Rabu, 31 Januari 2018

Bioekologi Moluska


Bab I
Bioekologi, Keragaman Spesies dan Distribusi Moluska


Bioekologi Moluska

Menurut Hegner (1946) sebagian besar moluska mensekresi cangkang dari bahan kapur untuk melindungi tubuhnya yang lunak dari binatang-binatang lain dan dari kerusakan fisik karena lingkungan seperti pukulan ombak atau kekeringan. Tubuh moluska diselimuti oleh suatu selubung membran yang disebut mantel. Mantel inilah yang mensekresi cangkang. Moluska tersebar luas hampir di setiap tempat, di darat dan di laut. Siput (gastropoda) hidup di atas tanah dan bernafas dengan semacam insang. Sungai dan kolam merupakan habitat yang disukai banyak jenis siput, baik yang bernafas dengan insang maupun paru-paru. Moluska biasanya memakan vegetasi atau tumbuhan dan binatang mikroskopis, tetapi ada beberapa jenis yang memangsa binatang besar. Moluska meliputi sekitar 80.000 spesies yang telah dikenal.

Peranan Moluska Dalam Siklus Zat Kapur

Menurut Welch (1952) di antara binatang penghuni perairan darat, moluska memberikan sumbangan paling penting sebagai pembentuk kapur. Kalsium karbonat yang digunakan dalam pembentukan cangkang moluska pada akhirnya, setelah binatangnya mati, jatuh ke dasar perairan; dan di perairan dangkal yang dihuni populasi besar kerang dan siput, cangkang ini berperanan penting dalam membentuk endapan dasar perairan.

Penyebaran Gastropoda dan Bivalva

Menurut Hickman et al. (2001) moluska ditemukan dalam kisaran habitat yang luas, dari daerah tropis sampai laut kutub, di tempat dengan ketinggian melebihi 7.000 meter, di kolam, danau dan sungai, di hamparan lumpur, di pantai dan di samudra terbuka. Kebanyakan di antara mereka hidup di laut dengan pola hidup yang beragam, termasuk pemakan dasar perairan (bottom feeder), peliang, pengebor dan pelagis. Di laut gastropoda umum dijumpai baik di zona litoral maupun di dasar laut yang dalam, bahkan ada yang hidup pelagis di permukaan laut. Beberapa gastropoda beradaptasi terhadap perairan payau dan yang lainnya terhadap perairan tawar. Di darat mereka dibatasi oleh beberapa faktor seperti kandungan mineral dalam tanah serta suhu ekstrim, kekeringan dan keasaman tanah. Kebanyakan bivalva hidup di laut, tetapi banyak pula yang menghuni perairan payau, sungai, kolam dan danau. Sebagian besar bivalva hidup menetap dan merupakan pemakan-penyaring (filter feeder) yang menangkap makanan yang dibawa arus air yang ditimbulkan oleh insang.

Moluska Purba Penghuni Karang dan Laguna

Pada periode interglasial akhir (sekitar 125.000 tahun yang lalu) terjadi pengangkatan terumbu karang Falmouth Formation di Jamaika yang mengandung berbagai jenis fauna moluska bentik. Koleksi moluska dalam jumlah banyak telah dikumpulkan dari dua lokasi terumbu yang kondisi lingkungannya bertolak belakang. Lumpur berkapur asal laguna telah sangat mengeras, yang menyebabkan bias ke arah individu-individu besar, sedangkan sedimen berpasir yang lembek berasal dari rangka karang dan memungkinkan menyampling banyak mikromoluska. Identifikasi terhadap lebih dari spesimen bivalva, gastropoda dan scapopoda menunjukkan bahwa fauna moluska dari setiap lingkungan didominasi oleh spesies yang berbeda. Berdasarkan jumlah, fauna rangka karang didominasi oleh mikrogastropoda Caecum pulchellum dan gastropoda epifauna lain, sedangkan Bulla striata dan cerithidae mendominasi sedimen laguna. Hanya Cerithium algicola yang menyusun lebih dari 2 % fauna di kedua lokasi (Donovan dan Littlewood, 1993).

Moluska Purba Penghuni Karang dan Laguna

Pada periode interglasial akhir (sekitar 125.000 tahun yang lalu) terjadi pengangkatan terumbu karang Falmouth Formation di Jamaika yang mengandung berbagai jenis fauna moluska bentik. Koleksi moluska dalam jumlah banyak telah dikumpulkan dari dua lokasi terumbu yang kondisi lingkungannya bertolak belakang. Lumpur berkapur asal laguna telah sangat mengeras, yang menyebabkan bias ke arah individu-individu besar, sedangkan sedimen berpasir yang lembek berasal dari rangka karang dan memungkinkan menyampling banyak mikromoluska. Identifikasi terhadap lebih dari spesimen bivalva, gastropoda dan scapopoda menunjukkan bahwa fauna moluska dari setiap lingkungan didominasi oleh spesies yang berbeda. Berdasarkan jumlah, fauna rangka karang didominasi oleh mikrogastropoda Caecum pulchellum dan gastropoda epifauna lain, sedangkan Bulla striata dan cerithidae mendominasi sedimen laguna. Hanya Cerithium algicola yang menyusun lebih dari 2 % fauna di kedua lokasi (Donovan dan Littlewood, 1993).

Keragaman Spesies Moluska di Zona Intertidal Berbatu

Roman Contreras et al. (1991) memberikan informasi mengenai moluska pantai yang dikumpulkan pada bulan Februari, Juni dan Agustus1984 di daerah pantai berbatu di Teluk Chamela, Meksiko. Lima puluh lima spesies moluska telah dikumpulkan dengan tangan, alat keruk (dredge) dan metode transek. Dua puluh sembilan spesies dikumpulkan dengan meode terakhir ini, 26 di antaranya adalah gastropoda dan hanya tiga spesies bivalva. Spesies moluska yang paling melimpah adalah Littorina aspera Philippi, Siphonaria palmata Carpenter, Nerita (R.) scabricosta Lamarck, Septifer zeteki Hertlein & Strong, Littorina modesta Philippi dan Nerita tuniculata Menke. Littorina aspera menghuni daerah di antara zona supralitoral dan garis surut maskimum, sedangkan Littorina modesta terbatas pada zona mesolitoral. Keragaman moluska paling tinggi adalah di daerah pantai berbatu dengan substrat yang beraneka ragam, dan keragaman rendah ditemukan di daerah berbatu-batu licin yang terlindung-sebagian. Karakeristik pantai berbatu adalah penting dalam pola-pola distribusi spesies. Coralliophila (C.) macleani Shasky, Nassarius limacinus (Dall), Ruthia mazatlanica Shasky dan Stylocheilus longicauda (Quoy & Galmard) adalah spesies-spesies moluska yang baru pertama ditemukan di Teluk Chamela.

Keragaman Spesies Gastropoda dan Bivalva di Garis Pantai dan Terumbu Karang

Gonzales et al. (1991) menganalisis 298 spesies moluska (99 bivalva dan 199 gastropoda) dari 33 lokasi sepanjang garis pantai dan terumbu karang Semenanjung Yucatan, Meksiko, dengan tujuan mengetahui kisaran geografis dan keragaman spesies. Daerah terumbu karang menunjukkan kekayaan spesies yang paling banyak. Famili dengan jumlah spesies terbanyak adalah Tellinidae, Arcidae, Mytilidae dan Lucinidae untuk lamellibranch (bivalva), sedangkan famili Fissurellidae dan Muricidae memiliki jumlah spesies terbanyak di antara gastropoda.

Habitat dan Distribusi Cephalopoda

Menurut Hickman et al. (2001) kelas cephalopoda mencakup cumi-cumi, gurita, nautilus dan sotong. Kisaran ukuran cephalopoda adalah mulai 2 atau 3 cm ke atas. Cumi-cumi yang umum dijual, Loligo, panjangnya sekitar 30 cm. Cumi-cumi raksasa Architeuthis adalah invertebrata terbesar yang kita kenal. Semua cephalopoda hidup di laut dan merupakan pemangsa aktif. Mereka tampaknya peka terhadap salinitas. Beberapa dijumpai di Laut Baltik, yang airnya kurang asin. Cephalopoda ditemukan di berbagai kedalaman laut. Gurita sering terlihat di zona intertidal, di antara celah-celah batu, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di bagian laut yang dalam. Cumi-cumi yang lebih aktif jarang dijumpai di perairan yang sangat dangkal, dan kadangkala tertangkap pada kedalaman 5.000 meter. Nautilus biasanya ditemukan di dekat dasar laut pada kedalaman 50 sampai 560 meter, dekat pulau-pulau di Pasifik barat daya.


Bab II
Anatomi Gastropoda


Aneka jenis cangkang gastropoda akan dapat dilihat oleh orang yang mengunjungi pantai laut. Ukurannya bervariasi mulai dari mikroskopis sampai seukuran keong raksasa Strombus gigas. Warnanya juga bervariasi dari biru suram dan abu-abu sampai aneka warna pelangi yang terlihat bila sisi dalam cangkang kerang abalon digosok. Penampilan dan tekstur cangkang luar bevariasi, ada yang bergurat-gurat, bergelombang, berbintil-bintil, berduri dan ada yang seperti punggung bungkuk, demikian pula dengan sisi dalam cangkangnya. Ada banyak spesies gastropoda yang tidak memiliki cangkang; kelompok ini memiliki permukaan luar tubuh berwarna indah dan bentuk yang fantastis, seperti pada nudibranchia dan pteropoda.

Larva trochopore dan veliger diproduksi oleh gastropoda kecuali yang hidup di air tawar dan darat di mana telur langsung berkembang tanpa melalui tahap larva. Radula berkembang sangat baik, gigi individual penyusun radula digunakan dalam mengidentifikasi gastropoda.

Untuk mempelajari morfologi dan anatomi luar siput secara umum kita bisa mengamati Helix, siput pulmonata yang sudah cukup maju perkembangannya. Helix sangat sering dijumpai dan mudah dipelajari. Ia biasa menghuni kebun. Siput ini mencari makan pada malam hari, atau tepat setelah hujan lebat turun sementara tubuhnya masih lembab. Ia beristirahat di tempat persembunyiannya pada siang hari. Ia merupakan hewan herbivora dan melakukan hibernasi (tidur musim dingin) di dalam tanah selama musim dingin.

Siput yang masih hidup bisa dimatikan dengan memasukkannya ke dalam botol yang penuh berisi air. Tutup mulut botol rapat-rapat dan hilangkan semua gelembung udara, maka ia akan mati dalam waktu singkat.

Amati struktur cangkang dengan mempelajari spiral suture, garis pertumbuhan dan aperture (lubang cangkang). Dengan hati-hati keluarkan tubuh binatang dari cangkangnya dan perhatikan spiral, sumbu pusat di sekitar mana tubuh siput menggulung. Ini disebut columella. Identifikasi bagian-bagian cangkang seperti periostrakum yang berpigmen, bagian tengah yang berwarna putih dan lapisan dalam yang mengandung mutiara. Amati bagian punggung (perut) yang bergulung, kepala dan kaki setelah tubuh siput dikeluarkan dari cangkang. Kepala mempunyai dua pasang tentakel. Tentakel anterior (depan) lebih pendek daripada tentakel posterior (belakang). Tentakel posterior mempunyai sebuah mata pada ujungnya. Carilah lokasi mulut beserta bibirnya (dua lateral dan satu ventral). Lubang saluran kelamin biasanya ada di bawah dan sedikit di belakang pangkal tentakel posterior kanan.

Perhatikan bentuk dan gerakan kaki pada siput hidup. Cari letak rongga mantel yang penuh dengan pembuluh yang merupakan alat respirasi udara. Ia terletak di bagian anterior pada punggung dan mungkin bisa dilihat dengan mengangkat mantel. Ruang eksternal kecil dari ruang respiratori dikenal sebagai pneumostome. Bagian atas anterior rongga tampak menebal menjadi sebuah “collar”. Ia berfungsi mensekresi bahan pembentuk cangkang di mana bahan ini ditambahkan ke tepi aperture. Letakkan siput di atas papan bedah, celupkan ke dalam air, dan potong melalui sisi kiri bagian atas rongga mantel sehingga tampak bagian-bagian dalam tubuh siput. Cari letak jantung dan pembuluh darah yang keluar dari jantung. Bedah dengan hati-hati rongga perikardial sehingga jantung terlihat jelas. Perhatikan auricle posterior yang berdinding tipis dan ventrikel berdinding tebal. Ginjal terletak di bagian atas rongga mantel posterior. Perhatikan dengan cermat saluran nefridial yang muncul dari bagian anterior ginjal.

