Kamis, 22 Februari 2018

Derajat Keasaman (pH) Perairan dan Dampak Biologisnya


Bab I
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air


Sumber Alami Ion Hidrogen di Perairan

Menurut Cole (1994) bahwa sumber utama ion hidrogen dalam perairan alami adalah berbagai bentuk asam karbonat. Secara umum, sumber karbon dioksida di perairan juga memasok ion hidrogen. Karbon dioksida itu sendiri bisa berasal dari atmosfer yang masuk ke perairan bersama air hujan. Air hujan dalam kondisi setimbang dengan CO2 atmosfer memiliki pH sekitar 5,6 bila hanya mengandung asam karbonat. Bagaimanapun, analisis menunjukkan bahwa air hujan dengan pH lebih rendah banyak mendominasi beberapa tempat di dunia. Air hujan ber-pH rendah ini terutama disebabkan oleh kegiatan manusia, namun beberapa sumber alam juga turut berperan. Letusan gunung berapi mencemari atmosfer dengan sulfur dioksida (SO2), suatu gas yang sangat mudah larut hingga membentuk H2S. Senyawa yang terakhir ini bersifat asam lemah namun oksidasi lebih lanjut akan membentuk H2SO4 yang bersifat asam kuat. Sumber alami lain ion hidrogen di perairan adalah asam-asam organik yang secara kolektif disebut asam humus. Asam humus berasal dari material tumbuhan yang membusuk dengan perantaraan enzim bakteri. Asam humus lebih kuat daripada asam karbonat, bisa menyebabkan pH perairan turun menjadi sekitar 4,0.

Pengaruh Penyerapan Karbon Dioksida Oleh Tumbuhan Air Terhadap pH

Boyd (1982) menyatakan bahwa penyingkiran karbon dioksida dari air oleh tumbuhan air meningkatkan pH perairan alami. Hal ini disebabkan konsentrasi karbonat meningkat ketika karbon dioksida diserap dan karbonat ini terhidrolisis menghasilkan ion-ion hidroksil. Pada kebanyakan perairan, anion-anion alkalinitas berhubungan dengan kalsium dan magnesium, dan peningkatan konsentrasi karbonat yang disebabkan penyingkiran karbon dioksida pada akhirnya melebihi kelarutan produk kalsium karbonat. Pengendapan kalsium karbonat cenderung membatasi kenaikan pH karena hidrolisis karbonat merupakan sumber ion hidroksil yang menyebabkan pH naik. Dengan kata lain, pH berbanding langsung dengan konsentrasi karbonat. Pengendapan karbonat oleh kalsium mencegah pH kebanyakan perairan meningkat di atas 9,5 atau 10 di sore hari, bahkan ketika laju fotosintesis tinggi. Bagaimanapun, di beberapa perairan kesadahan kalsium jauh lebih kecil daripada alkalinitas total, dan anion-anion alkalinitas berhubungan dengan magnesium, natrium atau kalium (biasanya natrium). Magnesium karbonat lebih mudah larut daripada kalsium karbonat, sedang natrium dan kalium karbonat sangat mudah larut. Jadi, dalam air yang beralkalinitas tinggi dan berkesadahan kalsium rendah, karbonat yang dihasilkan dari penyingkiran karbon dioksida oleh tumbuhan air akan tertimbun dan nilai pH bisa naik menjadi 11 atau 12.

Fluktuasi pH Air di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) ada saling ketergantungan antara pH, karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat. Sebab utama terjadinya perubahan variabel-variabel ini dalam kolam ikan adalah perubahan konsentrasi karbon dioksida akibat fotosintesis dan respirasi. Pengendapan kalsium karbonat akan membatasi penimbunan karbonat dan membatasi kenaikan pH. Sebagai contoh, pH akan naik lebih tinggi dalam larutan natrium bikarbonat daripada dalam larutan kalsium bikarbonat selama penyingkiran karbon dioksida dengan cepat oleh alga. Karena pengaruh karbon dioksida, pH air kolam paling rendah menjelang fajar dan paling tinggi pada sore hari. Fluktuasi harian pH paling besar ketika pertumbuhan fitoplankton cepat. Nilai pH pada awal pagi perlahan-lahan meningkat selama musim pertumbuhan. Pengubahan karbon dioksida menjadi bahan organik oleh fotosintesis lebih besar daripada pelepasan karbon dioksida dari bahan organik oleh respirasi, karena itu pH meningkat. Perairan dengan konsentrasi bikarbonat sedang atau tinggi mempunyai cadangan karbon dioksida yang lebih banyak daripada perairan dengan konsentrasi bikarbonat rendah, sehingga fluktuasi harian pH sering lebih kecil pada yang pertama dibandingkan pada kasus yang terakhir.

Fluktuasi pH Air Danau Selama 11 Tahun

Yoshikawa et al. (2004) memantau fluktuasi pH dan parameter kualitas air lainnya di Sawanoike Pond, Kyoto, Jepang, dari tahun 1993 sampai 2003. Rata-rata pH dan alkalinitas di danau ini selama periode pemantauan adalah 5,53 dan 16 MU.eq/liter, berturut-turut. Nilai-nilai tersebut termasuk terendah untuk hasil pengamatan efek hujan asam terhadap ekosistem perairan di danau-danau Jepang. Tidak ditemukan adanya kecenderungan meningkat maupun menurun untuk variabel-variabel ini selama periode penelitian. Bagaimanapun, konsentrasi H+ di danau ini cenderung berfluktuasi dengan proporsi yang terbalik terhadap ketinggian muka air (r = -0,652) dan berfluktuasi secara proporsional terhadap konsentrasi ion SO42- (r = 0,632). Sebaliknya, koefisien korelasi antara ion H+ dan suhu air maupun antara ion H+ dan konsentrasi klorofil-a adalah rendah (r = -0,143, r = 0,006, berturut-turut), yang menunjukkan bahwa fluktuasi pH tidak disebabkan oleh perubahan suhu air maupun aktivitas fotosintesis. Hasil pemantauan kualitas air ini mencakup pula kasus penurunan pH yang tak lazim selama bulan Oktober dan November 2000, yang menunjukkan pengaruh erupsi (letusan gunung) di Pulau Miyake-jima terhadap kualitas air danau Sawanoike Pond. Pada musim panas, konsentrasi oksigen terlarut di lapisan air dasar danau menurun (minimum 1,9 mg/liter) akibat meningkatnya alkalinitas (maksimum 52 MU.eq/liter) dan pH (maksimum 6,5) di air lapisan dasar.

Fluktuasi pH Air Danau Akibat Perubahan Ketinggian Muka Air

Yoshikawa et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan studi paleolimnologi terhadap perubahan keasaman danau Sawanoike Pond di Kyoto, Jepang, pH air kolam ini menurun sekitar 0,5 satuan dari tahun kira-kira 1960 sampai 1985. Peningkatan polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab yang mungkin untuk pengasaman danau ini; bagaimanapun, pengaruh perubahan ketinggian muka air juga bisa menjadi penyebab perubahan pH air danau. Data menunjukkan adanya kemungkinan ketinggian muka air danau ini menurun sejak tahun 1960-an. Berdasarkan pemantauan kualitas air Sawanoike Pond selama 11 tahun, pH air danau ini cenderung berfluktuasi sejalan dengan ketinggian muka air. Walaupun beberapa penelitian membuktikan terjadinya penurunan pH air sungai selama meningkatnya curah hujan, namun hanya ada sedikit informasi mengenai pengaruh perubahan tinggi muka air terhadap pH air danau. Di Sawanoike Pond, pH air selama periode meningkatnya ketinggian muka air adalah sekitar 0,3 satuan lebih tinggi daripada selama periode menurunnya ketinggian muka air. Derajat fluktuasi pH air Sawanoike Pond yang menyertai perubahan ketinggian muka air adalah nyata. Nilai pH air danau ini yang relatif tinggi selama periode meningkatnya ketinggian muka air disebabkan terutama oleh tingginya alkalinitas dalam air bawah-permukaan yang masuk ke danau tersebut.

Kecenderungan Perubahan pH Air Laut

Dawson dan Spannagle (2009) menyatakan bahwa laut pada kondisi ekologi yang seimbang akan mempertahankan nilai pH yang relatif konstan, yaitu sekitar 8,2. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi CO2 atmosferik akibat kegiatan manusia selama satu abad yang lalu menyebabkan air laut menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang selalu meningkat. Meningkatnya penyerapan CO2 selama satu abad tersebut menyebabkan rata-rata pH air laut jatuh sekitar 0,1 unit, dari 8,2 menjadi 8,1. Nilai ini tampaknya kecil, tetapi karena pH diukur pada skala logaritma maka penurunan 0,1 unit mewakili peningkatan 25 % konsentrasi ion hidrogen. Dugaan nilai pH air laut di masa depan bervariasi sesuai dengan asumsi tentang emisi gas karbon dioksida dan proses-proses biofisika. “Intergovernmental Panel on Climate Change” (IPCC) menduga bahwa, berdasarkan kecenderungan emisi yang diharapkan, pH air laut akan turun sebesar 0,14 – 0,35 poin pada tahun 2100 tergantung skenario emisi. Hal ini berarti bahwa pH air laut akan menjadi serendah 7,75 pada akhir abad ini; nilai tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sampai sebesar 180 % dibandingkan dengan nilai pH pada era pra-industri. Perubahan pH air laut sebesar ini belum pernah terjadi selama sedikitnya 20 juta tahun atau mungkin lebih. Setelah dua atau tiga abad lagi, pH air laut bisa jatuh menjadi 7 (bila emisi CO2 tinggi) atau stabil pada nilai sekitar 7,9 (bila emisi CO2 rendah).

Bab II
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur


pH, Keasaman dan Alkalinitas

Boyd et al. (2011) menyatakan bahwa pengukuran pH, keasaman dan alkalinitas umum dilakukan untuk menjelaskan kualitas air. Tiga variabel ini saling berkaitan dan kadang-kadang dikacaukan. Istilah pH air merupakan faktor intensitas, sedang keasaman dan alkalinitas air adalah faktor-faktor kapasitas. Lebih tepatnya, keasaman dan alkalinitas didefinisikan sebagai kapasitas air untuk menetralkan basa kuat atau asam kuat, berturut-turut. Istilah keasaman untuk nilai pH di bawah 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung alkalinitas; demikian pula, istilah basa (alkalin) untuk nilai pH di atas 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung keasaman. Perairan dengan nilai pH antara 4,5 dan 8,3 memiliki keasaman total maupun alkalinitas total. Definisi pH, yang berdasarkan pada transformasi logaritma konsentrasi ion hidrogen ([H+]), menyebabkan ketidak sepahaman yang cukup besar berkenaan dengan metode yang tepat untuk menjelaskan pH rata-rata.

Pendapat bahwa nilai pH harus diubah menjadi nilai konsentrasi H+ sebelum merata-ratakan tampaknya didasarkan pada konsep pengadukan larutan yang berbeda pH. Dalam praktek, bagaimanapun, perata-rataan nilai konsentrasi H+ tidak akan menunjukkan pH rata-rata yang benar karena buffer yang ada di dalam perairan alami memberikan dampak yang lebih besar terhadap nilai pH akhir daripada dampak yang ditimbulkan oleh pengenceran saja. Untuk hampir semua penerapan pH dalam perikanan dan akuakultur, nilai-nilai pH bisa dirata-ratakan secara langsung. Bila seperangkat data pH diubah menjadi konsentrasi ion H+ untuk menduga nilai rata-rata pH, maka nilai-nilai pH yang ekstrim akan menyimpangkan nilai pH rata-rata. Nilai pH hasil penyesuaian lebih mendekati distribusi normal daripada nilai konsentrasi ion H+, sehingga nilai pH ini lebih diterima untuk kepentingan analisis statistik. Pengukuran pH secara elektrokimia dan banyak respon biologis terhadap konsentrasi H+ dijelaskan oleh persamaan Nernst, yang menyatakan bahwa hasil pengukuran dan respon yang diamati berkorelasi linier terhadap kelipatan 10 perubahan konsentrasi ion H+. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, pH lebih tepat daripada konsentrasi ion H+ untuk digunakan dalam analisis statistik (Boyd et al., 2011).

Respon Fisiologis Ikan Air Tawar Terhadap Stres Asam

Fromm (1980) menyatakan bahwa data mengenai efek spesifik pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar bersifat ambigu (mendua). Kegagalan reproduksi akibat stress asam tampaknya dikaitkan dengan kekacauan metabolisme kalsium dan kegagalan proses deposit (pengendapan) protein di dalam sel telur yang sedang berkembang. Tampaknya bahwa nilai pH yang tidak berdampak terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya memberikan respon yang tak berbeda terhadap pH dalam kisaran sekitar 10,5 sampai 5,5 dan antara 7,4 sampai 4,5; CO2 tampaknya merupakan faktor penentu utama. Pada kasus stres asam yang parah terjadi perubahan membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang, dan timbul kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal); hipoksia ini terjadi akibat bertambahnya jarak difusi air-darah.

Menurut Fromm (1980) beberapa laporan menyepakati bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit dalam tubuh ikan tetapi pengaruh pH rendah terhadap permeabilitas osmotik belum banyak diteliti. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara di hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini keseimbangan elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi tidak memadai. Bila ikan dikenai stres asam lemah maka pH darah menurun yang mungkin disebabkan oleh masuknya ion-ion H+ melewati membran insang ke dalam darah. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial serta memungkinkan ion-ion Na+ berdifusi ke dalam darah sehingga menurunkan gradien elektrokimia. Penurunan pH lingkungan bisa mempengaruhi konsentrasi kalsium insang sehingga meningkatkan permeabilitas insang terhadap ion H+ dan Na+ atau bisa terjadi acidemia (pH darah rendah secara tak normal) akibat penurunan ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer terlampaui maka pH darah jatuh dan kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen berkurang.

Hilangnya Populasi Ikan Akibat Pengasaman Air Danau

Beamish (1974) melaporkan bahwa populasi ikan di danau-danau di Ontario, Canada, hilang terutama akibat tingginya kandungan asam dalam air danau tersebut. Ketika suatu danau menjadi asam, spesies yang lebih peka terhadap asam menghentikan aktivitas reproduksinya dan bahkan menghilang. Hilangnya populasi ikan disebabkan oleh efek letal jangka panjang dan ketiadaan rekruitmen ikan muda akibat kegagalan reproduksi.

