Jumat, 29 Juni 2018

Perikanan dan Permasalahannya


Daftar Isi


Bab I. Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

- Tipe-Tipe Perikanan
- Laut dan Perikanan di Indonesia
- Perbandingan Antara Produksi Perikanan Laut dan Pertanian Darat
- Pengaruh Fluktuasi Stok Ikan Terhadap Perikanan
- Persaingan Antara Manusia (Nelayan), Mamalia dan Burung Memperebutkan Ikan

Bab II. Gerombolan Ikan

- Perilaku Menggerombol (Schooling) Pada ikan
- Pembentukan Perilaku Menggerombol Pada Larva Ikan
- Peran Penglihatan Dalam Perilaku Menggerombol Pada Ikan
- Peran Indera Pendengar, Pengecap, Pembau dan Gurat Sisi Dalam Perilaku Menggerombol Pada Ikan
- Keuntungan Membentuk Gerombolan Ikan

Bab III. Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

- Pengaruh Trawl Terhadap Komposisi Ikan Laut
- Upaya Mengurangi Hasil Samping Tangkapan Trawl Yang Tak Dikehendaki
- Alat Pengusir Penyu Pada Pukat Udang
- Pengaruh Alat Pengusir Penyu Terhadap Hasil Tangkap Udang
- Kematian Lumba-Lumba Akibat Jaring Insang
- Kelangsungan Hidup Ikan Yang Ditangkap Dengan Jaring Angkat dan Jaring Seret
- Stres Akibat Pancing
- Kematian Ikan Trout Akibat Pancing
- Pengaruh Suhu Terhadap Kematian Ikan Akibat Pemancingan

Bab IV. Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

- Faktor-Faktor Penentu Ukuran Mata Jaring Pada Gillnet
- Memperbaiki Konstruki Purse Seine Dengan Mata Jaring Berukuran Lebar
- Bentuk Mata Jaring Persegi Lebih Efektif Untuk Melindungi Anak Ikan
- Keunggulan Mata Jaring Berukuran Besar Pada Midwater Trawl
- Trawl Dengan Ukuran Mata Jaring Besar Lebih Menghemat Energi
- Pengaruh Ukuran Ikan Terhadap Efisiensi Penangkapan Trammel Net dan Gill Net

Bab V. Menarik atau Mengusir Ikan Dengan Suara dan Dampak Negatifnya

- Keragaman Hasil Penelitian Pengaruh Suara Terhadap Ikan
- Keunggulan dan Kelemahan Metode Akustik/Penginderaan Jauh Dalam Menduga Stok Ikan
- Penggunaan Suara Untuk Mengendalikan Tingkah Laku Ikan
- Upaya Menarik Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Rendah
- Dapatkah Mengusir Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Tinggi ?
- Kerusakan Pada Tubuh Ikan Akibat Suara

Referensi

Bab I
Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia


Tipe-Tipe Perikanan

Perikanan bisa dibagi menjadi tiga tipe umum (Boyd, 1982). Pada tipe pertama, ikan dipanen begitu saja dari perairan alami. Prosedur pengelolaan tertentu bisa dimanfaatkan : pengaturan alat tangkap, pembatasan jumlah tangkapan, penebaran spesies-spesies baru, pengurangan pencemaran dan lain-lain. Bagaimanapun, pada akhirnya kesuburan lingkunganlah yang menentukan produksi. Tipe perikanan ini bukanlah budidaya tetapi bisa disamakan dengan berburu. Sebagai perburuan, hasil bahan makanan per satuan luas permukaan adalah rendah.

Pada tipe perikanan kedua, spesies terpilih ditebarkan di perairan alami atau di tempat terkurung, dan pupuk digunakan untuk meningkatkan produktivitas primer. Melimpahnya organisme makanan ikan akibat tingginya produktivitas primer akan meningkatkan hasil ikan. Jala makanan dalam budidaya ikan pemakan-plankton adalah sederhana tetapi menjadi komplek bila ikan memakan serangga dan ikan lain. Tipe budidaya ini benar-benar tergolong pertanian dan bisa disamakan dengan praktek pemupukan padang rumput untuk menyuburkan tumbuhan makanan-ternak dalam rangka meningkatkan produksi ternak.

Tipe ketiga perikanan melibatkan penebaran spesies yang dikehendaki dan pemasokan pakan untuk meningkatkan produksi ikan melebihi tingkat produksi yang mungkin dicapai oleh kolam yang dipupuk. Jumlah air yang diperlukan untuk memproduksi suatu jumlah ikan sangat berkurang dalam metode ini. Bagaimanapun, lahan pertanian diperlukan untuk memproduksi pakan ikan. Metode budidaya ikan ini analog dengan produksi ternak di kandang yang dipasok dengan makanan (Boyd, 1982).

Laut dan Perikanan di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13.000 pulau. Dua pertiga wilayah Indonesia berupa perairan laut dan perairan darat. Bisa dikatakan Indonesia dikelilingi oleh perairan laut seluas 5,8 juta km persegi. Laut tersebut bisa digolongkan menjadi laut kepulauan, laut teritorial dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) 200 mil. Laut kepulauan (archipelagic water) didefinisikan sebagai laut yang mengelilingi setiap pulau dihitung 3 mil dari titik pesisir terluar selama musim air surut. Laut teritorial adalah laut antar pulau di luar laut kepulauan. Kedua laut ini diduga seluas 3,1 juta km persegi. ZEE diklaim melalui Dekrit Presiden Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 yang hampir melipat-duakan perairan laut Indonesia.

Menurut statistik tahun 1990, sebanyak 75 % produksi perikanan Indonesia berasal dari penangkapan di laut. Bagaimanapun, sekitar 90 % dari produksi ini dihasilkan oleh nelayan kecil yang terdiri dari 1,52 juta orang yang beroperasi di laut kepulauan pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Ambon dan Papua.

Diperkirakan (pada tahun 1990) 345.045 kapal nelayan digunakan untuk menangkap ikan; dari jumlah ini 225.359 adalah perahu tanpa motor dan 119.686 perahu bermotor. Biasanya ukuran perahu adalah 10 Gross Ton atau kurang yang beroperasi di wilayah pesisir. Kapal yang lebih besar dari 10 Gross Ton, yang merupakan 1,2 % dari jumlah kapal total, dibatasi operasinya hanya di laut teritorial atau ZEE dengan tujuan melindungi nelayan kecil (Anonymous. 1992).

Di perairan umum seperti danau, sungai dan waduk, juga ada sekitar 470 ribu nelayan yang bekerja paruh-waktu di luar musim tanam padi. Di lapangan budidaya perikanan, ada sekitar 1,62 juta petani ikan yang menangani budidaya ikan bandeng, udang, mina padi dan sistem kurungan (baik laut maupun perairan tawar). Yang terakhir ini masih dalam tahap perkenalan.

Pembangunan subsektor perikanan menghadapi masalah rendahnya kemampuan nelayan tradisional akibat kekurangan keahlian, pengetahuan dan keuangan. Sarana dan prasarana fisik yang dibangun selama periode terdahulu memerlukan perawatan dan biaya operasional. Hal ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah Indonesia mengajak pengusaha asing atau pun pribumi untuk menangani bisnis perikanan. Eksploitasi ZEE memerlukan investasi yang besar untuk membuat kapal-kapal besar, peralatan penangkap ikan yang lebih canggih dan biaya operasi yang tinggi. Demikian pula dengan budidaya laut, budidaya perairan payau serta pengolahan dan pemasaran produk perikanan (Anonymous. 1992).

Perbandingan Antara Produksi Perikanan Laut dan Pertanian Darat

Walford dan Wilber (1955) menyatakan bahwa di antara banyak penyelesaian yang disarankan untuk memasok populasi penduduk dunia yang terus bertambah dengan makanan berprotein dalam jumlah cukup dan murah yang lebih sering diajukan dan dipikirkan banyak ilmuwan adalah bahwa laut merupakan daerah sangat luas yang belum dijamah manusia dan belum dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Laut mengandung semua bahan penyubur yang dapat larut dan semua bahan kimia “trace element” (unsur-unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit) yang diperlukan semua mahluk hidup. Laut menempati permukaan bumi seluas 2,5 kali luas daratan. Kedalamannya rata-rata 2,38 mil, sedangkan kedalaman tanah rata-rata hanya beberapa inci. Namun, hanya sebagian kecil dari total produksi makanan manusia yang berasal dari laut. Nelayan hanya menghasilkan sekitar 26 juta metrik ton ikan, krustasea dan moluska – suatu jumlah yang kurang dari setengah produksi daging dan telur tahunan dunia dan sekitar seperdelapan dari produksi susu. Panen bahan makanan dari semua laut hanya sekitar 1/120 per are dibandingkan hasil panen seluruh daratan, dan bagian yang dapat dimakan dari hasil tangkapan laut adalah sekitar 0,9 % dari pasokan makanan total manusia. Bila laut begitu luas dan subur, mengapa hasilnya begitu kecil ?

Menurut Walford dan Wilber (1955) kesuburan laut tidak semerata kesuburan darat. Produktivitas laut sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, berkisar dari sangat subur sampai setandus gurun pasir. Dalam satu tempat, pola kesuburannya bervariasi musiman dengan fluktuasi yang besar dan sporadis. Karena kesulitan pengambilan sampel, produktivitas total semua laut sangat sulit diukur dengan tepat. Namun demikian, para ahli biologi laut umumnya sepakat bahwa produktivitas laut sama dengan produktivitas seluruh daratan , yakni sekitar 1,5 x 1010 ton karbon organik tiap tahun. Mereka juga umumnya sepakat bahwa air laut bukanlah medium yang kaya bagi produksi tumbuhan dan binatang. Hal ini bisa dijelaskan bahwa “siklus hidupnya adalah sedemikian hingga bagian terbesar produksi dan penguraian bahan organik dilakukan oleh populasi-populasi yang relatif kecil yang terdiri dari binatang dan tumbuhan mengapung dan sangat terpencar di dalam air sehingga sulit dipanen. Panen yang berhasil terbatas pada sebagian besar ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol dan bermigrasi dan ukurannya memudahkan penangkapannya. Ikan-ikan ini terdapat di ujung mata rantai makanan dan menimbun, tetapi hanya sebagian kecil dari total, produktivitas”.

Pengaruh Fluktuasi Stok Ikan Terhadap Perikanan

Tujuan utama penangkapan ikan adalah memperoleh keuntungan ekonomi tertinggi yang bisa didapatkan dari kegiatan penangkapannya itu. Kelimpahan stok ikan yang bervariasi mempengaruhi pendapatan nelayan melalui tiga cara :
(1). Berfluktuasinya stok suatu spesies berarti berfluktuasinya ketersediaan stok tersebut bagi perikanan, sehingga upaya (atau “effort” pada CPUE/Catch Per Unit Effort/Tangkapan Per Satuan Upaya) juga berfluktuasi. Fluktuasi ini mempengaruhi pendapatan nelayan maupun pemasaran dan harga pasar.
(2). Banyak usaha perikanan yang dikhususkan untuk mengeksploitasi stok satu atau beberapa jenis spesies, dengan menggunakan alat tangkap dan kapal khusus yang sesuai bagi spesies tersebut. Berfluktuasinya stok akan mempengaruhi perikanan spesifik ini, sehingga menyebabkan fluktuasi hasil tangkapan dan bahkan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian untuk dapat menangkap spesies sasaran lain bila ketersediaan spesies sasaran semula rendah. Jadi, eksploitasi terhadap stok yang befluktuasi memerlukan keluwesan dalam hal pemilihan spesies sasaran.
(3). Stok yang berfluktuasi akan membutuhkan lebih banyak waktu pencarian daerah penangkapan serta membutuhkan lebih banyak upaya penangkapan bila siklus fluktuasi ada pada tingkat rendah sehingga meningkatkan biaya penangkapan dan memperkecil penambahan hasil per satuan upaya; sementara stok pada puncak kelimpahannya akan menyebabkan peningkatan keuntungan atau malah penurunan harga bila jumlah ikan yang dipasarkan melimpah. Jadi, stok yang berfluktuasi akan membutuhkan keluwesan (fleksibilitas) dalam hal pemasaran, dalam hal penyiapan produk, atau dalam hal penggantian spesies yang jarang dengan spesies yang lebih melimpah di pasaran. Telah umum diketahui bahwa bisnis perikanan merupakan sesuatu yang tidak pasti, terutama karena fluktuasi dan resiko-resiko lain, sehingga investasi di bidang industri perikanan terhambat.

Ada tiga masalah yang diakibatkan fluktuasi stok pada perikanan yang perlu diperhatikan. Pertama, nilai ekonomi ikan bervariasi sesuai dengan ketersediaan atau kelimpahan spesies pengganti. Disarankan untuk melakukan diskriminasi pasar bagi spesies yang dapat menggantikan, paling tidak sebagian, spesies sasaran bila kelimpahannya rendah. Kedua, perikanan modern skala besar harus bersifat luwes, sehingga dapat berpindah dari satu spesies sasaran ke spesies sasaran lain bila kelimpahan spesies sasaran semula mengalami perubahan. Dengan demikian, kapal dan alat tangkap yang sangat spesifik merupakan investasi yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Contoh terbaru mengenai hal ini adalah kasus perikanan kepiting di Laut Bering di mana hanya sedikit kapal yang dapat diubah untuk menangkap ikan cod, sebagai contoh, ketika sumber daya kepiting menurun drastis. Ketiga, industri pengolahan dan pemasaran ikan juga harus luwes dan tidak terlalu spesifik. Ia harus dapat disiapkan untuk mengubah spesies sasaran sesuai dengan ketersediaan spesies, dan perubahan spesies sasaran ini harus sesuai dengan yang dilakukan oleh industri penangkapan, yang membutuhkan informasi tentang komposisi kuantitatif ekosistem ikan laut dan perubahan yang terjadi di dalamnya.

Meskipun saat ini ilmuwan perikanan memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan mekanisme penyebab terjadinya fluktuasi rekruitmen atau untuk meramalkan besar stok empat – lima tahun yang akan datang, namun para pengelola perikanan mempunyai beberapa cara untuk mengurangi efek negatif variabilitas hasil tangkapan terhadap industri perikanan. Cara-cara tersebut di antaranya adalah pembatasan jumlah tangkapan yang didaratkan atau pembatasan alat tangkap, serta pengaturan dan komposisi armada penangkap ikan.

Karena suatu kegiatan perikanan yang berdasarkan pada satu spesies ikan dapat mempengaruhi ukuran stok spesies lain, adalah penting untuk mengetahui sifat hubungan yang terjadi antar stok sebelum membuat keputusan dalam rangka mengelola perikanan. Adalah sangat penting untuk mengetahui bagaimana fluktuasi spesies non sasaran akan mempengaruhi fluktuasi spesies sasaran. Kurangnya perhatian dalam masalah ini sehingga menerapkan teknik pengelolaan yang salah akan menyebabkan timbulmya pengaruh negatif terhadap industri perikanan dan mencegah tercapainya tujuan pengelolaan.