Singkirkan dengan hati-hati selubung mantel yang menutupi viscera dan pisah-pisahkan organ. Buat irisan memanjang di bagian tengah dorsal melalui dasar rongga mantel dan teruskan irisan tadi sampai ke ujung kepala. Pembedahan ini akan menyebabkan kita dapat melihat rongga perivisceral atau haemocoel dan organ-organ yang ada di dalamnya. Perhatikan massa muscular buccal (rongga mulut berotot). Di sebelah posterior dari massa buccal terdapat cincin saraf yang dikelilingi oleh jaringan penghubung. Kerongkongan yang ramping memanjang dari massa muscular buccal melalui cincin saraf menuju ke bagian saluran pencernaan makanan yang bertugas mengumpulkan makanan. Kelenjar air liur kiri dan kanan akan dapat ditemukan pada kedua sisi organ pengumpul makanan tersebut Sebuah saluran memanjang ke arah anterior dari setiap kelenjar tadi melalui cincin saraf menuju ke massa buccal. Organ pengumpul makanan membawa makanan menuju ke lambung. Lambung ini terletak pada belokan visceral kedua. Saluran-saluran dari kelenjar pencernaan kiri dan kanan masuk ke dalam lambung. Kelenjar kiri berukuran lebih besar dan terletak di sepanjang sisi lambung. Kelenjar kanan yang lebih kecil terletak di bagian puncak visceral dan putaran cangkang terakhir. Usus menjulur dari lambung dan melengkung membentuk huruf “s” di daerah lambung sebelum menuju ke rektum.

Pisahkan organ reproduksi dari saluran pencernaan dan cari lokasi ovo-testis protandri pada putaran visceral dalam di depan kelenjar pencernaan kanan. Sebuah saluran yang menggulung (yakni saluran hermafroditik) memanjang menuju ke pangkal sebuah kelenjar albumen besar yang terletak di dekat daerah lambung. Pada pintu masuknya terdapat sebuah rongga fertilisasi di mana telur dibuahi dan kemudian memperoleh albumen. Ada sebuah saluran yang lebih lebar keluar dari kelenjar albumen. Saluran ini mempunyai dua bagian, satu bagian berupa sacciform yang membentuk cangkang berkapur bagi telur, sedang bagian lain merupakan saluran licin yang mengangkut sperma. Sebuah sekat yang tak sempurna memisahkan unit-unit fungsional saluran lebar tadi. Di bagian anterior, saluran tersebut terpisah menjadi oviduct dan vas deferens. Yang terakhir ini menuju ke penis yang dapat dijulurkan. Oviduct dihubungkan dengan saluran spermathecal panjang yang melalui bagian posterior dan berakhir menjadi sebuah spermatheca bulat yang terletak di dekat kelenjar albumen. Spermatheca menyimpan sel sperma yang berasal dari siput lain. Sebuah diverticulum panjang-sempit biasanya ditemukan memasuki saluran spermathecal. Oviduct menuju ke vagina yang memiliki sepasang kelenjar lendir bercabang yang memasukinya pada salah satu sisi dan sebuah kantung penghasil jarum berotot (muscular dart sac) ada di dekatnya. Kantung ini mensekresi “jarum” berzat kapur yang ditembakkan ke sisi tubuh siput lain. Diduga bahwa “jarum” ini berfungsi sebagai perangsang seksual.

Anatomi Usus Gastropoda Pomacea

Siput Prosobranchia, famili Pilidae (= Ampullariidae) adalah gastropoda air tawar yang bersifat amfibi, yang terdapat di India, Afrika dan Amerika Selatan. Pila terdapat di rawa-rawa dataran rendah dan perairan yang mengalir tenang di India dan Afrika, serta dilaporkan juga hidup pada kondisi estuaria. Binatang ini memakan potongan-potongan besar tumbuhan air seperti Pistia dan Vallisneria. Genus asal Afrika Lanistes dan genus asal Amerika Selatan Pomacea mempunyai kebiasaan yang mirip. Turbinicola adalah genus asal India yang sangat mirip dengan Pila; ia hanya hidup di kali-kali pegunungan berarus-deras di mana tidak ada tumbuhan air berdaun-lebar. Makanannya adalah alga dan detritus, dan gigi radulanya mempunyai bentuk mirip sekop. Baik Pila maupun Pomacea juga memakan sisa-sisa binatang.

Struktur dan fungsi usus Pomacea canaliculata (D’Orb) telah dipelajari dengan menggunakan siput hidup dan siput yang telah diawetkan. Usus siput pilidae ternyata dikhususkan untuk memakan makanan berukuran besar (makrofagus), biasanya makanan tersebut berupa tumbuhan angiosperma air. Mid-oesophagus (kerongkongan-tengah) merupakan tempat penyimpanan makanan dan perutnya mempunyai gizzard, untuk melumatkan makanan, yang berkembang dari daerah gastric shield (selubung perut). Ini merupakan tempat bagi pencernaan ekstraseluler; tidak terdapat pencernaan intraseluler pada bagian usus manapun. Saluran-saluran kelenjar pencernaan bermuara ke bagian perut tertentu, yakni vestibula, yang secara histologis serupa dengan mereka. Proses pemadatan feses dimulai pada bagian yang disebut style sac, dan disempurnakan di dalam usus. Tidak ada bukti bahwa absorsi terjadi di dalam epitelium perut atau usus; produk pencernaan yang terlarut akan dibawa ke dalam kelenjar pencernaan , yang merupakan tempat utama penyerapan sari makanan. Aktivitasnya dibantu oleh sel-sel amubosit yang memasuki lumen style sac dan usus. Ada dua tipe sel di dalam kelenjar ini, satu tipe yang menghasilkan enzim pencernaan dan menyerap produk produk pencernaan yang terlarut, tipe lain berfungsi dalam proses ekskresi. Tidak ada tanda-tanda fagositosis (sifat memakan sel lain) pada kedua tipe sel tersebut. Aktivitas ekskresi ginjal dibantu lebih lanjut oleh kelenjar anal.


Bab III
Pernafasan Udara dan Perilaku Makan Siput Amfibi (Gastropoda-Ampullaridae)


Konsumsi Oksigen di Air dan di Udara Pada Siput Pomacea dan Marisa

Gastropoda, sebagaimana binatang ektoterm (berdarah dingin) lainnya, menunjukkan peningkatan konsumsi oksigen sejalan dengan peningkatan suhu. Hal ini telah diperlihatkan pada siput Prosobranchia dan Pulmonata. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan bobot badan siput diikuti oleh peningkatan konsumsi oksigen, sedangkan beberapa penelitian lain menunjukkan tidak adanya hubungan yang jelas antara bobot badan siput dan konsumsi oksigen. Oksigen yang diambil per unit bobot badan siput menurun dengan meningkatnya ukuran pada 10 spesies Prosobranchia dan Pulmonata akuatik, tetapi hal ini tidak berlaku bagi Pulmonata darat seperti Helix pomacea dan Cepea hortensis (Freiburg dan Hazelwood, 1977).

Freiburg dan Hazelwood (1977) mempelajari konsumsi oksigen pada dua jenis siput amfibi, Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis. Kedua spesies dapat melakukan respirasi di dalam air maupun di udara terbuka. Analisis menujukkan bahwa pengambilan oksigen di dalam air dan di udara terbuka berbeda nyata pada Marisa, tetapi tidak berbeda nyata pada Pomacea. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan laju respirasi kedua spesies. Gastropoda kecil menggunakan lebih banyak oksigen (mikroliter/gram berat kering/jam) dibandingkan siput besar. Akibatnya, per-siput pada berbagai berat badan mempunyai nilai total konsumsi oksigen yang sama. Pomacea yang lebih besar memperlihatkan standard deviasi dan standard error yang lebih rendah pada masing-masing suhu, yang berarti bahwa konsumsi oksigen gastropoda besar tidak begitu terpengaruh oleh peningkatan suhu. Analisis statistik memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi oksigen menurut jenis kelamin pada Pomacea paludosa. Di laboratorium Pomacea paludosa lebih sering melakukan respirasi aerial (mengambil oksigen langsung dari udara) dibandingkan Marisa cornuarietis.

Rata rata konsumsi oksigen pada siput Pomacea paludosa menunjukkan peningkatan dengan naiknya suhu, dengan persentase sedikit menurun pada suhu tertinggi (nilai Q10 10-20 °C = 2,58 dalam air dan 2,97 di udara). Ini sesuai dengan gambaran kurva Krogh yang juga ditunjukkan oleh gastropoda lain. Marisa cornuarietis juga menunjukan peningkatan konsumsi oksigen dengan naiknya suhu tetapi dengan kecepatan yang agak lebih rendah (nilai Q10 10-20 °C = 1,18 di air dan 1,03 di udara).

Nilai Q10 untuk Pomacea pada suhu antara 10 – 20 °C lebih tinggi daripada antara suhu 20 – 30 °C baik di air maupun di udara. Nilai Q10 juga lebih tinggi pada suhu rendah untuk siput pulmonata baik di daerah tropis maupun di kutub utara serta pada pulmonata air tawar Physa hawnii. Sebaliknya, nilai Q10 untuk Marisa pada suhu 20 – 30 °C lebih tinggi daripada antara 10 – 20 °C baik pada respirasi udara maupun respirasi akuatik.

Siput Pomacea sangat beradaptasi untuk melakukan respirasi di darat maupun di dalam air. Penyerapan oksigen pada suhu 35 °C di udara berkurang dan mungkin menunjukkan stres respirasi yang lebih hebat pada suhu udara yang lebih tinggi. Sebaliknya, siput Marisa cornuarietis tampaknya lebih beradaptasi untuk melakukan respirasi di dalam air.

Suhu 10 – 35 °C dapat ditolerir dengan baik dan kecepatan respirasi pada gastropoda, baik di udara maupun di dalam air, kembali normal setelah dibiarkan pada suhu normal selama 24 jam. Pada suhu 40 °C, kedua spesies mati. Suhu maksimum yang dapat diterima adalah 35 °C (suhu letalnya 40 °C) untuk kedua spesies tersebut serta spesies-spesies lain. Suhu maksimum yang dapat ditolerir gastropoda adalah 38 °C untuk Physa virginiana, yang hidup di mata air panas, 35 °C (letal pada 43 °C) untuk suput Littorina littores, 37 °C (letal pada 41 °C) untuk Australorbis glabratus, 31 °C untuk dua siput limpet air tawar dan antara 40 – 45 °C untuk Pomacea urceus. Suhu letal 40 °C ditemukan pada pulmonata arktik Succinea strigata. Pomacea paludosa mampu hidup pada suhu rendah 5 °C. Kemampuan mentolerir kisaran suhu yang lebar serta kemampuan melakukan respirasi di udara maupun di dalam air mempertinggi daya hidup Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis di perairan tawar mengalir serta di kolam-kolam sementara.

Hubungan antara berat badan dan konsumsi oksigen menunjukkan bahwa logaritma pengambilan oksigen bervariasi terbalik dengan logaritma berat badan kedua spesies pada suhu 10 °C. Sementara siput kecil menggunakan lebih banyak oksigen daripada siput besar, setiap individu siput dengan berat bervariasi mempunyai total konsumsi oksigen yang serupa.

Pada Pomacea paludosa, perbandingan konsumsi oksigen siput besar dan siput kecil menunjukkan bahwa siput besar memiliki tingkat penyerapan oksigen yang lebih rendah pada setiap 6 suhu yang berbeda baik di dalam air maupun di udara. Gastropoda besar tampaknya kurang dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Siput Pomacea dewasa yang sedang melakukan estivasi (tidur musim panas) juga dapat mentolerir suhu yang lebih tinggi daripada siput muda.

Siput Marisa besar mempunyai tingkat penyerapan oksigen yang lebih rendah di dalam air tetapi tidak ada perbedaan nyata pada penyerapan oksigen di udara antara siput besar maupun siput kecil. Selama respirasi akustik pada kedua spesies, nilai Q10 pada suhu 10 – 20 °C dan 20 – 30 °C meningkat dengan makin besarnya tubuh siput. Data dari beberapa sumber juga menunjukkan bahwa Q10 umumnya makin besar dengan makin besarnya ukuran tubuh pada binatang ektoterm.

Sementara dua 2 jenis siput ampullariidae mampu bernafas di dalam air atau di udara saja selama percobaan, pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa siput yang dimasukkan ke dalam akuarium dengan aerial yang cukup akan melakukan respirasi akuatik (di dalam air) maupun aerial (di udara). Kedua spesies siput itu naik ke permukaan air pada selang waktu tertentu untuk mengambil udara. Siput-siput ini mempunyai tabung pernafasan panjang yang disebut sifon, yang dibentuk dari tepian mantel bagian anterior kiri. Sifon sepanjang 7 cm telah ditemukan pada Pomacea, jadi sama dengan panjang cangkangnya. Sifon pada gastropoda Marisa lebih pendek, panjangnya tidak pernah melebihi 12 mm, jadi hampir 1/3 diamater cangkangnya. Udara diambil melalui sifon kiri yang dijulurkan di atas permukaan air. Sementara gerakan aktif dan respirasi difusi sederhana terjadi pada siput pulmonata, udara dihisap ke dalam kantung pulmonary pada kedua spesies siput ampullariidae melalui gerakan otot. Gerakan memompa berlangsung 10 – 50 detik dan selama itu bagian anterior siput berayun-ayun ke depan dan ke belakang 10 – 20 kali, tampaknya untuk mendorong udara agar masuk ke kantong pulmonari. Di akuarium laboratorium, Pomacea yang sedang beristirahat (tidak menunjukkan kegiatan lain kecuali respirasi sifonal atau respirasi aerial) mengambil udara sebanyak 10 – 12 kali per jam; Pomacea yang sedang aktif mengambil udara sampai 20 kali per jam. Selama aktivitas makan, respirasi sifonal dilakukan dengan tidak teratur dan jarang.