Pada salah satu danau, tingkat keasaman adalah tinggi dalam waktu cukup lama hingga menyebabkan hilangnya populasi bahkan spesies ikan yang paling kebal sekalipun. Konsentrasi nikel yang tidak wajar di danau dan air hujan; tingginya konsentrasi nikel yang masuk ke dalam atmosfir di Sudbury, Ontario; kemampuan sulfur dioksida untuk membentuk asam di atmosfir dan jatuh bersama hujan pada jarak yang agak jauh dari sumbernya; emisi sulfur dioksida oleh industri di Sudbury dalam jumlah sangat besar; tingginya konsentrasi ion-ion hidrogen dan sulfat secara tak wajar di danau yang dipelajari; semua menunjukkan bahwa emisi dari pabrik nikel dekat Sudbury merupakan sumber pencemar yang paling mungkin yang menyebabkan hilangnya stok ikan dari O.S.A., Muriel, dan danau-danau lain (Beamish, 1974).

Mekanisme Adaptasi Ikan Untuk Hidup di Danau Ber-pH Rendah

Hirata et al. (2003) melaporkan bahwa meskipun kondisinya tidak menguntungkan, satu spesies ikan tunggal, Osorezan dace, hidup di sebuah danau yang sangat asam (pH 3,5) di Osorezan, Aomori, Jepang. Studi fisiologi menunjukkan bahwa ikan ini dapat mencegah pengasaman plasma darahnya dan kehilangan ion Na+. Telah ditunjukkan bahwa kemampuan ini terutama disebabkan oleh sel-sel klorida di dalam insang, yang tersusun di dalam suatu struktur folikel dan mengandung banyak Na+-K+-ATPase, karbonik anhidrase II, tipe 3 Na+/H+ exchanger (NHE3), tipe 1 Na+-HCO3- cotransporter, dan aquaporin-3, yang semuanya merupakan pengatur pengasaman yang baik. Studi imunohistokimia menunjukkan lokasi sel-sel klorida ini, dengan NHE3 pada permukaan puncak dan yang lain-lainnya terletak pada membran basolateral. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi Osorezan dace terhadap kondisi lingkungan asam. Kemungkinan besar, NHE3 pada sisi puncak mengekresi H+ untuk dipertukarkan dengan Na+, sedangkan elektrogenik tipe 1 Na+-HCO3- kotransporter dalam membran basolateral menyediakan HCO3- untuk menetralisir plasma dengan menggunakan gaya pengendali yang dibangkitkan oleh Na+-K+-ATPase dan karbonik anhidrase II. Peningkatan dampak glutamat dehidrogenase juga terlihat di berbagai jaringan ikan dace yang teradaptasi-asam, yang menunjukkan pentingnya peranan amonia dan bikarbonat yang dibangkitkan oleh katabolisme glutamin.

Budidaya Ikan Intensif Pada Kondisi Konsentrasi Amonia Tinggi dan pH Rendah

Eshchar et al. (2006) menyatakan bahwa ikan mengeksresi dua jenis utama metabolit beracun ke dalam air : NH3 dan CO2; jenis yang pertama merupakan racun yang khas bagi ikan pada konsentrasi rendah (< 0,1 mg N/liter). Bagaimanapun, penimbunan CO2 metabolik yang larut dalam-air menyebabkan penurunan pH, sehingga mengurangi fraksi NH3 dari TAN (Total Amonia Nitrogen). Hal ini mengharuskan untuk menaikkan nilai ambang batas bagi TAN, yang bisa menurunkan kebutuhan akan aliran air dalam sistem arus-mengalir. Dalam penelitian ini, parameter-parameter pertumbuhan ikan sea bream (Sparus aurata) yang dipelihara pada kondisi TAN tinggi dan pH rendah dipantau. Daya racun TAN pertama kali diuji dalam akuarium 27 liter, di mana anak ikan sea bream dipelihara pada kondisi nilai TAN sampai 20 mg N/liter dan pH 6,8, tanpa menunjukkan efek negatif yang nyata. Berdasarkan hal ini, dua tangki kultur ikan laut bervolume 100 m3 ditebari dengan 84 gram ikan dan dipasok dengan pakan yang sama setiap hari selama 250 hari. Oksigen cair ditambahkan dan aerator kincir digunakan untuk mengusir CO2. Air laut dipasok ke sistem percobaan TAN-tinggi dengan laju rata-rata 5,25 m3 per kg pakan dan ke sebuah tangki kontrol dengan laju rata-rata 22,9 m3 per kg pakan (praktek aliran-air normal). Sistem eksperimental ini mencakup sebuah filter padat, tetapi bukan unit nitrifikasi.

Eshchar et al. (2006) melaporkan bahwa konsentrasi TAN hasil pengukuran dalam sitem eksperimental ini jauh lebih tinggi daripada nilainya dalam sistem kontrol (rata-rata 5,44 ± 1,2 mg N per liter dan 1,34 ± 0,6 mg N per liter, berturut-turut); bagaimanapun laju pertumbuhan ikan dan mortalitasnya pada kedua sistem secara statistik adalah sama. Keseimbangan massa karbon anorganik berbeda nyata antara kedua sistem yang menunjukkan peran penting alat pengusir CO2. Pemilihan alat pengusir CO2 ini memungkinkan untuk mengendalikan konsentrasi CO2 (cair), yang selanjutnya bisa mengendalikan nilai pH pada alkalinitas tertentu. Pengendalian seperti ini terhadap konsentrasi CO2 (cair) memungkinkan untuk mengoperasikan sistem pada konsentrasi TAN yang relatif tinggi sementara konsentrasi NH3 (cair) dipertahankan di bawah nilai ambang batas.

Sebuah model akuatik-kimiawi telah dikembangkan untuk meramalkan nilai pH, dan dengan demikian konsentrasi CO2(cair) serta NH3(cair), dengan asumsi kondisi seimbang. Model yang dihasilkan digunakan untuk menentukan laju aliran air minimal yang memungkinkan keamanan operasi dengan mempertimbangkan ambang batas konsentrasi metabolit. Model ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang diuji, sistem air-mengalir dapat dioperasikan dengan rasio serendah 4,4 m3 air laut/kg pakan tanpa membutuhkan biofilter nitrifikasi. Implikasi pemeliharaan ikan pada konsentrasi TAN-tinggi adalah luas, yang paling penting adalah penurunan secara nyata biaya pengelolaan air (Eshchar et al., 2006).

Bab III
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan


Pengaruh pH Rendah Terhadap Kelangsungan Hidup Kerang Anodonta

Maekelae dan Oikari (1992) melaporkan bahwa kerang air tawar Anodonta anatina selama 8 atau 10 hari dimasukkan ke dalam air (3 mg kalsium per liter) yang diasamkan dengan asam sulfat untuk menghasilkan nilai pH yang berkisar dari 4,8 sampai 2,3 dan 7,3. Nilai pH 2,3 dan 2,6 menghasilkan laju mortalitas 63 % dalam waktu 8 hari tetapi pH yang lebih tinggi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan statistik dalam hal indeks cangkang atau “shell index” (berat cangkang/panjang x lebar cangkang) antara kelompok-kelompok perlakuan yang berbeda. Bagaimanapun, pelarutan lapisan periostrakum cangkang terjadi pada semua pH di bawah 3,9. Kondisi asam, secara umum, menyebabkan penurunan konsentrasi natrium dan klorida di dalam hemolimfa, serta menurunkan kadar natrium dalam jaringan lunak. Juga terlihat adanya peningkatan konsentrasi kalsium dan natrium dalam hemolimfa.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Perilaku Reproduksi Ikan

Ikuta et al. (2003) melaporkan bahwa di Eropa Utara dan Amerika, pengasaman danau dan sungai yang ditimbulkan oleh hujan asam menghancurkan populasi ikan. Saat ini, aktivitas industri yang berkembang cepat di Asia Timur menyebabkan peningkatan secara terus-menerus jumlah emisi polutan asam, dan hujan dengan tingkat keasaman mencapai pH 4 terjadi di seluruh Jepang. Akibatnya, dampak hujan asam terhadap populasi ikan telah terlihat di Jepang. Untuk mempelajari pengaruh pH rendah terhadap perilaku reproduksi ikan salmonidae yang diketahui merupakan spesies peka-asam, maka dilakukan pengamatan terhadap perubahan frekuensi pergerakan ikan ke hulu sungai dan perilaku menggali sarang pada ikan betina yang sedang memijah sebagai respon terhadap perubahan pH pada ikan dewasa hime salmon (sockeye salmon yang terisolasi daratan) Oncorhynchus nerka, brown trout Salmo trutta dan Japanese char Salvelinus leucomaenis. Perilaku menggali dan pergerakan ke arah hulu terhambat secara nyata di dalam perairan yang bersifat asam lemah dengan pH 5,8 – 6,4. Sockeye salmon yang terisolasi daratan adalah paling peka terhadap perubahan pH di antara ketiga spesies ikan di atas.

Pengaruh Tahap Perkembangan Embryo dan Spesies Ikan Terhadap Toleransi Asam

Ikuta et al. (1992) melakukan uji toleransi asam dengan tujuan mempelajari pengaruh pengasaman terhadap ikan-ikan salmonidae. Kepekaan terhadap pH rendah yang dibuat dengan asam sulfat dibandingkan di antara tahap-tahap perkembangan pada ikan hime salmon (jenis sockeye salmon yang terisolasi di darat), dan 6 spesies salmonidae. Kepekaan (24 jam LC50-pH) pada tahap-tahap perkembangan untuk hime salmon adalah dengan urutan sebagai berikut : ikan muda (4,23) > alevin (larva salmon yang belum bermigrasi) (4,07) > anak ikan (4,06) > embryo-bermata (3,82). Kepekaan alevin diurut untuk spesies salmonidae adalah sebagai berikut : hime salmon (4,07) > honmasu salmon (3,98) > rainbow trout (3,83) > char (3,63). Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kepekaan terhadap pH rendah meningkat sejalan dengan perkembangan embryo, dan spesies salmonidae anadromous seperti Oncorhynchus lebih peka terhadap pH rendah.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Embryo dan Larva Ikan Air Tawar

Sayer et al. (1993) mempelajari pengaruh pH rendah terhadap tahap awal kehidupan ikan. Setelah fertilisasi, membran korionik memberikan perlindungan terhadap pengaruh pH rendah dan khususnya terhadap daya racun logam-logam yang menyertai kondisi asam, terutama aluminium. Sebenarnya, aluminium terlarut dapat mengurangi daya racun asam pada tahap perkembangan ikan ini, mungkin dengan cara membantu menurunkan permeabilitas membran dan penyerapan ion H+. Bahaya utama tampaknya adalah terhambatnya perkembangan embryo ikan (mungkin berkaitan dengan penurunan pH cairan perivitelin), yang sering menyebabkan hilangnya kemampuan untuk memecahkan membran korionik pada saat menetas. Setelah menetas , kepekaan meningkat. Aluminium terlarut, dan “trace metal” (logam yang jumlahnya sedikit) lainnya yang berkaitan dengan pengasaman, menjadi lebih penting.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aluminium berkonsentrasi rendah memberikan perlindungan secara kontinyu terhadap pH rendah. Penyebab kematian hanya dapat diduga : sebagian besar perhatian dipusatkan pada penyerapan dan keseimbangan mineral, dan ada bukti terjadinya gangguan pernafasan walaupun tidak sejelas kasus pada ikan post larva. Bagaimanapun, perbandingan dengan ikan post larva tidak selalu membantu; sedikitnya ada satu perbedaan penting. Tidak seperti ikan post larva, larva tidak menghadapi kombinasi kondisi yang paling berbahaya, yaitu adanya aluminium pada pH sekitar 5,5 (ketika efek pernafasan mungkin paling penting); kondisi yang paling berbahaya bagi larva tampaknya adalah adanya trace metal (termasuk aluminium) ketika pH sangat rendah (< 5.0).

Sayer et al. (1993) selanjutnya menyatakan bahwa terjadi peningkatan kepekaan yang dialami kuning telur. Periode ini bersamaan dengan perpindahan dari lokasi pengeraman telur di dalam substrat menuju ke perairan terbuka, di mana sifat-sifat kimia air di sekitar telur mengalami fluktuasi yang lebih besar. Bagaimanapun, selama hujan musim gugur dan melelehnya salju pada musim semi, pH dan konsentrasi ion kalsium pelindung biasanya mencapai nilai terendah sementara logam-logam seperti aluminium mencapai nilai tertinggi. Di perairan di mana pengasaman paling mungkin terjadi, tahap awal kehidupan banyak spesies ikan air tawar akan mendekati ambang batas kelangsungan hidup di mana penurunan kualitas air sedikit saja bisa menyebabkan kematian seluruh ikan kelas umur tersebut (tahap awal kehidupan), yang selanjutnya mempengaruhi rekruitmen dan bahkan status populasi.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Fisiologi Ikan Air Tawar

Fromm (1980) mengulas beberapa respon fisiologis dan toksikologis terhadap stres asam pada ikan air tawar. Data mengenai efek pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar tampaknya rancu. Kegagalan reproduksi akibat stres asam tampaknya berkaitan dengan gangguan metabolisme kalsium dan penimbunan protein dalam sel telur yang sedang berkembang juga terganggu. Tampaknya bahwa nilai pH di mana penurunan pH tidak berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya tidak terpengaruh oleh pH pada kisaran kira-kira 10,5 sampai 5,5. Pada kasus stres asam yang parah, terjadi gangguan pada membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang dan kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal) mungkin disebabkan oleh makin jauhnya jarak difusi air-darah. Beberapa laporan membenarkan bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit pada ikan. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara dalam hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini homeostasis elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi terganggu.

Bila ikan dikenai stres asam yang lemah maka pH darah turun yang mungkin diakibatkan oleh masuknya aliran ion H+ ke dalam darah melintasi membran insang. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial dan memungkinkan difusi ion Na+ melalui gradien elektrokimia. Penurunan pH air di sekelilingnya bersama dengan konsentrasi kalsium dalam insang bisa meningkatkan permeablitas insang terhadap ion H+ maupun Na+ ; sementara acidemia (darah bersifat asam) bisa terjadi akibat berkurangnya ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer tidak bisa menampung penurunan pH darah maka kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen akan berkurang.