Pengelolaan perikanan yang rasional membutuhkan pengetahuan yang mendetail mengenai :
(1). Besar sumberdaya pada suatu saat;
(2). Fluktuasi alami sumberdaya dan penyebab-penyebabnya;
(3). Jumlah ikan yang dapat ditangkap pada suatu tahun tanpa banyak menurunkan produktivitas sumberdaya (yakni, respon sumberdaya terhadap penangkapan);
(4). Sifat-sifat lain yang dimiliki sumberdaya, seperti kapasitas pertumbuhan dan reproduksi dan migrasinya serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketersediaannya, yang semuanya mempengaruhi hasil dan produksi tertinggi yang bisa dicapai;
(5). Kekuatan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi operasi penangkapan dan bagaimana faktor-faktor ini dipengaruhi fluktuasi stok.

Fluktuasi stok menyulitkan stabilitas hasil lestari berjangka panjang yang konstan dalam pengelolaan yang rasional. Suatu perikanan, dengan demikian, harus dikelola menurut basis tahunan bila menghendaki pemanfaatan yang optimal. Hal ini menghendaki agar :
(1). Pengelola harus menyadari bahwa suatu perikanan satu-spesies juga mempengaruhi biomas spesies lain, sehingga membutuhkan pendekatan ekosistem menyeluruh untuk mengevaluasi akibat kegiatan pengelolaan.
(2). Suatu kegiatan perikanan harus diberi beberapa pilihan spesies sasaran agar dapat berpindah dari satu spesies ke spesies sasaran lain bila terjadi fluktuasi kelimpahan suatu spesies.
(3). Penangkapan intensif terhadap suatu spesies dominan di dalam ekosistem menekan fluktuasi spesies tersebut tetapi tidak selalu mempengaruhi fluktuasi spesies lain yang juga dipengaruhi oleh perikanan tersebut melalui mekanisme interaksi interspesifik seperti pemangsaan.
(4). Sebaiknya perikanan dengan sasaran banyak spesies tidak dapat seluruhnya dicegah karena akan selalu ada hasil samping tangkapan (by catch) dan orang jarang dapat meminimumkan hasil samping tersebut, kecuali pada perikanan purse seine dengan sarasan yang pasti. Karena pada banyak perikanan hasil samping tangkapan sangat sedikit yang dikembalikan ke laut dalam keadaan hidup, dan cara pengembalian hasil samping ini ke laut seharusnya dilakukan dengan baik.

Sebaiknya jumlah tangkapan yang diijinkan dari stok yang berfluktuasi dengan beberapa kelas-umur dalam bagian populasi yang dapat dieksploitasi disesuaikan dengan memperhatikan faktor-faktor berikut, yang telah dilaksanakan pada beberapa kegiatan perikanan : bila biomas spesies sasaran utama menurun tetapi masih di sekitar puncak kelimpahan, maka jumlah tangkapan yang diijinkan, yang ditentukan berdasarkan biomas rata-rata jangka panjang, dapat diteruskan, akan tetapi bila penurunan biomas terus berlangsung sampai dua tahun atau lebih sejak puncak kelimpahan penangkapan tercapai, maka jumlah tangkapan yang diijinkan harus diturunkan sampai sesuai dengan biomas stok pada tingkat fluktuasi terendah yang bisa dicapai. Lebih lanjut, bila biomas stok ada pada tingkat fluktuasi terendah maka jumlah tangkapan yang diijinkan adalah sedikit. Terakhir, bila biomas meningkat selama beberapa tahun terakhir, maka penangkapan intensif – yang melebihi jumlah tangkapan yang diijinkan bagi biomas rata-rata jangka panjang – seringkali masih mungkin dilakukan sampai dua tahun lagi.

Spesies sasaran yang berupa ikan pelagis kecil akan berespon tidak hanya terhadap penangkapan tetapi juga terhadap pengaruh biomas pemangsa. Jadi, besar biomas pemangsa harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah tangkapan yang diijinkan – bila biomas pemangsa tinggi, jumlah tangkapan yang diijinkan harus dikurangi, dan bila biomas pemangsa rendah maka penangkapan ikan pelagis tersebut bisa ditingkatkan. Sebagai tambahan, spesies ikan pelagis dan semi pelagis berespon terhadap kelainan faktor lingkungan, yang harus dipertimbangkan pula dalam menentukan jumlah tangkapan yang diijinkan.

Persaingan Antara Manusia (Nelayan), Mamalia dan Burung Memperebutkan Ikan

Manusia bersaing dengan binatang berdarah panas (burung dan mamalia) memperebutkan ikan, dan semuanya merupakan bagian ekosistem yang sama. Pada masa jaya perikanan anchoveta di Arus Peru, Schaeffer (1970) menduga bahwa hasil lestari maksimum (maximum sustainable yield) perikanan gabungan adalah sekitar 10 x 106 ton, yang pada saat itu terdiri dari 9,3 x 106 ton untuk manusia dan 0,7 x 106 ton untuk populasi lokal burung-burung guano (cormorant, bobby dan pelikan).

Menurut sejarahnya, produksi stok anchoveta dipengaruhi secara relatif oleh El Nino, gangguan periodik terhadap proses upwelling, dan akibatnya jumlah burung menjadi jatuh. Pada 1956 jumlahnya diperkirakan lebih dari 25 juta, tetapi El Nino 1975 mengurangi jumlah mereka menjadi sekitar 6 juta. Populasi burung-burung guano meningkat lagi sampai melebihi 15 juta pada 1961 – 1964, tetapi El Nino muncul lagi pada 1965, yang menurunkan jumlah mereka menjadi kurang dari 5 juta. Pada saat itu perikanan berkembang luas, dan antara 1965 – 1971 populasi burung tinggal kurang dari 5 juta. Idyll (1973) melaporkan bahwa El Nino pada 1972 terjadi lagi dan memperkirakan bahwa populasi burung-burung guano mungkin akan berkurang lebih lanjut atau bahkan lenyap.

Dampak yang lebih besar mamalia dan burung terhadap stok ikan adalah seperti yang didokumentasikan Laevestu dan Favorite (1978). Mereka menghitung bahwa konsumsi ikan hering oleh mamalia dan burung di bagian timur Laut Bering adalah 431 x 103 ton, jadi sepuluh kali lipat hasil tangkapan manusia (43 x 103 ton pada 1973). Bagaimanapun, hering bukanlah spesies yang paling dicari di bagian timur Laut Bering. Sejak tahuh 1960 terjadi peningkatan tajam hasil tangkapan ikan Pacific Polloc, Theragro chalcogramma. Pada 1973, setelah kehancuran perikanan anchoveta Peru, perikanan Pacific polloc menjadi perikanan spesies tunggal terbesar di dunia, dengan tangkapan hampir 4 x 106 ton terutama oleh orang-orang Jepang dan Rusia. Di antaranya, sebanyak 1,8 x 106 ton berasal dari Laut Bering timur, sisanya terutama berasal dari Pasifik barat laut, lebih dekat ke Jepang. Studi pemodelan oleh Laevestu dan Favorite (1976) menunjukkan bahwa karena ikan pollock dewasa bersifat kanibal, dan karena perikanan ini menangkap ikan dewasa, pengaruh penangkapan ikan tersebut adalah menurunkan mortalitas ikan juvenil yang sedang tumbuh cepat, sehingga meningkatkan produktivitas stok. Pollock besar merupakan pemangsa hering, sehingga model tadi meramalkan bahwa peningkatan tekanan penangkapan terhadap pollock akan menyebabkan peningkatan stok hering. Mereka berdua menduga bahwa anjing laut berbulu dan singa laut memakan paling tidak sebanyak Pollock yang ditangkap manusia. Alton dan Fredin (1974) memusatkan perhatian pada penurunan hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit effort) pada awal 1970-an dan menyarankan agar jumlah ikan yang boleh ditangkap dikurangi. Disepakati bahwa pengelolaan stok Laut Bering yang baik membutuhkan perhatian bukan hanya terhadap interaksi ikan multi spesies, tetapi juga terhadap pengelolaan secara bersama-sama stok burung dan mamalia laut.



Bab II
Gerombolan Ikan


Perilaku Menggerombol (Schooling) Pada ikan

Bagi burung camar laut, nelayan dan predator lain, kecenderungan ikan-ikan tertentu untuk membentuk gerombolan besar merupakan hal yang sangat menguntungkan. Suatu gerombolan ikan lebih dari sekedar kerumunan ikan yang tidak teratur, ia merupakan sebuah organisasi sosial di mana ikan-ikan anggotanya dibatasi dengan ketat oleh pola tingkah laku tertentu dan bahkan oleh spesialisasi anatomis. Ikan-ikan yang menggerombol tidak hanya hidup berdekatan dengan sesama jenisnya seperti pada kebanyakan ikan lain; mereka mempertahankan, pada hampir semua aktivitasnya, orientasi geometris terhadap ikan-ikan di dekatnya, mereka menuju ke arah yang sama dengan posisi badan sejajar satu sama lain dan dengan ruang antar ikan sama. Berenang bersama-sama, mendekat, membelok dan menghindari bahaya bersama-sama , semuanya melakukan hal yang sama pada saat yang bersamaan, mereka seolah-olah merupakan satu ekor binatang besar yang bergerak berlenggang-lenggok di dalam air.

Organisasi sosial yang menakjubkan ini tidak mempunyai pemimpin. Ikan yang berenang di depan gerombolan seringkali diikuti oleh ikan-ikan di belakangnya. Bila gerombolan ikan ini berbelok ke kanan atau ke kiri dengan mendadak, ikan yang ada pada sisi belokan akan menjadi “pemimpin”, dan ikan yang semula memimpin di depan kini menjadi pengikut. Kecuali dalam menentukan arah belokan dan selama makan – di mana formasi gerombolan bisa berantakan sama sekali – ikan berenang sejajar satu sama lain. Jarak antar ikan mungkin bervariasi karena setiap individu berenang dengan kecepatan yang berbeda-beda dan berubah-ubah terutama pada gerombolan ikan yang bergerak pelan-pelan dan kurang kompak. Ketika suatu gerombolan ikan dikejuti, misalnya oleh predator atau pengamat, mereka akan segera merapat dan ruang antar ikan menjadi sama dan seluruh gerombolan melarikan diri dalam keadaan tetap seperti ini.

Semua ikan anggota suatu gerombolan berukuran sama meskipun jumlah anggotanya sebanyak gerombolan ikan seribu. Kecepatan renang meningkat sejalan dengan bertambahnya umur dan dengan demikian ikan dari suatu spesies cenderung memisahkan diri sesuai dengan ukuran dan generasi. Gerombolan ikan dapat memiliki berbagai bentuk dan biasanya mereka berbentuk tiga dimensi, baik anggotanya sedikit maupun banyak. Dari atas mereka mungkin tampak berbentuk empat persegi panjang atau elips atau tak berbentuk dan berubah-ubah. Beberapa spesies membentuk gerombolan ikan dengan bentuk yang khas. Ikan menhaden Atlantik, sebagai contoh, dapat dikenali dengan mudah dari udara karena mereka berenang menggerombol dengan bentuk mirip bayang-bayang amuba raksasa yang selalu berubah bentuk tetapi tak pernah bubar berantakan.

Kecepatan dan keserentakan dalam menanggapi rangsangan dan kecenderungan untuk sejajar dengan ikan lain serta kekonstanan jarak antar ikan dalam suatu gerombolan mengilhami kita bahwa tingkah laku mereka dikendalikan oleh sistem-sistem kontrol pusat yang membuat setiap “keinginan” untuk merubah gerak selalu terjadi pada saat yang bersamaan. Sudah tentu, sistem kontrol pusat seperti ini tidak ada. Tidak mungkin untuk menjelaskan keserentakan aksi semua anggota dalam menanggapi rangsangan dari lingkungan luar. Setiap saat ikan menerima dan menanggapi rangsang sama seperti binatang lain, misalnya rangsang adanya makanan dan perubahan intensitas cahaya. Bagaimanapun, kondisi lingkungan tidak dapat dipakai untuk menjelaskan tingginya derajat keserentakan dalam bergerak sejajar pada gerombolan ikan di mana keserentakan ini selalu dipertahankan setiap saat dan di mana saja. Sebenarnya, tingginya kestabilan untuk menggerombol selalu ditunjukkan pada hampir semua kondisi lingkungan sehingga mengilhami kita bahwa pengorganisasian gerombolan pastilah didominasi oleh faktor-faktor internal.

Penggerombolan merupakan suatu insting, hal ini mudah dijelaskan. Istilah ini menunjuk pada adanya suatu faktor penyebab – katakanlah, bahwa ikan bergerombol karena mereka memiliki insting untuk bergerombol. Pernyataan ini tidak banyak memberi penjelasan, apalagi bila diterapkan secara luas untuk pernyataan-pernyataan yang lebih konyol bahwa tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku bawaan yang tak dipelajari dan khas bagi tiap spesies. Banyak binatang menunjukkan pola-pola tingkah laku yang khas bagi setiap spesies sehingga tingkah laku tersebut berguna dalam mengidentifikasi mereka serta berguna dalam menunjukkan kekerabatan antar spesies . Masalah seperti ini meninggalkan pertanyaan menarik yang tak terjawab. Dalam hal ini ia tidak dapat menjelaskan keharmonisan aksi ikan dalam suatu gerombolan. Sebab itu diperlukan studi tingkah laku ikan berkenaan dengan perkembangan ikan tersebut. Sejalan dengan pertumbuhan dan terutama kematangan sistem penerima rangsang, hubungan antara organisme tersebut dengan lingkungannya berubah. Riwayat hidup suatu individu, yang khas bagi setiap spesies, berperanan penting dalam menentukan tingkah laku binatang dewasa dan merupakan kunci pokok bagi mekanisme yang mengatur interaksi binatang tersebut dengan lingkungan sosial serta lingkungan fisik. Sebegitu jauh penjelasan terhadap penggerombolan ikan ini hanya membuat misteri menjadi semakin rumit.

Dengan menelusuri pertanyaan tentang bagaimana ikan bergerombol, kita bisa berharap mengetahui mengapa ikan menggermbol. Tidak ada studi yang bisa mengungkapkan apa fungsi tingkah laku sosial yang terorganisir ini dalam mempertahankan kelestarian jenis ikan tersebut.

Pembentukan Perilaku Menggerombol Pada Larva Ikan

Studi lapang telah dilakukan dengan membawa ikan ke laboratorium untuk pengamatan dan eksperiman perilaku menggerombol ini. Kebanyakan spesies ikan penggerombol mengawali hidupnya sebagai plankton, di mana telur-telur ikan ini dibiarkan hanyut begitu saja oleh induknya dan dibuahi oleh sperma yang kebetulan bertemu dengan telur ini. Telur berkembang menjadi embryo dan embryo menjadi larva, atau “fry”, yang mampu berenang meskipun lemah. Mereka tumbuh, dewasa dan selama awal hidupnya mereka berkumpul bersama-sama membentuk gerombolan. Orang mudah mengamati mereka selama periode ini. Hanya ada satu cara untuk mengumpulkan larva ikan di laut terbuka yaitu dengan menggunakan jaring plankton, di mana jaring plankton ini memporak-porandakan pola normal tingkah laku menggerombol. Dengan demikian studi lapang ini terbatas pada spesies yang dapat ditemukan sebagai fry di dekat pantai. Tetapi larva in begitu kecil hingga tahap kritis yang dialaminya tidak terlihat.