Pada siput Marisa, penyerapan udara bersifat sporadis, biasanya tidak lebih dari 1 – 3 kali per jam dan kurang sering. Selang respirasi sifonal pada Marisa tergantung pada kualitas air dalam akuarium, di air yang kotor ia lebih sering melakukan respirasi udara. Kemampuan untuk memanfaatkan respirasi udara ketika kondisi air kurang optimal (sub-optimal) akan membantu mempertahankan kelangsungan hidup siput di lapangan.

Pomacea memanfaatkan respirasi udara lebih sering dibandingkan Marisa. Karena Pomacea merupakan makanan burung, maka adanya sifon yang panjang akan memungkinkan siput melakukan respirasi udara sementara tubuhnya sendiri tersembunyi di bawah permukaan air. Sifon yang panjang mungkin juga merupakan adaptasi untuk dapat menembus vegetasi permukaan air yang tebal (Freiburg dan Hazelwood, 1977).

Pernafasan Udara dan Perilaku Makan Pomacea paludosa

Menurut McClary (1965) siput Pomacea paludosa menggunakan baik paru-paru maupun insangnya untuk bernafas. Insang memperoleh oksigen dari arus air yang mengalir melalui rongga mantel. Paru-paru mendapatkan oksigen melalui proses yang disebut “surface inspiration” (tarik-nafas permukaan). Meskipin makanan umumnya diperoleh melalui radula yang memarut makanan, Pomacea paludosa juga mendapatkan makanan dari lapisan permukaan air melalui tingkah laku yang disebut “ciliary feeding” (aktivitas makan dengan bantuan silia atau rambut getar).

Surface inspiration berlangsung dengan adanya lubang masuk di sebelah kiri mantel yang menuju ke sifon. Siput kemudian merangkak ke permukaan air dan menyentuhkan tentakel kiri pertama kali ke lapisan permukaan air. Sifon kemudian dijulurkan ke lapisan permukaan air dan udara dihisap masuk ke paru-paru yang ada di dalam rongga mantel melalui serangkaian kontraksi otot tubuh. Satu inspirasi tunggal terdiri dari hampir 16 kontraksi di mana setiap kontraksi berlangsung selama 1 detik. Siput biasanya kemudian akan memutar tubuh ke arah kanan dan merayap menuruni dinding wadah atau jatuh ke dasar. Rangsangan surface inspiration berkaitan dengan penurunan volume paru-paru. Tentakel mengarahkan gastropoda ke udara. Bagaimanapun, inspirasi terjadi bila sifon menyentuh udara. Peningkatan suhu, rasa pedas dalam air (NH4OH), penurunanan konsentrasi oksigen dalam air, dan rasa lapar yang diderita siput semuanya berperanan penting dalam meningkatkan kecepatan inspirasi. Penurunan suhu dan jumlah makanan terlarut dalam air sangat menurunkan kecepatan inspirasi. Makanan yang ada di lapisan permukaan air, sedimen di dalam air serta pemasukan nitrogen dari udara ke dalam air kurang berperanan dalam mempengaruhi kecepatan inspirasi.

Kecepatan inspirasi makin lama makin turun pada setiap percobaan. Hal ini menyebabkan jumlah siput yang akif makin sedikit. Distribusi frekuensi inspirasi pada siput adalah serupa untuk semua percobaan. Penurunan suhu air dan adanya makanan terlarut sangat mempengaruhi penurunan kecepatan gerak. Makanan terlarut juga menyebabkan siput terus menerus menggunakan radula untuk memarut makanan dari dinding wadah. Siput yang menghirup nitrogen mengulangi serangkaian kontraksi sampai 10 kali, dan cenderung tinggal di permukaan air. Siput menghindari permukaan air dengan berkumpul pada sisi bawah penghalang, meskipun air jenuh dengan oksigen.

Pada “ciliary feeding”, siput membentuk bagian anterior kaki menjadi cerobong sedangkan bagian tengahnya menjadi tabung. “Pedal cilia” (silia pada kaki) menarik makanan dari lapisan permukaan air ke dalam cerobong dan terus ke tabung. Makanan, yang terjerat lendir, terkumpul di pangkal tabung. Pada selang waktu tertentu, siput mendorong kepalanya ke dalam tabung untuk memakan makanan yang terkumpul tersebut. Cara makan biasa tidak lebih jarang daripada cara nakan ciliary feeding pada siput yang aktif. Rangsangan untuk memakan makanan yang terkumpul ini tidak berhubungan dengan berat makanan itu maupun derajat kelaparan. Tak ada bukti bahwa pengurangan lendir kaki (pedal mucus) menyebabkan siput memakan makanan. Penenggelaman kaki merangsang gastropoda untuk makan, tanpa memperdulikan jumlah makanan yang terkumpul. Ciliary feeding berlangsung tidak sering kecuali bila makanan ditempatkan pada lapisan permukaan air (McClary, 1965).

Pernafasan Udara dan Perilaku Makan Pada Siput Ampullariidae Lain

Tingkah laku surface inspiration Pomacea paludosa mirip pada siput Pulmonata. Inspirasi pada pulmonata berkaitan dengan penurunan volume paru-paru. Tentakel dan sifon pulmonata berperanan sebagai alat indera yang penting dalam surface inspiration. Jadi, bila Physa dirangsang pada bagian kepala atau sifonnya dengan gelembung udara, sifon akan bereaksi. Lymnaea pareger akan berinspirasi hanya setelah tentakelnya dibengkokan pada sudut tertentu ke permukaan air. Tingkat surface inspiration pada pulmonata bervariasi sesuai dengan suhu air dan konsentrasi oksigen, dan pulmonata akan berkumpul di bagian atas wadah bila jalan untuk mencapai udara ditutup.

McClary (1965) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai surface inspiration pada gastroda. Di antara siput Ampullaridae, studi surface inspiration telah dilakukan pada Ampullaria effusa, Ampullaria insularum, Ampullaria vermiformis, Pila globosa dan Lanistes bolteniana. Pada kebanyakan studi ini, uraian mengenai surface inspiration mirip dengan yang diberikan di sini untuk Pomacea paludosa. Pada 2 spesies, bagaimanapun, tampak adanya perbedaan penting. Pila globosa berenang ke permukaan air dengan mencambuk-cambukkan tentakelnya dan ia dapat mengapung di permukaan air dengan menggunakan sifonnya. Sifon pada spesies ini ketika dijulurkan dapat memiliki lubang selebar 15 mm pada bidang batas air-udara, dan surface inspiration ditandai dengan tidak adanya kontraksi. Lanistes bolteniana menjulurkan sifonnya sampai di atas permukaan air, dan berinspirasi dengan gerakan tubuh yang hampir tidak dapat dilihat. Data ini memperkuat dugaan bahwa studi perbandingan surface inspiration yang terperinci pada siput ampullariidae mungkin akan berguna. Studi semacam ini seharusnya dilakukan di lapangan bila mungkin, karena bukti-bukti dari studi pada pulmonata menunjukkan bahwa kondisi laboratorium sangat mengubah kecepatan surface inspiration. Pulmonata dapat hidup di alam tanpa harus menuju ke permukan air dan pada kondisi alami paru-paru siput pulmonata mungkin dipenuhi air atau berfungsi sebagai insang.


Bab IV
Imposeks dan Gangguan Reproduksi Pada Gastropoda


Pengaruh Cat Kapal Terhadap Imposeks Pada Gastropoda

Bryan et al, (1986) melaporkan bahwa sebuah survey terhadap gastropoda Nucella lapillus di sekitar bagian barat-daya Inggris menunjukkan adanya “imposeks”, yaitu munculnya ciri-ciri kelamin jantan pada individu betina. Fenomena ini tersebar luas dan semua populasi mengalami imposeks dengan tingkat keparahan bervariasi di mana imposeks paling parah terjadi di sepanjang pesisir selatan Selat Inggris. Populasi gastropoda di dekat pusat pelayaran menunjukkan derajat imposeks terparah, terutama populasi di sekitar estuaria Helford, Fal, Salcombe dan Dart serta di Selat Plymouth dan Teluk Tor. Di Selat Plymouth derajat imposeks meningkat tajam antara tahun 1969 dan 1985 bersamaan dengan meningkatnya penggunaan cat anti fouling (cat yang mencegah melekatnya organisme penempel pada permukaan yang dicat) yang mengandung senyawa tributiltin (TBT). Derajat imposek tidak berhubungan dengan kandungan arsen, kadmium, tembaga, timah hitam, perak dan seng di dalam jaringan gastropoda, tetapi tingkat keparahan imposeks ini meningkat dengan bertambahnya konsentrasi timah. Sebagian besar timah yang ditemukan di dalam jaringan tubuh gastropoda ada dalam bentuk heksana yang dapat-diekstrak yang mencakup fraksi-fraksi tributiltin (TBT) dan dibutiltin.

Bryan et al, (1986) menambahkan bahwa pemindahan Nucella lapillus dari daerah yang “bersih” dengan aktivitas pelayaran rendah ke daerah yang dekat dengan sebuah dermaga di Plymouth menunjukkan peningkatan tajam dalam hal keparahan imposeks pada binatang yang dipindahkan itu; hasil analisis menunjukkan bahwa dari timah heksana yang dapat-disekstrak yang tertimbun di dalam jaringan siput yang dipindahkan itu, 60 – 70 % ada dalam bentuk fraksi TBT. Percobaan laboratorium yang menggunakan kolam pasang-surut menunjukkan bahwa imposeks mudah terjadi dengan memaparkan siput terhadap 0,02 mikrogram/liter timah yang terkikis dari cat antifouling TBT. Diduga bahwa imposeks dapat dialami Nucella lapillus yang terkena timah (dalam bentuk senyawa TBT) pada konsentrasi serendah 1 nanogram/liter.

Perbandingan kelimpahan Nucella lapillus pada masa dahulu dan masa sekarang menunjukkan bahwa banyak populasi gastropoda ini di Inggris barat-daya mengalami penurunan; populasi-populasi ini dicirikan oleh imposeks dengan tingkat keparahan sedang sampai tinggi, jumlah betina yang seringkali lebih sedikit, juvenil jarang ditemukan dan sangat sedikitnya jumlah telur yang dikeluarkan. Penurunan rekruitmen yang lebih disebabkan oleh berkurangnya kapasitas reproduksi daripada oleh meningkatnya laju mortalitas, bertanggung jawab atas berkurangnya jumlah Nucella lapillus. Karena derajat imposeks mudah diukur pada Nucella lapillus dan mungkin berkaitan dengan konsentrasi rata-rata senyawa TBT yang mempengaruhi populasi, spesies ini sangat berpotensi sebagai indikator tingkat pencemaran TBT (Bryan et al., 1986).

Kegagalan Reproduksi Siput Nucella Akibat Imposeks

Gibbs dan Bryan (1986) membahas perkembangan ciri-ciri jantan, terutama penis dan vas deferens, pada individu betina (fenomena yang disebut imposeks) siput Nucella lapillus. Dikenal tiga tahap imposeks : tahap dini yang melibatkan pembentukan vas deferens dan penis kecil, tahap intermediet yang dicirikan oleh pembesaran penis pada individu betina sampai mencapai sebesar penis siput jantan, dan tahap akhir di mana selama tahap ini lubang kelamin betina (vulva) tertutup akibat pertumbuhan jaringan vas deferens yang berlebihan. Penyumbatan saluran oviduct ini menghambat pelepasan kapsul telur sehingga siput betina menjadi mandul. Kisaran dan penyebab kegagalan reproduksi semacam ini dibuktikan oleh banyaknya siput betina dengan kapsul telur tak dapat dikeluarkan dari tubuh pada populasi siput yang jumlahnya makin sedikit yang hidup di dekat sumber pencemaran tributiltin (TBT). Populasi ini memiliki siput betina dengan jumlah lebih sedikit daripada yang diharapkan dan tampaknya bahwa penimbunan kapsul abortus dalam pallial oviduct menyebabkan siput betina mati sebelum dewasa.