Bab IV
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan


Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan

Lopes et al. (2001), dengan mengutip laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa pH air dalam akuakultur adalah penting untuk menjamin produksi ikan yang baik. Kisaran pH 6,5 – 9,0 biasanya disarankan untuk budidaya ikan, tetapi kisaran optimumnya mungkin berbeda untuk spesies ikan yang berbeda. Kebanyakan ikan yang terpapar terhadap air asam atau air basa menunjukkan peningkatan kehilangan ion lewat insang sehingga mengganggu pengaturan ionik. Akibatnya, nilai-nilai pH ekstrim dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi, terutama selama tahap-tahap larva. Nilai pH yang rendah menurunkan pertumbuhan dan reproduksi ikan. Laporan terbaru menyebutkan bahwa kisaran pH 9,0 sampai 11,0 menurunkan pertumbuhan dan bahwa pada kisaran ini beberapa spesies ikan teleostei mati dalam beberapa hari.

Lopes et al. (2001) melakukan studi dengan tujuan menentukan pengaruh pH air (5,5, 6,0, 7,0, 8,0 dan 8,5) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan silver catfish (Rhamdia quelen). Larva ikan ini diperoleh dari pijah-rangsang pada bulan November dan dipelihara di dalam tangki polietilen 40 liter (350 larva per tangki) di bawah kondisi terkendali dengan suhu 25 oC, sistem air digunakan-kembali (re-use system) dan aerasi kontinyu. Larva diberi pakan hingga kenyang enam kali sehari. Pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 dan setelah kuning telur diserap, 10 larva dari setiap kelompok dipilih secara acak untuk mengevaluasi panjang, berat dan laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate, SGR). Panjang, berat kelangsungan hidup dan biomas pada akhir hari ke-21 adalah secara nyata lebih tinggi untuk larva yang dipelihara pada pH 8,0 – 8,5. Seperti yang diharapkan, laju pertumbuhan spesifik menurun dengan berjalannya waktu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai 8,0 – 8,5 adalah kisaran pH terbaik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva spesies ikan ini.

pH dan Pertumbuhan Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas laporan-laporan mengenai hubungan pH air dengan budidaya ikan. Sebagian besar perairan alami mempunyai pH 6,5 – 9, tetapi ada banyak kekecualian. Titik-titik mati asam dan basa untuk ikan adalah sekitar pH 4 dan 11, berturut-turut. Bagaimanapun, bila perairan lebih asam daripada pH 6,5 atau lebih basa daripada pH 9 – 9,5 selama periode yang panjang, maka reproduksi dan pertumbuhan ikan akan menurun. Masalah-masalah terkait pH tidak umum dijumpai pada kolam ikan; bagaimanapun, di daerah pertambangan, rembesan air pertambangan yang berpH rendah bisa mengasamkan danau dan sungai. Pengasaman jangka panjang danau dan sungai akibat hujan asam memberikan pengaruh yang membahayakan populasi ikan di beberapa daerah di Eropa dan Amerika Utara.

Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Anak Ikan Salmon

Lacroix et al. (1985) memelihara ikan Atlantic salmon (Salmo salar) yang baru menetas selama fase awal mencari makan di dalam air asam dan sadah yang berasal dari Sungai Westfield (rata-rata pH 5,0) di Nova Scotia. Anak ikan dipelihara dalam sistem tangki air-mengalir secara in situ dan diberi pakan hatchery. Bioesei juga dilakukan terhadap air sungai yang diberi kapur (rata-rata pH 6,1) sebagai kontrol. Mortalitas kumulatif anak ikan setelah 30 hari percobaan dalam tangki adalah 70 % pada pH 5,0 dan hanya 4 % pada pH 6,1. Anak ikan dalam air sungai yang tak diberi perlakuan adalah tidak aktif, menelan sedikit makanan, dan kehilangan berat (sekitar 25 %) selama 15 hari pertama periode percobaan. Peningkatan secara tajam konsentrasi Ca2+ dan Na+ dalam tubuh terlihat pada anak ikan pada kedua nilai pH selama waktu itu, tetapi peningkatan Ca2+ terlambat dan bahwa konsentrasi Na+ lebih sedikit pada anak ikan yang dipelihara dalam air berpH rendah. Kematian terjadi 15 – 30 hari setelah ikan berenang ke atas dan semua anak ikan yang mati tampak sangat kurus, yang menunjukkan bahwa kematian mungkin disebabkan oleh kelaparan.

Lacroix et al. (1985), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menambahkan bahwa walaupun ada perbedaan perubahan komposisi ion pada anak ikan yang dipelihara pada pH 5,0 dibandingkan kontrol, tidak terjadi pengurangan cadangan ion tubuh bila dibandingkan dengan konsentrasi awal. Anak ikan yang bertahan hidup pada pH 5,0 mengembangkan toleransi setelah 25 hari serta memiliki laju pertumbuhan, faktor kondisi dan konsentrasi ion yang mirip dengan anak ikan yang dipelihara dalam air yang diberi perlakuan. Mortalitas anak ikan selama peralihan ke tahap mencari makanan eksogen, sebagai respon terhadap stres pH rendah dalam air sadah, mungkin menyebabkan berkurangnya rekruitmen dan penurunan atau kehilangan stok ikan salmon di sungai ini dan sungai-sungai asam lain di Nova Scotia.

Pengaruh pH Terhadap Produksi Ikan Danau

Downing dan Plante (1993) menghitung nilai dugaan produksi biologis 100 populasi ikan dari 38 danau di seluruh dunia berdasarkan literatur. Hubungan antara produksi tahunan populasi ikan (P, kilogram per hektar per tahun), rata-rata tahunan biomas tetap (B, kilogram per hektar) dan maksimum berat badan individual (W, gram) diperkirakan adalah sebagai berikut :

Log10P = 0,32 + 0,94 log10B – 0,17 log10 W (R2 = 0,84)

Hubungan ini adalah sama dengan yang diamati pada populasi invertebrata di perairan-mengalir dan menunjukkan bahwa P menurun dengan naiknya W. Regresi sumbu utama menunjukkan bahwa hubungan P/B : W memiliki eksponen (pangkat) yang sama dengan yang diduga oleh teori alometrik. Nilai sisa (residu) dari persamaan multivariate (banyak-variabel) ini menunjukkan bahwa produksi ikan berkorelasi positif dengan suhu, konsentrasi fosfor dalam danau, konsentrasi klorofil a, produksi primer dan pH. Hasil studi ini bisa menjadi landasan untuk mengendalikan komponen-komponen ekosistem danau.

Hilangnya Populasi Ikan Akibat Penurunan pH Sungai dan Danau

Hultberg (1985) melaporkan bahwa dokumen-dokumen masa lalu tentang Danau Gardsjon dan danau-danau lain di sekitarnya di daerah aliran Sungai Anrasea, Swedia, menunjukkan bahwa ikan perch Perca fluviatilis L. dan sidat Eropa Anguilla phoxinus L. adalah spesies asli di semua danau. Ikan roach Leuciscus rutilus L., minnow Phoxinus phoxinus L., brown trout Salmo trutta L. dan ikan sea trout berasal dari banyak danau dan sungai. Nilai-nilai pH pada musim panas 6,0 dan 6,5 pada tahun 1940-an menurun selama tahun 1950-an dan 1960-an sebesar 1,0 sampai 1,8 di kebanyakan danau hingga awal tahun 1970-an nilai pH ini menjadi 4,5 sampai 5,5. Penurunan nilai pH, bersama dengan air ber-pH rendah selama mencairnya salju dan hujan musim gugur, menyebabkan stok ikan mengalami perubahan secara menyolok. Ikan roach hilang dari semua danau, ikan perch banyak terpengaruh di semua danau atau hilang seperti nasib spesies-spesies lain dari berbagai danau : ikan northern pike, tench Tinca tinca L., ikan crucian carp Carassius carassius L., sidat Eropa dan brown trout. Ikan minnow, brown trout dan sea trout lenyap dari banyak sungai.

Bab V
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi


Biologi Amfibi

Hegner (1946) menyatakan bahwa “amphibi” dalam bahasa Yunani berarti “hidup di dua alam”. Binatang ini menghabiskan sebagian waktunya di darat dan sisanya di air. Pada kenyataannya, bila sungai, danau atau kolam kekeringan, mereka tetap hidup sepanjang tahun atau berjemur di bawah sinar matahari. Ada amfibi yang tidak pernah masuk ke dalam air sama sekali, yang lainnya sangat jarang meninggalkan air. Amfibi yang hidup di darat mungkin memiliki kulit yang kering dan kasar, namun kebanyakan spesies mempunyai kulit yang lembab dan licin di mana mereka menyerap air seperti layaknya hewan minum. Spesies-spesies seperti ini harus menjaga kulit dari kekeringan, oleh karena itu mereka mendiami perairan atau tempat-tempat yang lembab, misal di bawah batu atau meliang ke dalam tanah.

Kaki amfibi air mempunyai jari-jari yang dihubungkan satu sama lain oleh selaput kulit; kaki seperti ini dipakai untuk mendorong air ke belakang, mirip dayung. Amfibi memiliki mulut yang luar biasa besar, sering melebar sampai ke belakang mata, dan banyak di antaranya yang dilengkapi dengan banyak sekali gigi kecil yang tajam. Kulit dipenuhi kelenjar; beberapa kelenjar tersebut mensekresi cairan beracun yang sangat ampuh. Di beberapa daerah di Amerika Selatan, orang-orang Indian memanfaatkan sekresi dari sejenis kodok untuk melumuri anak panahnya. Kelenjar-kelanjar lainnya mensekresi lendir yang terlalu banyak hingga tubuhnya selalu tampak mengkilat. Amfibi bertelur biasanya sekali setahun dan banyak di antaranya yang bermigrasi ke perairan pada musim semi untuk bertelur. Amfibi muda sering suka makan tumbuhan, tetapi yang dewasa hidup dari binatang lain terutama serangga, laba-laba dan cacing.

Hegner (1946) menambahkan bahwa kodok dan katak bukan hanya menghabiskan umurnya di darat, tetapi juga meliang ke dalam tanah. Spesies tertentu hidup di pohon, yang sekali-kali meluncur ke tanah seperti burung. Tak ada cara yang tepat untuk membedakan kodok (frog) dan katak (toad). Sebagai patokan, kodok bertubuh ramping dan berkulit licin serta lembab, sedang katak pendek gemuk dengan kulit berjendol-jendol dan berbintil-bintil. Badan kodok dan katak biasanya kecil dan padat. Anak dari kebanyakaan sesies hidup di air dan memiliki insang serta ekor, tetapi yang dewasa bernafas dengan paru-paru dan ekornya hilang. Lehernya pendek. Kaki depan juga pendek namun cukup panjang untuk menopang bahu dan kepala, sedang kaki belakang sangat panjang dan berotot serta sesuai untuk melompat. Kepalanya besar sekali dengan mata sangat lebar yang menjorok ke atas; dengan posisi mata seperti ini ia dapat melihat segala sesuatu di sekitarnya, namun mata ini terutama disesuaikan untuk melihat benda-benda yang bergerak.

Mata dapat ditarik masuk ke dalam celah mata sehingga aman dari benturan. Matanya memiliki kelopak mata. Di belakang mata terdapat membran timpani bundar sebagai bagian dari telinga; seringkali membran ini tampak menyolok. Mulut sangat besar, rahang bawah tidak bergigi. Berhubungan dengan rongga mulut, terutama pada yang jantan, terdapat kantung suara. Salah satu ciri menarik amfibi ini adalah lidahnya, yang melekat pada ujung depan mulut, bukan di belakang mulut seperti pada manusia, sehingga lidahnya dapat dijulurkan sepenuhnya untuk menangkap mangsa. Lidah ini lengket sehingga dapat menangkap serangga yang sedang terbang. Makanannya ditelan bulat-bulat. Jika mangsanya besar, kaki depan dipakai untuk mendorongnya masuk ke dalam mulut.

Pengaruh pH Terhadap Ukuran Saat Metamorfosis dan Persaingan Interspesifik Pada Kodok

Warner et al. (1993) menyatakan bahwa bila spesies menunjukkan perbedaan kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai kondisi abiotik, maka perubahan satu faktor abiotik berpotensi mengubah hasil interaksi biotik. Telah dilakukan penelitian untuk menguji femomena tersebut, dengan mengamati pengaruh satu faktor abiotik (pH) dan dua faktor biotik (persaingan interspesifik dan intraspesifik) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva sampai metamorfosis pada dua spesies kodok anura (Hyla gratiosa dan Hyla femoralis) di tangki luar-ruangan. Dua nilai pH (4,5 dan 6,0) serta tiga tingkat kepadatan (0, 30 atau 60 embryo tiap tangki bervolume 580 liter) untuk setiap spesies telah disusun menurut rancangan faktorial fraksional dan diulang tiga kali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva Hyla gratiosa memperlihatkan pola yang khas dalam hal respon tergantung-kepadatan intraspesifik : ketika kepadatan meningkat, kelangsungan hidup dan ukuran saat-metamorfosis berkurang dan periode larva bertambah lama. Interaksi faktor biotik dan abiotik adalah kompleks dalam percobaan ini. Penambahan Hyla femoralis pada pH tinggi menyebabkan penurunan kelangsungan hidup dan meningkatkan periode larva Hyla gratiosa, tetapi pada pH rendah pengaruh negatif ini tidak tampak. Variasi pH tidak berpengaruh terhadap ukuran saat metamorfosis Hyla gratiosa. Persaingan interspesifik dengan Hyla femoralis yang menyebabkan mengecilnya ukuran saat metamorfosis Hyla gratiosa hanya terjadi bila kepadatan awal tinggi.

