Minggu, 01 Juli 2018

Bioekologi, Budidaya dan Pengolahan Kepiting

Habitat dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Macnae (1968) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan satu-satunya kepiting portunidae yang secara khas ditemukan di hutan bakau. Ia hidup di dalam liang dan jarang terihat jauh darinya. Irisan melintang liang ini hampir selalu berbentuk elips; liang biasanya panjang, sampai 5 meter, dan turun melandai sampai ke “water table” (lapisan batuan di dalam tanah yang kedap-air). Kepiting ini paling banyak ditemukan di tebing teluk sampai garis air rendah di teluk itu, tetapi mereka juga bisa ditemukan di lantai hutan Bruguiera dan Rhizophora atau di antara akar-akar Avicennia dan Sonneratia pada zona hutan bakau yang mengarah ke laut; kadang-kadang liangnya bisa ditemukan di zona hutan bakau yang mengarah ke darat. Liang seperti ini mudah dikenali dari bentuk pintu masuk dan jumlah lumpur lunak yang dilemparkan di pintu masuk itu. Sepanjang tebing sungai dikabarkan kepiting ini naik ke arah hulu sampai jauh di atas pengaruh air asin. Scylla serrata terdapat di seluruh Indo-Pasifik barat yang meluas ke arah selatan sampai ke dekat Teluk Mossel di Afrika Selatan dan ke Port Jackson di Australia. Ia diaporkan ditemukan di Jepang, Cina dan di beberapa gugusan kepulauan Pasifik.

Migrasi, Reproduksi dan Distribusi Kepiting Bakau

Macnae (1968), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mengulas migrasi dan distribusi kepiting bakau. Kepiting muda memasuki estuaria di sekitar Teluk Manila antara Juni dan Agustus dalam jumlah besar dan diduga bahwa kematangan seksual mungkin tercapai dalam satu tahun. Kepiting betina kadang bermigrasi untuk memijahkan larvanya atau kadang melepaskan larva ke air laut yang sedang surut. Distribusinya yang luas menunjukkan bahwa periode larva pelagisnya lama. Ada laporan penemuan beberapa individu kepiting yang hampir tak tercerna dalam lambung seekor ikan cucut macan (Galeocerdo cuvieri Agassiz) di Kanal Mozambik sekitar 20 km dari tepi paparan benua dan 50 km dari pantai Madagaskar. Dari fakta ini disimpukan bahwa kepiting tersebut juga hidup di tepi paparan benua karena kesegaran individu yang ditemukan dalam lambung ikan cucut itu menghilangkan kemungkinan bahwa mereka dimakan cucut di dekat pantai.

Macnae (1968) menambahkan bahwa di pantai di Inhaca, Scylla memiliki kisaran habitat yang luas. Nelayan lokal melaporkan bahwa kepiting-kepiting terbesar, hampir selalu betina, dikumpulkan dari liang yang terbuka saat pasang ekuinoktial sepanjang kanal di antara tebing-tebing pasir. Diduga bahwa kepiting bermigrasi ke bawah sejalan dengan pertumbuhannya; kepiting-kepiting kecil tertangkap jauh di atas teluk di dalam hutan bakau sedangkan kepiting-kepiting besar tertangkap di bagian teluk yang dekat laut dan di tepi hutan bakau. Individu yang diambil di dalam hutan bakau selalu berwarna gelap, biasanya hijau tua bertotol-totol, sedang individu yang ditangkap di kanal di Inhaca biasanya berwarna kecoklatan, bukannya kehijauan. Tampaknya bahwa, seperti kebanyakan kepiting portunidae lain, kepiting ini dapat mengubah warna sesuai dengan lingkungannya.

Ganti Kulit dan Reproduksi Kepiting Bakau

Macnae (1968) mengutip laporan penelitian mengenai proses ganti kulit (molting) dan pertumbuhan kepiting bakau di Filipina. Kepiting berukuran 6 x 9 mm yang tumbuh menjadi ukuran 90 x 130 mm mengalami 12 kali ganti kulit dengan selang waktu yang meningkat dari 9 hari untuk dua stadium pertama yang diamati sampai 23 hari untuk stadium terakhir yang diamati. Periode total pemeliharaan dan penelitian tersebut adalah 5 bulan. Hal ini menyiratkan bahwa pada kondisi Filipina pertumbuhan kepiting bakau adalah cepat. Perkawinan berlangsung tepat setelah ganti kulit sementara kedua individu masih berkulit lunak. Telur dibawa ke mana-mana selama 17 hari dan menetas sebagai zoea.

Ukuran Kepiting Bakau

Macnae (1968) melaporkan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) terkecil yang pernah ditemukan di estuaria Afrika Selatan memiliki panjang melintang karapas 20 mm. Yang terbesar mencapai lebih dari 200 mm, rata-rata untuk betina adalah sekitar 160 mm, untuk jantan sedikit lebih kecil. Di Srilangka ukuran rata-rata kepiting yang terlihat di pasar adalah sekitar 50 sampai 60 mm – hal ini mungkin disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan. Di Australia dilaporkan bahwa kepiting betina mencapai ukuran 165 mm dan kepiting jantan 195 mm. Kepiting-kepiting yang diperoleh dari Vietnam berkisar dari sekitar 60 sampai 95 mm.