Pengaruh Timah Dari Cat Kapal Terhadap Reproduksi Siput Nucella lapillus

Gibbs dan Bryan (1986) menjelaskan bahwa imposeks sekarang diketahui banyak dialami oleh gastropoda stenoglossa, yakni kelompok gastropoda dengan sifat kelamin gonokoris atau dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terdapat pada individu yang terpisah). Imposeks dan penyebabnya telah banyak diteliti pada siput lumpur Amerika, Nassarius obsoletus, dan telah ditemukan bukti kuat bahwa imposeks timbul pada siput yang terkena senyawa organotin (timah organik) yang tercuci dari cat pelapis kapal. Disimpulkan bahwa hermaprodit semu semacam ini, yang dicirikan terutama oleh perkembangan penis dan vas deferens (dan juga terpilinnya oviduct yang normalnya lurus) tidak banyak menurunkan kemampuan reproduksi juga tidak mengubah ekologi populasi spesies ini. Bagaimanapun, penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan imposeks pada Nucella lapillus membuktikan bahwa fenomena ini menyebabkan kegagalan reproduksi, terutama akibat penyumbatan pallial oviduct.


Bab V
Bioekologi, Mortalitas dan Tingkah Laku Cumi-Cumi


Morfologi dan Bioekologi Cumi-Cumi

Hegner (1946) menyatakan bahwa cumi-cumi atau “sea arrow” bergerak meluncur ke belakang. Hewan ini masih berkerabat dengan remis yang gerakannya lamban. Cangkang cumi-cumi hampir tak tampak; cangkang ini berupa rangka internal berbentuk mirip pena. Bentuk tubuh cumi-cumi menyerupai kapal selam sehingga sesuai untuk bergerak cepat di dalam air. Siripnya membesar, dipakai sebagai kemudi dan juga untuk mendorong tubuhnya agar bergerak pelan-pelan ke depan atau ke belakang. Apa yang tampak sebagai kepala pada cumi-cumi bersesuaian dengan kaki pada moluska lain. Pada cepalopoda, kakinya berubah menjadi sebuah sifon dan sepuluh lengan. Delapan lengan di antaranya masing-masing dilengkapi dengan dua baris cakram penghisap, sedang dua lengan sisanya lebih panjang dan memiliki 4 baris cakram penghisap pada ujung tambahannya. Makanannya berupa ikan kecil dan binatang laut kecil lainnya. Pada waktu menangkap mangsa, ia bergerak mundur dengan cepat mengejar buruannya. Mangsa dibelit dengan kuat oleh lengan-lengannya yang luwes dan dipegang dengan erat oleh penghisap yang berbentuk cakram itu. Cumi-cumi terkenal pandai mengubah warna badannya. Pigmen sel dipenuhi warna biru, ungu, merah dan kuning yang terdapat di dalam kulit. Ia dapat merubah warnanya dengan cepat. Perubahan warna seperti pada bunglon ini disesuaikan dengan warna lingkungannya, menyebabkan ia menjadi tersamar.


Hegner (1946) menambahkan bahwa kedua mata cumi-cumi sangat menarik. Struktur mata ini agak mirip dengan struktur mata manusia, hanya tidak ada kelopak mata. Di bawah kepala terdapat sifon, semacam pipa fleksibel yang dapat dibengkokkan dan menyemburkan dengan kuat air atau tinta. Air yang disemprotkan begitu kuatnya sehingga tubuh cumi-cumi terdorong bagaikan anak panah ke arah yang berlawanan dengan arah semprotan. Di dalam tubuhnya terdapat sebuah kantung yang berisi cairan hitam mirip tinta. Jika diserang musuh, tinta tersebut disemprotkan melalui sifon, membentuk awan gelap seperti tabir asap yang menolong cumi-cumi melarikan diri. Di alam, cumi-cumi merupakan mangsa ikan, terutama binatang paus yang memakannya dalam jumlah besar. Mereka juga sangat penting sebagai umpan; kira-ira separuh dari umpan yang dipakai untuk menangkap ikan cod di New Foundland adalah cumi-cumi. Di dekat pantai New Foundland sekali-sekali ditemukan cumi-cumi raksasa. Binatang raksasa ini diduga memiliki panjang total 12 meter atau lebih dengan lengan yang sebesar lengan orang dan cakram penghisap sebesar cangkir teh. Cumi-cumi raksasa merupakan invertebrata terbesar yang masih hidup saat ini.

Keragaman Spesies dan Distribusi Cumi-Cumi

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sekitar enam spesies sotong terdapat di paparan benua tropis, masing-masing dengan distribusi yang agak luas : Sepia officinalis di Atlantik barat dan Sepia phaeroensis-lycidus-recurvirostris di Indo-Pasifik barat yang semuanya terdapat sebagai populasi besar. Sepia officinalis di lepas pantai Senegal melakukan migrasi utara-selatan maupun migrasi pantai-lepas pantai. Dalam hal ini, dan pada spesies cephalopoda lain, populasinya mencakup beberapa kohort (kelompok) yang bertumpang tindih, yang umurnya terpisah beberapa bulan. Cumi-cumi neritik dari beberapa genus melimpah di seluruh paparan benua tropis. Loligo duvauceli dan Loligo chinensis merupakan spesies penting di Teluk Thailand, Loligo edulis di seluruh kepulauan di Samudra Hindia Utara dan barat, sedangkan Loligo brasiliensis di Atlantik Timur. Sepioteuthis arctipinnis secara lokal penting di Samudra Hindia, sebagaimana Loliguncula brevis di Atlantik barat tropis. Cumi-cumi oseanik sulit dipelajari, dan data menyeluruh tidak ada untuk spesies tropis kecuali Dosidicus gigas di Pasifik timur, mereka melakukan migrasi panjang, di antaranya yang telah dipetakan adalah migrasi Illex illecibrosus subtropis antara daerah pemijahannya di lepas pantai Florida dan daerah pencarian makanan di lepas pantai New Foundland. Illex coindetii merupakan spesies Atlantik tropis utama, dan Symplectoteuthis oualaniensis tersebar luas di Pasifik barat.

Cumi-Cumi Mati Setelah Memijah ?

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa cumi-cumi tumbuh dengan cepat, dan pertumbuhannya merupakan fungsi (dengan kata lain, dipengaruhi oleh) suhu. Analisis mortalitas cumi-cumi tidak mudah. Ada bukti bahwa banyak, mungkin sebagian besar, spesies cephalopoda mengalami mortalitas dengan pola yang sama seperti salmon Pasifik, termasuk kematian pasca-pemijahan akhir pada kedua jenis kelamin. Pola mortalitas ini tidak umum untuk hewan laut sehingga penerapan model populasi ikan untuk cumi-cumi harus memperhatikan masalah ini. Stres pemijahan telah diamati pada banyak cepalopoda dengan ciri-ciri daging tebal dan berair, kerusakan epitelium, pupil mata buram, berhenti makan, dan ketiadaan sel-sel kelamin dalam gonad. Dari 22 spesies cumi-cumi, 17 di antaranya menunjukkan mortalitas pasca-pemijahan akhir. Bagaimanapun, mortalitas cephalopoda tidak sesederhana yang dibayangkan. Pertama, karena kematian alami pasti terjadi sepanjang kisaran umur cephalopoda, maka ia hanya merupakan sebagian kecil dari larva yang berrekruitmen, dan sebagian kecil dari rekruitmen yang bertahan hidup sampai mengalami mortalitas pasca-pemijahan akhir. Kedua, karena ada bukti pada beberapa spesies bahwa beberapa individu tetap hidup setelah pemijahan pertama kemudian memijah beberapa kali lagi dan mati hanya pada akhir proses tersebut. Demikianlah, telah dilaporkan terjadinya migrasi kompleks Sepia officinalis di lepas pantai Senegal termasuk kembalinya beberapa individu betina ke lokasi pemijahan untuk kedua kalinya; juga ada laporan yang menunjukkan bahwa Loligo vulgaris di Atlantik Utara bertingkah laku sama seperti ini; sementara laporan lain menyimpulkan bahwa Doryteuthis plei di Karibia merupakan pemijah ganda. Kurva hasil tangkap yang dikonversi ke panjang tubuh untuk Loligo pealei di Teluk Meksiko dan Ommastrephes di lepas pantai Jepang tampaknya tidak membuktikan adanya kematian pasca pemijahan akhir walaupun untuk Dosidicus gigas menunjukkan adanya mortalitas tersebut. Sebagai tambahan, pengamatan terhadap cumi-cumi neritik tropis Sepioteuthis lessoniana dari India selatan menunjukkan tidak adanya mortalitas pasca-pemijahan akhir walaupun terlihat banyak gejala stres pemijahan pada spesies ini di Palk Bay misalnya individu betina memiliki perut yang hampir kosong selama musim pemijahan; cumi-cumi Palk Bay mungkin mempunyai siklus hidup yang sama seperti Sepia officinalis dari lepas pantai Senegal.

Perikanan dan Tingkah Laku Cumi-Cumi Dalam Hubungannya Dengan Cahaya

Nomura and Yamazuki (1977) menyatakan bahwa studi tingkah laku cumi-cumi telah dilaporkan sejak tahun 1828. Cumi-cumi mudah tertarik pada cahaya dan berenang ke dekat permukaan laut, tetapi bila cahaya yang lebih kuat diarahkan langsung ke gerombolan cumi-cumi, aktivitas makan mereka menurun dan dengan demikian penangkapannya dengan pancing lebih baik dilakukan di tempat yang lebih gelap atau yang tertutup bayangan kapal. Cumi-cumi kadang berkumpul di dekat buih putih yang dihasilkan oleh gelombang laut yang menghantam badan kapal atau buih yang terbentuk di bekas jalur kapal. Jika cahaya disorotkan ke permukaan air, cumi-cumi segera berenang ke arah sumber cahaya dan kadang-kadang melompat keluar dari air tapi hanya sekali dan tidak pernah diulangi lagi. Berdasarkan survei dengan “fish finder” (radar pencari ikan) terhadap gerombolan cumi-cumi, mereka terdapat terutama pada kedalaman 5 sampai 30 meter, kadangkala sampai 50 meter. Intensitas cahaya pada kedalaman 35 – 45 meter adalah sekitar 10-2 lux sehingga diduga mereka memiliki kepekaan cahaya terhadap intensitas sebesar 10-2 lux. Ada hal yang menarik mengenai hubungan antara aktivitas penangkapan cumi-cumi dan rekaman fish finder. Sekitar 3 sampai 5 menit setelah lampu dinyalakan, laju penangkapan cumi-cumi segera mencapai puncaknya dan kemudian menurun perlahan-lahan. Jika penangkapan dihentikan lalu dimulai lagi, maka kecenderungan tersebut juga terulang kembali.


Bab VI
Reproduksi Cumi-Cumi


Hubungan Reproduksi Dengan Kandungan Lipida, Karbohidrat dan Protein Pada Cumi-Cumi

Moltschaniwskyj dan Semmens (2000) melakukan studi untuk menentukan apakah cumi-cumi loliginidae tropis Photololigo sp. menyimpan energi dalam bentuk lipida, karbohidrat atau protein untuk investasi reproduksi. Individu cumi-cumi diamati dalam hal perubahan morfometri, struktur otot mantel dan kandungan air, lipida, karbohidrat serta protein dalam jaringan otot dan kelenjar pencernaan, yang berhubungan dengan tahap kematangan reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa massa otot dipengaruhi oleh kematangan reproduksi pada cumi-cumi betina. Individu matang gonad adalah lebih ringan dibandingkan individu yang panjangnya sama untuk betina pada tahap-tahap awal kematangan gonad. Konsentrasi lipida dan karbohidrat dalam jaringan otot adalah sangat rendah, dan betina Photololigo sp. menunjukkan bukti yang sama bahwa terjadi penurunan kandungan lipida dan karbohidrat sejalan dengan produksi telur. Tidak ada bukti penurunan dramatis perubahan kandungan protein dalam otot mantel berkaitan dengan kematangan reproduksi. Photololigo sp. jantan menunjukkan perubahan kelenjar pencernaan sejalan dengan kematangan gonad, di mana kandungan air meningkat sedangkan konsentrasi protein berkurang. Ukuran kelenjar pencernaan Photololigo sp. jantan maupun betina meningkat sedangkan konsentrasi airnya berkurang sejalan dengan pertumbuhan. Hanya ada sedikit bukti bahwa penyimpanan dan transfer energi untuk reproduksi terjadi pada Photololigo sp. Sebaliknya, adalah mungkin bahwa sumber energi utama untuk reproduksi diperoleh langsung dari makanan yang dikonsumsi.