Di perairan sekitar Tanjung Cod, telah diamati dua spesies ikan Menidia, yang umum dikenal dengan nama whitebait, spearing atau silverside. Selama akhir musim semi dan awal musim panas mereka melepaskan telur-telurnya yang berat dan dilekatkan dengan benang-benang lengket ke bebatuan dan tangkai rumput laut dan alga laut. Pada saat menetas, panjang tubuhnya tidak lebih dari 5 mm (sekitar ¼ inci) dan mereka merupakan plankton. Meskipun dengan sabar mencari namun sulit melihat larva sekecil ini di laut terbuka. Ketika mereka tumbuh sampai 7 mm atau lebih, mereka menjadi lebih mudah ditemukan di antara kumpulan plankton. Sebuah laporan menyebutkan bahwa larva berukuran 7 – 10 mm terlihat berkumpul secara acak tetapi tidak membentuk gerombolan teratur juga tidak menunjukkan kecenderungan untuk sejajar satu sama lain. Sejalan dengan pergantian musim dan pertambahan panjang dari 11 menjadi 12 mm, mereka sudah dapat diamati membentuk gerombolan untuk pertama kalinya, berenang sejajar dengan jumlah anggota 30 sampai 50 ekor. Beberapa peneliti melaporkan bawa mereka melihat sekitar 10.000 ikan kecil ini dalam sekumpulan plankton yang ditemukan di perairan dangkal dekat Wood Hole, Massachuset.

Dari pengamatan ini kita dapat menyimpulkan bahwa penggerombolan (schooling) dimulai ketika larva ikan mencapai panjang tertentu. Bagaimanapun, tidak dapat disimpulkan apakah pembentukan gerombolan terjadi perlahan-lahan ataukah mendadak. Selanjutnya 1.000 ekor larva ikan Menidia hasil penetasan telur di laboratorium dipelihara untuk pengamatan. Untuk mempelajari larva ini, diperlukan sebuah tangki berbentuk mirip kue donat dengan sebuah saluran selebar 3 inci. Bentuk tangki tersebut didasarkan pada fakta bahwa gerombolan ikan cenderung pecah ketika mereka mendekati sudut tangki yang berbentuk segi empat. Juga diamati kondisi ikan yang dipelihara dalam kondisi selalu mendapat cahaya, pengamatan ini dilakukan melalui cermin satu-arah. Diasumsikan bahwa pada kondisi semacam ini pembetukan gerombolan oleh larva ikan yang dipelihara di laboratorium terjadi ketika mencapai panjang yang sama dengan fry di laut bebas.

Pengamatan cermat dan terus menerus di laboratorium menunjukkan bahwa pembentukan gerombolan berlangsung perlahan-lahan dengan pola yang khas sesuai dengan jenis ikannya. Larva ikan yang baru menetas dengan panjang sekitar 5 – 7 mm akan mendekati kepala, ekor atau sisi badan larva lain hingga berjarak 5 mm dan kemudian menjauhinya. Pada saat panjangnya mencapai 8 – 9 mm, larva akan mendekati ekor larva lain; bila dua ekor larva terpisah sejauh 3 cm, mereka akan berenang berdampingan selama 2 atau 5 detik. Bagaimanapun, bila ada larva yang mendekati kepala larva lain dengan membentuk suatu sudut maka keduanya akan saling menjauh dengan cepat pada arah yang berlawanan. Ketika panjangnya sekitar 9 mm tingkah laku mendekati kepala-ekor menjadi sering, dan si larva sekarang akan berenang berdampingan selama 5 atau 10 detik. Bila mereka mencapai panjang 10 – 10,5 mm, seekor larva akan mendekati ekor larva lain dan keduanya akan menggetarkan seluruh tubuhnya beberapa saat. Tingkah laku menakjubkan ini akan berakhir dengan berenangnya kedua larva dalam posisi yang satu di belakang yang lain atau keduanya berenang berdampingan selama 30 – 60 detik, kadang-kadang diikuti oleh 3 atau 4 larva lain dalam formasi gerombolan kecil yang teratur. Jumlah larva yang mengikuti tingkah laku ini meningkat menjadi 10 atau lebih apabia larva mencapai panjang 11 – 12 mm. Dengan jarak antar ikan bervariasi dari 10 - 35 mm, gerombolan ikan ini menjadi tidak teratur. Dengan bertambahnya waktu, larva tumbuh sampai 14 mm dan jarak antar ikan menjadi lebih dekat, yaitu 10 – 15 mm, dan posisi seekor larva terhadap larva lain di dalam gerombolan menjadi lebih tetap.

Tingkah laku menggerombol dengan demikian dapat dinyatakan sebagai awal perkembangan dari interaksi dua ekor larva kecil. Dengan bertambahnya umur dan panjang, tingkah laku mendekati kepala berkembang menjadi pendekatan kepala-ekor; dua ekor larva tidak lagi saling berenang menjauh tetapi mereka lebih suka berenang berdampingan, dan jumlah larva yang mengikuti mereka makin bertambah banyak hingga membentuk formasi gerombolan.

Pada saat ini banyak spekulasi dilakukan, terutama yang berkaitan dengan hipotesis khusus bagi penelitian melalui pengamatan dan percobaan. Ketika melihat tingkah laku mendekati kepala, kita mungkin berkesimpualn bahwa setiap larva memperhatikan pola pemandangan yang sedang berubah : benda berbentuk oval (kepala) dan bintik hitam cerah (mata) yang menuju ke arahnya dengan jarak makin dekat. Rangsangan ini menjadi sangat kuat dan setiap larva berusaha lari menjauh. Berbeda dengan tingkah laku mendekati ekor yang tampak seperti garis kecil keperakan dan transparan, senantiasa melambai-lambai dengan teratur dan selalu bergerak. Ikan yang mendekati ekor larva lain terus mengikuti gerakannya. Sementara larva yang diikuti mungkin melihat - dengan sudut mata - ikan yang mengikutinya itu yang tampak sebagai bayangan kabur. Dalam setiap kasus ini rangsangan penglihatan diperlemah sampai ke tingkat intensitas yang rendah sehingga kedua larva berenang bersama-sama tanpa merasa takut.

Umunya rangsangan berintensitas sedang adalah menarik, sementara rangsangan yang kuat bersifat menolak, dan kebanyakan binatang cenderung mendekati sumber rangsangan-sedang serta menghindari sumber rangsangan-kuat, meskipun mereka sebelumnya tidak pernah mengalami kondisi semacam itu. Larva ikan yang diamati dalam laporan ini mempunyai cukup waktu untuk mengumpulkan pengalaman bertemtu dengan larva lain. Bagaimanapun, tidak dapat dipastikan apa sifat dan pengaruh pengalaman-pengalaman seperti ini. Yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah pengalaman seperti ini penting bagi tingkah laku menggerombol ? Atau : Akankah ikan menunjukkan tingkah laku menggerombol bila ia dipisahkan dari ikan-ikan lain yang satu spesies dan dipelihara terpisah ?

Bagaimanapun, kita harus berhati-hati dalam memahami hasil yang diperoleh dari eksperimen semacam ini. Telah diketahui bahwa tingkah laku binatang yang dipelihara sendirian merupakan tingkah laku bawaan atau instingtif. Dalam hal ini harus diperhatikan keadaan terisolasi akibat si ikan dipelihara sendirian. Tak ada binatang yang dapat hidup dalam kondisi tanpa mendapat pengalaman sama sekali. Dalam hal larva ikan yang dipelihara terpisah dari sesama jenisnya, jelas bahwa ikan tersebut memperoleh pengalaman dari dirinya sendiri (meskipun akuarium/tangki pemeliharaan dilapisi dengan parafilm sehingga larva tidak dapat melihat bayangannya sendiri), pengalaman dari air yang ada dalam tangki pemeliharaan, dari udang Artemia yang dimakannya dan dari rangsangan yang diterima dari luar tangki.

Mortalitas larva yang dipelihara terpisah (terisolasi) sangat tinggi. Hanya 4 dari 400 larva yang berhasil hidup hingga bisa membentuk gerombolan pada musim pertama, dan hanya 9 dari 87 ekor larva pada musim kedua. Tampaknya larva ikan tidak membutuhkan kehadiran larva lain pada tahap awal kehidupannya, hal ini belum dapat dijelaskan. Satu perbedan yang menyolok antara larva yang dipelihara bersama larva lain dan larva yang dipelihara sendirian adalah dalam hal tingkah laku mencari makan yang pertama kali. Larva yang dipelihara bersama larva lain mencari makan 2 atau 3 hari setelah menetas meskipun kuning telur dalam abdomennya masih ada, sementara larva yang dipelihara terpisah tidak menunjukkan tingkah laku mencari makan sehingga kelaparan dan mati. Bila larva berumur seminggu – di mana selama seminggu tersebut si larva dipelihara bersama larva lain hingga telah menunjukkan tingkah laku mencari makan – diambil dan kemudian dipelihara terpisah maka tingkat kelangsungan hidupnya lebih tinggi, namun yang menjadi teka-teki adalah bahwa ternyata larva yang dipelihara terpisah seperti ini menunjukkan tingkah laku menggerombol.

Segera setelah keempat larva pertama yang dipelihara terpisah dan masih hidup mencapai ukuran minimum untuk membentuk gerombolan, mereka diambil dan dipelihara bersama-sama dengan kelompok larva lain dalam sebuah tangki. Mulanya keempat larva tadi tidak menunjukkan orientasi, mereka menghindari larva lain dan tidak mau bersatu dengan ikan-ikan lain yang membentuk gerombolan. Bagaimanapun, setelah empat jam barulah larva tadi mau berbaur dengan larva-larva lain dan menggerombol. Jadi percobaan ini menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara terisolasi akan segera membentuk gerombolan. Namun karena dalam percobaan ini gerombolan terbentuk antara larva-larva yang dipelihara terisolasi dengan larva-larva yang dipelihara tidak terisolasi maka percobaan ini belum dapat menjawab pertanyaan apakah tingkah laku menggerombol juga akan ditunjukkan oleh larva-larva yang semuanya dipelihara terisolasi.

Dengan menambah jumlah larva yang dipelihara terisolasi dan semi-terisolasi selama musim panas 1960, diperoleh fakta bahwa mereka ternyata membentuk gerombolan. Larva yang tidak pernah mengalami kontak dengan larva-larva lain (dari spesies yang sama) akan membentuk gerombolan dalam waktu 10 menit setelah mereka disatukan dalam satu tempat. Larva yang selama satu minggu setelah menetas hidup bersama-sama dengan larva lain dan kemudian dipelihara terisolasi juga membentuk gerombolan namun dalam waktu sedikitnya 150 menit. Disimpulkan bahwa makin singkat mereka hidup dalam isolasi maka makin lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk gerombolan. Hal ini mengilhami kita bahwa pengalaman pertama berinteraksi dengan larva lain – pada peridoe di mana larva sering saling mendekat dengan membentuk sudut dan kemudian saling menjauh – mungkin menghambat proses penggerombolan.

Meskipun percobaan ini menunjukkan bahwa isolasi terhada larva ikan tidak dapat mencegah ikan untuk membentuk gerombolan, peranan pengalaman patut dipelajari lebih lanjut. Dalam hal ini perlu ditambahkan bahwa tingkah laku menggerombol ternyata telah ditunjukkan oleh kelompok larva kontrol ketika mereka berukuran lebih kecil daripada ukuran minimum untuk menggerombol pada ikan yang dipelihara terisolasi maupun semi-terisolasi.

Peran Penglihatan Dalam Perilaku Menggerombol Pada Ikan

Rangkaian eksperimen lain terhadap larva-larva ikan di laboratorium menunjukkan bahwa daya tarik visual seekor larva terhadap larva lain berkembang sejalan dengan berkembangnya tingkah laku menggerombol. Larva yang sangat muda tidak menunjukkan respon sama sekali terhadap larva lain yang sedang berenang di balik penghalang kaca. Bagaimanapun, sejalan dengan bertambahnya umur dan panjang, mereka lebih aktif berespon terhadap rangsangan visual yang berasal dari larva lain. Akhirnya mereka mulai berorientasi bersama-sama dengan berenang berdampingan dengan larva yang ada di balik penghalang kaca dan tampak bahwa mereka juga menggetarkan tubuhnya.

Dalam percobaan serupa dengan gerombolan ikan dewasa, tampak bahwa daya tarik visual satu terhadap yang lain mudah diamati. Bila ditempatkan pada kedua sisi penghalang kaca, mereka akan segera mendekat satu sama lain. Sebenarnya memang ikan yang tidak dapat melihat tidak dapat membentuk gerombolan. Seekor ikan yang buta sebelah akan mendekati dan mensejajari ikan lain pada sisi badan yang matanya normal; sepasang ikan buta sebelah pada mata yang berbeda akan berenang acak ketika berdampingan pada sisi mata yang buta, namun mereka akan berenang teratur bila berdampingan pada sisi mata yang normal.

Banyak percobaan telah dilakukan untuk menentukan peranan daya tarik visual dalam mempertahankan agar ikan selalu bergerombol teratur. Hasilnya menunjukkan bahwa gerakan berperanan penting terutama dalam menarik agar ikan mendekat. Albert E. Parr dari American Museum of Natural History menyatakan bahwa jarak antar ikan dalam sebuah gerombolan bisa dijelaskan dengan teori keseimbangan antara daya tarik visual dan penolakan. Menurut Parr ikan akan ditolak bila jaraknya terlalu dekat dengan ikan lain dan akan ditarik bila jaraknya terlalu jauh; dengan demikian pengaturan ruang antar ikan dalam sebuah gerombolan merupakan keseimbangan antara kedua faktor tersebut.

Dalam suatu studi mengenai spesies-spesies ikan yang membentuk gerombolan yang ada di sekitar Tanjung Cod, Edward E. Bayler dari lembaga oseanografi Wood Hole, Massachuset, telah menemukan fakta bahwa banyak di antara ikan-ikan ini mempunyai jangkauan penglihatan yang jauh dan bahwa susunan retinanya menakjubkan. Distribusi sel-sel batang dan sel-sel kerucut dalam retina menunjukkan bahwa mata ikan sangat sesuai untuk menangkap bayangan kontras serta mampu menangkap gerakan di dalam air keruh. Jenis penglihatan ini sangat sesuai bagi ikan yang menunjukkan tingkah laku menggerombol. Percobaan untuk memodifikasi jarak antar ikan dalam gerombolan dengan memasang lensa kontak pada mata ikan-ikan tersebut tidak mempunyai pengaruh yang nyata.