Pengelolaan Perikanan dan Kegagalan Budidaya Kepiting Bakau

Macintosh et al. (1993) melaporkan bahwa kepiting bakau Scylla serrata (Forskaal), merupakan salah satu sumberdaya ekonomi penting dalam ekosistem hutan bakau Ranong di pesisir Laut Andaman di Thailand selatan. Bagaimanapun, ada masalah overfishing (penangkapan berlebihan) yang serius yang menyebabkan nelayan makin banyak menjual kepiting di bawah-ukuran untuk memenuhi kebutuhan pasar dan mempertahankan pendapatan nelayan. Populasi kepiting dan aktivitas penangkapan telah dipelajari untuk merencanakan pengelolaan perikanan kepiting bakau yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap induk kepiting betina dan kemungkinan membudidayakan kepiting muda.

Kepiting yang bertelur selalu berukuran lebih dari 10 cm (lebar karapas), dengan kebanyakan kepiting betina matang gonad dalam kisaran ukuran 10,0 – 11,5 cm. Nilai-nilai indeks gonosomatik mencapai maksimum pada bulan September, dengan periode “membawa-telur” dan periode pemijahan dari Juli sampai Desember. Perlindungan kepiting betina dari tekanan penangkapan selama musim ini, ditambah batas ukuran kepiting yang boleh ditangkap kurang dari 10 cm, atau memelihara kepiting-kepiting tersebut untuk digemukkan di kolam, akan menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik. Budidaya kepiting di Ranong dibatasi oleh faktor-faktor iklim, keberadaan tanah sulfat-asam dan ketiadaan pengetahuan teknis pada nelayan lokal. Percobaan pendahuluan untuk membudidayakan kepiting asal Ranong di daerah Surat Thani yang kondisinya lebih baik memberikan hasil yang terbatas. Meskipun demikian, perbedaan harga yang menyolok antara kepiting liar dan kepiting hasil penggemukan di kolam mendorong usaha budidaya kepiting bakau di Ranong.

Uji Coba Kultur Masal Larva Kepiting

Charmantier-Daures dan Charmantier (1991) melaporkan bahwa planktonkreisel lintas-air, yang dirancang untuk budidaya lobster, yang terdiri dari tangki-tangki bundar bervolume 40 liter dengan dasar cekung, telah dimodifikasi untuk membudidayakan kepiting Cancer irroratus. Modifikasi utamanya adalah sebagai berikut : penggunaan sebuah saringan dengan ukuran lubang 280 mikron dan dipasang mengelilingi sistem arus-keluar; penyaringan air laut dengan saringan 50 mikron selama perkembangan larva kepiting dari tahap zoea 1 sampai zoea 5; tidak ada penyaringan setelah itu; kecepatan arus 2,5 – 3 liter/menit selama perkembangan dari zoea 1 sampai tahap awal megalopa, kemudian 1 – 1,5 liter/menit setelah itu. Pada kondisi ini, tingkat kelangsungan hidup sampai tahap megalopa adalah 69 %, sehingga menghasilkan lebih dari 10.000 megalopa.

Percobaan perbandingan pada kondisi statis, dengan penambahan antibiotik, menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih rendah, jumlah total megalopa lebih sedikit serta ukuran zoea dan megalopa lebih kecil. Planktonkreisel yang telah dimodifikasi sangat sesuai untuk memproduksi megalopa, tetapi gagal mengatasi tingginya tingkat mortalitas yang terjadi selama peralihan metamorfosis dari megalopa ke tahap kepiting pertama. Tingkat kelangsungan hidup maksimal sampai tahap kepiting adalah 12,7 %. Penelitian lebih lanjut seharusnya dilakukan guna memperbaiki kondisi pakan dan rancangan tangki yang lebih sesuai dengan perilaku hidup di dasar yang ditunjukkan megalopa tahap akhir.

Pencucian Dalam Air Klor dan Pemasakan Pendahuluan Meningkatkan Mutu Daging Kepiting

Tinker dan Learson (1972) melaporkan bahwa proses normal pemasakan-pendahuluan dalam industri pengolahan kepiting bisa mengurangi populasi bakteri dalam produk tersebut. Proses pemasakan-pendahuluan ini melibatkan pencucian di dalam air yang mengandung klor 200 ppm, diikuti dengan pengukusan selama 8 menit pada suhu 212 oF. Data mikrobiologi yang membandingkan proses ini dengan proses industri yang biasa dilakukan (pengukusan 10 menit pada suhu 250 oF) menunjukkan bahwa kedua jenis proses tersebut memberikan hasil yang sama dalam hal pengurangan bakteri. Proses pencucian itu sendiri bisa mengurangi bakteri sebanyak rata-rata 99 %. Kepiting yang ditangani dengan cara seperti ini, yang diikuti dengan pengukusan 8 menit pada suhu 212 oF menghasilkan daging yang lebih banyak dengan mutu organoleptik lebih baik dan tingkat mikrobiologisnya bisa diterima oleh standar kesehatan masyarakat.