Pengaruh pH Terhadap Reproduksi dan Kelangsungan Hidup Amfibi

Karns (1992) melaporkan bahwa amfibi yang memijah di rawa di Minnesota utara menghadapi bebagai kualitas air dengan pH bervariasi : lokasi berpH kurang dari 4,5, lokasi berpH kurang dari 5,0 dan daerah batas berpH 4,5 – 5,0. Studi laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa amfibi rawa (Rana sylvatica, Rana pipiens, Pseudacris triseriata, Pseudacris crucifer, Hyla versicolor, Bufo americanus, Ambystoma laterale) memiliki toleransi yang berbeda terhadap perairan rawa. Perkembangan embryo tertahan atau penetasan terhambat di bagian rawa yang berpH kurang dari 4,5, sedangkan pertumbuhan larva dan kelangsungan hidupnya mendapat pengaruh negatif. Rana sylvatica, spesies paling toleran yang diuji, berhasil menetas di bagian rawa yang berpH 4,5 dengan lokasi peletakan telur yang luas (lebih dari 65 massa telur) ketika suhu air relatif hangat. Rana sylvatica merupakan satu-satunya spesies rawa yang berhasil berkembang di daerah batas berpH 4,5 – 5,0. Kelangsungan hidup amfibi sampai melewati tahap metamorfosis tidak ditemukan di rawa yang berpH kurang dari 4,5. Semua spesies berhasil bereproduksi di bagian rawa yang berpH kurang dari 5,0.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Kelangsungan Hidup Kodok Rana

Beattie dan Tyler-Jones (1992) mempelajari pengaruh pH rendah terhadap fertilisasi dan perkembangan embryo kodok Rana temporaria (L.) di laboratorium dan di lapangan. Di lapangan, keberhasilan fertilisasi berkurang terutama akibat tingginya konsentrasi aluminium monomer anorganik, sedang mortalitas embryo disebabkan terutama oleh rendahnya suhu air. Kebanyakan telur yang mati ada pada pertengahan fase pembelahan akhir atau tahap gastrula awal. Di laboratorium, kelangsungan hidup embryo menurun dengan meningkatnya konsentrasi aluminium monomer anorganik pada pH 4,5. Konsentrasi aluminium monomer anorganik yang tinggi juga meningkatkan jumlah embryo yang mati pada tahap-tahap awal perkembangan, dan meningkatkan proporsi embryo yang tetap terkurung oleh membran perivitelin dan gagal menetas. Panjang badan larva yang bertahan hidup berkurang baik oleh meningkatnya konsentrasi aluminium maupun oleh rendahnya pH.

Mortalitas Amfibi di Kolam BerpH Rendah

Sadinski dan Dunson (1992) menyatakan bahwa kebanyakan peneliti yang mempelajari pengaruh pH rendah terhadap amfibi yang memijah di kolam- sementara melakukan pengukuran langsung efek letal pada satu spesies tunggal. Telah dilakukan penelitian selama 4 tahun di Pennsylvania tengah yang menggambarkan arti penting ekologis efek langsung dan tak langsung pH rendah pada tingkat letal dan subletal. Untuk itu dilakukan pendekatan multilevel (sampling lapangan dan percobaan di laboratorium, kolam simulasi dan kolam alami) guna mempelajari efek-efek tersebut terhadap embryo dan larva amfibi di kolam-sementara. Sebagian besar kolam yang dipelajari mempunyai pH yang lebih rendah daripada yang dilaporkan sebelumnya dalam penelitian di Amerika Utara. Air kolam bersifat kurang sadah dan sering kaya akan aluminium total. Nilai tengah pH musiman dari 9 kolam berasosiasi negatif dengan jumlah total curah hujan selama 4 tahun, tetapi tidak berasosiasi dengan pengendapan H+ selama periode yang sama. Nilai pH kebanyakan kolam berkurang dengan meningkatnya total curah hujan. Mortalitas embryo salamander Ambystoma jeffersonianum adalah tinggi di kolam dengan pH kurang dari 4,5.

Respon Perilaku Kecebong Terhadap Air Asam

Freda dan Taylor (1992) melaporkan bahwa kecebong dari lima speises amfibi (Rana clamitans, Rana sylvatica, Rana pipiens, Pseudacris crucifer dan Bufo americanus) yang bervariasi dalam hal kepekaannya terhadap pH rendah telah dikenai berbagai kisaran pH air. Perilaku menghindar dan perubahan tingkat aktivitas kecebong-kecebong tersebut diamati. Semua spesies yang diuji menghindari air asam yang bersifat letal dan semua spesies kecuali Rana sylvatica menghindari tingkat keasaman yang bersifat subletal. Bagaimanapun, nilai pH tertinggi yang dihindari oleh kecebong bervariasi tergantung spesies dan hal ini tampaknya berhubungan dengan kepekaan spesies tersebut terhadap asam. Pseudacris crucifer menunjukkan penurunan tingkat aktivitas yang sedikit tetapi secara statistik adalah nyata, sedangkan Bufo americanus sangat meningkatkan tingkat aktivitasnya selama terkena air asam.

Referensi :

Beamish, R.J. 1974. Loss of Fish Populations from Unexploited Remote Lakes in Ontario, Canada as a Consequence of Atmospheric Fallout of Acid. Water Research, Vol. 8, Issue 1, pp. 85 - 95

Beattie, R.C. and R. Tyler-Jones. 1992. The Effects of Low pH and Aluminium on Breeding Success in The Frog Rana temporaria. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 353 - 360

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Boyd, C.E., C.S. Tucker and R. Viriyatum. 2011. Interpretation of pH, Acidity, and Alkalinity in Aquaculture and Fisheries. North American Journal of Aquaculture. Vol. 73, Issue 4, pp. 403 - 408

Cole, G.A. 1994. Textbook of Limnology. Waveland Press, Inc. Illinois. 412 pp.

Dawson, B. and M. Spannagle. 2009. The Complete Guide to Climate Change. Routledge. New York. 436 pp.

Downing, J.A. and C. Plante. 1993. Production of Fish Populations in Lakes. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 1, pp. 110 - 120

Eshchar, M., O Lahav, N. Mozes, A. Peduel and B. Ron. 2006. Intensive Fish Culture at High Ammonium and Low pH. Aquaculture, Vol. 255, Issues 1 - 4, pp. 301 - 313

Freda, J. and D.H. Taylor. 1992. Behavioral Response of Amphibian Larvae to Acidic Water. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 429 - 433

Fromm, P.O. 1980. A Review of Some Physiological and Toxicological Responses of Freshwater Fish to Acid Stress. Environmental Biology of Fishes. Vol. 5, Issue 1, pp. 79 - 93

Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company, New York. 675 pp.

Hirata, T., T. Kaneko , T. Ono , T. Nakazato , N. Furukawa , S. Hasegawa , S. Wakabayashi , M. Shigekawa , M.-H. Chang , M.F. Romero and S. Hirose. 2003. Mechanism of Acid Adaptation of a Fish Living in a pH 3.5 Lake. American Journal of Physiology - Regulatory, Integrative and Comparative Physiology, Vol. 284, no. 5, pp. R1199-R1212

Hultberg, H. 1985. Changes in Fish Populations and Water Chemistry in Lake Gardsjon and Neighbouring Lakes During The Last Century. Ecological Bulletins, Vol. 37, pp. 64 - 72

Ikuta, K., T. Shikama, S. Oda and N. Okummoto. 1992. Acid Tolerance of Eyed Embryos and Larvae in Salmonid Fishes. Bulletin of National Research Institute of Aquaculture (Japan), No. 21, pp. 39 – 45

Ikuta, K., Y. Suzuki and S. Kitamura. 2003. Effects of Low pH on The Reproductive Behavior of Salmonid Fishes. Fish Physiology and Biochemistry, Vol. 28, No. 1 - 4, pp. 407 - 410

Karns, D.R. 1992. Effects of Acidic Bog Habitats on Amphibian Reproduction in a Northern Minnesota Peatland. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 401 - 412

Lacroix, G.L., D.J. Gordon and D.J. Johnston. 1985. Effects of Low Environmental pH on the Survival, Growth, and ionic Composition of Postemergent Atlantic Salmon (Salmo salar). Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 42, No. 4, pp. 768 – 775

Lopes, J.M., L.V.F. Silva and B. Baldisserotto. 2001. Survival and Growth of Silver Catfish Larvae Exposed to Different Water pH. Aquaculture International, Vol. 9, Issue 1, pp. 73 - 80

Maekelae, T.P. and A.O.J. Oikari. 1992. The Effect of Low Water pH on The Ionic Balance in Freshwater Mussel Anodonta anatina. ANN. ZOOL. FENN., Vol. 29, No. 3, pp. 169 – 175

Sadinski, W.J. and W.A. Dunson. 1992. A Multilevel Study of Effects of Low pH on Amphibian Declines and Habitat Acidification. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 413 - 422

Sayer, M.D.J., J.P. Reader and T.R.K. Dalziel. 1993. Freshwater Acidification: Effects on The Early Life Stages of Fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries, Vol. 3, No. 2, pp. 95 – 132

Warner, S.C., J. Travis and W.A. Dunson. 1993. Effect of pH Variation on Interspecific Competition Between Two Species of Hylid Tadpoles. Ecology, Vol. 74, No. 1, pp. 183 - 194

Yoshikawa, S., K. Tazaki, S. Okuda, K. Nakagawa, M. Kawai, K. Yoshida and K. Mihara. 2004. Fluctuation Trends of pH, alkalinity and Ions in Sawanoike Pond During 11 Years. Japanese Journal of Limnology, Vol. 65 ; No. 2; pp. 99 - 108

Yoshikawa, S., K. Tazaki, S. Okuda, K. Nakagawa, M. Kawai, K. Yoshida and K. Mihara. 2005. pH Fluctuation of Sawanoike Pond in Kyoto Accompanied by Water Level Changes. Limnology, Vol. 6, Issue 1, pp. 15 - 26

Selasa, 20 Februari 2018

Gonad, Sperma dan Telur Ikan


Bab I
Gonad Ikan dan Avertebrata


Anatomi Gonad Ikan

Menurut Hickman dan Hickman (1974), ikan teleostei menunjukkan banyak tipe pola reproduksi seksual. Meskipun kondisi hermafrodit kadang terjadi secara abnormal pada banyak spesies, hanya satu atau dua famili (sebagai contoh, Serranidae) yang benar-benar hemafrodit. Pada ikan hermafrodit, gonad masing-masing terbagi menjadi zona testikular (penghasil testis) dan zona ovarian. Ikan Poecilia formosa yang ditemukan di Texas merupakan contoh yang baik mengenai tipe partenogenesis yang aneh yang disebut pseudogamy, atau ginogenesis. Proses ini melibatkan pemasukan dan pengaktivan sebutir telur oleh sebuah spermatozoa yang nukleusnya tidak melakukan peleburan genetik dengan nukleus sel telur. Sperma dihasilkan oleh ikan jantan dari spesies yang berkaitan, tetapi keturunannya semua mirip induk betina karena mereka secara genetik sama.

Hickman dan Hickman (1974) menambahkan bahwa testis biasanya berupa organ keputihan memanjang yang terbagi menjadi lobula-lobula yang mengandung kista-kista berisi sel kelamin yang matang. Di dalam setiap kista, sel-sel yang matang selalu dalam tahap perkembangan yang sama. Lobula-lobula tadi bermuara ke dalam saluran spermatik (dengan lapisan sekretori), yang memanjang menuju sinus urogenital. Ikan jantan seringkali menjadi matang kelamin sebelum ikan betina, dan testisnya mungkin aktif sepanjang tahun; pada ikan lainnya aktivitas reproduktif testis bersifat musiman yang teratur. Ovari bisa memanjang sepanjang rongga perut dan tersusun dari banyak folikel ovari yang disokong oleh jaringan penghubung. Ovari, dengan selubung membran, kadang menyatu dengan oviduct, atau ovari tanpa pembungkus dan mengeluarkan telur-telurnya ke dalam rongga peritoneal (rongga perut), kemudian telur-telur ini masuk ke dalam oviduct (mullerian duct). Oviduct yang berpasangan kadang-kadang bermuara pada lubang urogenital di belakang anus, atau bermuara pada lubang kelamin (genital pore). Beberapa ikan seperti trout dan salmon tidak memiliki oviduct; jenis ikan lainnya seperti sidat air tawar tidak mempunyai saluran sperma maupun oviduct. Biasanya telur dihasilkan secara musiman pada waktu-waktu yang tertentu dan ovari menjadi tidak aktif di luar waktu-waktu ini. Beberapa ikan (sebagai contoh, ikan hake) dikenal mempunyai ovari yang aktif sepanjang waktu. Beberapa ikan seperti ikan cod memproduksi sangat banyak telur (9 juta butir telur pernah ditemukan dalam ovari seekor ikan betina).

Variasi Berat Gonad dan Ciri Seksual Sekunder Ikan Zacco

Katano (1990) melaporkan bahwa hubungan antara panjang badan, berat gonad dan berat badan serta ciri-ciri seksual sekunder pada ikan dark chub, Zacco temmincki, telah dianalisa dengan merujuk variasinya. Baik faktor kondisi maupun gonadosomatik indek (GSI) meningkat tajam dalam musim pra-kawin. Ukuran tubuh berkorelasi positif dengan nilai GSI untuk ikan betina, kecuali pada periode pasca pemijahan, tetapi berkorelasi negatif atau tidak berkorelasi untuk ikan jantan. Variasi individual faktor kondisi dan nilai GSI juga meningkat pada musim pra-kawin dan musim kawin. Warna-pemijahan dan organ-organ mutiara pada kepala berkembang pada kedua jenis kelamin sepanjang tahun, dan paling menyolok pada ikan jantan dalam musim kawin. Organ-organ mutiara pada sirip dubur hanya berkembang pada ikan jantan dalam musim kawin. Perkembangan ciri-ciri seksual sekunder ini tidak harus menunjukkan kematangan seksual maupun tingginya potensi produksi tetapi sangat berhubungan dengan besarnya ukuran tubuh. Warna-pemijahan diyakini berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan perkembangan organ-organ mutiara dan ukuran tubuh. Organ-organ mutiara pada kepala merupakan senjata untuk mengusir ikan-ikan spesies yang sama, sedang organ-organ mutiara pada sirip dubur menjadi alat untuk mengubur telur pada perilaku pemijahan.