Kematangan Gonad, Fekunditas dan Musim Reproduksi Sepia

Gabr et al. (1998) melaporkan bahwa cumi-cumi Sepia pharaonis (panjang mantel maksimum 250 mm) dan Sepia dollfusi (panjang mantel maksimum 150 mm) tersebar luas di Indo-Pasifik dari Laut Merah sampai Jepang dan Australia. Mereka merupakan penyusun perikanan utama di Terusan Suez dan cepahlopoda paling komersial di Samudra Hindia utara. Bagaimanapun, biologi reproduksinya, terutama untuk manajemen perikanan, belum banyak diketahui. Empat tahap kematangan gonad bisa dibedakan berdasarkan morfologi dan histologi. Berdasarkan proporsi setiap tahap kematangan gonad, serta berbagai indeks kematangan gonad, disimpulkan bahwa pemijahan berlangsung dari Maret sampai Juni untuk Sepia pharaonis dan Januari sampai April untuk Sepia dollfusi. Ukuran saat matang gonad untuk Sepia pharaonis adalah 61 dan 122 mm panjang mantel untuk jantan dan betina, berturut-turut. Sebaliknya, ukuran saat matang gonad untuk Sepia dollfusi adalah sama untuk kedua jenis kelamin (75 dan 84 mm panjang mantel untuk jantan dan betina, berturut-turut). Fekunditas diduga dengan menghitung jumlah sel telur matang dan telur yang sedang matang, yang bervariasi dari 75 sampai 1525 untuk Sepia pharaonis dan 30 sampai 273 untuk Sepia dollfusi. Distribusi frekuensi-panjang sel telur bulanan memberikan bukti ketepatan pendugaan fekunditas. Data ini menunjukkan bahwa reproduksi berlangsung selama 6 - 9 bulan; hal ini mungkin mewakili 1/2 - 2/3 dari siklus hidupnya, dan mungkin khas bagi cephalopoda sepioidae dan teuthoidae.

Pengaruh Volume/Luas Dasar Tangki Budidaya Terhadap Reproduksi Cumi-Cumi

Sykes et al. (2013) menentukan pengaruh penggunaan tangki dengan berbagai volume/luas dasar tangki terhadap pertumbuhan dan reproduksi cumi-cumi Eropa, Sepia officinalis. Sebanyak 184 juvenil cumi-cumi (berat 46,1 ± 20,9 gram) digunakan untuk uji ulangan dalam tangki 9.000 liter (6,67 m2), 750 liter (1,54 m2) dan 250 liter (0,79 m2, sebagai kontrol). Pertumbuhan dan reproduksi diamati. Selain itu, perbedaan komposisi proksimat telur dipelajari untuk sampel telur-telur yang dikumpulkan dari setiap tangki. Dalam hal pertumbuhan, tidak ada perbedaan statistik antara berbagai tipe tangki (P > 0,05), tetapi total mortalitas mutlak adalah lebih rendah di tangki 9.000 liter. Dalam hal reproduksi, ada perbedaan (P < 0,05) antar tangki-tangki individual untuk rata-rata berat telur, berat individu jantan dan individu yang baru menetas serta jumlah telur. Salah satu tangki bervolume 9.000 liter menunjukkan nilai-nilai tertinggi untuk fekunditas total dan fekunditas individual (16 593 dan 1383 butir telur, berturut-turut) dan daya hidup telur (sekitar 72 %); nilai-nilai ini adalah tertinggi yang pernah dicapai dalam fasilitas peneliti. Ada perbedaan (P < 0,05) berkaitan dengan komposisi proksimat telur pada tangki-tangki yang berbeda. Ada korelasi nyata (P < 0,05) antara lama tahap reproduksi dengan jumlah telur, antara rata-rata berat telur dengan berat individu jantan, antara daya hidup telur dengan berat individu yang baru menetas, serta antara kandungan abu dalam individu yang baru menetas dengan kandungan abu dalam telur. Hasil-hasil penelitian ini mungkin bisa dikaitkan dengan rasio jenis kelamin, dan dengan kondisi induk.

Pemijahan Ganda Pada Cumi-Cumi Tropis, Photololigo

Moltschaniwskyj (1995) melakukan studi untuk menduga kemampuan cumi-cumi loliginidae tropis Photololigo sp. dalam hal pemijahan ganda (mengeluarkan telur berkali-kali) dan mengamati perubahan pertumbuhan somatik selama reproduksi. Analisis histologis terhadap ovari dan rasio panjang oviduct (saluran telur) terhadap berat mantel dan berat ovari digunakan untuk menentukan kemampuan pemijahan ganda. Ovari betina dewasa selalu memiliki sel telur matang dan belum matang, yang menunjukkan bahwa tidak semua sel telur matang secara serentak dan bahwa pengeluaran telur berkali-kali bisa dilakukan. Selain itu, kecilnya korelasi antara berat oviduct dengan panjang tubuh dan berat ovari menunjukkan bahwa sel telur matang tidak diakumulasi di dalam oviduct selama satu kejadian pemijahan tunggal. Hasil-hasil pengamatan ini mendukung hipotesis bahwa Photololigo sp. memiliki kemampuan untuk mengeluarkan telur berkali-kali sepanjang hidupnya. Laju pertumbuhan spesifik, hubungan panjang-berat, pertumbuhan relatif jaringan somatik dan jaringan reproduktif serta pendugaan mikroskopik jaringan otot dibandingkan antara betina tidak matang gonad dan betina matang gonad. Laju pertumbuhan betina tidak matang gonad adalah hampir dua kali laju pertumbuhan betina matang gonad. Betina matang gonad juga tidak memiliki serabut-serabut otot besar, yang menunjukkan bahwa energi untuk reproduksi dimobilisasi dari jaringan otot.

Lokasi Pemijahan Cumi-Cumi Loligo vulgaris

Sauer et al. (1992) melaporkan bahwa lokasi pemijahan cumi-cumi Loligo vulgaris reynaudii (D'Orbigny) telah diteliti pada tahun 1988 - 1990. Sedikitnya 39 lokasi pemijahan telah ditemukan selama periode ini di sepanjang daerah dekat-pantai di garis pantai Eastern Cape antara Teluk Algoa dan Teluk Plettenberg, Afrika Selatan. Substrat yang dipilih untuk meletakkan telur terutama adalah pasir halus atau terumbu datar, seringkali di dalam teluk besar dan relatif terlindung. Pemijahan terjadi secara sporadis sepanjang tahun, dan beberapa lokasi pemijahan digunakan berkali-kali dalam satu tahun atau tahun-tahun yang berturutan. Cumi-cumi bermigrasi dalam gerombolan terpisah-pisah yang dipisahkan oleh jenis kelamin di sekitar lokasi pemijahan; gerombolan-gerombolan ini bercampur selama pemijahan. Perilaku kawin dan peletakan telur diamati di lokasi pemijahan. Kanibalisme terlihat pada sejumlah kasus, tetapi tidak ada mortalitas pasca-pemijahan. Hamparan telur terutama terdiri dari rangkaian telur yang membentuk gumpalan besar (diameter lebih dari 3 meter), dengan gumpalan kecil berisi satu sampai sepuluh rangkaian telur di sekelilingnya, dengan rangkaian tunggal tepat di dekatnya. Ada tiga pola dasar jejak-gema dan diklasifikasikan sebagai pola longgar, pola padat dan pola kompleks. Dua pola pertama mewakili pola penggerombolan non-pemijahan sedang pola ketiga mewakili perilaku perkawinan dan peletakan telur. Pengamatan ini menghasilkan klasifikasi umum kumpulan cumi-cumi: gerombolan (tipe non-pemijahan) dan konsentrasi (tipe pemijahan). Konsentrasi cumi-cumi Loligo vulgaris reynaudii lebih lanjut dibagi menjadi dua pola : cumi-cumi (pemijahan) suprabentik dan bentik.


Bab VII
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska


Pengaruh Suhu Terhadap Laju Denyut Jantung Kerang di Pantai Tropis

Trueman dan Lowe (1971) mempelajari pengaruh suhu terhadap denyut jantung moluska bivalva, Isognomum alatus, di pantai tropis. Pengamatan terhadap denyut jantung kerang Isognomum pada kondisi alami dan kondisi laboratorium di daerah tropis menunjukkan tidak adanya pola yang teratur dalam hal variasi laju denyut jantung. Penutupan cangkang, yang terjadi pada selang yang tidak teratur, menyebabkan denyut jantung terhambat hampir secara total. Perubahan suhu air menyebabkan laju denyut jantung meningkat atau menurun dengan segera. Selama kerang terkena udara dan cangkangnya terbuka, laju denyut jantung tergantung pada suhu, bahkan ketika secara langsung terkena cahaya matahari tropis. Suhu air dan keterlindungan terhadap cahaya matahari memberikan efek yang sama terhadap laju denyut jantung; namun pada beberapa bivalva litoral di Inggris, keterlindungan terhadap cahaya tidak mempengaruhi laju denyut jantung.

Suhu Optimum Enzim Pencernaan Gastropoda

Banerjee dan Sur (1991) mempelajari perilaku beberapa enzim hidrolisis pada moluska gastropoda dalam kaitannya dengan suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu optimum amilase selulase, invertase, esterase serta enzim-enzim protease basa maupun asam pada tiga spesies moluska Laevicaulis alte, Pila globosa dan Pugilina cochlidium dari berbagai habitat berkisar dari 37 oC sampai 45 oC, kecuali untuk protease asam. Suhu optimum 55 oC juga ditemukan untuk enzim protease basa. Bagaimanapun, termostabilitas (stabilitas panas) paling tinggi, yaitu 70 oC, dilaporkan untuk enzim protease asam dalam kelenjar pencernaan Laevicaulis alte.

Toleransi Suhu dan Pengaruh Suhu Terhadap Respirasi Siput Amfibi

Freiburg dan Hazelwood (1977) melaporkan bahwa rata-rata konsumsi oksigen pada siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis menunjukkan peningkatan dengan naiknya suhu. Penyerapan oksigen pada suhu 35 oC berkurang dan mungkin menunjukkan stres respirasi yang lebih hebat pada suhu udara yang lebih tinggi. Suhu 10 – 35 oC dapat ditolerir dengan baik dan kecepatan respirasi pada siput Pomacea paludosa pra-test (baik di air maupun di udara) kembali normal setelah dibiarkan pada suhu normal selama 24 jam. Pada suhu 40 oC, Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis mati. Suhu maksimum yang dapat diterima adalah 35 oC (suhu letalnya 40 oC) untuk kedua spesies tersebut serta spesies-spesies lain. Suhu maksimum yang dapat ditolerir gastropoda adalah 38 oC untuk Physa virginiana, yang hidup di mata air panas; 35 oC (letal pada 43 oC) untuk Littorina littorea, 37 oC (letal pada 41 oC) untuk Australorbis glabratus, 31 oC untuk dua spesies siput limpet air tawar dan antara 40 – 45 oC untuk Pomacea urceus. Pomacea paludosa mampu hidup pada suhu rendah 5 oC. Kemampuan mentolerir kisaran suhu yang lebar serta kemampuan bernafas di udara maupun di air mempertinggi daya hidup siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis di perairan tawar mengalir maupun di kolam-kolam sementara yang sering kekeringan.

Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Respirasi Siput Lymnaea

Sidorov (2005) mempelajari pengaruh suhu terhadap perilaku respirasi dan aktivitas saraf respirasi pada siput pulmonata Lymnaea stagnalis. Ventilasi paru-paru pada siput Lymnaea stagnalis terhenti pada suhu rendah (di bawah 10 oC), peningkatan suhu meningkatkan laju ventilasi. Perubahan aktivitas kelistrikan pada saraf respirasi Lymnaea menyebabkan perubahan perilaku respirasi secara mencolok pada siput ini selama perubahan suhu.

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Laju Pertumbuhan dan Metamorfosis Gastropoda

Zimmerman dan Pechenik (1991), dalam empat percobaan, memelihara larva gastropoda Crepidula plana pada suhu 29, 25 dan 20 oC dengan salinitas 30 ppt; dan dalam dua percobaan lainnya pada salinitas antara 4 – 30 ppt dengan suhu 25 oC. Laju pertumbuhan cangkang dan diferensiasi morfologis serta laju kompetensi dicatat. Larva dianggap kompeten untuk bermetamorfosis bila mereka dapat dirangsang untuk bermetamorfosis ketika terkena kalium klorida (KCl) berkonsentrasi tinggi (20 mM di atas konsentrasi lingkungan). Laju kompetensi larva menjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi hanya dalam satu dari empat percobaan suhu secara konsisten meningkatkan laju pertumbuhan dan diferensiasi morfologis. Larva gastropoda membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjadi kompeten bila dipelihara pada salinitas yang lebih rendah. Larva yang kompeten juga tidak dapat dikenali berdasarkan panjang cangkangnya; banyak individu menjadi kompeten pada panjang cangkang 600 – 800 mikron, namun banyak individu lain yang belum kompeten meskipun panjang cangkangnya melebihi 1000 mikron. Pada suhu 29 oC banyak individu menjadi kompeten pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan individu yang dipelihara pada suhu yang lebih rendah.