Perubahan Biokimia Pasca Kematian Dalam Daging Kepiting Selama Penyimpanan

Matsumoto dan Yamanaka (1992) meneliti perubahan kadar glikogen, metabolit glikolitik, senyawa terkait-ATP, asam amino bebas, poliamin dan “volatile basic nitrogen” (VBN; nitrogen basa mudah-menguap) dalam daging kaki kepiting tanner crab Chionoecetes opilio selama penyimpanan pada suhu 5, 0 dan -1 oC. Selama penyimpanan, glikogen teruai dan laktat tertimbun dengan cepat. Kadar hipoksantin meningkat cepat pada tahap awal penguraian. Ornitin meningkat perlahan selama penyimpanan dan makin nyata sejalan dengan berlangsungnya penguraian. VBN juga meningkat perlahan selama penyimpanan.

Karakteristik Penyimpanan Beku Daging Kepiting Mentah dan Matang

George et al. (1990) mempelajari perubahan mutu biokimia dan organoleptik selama pembekuan-lamban dan penyimpanan pada suhu – 18 oC pada ruas dan cangkang capit serta daging kepiting bakau (Scylla serrata), baik yang masih mentah maupun yang diberi perlakuan pemasakan pendahuluan. Kehilangan berat terjadi pada kepiting utuh, ruas dan capit kepiting. Studi penyimpanan beku menunjukkan bahwa dalam waktu 40 minggu ruas kepiting tetap dalam kondisi baik, sedangkan daging rebus menjadi jelek akibat mengalami “browning” (pencoklatan) ringan dan kehilangan cita rasa. Pada capit mentah meskipun warna pigmen berubah dari abu-abu ke hitam, namun cita rasa khasnya tetap lebih baik daripada cita rasa capit rebus.

Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Sifat Kimia dan Bakteriologi Daging Kepiting

Menurut Aman et al. (1983) penyimpanan-beku kepiting mentah dan kepiting matang dalam waktu yang lebih lama menyebabkan perubah-perubahan yang tak dikehendaki, terutama komponen-komponen utamanya seperti protein dan lipida. Penyimpanan kepiting beku yang lebih lama menyebabkan kelarutan protein asli berkurang, dan pada saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah protein yang terurai (tak larut). Hidrolisis dan oksidasi lipida selama penyimpanan beku juga menurunkan kelarutan protein, terutama protein myofibrilar (protein serabut otot). Juga, kapasitas pengikatan-air berkurang pada penyimpanan beku yang lebih lama. Hal-hal tersebut menyebabkan daging kepiting menjadi liat/keras ketika dimasak.

Aman et al (1983) mempelajari pengaruh penyimpanan beku pada suhu -10 oC terhadap karakteristik kimiawi daging kepiting merah Mesir (Carcinus maenas). Penelitian ini melibatkan penentuan nilai-nilai pH, kadar air, total nitrogen, nitrogen protein, total volatile basic nitrogen (TVBN), ekstrak dietil eter, nilai asam, asam tiobarbiturat (TBA) dan total jumlah bakteri (TC; Total Count). Diperoleh hasil bahwa kepiting matang dan kepiting mentah kupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 5 dan 3 bulan, berturut-turut, tanpa terjadi pembusukan. Kepiting mentah tak dikupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 4 bulan tanpa mengalami pembusukan. Perendaman kepiting mentah tak dikupas dalam 20 ppm klorotetrasiklin (CTC) selama 20 menit meningkatkan periode penyimpanan menjadi 5 bulan. Jumlah total bakteri pada daging kepiting dipengaruhi oleh berbagai perlakuan selama penyimpanan beku pada suhu -10 oC. Dapat dilihat bahwa jumlah bakteri total (TC) pada kepiting mentah adalah 0,015 x 106/gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TC pada kepiting mentah yang diberi CTC adalah sangat sedikit, terutama pada penyimpanan beku yang lebih lama dalam suhu -10 oC bila dibandingkan dengan sampel yang tidak diberi perlakuan. Daging kepiting matang selalu menunjukkan nilai TC yang lebih rendah daripada daging kepiting yang tak dimasak (mentah). Secara umum, TC daging kepiting meningkat perlahan-lahan sejalan dengan makin lamanya penyimpanan.

Penyakit Kolera Akibat Mengkonsumsi Kepiting Olahan

Finelli et al. (1992) melaporkan bahwa dari 31 Maret sampai 3 April 1991, sebanyak 8 penduduk New Jersey mengalami mencret parah setelah memakan daging kepiting yang dibawa sebagai oleh-oleh dari Ekuador. Kultur Stool menghasilkan Vibrio cholerae 01, seratype Inaba, biotype El Tor dari 4 orang, dan konsentrasi antibodi vibriosidal adalah sedikitnya 1 : 640 pada 7 orang, yang menunjukkan baru diinfeksi oleh Vibrio cholerae 01. Mengkonsumsi kepiting secara statistik berhubungan dengan penyakit; bagaimanapun, tak ada sisa daging kepiting yang tersedia untuk diuji. Semua dari 8 pasien sembuh total dan tak ada kasus penularan sekunder yang dilaporkan. Ini merupakan kasus kolera pertama di daratan Amerika Serikat yang berhubungan dengan makanan yang dibawa dari daerah yang diserang penyakit epidemi. Pelarangan membawa oleh-oleh makanan laut yang beresiko bisa mencegah terulangnya kasus lebih lanjut.