Pengaruh Suhu dan Fotoperiode Terhadap Perkembangan Gonad Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa meskipun organisasi internalnya rumit, banyak ikan daerah beriklim sedang memulai perkembangan gonad semata-mata sebagai respon terhadap perubahan suhu dan fotoperiode musiman. Pada ikan pumpkinseed sunfish (Lepomis gibbosus), sebagai contoh, perkembangan gonadnya secara khas dimulai pada akhir Mei ketika suhu air kolam melebihi 12,5 oC dan panjang siang mendekati 15 jam. Percobaan laboratorium menunjukkan, bagaimanapun, bahwa panjang siang minimum yang sebenarnya adalah antara 12,0 dan 13,5 jam dan bahwa suhu minimum sekitar 14 oC diperlukan pada saat yang sama. Ikan betina mungkin mempunyai persyaratan suhu yang sedikit lebih tinggi daripada ikan jantan. Baik suhu hangat maupun fotoperiode (dalam hal ini panjang siang hari) yang lama itu saja tidak memiliki banyak pengaruh. Setelah memijah dalam bulan Agustus, tidak ada pembaharuan aktivitas gonad, meskipun panjang siang dan suhu melebihi nilai minimum yang diperlukan untuk perkembangan gonad; hal ini menunjukkan bahwa juga ada periode yang pasif setelah pemijahan. Suhu hangat (17,5 oC) dan fotoperiode yang singkat (10,5 jam) menyebabkan penyusutan gonad. Ikan lain yang memiliki pola reproduksi serupa mencakup ikan minnow (Phoxinus laevis), medaka (Oryzias latipes), stickleback (Gasterosteus aculeatus) dan sunfish (Lepomis cyanellus). Di daerah tropis, di mana musim dominan hanyalah kemarau dan hujan, pemijahan sering terjadi pada permulaan musim hujan. Pola reproduksi seperti ini yang ditandai oleh perubahan lingkungan mengkoordinasi perkembangan seksual kedua jenis kelamin dan menjamin kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan tahap awal anak ikan yang akan dihasilkan. Kondisi ini diperantarai oleh kelenjar-kelenjar endokrin yang mempengaruhi perilaku dan fisiologi ikan.

Kematangan Gonad Bandeng Budidaya secara Alami

Marte et al. (1988), berdasarkan laporan beberapa penelitan lain, menyimpulkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) secara spontan matang gonad pada berbagai kondisi pemeliharaan, tetapi faktor-faktor yang memicu kematangan gonad pertama kali belum dipahami dengan baik. Di Taiwan dan Hawaii, ikan bandeng yang dipelihara di dalam tangki secara spontan matang gonad untuk pertama kali pada umur 6 tahun atau lebih, tetapi persentase ikan yang mencapai kematangan sempurna adalah rendah dan tidak ada yang memijah tanpa rangsangan hormon. Pematangan dan pemijahan ikan bandeng yang dipelihara dalam kolam di Taiwan telah dilaporkan oleh Lin tahun 1982 dan 1984. Bagaimanapun, ikan pertama kali matang gonad pada umur 9 sampai 10 tahun. Demikian pula, bandeng umur 11 – 12 tahun yang dipelihara dalam tangki di Gondol, Indonesia, matang gonad dan memijah secara spontan. Kematangan gonad secara spontan dan pemijahan alami terjadi pada hampir semua bandeng umur 5 tahun yang dipelihara dalam kurungan.

Pembalikan Jenis Kelamin Pada Ikan

Chan dan Yeung (1983) dalam Hoar et al. (1983) sependapat dengan pernyataan bahwa dualitas genetik dan fisiologi sel reproduktif membentuk basis fundamental seksualitas pada organisme hidup. Pada vertebrata, dimorfisme seksual lebih lanjut ditunjukkan oleh jenis kelamin gonad, jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Evolusi sistem seksual kompleks tak diragukan merupakan hasil seleksi alam,dan kemunculan sifat-sifat seksual tertentu seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan berfungsi meningkatkan keberhasilan reproduksi spesies tersebut. Di alam, pengendali jenis kelamin terutama adalah genetik, dan pengungkapan gen(-gen) seks mewujudkan diri dalam organ-organ seks primer. Gonad yang berdiferensiasi, terutama testes, selanjutnya mensekresi steroid dan substansi non steroid, seperti hormon anti-Mullerian, yang mengendalikan diferensiasi jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Meskipun penentu utama jenis kelamin ada dalam gen individu, perubahan dari jenis kelamin genotip menjadi jenis kelamin fenotip hanya dilakukan oleh proses biokimia, yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jadi, pengendalian jenis kelamin ikan, seperti pada kebanyakan organisme lain, dikendalikan oleh faktor genetik (intrinsik) maupun lingkungan (ekstrinsik). Perlu ditekankan di sini bahwa pembalikan seks alami jangan dikacaukan dengan pembalikan seks eksperimental. Yang pertama menyatakan pembalikan seks yang terjadi sebagai proses spontan di bawah kondisi alami pada spesies hermaprodit, sementara pembalikan seks alami pada teleostei menyebabkan berbagai pola hermaproditisme yang berfungsi seberhasil gonochorisme. Yang terakhir biasanya melibatkan manipulasi buatan terhadap diferensiasi seks embryo pada spesies gonochoris normal, sehingga jenis kelamin fenotip berbeda dengan jenis kelamin genotip.

Pembalikan seks, perubahan individu dari satu jenis kelamin menjadi jenis kelamin yang lain, telah didefinisikan oleh Atz pada tahun 1964 sebagai perubahan “dari kepemilikan jaringan ovari yang dapat dikenali menjadi kepemilikan jaringan testes yang dapat dikenali atau sebaliknya”. Arti yang luas dari istilah ini, sekalipun telah ditambah keterangan penjelas-diri seperti pembalikan seks “fungsional”, tidak dapat membedakan antara pembalikan seks gonochoris (buatan) di mana jenis kelamin fenotip fungsional berbeda dengan jenis kelamin genotip dan pembalikan seks hermaprodit-berurutan/”consecutive hermaphrodite” (alami) di mana kedua jenis kelamin berfungsi dalam urutan sementara selama masa hidupnya. Reinboth pada tahun 1970 mengusulkan untuk meninggalkan istilah “pembalikan seks” dalam pembahasan mengenai “ambosexual (intersexual)” pada ikan dengan alasan bahwa istilah ini “bisa memiliki arti kembali ke kondisi seks primer’; ia mengajukan istilah yang lebih netral “sex inversion” (penukaran seks) yang didefinisikan oleh Atz sebagai “kondisi yang dicapai suatu individu dari suatu jenis kelamin serupa dengan jenis kelamin lawannya, tetapi tidak memiliki jaringan gonad yang dapat-dikenali dari jenis kelamin tersebut”. Jadi, istilah yang sama digunakan oleh kedua peneliti untuk pengertian yang sangat berbeda. Istilah yang lebih baru adalah “sex succession” untuk menyatakan sifat sementara pembalikan seks (sex reversal) yang terjadi pada hermaprodit-berurutan. Istilah suksesi seks lebih tepat daripada pembalikan seks bagi spesies hermaprodit di mana zona-zona dan jaringan heteroseksual ada bersama-sama sebelum perubahan seks; perubahan seks dalam kasus ini pada kenyataannya merupakan kejadian ontogenetik di mana jaringan jantan dan betina yang telah ada mengalami serangkaian pola suksesi kematangan seks (Chan dan Yeung, 1983, dalam Hoar et al., 1983).

Efektivitas Hormon Steroid Sintetis Dalam Merangsang Pembalikan Jenis Kelamin Ikan

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa meskipun telah banyak jenis steroid alami dan buatan yang berhasil merangsang pembalikan jenis kelamin (sex reversal), namun aktivitas biologis individualnya berbeda. Secara umum, androgen sintetis lebih berpotensi daripada androgen alami. Androgen sintetis yang paling potensial adalah 19-nor-ethynyltestosterone, yang menghasilkan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 1,0 mg/kg pakan. Yang kurang potensial adalah fluoxyinesterone 1,2 mg/kg, ethynyltestosterone 3,4 mg/kg, methylandrostenediol 7,8 mg/kg, methyltestosterone 15 mg/kg, dan testosterone propionate 560 mg/kg. Androgen alami termasuk androstenedione 500 mg/kg dan androsterone 580 mg/kg. Telah dibuktikan bahwa 11-ketotestosterone merupakan androgen alami yang paling potensial pada dosis 110 mg/kg. Demikian pula, estrogen-estrogen sintetis hexesterol, euvastin dan ethylestradiol memberikan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 0,5 , 0,8 dan 1,7 (mg/kg), berturut-turut. Untuk mencapai 50 % pembalikan jenis kelamin, maka estradiol, estrone dan estriol alami membutuhkan dosis 5,8 ,20 dan 130 mg/kg pakan. Hasil-hasil seperti ini bisa diharapkan karena baik estrone maupun estriol merupakan produk metabolik estradiol. Demikian pula, 11-ketotestosteron telah ditunjukkan jauh lebih potensial daripada testosterone dalam merangsang pembalikan jenis kelamin pada ikan Poecilia reticulata. Lebih tingginya potensi steroid sintetis (dibandingkan steroid alami) yang diberikan lewat mulut disebabkan sebagian oleh ketahanannya terhadap penguraian di dalam saluran pencernaan.

Perkembangan Gonad Ikan Sidat, Anguilla

Deelder (1984), dengan mengutip hasil penelitian lain, melaporkan bahwa gonad seekor ikan sidat (Anguilla) mula-mula tidak dapat dibedakan karena beberapa bagian gonad tersebut cenderung menunjukkan sifat jantan, sebagian lagi betina dan bagian lainnya peralihan jantan-betina. Diferensiasi gonad terjadi dengan berkembangnya unsur-unsur gametogenesis jantan dan menyusutnya unsur-unsur gametogenesis betina atau sebaliknya. Diferensiasi gonad kadang-kadang bisa dikenali pada sidat sepanjang 20 cm atau bahkan lebih kecil lagi. Kebanyakan sidat, bagaimanapun, tetap dalam kondisi seksual yang belum dapat ditentukan hingga mencapai panjang 30 cm atau lebih. Selama perkembangannya, suatu stok ikan sidat menunjukkan perubahan bertahap dari betina ke jantan yang dihubungkan oleh individu-individu berjenis kelamin peralihan. Ada tahap yang cukup lama di mana jenis kelamin sidat tidak dapat ditentukan, dengan sel-sel betina terdapat bersama-sama dengan unsur-unsur jantan; pada yang terakhir ini sifat-sifat seksual tidak muncul karena kematangan gonad tertunda.

Siklus Gonad Oyster Crassostrea

Robinson (1992) mempelajari siklus reproduksi oyster kumamoto (Crassostrea gigas kumamoto) yang dikumpulkan dari daerah oyster komersial di Teluk Yaquina, Oregon, setiap bulan selama periode 3 tahun. Gonad mengandung beberapa gamet matang sepanjang tahun. Frekuensi maksimum oyster matang gonad terjadi pada bulan Agustus – September dan menurun dengan cepat pada Oktober – November sampai minimum pada bulan Maret. Gametogenesis dimulai pada bulan Mei dan sel telur matang pertama kali muncul pada Juni – Juli. Pengkondisian untuk percobaan pemijahan telah dilakukan pada suhu 20 oC dan 24 oC empat kali setahun. Pada suhu 24 oC, produksi gamet terjadi 2 sampai 4 minggu lebih dulu dibandingkan pada suhu 20 oC. Dengan memulai pengkondisian pada bulan Mei atau Juni, periode pengkondisian di laboratorium bisa dikurangi 2 sampai 6 minggu. Kelangsungan hidup larva dan jumlah benih yang terkumpul juga meningkat dengan berkurangnya periode pengkondisian laboratorium. Pada percobaan yang dilakukan dengan 5 macam suhu dan 5 macam salinitas, kondisi optimum untuk pemeliharaan larva berkisar dari 24 sampai 28 oC dan dari 20 sampai 25 ppt.

Penyusutan Gonad Kepiting Akibat Parasit

Vinuesa (1989) melaporkan bahwa dari analisis terhadap 5.000 spesimen king crab Lithodes santolla dan Paralomis granulosa ditemukan bahwa kedua spesies diparasiti oleh rhizocephala Briarosaccus callosus. Gejala utama infeksi ini adalah penyusutan gonad, namun molting (ganti kulit) tidak terpengaruh. Kejadian parasit ini pada kedua spesies adalah sangat jarang, tidak lebih dari 2,2 %. Telah diketahui bahwa kedua spesies juga diparasiti oleh sejenis isopoda bopyridae yang belum dapat diidentifikasi, tetapi kejadiannya sangat jarang dan tidak terlihat ada kelainan internal pada hewan inangnya.

Bab II
Sperma Ikan : Morfologi, Daya Gerak dan Kualitas


Proses Pembentukan Sperma Ikan Teleostei

Nagahama (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa perkembangan sel kelamin ikan berlangsung di dalam kista yang dibentuk oleh sel-sel Sertoli. Tahap-tahap spermatogenesis dan spermiogenesis dapat dibedakan berdasarkan karakteristik morfologi nukleus dan sitoplasmanya. Pembentukan kista dimulai dengan pembelahan mitotik spermatogonia. Spermatogonia kemudian berubah menjadi spermatosit primer. Pembelahan meiotik pertama menghasilkan dua sel anak, spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder kemudian berubah menjadi spermatid melalui pembelahan meiotik kedua. Spermatid ini, meskipun memiliki seperangkat kromosom haploid, belum dapat berfungsi sebagai gamet jantan. Mereka harus mengalami diferensiasi menjadi spermatozoa, sebuah proses yang disebut spermiogenesis.

Lama spermatogenesis telah diamati pada beberapa ikan teleostei, dan hasilnya bervariasi antar spesies. Selang waktu spermatogenesis ikan medaka telah ditentukan menggunakan teknik “tritiated thymidine” dan autoradiografik; lama minimum dari sintesis DNA tahap dini dalam “leptotene spermatocyte” sampai spermatid tahap awal adalah 5 hari pada suhu 25 oC (12 hari pada 15 oC) dan periode dari spermatid awal sampai spermatozoa adalah 7 hari pada suhu 25 oC (8 hari pada suhu 15 oC). Pada ikan gapi, periode waktu untuk perkembangan dari leptotene tahap dini menjadi spermatozoa adalah 14,5 hari pada suhu 25 oC. Pada Poecilia shenope lama dari leptotene sampai spermatozoa matang setidaknya 21 hari (Nagahama, 1983, dalam Hoar et al., 1983).

Sekresi dan Fungsi Saluran Sperma Ikan

Lahnsteiner et al. (1993), dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron serta kromatografi lapisan-tipis enzim-histokimia dan fotometri, mempelajari fungsi saluran sperma pada ikan-ikan salmonidae (rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, Arctic charr, Salvelinus alpinus, ikan grayling, Thymallus thymallus; whitefish, Coregonus sp.). Selama pemijahan, saluran sperma ikan salmonidae menunjukkan aktivitas sekresi yang tinggi : ia mensintesis berbagai steroid, lipida (trigliserida, asam-asam lemak, ester-ester kolesterol, fosfatidil-kolin), monosakarida (glukosa, fruktosa), protein dan enzim-enzim (fosfatase, glukuronidase dan protease asam dan basa). Ia berperanan penting dalam penyimpanan dan penyerapan-kembali spermatozoa. Ada perbedaan interspesifik dalam hal kapasitas penyimpanan semen (cairan sperma).