Meskipun tampaknya bahwa organ penglihatan berperanan penting dalam tingkah laku menggerombol, namun ada bukti-bukti bahwa ia bukan merupakan satu-satunya cara yang dipakai ikan agar mengumpul. M.H.A. Keenleyside dari Balai Penelitian Perikanan Kanada mengamati, sebagai contoh, bahwa Pristella, yaitu spesies ikan yang kadang-kadang menggerombol akan berespon terhadap ikan yang ada di balik penghalang kaca dengan berenang maju mundur sepanjang penghalang tersebut namun kemudian daya tariknya terhadap ikan tadi berkurang. Pristella selanjutnya pergi menjauhi penghalang dan tidak kembali lagi. Alat indera lain selain penglihatan banyak terlibat dalam mengendalikan ikan agar berenang saling sejajar dan mengatur jarak antar ikan sehingga struktur gerombolan ikan tersebut teratur. Sulit menentukan alat-alat indera yang mana yang berperanan selain mata karena peneliti tidak dapat mengontrol penglihatan ikan. Ikan yang tidak dapat melihat tidak akan dapat melakukan pendekatan awal sehingga proses tingkah laku menggerombol selanjutnya tidak dapat berjalan.

Peran Indera Pendengar, Pengecap, Pembau dan Gurat Sisi Dalam Perilaku Menggerombol Pada Ikan

Pendengaran, pengecapan dan pembauan semua berperan dalam perilaku menggerombol meskipun penelitian menunjukkan bahwa setiap spesies yang membentuk gerombolan, menghasilkan suara yang berbeda. Suara dihasilkan melalui proses hidrodinamik ketika ikan meluncur dan memutar badannya di dalam air. Suara ini mungkin membantu dalam mempertahankan agar semua ikan tetap menggerombol. Bagaimanapun, tidak ada bukti bahwa suara membantu mengarahkan setiap individu ikan agar selalu menempati posisinya di dalam gerombolan. Indra pengecap dan pembau kurang penting, terutama bagi ikan-ikan oseanik. Bau yang dihasilkan ikan akan diencerkan oleh air laut, namun bau ini bisa berfungsi sebagai jalur jejak yang ditinggalkan oleh individu-induvidu di dalam gerombolan, sehingga bau sedikit berperanan dalam tingkah laku menggerombol bagi ikan-ikan yang ada di barisan depan.

Salah satu sistem indera yang berperanan, antara lain dalam mengarahkan ikan agar bergerombol teratur, adalah sistem indera yang berhubungan dengan gurat sisi (lateral line), yaitu saraf dan cabang-cabangnya yang tersebar di seluruh kepala dan memanjang dari kepala sampai ekor di sepanjang kedua sisi badan. Diduga bahwa organ ini peka terhadap rangsang getaran dan gerakan air. Willem A. Van Bergeijk dan G.G. Harris dari The Bell Telephone Laboratory melaporkan adanya bukti-bukti bahwa gurat sisi peka terutama terhadap “bidang di sekitar” gerakan air yang dihasilkan oleh rambatan gelombang suara. Orientasi agar ikan dapat berenang sejajar sangat dibantu oleh informasi mengenai gerakan ikan di dekatnya yang ditangkap oleh gurat sisi. Gerakan ikan yang mendekati ikan lain dirangsang oleh daya tarik visual dan mungkin gerakan ini dikontrol dengan makin kuatnya rangsang yang diterima gurat sisi ketika ikan lain mendekatinya.

Keuntungan Membentuk Gerombolan Ikan

Tingkah laku menggerombol membantu ikan agar dapat berhasil hidup, hal ini dibuktikan dari fakta-fakta bahwa begitu banyak ikan yang menunjukkan tingkah laku ini. Ada 2.000 spesies ikan laut yang hidup bergerombol dan ada satu kelompok terbesar Cypriniformes yang terutama terdiri dari ikan air tawar, yang meliputi lebih dari 2.000 spesies ikan pembentuk gerombolan, di antaranya adalah ikan freshwater minnow atau shiner, dan ikan karasin yang sering menjadi ikan akuarium populer. Ada bukti bahwa ikan-ikan ini memperoleh tingkah laku bergerombol melalui berbagai alur evolusi. Dari ikan-ikan laut yang paling terkenal sebagai pembentuk gerombolan ada tiga ordo yang merupakan ikan yang paling melimpah di laut dan menyumbangkan bagian terbesar pasokan ikan dunia. Mereka adalah Clupeiformes, yang meliputi ikan hering; Mugiliformes, yang meliputi ikan belanak dan silverside; Perciformes, yang mencakup selar, pompano, bluefish, tengiri dan tuna serta snapper dan grunt yang hidup menggerombol.

Secara anatomis Clupeiformes dan Mugiliformes merupakan ikan yang agak primitif, sedangkan Perciformes lebih modern. Meskipun tidak berhubungan, ikan-ikan ini memiliki persamaan yang penting. Seperti pada kebanyakan ikan lain yang hidup bergerombol, umumnya mereka berbadan licin dan berwarna keperakan. Yang lebih penting, mereka mempunyai sirip dada pipih dan kecil yang digerakan oleh otot yang tidak memungkinkan banyak gerakan. Seperti yang pertama kali diamati oleh C.N. Breder, Jr. dari American Museum of Natural History, ikan-ikan ini tidak dapat berenang mundur. Bila mereka melewati sebutir makanan dan gagal menangkapnya maka ia tidak bisa mundur tetapi harus berenang membentuk lingkaran besar bila ingin kembali untuk mendapatkan makanan tersebut. Pembatasan gerakan ini menguntungkan dalam mempertahankan keteraturan gerombolan, karena menyebabkan ikan hanya bisa bergerak maju.

Karena famili-famili ikan yang hidup bergerombol meliputi ikan-ikan yang secara anatomis primitif maupun modern, bukti-bukti dari spesies yang masih hidup tidak menunjukkan apakah tingkah laku menggerombol merupakan adaptasi primitif ataukah adaptasi modern. Catatan fosil juga tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Ikan hering ditemukan dalam jumlah besar pada sedimen Eosin dan kita bisa mengemukakan pendapat yang masuk akal bahwa ikan-ikan tersebut mengembangkan tingkah laku menggerombol sampai sekarang. Tetapi ikan ini berevolusi lama sebelum jaman Eosin, dan tidak mungkin untuk menentukan cara apa yang ditempuh oleh ikan-ikan hering pada jaman itu untuk mengembangkan tingkah laku menggerombol.

Menurut Shaw (1962) banyak keuntungan yang dapat diambil dari tingkah laku menggerombol meskipun penelitian belum dapat membuktikannya :

1. Diyakini bahwa suatu gerombolan ikan menyebabkan predator, termasuk manusia yang bermaksud mengamatinya, mengira bahwa gerombolan tersebut merupakan seekor binatang besar yang menakutkan. Tidak ada bukti nyata yang mendukung pernyataan ini bahkan orang dapat dengan mudah melihat bahwa ikan yang menggerombol merupakan sasaran empuk predator. Bila predator gagal menyergap seekor ikan, masih ada ikan lain yang dapat ditangkap predator itu. Dalam satu pecobaan dengan ikan mas koki, disimpulkan bahwa ikan memangsa lebih sedikit Daphnia ketika mangsanya ini tersedia dalam jumlah melebihi kebutuhan sementara jumlah ikan mas koki lebih sedikit. Diduga bahwa jumlah mangsa yang lebih banyak akan membingungkan predator. Pernyataan ini sesuai dengan analisa matematika bahwa suatu gerombolan dengan jumlah anggota melebihi nilai tertentu tidak dapat dibunuh secara besar-besaran oleh penyerang. Tetapi orang mungkin akan bertanya mengapa beberapa predator membentuk gerombolan ?

2. Dugaan lain yang masuk akal bagi pembentukan gerombolan ikan adalah bahwa gerombolan memudahkan dalam mencari mangsa. Ikan-ikan muda menjelajahi perairan dengan membentuk gerombolan, dan tingkah laku sosial ini dalam mencari makan tampaknya merangsang mereka untuk tumbuh cepat. Seperti yang ditunjukkan dalam pemeliharaan larva ikan, ikan lain yang sedang makan merangsang larva ikan yang melihatnya (mengecap atau menciumnya) untuk makan.

3. Keuntungan lain yang sering disebut-sebut adalah berkenaan dengan reproduksi spesies yang hidup menggerombol. Ketika musim reproduksi tiba mereka tidak menunjukkan tingkah laku meminang, mereka juga tidak memilih jodoh; ikan jantan dan betina dari spesies yang hidup menggerombol biasanya sulit dibedakan bila dilihat sepintas kilas. Ikan menghamburkan telur dan spermanya dalam jumlah tak terhitung di daerah pemijahan dan membiarkan telur-telur ini melayang-layang sebagai plankton. Hal ini mempertinggi keberhasilan pembuahan. Bagaimanapun, dari beberapa gerombolan yang diamati , pernah ditemukan gerombolan-gerombolan ikan yang semuanya terdiri dari jantan saja atau betina saja.

4. Sebagai tambahan ada satu keuntungan lain yang diperoleh oleh ikan-ikan yang hidup menggerombol. Berdasarkan hukum hidrodinamika, berenang dalam gerombolan merupakan cara yang lebih efisien untuk bergerak di dalam air. Tenaga yang dikeluarkan ikan untuk berenang mungkin lebih sedikit karena ikan dapat memanfaatkan turbulensi yang dihasilkan oleh ikan-ikan yang ada di sekitarnya. Meskipun ikan pada barisan depan gerombolan mungkin mengeluarkan energi yang sama dengan yang dikeluarkan oleh ikan-ikan yang hidup sendirian, namun ikan-ikan di belakangnya bisa mengurangi energi yang dikeluarkan untuk berenang. Jarak optimum antar ikan dalam gerombolan mungkin diatur sedemikian hingga agar mereka mendapat efisiensi energi yang maksimum, artinya energi untuk berenang sesedikit mungkin.



Bab III
Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan


Pengaruh Trawl Terhadap Komposisi Ikan Laut

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan perubahan komposisi hasil tangkap trawl di Teluk Thailand. Pada tahun 1972 kelimpahan total ikan dan invertebrata besar turun 17 % dibandingkan hasil tangkap tahun 1963. Komponen terbesar hasil tangkap tahun 1972 adalah cumi-cumi (Loligo) padahal pada tahun 1963 tidak menduduki sepuluh besar ikan yang paling melimpah. Kelimpahan ikan Leiognathus tahun 1972 turun sekiar 7 % dibandingkan pada tahun 1963 walaupun masih menduduki urutan kedua setelah cumi-cumi. Perubahan komposisi ikan akibat trawl ini masih berlangsung sampai sekarang.

Upaya Mengurangi Hasil Samping Tangkapan Trawl Yang Tak Dikehendaki

Mounsey (1992) melaporkan proyek pembuatan trawl udang sahabat-lingkungan sebagai upaya awal untuk mengurangi hasil samping ikan tangkapan yang tidak dikehendaki. Besarnya hasil samping ikan tangkapan pada perikanan udang di Australia menimbulkan masalah lingkungan, meningkatkan biaya tenaga kerja dan mempengaruhi mutu udang yang merupakan sasaran utama. Perikanan trawl udang merupakan salah satu perikanan yang paling menguntungkan dan paling ekstensif. Ia merupakan industri penting di New South Wales dan Australia Selatan. Lebih dari 1000 kapal trawl untuk menangkap udang beroperasi di sepanjang pantai Queensland dan di Northern Territory (Cape York sampai Cape Londonderry).

Alat Pengusir Penyu Pada Pukat Udang

Dampak penggunaan Turtle Excluder Device (TED; Alat Pengusir Penyu) terhadap perikanan udang di Meksiko telah dibahas. Juga perbedaan tipe-tipe TED ini dibahas ringkas. Telah dibuktikan bahwa penggunaan TED pada jaring udang mengurangi kejadian tertangkapnya penyu secara sangat nyata namun tidak mengurangi hasil tangkapan udang (Anonymous, 1991).

Pengaruh Alat Pengusir Penyu Terhadap Hasil Tangkap Udang

Renaud et al. (1993) mempelajari informasi yang dikumpulkan National Marine Fisheries Service mengenai laju penangkapan udang pada perikanan udang komersial selama bulan Maret 1988 – Agustus 1990. Perbandingan dilakukan antara jaring yang dilengkapi Turtle Excluder Device (TED; Alat Pengusir Penyu) dengan jaring udang standar (tanpa TED). Tiga tipe TED diuji : Georgia TED dengan dan tanpa cerobong pemercepat, dan Super Shooter TED dengan cerobong. Daerah penangkapan, waktu penangkapan, dan lama penarikan jaring dikendalikan oleh kapten masing-masing kapal untuk meniru kondisi komersial. Kehilangan rata-rata “catch-per-unit-effort” (CPUE; hasil tangkapan per satuan upaya) udang sebesar 0,12 kg/jam (3,6 %) dan 0,465 kg/jam (13,6 %) yang nyata secara statistik (P < 0,05) ditunjukkan oleh jaring yang dilengkapi Georgia TED (dengan dan tanpa cerobong, berturut-turut) bila dibandingkan dengan jaring standar. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal CPUE udang antara jaring standar dengan jaring yang dilengkapi Super Shooter TED bercerobong.

Kematian Lumba-Lumba Akibat Jaring Insang

Read et al. (1993) melaporkan bahwa di banyak daerah, populasi lumba-lumba pelabuhan (Phocoena phocoena) habis atau berkurang; tertangkapnya hewan ini secara tidak sengaja oleh perikanan jaring insang komersial sering menjadi penyebab penurunan populasinya. Lumba-lumba ini hilang dari beberapa bagian Laut Baltik, Laut Utara bagian selatan, dan beberapa daerah di pesisir California tengah. Di daerah lain seperti Greenland barat, Teluk St. Laurence dan Newfoundland, kejadian tertangkapnya lumba-lumba secara tidak sengaja adalah cukup besar hingga mengundang keprihatinan. Secara umum, pemahaman kita tentang demografi lumba-lumba pelabuhan adalah tidak cukup untuk menentukan apakah pertambahan populasinya dapat mengimbangi tingkat kematian yang besar tersebut.

Kelangsungan Hidup Ikan Yang Ditangkap Dengan Jaring Angkat dan Jaring Seret

Sado dan Ita (1992) mengevaluasi efisiensi dua jenis alat tangkap – jaring angkat Atalia dan jaring seret Dala – untuk memanen secara masal ikan clupeidae (Pellonula afzeliusi dan Sierrathrissa leonensis) dalam kondisi hidup yang kemudian akan diangkut ke tempat lain. Walaupun tingkat kelangsungan hidup ikan clupeidae pasca penangkapan dengan Atalia liftnet adalah sangat rendah (34,7 – 35,6 %), Pellonula afzeliusi menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang relatif lebih tinggi dibandingkan Sierrathrissa leonensis bila ditangkap dengan Dala dragnet. Jadi, dengan mempertimbangkan tingkat kelangsunagn hidup relatif ikan clupeidae pasca penangkapan dengan dua jenis alat tangkap tradisional, Dala dragnet lebih efisien daripada Atalia liftnet untuk mengumpulkan ikan clupediae hidup secara masal.