Perkembangan Industri Pengalengan Kepiting di Dunia

Menurut Martin (1992) dalam Granata et al. (1992), kepiting pertama kali dikalengkan di Amerika Serikat oleh James McMenamin di Norfolk, Virginia, pada tahun 1878. Kesulitan terbesar dalam pengalengan kepiting adalah “discoloration” (perubahan menjadi warna lain yang kurang menarik). Pada tahun 1936, sebuah metode untuk mengatasi masalah pemudaran warna ini telah dikembangkan, dan pada tahun 1938, Harris Company berhasil mengemas kepiting biru yang berasal dari pesisir Atlantik secara komersial. Meskipun proses pengalengan kepiting telah dikembangkan pada tahun 1892, industri Jepang skala komersial belum mantap hingga tahun 1908. Kepiting kaleng Jepang mulai memasuki pasar Amerika Serikat dalam jumlah cukup banyak selama Perang Dunia I. Pada tahun 1931, impor produk ini menyebabkan produksi domestik daging kepiting segar dan kalengan meningkat hampir dua kali lipat. Industri pengalengan kepiting domestik telah berkembang di Alaska, Oregon dan Washington; kesulitan dalam hal pengolahan dan masalah-masalah teknis lainnya telah berhasil diatasi dan pasar untuk produk tersebut telah dikembangkan di negara-negara pesisir Pasifik.

Referensi :

Aman, M.B., E. K. Moustafa, M. E. Zoueil and M. H. Ghaly. 1983. Effect of Frozen Storage on The Chemical and Technological Characteristics of Egyptian Crab Meat. Zeitschrift für Lebensmittel-Untersuchung und Forschung, Vol. 177, Issue 2, pp. 97 - 100

Charmantier-Daures, M. and G. Charmantier. 1991. Mass-Culture of Cancer irroratus Larvae (Crustacea, Decapoda) : Adaptation of A Flow-Through Sea-Water System. Aquacuture, Vol. 97, No. 1, pp. 25 – 39

Finelli, L., D. Swerdlow, K. Mertz, H. Ragazzoni and K. Spitalny. 1992. Outbreak of Cholera Associated With Crab Brought From an Area With Epidemic Disease. Journal of Infective Disease, Vol. 166, No. 6, pp. 1433 - 1435

George, C., K. Gopakumar and P.A. Perigreen. 1990. Frozen Storage Characteristics of Raw and Cooked Crab (Scylla serrata) Segments, Body Meat and Shell on Claws. Journal of Marine Biology Association of India, Vol. 32, No. 1 – 2, pp. 193 – 197

Macintosh, D.J., C. Thongkum, K. Swamy, C. Cheewasedtham and N. Paphavisit. 1993. Broodstock Management and The Potential to Improve The Exploitation of Mangrove Crabs, Scylla serrata (Forskaal), Through Pond Fattening in Ranong, Thailand. Broodstock Management and Egg and Larval Quality, pp. 261 - 269

Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna And Flora of Mangrove Swamps and Forests in The Indo-West-Pacific Region. Advances in Marine Biology, Vol. 6, pp. 73 – 270

Martin, R.E. 2012. A History of The Seafood Industry in Granata, L.A., G.J. Flick, Jr. and R.E. Martin. (Eds.). 2012. The Seafood Industry : Species, Products, Processing and Safety. 2nd Ed. Blackwell Publishing Ltd. Iowa. 469 pp.

Matsumoto, M. and H. Yamanaka. 1992. Post-Mortem Biochemical Changes in The Muscle of Tanner Crab During Storage. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 5, pp. 915 – 920

Tinker, B.L. and R.J. Learson. 1972. An Improved Precook Process for Blue Crab (Callinectes sapidus). Chesapeake Science, Vol. 13, Issue 4, pp. 331 - 333

Penyebab Kekeruhan dan Pengaruhnya Terhadap Binatang Air

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan di Perairan

Akhurst dan Breen (1988) menyatakan bahwa dalam perairan menggenang, variasi kekeruhan yang cukup besar bisa disebabkan oleh variasi masukan dari sungai, pengadukan akibat turbulensi dan sedimen yang tersuspensi-kembali. Kestabilan kondisi kekeruhan tergantung pada gerakan air, ukuran partikel tersuspensi dan laju pengendapan partikel tersebut; laju pengendapan ini berbanding terbalik dengan ukuran dan berat partikel. Perilaku partikel tanah liat dalam suspensi dimodifikasi lebih lanjut oleh lapisan kation yang menempel di permukaan partikel itu. Jadi, sementara partikel tanah liat tetap tersuspensi selama periode yang panjang, terjadi perubahan muatan ion dalam air keruh seperti yang terjadi pada estuaria di mana terjadi percampuran air laut dan air tawar; perubahan muatan ini selanjutnya akan menyebabkan partikel tanah liat menggumpal. Situasi yang serupa juga bisa terjadi di beberapa eksosistem perairan darat seperti sungai dan danau.