Morfologi Sperma Ikan Teleostei

Nagahama (1983) dalam Hoar et al. (1983) menjelaskan morfologi spermatozoa ikan teleostei berdasarkan studi literatur. Spermatozoa teleostei dapat dibagi secara morfologi menjadi kepala, bagian leher, bagian tengah dan ekor. Sperma ikan tidak mempunyai acrosom yang terdapat pada semua kelompok vertebrata lain, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya micropyle pada telur teleostei. Kepala secara umum berbentuk bulat atau oval; spermatozoa berbentuk sabit atau bulan-sebelah ditemukan pada ikan sidat. Bagian tengah mengikuti pola ultrastruktur umum, terdiri dari sebuah flagel tengah dan selubung mitokondrial. Pada kebanyakan spermatozoa teleostei, mitokondria ada sedikit, tidak termodifikasi, dan terletak di dalam “lengkung bawah” agak jauh di belakang nukleus. Spermatozoa tak berflagel dan spermatozoa berflagel dua ditemukan pada beberapa ikan teleostei. Flagel ekor spermatozoa pada kebanyakan spesies menunjukkan pola axonemal khas 9 + 2, tetapi spermatozoa sidat memiliki pola khas 9 + 0 tanpa axonema pusat.

Morfologi sperma tampaknya mencerminkan cara pembuahan. Tipe spermatozoa primitif masih dipertahankan pada spesies-spesies yang pembuahannya terjadi di luar tubuh; bentuk nukleus sperma spesies ini bundar. Berbagai modifikasi morfologi sperma terjadi pada spesies dengan pembuahan internal di mana nukleus sperma lebih memanjang dan bagian tengah berkembang sempurna. Contoh yang tepat morfologi sperma seperti ini yang bersesuaian dengan cara reproduksi telah diamati pada dua spesies ikan yang berkerabat dekat. Pada ikan medaka, dengan pembuahan eksternal, morfologi sperma masih primitif dengan nukleus bundar dan bagian tengah pendek. Pada ikan guppy, dengan pembuahan internal, nukleus maupun bagian tengah memanjang.

Sperma Abnormal Pada Ikan Cottus

Quinitio dan Takahashi (1992) mengamati secara ultrastruktural proses spermatogenesis dan spermiogenesis pada ikan river sculpin, Cottus hangiongensis. Selama spermatogenesis, beberapa kista germinal di dalam lobula-lobula seminal ditemukan mengandung spermatosit, yang memiliki inti sel berbentuk tak teratur, mitokondria berbentuk donat, dan jembatan-jembatan interseluler tak-khas dengan sisternae ganda mirip cakram. Selain itu, banyak kista mengandung spermatid berinti dua ditemukan di dalam testis. Di dalam kromatin inti yang berpasangan pada spermatid tak-normal, ditemukan granula-granula berelektron padat, yang menjadi inti globula kromatin yang sedang berkembang. Ukuran globula kromatin bertambah, sehingga menyebabkan pembesaran inti yang berpasangan. Sel-sel ini pada akhirnya dilepaskan dari kista ke lumen lobula seminal dan kemudian mengalami penyusutan lebih lanjut, sehingga tampak sebagai “massa spermatid” yang khas di dalam testis matang-kelamin.

Gamone, Senyawa Pengaktif Sperma Ikan

Blaxter (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa ada bukti-bukti yang menunjukkan aksi gamone pada ikan Lampetra dan teleostei. Senyawa ini mengaktifkan sperma dan berfungsi sebagai penarik (atraktan) kimiawi agar sperma mendekati sel telur, sementara jenis senyawa gamone lain diketahui melumpuhkan atau menggumpalkan sperma. Pada spesies ikan bitterling, Acheilognathus dan Rhodeus, penggerombolan dan aktivitas spermanya berlangsung di daerah micropyle pada korion telur.

Daya Gerak Sperma Ikan Dalam Air

Blaxter (1983) dalam Hoar et al. (1983) mengutip beberapa laporan mengenai kemampuan sperma mempertahankan daya gerak (motility) dan kesuburannya setelah dikeluarkan dari tubuh ikan. Daya gerak sperma berlangsung singkat bila pemijahan terjadi di perairan yang mengalir cepat, sebagai contoh, 10 – 15 detik pada ikan salmon. Di perairan yang mengalir lebih lambat, sperma ikan sturgeon dapat bergerak selama 230 – 290 detik, dan sperma ikan hering laut dapat bergerak selama berjam-jam atau beberapa hari.

Pengaruh Obat Bius 2-Fenoksietanol Terhadap Daya Gerak Sperma Ikan Kowan dan Silver Carp

McCarter (1992) melaporkan bahwa ikan kowan (Ctenopharyngodon idella) dan ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) telah dirangsang untuk memijah di dalam tangki dalam-ruangan. Ikan-ikan induk dibius selama penyuntikan dan pengurutan-perut (stripping) dengan menambahkan obat penenang 2-fenoksietanol pada konsentrasi 0,2 ml/liter. Ternyata bahwa 2-fenoksietanol tidak berpengaruh terhadap daya gerak sperma pada konsentrasi tersebut.

Variasi Tahunan Kualitas Sperma Ikan Mas

Rodriguez Gutierres et al. (1991) menentukan hubungan antara mutu cairan seminal (cairan sperma) dan faktor kondisi ganda, dengan memperhatikan morfologi, daya hidup, jumlah spermatozoa per ml, densitas, berat dan volume total sperma yang dikeluarkan, pada setiap musim pemijahan. Hasilnya menunjukkan bahwa cairan seminal tidak menunjukkan adanya variasi dalam hal daya hidup, morfologi dan densitas sperma untuk semua tahun.

Peningkatan Mutu Sperma Ikan Mas Dengan Natrium Sitrat

Magyary et al. (1991) menggunakan ikan mas (Cyprinus carpio) jantan, yang semuanya berumur dan berukuran sama, sebagai binatang percobaan. Semuanya diberi larutan hormon pituitari untuk merangsang pemijahan. Daya gerak spermatozoa diteliti di dalam air akuarium (sebagai kontrol) dan dalam berbagai konsentrasi garam trinatrium asam sitrat yang berkisar dari 0,2 % (0,007 M) sampai 10 % (0,340) dengan penambahan 10 volume setiap konsentrasi yang sedang diuji ke dalam satu volume sperma. Spermatozoa bisa diaktifkan oleh larutan uji berkonsentrasi rendah. Lama daya gerak bisa sangat ditingkatkan oleh beberapa konsentrasi garam ini. Konsentrasi yang lebih tinggi di mana spermatozoa tidak dapat diaktifkan digunakan sebagai larutan uji untuk mereaktifkannya di dalam percobaan pengawetan jangka pendek. Dibandingkan dengan NaCl, Na-sitrat memberikan aktivitas maksimal yang jauh lebih lama dan juga periode maksimal reaktivasi (penyimpanan) yang jauh lebih lama pula.

Merangsang Spermiasi Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dengan Hormon LHRH-A

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa pencangkokan LHRH-A dapat merangsang dan mempertahankan spermiasi (proses pembentukan sel-sel sperma) pada ikan bandeng jantan matang-gonad. Laporan-laporan yang diterbitkan oleh beberapa peneliti lain menunjukkan bahwa penyuntikan intraperitoneal LHRH-A dalam air garam atau dalam propilen glikol 40 %, pencangkokan 1,5 mg/kg LHRH-A dalam silastik atau 25 mikrogram/ikan D-Nal(2)6-LHRH dalam pelet kolesterol merangsang spermatogenesis dan spermiasi pada ikan salmon Atlantik. Penyuntikan LHRH-A juga merangsang spermiasi dan meningkatkan volume sperma pada ikan mas. Sedikit perhatian diarahkan pada spermiasi bandeng jantan kecuali dalam sebuah laporan terdahulu di mana spermiasi pada ikan jantan liar dipertahankan selama 8 hari dengan menggunakan sediaan androgen komersial. Spermiasi dipertahankan pada bandeng yang dicangkoki secara kronis dengan metil testosteron yang dikombinasikan dengan pelet LHRH-A tetapi ikan jantan hanya menunjukkan sedikit respon terhadap LHRH-A.

Bab III
Morfologi dan Perkembangan Telur, Embryo dan Larva Ikan


Morfologi Telur Ikan Lele Dumbo Clarias gariepinus

Riehl dan Appelbaum (1991) mengamati telur ikan lele dumbo, Clarias gariepinus, untuk pertama kalinya dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Dalam hal bentuk, telur ikan lele sangat berbeda dengan telur ikan teleostei lain; bentuknya mirip topi dari kulit berbulu. Telur Clarias gariepinus dilekatkan pada substrat pada kutub animalnya, yang menunjukkan sebuah benjolan yang terdiri dari banyak filamen pelekat berukuran sangat kecil. Filamen-filamen ini tampaknya merupakan bagian dari zona radiata eksterna. Micropyle, yang terletak di dalam pusat benjolan tersebut, berupa saluran lurus di dalam zona radiata.

Variasi Jumlah Micropyle Pada Telur Ikan Pada Populasi Yang Berbeda

Podushka (1992) melaporkan bahwa jumlah micropyle pada telur ikan sturgeon Acipenser persicus bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar baik pada ovari ikan betina yang sama maupun pada ovari ikan-ikan betina yang berbeda dari populasi yang sama. Perbandingan variasi karakter tersebut pada spesies ini dengan spesies sturgeon yang lain menunjukkan bahwa dalam hal karakter tersebut Acipenser persicus berkerabat paling dekat dengan ikan sturgeon Rusia sebagai mana dalam hal karakter-karakter morfologis yang lain.

Perkembangan Telur dan Larva Ikan Muraenesox cinereus

Umezawa et al. (1991) mempelajari perkembangan embryo dan larva ikan pike eel, Muraenesox cinereus, setelah pembuahan secara alami di laboratorium. Telur bersifat pelagis dan berbentuk bulat dengan diameter 1,8 sampai 2,1 mm serta memiliki sebuah korion transparan tak berwarna dan banyak butiran minyak. Penetasan terjadi 36 jam setelah pemihahan pada suhu air 25 oC. Larva yang baru menetas memiliki pajang total rata-rata 5,8 mm, dan jumlah myomer rata-rata 86. Penyerapan kuning telur sempurna pada hari ke-8 setelah menetas, pada panjang total 9 – 10 mm. Larva bertahan hidup selama 10 hari tanpa pasokan makanan dari luar. Pada saat itu panjang total rata-ratanya 11,2 mm dan memiliki myomer sebanyak 97 + 55 = 152, yang merupakan ciri diagnostik spesies ini. Mereka mempunyai mata yang besar dan rahang yang berkembang baik dengan gigi-gigi yang tajam.

Perkembangan dan Laju Penetasan Telur Ikan Perca

delos Reyes et al. (1992) melaporkan bahwa untaian telur hasil pemijahan alami ikan perch, Perca fluviatilis, telah diambil dari tumbuhan air-tenggelam di Danau Plussee, Holstein, Jerman Utara dari April sampai Mei 1989. Telur-telur ini dierami secara in situ (di lapangan) dan di laboratorium untuk menduga daya hidup, perkembangan dan abnormalitas embryo. Dari telur yang dierami in situ, sebanyak 91,6 % embryo adalah dapat-hidup, bagian yang tak hidup mencakup 1,1 % telur tak terbuahi, 5,1 % mati dan 2,2 % tidak normal. Pada telur yang dierami di laboratorium, sebanyak 84,1 % menghasilkan embryo hidup, dan bagian yang tak hidup meliputi 1,1 % telur tak dibuahi, 11,3 % mati dan 3,5 % tidak normal. Tingkat penetasan embryo Perca fluviatilis baik in situ maupun laboratorium (10 oC in situ dan 8 oC di laboratorium) dengan periode pengeraman 20 – 27 hari sejak pembuahan, adalah 50 % yang menetas.

Telur dan Perkembangan Embryo dan Larva Ikan Blepsias

Munehara dan Shimazaki (1991) mempelajari perkembangan embryo dan morfologi larva yang baru menetas ikan liitle dragon sculpin Blepsias cirrhosus. Telur Blepsias cirrhosus hampir bulat, berdiameter 3,0 – 3,2 mm dan mempunyai kuning telur berwarna oranye-terbakar. Perkembangannya sangat lambat, terutama setelah kemunculan embryo. Embryo mulai terbentuk pada hari ke-10. Embryo awal berukuran kurang dari 1,6 kali keliling kuning telur. Panjang notochord larva yang baru menetas rata-rata 11,1 mm. Larva berkembang sedemikian sempurna hingga notochord siap membengkok dan jari-jari sirip ekor dan sirip dada sedang terbentuk.

Morfologi Telur dan Perkembangan Larva Ikan Atherion elymus

Kimura dan Tsukamoto (1990) mengamati perkembangan embryo, larva dan juvenil ikan atherinidae, Atherion elymus, berdasarkan beberapa individu ikan ini yang dipelihara di laboratorium. Telur hampir berbentuk bulat, berdiameter 0,90 – 1,05 mm, dengan sejumlah besar filamen korionik. Penetasan terjadi antara 13 dan 17 hari setelah pemijahan pada suhu air 20,5 – 21,4 oC. Larva yang baru menetas berukuran panjang 3,95 – 4,70 mm NL (notochord length) dan mempunyai 4 – 37 myomer. Pembengkokan notochord dimulai pada panjang 7,0 – 7,5 mm NL. Jumlah semua jari-jari sirip menjadi lengkap pada panjang 10,7 – 11,5 mm (panjang baku), ketika larva mencapai tahap juvenil. Sisik-sisik menjadi hampir sempurna pada panjang baku 18,5 – 20 mm. Larva spesies ini bisa dibedakan dari larva Hypoatherina tsurugae dan H. bleekeri karena memiliki sedikit melanofora tepat sebelum ujung notochord baik pada sisi dorsal (punggung) maupun ventral (perut), dan mempunyai melanofora-melanofora berbentuk titik pada pertengahan sisi badan.