Stres Akibat Pancing

Smith (1982), berdasarkan laporan beberapa peneliti, membahas stres pada ikan yang terkena pancing. Dibandingkan stres kehilangan sisik, stres akibat penangkapan dengan pancing rawai (hook and line) adalah kecil. Terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan penurunan kadar klorida darah yang sebanding dengan lama waktu ikan rainbow trout dipermainkan oleh pancing. Respon tersebut terus meningkat sampai selama empat jam setelah ikan dilepaskan, tetapi kembali normal setelah 24 jam kemudian. Respon sedikit lebih besar pada suhu yang lebih tinggi (20 °C dibandingkan 10 – 15 °C) dan pada ikan yang lebih panjang (43 – 48 cm dibandingkan 20 – 25 cm). Karena nilai semua faktor tidak pernah melebihi kisaran normal untuk rainbow trout, disimpulkan bahwa stres akibat pancing masih ada di dalam batas kemampuan fisiologis ikan untuk menyesuaikan situasi itu.

Kematian Ikan Trout Akibat Pancing

Nuhfer dan Alexander (1993) melaporkan bahwa nilai rata-rata mortalitas pemancingan per penangkapan untuk 630 ikan brook trout liar (Salvelinus fontinalis) dengan ukuran panjang tubuh standar lomba adalah 4,3 % selama 48 jam pertama setelah penangkapan. Mortalitas sebesar 8,3 % untuk ikan brook trout yang ditangkap dengan umpan “Mepps spinner” dan “Cleo spoon” yang dilengkapi kait bermata-tiga, namun mortalitas ini secara nyata lebih rendah untuk ikan yang ditangkap dengan alat sama tetapi kaitnya bermata satu. Tidak ada mortalitas pada 126 ikan brook trout yang ditangkap dengan umpan “Rapala” dengan kait bermata dua. Perbedaannya dalam hal frekuensi dan tingkat kerusakan pada lengkung insang dan daerah kerongkongan. Beberapa jenis umpan mungkin tertelan ikan sampai jauh ke dalam tubuh, terutama oleh ikan besar, dan dengan demikian lebih mungkin menyebabkan kematian. Umpan yang menunjukkan aksi bergoyang-goyang cepat ketika ditarik tampaknya kurang mungkin ditelan ikan sampai jauh ke dalam tubuh sehingga mortalitas yang ditimbulkannya lebih kecil. Peluang kematian berhubungan secara tidak nyata dengan suhu yang berkisar dari 5,6 sampai 17,8 °C ketika ikan brook trout terkena kait bermata satu pada bagian tubuh selain insang atau kerongkongan dan tidak banyak mengeluarkan darah. Peraturan terbaru yang membatasi umpan pada kait bermata satu dan melarang pemanenan ikan berukuran panjang total kurang dari 38,1 cm tampaknya sangat dibutuhkan untuk meminimkan kematian ikan akibat pancing.

Pengaruh Suhu Terhadap Kematian Ikan Akibat Pemancingan

Muoneke (1992) menentukan nilai dugaan tingkat mortalitas akibat pemancingan pada musim panas dan musim dingin untuk ikan bluegill (Lepomis macrochirus) yang ditangkap pada bulan Juni 1989 di Bendungan Choke Canyon, Texas, dan pada bulan Maret 1990 di Bendungan Danau Cedar, Texas. Suhu air rata-rata 16,7 dan 30 °C selama percobaan pemancingan musim dingin dan musim panas, berturut-turut. Ikan ditangkap dengan pancing yang berumpan jangkrik hidup pada musim panas dan cacing pada musim dingin. Sembilan puluh lima ikan (panjang total 109 – 193 mm) ditangkap pada musim dingin dan 75 ikan (panjang total 146 – 200 mm) pada musim panas. Ikan ditampung selama 72 jam di dalam kurungan plastik silinder berukuran 0,79 m2 x 1 m untuk mengamati penundaan kematian. Salah satu dari 95 ikan mati pada musim dingin dan 19 dari 75 ikan mati pada musim panas. Mortalitas akibat pemancingan secara nyata lebih tinggi pada musim panas dibandingkan pada musim dingin.

Bab IV
Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar


Faktor-Faktor Penentu Ukuran Mata Jaring Pada Gillnet

Nomura and Yamazuki (1977) menyatakan bahwa ukuran mata jaring (mesh size) yang sesuai dengan panjang badan ikan sasaran sangat berkaitan dengan efisiensi alat tangkap. Pemilihan ukuran mata jaring sangat penting bagi gillnet (jaring insang). Penentuan ukuran mata jaring yang optimal harus memperhatikan elastisitas tubuh ikan, ketegangan dan daya regang benang jaring, rasio pemanjangan (elongation ratio) benang jaring, momentum ikan dan bentuk badan ikan sasaran.

Memperbaiki Konstruki Purse Seine Dengan Mata Jaring Berukuran Lebar

Beltestad et al. (1989) membahas pertimbangan-pertimbangan teoritis mengenai persyaratan material dan kecepatan tenggelam purse seine dengan berbagai ukuran mata jaring dan bobot pemberat. Pengukuran menunjukkan bahwa kecepatan tenggelam purse seine bervariasi sesuai dengan ukuran mata jaring sedangkan bobot pemberat sangat sesuai dengan teori hidrodinamika. Pada percobaan penangkapan dengan jaring putih bermata lebar di bagian akhir purse seine, ikan hering atau tengiri tidak pernah terlihat meloloskan diri melalui mata jaring yang lebar itu baik pada siang hari maupn malam hari. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konstruksi purse seine untuk penangkapan ikan hering dan tengiri bisa diperbaiki dengan memberikan keuntungan ekonomi, baik dalam hal biaya pembuatan maupun keberhasilan penangkapan (dengan mata jaring lebar dan sedikit pemberat – yang berarti mengurangi kebutuhan akan bahan jaring dan pemberat).

Bentuk Mata Jaring Persegi Lebih Efektif Untuk Melindungi Anak Ikan

Chen et al (1992) melakukan serangkaian percobaan penangkapan ikan menggunakan “bottom trawl” (pukat dasar) di perairan Selat Taiwan dengan bentuk mata jaring persegi (square) dan diamon. Mata jaring persegi dan diamon dibuat dengan ukuran 45, 54, 60 dan 70 mm dengan rentang internal 2 bar dan 1 knot. Berdasarkan selektivitas mata jaring terhadap enam spesies ikan utama, mata jaring persegi memiliki faktor seleksi lebih besar dengan rentang seleksi lebih kecil dibandingkan mata jaring diamon pada kategori ukuran yang sama. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa mata jaring persegi, bila dibandingkan dengan mata jaring diamon, lebih efektif untuk melindungi ikan-ikan yang belum dewasa.

Keunggulan Mata Jaring Berukuran Besar Pada Midwater Trawl

Vijayan et al. (1992) melaporkan hasil penelitian penggunaan mata jaring berukuran besar (10,3 m) pada midwater trawl (trawl tengah-air) . Midwater trawl dengan mata jaring berukuran besar terbukti lebih efisien untuk menangkap ikan Lactarius sp., Trichiurus sp. dan Arius sp. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan mata jaring berukuran besar maka hasil tangkap ikan-ikan berkualitas bagus meningkat sebesar 29,6 %.

Trawl Dengan Ukuran Mata Jaring Besar Lebih Menghemat Energi

Nayak and Sheshappa (1993) meneliti pengaruh ukuran mata jaring besar terhadap penghematan energi pada jaring trawl. Pemakaian mata jaring berukuran besar pada badan jaring trawl mengurangi secara nyata hambatan jaring dan dengan demikian bisa menghemat konsumsi energi. Perbandingan operasi trawl berukuran mata jaring 28,6 m dengan bottom trawl (pukat dasar) bermulut lebar berukuran mata jaring 26,7 m telah dilakukan di lepas Pantai Mangalore selama bulan Desember 1989 sampai Mei 1990. Trawl dengan ukuran mata jaring besar ternyata memiliki hambatan 33 – 34 % lebih kecil daripada trawl-dasar bermulut lebar pada kecepatan penghelaan jaring 2 – 2,5 knot berdasarkan perhitungan teoritis tanpa memberi pengaruh nyata terhadap hasil tangkap.

Pengaruh Ukuran Ikan Terhadap Efisiensi Penangkapan Trammel Net dan Gill Net

Matsuoka (1991) berpendapat bahwa trammel net bukan sekedar jaring yang lebih efisien dibandingkan gill net. Alat ini kurang berfungsi untuk menangkap ikan-ikan kecil dibandingkan gillnet. Meskipun penelitian membuktikan bahwa trammel net lebih efisien secara umum pada kisaran ukuran ikan yang lebar, namun untuk ikan kecil tertentu yang panjangnya sekitar 145 mm dan 150 mm gill net lebih efisien daripada trammel net. Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa trammel net lebih efisien bagi semua ukuran ikan. Jadi, bila kedua tipe jaring ini digunakan di lapangan adalah mungkin bagi gill net untuk menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi tergantung pada ukuran ikan yang dijumpai. Hal ini menjelaskan kejadian tertangkapnya secara kebetulan ikan-ikan kecil dengan jumlah lebih banyak dengan gill net. Indeks efisiensi penangkapan untuk trammel net yaitu 2,72 kali lebih besar daripada gill net, juga tidak menjamin hasil tangkapan yang lebih banyak dengan trammel net. Nilai ini menunjukkan efisiensi apabila ukuran ikan yang akan tertangkap terdistribusi merata. Praktek penangkapan, dengan demikian, dipengaruhi oleh distribusi ukuran ikan yang tidak merata di dalam populasi.

Bab V
Menarik atau Mengusir Ikan Dengan Suara dan Dampak Negatifnya


Keragaman Hasil Penelitian Pengaruh Suara Terhadap Ikan

Popper dan Hastings (2009) melaporkan bahwa perhatian dunia internasional makin meningkat terhadap pengaruh suara yang dibangkitkan-manusia terhadap ikan dan organisme air lainnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa suara yang dibangkitkan-manusia, sekalipun dari sumber berintensitas sangat tinggi, mungkin tidak berpengaruh pada beberapa kasus atau mungkin memberikan pengaruh yang berkisar dari perubahan kecil tingkah laku dan bersifat sementara sampai kematian mendadak. Dalam hal ini, bagaimanapun, hampir tidak mungkin untuk membuat kesimpulan umum berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan satu sumber suara, satu spesies ikan, atau bahkan ikan dari satu kelompok ukuran untuk diterapkan pada sumber suara lain, spesies lain atau kelompok ukuran lain.

Keunggulan dan Kelemahan Metode Akustik/Penginderaan Jauh Dalam Menduga Stok Ikan

Stepnowski et al. (1993) menyatakan bahwa selama dua dekade terakhir ini metode akustik pendugaan stok ikan memperoleh lebih banyak perhatian dibandingkan metode hasil tangkapan trawl konvensional seperti Catch Curve Method (CCM) atau metode biostatistik lain, seperti Virtual Population Analysis (VPA) dan Length based Fish Stock Assesment (LFSA). Lebih jauh, metode akustik tidak menghadapi masalah dengan diperkenalkannya metode penginderaan jauh satelit, seperti Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada seri NOAA atau Coastal Zone Colour Scanner (CZCS) pada NIMBUS, untuk menduga kisaran sumber daya perikanan, untuk mengidentifikasi front-front samudra dan untuk mempelajari pola-pola permukaan – yang menentukan nasib telur dan larva ikan.

Menurut Stepnowski et al. (1993) metode biostatistik, meskipun memiliki banyak keunggulan, menghadapi sedikitnya tiga macam keterbatasan yang penting, yakni : lamanya waktu yang diperlukan untuk memperoleh data dan memproduksi hasil, tingginya biaya dan terbatasnya kemampuan automatisasi. Sementara metode penginderaan jauh (remote sensing), sekalipun memiliki keunggulan seperti cakupan daerah yang luas dan cepat, monitoring jangka panjang dan tidak mengganggu medium, namun teknik ini terbatas hanya pada fenomena-fenomena permukaan, tidak akurat, kesimpulan yang didapat terbatas dan memerlukan kalibrasi.

Penggunaan Suara Untuk Mengendalikan Tingkah Laku Ikan

Popper dan Carlson (1998) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai penggunaan beberapa macam sinyal indra untuk mengendalikan dan memodifikasi tingkah laku ikan, terutama suara. Suara dalam kisaran infrasonik sampai ultrasonik berpotensi bisa berguna untuk mengendalikan tingkah laku ikan. Bagaimanapun, kebanyakan penelitian seperti ini memberikan hasil-hasil yang bertolak belakang kecuali bila ultrasonik digunakan untuk mengendalikan spesis ikan clupeidae. Diduga bahwa suara bila digabungkan dengan cahaya bisa digunakan untuk mengendalikan tingkah laku ikan.

Upaya Menarik Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Rendah

Richard (1968) melakukan serangkaian penelitian untuk menentukan efektivitas sinyal suara berfrekuensi rendah dalam menarik ikan. Sinyal suara dibuat untuk merangsang pembentukan gangguan hidrodinamis yang biasanya berkaitan dengan pemangsaan aktif. Televisi bawah-air digunakan untuk mengamati kedatangan ikan selama periode kontrol maupun periode uji. Ikan pemangsa demersal berhasil ditarik meskipun mereka terbiasa berespon cepat terhadap rangsangan suara. Ikan karang herbivora, walaupun umum di sekitar lokasi uji, tidak tertarik. Disimpulkan bahwa teknik akustik untuk menarik ikan mempunyai potensi untuk diterapkan dalam perikanan komersial.

Dapatkah Mengusir Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Tinggi ?

Dunning et al. (1992) mengamati respon ikan Alosa pseudoharengus terhadap suara berfrekuensi tinggi untuk mengembangkan sistem akustik guna mencegah ikan mendekati saluran pemasukan air di stasiun pembangkit listrik. Empat kelompok ikan dikenai berbagai frekuensi suara yang berkisar dari 110 sampai 150 kHz dengan tekanan suara 125 sampai 180 desiBell. Setiap kelompok ikan yang masing-masingnya terdiri-dari 20 atau 25 ikan diuji di dalam kurungan yang digantung di dalam air. Selama siang hari ikan menggerombol dan sangat menghindari nada yang putus-putus pada frekeunsi 110 dan 125 kHz dengan kebisingan 175 dB atau lebih, nada yang kontinyu pada 125 kHz dan 172 dB, dan suara “broadband” (jalur lebar) yang putus-putus antara 117 dan 133 kHz atau di atas 157 dB. Walaupun ikan dibiasakan dengan nada-nada ini, mereka makin menghindari suara broadband putus-putus pada 163 dB. Respon yang makin mantap dalam menghindari suara broadband mungkin disebabkan kisaran frekuensi sinyal ini. Pada malam hari, ikan Alosa tidak menggerombol, tidak berenang aktif dan tidak bereaksi dengan kuat terhadap suara broaband. Melemahnya respon penghindaran pada malam hari mungkin disebabkan tidak terbentuknya gerombolan ikan dan berkurangnya aktivitas renang.