Penyebab Kekeruhan di Estuari

Li dan Zhang (1998) melakukan studi perbandingan mengenai sifat-sifat dan transpor sedimen kohesif di muara Estuari Changjiang dan hasilnya menunjukkan bahwa “suspended sediment concentration” (SSC; konsentrasi sedimen tersuspensi) banyak ditingkatkan oleh tersuspensinya-kembali sedimen dasar perairan di daerah muara sungai, bersama dengan pecahnya gelombang pasang-surut dan arus pasang-surut yang kuat. Intrusi (penerobosan) salinitas dan sirkulasi gravitasi vertikal menyebabkan terjebaknya sedimen tersuspensi yang terbawa masuk dari sungai dan laut. Kekeruhan maksimum dengan demikian disumbangkan oleh tersuspensinya-kembali timbunan material dan erosi sedimen. Kekeruhan maksimum di Estuari Changjiang ditandai tidak hanya oleh tingginya SSC bila dibandingkan daerah sekitarnya, tetapi juga oleh tingginya konsentrasi material yang tercuci. Transpor sedimen adalah sangat penting. Kecepatan pengendapan sedimen tersuspensi ditingkatkan oleh flokulasi (penggumpalan). Pengendapan masal selama periode arus yang lemah sering meningkakan pembentukan lumpur cair. Disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kekeruhan maksimum adalah transpor materi secara adveksi dan pompa pasang-surut.

Kekeruhan Estuaria Akibat Pengerukan dan Penggalian Cangkang Kerang

Clark (1977) menjelaskan bahwa cangkang oyster biasanya ditambang dengan sekop penghisap hidrolik yang dilengkapi dengan alat pemotong yang dapat berputar, yang melonggarkan dan memecah kumpulan cangkang dari karang yang menyelubunginya. Biasanya oyster mati yang diselubungi karang tertimbun oleh selapis lumpur yang tererosi dari darat. Gangguan parah terjadi bila lapisan endapan lumpur teraduk dan menyebar ke dalam air. Meskipun dasar perairan mengalami gangguan parah, para ahli masih berselisih mengenai apakah kerusakan yang ditimbulkannya bersiat permanen atau sementara. Kekeruhan di lokasi penggalian cangkang kerang bisa mencapai 10 kali lebih tinggi daripada yang disebabkan oleh arus, angin atau kegiatan pelayaran. Penggalian cangkang juga menimbulkan arus lumpur pekat yang menyelubungi dasar perairan sepanjang lintasannya dan menyebabkan binatang penghuni dasar tersebut mati lemas. Arus lumpur ini bisa membentang 1500 sampai 2000 kaki dari lokasi penggalian. Dampak lain yang mungkin timbul dari penggalian adalah penurunan dalam jumlah besar oksigen terlarut di lokasi penggalian, terjadinya eutrofikasi dan perubahan arus akibat perubahan bentuk basin perairan.

Clark (1977) menambahkan bahwa untuk mencegah polusi seringkali disarankan agar penggalian cangkang dilakukan minimal sejauh 1200 kaki dari terumbu karang oyster hidup dan daerah vital lainnya. Tetapi di Teluk Mobile, Alabama, di mana telah digali parit sepanjang 20 mil dan sebanyak 2 juta yard kubik cangkang digali setiap tahun, arus yang ditimbulkan angin dengan kecepatan 12 – 15 meter per jam menyebabkan massa air keruh mengalir sampai sejauh 1,5 mil dari lokasi penggalian. Foto udara yang dilakukan NASA memperlihatkan massa air keruh sepanjang 20 mil dengan lebar 0,5 mil yang digerakkan oleh angin berkecepaan sedikit lebih tinggi. Jadi, jarak minimal 1200 kaki tidak cukup pada kondisi seperti ini. Pemecahan yang paling baik adalah melarang penggalian terbuka terhadap cangkang kerang di estuaria kecuali bila menguntungkan masyarakat.

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa turbulensi (pergolakan air) yang disebabkan oleh biota kolam jarang menyebabkan kekeruhan akibat tanah liat. Bangunan pemecah gelombang sering memungkinkan perkembangan vegetasi garis pantai kolam yang menurunkan erosi tepian kolam oleh gelombang. Tidak ada hubungan antara kandungan mineral air dengan kekeruhan tanah liat di kolam. Faktor paling penting yang mempengaruhi kekeruhan oleh tanah liat dalam kolam adalah daerah tangkapan-air kolam tersebut. Daerah tangkapan-air yang tak terlindung sangat mudah terkena erosi, dan limpasan air dari daerah seperti ini menyebabkan kekeruhan di kolam. Bagaimanapun, bila tanah tersusun dari tanah liat halus yang tersebar maka hamparan rumput sekalipun tidak dapat mencegah erosi. Sebagai contoh, bercak-bercak tanah yang bersifat basa di daerah tangkapan-air yang tanahnya tersebar dan tidak permeabel terhadap air menyebabkan air limpasan menjadi keruh meskipun tanah tertutup vegetasi. Kekeruhan oleh tanah liat yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang tersebar akan menyebar lebih lama di dalam air kolam daripada kekeruhan yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang menggumpal. Secara umum, tanah liat yang tersebar banyak mengandung natrium, sedangkan tanah liat yang menggumpal mengandung cukup banyak kalsium.

Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan dan Dampaknya

Boyd (1982) mengulas literatur-literatur mengenai penyebab kekeruhan air di kolam ikan. Kekeruhan yang disebabkan oleh plankton biasanya dikehendaki dalam kolam ikan. Ledakan populasi plankton menguntungkan bagi peningkatan produksi ikan dengan mendorong pertumbuhan organisme makanan ikan. Kekeruhan akibat tingginya konsentrasi substansi humus tidak berbahaya secara langsung bagi ikan, tetapi perairan seperti ini biasanya tidak subur akibat keasaman, rendahnya kadar zat hara dan terbatasnya cahaya yang masuk yang diperlukan untuk fotosintesis. Jenis kekeruhan yang sangat tidak dikehendaki adalah yang disebabkan oleh partikel-partikel tanah liat tersuspensi. Kekeruhan akibat tanah liat akan membatasi masuknya cahaya ke dalam air, berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan sebagian partikel akan mengendap di dasar hingga menimbuni telur ikan yang menyebabkan kematiannya serta merusak komunitas bentos.

Produksi Kekeruhan Oleh Ikan Mas Koki

Richardson dan Whoriskey (1992) melakukan percobaan untuk menentukan pengaruh ukuran tubuh, ukuran populasi dan struktur populasi serta suhu terhadap produksi kekeruhan oleh ikan mas koki (Carassius auratus) yang sedang mencari makan di kolam laboratorium. Suhu air berhubungan dengan pembangkitan kekeruhan, yang memuncak pada suhu 25 oC, tetapi menurun pada suhu 30 oC. Ikan mas koki menunjukkan aktivitas diurnal (aktif siang hari) pada semua suhu selain 25 oC, di mana perilaku nokturnal (malam hari) dominan. Panjang tubuh maupun ukuran populasi berpengaruh positif terhadap produksi kekeruhan. Kelompok yang terdiri dari sedikit ikan besar menghasilkan kekeruhan yang lebih nyata daripada kelompok yang terdiri dari banyak ikan kecil dengan biomas yang sama. Biomas dengan demikian merupakan penduga yang buruk untuk meramalkan tingkat kekeruhan, membuatnya sulit untuk memperkirakan dampak ikan mas koki terhadap komunitas multispesies setelah berhasil melakukan kolonisasi.

Pengapuran Menurunkan Kekeruhan

Boyd (1982), berdasarkan laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa ion-ion kalsium dan magnesium dalam air mendorong pengendapan koloid. Pemberian kapur menurunkan konsentrasi bahan organik koloid dan meningkatkan kedalaman pemasukan cahaya untuk fotosintesis. Pengapuran akan memudarkan warna air akibat humus dan mengurangi kekeruhan yang diakibatkan koloid partikel tanah liat. Derajat penghilangan kekeruhan tergantung pada tingkat pemberian kapur. Pengapuran danau-rawa meningkatkan daya pandang Secchi disc dari 2 meter menjadi 5 meter dan meningkatkan kedalaman air yang konsentrasi oksigen terlarutnya 4 mg/liter dari 2 meter menjadi 6 meter.

Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau

Liere et al. (1991) melaporkan bahwa Danau Loosdrecht (Belanda) mengalami – akibat meningkatnya beban fosfor dari luar – perubahan dari danau yang jernih dengan sedikit makrofita, melalui periode waktu dengan pertumbuhan characea yang melimpah, menjadi danau keruh yang didominasi oleh cyanobakteri dan bahan detritus. Eutrofikasi diatasi dengan memanfaatkan sistem selokan dan mengurangi kandungan fosfor dari pasokan air. Pengurangan beban fosfor eksternal yang diakibatkan oleh tindakan tersebut tidak menyebabkan secara nyata penurunan kekeruhan oleh partikel tersuspensi. Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya beban fosfor internal, baik yang disumbangkan oleh sedimen maupun oleh ikan. Bagaimanapun, konsentrasi klorofil Danau Loosdrecht tidak meningkat lebih jauh. Konsentrasi maksimum fosfor total berkurang sebanyak kira-kira 10 % per tahun. Klorofil a tidak terlihat memberikan reaksi yang nyata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Invertebrata Bentos Sungai

Quinn et al. (1992) mempelajari dampak pembuangan lumpur terhadap invertebrata bentik dengan membandingkan komunitas yang ada di arah hulu dan hilir dari pertambangan emas aluvial di 6 sungai di pesisir barat South Island, New Zealand. Rata-rata kekeruhan meningkat 7 – 154 NTU dibandingkan kontrol (rata-rata 1,3 – 8,2 NTU) akibat buangan pertambangan selama 2 bulan sebelum sampling. Pola peningkatan padatan tersuspensi (sangat berhubungan dengan kekeruhan, r = 0,95) adalah sama. Kepadatan invertebrata secara nyata lebih rendah di semua lokasi hilir, yang berkisar dari 9 sampai 45 % (median 26 %) dari kepadatan di lokasi-lokasi hulu yang bersesuaian. Kepadatan hilir sebagai persentase kepadatan hulu adalah berkorelasi negatif dengan logaritma beban kekeruhan (r = - 0,82, P < 0,05). Kepadatan taksa umum adalah biasanya lebih rendah di hilir penambangan. Kekayaan taksonomi secara nyata lebih rendah di lokasi-lokasi hilir pada empat sungai yang menerima beban kekeruhan lebih tinggi (kekeruhan rata-rata meningkat 23 – 154 NTU). Biomas dan produktivitas epilithon (organisme penempel batu) lebih rendah, dan mutu makanan yang lebih jelek di daerah hilir mungkin menyebabkan menurunnya kepadatan invertebrata. Pada beberapa lokasi, penurunan permeabilitas dasar sungai dan oksigen terlarut di sela-sela sedimen serta reaksi penghindaran oleh invertebrata (yakni, meningkatnya individu yang hanyut), juga berperanan dalam menyebabkan rendahnya kepadatan invertebrata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Juvenil Udang Penaeus