Perkembangan Telur Sampai Larva Hasil Pijah Rangsang Ikan Buntal

Fujita dan Honma (1991) merangsang kematangan ovari ikan buntal Takifugu exascurus kemudian mengamati perkembangan embryo, larva serta juvenilnya. Ikan induk dikumpulkan di Tassha Bay, Pulau Sado, selama musim pemijahan pada tahun 1986 yang tampaknya musim ini berlangsung dari akhir Juni sampai pertengahan Juli. Tiga mg pituitari ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) kering-aseton disuntikkan ke setiap ikan buntal betina untuk merangsang kematangan ovari, yang terjadi dalam waktu sekiar 77 hari pada suhu air 19,5 – 21,0 oC. Telur yang diperoleh melalui penyuntikan hormon dibuahi secara buatan dengan sperma dari seekor ikan buntal jantan. Larva yang menetas secara berturut-turut diberi pakan berupa rotifera Brachionus plicatilis, naupli Artemia dan cincangan daging ikan, kemudian larva ini dipelihara selama sekitar satu tahun.

Telur ikan ini berbentuk bulat, berdiameter 1,24 ± 0,04 mm, demersal dan lengket. Membran telur tampak transparan, dan kuning telur berwarna oranye, yang mengandung sekelompok butiran minyak kecil. Periode pengeraman adalah sekitar 160 jam pada suhu air 18,5 – 21,0 oC. Larva yang baru menetas, yang berukuran panjang total 2,9 – 3,1 mm, memiliki 8 + 15 = 23 myomer. Kuning telur diserap sempurna 3 hari setelah menetas, pada saat ini larva mencapai panjang total 3,5 – 3,6 mm. Lipatan-lipatan sirip menghilang, sirip punggung menyusut, sirip dubur dan sirip ekor terbentuk ketika panjang total larva 4,1 – 4,4 mm, dalam 6 hari setelah menetas. Pada larva berumur 9 hari (panjang total 5,4 mm) jari-jari sirip yang menyusut terbentuk pada sirip punggung, dubur dan ekor, sementara sisik mirip-duri terbentuk pada perut. Pada ikan umur 16 hari, dengan panjang total 9,1 – 10,2 mm, jari-jari sirip menjadi sempurna pada semua sirip, dan ikan mencapai tahap juvenil.

Larva Ikan Sebagai Tahap Kritis

Telah dilaporkan adanya penurunan biomas ikan sardine Pasifik (Sardinops caerulea) dan peningkatan biomas ikan anchovy utara (Engraulis mordax) di lepas pantai sebelah barat USA yang bermula pada sekitar tahun 1945. Vrooman dan Smith (1970) menghitung bahwa antara tahun 1950 dan 1965 biomas pemijahan ikan anchovy meningkat dari sekitar 0,7 x 106 ton sampai hampir 8 x 106 ton. Rata-rata biomas total untuk periode 1962 – 1966 diduga 6,2 x 106 ton, yang dibagi menjadi tiga sub-populasi : stok bagian tengah di lepas pantai selatan California sebanyak 4,8 x 106 ton, stok utara sebanyak 0,27 x 106 ton yang tersebar di sepanjang pantai utara California dan selatan Oregon, dan stok selatan sebesar 1,1 x 106 ton di lepas pantai Baja California. Peningkatan tajam biomas anchovy pada saat biomas sardine menurun tajam memperkuat dugaan bahwa interaksi kompetitif berlangsung di antara kedua spesies, tetapi Smith (1972) menyimpulkan bahwa baik tingkah laku makan anchovy dan sardine maupun dinamika populasi organisme makanan tidak cukup untuk mendukung timbulnya kompetisi. Ia menunjukkan bahwa kurva frekuensi panjang larva memperlihatkan sedikit perubahan, dan diduga bahwa kompetisi akan berlangsung dalam tahap juvenil dan pra-rekruitmen.

Pada dekade terakhir, Lasker (1975, 1978) telah melakukan studi intensif terhadap tingkah laku makan larva anchovy. Ia memijahkan anchovy di dalam laboratorium, menetaskan telur dan mulai mempelajari perilaku makan larva ikan tersebut di laboratorium. Ia menemukan bahwa ketika larva pertama kali mencaplok makanannya (pada panjang sekitar 3,5 mm) mulutnya masih kecil dan kebanyakan makanan berupa partikel-partikel berdiameter 60 – 80 mikron. Larva-larva ikan ini relatif tidak efisien, hanya berhasil mencaplok satu dari sepuluh organisme makanan yang diserangnya, dan dengan demikian memerlukan konsentrasi makanan yang sangat tinggi di dalam lingkungannya agar mereka tetap hidup. Dengan meningkatnya konsentrasi makanan maka laju penelanan meningkat, tetapi tidak semua organisme dalam kisaran ukuran penelanan dapat dijadikan sebagai makanan. Dari berbagai spesies plankton yang diuji, hanya dinoflagelata Gymnodinium spendens yang dapat menyokong pertumbuhan ikan. Banyak spesies zooplankton yang dapat dijadikan makanannya, tetapi tampaknya tidak ada yang terdapat di alam dengan konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan.

Tahap penelitian selanjutnya adalah memindahkan larva yang sedang dalam kondisi pertama kali-makan ke laut dan menghadapkannya kepada organisme-organisme mangsa dalam sampel air laut alami. Ternyata bahwa agar dapat berhasil makan maka dalam setiap ml air laut paling sedikit harus ada 20 – 30 sel fitoplankton dengan diameter minimum 30 mikron. Larva dengan baik memakan Gymnodinium spendens, tetapi tidak mengambil Chaetoceros sp. atau pun Thalassiosira sp. Konsentrasi fitoplankton yang cocok dijumpai dalam lapisan klorofil maksimal yang, pada April 1974, terletak pada kedalaman 15 – 20 meter sepanjang pesisir California. Angin badai yang menyebabkan pengadukan massa air permukaan setebal 20 m membuyarkan lapisan berkonsentrasi fitoplankton tinggi ini, dan bisa menyebabkan kematian masal larva ikan yang sedang dalam fase pertama kali-makan.

Dengan memanfaatkan informasi ini, kondisi oseanografis di Southern California Bight (Teluk California Selatan) dipantau selama musim pemijahan ikan anchovy 1975 (Januari – Mei). Makanan yang sesuai ditemukan melimpah dalam lapisan klorofil maksimum pada Januari, tetapi upwelling yang kuat mulai berlangsung pada Februari dan setelah terganggu sebentar pada awal Maret, mereka kembali pulih pada April dan berlanjut sampai melewati akhir musim pemijahan tersebut. Pengaruh upwelling adalah menghamburkan massa air kaya-dinoflagelata dan menggantikannya dengan berbagai jenis diatom kecil yang tidak cocok sebagai makanan larva ikan ini. Akibatnya bisa diduga bahwa ikan anchovy utara kelas tahun 1975 akan menjadi sedikit.

Kesimpulan umum hasil penelitian seperti ini adalah bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan anchovy yang baru menetas merupakan fase yang sangat kritis karena kondisi yang menyediakan cukup makanan yang sesuasi tergantung pada adanya dinoflagelata berkonsentrasi tinggi pada kondisi yang relatif tenang. Angin kuat dari utara, yang menyebabkan upwelling, atau angin kencang dari arah lain yang mengaduk lapisan permukaan samudra, menyebabkan pemencaran semua masa air kaya-dinoflagelata yang penting. Hal ini merupakan kasus khusus teori Hjort (1914) yang menyatakan bahwa keberhasilan kelas tahun suatu ikan bergantung terutama pada kecukupan konsentrasi makanan yang cocok yang ada selama tahap pertama kali mencari-makan yang kritis. Salah satu fenomena yang masih membingungkan adalah mengapa biomas anchovy meningkat luar biasa sejak tahun 1950.

Penjelasan yang bagus mengenai hal ini dijumpai dalam makalah yang baru-baru ini ditulis oleh Methot dan Kramer (1979). Dengan menggunakan teknik yang baru saja dikembangkan untuk mengetahui cincin pertumbuhan harian dalam “sagittal otolith” (batu-telinga segitiga), mereka menentukan laju pertumbuhan larva anchovy utara berumur kurang dari sebulan dari dua belas stasiun di lepas pantai Los Angeles. Mereka menemukan bahwa pada sembilan stasiun pertumbuhannya serupa, yang berkisar dari 0,34 sampai 0,40 mm per hari untuk ikan sepanjang 8 mm, sedangkan pada tiga stasiun sisanya pertumbuhannya lebih baik, yaitu 0,47 sampai 0,55 mm per hari. Nilai ini bersesuaian dengan laju pertumbuhan yang diperoleh dari laboratorium pada kondisi makanan melimpah. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa larva anchovy yang memperoleh cukup makanan untuk bertahan hidup tampaknya memperoleh cukup energi untuk tumbuh dengan cepat. Mereka mempersoalkan apakah kelangsungan hidup larva-larva ini ditentukan terutama oleh makanan ataukah oleh pemangsaan, tetapi sayangnya tidak ada data yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Secara umum, tampak bahwa studi biologi anchovy utara ini bergeser dari dinamika populasi stok tunggal yang ketat ke pertimbangan hubungan makanan, tetapi informasi tersebut saat ini lebih terbatas daripada pengetahuan kita mengenai hubungan rantai makanan beberapa stok pelagis di Atlantik.

Bab IV
Penyimpanan-Beku dan Penyimpanan-Dingin Telur dan Sperma Ikan


Kesuburan Telur dan Sperma Ikan Yang Disimpan-Beku dan Disimpan-Dingin

Kesuburan telur dan sperma ikan karper India Labeo rohita, ikan mas Cyprinus carpio, tawes Puntius gonionotus, ikan kowan Ctenopharyngodon idella, bighead carp Aristichthys nobilis dan ikan jambal Pangasius sutchii diteliti setelah disimpan dalam lemari es, termos es dan nitrogen cair (LN2, Liquid Nitrogen). Periode kesuburan telur setelah dikeluarkan dari tubuh induk tidak banyak bertambah lama dengan perlakuan penyimpanan-dingin dalam refrigerator. Periode untuk mengaktifkan sperma setelah dikeluarkan dari tubuh induk bertambah lama sampai beberapa jam dengan perlakuan penyimpanan-dingin dalam syringe (botol semprot). Sperma ikan-ikan karper (seperti karper India, ikan mas, tawes, bighead carp) yang dicampur dengan larutan DMSO (dimetil sulfoksida) dapat diaktifkan lagi setelah disimpan dalam nitrogen cair. Pada satu percobaan, sperma ikan karper India disimpan dalam nitrogen cair sedangkan telur yang telah dibuahi dan sperma segar dijadikan sebagai kelompok kontrol. Sperma ikan Pangasius sutchii, yang diencerkan dan disimpan dalam nitrogen cair, membentuk gel sehingga tidak dapat digunakan secara efektif untuk membuahi telur.


Prosedur Penyimpanan Dingin Telur dan Sperma Ikan



Withler (1980) menjelaskan prosedur penyimpanan dingin telur dan sperma ikan dengan mempertahankan kesuburannya. Telur hasil pengurutan perut ikan (biasanya bervolume 25 atau 50 ml) dimasukkan ke dalam gelas arloji 250 ml yang ditutup dengan kertas aluminium atau kantung plastik, kemudian disimpan di dalam lemari es. Sperma ikan dipindahkan ke dalam botol syringe plastik lalu dimasukkan ke dalam lemari es. Termometer maksimum-minimum ditempatkan di dalam lemari es untuk mengontrol suhu agar tetap pada kisaran 2 – 9 oC. Untuk menguji kesuburannya, sebagian kecil sperma yang telah disimpan dalam lemari es dicampurkan dengan telur di dalam kaca arloji kecil. Sperma dan telur diaduk dengan bantuan bulu sehingga bercampur; air kolam atau air keran ditambahkan segera setelah percampuran. Setelah telur dan sperma diaduk pelan-pelan di dalam air, telur dituangkan ke dalam corong penetasan untuk diinkubasi.


Prosedur Penyimpanan-Beku (Kryogenik) Telur dan Sperma Ikan

Sperma ikan dipindahkan ke syringe berkapasitas 10 ml sampai mencapai volume yang dibutuhkan kemudian dituangkan ke kaca arloji kecil. Diluent (cairan pengencer) diukur sampai volume yang diinginkan dengan menggunakan syringe dan dituangkan ke kaca arloji yang berisi sperma (biasanya 4 bagian diluent : 1 bagian sperma). Larutan ini dicampur semuanya kemudian dimasukkan ke dalam syringe dan dituangkan ke dalam ampul (botol kecil) berkapasitas 1 ml yang biasa dipakai untuk menyuntikkan sperma sapi. Ampul yang tak disegel diletakkan di dalam kaleng penyokong dan digantungkan di dalam uap pada ketinggian 2 cm atau lebih di atas nitrogen cair (LN2) di dalam wadah kryogenik sampai membeku (5 – 10 menit). Kaleng yang telah berisi sperma tersebut kemudian ditenggelamkan di dalam nitrogen cair sampai saat dibutuhkan.

Wadah LN2 berupa sebuah Linde model LD-10 dengan kapasitas maksimum 31,8 liter. Diluent terdiri dari “extender” (pengencer) dan bahan pelindung, biasanya dengan perbandingan 9 bagian extender : 1 bagian bahan pelindung. Extender merupakan suatu larutan bahan organik dan garan anorganik, yang kurang lebih isotonik dengan cairan sperma. Bahan pelindung adalah suatu bahan yang meresap ke dalam sel sperma yang berfungsi meminimumkan kerusakan sperma akibat pembekuan dan pencairan. Bahan pelindung yang paling sering digunakan adalah dimetil sulfoksida (DMSO); gliserol jarang dipakai.

Extender dibuat dengan menambahkan 100 ml air suling ke dalam campuran bahan kimia yang telah ditimbang beratnya dan diaduk. Hanya ada dua jenis extender yang paling efektif untuk keperluan penyimpanan-beku sperma ikan salmon pada pengujian di Pacific Biological Station yakni extender 189M dan 251. Bahan kimia penyusun extender adalah NaCl, NaHCO3, fruktosa, lesitin nabati dan manitol.

Prosedur pencairan sperma beku pertama-tama adalah mengambil ampul dari LN2 kemudian pegang pada bagian ujung yang terbuka lalu celup dan goyang-goyangkan di dalam air keran atau air kolam hingga sebagian sperma mencair. Leher botol ampul dipotong dan isinya dituangkan langsung ke telur yang baru saja diurut keluar dari tubuh induknya, selanjutnya sperma dan telur tersebut diaduk dengan menggunakan sehelai bulu besar. Air ditambahkan ke campuran sperma-telur tersebut, lalu diaduk pelan-pelan. Telur selanjutnya dituangkan ke dalam corong penetasan untuk diinkubasi.