Kerusakan Pada Tubuh Ikan Akibat Suara

Hastings (1991) melaporkan bahwa suara yang mengganggu organisme air sering timbul di perairan; akibatnya, kebanyakan energi suara dari sumber bawah-air akan memasuki dan berinteraksi dengan tubuh organisme air tersebut. Suara yang sangat kuat bisa membuat tuli atau bahkan membunuh ikan. Hasil-hasil beberapa penelitian menunjukkan adanya kerusakan yang nyata seperti tuli dan organ dalam pecah yang disebabkan oleh suara bawah-air. Data yang tersedia menunjukkan, bagaimanapun, bahwa ikan menderita kerusakan organ-dalam dan gangguan fisiologi serta kerusakan fisik bila terkena tekanan suara yang cukup kuat selama periode yang relatif singkat. Hasil-hasil percobaan membuktikan adanya keterkaitan antara tekanan suara bawah-air yang berfrekuensi 100 sampai 500 Hz dengan berbagai bentuk kerusakan pada tiga spesies ikan air tawar. Disimpulkan bahwa ikan bisa menderita kerusakan morfologis internal (misal kerusakan pada bagian sel-sel rambut yang ada di telinga-dalam) meskipun tidak mengalami kerusakan fisik pada tubuh bagian luar atau gangguan tingkah laku. Jadi, tingkat tekanan suara yang berbahaya bagi organisme air mungkin sebenarnya jauh lebih rendah daripada yang biasanya dilaporkan.

Referensi :


Anonymous. 1991. Do You Know What TEDs Are ? PANORAMA PESQ., vol.1, no. 1, pp. 18 - 21

Anonymous. 1992. The Indonesian Fisheries Profile. Department of Agriculture, Directorate General of Fisheries. Jakarta. 25 pp.

Beltestad, A.K., W. Dickson and O.A. Misund. 1989. Optimization of Purse Seines by Large Meshed Sections and Low Lead Weight : Theoretical Considerations, Sinking Speed Measurements and Fishing Trials. Proceedings of The 1988 World Symposium on Fishing Gear and Fishing Vessel Design. New Foundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology, St. John’s, New Foundland. Canada. Pp. 527 - 530

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 318 pp.

Chen, C.-T., K. Matsuda, Y.-S. Chow and T. Tokai. 1992. Mesh Selectivity of Square Mesh Codend of Bottom Trawl Nets in The Waters of The Taiwan Straits. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish., vol 58, no. 4, pp. 627 – 635, ISSN 0021-5392

Dunning, D.J., Q.E. Ross, P. Geoghegan, J.J. Reichle, J.K. Menezes and J.K. Watson. 1992. Alewives Avoid High-Frequency Sound. North American Journal of Fisheries Management, vol. 12, no. 3, pp. 407 – 416

Hastings, M.C. 1991. Harmful Effects of Underwater Sound on Fish. Journal of the Acoustical Society of America, Vol. 90, Issue 4, pp. 2335

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Matsuoka, T. 1991. A Tank Experiment on Selectivity Component of A Trammel Net for Tilapia mossambica. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 57, No. 7, pp. 1331 - 1338

Mounsey, R. 1992. The Environmentally Friendly Prawn Trawl Project. An Initial Look at Bycatch Reduction. Australian Fisheries, vol. 51, no. 12, pp. 19 – 21

Muoneke, M.I. 1992. Seasonal Hooking Mortality of Bluegills Caught on Natural Baits. North American Journal of Fisheries Management, vol. 12, no. 3, pp. 634 – 644, ISSN 0275-5947

Nayak, B.B. and D.S. Sheshappa. 1993. Effect of Large Meshes on The Body of Trawl Net in Energi Conservation. Fisheries Technology of Societies of Fisheries and Technology (India), vol. 30, no. 1, pp. 1 – 5, ISSN 0015-3001

Nomura, M. and T. Yamazuki. 1977. Fishing Techniques, vol. 1. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. 206 pp.

Nuhfer, A.J. and G.R. Alexander. 1992. Hooking Mortality of Trophy-Sized Wild Brook Trout Caught on Artificial Lures. North American Journal of Fisheries Management, vol. 12, no. 3, pp. 645 – 649, ISSN 0275-5947

Popper,A.N. and M.C. Hastings. 2009. The Effects of Human-Generated Sound on Fish, Integrative Zoology, Vol. 4, Issue 1, pp. 43–52

Popper, A.N. and T.J. Carlson. 1998. Application of Sound and Other Stimuli to Control Fish Behavior. Transactions of the American Fisheries Society, Vol. 127, Issue 5, pp. 673-707

Read, A.J., S.D. Kraus, K.D. Bisack and D. Palka. 1993. Harbor Porpoises and Gill Nets in The Gulf of Maine. Conservation Biology, vol. 7, no. 1, pp. 189 – 193, ISSN 0888-8892

Renaud, M., G. Gitschlag, E. Klima, A. Shah, D. Koi and J. Nance. 1993. Loss of Shrimp by Turtle Excluder Device (TEDs) in Coastal Waters of The United States, North Carolina to Texas : March 1988 – August 1990. Fisheries Bulletin, vol. 91, no. 1, pp. 129 – 137, ISSN 0090-0656

Richard, J.D. 1968. Fish Attraction with Pulsed Low-Frequency Sound. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, Vol. 25, no. 7, pp. 1441-1452

Sado, E.K. and E.O. Ita. 1992. The Effect of Capture Methods, Temperature and Oxygen on The Survival of Live Freshwater Clupeids During Acclimation and Transportation. J. AQUACULT. TROP., vol. 7, no. 2, pp. 165 – 176, ISSN 0970-0846

Shaw, E. 1962. The Schoolong of Fishes. Scientific American, Vol. 206, No 6, pp. 128 - 141

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physilogy. TFH Publications, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Stepnowski, A., A.C. Gucu and F. Bingel. 1993. Assessment of The Pelagic Fish Resources in The Southern Black Sea Using Echo Integration and Dual-Beam Processing. Archives of Acoustic, Vol. 18, No. 1, pp. 82 - 104

Vijayan, V., T.J. Mathai, H.N. Mhalathkar and M.S. Abbas. 1992. Advantages of Large Meshes in Midwater Trawl. Fisheries Technology of Societies of Fisheries and Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 9 – 13, ISSN 0015-3001

Walford, L.A. and C.C. Wilber .1955. The Sea as A Potential Source of Protein Food. Advances in Protein Chemistry, vol. 10, pp. 289 - 317

Selasa, 26 Juni 2018

Fotosintesis dan Produktivitas Primer Perairan


Daftar Isi



Bab I. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

- Pengaruh Bentuk Daun Terhadap Fotosintesis Pada Tumbuhan Air
- Variasi Laju Fotosintesis Antar Jenis Tumbuhan Air
- Pengaruh Luas Danau Terhadap Fotosintesis Fitoplankton
- Pengaruh Volume Sel Mikroalga Terhadap Laju Fotosintesis
- Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Fotosintesis Dunaliella
- Pengaruh Cahaya dan Suhu Terhadap Laju Fotosintesis Alga Perifiton
- Nitrat Mengurangi Efek Negatif Radiasi Ultra Violet Terhadap Fotosintesis

Bab II. Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

- Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan
- Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton
- Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau
- Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton
- Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton
- Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Bab III. Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan

- Pengadukan Sebagai Mekanisme Pendistribusian Zat Hara
- Pengadukan Massa Air Laut Akibat Upwelling
- Pengaruh Pengadukan Massa Air Terhadap Produktivitas Primer Perairan
- Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?
- Pola Harian Kedalaman Pengadukan dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Danau
- Pengadukan Massa Air Akibat Angin

Referensi

Bab I
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis


Pengaruh Bentuk Daun Terhadap Fotosintesis Pada Tumbuhan Air

Nielsen dan Sand-Jensen (1993) mengamati profil fotosintesis tiga bentuk daun (filamen udara, lembaran terapung dan filamen tenggelam) dari makrofita amfibi penghuni sungai, Batrachium peltatum (Schrank) Presl, sehubungan dengan perbedaan morfologi/anatomi dan komposisi kimia daun. Batrachium peltatum tumbuh melimpah di sungai-sungai dataran rendah Denmark, yang dicirikan oleh perairan yang lewat-jenuh dengan CO2. Fotosintesis ketiga bentuk daun ini sangat serupa pada kondisi sekeliling di lingkungannya masng-masing. Pembentukan daun yang muncul ke udara dan daun terapung, dengan demikian, berperanan penting dalam belanja karbon selama pertumbuhan aktif di musim panas, yang memungkinkan tumbuhan terus berfotosintesis ketika terbuka terhadap udara. Daun yang tenggelam, sebaliknya, berfotosintesis lebih baik di perairan pada saat karbon dioksida terbatas, dengan memanfaatkan HCO3-, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh daun yang muncul di udara dan daun terapung.

Semua tipe daun dirangsang oleh konsentrasi karbon dioksida di atas konsentrasi normal sampai tingkat jenuh yakni 30 – 40 mikromol/liter di udara (700 – 940 ppm) dan 500 – 1200 mikromol/liter di air. Kemiringan grafik fotosintesis vs konsentrasi CO2 adalah beberapa kali lipat lebih tingi di udara daripada di air karena lebih kecilnya hambatan difusi di udara, terutama untuk daun berbentuk lembaran terapung. Perbedaan fotosintesis yang dijumpai lebih berhubungan dengan bentuk morfologi daun daripada dengan komposisi kimia (klorofil, nitrogen, ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase) ketiga macam daun tersebut (Nielsen dan Sand-Jensen, 1993).

Variasi Laju Fotosintesis Antar Jenis Tumbuhan Air

Madsen et al. (1993) menentukan laju fotosintesis, kapasitas ekstraksi karbon dan aktivitas ribulose-1,5-biphosphate carboxylase/oxygenase (RUBISCO) pada 35 spesies makrofita air-tenggelam yang berbeda-beda dalam hal taksonomi, bentuk pertumbuhan dan habitat. Laju fotosintesis per unit klorofil dan berat kering pada konsentrasi CO2 sekelilingnya (sekitar 15 mikro M) maupun kapasitas ekstraksi karbon meningkat pada kelompok-kelompok tumbuhan dengan urutan : isoetidae, spesies amfibi, elodeidae tanpa penggunaan HCO3- yang jelas, elodeidae yang menggunakan HCO3-, angiosperma laut dan makroalga laut. Laju fotosintesis pada konsentrasi karbon dioksida yang makin meningkat (300 – 350 mikro M) menunjukkan pola yang sama seperti di atas tetapi perbedaannya lebih kecil di antara kelompok-kelompok ini. Hanya untuk makroalga laut fotosintesis pada CO2 sekeliling hampir sama dengan fotosintesis pada CO2 yang meningkat. Spesies dengan kapasitas ekstraksi karbon tinggi, diduga karena menggunakan HCO3- aktif, biasanya memiliki RUBISCO rendah. Pola yang berlawanan ditemukan pada spesies-spesies yang kapasitas ekstraksi karbonnya rendah.

Pengaruh Luas Danau Terhadap Fotosintesis Fitoplankton

Fee et al. (1992) mengukur fotosintesis fitoplankton selama 6 tahun di tujuh danau Canadian Shield yang terpencil yang mengalami stratifikasi sempurna selama musim panas dan memiliki waktu pembaharuan air (water renewal time) lebih dari 5 tahun tetapi luasnya bervariasi dari 29 sampai 34.700 hektar. Konsentrasi klorofil dan laju fotosintesis pada cahaya optimum adalah rendah di danau tersempit dan terluas, dan nilainya bertambah secara sistematis sampai hampir lima kali lipat di danau-danau yang berukuran sedang (sekitar 1.000 hektar). Nilai harian fotosintesis per meter persegi permukaan danau dan nilai tahunan fotosintesis per meter kubik lapisan air campuran juga bervariasi seperti itu, tetapi nilai tahunan fotosintesis per meter persegi adalah tinggi di danau yang luas (walaupun densitasnya rendah) karena musim pertumbuhannya lama.

Pengaruh Volume Sel Mikroalga Terhadap Laju Fotosintesis

Stel’makh (1992) membandingkan laju fotosintesis mikroalga yang berukuran kecil dan besar. Pada tiga musim dalam setahun, laju fotosintesis rata-rata fraksi fitoplankton berukuran 0,45 – 2,5 mikrometer di teluk Sevastopol (Ukraina) adalah berkisar dari 8,4 sampai 12,6 mg karbon per mg klorofil-a per jam, yang berarti 1,5 – 2,5 lebih besar daripada fraksi yang berukuran 2,5 – 150 mikrometer. Pada musim panas, laju pertumbuhan spesifik fraksi 0,45 – 2,5 mikron adalah 2 – 2,3 per hari; nilai ini kira-kira dua kali nilai untuk alga berukuran besar. Hasil-hasil penelitian ini mendukung teori bahwa laju proses-proses fungsional dalam mikroalga meningkat dengan berkurangnya volume sel.

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Fotosintesis Dunaliella

Dellarossa dan Silva Cifuentes (1991) mengukur laju fotosintesis in vitro pada berbagai intensitas cahaya pada 3 spesies Dunaliella : D. salina¸ D. pseudosalina dan D. lateralis, dan juga pada 3 galur asli Dunaliella salina. Setiap spesies menunjukkan respon fotosintetik yang khas dalam kisaran intensitas cahaya 35 sampai 600 mikroE/m2/detik. Laju produksi Dunaliella lateralis dan D. pseudosalina sangat terhambat pada intensitas cahaya tertinggi. D. pseudosalina adalah spesies yang paling efisien.

Pengaruh Cahaya dan Suhu Terhadap Laju Fotosintesis Alga Perifiton

St. Jonsson (1992) melaporkan bahwa komunitas alga epilitik (penempel batu) di Danau Thingvallavatn (Iceland) memiliki beberapa pola yang bersifat spesifik-spesies dan spesifik-kedalaman. Nilai dugaan laju fotosintesis spesifik (P max) adalah relatif rendah, dan berkurang sejalan dengan bertambahnya kedalaman dari 1,56 menjadi 0,85 mg oksigen/mg klorofil-a/jam. Juga terlihat adanya penurunan yang serupa dalam hal laju respirasi gelap. Dalam percobaan laboratorium terhadap komunitas alga epilitik alami, 68 sampai 79 % variasi laju fotosintesis (mg O2/m2/jam) disebabkan oleh cahaya, 0,4 sampai 8 % oleh suhu dan 2 sampai 5 % oleh biomas. Meskipun laju fotosintesis spesifik (Pmax)-nya rendah, produksi neto alga perifiton ini adalah tinggi, 146 – 315 gram O2/m2/tahun (55 – 118 gram karbon).