Lin et al. (1992) melaporkan bahwa juvenil Penaeus japonicus selama 3 minggu dikenai berbagai tingkat kekeruhan sedimen tersuspensi : kontrol (2 ± 2 NTU), kekeruhan sedang (35 ± 15 NTU) dan kekeruhan tinggi (65 ± 15 NTU). Tingkat mortalitas udang meningkat setelah terkena kekeruhan tinggi. Juvenil udang tahap akhir yang terkena kekeruhan menjadi kurang toleran terhadap perubahan salinitas lingkungan dan menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada salinitas rendah. Pengaruh kekeruhan terhadap kapasitas osmoregulasi dipelajari dengan menentukan gradien (perbedaan) osmotik antara hemolimfa dan medium eksternal pada air laut pekat (salinitas 42 ppt) dan air laut encer (salinitas 15 ppt). Pada udang juvenil muda, kapasitas osmoregulasi umumnya tidak terpengaruh oleh kekeruhan. Pada juvenil tahap akhir, kapasitas osmoregulasi diturunkan secara nyata oleh kekeruhan. Penurunan kapasitas osmoregulasi disebabkan oleh terganggunya pengaturan konsentrasi Na+ dan Cl-. Aktivitas Na+-K+ ATPase dalam insang juvenil tahap akhir adalah meningkat dengan meningkatnya kekeruhan, tampaknya sebagai reaksi kompensasi atas terganggunya keseimbangan osmotik dan ionik.

Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Gregory dan Northcote (1993) mempelajari pengaruh kekeruhan terhadap aktivitas makan pada juvenil ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) di laboratorium. Daya penglihatan ditentukan dengan mengukur “jarak reaksi” juvenil ikan chinook terhadap mangsa yang berupa Artemia dewasa. Ikan chinook menunjukkan penurunan “jarak reaksi” sejalan dengan peningkatan kekeruhan; penurunan tersebut bersifat logaritma linier. Aktivitas makan pada ikan ini terhadap mangsa yang ada di permukaan air (Drosophila), mangsa planktonik (Artemia) dan bentos (Tubifex) diamati pada berbagai kisaran kekeruhan air (< 1, 18, 35, 70, 150, 370 dan 810 NTU). Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas makan berkurang pada kondisi yang lebih keruh untuk ketiga jenis mangsa. Diduga bahwa meningkatnya laju makan pada kondisi keruh mencerminkan penurunan resiko ancaman predator.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Perilaku Menghindari Pemangsa

Gregory (1993) mengamati pengaruh kekeruhan terhadap perilaku menghindari pemangsa pada ikan juvenil chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) dalam percobaan laboratorium terkendali. Model berupa burung dan ikan digunakan untuk menciptakan resiko pemangsaan. Ketika tidak ada pemangsa, juvenil chinook tersebar secara acak di dalam arena percobaan pada kondisi keruh (sekitar 23 NTU), tetapi pada kondisi jernih (kurang dari 1 NTU) mereka tidak jauh-jauh dari dasar. Bila model burung dan ikan pemangsa dimasukkan, ikan chinook mengubah distribusinya dan menempati bagian-bagian perairan yang lebih dalam tanpa tergantung pada tingkat kekeruhan. Bagaimanapun, respon mereka dalam kondisi keruh kurang menyolok dan berlangsung lebih singkat. Kekeruhan tampaknya mengurangi rasa takut akan pemangsaan pada juvenil ikan chinook.

Kesukaan Juvenil Ikan Laut Terhadap Kekeruhan

Cyrus dan Blaber (1987) mengamati kesukaan juvenil 10 spesies ikan laut yang umum dijumpai di estuari-estuari Afrika tenggara. Percobaan yang dilakukan memungkinkan untuk menghilangkan semua faktor lingkungan selain kekeruhan. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ikan Liza dumerilii (Steindachner) adalah spesies perairan jernih (< 10 NTU); Liza macrolepis (Smith), Rhabdosargus sarba (Forsskal), Gerres filamentosus Cuvier, dan Valamugil buchanani (Bleeker) lebih menyukai “perairan jernih sampai keruh sebagian” (< 50 NTU); Monodactylus argenteus (L.) menyukai perairan dengan kekeruhan sedang (10 – 80 NTU); dan empat spesies ikan sisanya, yaitu Rhabdosargus holubi (Steindachner), Acanthopagrus berda (Forsskal), Pomadasys commersonni (Lacépède) dan Terapon jarbua (Forsskal) tidak terikat dengan kekeruhan. Analisis statistik terhadap data laboratorium dan lapangan menunjukkan adanya korelasi yang nyata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Distribusi dan Hasil Tangkap Ikan Laut