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Larva Siput

Lucas dan Costlow (1979) memelihara larva veliger siput Crepidula fornicata (L.) selama 12 hari pada suhu konstan 15°, 20°, 25°, 30° dan 35°C, serta pada 5 oC “daily cycles of equal periodicity” (COEP; siklus harian periodisitas setara) dalam kisaran suhu 15 sampai 20 oC, 20 sampai 25 oC, 25 sampai 30 oC dan 30 sampai 35 oC. COEP mencakup periode-periode suhu maksimum, suhu minimum yang setara (6 jam), serta peningkatan dan penurunan suhu secara seragam setiap periode 24 jam. Kelangsungan hidup adalah tinggi dan tidak dipengaruhi oleh suhu yang konstan maupun suhu yang bersiklus dari 15 sampai 30 oC. Pada suhu 35 oC dan COEP 30 sampai 35 oC, semua larva mati sebelum hari ke-6. Laju pertumbuhan cangkang meningkat secara tajam pada kisaran suhu 15 sampai 25 oC, dan laju pertumbuhan pada suhu yang bersiklus dalam kisaran ini terletak di tengah-tengah antara laju pertumbuhan pada suhu konstan yang bersesuaian. Larva yang dipelihara pada COEP 15 sampai 20 oC dan COEP 30 sampai 35 oC mengalami diskontinyu pada cangkangnya akibat penghambatan sekresi cangkang selama menghadapi periode suhu yang buruk.

Lucas dan Costlow (1979) menambahkan, berdasarkan pengamatan tersebut, bahwa beberapa kelompok larva veliger Crepidula fornicata selama 2 hari dikenai siklus suhu harian dengan periodisitas setara dan tidak setara dalam kisaran suhu 30 sampai 35 oC. “Cycles of unequal periodicity” (COUP; siklus dengan periodisitas tak setara) mencakup periode-periode suhu maksimum dan suhu minimum yang tak setara - yang bervariasi antara 3 dan 15 jam - serta peningkatan dan penurunan suhu secara tak seragam untuk setiap periode 24 jam). Larva veliger ini mengalami pertumbuhan cangkang namun berat jaringan tubuhnya berkurang, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan kandungan karbon per larva. Pertumbuhan cangkang paling kecil dan penyusutan jaringan tubuh paling besar terjadi pada siklus-siklus ini yang dikenai suhu tinggi dalam waktu lama. Larva yang selama beberapa hari dikenai COUP suhu 30 sampai 35 oC (15 jam pada suhu 30 oC, 3 jam peningkatan suhu, 3 jam pada suhu 35 oC dan 3 jam penurunan suhu) menjadi pulih dan pertumbuhannya normal kembali bila dipindahkan ke suhu konstan 30 oC, tetapi pertumbuhannya tertunda sebanding dengan lama hari dalam siklus suhu. Laju pertumbuhan cangkang veliger dalam siklus suhu menunjukkan efek suhu lingkungan yang bersifat segera, sedangkan perubahan kandungan karbon per larva mencerminkan pengaruh suhu terhadap metabolisme umum dan kelangsungan hidup.


Bab VIII
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang


Bakteri Coliform Dalam Air Sungai dan Tubuh Kerang

Roberts (1992) melaporkan bahwa bakteri coliform melimpah di dalam air dan tubuh bivalva di sungai serta terdapat dalam kisaran yang lebih kecil di daerah pesisir di Fiji. Sungai-sungai tersebut menerima air selokan yang telah diolah dan menjadi sangat tercemar. Jumlah bakteri coliform meningkat tajam di dalam tubuh moluska bivalva. Juga diketahui bahwa bakteri ini dapat bertahan hidup dan tumbuh di dalam air sungai serta air laut selama periode 5 hari, dan memiliki laju pertumbuhan yang cepat di dalam larutan zat hara pada kondisi laboratorium ideal.

Kontaminasi Bakteri Pada Kerang di Estuaria

Gore et al. (1992) menganalisis mutu bakteri dalam sampel kerang dari kebun kerang dan pasar di sekitarnya, pasir pantai, sedimen dan air dari estuaria Mahe, Kerala, India. Bakteri indikator seperti Escherichia coli dan streptococci tinja diisolasi dari air, sedimen dan sampel kerang dari kedua daerah terutama selama bulan-bulan angin muson dan pasca muson. Patogen seperti Salmonella dan Vibrio cholerae non 01 diisolasi dari sampel kerang. Limbah selokan dan air limpasan daratan dari daerah ini menyumbangkan kontaminasi lingkungan tersebut.

Keberadaan Virus Patogen Dalam Tubuh Oyster

Atmar et al. (1993) mengembangkan prosedur untuk mendeteksi asam nukleat virus enterik dalam oyster dengan reaksi rantai polimerase. Poliovirus tipe 1 dengan jumlah diketahui dibiakkan di dalam tubuh oyster. Virus diekstrak dan dipekatkan dengan menggunakan flokulasi organik dan pengendapan polietilen glikol. Penghambat reaksi rantai polimerase-transkripsi balik ditemukan dalam ekstrak oyster, yang mencegah perbanyakan asam nukleat virus sasaran. Teknik pengendapan cetyltrimethylammonium bromide cukup untuk menyingkirkan penghambat sehingga memungkinkan pendeteksian sampai serendah 10 PFU poliovirus. Virus Norwalk juga bisa dideteksi setelah dibiakkan di dalam oyster. Metodologi ini bisa berguna untuk mendeteksi virus ini dan virus patogen lain asal kerang.

Diare Akibat Mengkonsumsi Kerang

Kat (1987) dalam Dale et al. (1987) merinci gejala-gejala keracunan kerang di Belanda akibat mengkonsumsi remis mentah atau matang. Keracunan kerang penyebab diare telah dibuktikan berhubungan dengan keberadaan alga Dinophysis acuminata. Sebuah program sampling fitoplankton secara luas memantau ledakan populasi alga ini di perairan pesisir Belanda, dan bioesei tikus terbukti bisa menjadi cara yang meyakinkan untuk memantau keberadaan racun tersebut dalam tubuh kerang.

Hubungan Dinoflagelata dan Keracunan Kerang Penyebab Diare

Boni et al. (1992) melaporkan bahwa di Laut Adriatik, pasang merah (ledakan populasi alga yang menyebabkan air laut berwarna merah) akibat dinoflagelata berkali-kali terjadi tetapi tidak ada kasus keracunan kerang walaupun ada spesies dinoflagelata yang berpotensi beracun seperti Alexandrium (Protogonyaulax) dan Dinophysis. Pada bulan Juni 1989 beberapa kasus keracunan makanan dengan ciri khas muntah, sakit perut dan diare dilaporkan terjadi sepanjang pesisir Emilia-Romagna dan Marche, Italia, yang menghadap Laut Adriatik barat laut. Keracunan disebabkan memakan kerang, terutama mussel (remis). Penelitian mikroskopik menunjukkan adanya Dinophysis dalam air laut dan dalam usus remis. Mytilus galloprovincialis, Venus gallina, Topes semidecussatus dan Venus verrucosa telah dipantau racunnya dengan bioesei tikus, dan diarrhoetic shellfish poisoning (DSP; keracunan kerang penyebab diare) ditemukan hanya pada remis. Sampel kerang dari Friuli Venezia Giulia, Veneto, Emilia-Romagna dan Marche telah dipantau racunnya, dan dari 22 Juni diberlakukan larangan sementara penangkapan kerang selama periode DSP.

Gymnodinium breve Menyebabkan Kerang Menjadi Beracun

Hashimoto (1979) mengutip laporan bahwa pasang merah yang ditimbulkan oleh dinoflagelata Gymnodinium breve sering terjadi di sepanjang pesisir Florida. Keracunan pada manusia akibat memakan oyster, Crassostrea virginica, dan kerang Venus mercenaria campechiensis, yang menjadi beracun karena menimbun Gymnodinium breve. Telah ditunjukkan bahwa oyster yang diberi pakan berupa Gymnodinium breve hasil budidaya menjadi beracun dan bahwa anak ayam menjadi kehilangan keseimbangan dengan parah dan mati dalam 6 sampai 24 jam setelah memakan oyster beracun. Diduga bahwa keracunan pada manusia akibat memakan oyster jarang terjadi karena oyster menghuni perairan yang salinitasnya berbeda dengan salinitas perairan tempat Gymnodinium breve tumbuh. Salinitas yang cocok untuk oyster ini adalah sekitar 2,5 % yang terlalu rendah untuk pertumbuhan Gymnodinium breve. Dilaporkan bahwa oyster dan bivalva lain menunjukkan daya racun 140 – 550 MU/100 gram selama terjadinya pasang merah Gymnodinium breve.

Hubungan Kadar Racun di Perairan Dengan di Dalam Kerang

Racun venerupin ditemukan pada beberapa jenis kerang. Hashimoto (1979), berdasarkan penelitian lain, melaporkan bahwa daya racun venerupin yang terkandung dalam berbagai spesies kerang telah diuji dengan menyuntikkan ekstrak metanol racun tersebut ke tubuh tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa racun ini terdeteksi pada kerang leher pendek, oyster dan Dosinia japonica, tetapi tidak ditemukan pada dua jenis bivalva, Meretrix lusoria dan Mactra veneriformis, juga tidak dijumpai pada gastropoda Batillaria multiformis. Racun venerupin ditimbun di dalam kelenjar pencernaan dan terdeteksi selama bulan Februari sampai Mei. Bivalva tak beracun menjadi beracun dalam waktu singkat bila dipelihara di daerah yang beracun, sedangkan kerang beracun kehilangan daya racunnya setelah dipindahkan ke perairan yang tak beracun.

Distribusi Racun Penyebab Lumpuh Dalam Jaringan Kerang

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa banyak jenis bivalva dan beberapa sesies gastropoda menjadi beracun akibat menimbun alga Gonyaulax spp. Racun yang ditimbulkan adalah jenis Paralytic Shellfish Poisoning (PSP; keracunan kerang penyebab lumpuh). Remis, kerang dan simping (scallop) paling sering menimbulkan keracunan pada manusia di Amerika Utara dan Kanada. Ada perbedaan menyolok antar spesies kerang dalam hal distribusi racun dalam jaringan dan toxin retention (lamanya racun tertahan di dalam tubuh). Mytilus edulis menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan dan menahan racun selama sekitar 2 minggu di dalam tubuhnya. Kerang ini menimbun dan melepaskan racun dengan cepat, sehingga daya racunnya sejajar dengan pasang merah.

Kerang cangkang lunak, Mya arenaria, menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan selama musim panas, tetapi sebagian besar racun ditimbun di dalam insang selama musim gugur dan musim dingin. Kerang ini menyerap dan melepaskan racun secara perlahan-lahan. Sedangkan kerang Saxidomus giganteus menyimpan dua per tiga racun di dalam sifon, dengan konsentrasi yang berkurang secara perlahan-lahan. Bagian tubuh lain kerang ini termasuk hatinya menunjukkan daya racun yang rendah. Simping Chlamys nipponensis akazara menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan dan dengan jumlah sedang di dalam ovari. Kerang ini tetap beracun selama sekitar 6 minggu dan menjadi paling beracun setiap tahun selama Mei dan Juni. Oyster budidaya yang dikumpulkan di Miyazu memekatkan racun di dalam usus, sedangkan kerang leher pendek dan remis dari daerah Owase menimbun racun di dalam kelenjar pencernaan serta menahan racun di dalam tubuhnya tidak lebih dari satu bulan (Hashimoto, 1979).

Referensi :

Atmar, R.L., T.G. Metcalf, F.H. Neill and M.K. Estes. 1993. Detection of Enteric Viruses in Oysters by Using The Polymerase Chain Reaction. Applied Environmental and Microbiology, Vol. 59, No. 2, pp. 631 - 635

Banerjee, S. and R.K. Sur. 1991. Comparative Studies on Thermal Behaviour of Some Hydrolysing Enzymes in Gastropod Molluscs. Comparative Physiology Science, Vol. 16, No. 4, pp. 156 – 165

Beck, D.E. and I.F. Braithwaite. 1968. Invertebrate Zoology. 3rd Edition. Burgess Publishing Co. United States. 763 pp.