Nitrat Mengurangi Efek Negatif Radiasi Ultra Violet Terhadap Fotosintesis

Barufi et al. (2012) meneliti perlindungan terhadap radiasi ultra violet (ultraviolet radiation; UVR) pada alga merah agarofit Gracilaria tenuistipitata. Alga ini selama 1 minggu dikenai “photosynthetically active radiation” (PAR, 260 mikromol foton/m2/detik) atau PAR + UVR (UV-A, 8,13 W/m2 dan UV-B, 0,42 W/m2) pada berbagai konsentrasi nitrogen : 0, 0,1 dan 0,5 mM NO3-. Pigmen-pigmen fotosintesis berkurang selama periode percobaan terutama pada kondisi pasokan nitrogen sedikit dan UVR. Perlakuan alga dengan pasokan nitrogen banyak (0,5 mM) menghasilkan laju fotosintesis yang tetap tinggi selama periode percobaan. Sebaliknya, “mycosporine-like amino acids” (MAA; asam-asam amino mirip-mikosporin) meningkat sampai delapan kali lipat pada kondisi ada UVR dan 0,5 mM NO3-. Pada kondisi PAR + UVR, hasil quantum maksimal berkorelasi positif dengan kelimpahan MAA, sedangkan pada kondisi PAR tidak ada korelasi seperti ini.

Barufi et al. (2012) menambahkan bahwa hasil fotosintesis alga yang dikultur selama tujuh hari pada kondisi PAR + UVR kurang terpengaruh oleh pemaparan selama 30 menit terhadap UVR yang tinggi (16 W/m2) dan pulih dengan sempurna setelah dpindahkan ke radiasi PAR yang rendah, sedangkan alga yang dipelihara pada kondisi PAR lebih terpengaruh oleh UV dan tidak dapat pulih dengan sempurna. Laju pertumbuhan menurun setelah tiga hari pada kondisi UVR dan pasokan nitrat yang sedikit. Bagaimanapun, laju ini adalah sama bila dibandingkan dengan perlakuan PAR dan PAR + UVR setelah tujuh hari, dengan kekecualian sampel pada perlakuan konsentrasi NO3- 0 mM, yang menunjukkan bahwa aklimasi setelah pemaparan selama satu minggu adalah berkaitan dengan pasokan nitrat. Sebagai kesimpulan, UVR menimbulkan efek negatif terkecil terhadap fotosintesis dan laju pertumbuhan pada alga yang diberi banyak pasokan nitrogen bila terjadi perangsangan mekanisme perlindungan-cahaya, seperti penimbunan MAA. Perangsangan cahaya terhadap penimbunan MAA oleh UVR pada kondisi pasokan nitrogen yang banyak terlihat pada Gracilaria tenuistipitata bahkan setelah 20 tahun dalam kultur tanpa perangsangan sinyal cahaya fotomorfogenik ini.

Bab II
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia


Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan

Menurut Boyd (1982), seperti halnya semua tipe produksi ternak, produksi ikan berasal dari radiasi matahari. Energi dalam radiasi matahari ditangkap sebagai energi kimia di dalam karbohidrat melalui reaksi kimia fotosintesis tumbuhan hijau. Fotosintesis merupakan dasar penting semua bahan organik dan semua energi yang tersedia secara biologis. Sudah tentu, tumbuhan memerlukan sejumlah zat hara anorganik di samping karbon dioksida dan air untuk pertumbuhan. Zat-zat hara anorganik ini meliputi nitrogen, fosfor, belerang, kalium, kalsium, magnesium, besi, mangan, tembaga dan kadang-kadang yang lainnya.

Sebagian karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintensis digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi – suatu proses yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari fotosintesis. Dalam respirasi, karbohidrat dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air, dengan melepaskan energi yang bisa digunakan dalam reaksi-reaksi biokimia agar bisa berjalan. Sebagian besar sisa karbohidrat dari fotosintesis disintesis oleh tumbuhan menjadi berbagai senyawa organik : zat pati, selulosa, pektin, lignin, asam-asam amino, protein, asam nukleat, lemak, lilin, pigmen, minyak, vitamin, dll. Senyawa-senyawa ini dimanfaatkan untuk membangun jaringan tumbuhan atau untuk fungsi-fungsi penting lainnya.

Tumbuhan merupakan satu-satunya sumber energi dan bahan organik bagi binatang. Senyawa-senyawa berkarbon yang dibentuk oleh tumbuhan diperlukan oleh binatang sebagai sumber energi dan sebagai bahan biokimia penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan. Karena itu, fotosintesis dan asimilasi biokimia oleh tumbuhan berhubungan dengan produksi ternak. Lebih jauh, organisme mikroba yang tidak mampu berfotosintesis memanfaatkan material tumbuhan dan binatang mati sebagai makanan – mikroorganisme penyebab penyakit menggunakan jaringan hidup inang sebagai makanannya.

Oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dimanfaatkan dalam respirasi untuk mengoksidasi bahan organik yang terikat dalam fotosintesis dan untuk melepaskan karbon dan energi yang tersimpan di dalam karbohidrat. Sebaliknya, karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi bisa digunakan kembali sebagai pereaksi dalam fotosintesis. Sebagain energi yang dilepaskan dalam respirasi digunakan untuk menggerakkan fungsi-fungsi biologis, tetapi akhirnya semua energi yang dilepaskan oleh respirasi hilang ke lingkungan sebagai panas. Semua kehidupan tergantung pada input energi dari matahari dan pada siklus transformasi karbon dan oksigen. Pengelolaan terhadap transformasi ini untuk memproduksi bahan makanan manusia merupakan tujuan budidaya ikan dan pertanian secara umum.

Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton

Pada skala global, fotosintesis fitoplankton tahunan secara kasar sama dengan fotosintesis tahunan tumbuhan dan pepohonan di darat, padahal total biomas fitoplankton hanya 0,2 % dari total biomas tumbuhan darat. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Chisholm (1992) memberikan penjelasan untuk menjawab pertanyaan ini. Fitoplankton tumbuh sangat cepat. Mereka bisa menggandakan biomasnya dalam hitungan hari, sedangkan tumbuhan darat memerlukan waktu bulanan sampai tahunan.

Sebagai tambahan, Klochenko (1992) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ada korelasi antara konsentrasi klorofil-a, laju fotosintesis dan penimbunan nitrit dalam media kultur alga hijau-biru dan alga hijau yang secara algologi murni.

Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau

Penggolongan hasil-hasil fotosintesis menjadi produk berberat molekul rendah, lipida, polisakarida dan protein pada fitoplankton alami di sebuah danau eutrofik daerah beriklim-sedang (Nantua, Perancis) telah diteliti oleh Feuillade et al. (1992) setiap bulan selama satu tahun, dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan spesies fitoplankton yang ada. Selain itu, pengaruh intensitas cahaya terhadap produk akhir fotosintesis juga telah dipelajari dengan menggunakan kultur Oscillatoria rubescens, spesies dominan di danau ini. Selama periode pengadukan, variasi konsentrasi produk fotosintesis menurut kedalaman adalah terutama disebabkan oleh intensitas cahaya. Selama periode stratifikasi termal ketika Oscillatoria rubescens berkumpul di bawah termoklin, proporsi relatif produk fotosintesis adalah tergantung pada komposisi spesies dan ketersediaan zat hara. Pada lapisan Oscillatoria rubescens, penggabungan karbon adalah rendah pada lipida dan sangat tinggi pada polisakarida.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) laju fotosintesis dalam kolam ikan berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton dan intensitas cahaya. Dengan asumsi bahwa intensitas cahaya sama, produksi oksigen terlarut oleh fotosintesis akan meningkat sejalan dengan kelimpahan fitoplankton. Pada kolam ikan, fitoplankton merupakan sumber utama kekeruhan sehingga penetrasi cahaya umumnya berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton. Karena itu, fitoplankton terbatas pada kedalaman-kedalaman yang lebih dangkal ketika kelimpahannya meningkat, sehingga terjadi stratifikasi vertikal yang kuat dalam hal laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen terlarut.

Produksi primer kotor dengan laju 1 – 4 mg/liter oksigen per jam telah diamati di lapisan teratas kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Namun demikian, karena kelimpahan plankton, penetrasi cahaya sangat terbatas dan laju produktivitas primer menurun cepat sejalan dengan kedalaman. Titik kompensasi, yaitu kedalaman di mana jumlah oksigen yang dihasilkan fotosintesis tepat sama dengan jumlah oksigen yang dipakai untuk respirasi, berkisar dari 40 sampai 75 cm. Bila data ini dipadukan dengan kedalaman, maka produksi oksigen di kolam ikan berkisar dari 4 sampai 12 gram/m2 per hari. Untuk sebuah kolam dengan kedalaman rata-rata 1 meter, nilai-nilai ini bersesuaian dengan 4 – 12 mg/liter oksigen per hari.

Penelitian terhadap kolam-kolam ikan di Israel pada tahun 1962 menyimpulkan adanya stratifikasi vertikal yang tajam. Laju fotosintesis maksimum di kolam seperti ini berlangsung pada intensitas cahaya 1.500 – 8.000 kaki kandela (1 kaki kandela = 10,76 lux). Laju fotosintesis menurun cepat pada intensitas cahaya yang lebih rendah karena cahaya tidak memadai; fotosintesis sebesar 80 % dari maksimum pada 1.000 kaki kandela dan 50 % dari maksimum pada 500 kaki kandela. Intensitas cahaya di atas 8.000 kaki kandela menghambat fotosintesis; laju fotosintesis hanya 50 % dari maksimum pada 15.000 kaki kandela. Fotosintesis biasanya sekitar 80 – 90 % dari maksimum di dekat permukaan air, maksimum pada kedalaman 10 – 12 cm, dan sekitar 50 % dari maksimum pada kedalaman 30 cm. Berdasarkan hasil pengamatan ini disimpulkan bahwa ketika kolam ikan menjadi lebih kaya dengan zat hara, produktivitas primer meningkat pada lapisan-lapisan atas kolam tersebut, di mana kondisi cahaya menguntungkan, tetapi menurun pada lapisan-lapisan bawah, di mana penaungan oleh plankton menghambat masuknya cahaya ke lapisan air.

Pada hari yang cerah, laju fotosintesis meningkat cepat setelah matahari terbit dan tetap tinggi hingga matahari hampir terbenam, meskipun laju fotosintesis pada sore hari agak lebih rendah dibandingkan pada petang hari. Langit berawan menyebabkan penurunan laju fotosinesis.

Pola stratifikasi oksigen terlarut berdasarkan kedalaman mungkin berlawanan dengan yang dijelaskan di atas pada kolam di mana makrofita (vegetasi besar) tumbuh di bagian kolam yang dalam. Kolam ini memiliki sedikit fitoplankton sehingga laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi sering dijumpai pada hamparan gulma di bagian kolam yang dalam (Boyd, 1982).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton

Guilizzoni et al. (1991) melakukan penelitian selama setahun terhadap fitoplankton, produksi primer serta faktor-faktor fisika dan kimia yang berkaitan di sebuah danau eutrofik Lake Lugano di Italia. Berbeda dengan cara biasa menentukan karakteristik fitoplankton melalui berbagai struktur komunitas dan biomas, klorofil dan 12 karotenoid telah dianalisis dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Ketergantungan fotosintesis pada banyak faktor telah dievaluasi secara statistik. Ditemukan bukti adanya adaptasi-matahari dan peranan karotenoid dalam perlindungan. Tampaknya, variasi aktivitas dan efisiensi fotosintesis terutama tergantung pada rezim cahaya beberapa hari sebelum pengamatan serta pada kandungan selular klorofil dan karotenoid tunggal, yang konsentrasinya tergantung pada faktor-faktor fisik (terutama cahaya) dan ukuran sel rata-rata serta pada kumpulan spesies.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton

Moss (1980) menyatakan bahwa fotosintesis maksimum mungkin terjadi di lapisan permukaan air, tetapi pada hari-hari yang cerah biasanya fotosintesis maksimum ini terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh populasi fitoplankton di lapisan permukaan lebih sedikit daripada lapisan di bawahnya, karena hal ini juga terjadi bila konsentrasi fitoplankton di dalam semua lapisan air sama. Sinar ultraviolet, meskipun dengan cepat diserap oleh air dan senyawa organik terlarut, namun masih ada di lapisan permukaan air dalam jumlah yang cukup untuk menghambat laju fotosintesis.

Penggabungan nilai fotosintesis-kedalaman memberikan nilai produksi primer dalam kolom air. Nilainya tergantung pada beberapa faktor termasuk metode pengukuran yang digunakan. Fotosintesis kotor dan produksi akhir material sel baru merupakan proses yang terpisah, terkait bersama-sama, tetapi oleh berbagai faktor. Intensitas cahaya yang tinggi mungkin mendorong cepatnya pembentukan produk fotosintesis – ATP dan NADPH2 - serta besarnya produksi oksigen tetapi komponen sel yang penting (misal PO4, NO3) hanya sedikit dibentuk sehingga biomas baru tidak dapat dihasilkan. Sel berespirasi cepat tetapi pertumbuhan sel atau populasi hampir tidak terjadi. Metode C-14 dalam kasus ini mungkin memberikan nilai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah daripada bila laju fotosintesis ini diukur dengan metode oksigen. Bila intensitas cahaya tinggi dan tidak ada zat hara yang menjadi faktor pembatas maka kedua metode tadi akan menunjukkan laju fotosintesis yang tinggi.

Menurut Moss (1980) ada dua faktor yang membatasi aktivitas fitoplankton. Faktor-faktor pembatas-laju mempengaruhi laju fotosintesis kotor sedangkan faktor-faktor pembatas-hasil menentukan batas maksimal potensi produksi biomas. Karena itu mereka terutama mempengaruhi produksi neto fotosintesis.

Cahaya adalah faktor pembatas-laju yang paling umum. Intensitas cahaya pada lapisan air makin dalam makin berkurang secara eksponensial di bawah tingkat fotosintesis maksimum. Hal ini menyebabkan penyerapan cahaya juga berkurang secara eksponensial di dalam kolom air. Cahaya mungkin menjadi faktor pembatas-laju maupun pembatas-hasil pada lapisan air di dekat permukaan pada danau yang sangat subur di mana begitu banyak sel-sel alga dibentuk sehingga sel alga menaungi sel di bawahnya. Pada danau dan sungai dataran rendah yang keruh akibat banyaknya materi aloktonus (yakni, dari luar sistem), cahaya mungkin juga menjadi faktor pembatas-hasil (Moss, 1980).

Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Moss (1980) menyatakan bahwa faktor pembatas-hasil fotosintesis yang paling umum adalah faktor kimia. Berbagai jenis zat hara dibutuhkan oleh fitoplankton bagi pertumbuhannya tetapi beberapa zat hara ini terdapat dalam jumlah terbatas. Ada dua cara utama untuk mengetahui faktor pembatas potensial. Cara pertama adalah mengukur laju penyerapan karbon-14 dalam sampel plankton di mana ke dalam sampel ini dimasukkan berbagai jenis zat hara (nutrien) yang berpotensi sebagai faktor pembatas, bersama-sama dengan senyawa NaH14CO3. Peningkatan penyerapan karbon-14 secara tak wajar, yang diamati selama beberapa jam, berarti menunjukkan bahwa zat hara yang mendorong peningkatan ini adalah faktor pembatas. Banyak zat hara yang menyebabkan peningkatan laju penyerapan karbon-14, beberapa di antaranya diitemukan di danau dalam jumlah besar namun tidak bersifat racun. Penafsiran uji ini dengan demikian menjadi sulit. Untuk itu percobaan harus dilakukan lebih lama lagi agar dapat ditentukan apakah suatu zat hara memang dapat mendorong peningkatan produksi biomas fitoplankton ataukah tidak. Dengan cara ini jenis-jenis zat hara pembatas menjadi lebih sedikit. Fosfat, nitrat atau amonium, dan besi serta mangan, seringkali menjadi faktor pembatas di danau beriklim sedang, dan hasil ini diperkuat oleh percobaan di mana seluruh atau sebagian wilayah danau diberi pupuk. Di danau-danau Afrika tropis alami, senyawa nitrogen tampaknya lebih sering menjadi pembatas daripada fosfat. Hal ini mungkin menunjukkan melimpahnya batu-batu vulkanik yang kaya akan fosfat di daerah tangkapan-hujan (catchment area) di banyak danau Afrika, atau mungkin tingginya laju denitrifikasi di tanah daerah tangkapan-hujan danau-danau tropis tersebut.

Bab III
Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan


Pengadukan Sebagai Mekanisme Pendistribusian Zat Hara

Selain cahaya, zat-zat hara sangat dibutuhkan untuk mendukung produktivitas primer perairan . Distribusi zat hara di perairan sangat tidak merata. Sebagian besar zat hara ini menumpuk di bagian dasar perairan dan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kekurangan atau ketiadaan cahaya matahari. Pengadukan massa air yang mengangkat massa air dari lapisan dasar perairan menuju ke permukaan air menyebabkan zat-zat hara tersebut tersedia bagi produktivitas primer. Walaupun jarang, pengadukan juga bisa menurunkan produktivitas primer lapisan permukaan perairan jika massa air yang terangkat dari dasar tesebut miskin zat hara.

Pengadukan massa air merupakan salah satu faktor penting selain aerasi dalam sistem akuakultur intensif (Avnimelech et al., 1992). Dalam perairan alami, pengamatan terkini dan studi permodelan (Banas et al., 2007) menunjukkan bahwa pengadukan massa air akibat pasang-surut horizontal merupakan mekanisme utama penggelontoran (flushing) estuari.

Pengadukan Massa Air Laut Akibat Upwelling

Pengadukan merupakan kunci bagi dinamika samudra yang menciptakan arus dan pertukaran massa air lapisan dalam yang dingin dengan massa air permukaan yang lebih hangat. Proses ini mendistribusikan panas dari daerah lintang rendah ke daerah lintang tinggi dan membawa zat hara dari perairan dalam ke permukaan. Banas et al. (2007) menyimpulkan bahwa pengadukan massa air yang berupa upwelling memegang peranan penting dalam ekologi estuaria. Upwelling ini tidak hanya membawa zat hara tetapi juga plankton dari samudra. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa spesies plankton asal-samudra mendominasi estuaria selama periode produksi primer yang tinggi (> 3000 mg C per m2 per hari) maupun selama periode produktivitas rendah.

Banas et al. (2007) juga melaporkan bahwa selama upwelling yang kuat salinitas air permukaan meningkat menjadi 31 promil sedangkan konsentrasi klorofil naik dua kali lipat. Fitoplankton yang masuk ke estuaria ini dengan cepat dihabiskan oleh organisme pemakan plankton.

Di beberapa teluk, misalnya Teluk Willapa, AS, pengadukan massa air oleh pasang-surut meningkatkan impor fitoplankton dari samudra. Di Teluk Saldhana, Afrika Selatan, produksi primer selama musim panas dikendalikan oleh pengadukan baik oleh angin maupun oleh pasang-surut, yang membawa zat hara ke lapisan permukaan air yang miskin zat hara (Banas et al., 2007).

Hasegawa et al. (2008) mempelajari fenomena “efek massa pulau” di sekitar pulau kecil dekat Kuroshio, Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa difusi SCM (Subsurface Chorophyll-a Maximum atau maksimum klorofil-a bawah-permukaan) membutuhkan turbulensi/pusaran air di perairan sekitar pulau tersebut. Turbulensi ini menyebabkan teraduknya massa air yang kaya zat hara.

Di laut ketika stratifikasi masa air terbentuk di lapisan yang rendah pada musim panas maka transport horizontal, yakni sirkulasi yang mengaduk air upwelling, merupakan faktor fisik utama yang mengendalikan produksi primer perairan (Banas, et al., 2007). Di danau tropis yang kecil dan dangkal, stratifikasi termal hanya terbentuk selama matahari bersinar. Starifikasi ini hilang pada malam hari karena air pemukaan menjadi dingin sehingga terjadi percampuran antara masa air permukaan dengan massa air dasar danau. Berulang-ulangnya kejadian ini mencegah terjadinya ledakan populasi komunitas biotik (Satyanarayana et al., 2008).

Pengaruh Pengadukan Massa Air Terhadap Produktivitas Primer Perairan

Tang et al. (2003) meneliti distribusi konsentrasi klrofoil-a dan kondisi perairan di teluk Tonkin, Laut Cina Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan antara ledakan populasi fitoplankton pada musim dingin dengan pengadukan massa air laut secara vertikal yang diakibatkan oleh angin timur laut. Pengadukan vertikal massa air laut ini membawa zat-zat hara dari dasar laut menuju ke permukaan laut yang selanjutnya mendorong timbulnya ledakan populasi fitoplankton.

Peran pengadukan dalam mendistribusikan zat hara yang penting bagi produktivitas primer perairan ditunjukkan oleh hasil penelitian Nakayama et al. (2010). Mereka mengukur konsentrasi besi (Fe) terlarut dan total besi terlarut serta kadar zat hara di perairan permukaan daerah Oyashio (Pasifik Utara barat-laut) sebelum dan selama ledakan populasi fitoplankton musim semi (Maret sampai Mei 2007). Selama periode sebelum ledakan populasi (pertengahan Maret), mereka mengamati bahwa konsentrasi besi terlarut (0.3–0.5 nM) dan total besi terlarut (3–5 nM ), zat hara makro (10–15 µM NO3+NO2, 1.0–1.5 µM PO4 dan 20–30 µM Si(OH)4) serta klorofil a (Chl-a, 0.3–0.4 µg/l) adalah seragam secara vertikal pada kedalaman air 125 sampai 150 m akibat pengadukan vertikal selama musim dingin. Konsentrasi klorofil a yang tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi besi dan zat hara makro. Mekanisme paling penting yang mentranspor zat besi ke lapisan permukaan laut, yang mengatur produksi primer selama ledakan populasi musim semi di daerah Oyashio, adalah masuknya massa air yang kaya besi dan zat hara akibat proses pengadukan secara vertikal dan lateral (horizontal) selama musim semi dan musim dingin.

Zat-zat hara yang dibutuhkan fitoplankton antara lain C, N, P, Fe, Si. Jika salah satu unsur ini tidak ada dalam air yang tercampur, maka produktivitas primer akan berkurang. Pengadukan massa air dan upwelling membawa pasokan baru zat-zat hara tersebut dari bagian laut yang lebih dalam.

Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?

Sebuah hipotesis menarik baru-baru ini dikembangkan bahwa produktivitas primer di sebagian besar Samudra Pasifik dibatasi oleh input besi. Prahl (1992) menyajikan data geokimia organik dari sebuah inti sedimen di salah satu wilayah ini, yakni di Pasifik tropis timur, sebagai bukti yang mendukung hipotesis tersebut. Data menunjukkan bahwa total organik karbon (TOC), terutama yang berasal dari produktivitas laut, mencapai maksimum pada 18 ka dan ini sangat berkorelasi dengan input debu eolia. Data ini menguatkan dugaan bahwa perubahan ekologis yang dialami komunitas fitoplankton terjadi di perairan permukaan selama periode peralihan glasial akhir sebagai akibat perubahan pasokan debu eolia dan ketersediaan besi.

Pola Harian Kedalaman Pengadukan dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Danau

Pengaruh pengadukan akibat-turbulensi terhadap proses-proses metabolik fitoplankton telah diteliti oleh Nixdorf et al., (1992) melalui pengukuran kedalaman dan biologi di sebuah danau dangkal eutrofik Grosse Mueggelsee (kedalaman rata-rata 4,9 m). Transpor alga vertikal di lapisan yang teraduk disimulasikan dengan “lift method” (metode pengangkatan) yang memungkinkan penyesuaian kedalaman dan kecepatan gerakan partikel dalam kisaran yang luas (0,5 – 10 m, 0,03 – 3 cm/detik). Secara umum mereka menyimpulkan bahwa pengadukan akibat-turbulensi meningkatkan produksi primer harian berdasarkan luas. Produksi oksigen neto di dalam botol yang bersirkulasi meningkat sampai 3 kali dibadingkan pelepasan-oksigen oleh alga berdasarkan luas yang diinkubasikan pada satu posisi yang tetap. Hal ini terbukti terutama selama inkubasi sore hari yang menunjukkan pentingnya pengadukan selama siang hari.

Pengadukan Massa Air Akibat Angin

Pengadukan juga mempengaruhi berapa banyak cahaya yang diterima fitoplankton. Jika angin mengaduk laut sehingga lapisan air yang teraduk meluas sampai jauh di bawah zona kompensasi (zona dimana produksi oksigen fotosintetik seimbang dengan konsumsi oksigen), fitoplankton akan terdorong ke bawah lapisan yang kekurangan cahaya, sehingga produksi neto akan lebih rendah. Di wilayah laut di mana kecepatan angin bervariasi dari musim ke musim, produktivitas primer naik dan turun sesuai dengan kondisi tersebut.

Angin selatan yang bertiup di Teluk Willapa, AS, pada musim panas menyebabkan terjadinya upwelling pesisir yang membawa massa air yang dingin, bergaram dan kaya-zat hara ke permukaan air dan estuaria . Ledakan populasi fitoplankton di pesisir berlangsung selama kondisi upwelling ini. Sementara itu, angin utara yang bertiup pada musim dingin menyebabkan downwelling (penurunan massa air ke dasar perairan) di pesisir yang menyebabkan massa air permukaan menjadi lebih hangat, lebih tawar namun miskin zat hara dan biomas (Banas, et al., 2007). Pada kasus ini pengadukan massa air menyebabkan penurunan produktivitas primer di lapisan permukaan laut.

Referensi :


Avnimelech, Y., Mozes, N. and Weber, B. 1992. Effects of aeration and mixing on nitrogen and organic matter transformations in simulated fish ponds. Aquaculture Engineering, Vol. 11, no. 3, pp. 157 – 169, ISSN 0144-8609

Banas, N.S., Hickey, B.M., Newton, J.A. and Ruesink, J.L. 2007. Tidal exchange, bivalve grazing and patterns of primary production in Willapa Bay, Washington, USA. Marine Ecology Progress Series, Vol. 341, pp. 123 – 139

Barufi, J.B., M.T. Mata, M.C. Oliveira and F.L. Figueroa. 2012. Nitrate Reduces The Negative Effect of UV Radiation on Photosynthesis and Pigmentation in Gracilaria tenuistipitata (Rhodophyta): The Photoprotection Role of Mycosporine-Like Amino Acids. Phycologia, Vol. 51, No. 6, pp. 636 – 648

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Chisholm, S.W. 1992. What Limits Phytoplankton Growth ? OCEANUS, Vol. 35, No. 3, pp. 36 – 46

Dellarossa, S.V. and A. Silva Cifuentes. 1991. Photosynthesis-Illumination on Species of Dunaliella and Native Strains of D. salina (Dunal) Teodoresco. BOL. SOC. BIOL. CONCEPCION, No. 62, pp. 83 - 88

Fee, E.J., J.A. Shearer, E.R. DeBruyn and E.U. Schindler. 1992. Effects of Lake Size on Phytoplankton Photosynthesis. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 49, No. 12, pp. 2445 - 2459

Feuillade, M., J. Feuillade and J.P. Pelletier. 1992. Photosynthate Partitioning in Phytoplankton Dominated by Cyanobacterium Oscillatoria rubescens. Archives of Hydrobiology, Vol. 125, No. 4, pp. 441 – 461

Guilizzoni, P., A. Lami, D. Ruggiu, P. Panzani, B. Polli, M. Simona and A. Barbieri. 1991. Ecology of Phytoplankton in A Eutrophic Lake (Lago di Lugano). DOC. IST. ITAL. IDROBIOL., No. 30, pp. 40 - 43

Hasegawa, D., Yamazaki, H., Ishimaru, T., Nagashima, H. and Koike, Y. 2008. Physical-Biological Interactions in the Upper Ocean : Apparent phytoplankton bloom due to island mass effect. Journal of Marine Systems, Vol. 69, Issues 3-4, pp 238-246

Klochenko, P.D. 1992. Relationship Between Photosyntehsis and Nitrite Accumulation in Algal Culture Media. Hydrobiology Journal, Vol. 28, No. 4, pp. 26 – 31

Madsen, T.V., K. Sand-Jensen and S. Beer. 1993. Comparison of Photosynthetic Performance and Carboxylation Capacity in a Range of Aquatic Macrophytes of Different Growth Form. Aquatic Botany, Vol. 44, No. 4, pp. 373 - 384

Moss, B. 1980. Ecology of Freshwaters. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 332 pp.

Nakayama, Y., Kuma, K., Fujita, S., Sugie, K. dan Ikeda, T. 2010. Temporal variability and bioavailability of iron and other nutrients during the spring phytoplankton bloom in the Oyashio region. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, Volume 57, Issues 17-18, pp. 1618-1629

Nielsen, S.L. and K. Sand-Jensen. 1993. Photosynthetic Implications of Heterophylly in Batrachium peltatum (Schrank) Presl. Aquatic Botany, Vol. 44, No. 4, pp. 361 – 371

Nixdorf, B., Pagenkopf, W.-C. and Behrendt, H. 1992. Diurnal patterns of mixing depth and its influence on primary production in a shallow lake. Int. Rev. Cesamt. Hydrobiol., Vol. 77, no.3, pp. 349 – 350

Satyanarayana, S.K.V. and coauthors. 2008. Manage Book 25 C : Sustainable Fisheries Development. Block-II : Sustainable Open Water Fisheries Development. National Institute of Agricultural Extension Management (MANAGE). Andhra Pradesh. India. 197 pp.

Tang, D.L., Kawamura, H., Lee, M.-A. and Van Dien, T. 2003. Seasonal and spatial distribution of chlorophyll-a concentrations and water conditions in the Gulf of Tonkin, South China Sea. Remote Sensing of Environment, Volume 85, Issue 4, pp. 475-483

Stel’makh, L.V. 1992. Photosynthetic Rates of Two Size Fractions of Phytoplankton in Eutrophic Waters of Sevastopol Bay. Hydrobiological Journal, Vol. 28, No. 6, pp. 13 – 20

St. Jonsson, G. 1992. Photosynthesis and Production of Epilithic Algal Communities in Thingvallavatn. Oikos, Vol. 64, No. 1 – 2, pp. 222 - 240