Cyrus dan Blaber (1992) mempelajari kekeruhan dan salinitas serta pengaruhnya terhadap distribusi ikan selama dua setengah tahun di estuaria Embley di Australia utara tropis. Baik kekeruhan maupun salinitas bervariasi secara nyata selama periode penelitian tetapi tampak jelas bahwa ada tiga pola musiman. Ketiga pola ini berkaitan dengan musim hujan, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama ketiga musim tersebut timbul gradien kekeruhan dan salinitas yang jelas. Gradien kekeruhan dan salinitas ini merupakan kelanjutan dari gradien serupa yang ada di lingkungan laut sekitarnya di teluk Albatros. Derajat dan kisaran kedua faktor ini sangat ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan-air Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola-pola kekeruhan, salinitas dan suhu di estuari ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kepadatan ikan di dalam estuari adalah berkorelasi dengan kekeruhan dan salinitas tetapi tidak dengan suhu. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE; hasil tangkap per satuan upaya) untuk setiap spesies ikan telah ditentukan dalam masing-masing dari ketiga kisaran kekeruhan dan salinitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola-pola yang berkaitan dengan kekeruhan dan salinitas ditemukan pada 30 dari 45 spesies ikan yang diamati.

Hubungan Kekeruhan dan Jenis Ikan Laut Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) menunjukkan adanya hubungan antara kekeruhan dan jenis ikan dominan di paparan benua. Pada komunitas ikan tropis paparan benua telah diidentifikasi empat kumpulan ikan : ikan-ikan di perairan dekat-pantai dan estuari berlumpur dengan air yang keruh yang didominasi oleh sciaenidae; kumpulan ikan di perairan jernih dengan sedimen berupa deposit berpasir dan dicirikan oleh banyaknya ikan sparidae; kumpulan ikan di habitat terumbu berbatu (perairan jernih) yang didominasi oleh ikan lutjanidae; dan terakhir adalah kumpulan ikan di terumbu karang (perairan jernih) tanpa ada ikan dominan. Perbedaan mendasar pada keempat kumpulan ikan ini terutama adalah antara perairan keruh dan perairan jernih.

Referensi :

Akhurst, E.G.J. and C.M. Breen. 1988. Ionic Content as a Factor Influencing Turbidity in Two Floodplain Lakes After a Flood. Hydrobiologia, Vol. 160, Issue 1, pp. 19 - 31

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Clark, J.R. 1977. Coastal Ecosystem Management : A Technical Manual for The Conservation of Coastal Zone Resources. John Wiley & Sons. New York. 928 pp.

Cyrus, D.P. and S.J.M. Blaber. 1987. The Influence of Turbidity on Juvenile Marine Fishes in Estuaries. Part 2. Laboratory Studies, Comparisons With Field Data and Conclusions. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, Vol. 109, Issue 1, pp. 71 – 91

Cyrus, D.P. and S.J.M. Blaber. 1992. Turbidity and Salinity in a Tropical Northern Australian Estuary and Their Influence on Fish Distribution. Estuary and Coastal Shelf Sciences, Vol. 35, No. 6, pp. 545 – 563

Gregory, R.S. 1993. Effect of Turbidity on The Predator Avoidance Behaviour of Juvenil Chinook Salmon (Oncorhynchus tshawytscha). Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 2, pp. 241 - 246

Gregory, R.S. and T.G. Northcote. 1993. Surface, Planktonic and Benthic Foraging by Juvenil Chinook Salmon (Oncorhynchus tshawytscha) in Turbid Laboratory Conditions. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 2, pp. 233 - 240

Li, J. and C. Zhang. 1998. Sediment Resuspension and Implications for Turbidity Maximum in The Changjiang Estuary. Marine Geology, Vol. 148, Issues 3 – 4, pp. 117 – 124

Liere, L. van, J. Elbert. W. Kets and J.-J. Buyse. 1991. The Water Quality in The Loosdrecht Lakes Reviewed. MEM. IST. ITAL. IDROBIOL., Vol. 48, pp. 219 - 232

Lin, H.-P., G. Charmantier, P. Thuet and J.-P. Trilles. 1992. Effects of Turbidity on Survival, Osmoregulation and Gill Na+-K+ ATPase in Juvenile Shrimp Penaeus japonicus. Marine Ecology – Progress Series, Vol. 90, No. 1, pp. 31 – 37

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Quinn, J.M., R.J. Davies-Colley, C.W. Hickey, M.L. Vickers and P.A. Ryan. 1992. Effects of Clay Discharges on Streams. 2. Benthic Invertebrates. Hydrobiologia, Vol. 248, pp. 235 - 247

Richardson, M.J. and F.G. Whoriskey. 1992. Factors Influencing The Production of Turbidity by Goldfish (Carassius auratus). Canadian Journal of Zoology, Vol. 70, No. 8, pp. 1585 - 1589