Boni, L., L. Mancini, A. Milandri, R. Poletti, M. Pompei and R. Viviani. 1992. First Cases of Diarrhoetic Shellfish Poisoning in The Northern Adriatic Sea. Marine Coastal Eutrophication, pp. 419 – 429

Bryan, G.W., P.E. Gibbs, L.G. Hummerstone and G.R. Burt. 1986. The Decline of The Gastropod Nucella lapillus Around Southwest England : Evidence for The Effect of Tributyltin from Antifouling Paints. Journal of The Marine Biological Association of The United Kingdom. Vol. 66, pp. 611 - 640

Donovan, S.K. and D.T.J. Littlewood. 1993. The Bentic Mollusk Faunas of Two Contrasting Reef Paleosubenvironments : Falmouth Formation (Late Pleistocene, Last Inter-Glacial), Jamaica. Nautilus, vol. 107, no. 1; pp. 33 - 42

Freiburg, M.W. and D.E. Hazelwood. 1977. Oxygen Consumption of Two Amphibious Snails: Pomacea paludosa and Marisa cornuarietis (Prosobranchia: Ampullariidae). Malacologia, Vol. 16, pp. 541 – 548

Gabr, H.R., R.T. Hanlon, M.H. Hanafy and S.G. El-Etreby. 1998. Maturation, Fecundity and Seasonality of Reproduction of Two Commercially Valuable Cuttlefish, Sepia pharaonis and S. dollfusi, in The Suez Canal. Fisheries Research, Vol. 36, Issues 2 – 3, pp. 99 – 115

Gibbs, P.E. and G.W. Bryan. 1986. Reproductive Failure in Population of The Dog-Whelk, Nucella lapillus, Caused by Imposex Induced by Tributyltin from Antifouling Paints. Journal of The Marine Biological Association of The United Kingdom. Vol. 66, pp. 767 - 777

Gonzales, M.A., E.A. Chavez, C. De la Cruz and D. Torruco. 1991. Distribution Patterns of Gastropods and Bivalves at The Yucatan Peninsula, Mexico. Cienc. Mar., vol. 17, no. 3, pp. 147 – 172, ISSN 0185-3880

Gore, P.S., O. Raveendran, T.S.G. Iyer, P.R.G. Varma and V.N. Sankaranarayanan. 1992. Bacterial Contamination of Mussels at Mahe Estuary, Malabar Coast. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 57 – 61

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press. Tokyo. 369 pp.

Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company, New York. 675 pp.

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Kat, M. 1987. Diarrheic Shellfish Poisoning in The Netherlands in Dale, B., D.G. Baden, B. Mck Bary, L. Edler, S. Fraga, I.R. Jenkinson, G.M. Hallegraeff and T. Ochaichi. 1987. The Problems of Toxic Dinoflagellate Blooms in Aquaculture. Proceedings From a Workshop and International Conference Held at Sherkin Island Marine Station, Ireland, 8 – 13 June 1987, p. 49

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Lucas, J.S. and J.D. Costlow Jr. 1979. Effects of Various Temperature Cycles on The Larval Development of The Gastropod Mollusc Crepidula fornicata. Marine Biology, Vol. 51, Issue 2, pp. 111-117

McClary, A. 1965. Surface Inspiration and Ciliary Feeding in Pomacea paludosa (Prosobranchia : Mesogastropoda : Ampullariidae). Malacologia, Vol. 2, No. 1, pp. 87 - 104

Moltschaniwskyj, N.A. 1995. Multiple Spawning in The Tropical Squid Photololigo sp.: What is The Cost in Somatic Growth? Marine Biology, Vol. 124, Issue 1, pp. 127 - 135

Moltschaniwskyj, N.A. and J.M. Semmens. 2000. Limited Use of Stored Energy Reserves for Reproduction by The Tropical Loliginid Squid Photololigo sp. Journal of Zoology, Vol. 251, Issue 3, pp. 307 – 313

Nomura, M. and T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques, vol. 1. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. 206 pp.

Roberts, S. 1992. Coliform Bacteria From Aquatic Sources in Fiji. Journal of Applied Bacteriology, Vol. 73, No. 3, pp. 263 - 268

Roman Contreras, R., F.M. Cruz Abrego and A.L. Ibanez Aguirre. 1991. Ecological Observations of The Molluscs of The Rocky Intertidal Zone at Chamela Bay, Jalisco, Mexico, Annual of Institute Biology of Univ. Nac. Auton. Mex. (Zool.), vol. 62, no. 1, pp. 17 – 32, ISSN 0368-8720

Sauer, W.H.H., M.J. Smale and M.R. Lipinski. 1992. The Location of Spawning Grounds, Spawning and Schooling Behaviour of The Squid Loligo vulgaris reynaudii (Cephalopoda: Myopsida) off The Eastern Cape Coast, South Africa. Marine Biology, Vol. 114, Issue 1, pp. 97 - 107

Sidorov, A.V. 2005. Effect of Acute Temperature Change on Lung Respiration of The Mollusc Lymnaea stagnalis. Journal of Thermal Biology, Vol. 30, Issue 2, pp. 163 – 171

Sykes, A. V., D.Pereira, C. Rodríguez, A. Lorenzo and J.P. Andrade. 2013. Effects of Increased Tank Bottom Areas on Cuttlefish (Sepia officinalis, L.) Reproduction Performance. Aquaculture Research, Vol. 44, Issue 7, pp. 101 7 – 1028.

Trueman, E.R. and G.A. Lowe. 1971. The Effect of Temperature and Littoral Exposure on The Heart Rate of a Bivalve Mollusc, Isognomum alatus, in Tropical Conditions. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology, Volume 38, Issue 3, pp. 555 – 564

Welch, P.S. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Co., Inc. New York. 538 pp.

Zimmerman, K.M. and J. A. Pechenik. 1991. How Do Temperature and Salinity Affect Relative Rates of Growth, Morphological Differentiation, and Time to Metamorphic Competence in Larvae of the Marine Gastropod Crepidula plana ? Biological Bulletin, Vol. 180, No. 3, pp. 372-386

Senin, 29 Januari 2018

Bioekologi Krustasea Planktonik

Bab I
Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Klasifikasi Sub Filum Krustasea

Hickman et al. (2001) menyusun klasifikasi sub filum krustasea. Klasifikasi yang lebih tinggi untuk krustasea adalah komplek dan berubah-ubah akibat penambahan data baru. Klasifikasi berikut berdasarkan pada beberapa sumber dan mengabaikan taksa yang lebih kecil :

Kelas Remipedia (ri-mi-pee’dee-a) (Latin : remipedes, kaki-dayung). Tanpa karapas; protopoda berruas satu; memiliki antena dan antenula biramus (bercabang dua); semua alat gerak pada tubuh adalah sama; alat gerak pada kepala besar dan raptorial (berfungsi menangkap mangsa); ruas maxiliped bersatu dengan kepala. Contoh : Speleonectes.

Kelas Cephalocarida (sef’a-lo-kar’i-da) (Yunani : kephale, kepala, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak). Tanpa karapas; protopoda bersegmen satu, filopodia (kaki seperti daun); antenula uniramus (tak bercabang), antena biramus; tidak ada mata majemuk; tidak ada alat gerak pada bagian perut (abdominal), maksiliped mirip dengan kaki toracik. Contoh : Hutchinsoniella.


Kelas Branchipoda ((bran’kee-op’o-da) (Yunani : branchia, insang, + pous, podos, kaki). Filopodia; karapas kadang ada kadang tidak ada; tanpa maksiliped; antenula menyusut; ada mata majemuk; tanpa alat gerak abdominal; maksila menyusut.

- Ordo Anostraca (an-os’tra-ka) (Yunani : an-, awalan yang berarti tanpa, + ostrakon, cangkang). Tanpa karapas, tanpa alat gerak abdominal; antena uniramus. Contoh Artemia, Branchinecta.

- Ordo Notostraca (no-tos’tra-ka)(Yunani : notos, punggung, + ostrakon, cangkang) : udang kecebong. Karapas membentuk perisai dada yang besar; memiliki alat gerak abdominal, yang menyusut ke arah belakang; antena menyusut. Contoh : Triops, Lepidurus.

- Ordo Cladocera (kla-dah’se-ra) (Yunani : klados, cabang, + keras, tanduk) : kutu air. Karapas terlipat, biasanya menutupi badan tetapi tidak menutupi kepala; antena biramus; memiliki alat gerak abdominal. Contoh : Daphnia, Leptodora.

- Ordo Conchostraca (kon-kos’tra-ka) (Yunani : konche, cangkang + ostrakon, cangkang). Udang remis. Karapas berkatup-dua (seperti bivalva atau kerang) yang menutupi seluruh tubuh; antena biramus; semua alat gerak badan sama. Contoh : Lynceus.


Kelas Maxillopoda (maks-i-lah’po-da) (Latin : maxilla, tulang rahang, + pous, podos, kaki). Biasanya memiliki somit (ruas tubuh) terdiri dari lima ruas cephalic (kepala), enam ruas thoracic (dada), dan empat abdominal ditambah satu telson (perpanjangan ruas terakhir tubuh ke arah belakang), tetapi menyusut; tidak ada alat gerak khas pada perut; mata nauplius memiliki struktur yang unik (mata maxillopoda); karapas ada atau tidak ada.

- Subkelas Ostracoda (os-trak’o-da) (Yunani : ostrakodes, bercangkang). Karapas berkatup dua yang menutupi seluruh tubuh; badan tidak beruas atau ruasnya tidak jelas; alat gerak badan tidak lebih dari dua pasang. Contoh : Cypris, Cypridina, Gigantocypris.

- Subkelas Mystacocarida (mis-tak’o-kar’i-da) (Yunani : mystax, kumis, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak) : udang berkumis. Tanpa karapas; tubuh berruas-sepuluh; telson dengan cabang ekor mirip-cakar; alat gerak kepala hampir mirip, tetapi antena dan mandibula (alat gerak mirip rahang) bercabang dua, alat gerak kepala lainnya tak bercabang; ruas tubuh kedua sampai kelima memiliki alat gerak pendek berruas-satu. Contoh : Derocheilocaris.

- Subkelas Copepoda (ko-pep’o-da) (Yunani : kope, dayung, + pous, podos, kaki) : kopepoda. Tanpa karapas; torak (dada) secara khas memiliki tujuh ruas di mana ruas pertama dan kadang-kadang ruas kedua bersatu dengan kepala membentuk cephalohorax; antenula uniramus; antena bi- atau uniramus;memilki empat sampai lima pasang kaki renang; bentuk parasitik seringkali sangat termodifikasi. Contoh : Cyclops, Diaptomus, Calanus, Ergasilus, Lernaea, Salmincola, Caligus.

- Subkelas Tantulocarida (tan’tu-lo-kar’i-da) (Latin : tantulus, sangat kecil, + caris, udang). Tidak ada alat gerak kepala yang dapat dikenali kecuali antena pada individu betina seksual; memilki stylet di tengah-tengah kepala yang kuat; enam ruas dada masing-masing dengan sepasang alat gerak; ruas abdominal ada enam; ekto parasit mirip-kopepoda kecil. Contoh : Basipodella, Deoterthron.

- Subkelas Branchiura (bran-ki-ur’a) (Yunani : branchia, insang, + ura, ekor) : kutu ikan. Badan oval; kepala dan sebagian besar badan ditutupi oleh karapas pipih, yang bersatu secara tidak sempurna dengan ruas dada pertama; thorax (dada) memiliki empat pasang alat gerak, biramus; abdomen (perut) tidak besegmen, berkeping-dua; mata majemuk; antena dan antenula menyusut; maksilula sering membentuk cakram penghisap. Contoh : Argulus, Chonopeltis.

- Subkelas Cirripedia (sir-i-ped’i-a) (Latin : cirrus, rambut keriting, + pes, pedis, kaki) : barnakel/teritip. Sesil (hidup menempel) atau parasit ketika dewasa; kepala mengecil dan abdomen menyusut; tidak ada mata majemuk berpasangan; ruas badan tidak jelas; biasanya hermafrodit; pada bentuk yang hidup bebas, karapas berubah menjadi mantel yang mensekresi lempengan berkapur; antenula berubah menjadi organ penempel kemudian menghilang. Contoh : Balanus,Policipes, Sacculina.


Kelas Malacostraca (mal-a-kos’tra-ka) (Yunani : malakos, lunak, + ostrakon, cangkang). Biasanya memiliki delapan ruas pada torak dan enam plus telson pada abdomen; semua ruas memiliki alat gerak; antenula seringkali biramus; alat gerak dada pertama sampai ketiga sering menjadi maksiliped (jadi, bergabung dengan atau menjadi bagian mulut); karapas menutupi kepala dan sebagian atau seluruh torak, kadang-kadang tidak ada; insang biasanya berupa thoracic epipod (tonjolan di samping dada yang berubah menjadi alat pernafasan).

- Ordo Isopoda (i-sop’o-da) (Yunani : isos, sama, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula biasanya uniramus, kadang-kadang menyusut;mata tidak bertangkai; insang terletak pada alat gerak abdominal; badan umumnya gepeng punggung-perut; alat gerak toracik kedua biasanya tidak berkembang menjadi alat pemegang. Contoh : Armadillidium, Caecidotea, Ligia, Porcellio.

- Ordo Amphipoda (am-fip’o-da) (Latin : amphis, pada kedua sisi, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula sering biramus; mata biasanya tanpa tangkai; insang terletak pada “thoracic coxae” (sendi pada pangkal kaki pertama di bagian dada); alat gerak kedua dan ketiga pada dada biasanya diadaptasikan untuk memegang; bentuk tubuhnya pipih secara bilateral (kanan-kiri). Contoh : Orchestia, Hyalella, Gammarus.

