan kadar protein pakan 20 % pada tingkat pemberian 3 %) sampai 8,74 % (dengan kadar protein pakan 50 % pada tingkat pemberian 1 %).

Pengaruh Kelaparan dan Suhu Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976b) mengamati pengaruh kelaparan dan suhu terhadap ekskresi amonia dan urea pada Ikan bass Dicentrarchus labrax yang telah diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ekskresi amonia dan urea menurun selama periode kelaparan 7 hari hingga mencapai nilai konstan yang disebut “Endogenous Nitrogen Excretion” (ENE). Nilai ENE adalah 72 mg N per kg bobot badan ikan per 24 jam untuk amonia dan 12 mg N per kg per 24 jam untuk urea. ENE adalah sama untuk kelompok umur 0, 1 dan 2 serta terjadi lebih lambat pada suhu 16 oC dibandingkan pada 20 oC. Persentase urea yang diekskresi meningkat selama periode kelaparan. Cadangan nitrogen, berdasarkan hasil hitungan, adalah lebih besar pada ikan muda dan pada musim gugur.

Pengaruh Suhu Terhadap Ekskresi Nitrogen

Savitz (1969) mempelajari pengaruh suhu terhadap “Endogenous Nitrogen Excretion” (ENE) pada ikan Lepomis macrochirus yang diaklimasikan terhadap suhu 7,2 , 15,6 , 23,9 dan 29,4 – 32,2 oC. ENE adalah jumlah nitrogen yang diekskresi ketika ikan diberi makanan yang tidak mengandung protein – dalam penelitian ini adalah glukosa. ENE berhubungan secara langsung dengan jumlah protein tubuh yang dimanfaatkan untuk energi, dan protein ini harus diganti sebelum pertumbuhan dapat terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “ekskresi nitrogen endogen” adalah sangat tinggi pada suhu tertinggi dan menurun dengan menurunnya suhu aklimasi dari 29,4 – 32,2 oC ke 15,6 oC. Laju ekskresi nitrogen adalah sama pada suhu 15,6 dan 7,2 oC.

Pengaruh Suhu dan Bobot Badan Ikan Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976a) meneliti pengaruh suhu dan bobot badan terhadap ekskresi amonia dan urea pada ikan Dicentrarchus labrax yang diaklimasikan terhadap suhu 12, 14, 16, 18, 20, 22 dan 24 oC. Laju ekskresi amonia dan urea adalah sangat tinggi pada suhu tertinggi yang dijuji dan menurun dengan menurunnya suhu. Antara suhu 18 dan 24 oC, laju ekskresi amonia adalah sama sedangkan laju ekskresi urea meningkat sejalan dengan naiknya suhu. Laju ekskresi pada ikan kelompok umur 0, 1 dan 2 juga dipelajari; hasilnya menunjukkan bahwa makin muda umur ikan maka laju ekskresinya menjadi faktor yang makin penting.

Pengaruh Volume Air Budidaya dan Konsentrasi Amonia Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976c) mempelajari pengaruh volume air dan konsentrasi amonia lingkungan terhadap ekskresi amonia pada ikan muda yang diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ikan bass Dicentrarchus labrax mengekskresi lebih sedikit amonia nitrogen ketika konsentrasi amonia di sekelilingnya meningkat dan ketika volume air berkurang. Ikan yang menghadapi masalah peningkatan konsentrasi amonia lingkungan menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea. Keracunan amonia terjadi ketika konsentrasi amonia mencapai 10 mg/liter. Volume minimum yang bersifat non-autotoksik bagi ikan bass adalah 12 liter/kg pada suhu 16 oC, 15 liter/kg pada suhu 18 oC dan 15 – 20 liter/kg pada suhu 20 oC.

Pengaruh Konsentrasi Amonia Lingkungan Terhadap Ekskresi Amonia Pada Udang

Chen dan Nan (1992) melaporkan bahwa ekskresi amonia-nitrogen, aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase pada udang Penaeus chinensis (10,38 ± 0,30 gram) yang secara individual dikenai 0,037, 5,043, 10,106 dan 20,093 mg/liter amonia-nitrogen (amonia sebagai nitrogen, baik yang tak terionisasi maupun yang terionisasi) telah ditentukan setiap 4 jam sampai 24 jam. Ekskresi amonia-nitrogen pada udang kontrol (yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 0,037 mg/liter) meningkat sejalan dengan waktu. Ekskresi amonia nitrogen pada udang adalah meningkat dengan meningkatnya konsentrasi amonia-nitrogen lingkungan pada kisaran 0,037 sampai 5,043 mg/liter, tetapi menurun bila kisaran konsentrasi amonia-nitrogen lingkungan 5,043 sampai 20,093 mg/liter. Ekskresi amonia-nitrogen terhambat pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen lebih dari 10,106 mg/liter setelah 4 jam. Udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 20,093 mg/liter mengambil lebih banyak amonia-nitrogen daripada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 10,106 mg/liter. Udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 5,043 mg/liter menunjukkan aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase di dalam insang yang lebih tinggi daripada udang kontrol setelah 4, 8, 16 dan 24 jam. Bagaimanapun, aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 10,106 dan 20,093 mg/liter secara nyata lebih rendah dari pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 5,043 dan 0,037 mg/liter setelah 8 jam.

Daftar Pustaka :

Brett, J.R. and C.A. Zala. 1975. Daily Pattern of Nitrogen Excretion and Oxygen Consumption of Sockeye Salmon (Oncorhynchus nerka) Under Controlled Conditions. Journal of Fisheries Research Board of Canada, Vol. 32, pp. 2479 - 2486

Chakraborty, S.C., L.G. Ross and B. Ross. 1992. The Effect of Dietary Protein Level and Ration Level on Excretion of Ammonia in Common Carp, Cyprinus carpio. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 103 (A), No. 4, pp. 801 - 808

Chen, J.-C. and F.-H. Nan. 1992. Effect of Ambient Ammonia on Ammonia-N Excretion and ATPase Activity of Penaeus chinensis. Aquaculture Toxicology, Vol. 23, No. 1, pp. 1 - 10

Guerin-Ancey, O. 1976a. Experimental Study of The Nitrogen Excretion of Bass (Dicentrarchus labrax) During Growth. I. Effects of Temperature and Weight on The Excretion of Ammonia and Urea. Aquaculture, Vol. 9, pp. 71 - 80

Guerin-Ancey, O. 1976b. Experimental Study of The Nitrogen Excretion of Bass (Dicentrarchus labrax) During Growth. II. Effects of Starvation on The Excretion of Ammonia and Urea. Aquaculture, Vol. 9, pp. 187- 194

Guerin-Ancey, O. 1976c. Experimental Study of The Nitrogen Excretion of Bass (Dicentrarchus labrax) During Growth. III. Effects of Water Volume and Initial Ammonia Concentration on The Excretion of Ammonia and Urea. Aquaculture, Vol. 9, pp. 253 – 258

Savitz, J. 1969. Effects of Temperature and Body Weight on Endogenous Nitrogen Excretion in The Bluegill Sunfish (Lepomis macrochirus). Journal of Fisheries Research Board of Canada, Vol. 26, pp. 1813 - 1821