Upaya Meningkatkan Kesuburan Telur Ikan Yang Disimpan

Kegagalan upaya menyimpan telur ikan selama periode yang cukup panjang disebabkan antara lain oleh fakta bahwa pada ikan lele dan karper tropis, perkembangan kematangan telur dimulai segera setelah dilepaskan dari tubuh induknya, dibuahi atau tidak. Sekali pembelahan sel berlangsung, fertilisasi tidak dapat terjadi. Perkembangan telur secara partenogenetik ini berlangsung sampai tahap morula atau gastrula, setelah itu telur mati.

Agar penyimpanan telur yang belum dibuahi dapat berhasil maka pembelahan sel telur harus dihambat. Beberapa tehnik yang mungkin dapat dicoba untuk keperluan ini adalah :
(1) Pendinginan telur segera setelah dikeluarkan dari tubuh induknya.
(2) Melindungi telur secara total dari udara lembab.
(3) Memasukkan telur ke dalam larutan yang hipertonik atau isotonik dan tak bersifat racun.

Sukrosa dan Metanol Meningkatkan Toleransi Embryo Oyster Terhadap Pendinginan dan Pembekuan

Renard (1991) mengamati toleransi terhadap pendinginan dan pembekuan pada embryo oyster Pasifik (Crassostrea gigas) yang sedang memasuki tahap perkembangan 2 – 4 sel dengan atau tanpa penambahan senyawa pelindung-beku (cryoprotective). Kelangsungan hidup embryo yang didinginkan dalam air laut tanpa senyawa pelindung-beku menurun ketika suhu air laut diturunkan dan lama waktu pemaparan (exposure time) diperpanjang. Bagaimanapun, toleransi terhadap pendinginan bervariasi sesuai dengan kualitas embryo. Setelah didinginkan pada 0 oC selama 5 menit ultrastruktur membran plasma dan organisasi organela di dalam sitoplasma sel menjadi berantakan. Penambahan sukrosa sampai konsentrasi 0,50 M ke embryo yang didinginkan sedikit meningkatkan toleransi terhadap pendinginan dan mengurangi kerusakan akibat pendinginan. Penambahan metanol 0,50 M bersama dengan sukrosa 0,25 M menyebabkan sejumlah besar (46,9 ± 0,4 %) embryo yang didinginkan bertahan hidup 15 menit pada suhu -6 oC. Pada penambahan metanol 0,50 M atau 1,00 M bersama dengan sukrosa 0,25 M hanya sedikit embryo yang bertahan hidup pada suhu -10 oC dan -20 oC. Setelah disimpan dalam nitrogen cair, sebagian besar embryo mati pada semua konsentrasi metanol dan sukrosa yang dicobakan, tetapi ada beberapa yang bisa berkembang menjadi larva D setelah pengeraman.

DMSO dan Gliserol Sebagai Senyawa Pelindung-Beku Untuk Embryo Avertebrata

Menurut Renard (1991), berdasarkan penelitian-penelitian lain, banyak jenis binatang telah berhasil disimpan-beku pada suhu yang sangat rendah. Embryo bulu babi, di dalam larutan dimetil sulfoksida (DMSO) 1,00 M,dapat bertahan hidup selama pembekuan pada suhu serendah -196 oC. Tingkat kelangsungan hidup naupli udang penaeidae dan protozoa melebihi 90 % setelah disimpan selama 5 menit pada suhu -30 oC tetapi tingkat kelangsungan hidup menurun setelah disimpan pada suhu -196 oC. Sebuah percobaan telah dilakukan untuk membekukan embryo remis (Choromytilus chorus) pada tahap awal perkembangan (antara 1 dan 8 sel). Dalam percobaan ini, meskipun tak ada embryo yang hidup setelah pembekuan, terlihat bahwa embryo remis dapat bertahan hidup terhadap pembekuan pada suhu -196 oC asalkan diberi larutan gliserol 1,50 M.

Bab V
Penyimpanan Sperma Ikan Jangka-Panjang


Penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan sperma ikan karper di dalam dua jenis extender (bahan pengencer) yang dikembangkan untuk salmon Pasifik, yaitu extender 189M dan 251, memperlihatkan aktivitas yang cukup tinggi (5 – 20 %) setelah disimpan dalam nitrogen cair. Hal ini memperkuat dugaan bahwa penyimpanan sperma ikan karper jangka-panjang cukup memuaskan. Spesies yang memperlihatkan potensi ini adalah karper India, ikan mas dan tawes. Penyimpanan sperma ikan bighead carp mungkin juga bisa dilakukan pada kondisi yang lebih baik. Pada suatu pengujian di mana sperma ikan karper India yang disimpan dalam nitrogen cair dipakai untuk membuahi sel telur segar, 58 % telur tersebut akhirnya menetas menjadi larva yang sehat, tak beda jauh dengan laju penetasan pada kelompok telur kontrol.

Beberapa faktor yang harus diuji untuk mengoptimalkan teknik tersebut di atas bagi ikan karper adalah sebagai berikut :

(1) Extender. Dua jenis extender yang diuji, meskipun masih bayak jenis yang lainnya, telah berhasil dicobakan untuk mengawetkan sperma ikan salmon Pasifik. Mungkin jenis-jenis extender lain yang lebih sesuai untuk ikan karper dapat dikembangkan. Adalah mungkin bahwa jenis extender yang optimum dapat berbeda-beda untuk tiap spesies ikan – penelitian Withler (1980) membuktikan bahwa extender 189M lebih sesuai untuk sperma ikan karper India dari pada extender 251. Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa banyak jenis extender yang telah dicobakan pada ikan-ikan salmonidae dapat diujikan juga pada ikan karper. Barangkali yang lebih penting adalah metode memecahkan masalah : menemukan larutan isotonik yang mampu mempertahankan sperma tetap hidup tapi tak aktif, larutan yang bersifat buffer (penyangga) bagi sperma agar mampu bertahan terhadap kondisi asam dan basa yang disebabkan oleh senyawa pelindung beku (DMSO; senyawa ini menyebabkan larutan bersifat asam), menambahkan senyawa pelindung yang sesuai, kemudian menguji aktivitas dan kemampuan membuahi pada sperma yang dibekukan dalam larutan tersebut kemudian membandingkan hasilnya dengan kemampuan serupa pada sperma segar dalam membuahi telur segar yang sama.

Karena baik 251 maupun 189M tampaknya kurang efektif bagi ikan karper, mereka seharusnya sedikit dimodifikasi agar lebih efektif, sebelum mencoba mengembangkan extender yang sama sekali baru. Pengembangan extender baru seharusnya diberi prioritas lebih rendah daripada pengujian faktor-faktor lain di bawah ini.

(2) Senyawa pelindung. Sebagian besar penelitian di sini menggunakan DMSO sebagai senyawa pelindung-beku, meskipun gliserol juga kadang-kadang dipakai. Untuk sperma ikan karper, berdasarkan data yang ada, DMSO tampaknya memiliki potensi yang lebih besar. Dengan demikian disarankan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan DMSO dalam berbagai konsentrasi dari 2 – 12 % pada selang 2 %. Penelitian ini mungkin sebaiknya dilakukan pada empat spesies ikan karper.

(3) Laju pembekuan dan pencairan. Penelitian lain telah menemukan bahwa laju pembekuan dan pencairan sperma encer berperanan penting dalam meningkatkan aktivitas sperma. Penelitian dengan sperma ikan salmon Pasifik menunjukkan bahwa faktor-faktor ini tidak terlalu penting dalam batas-batas tertentu, kecuali bahwa lebih baik membekukan campuran sperma-extender segera setelah sperma dikumpulkan dan mencairkan campuran yang telah beku itu secepatnya.

Untuk menciptakan laju pembekuan yang berbeda, metode paling sederhana (tapi paling kasar) adalah dengan mengatur ketinggian ampul di atas nitrogen cair selama proses pembekuan awal. Hal ini dilakukan dengan menempatkan ampul dalam kaleng pada ketinggian yang berbeda, dari 2 cm di atas cairan nitrogen sampai 20 cm, mungkin bisa sampai leher tangki. Biasanya paling tidak 3 ampul dapat dimasukkan ke dalam sebuah kaleng - hasil pengujian ampul terendah dapat dibandingkan dengan hasil dari ampul tengah dan ampul atas. Makin dekat ampul dengan permukaan nitrogen cair makin cepat isinya membeku.

Laju pencairan dapat diuji dengan mencairkan ampul di dalam air pada suhu yang berbeda. Untuk ikan salmon, telah dipelajari suhu air-pencairan dari 10 – 45 oC. Ditemukan bahwa suhu 45 oC paling baik bagi sperma dalam membuahi telur, meskipun perbedaannya tidak besar. Bagaimanapun, penting untuk mencampurkan sperma yang telah dicairkan secepat mungkin, karena sperma tersebut tampaknya hidup hanya beberapa detik setelah dicairkan.

(4) Volume sperma beku. Pengaruh volume sperma beku seharusnya diamati pula. Untuk kebutuhan di lapangan, volume yang lebih banyak daripada 1 – 2 ml akan lebih baik karena akan mengurangi jumlah fertilisasi individual yang dibutuhkan. Pengurangan jumlah fertilisasi yang dibutuhkan oleh telur akan dapat menghemat waktu, yang merupakan faktor penting bagi telur ikan karper yang mulai berkembang segera setelah dikeluarkan dari tubuh ikan.



Referensi :

Blaxter, J.H.S. 1983. Development : Eggs and Larvae in Hoar, W.S., D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology, Vol. 9 : Reproduction, Part A : Endocrine Tissues and Hormones. Academic Press, New York. 502 pp.

Chan, S.T.H. and W.S.B. Yeung. 1983. Sex Control and Sex Reversal in Fish Under Natural Conditions in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology IX B. Academic Press. New York. 477 pp.

Deelder, C.L. 1984. Synopsis of Biological Data on The Eel, Anguilla anguilla (Linnaeus, 1758). FAO Fisheries Synopsis, No. 80. 73 pp.

delos Reyes, M.R., H.H. Arzbach and E. Braum. 1992. In Situ Development of Perch Eggs, Perca fluviatilis L. (Pisces, Percidae) in a Small Eutrophic Lake, Lake Plussee, Holstein, Germany. Internationale Revue der Gesamten Hydrobiologie, Vol. 77, No. 3, pp. 467 - 481

Fujita, S. and Y. Honma. 1991. Induction of Ovarian Maturation and Development of Eggs, Larvae and Juveniles of The Puffer, Takifugu exascurus, Reared in The Laboratory. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 2, pp. 211 – 218

Hickman, C.P. and F.M. Hickman. 1974. Integrated Principles of Zoology. Mosby Company, Saint Louis, 1025 pp.

Hunter, G.A. and E.M. Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Application to Fish Culture in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology IX B. Academic Press. New York. 477 pp.

Katano, O. 1990. Seasonal, Sexual and Individual Variations in Gonad Weight and Secondary Sexual Characters of The Dark Chub, Zacco temmincki. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 3, pp. 246 – 255

Kimura, S. and Y. Tsukamoto. 1990. Development of Larvae and Juveniles of The Atherinid Fish, Atherion elymus, Reared in The Laboratory. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 1, pp. 29 – 33

Lahnsteiner, F., R.A. Patzner and T. Weismann. 1993. The Spermatic Ducts of Salmonid Fishes (Salmonidae, Teleostei) : Morphology, Histochemistry and Composition of The Secretion. Journal of Fish Biology, Vol. 42, No. 1, pp. 79 - 93

McCarter, N. 1992. Sedation of Grass Carp and Silver Carp With 2-Phenoxyethanol During Spawning. Progressive Fish Culturist, Vol. 54, No. 4, pp. 263 - 265

Magyary, I., R. Szabo, T. Kovacs and L. Horvath. 1991. Effect of Different Na-citrate Concentrations on Motility of Carp Sperm. Halaszat, No. 3, pp. 142 – 144

Marte, C.L., L.W. Crim and N.M. Sherwood. 1988. Induced Gonadal Maturation and Rematuration in Milkfish : Limited Succes with Chronic Administration of Testosterone and Gonadotropin-Releasing Hormone Analogues (GnRH-A).

Munehara, H. and K. Shimazaki. 1991. Embryonic Development and Newly Hatched Larvae of The Little Dragon Sculpin Blepsias cirrhosus. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 1, pp. 31 – 34

Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads in Hoar, W.S., D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology, Vol. 9 : Reproduction, Part A : Endocrine Tissues and Hormones. Academic Press, New York. 502 pp.

Quinitio, G.F. and H. Takahashi. 1992. An Ultrastructural Study on The Occurrence of Aberrant Spermatids in The Testis of The river sculpin, Cottus hangiongensis. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 39, No. 3, pp. 235 - 242

Podushka, S.B. 1992. Variability of Micropyle Numbers in The Eggs of The Persian Sturgeon Acipenser persicus From The Volga River. Journal of Ichthyology, Vol. 32, No. 4, pp. 166 – 167

Renard, P. 1991. Cooling and Freezing Tolerances in Embryo of Pacific Oyster, Crassostrea gigas : Methanol and Sucrose Effects. Aquaculture, Vol. 92, pp. 43 - 57

Riehl, R. and S. Appelbaum. 1991. A Unique Adhesion Apparatus on The Eggs of The Catfish Clarias gariepinus (Teleostei, Clariidae). Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 2, pp. 191 – 198

Robinson, A. 1992. Gonadal Cycle of Crassostrea gigas kumamoto (Thurnberg) in Yaquina Bay, Oregon and Optimum Conditions for Broodstock Oysters and Larval Culture. Aquaculture, Vol. 106, No. 1, pp. 89 - 97

Rodriguez Gutierres, M., G. Garza Mourino and S. Maranon Herrera. 1991. Yearly Evaluation of The Seminal Liquid in Carps, Cyprinus carpio, at The First Reproduction. Universidad Ciencias, Vol. 1, No. 4, pp. 53 - 59

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Umezawa, A., T. Otake, J. Hirokawa, K. Tsukamoto and M. Okiyama. 1991. Development of The Eggs and Larvae of The Pike Eel, Muraenesox cinereus. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 1, pp. 35 – 40

Vinuesa, J.H. 1989. Effects and Incidence of Parasitism in The Centolla (Lithodes santolla) and Centollon (Paralomis granulosa). Physis, Part A, Vol. 47, No. 112, pp. 45 - 51

Withler, FC. 1980. Chilled and Cryogenic Storage of Gametes of Thai and Catfish. Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 948. 15 pp.