- Ordo Euphausiacea (yu-faws-i-a’si-a) (Yunani : eu, baik + phausi, bersinar terang, + Latin : acea, akhiran yang menyatakan berkaitan dengan) : udang kril. Karapas bersatu dengan semua ruas dada tetapi tidak semuanya menutupi insang; tanpa maksiliped; semua alat gerak dada memiliki eksopoda (kaki luar). Contoh : Meganyctiphanes.

- Ordo Decapoda (de-kap’o-da) (Yunani : deka, sepuluh + pous, podos, kaki) : udang, kepiting, lobster. Semua ruas dada bersatu dengan dan ditutupi oleh karapas;mata memiliki tangkai; tiga pasang alat gerak dada pertama berubah menjadi maksiliped. Contoh : Penaeus, Cancer, Pagurus, Grapsus, Homarus, Panulirus.

Fosil Ostracoda dan Kadar Oksigen Masa Silam

Boomer dan Whatley (1992) melaporkan bahwa ostracoda merupakan subkelas dari krustasea kecil yang menghuni sebagian besar lingkungan perairan; mereka telah dilaporkan dari jaman Kambrian sampai masa kini. Sifat-sifat biologi salah satu grup ostracoda laut, Platycopina (Triasik-Masa Kini), memungkinkan mereka untuk lebih sanggup bertahan terhadap penurunan kadar oksigen terlarut. Studi terhadap sejumlah seksi geologi menunjukkan bahwa subordo ini sering mendominasi interval stratigrafi yang kondisinya disaerobik (kekurangan oksigen). Dengan demikian, perubahan komposisi fauna pada jaman Jurasik Bawah di Mochras Borehole, Wales bisa ditafsirkan sebagai serangkaian perubahan lingkungan dengan kadar oksigen berfluktuasi.

Distribusi Kepiting Laut Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa rajungan tropis merupakan organisme berumur pendek bila dibandingkan dengan lobster batu, dan kebanyakan spesies mungkin bersifat tahunan. Meski beberapa genus, seperti Euphylax di Pasifik Timur, bersifat pelagis dan oseanis dalam hal distribusinya, sebagian besar bersifat neritik dan bahkan estuarin. Pada habitat-habitat ini mereka membentuk komponen penting biomas predator, yang memangsa banyak jenis invertebrata kecil dan ikan kecil. Jenis rajungan Indo-Pasifik barat yang penting adalah Neptunus pelagicus yang terdapat di seluruh kepulauan sebelah barat. Di Atlantik, rajungan biru dari genus Callinectes sapidus dari Atlantik barat merupakan basis perikanan kepiting utama di Karibia dan Teluk Meksiko; Callinectes latimanus (estuaria) dan Callinectes gladiator (paparan benua) merupakan spesies yang serupa dengan yang ada di Teluk Guinea.

Pengaruh Fase Bulan dan Pasang Surut Terhadap Kelimpahan Larva Penaeidae

Goswami dan Goswami (1992) mempelajari larva udang di Estuaria Mandovi, Goa, India, dengan tujuan menentukan waktu, fase bulan dan fase pasang-surut yang tepat untuk mengumpulkan benih udang tersebut dalam skala besar guna kebutuhan akuakultur. Larva dan post larva 8 spesies udang komersial penting ditemukan dalam sampel zooplankton dari permukaan dan dasar perairan. Mereka adalah, dalam urutan kelimpahan, Metapenaeus dobsoni (Miers), Metapenaeus affinis (H. Milne-Edwards), Metapenaeus monoceros (Fabricius), Parapeneopsis stylifera (H. Milne-Edwards), Penaeus merguiensis De Man, Penaeus indicus (H. Milne-Edwards), Penaeus monodon Fabricius dan Penaeus semisulcatus De Haan. Tahap mysis adalah dominan. Bagaimanapun, fase bulan, siklus harian dan naik-turunnya pasang-surut mempengaruhi keberadaan mereka. Lebih melimpahnya tahap protozoea dan misis terlihat dalam sampel yang diambil selama siang hari sedangkan post larva umum dijumpai pada malam hari. Kelimpahan larva udang penaeidae adalah lebih banyak selama bulan purnama dan pasang tinggi daripada selama periode bulan baru dan pasang rendah.

Bab II
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea


Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Udang Penaeus

Chen dan Lai (1993) meneliti pengaruh suhu dan salinitas terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia pada udang Penaeus japonicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen (O2 mg/gram/jam) dan laju ekskresi amonia-N (mikrogram/gram/jam) juvenil Penaeus japonicus Bate (berat 0,220 ± 0,051 gram) meningkat dengan meningkatnya suhu dalam kisaran 15 – 35 oC pada empat tingkat salinitas (15, 20, 25 dan 30 ppt). Konsumsi oksigen menurun dengan meningkatnya salinitas pada suhu 15 dan 25 oC; bagaimanapun, perbedaan konsumsi oksigen di antara berbagai perlakuan salinitas adalah tidak nyata pada suhu 35 oC. Ekskresi amonia nitrogen pada udang ini menurun secara jelas dengan meningkatnya salinitas pada semua suhu yang diuji. Hubungan antara konsumsi oksigen (OC), ekskresi amonia nitrogen (AE), suhu (T), salinitas (S) dan lama pemaparan (exposure time; t) adalah sebagai berikut :

OC = -0,0359 + 0,0235 T – 0,0024 S – 0,0043 t (r2 = 0,7464)
AE = 5,4183 + 2,2379 T – 1,2731 S – 0,2123 t (r2 = 0,7939)

Rasio O : N menunjukkan pergeseran pemanfaatan nutrisi dari metabolisme yang didominasi-protein ke metabolisme yang didominasi-lipida pada Penaeus japonicus, bila udang ini dikenai peningkatan salinitas sampai 30 ppt pada suhu 15 oC.

Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Lobster

Nakamura dan Kuramoto (1992) melaporkan bahwa lobster, Panulirus japonicus, telah diaklimasikan di dalam sebuah ruang perfusion (semacam akuarium, volume 25 x 40 x 30 cm3, suhu 20 ± 1 oC) selama sebulan. Data electrocardiogram (ECG) diperoleh dengan bantuan elektroda-elektroda yang ditanam dalam tubuh lobster. Rata-rata denyut jantung lobster adalah sekitar 100 denyut per menit selama musim semi dan musim panas atau sekitar 50 denyut per menit selama musim dingin. Pengaruh suhu rendah terhadap denyut jantung dipelajari secara in vivo. Untuk mendinginkan lobster sampai suhu 15 oC, air laut dingin (5 oC) dituangkan ke dalam akuarium. Laju pendinginan (0,1 – 1,0 oC/menit) tergantung pada volume air dingin dan diukur dengan termometer digital.

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada musim semi dan musim panas, laju denyut jantung berkurang sejalan dengan penurunan suhu akibat pendinginan (misal sampai 66 denyut per menit). Bagaimanapun, laju denyut jantung tidak jatuh di bawah 60 denyut per menit pada suhu 15 oC. Pada musim dingin, laju denyut jantung tidak mengikuti penurunan suhu di bawah 18 oC meskipun lajunya turun pada menit-menit awal. Sebagai contoh, laju denyut jantung 31 ± 5 denyut per menit terjadi pada suhu 18 – 16 oC. Korelasi antara laju denyut jantung dan suhu yang diperoleh berdasarkan 18 percobaan pada musim dingin menunjukkan bahwa denyut jantung menurun untuk suhu 21 – 19 oC dan meningkat untuk suhu 19 – 16 oC. Korelasi negatif menunjukkan bahwa lobster memiliki mekanisme yang mencegah penurunan laju denyut jantung yang bergantung pada penurunan suhu tubuh (Nakamura dan Kuramoto, 1992).

Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Zooplankton di Estuaria Tropis

Osore (1992) mempelajari hubungan antara suhu air dan kelimpahan zooplankton di Gazi Creek, sebuah sungai kecil berhutan bakau tropis di selatan Mombasa, Kenya. Stasiun-stasiun sampling terletak di mulut sungai (stasiun 1), sungai bagian dalam (stasiun 3), dan di tengah-tengah keduanya (stasiun 2). Sampling dilakukan dua kali sebulan, dimulai dari stasiun 1 terus ke stasiun 2 sampai stasiun 3. Sebuah jaring bermata jaring 335 mikron dihela di dekat permukaan air selama 5 menit dan sampel yang dikumpulkan diawetkan dengan formaldehid 5 %. Parameter-parameter hidrografi dicatat selama pengambilan sampel. Penelitian di Gazi Creek dilakukan untuk mensurvei komposisi zooplankton baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 22 taksa penting telah dipelajari untuk menentukan variasi musiman dalam hal kelimpahan dan distribusi zooplankton.

Osore (1992), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa populasi zooplankton paling tinggi pada bulan Maret (374 individu per m3). Kelimpahan ini perlahan-lahan menurun selama periode angin muson tenggara (Mei – September) hingga mencapai nilai terendah pada bulan Agustus (30 individu per m3). Kopepoda merupakan taksa yang paling melimpah (48,5 – 92,4 %) selama penelitian. Kelompok ini ditemukan di seluruh sungai kecil tersebut. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa mulut sungai kecil ini memiliki keragaman kopepoda yang lebih tinggi dibandingkan sungai bagian dalam. Berdasarkan Indeks Margalef, stasiun 1 memiliki nilai yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan stasiun 3. Suhu air permukaan menurun selama angin muson tenggara (28,0 sampai 25,5 oC) dan naik selama angin muson timur laut (29,0 sampai 35,5 oC). Kecenderungan dalam hal variasi suhu sangat bersesuaian dengan kelimpahan zooplankton, yang menunjukkan bahwa zooplankton hidup paling subur di perairan yang lebih hangat. Jumlah zooplankton yang banyak juga diamati sekitar bulan Mei (326 individu per m3) selama hujan panjang; mungkin karena banyaknya masukan zat hara. Secara umum, pH bulanan rata-rata hanya bervariasi sedikit, tetapi pH air bagian hulu selalu lebih rendah daripada pH di mulut sungai. Salinitas sangat konstan pada 35 ppt.

Pengaruh Suhu dan Letak Lintang Terhadap Keragaman Kopepoda Laut

Hernandez-Trujillo (1991) mempelajari komposisi spesies kopepoda laut dan kelimpahan setiap spesiesnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis kopepoda yang dikumpulkan di pesisir barat Baja California Sur selama beberapa bulan dalam periode tahun 1982 – 1984. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan keragaman kopepoda yang tinggi seringkali terletak di bagian selatan lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air sampai 29 oC. Sebaliknya, daerah dengan keragaman kopepoda yang rendah terletak di bagian utara dan tengah lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air di bawah 20 oC. Pada tahun 1983, spesies-spesies tropis mendominasi komunitas kopepoda di daerah ini. Kelimpahannya berkurang selama tahun 1984, tanpa ada spesies yang dominan.

Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Tangkap Udang Galah

Yamane (1992) mempelajari bagaimana suhu mempengaruhi jumlah tangkapan udang galah Jepang, Macrobrachium nipponenense, di daerah penangkapan udang tersebut yang terletak di basin selatan Danau Biwa, Jepang. Data yang digunakan dalam evaluasi adalah hasil tangkap oleh perangkap udang dalam waktu tiga tahun (8 Februari – 18 Desember 1987, 18 Maret – 24 Desember 1988 dan 18 Mei – 3 Desember 1990). Perangkap tanpa umpan diletakkan di dasar danau dengan jarak antar perangkap 2 meter pada kedalaman sekitar 2 meter. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah udang galah yang tertangkap dikendalikan oleh suhu air. Di daerah ini, suhu air tampaknya merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah tangkapan udang.

Bab III
Acartia : Ekologi, Telur Dan Kelangsungan Hidup


Acartia Sebagai Zooplankton Laut Dominan

Park et al. (1991) meneliti distribusi musiman zooplankton di Teluk Asan, Korea. Labidocera euschaeta, Sagitta crassa, Calanus sinicus dan Acartia omorii adalah jenis-jenis zooplankton dominan sepanjang tahun dengan persentase komposisi bervariasi musiman. Larva veliger bivalva (musim gugur), larva decapoda (musim semi dan panas) serta Paracalanus parvus dan Evadne tergestina (musim panas) mendominasi juga selama periode tertentu. Pola distribusi vertikal tergantung-waktu untuk satu taksa utama , Acartia omorii, menunjukkan perbedaan musiman, yakni menunjukkan kecenderungan migrasi vertikal normal pada musim dingin dan migrasi vertikal sebaliknya pada musim semi. Di lapisan permukaan laut kelimpahan pada siang hari adalah sama atau lebih sedikit dibandingkan kelimpahan pada malam hari secara umum.

Kedalaman Sedimen Habitat Telur-Istirahat Acartia

Vlitasalo (1992) melaporkan bahwa telur-istirahat Acartia (diduga Acartia bifilosa) pada kepadatan antara 65 dan 125 telur per cm2 ditemukan di dalam sedimen di lepas pantai selatan Finlandia dan mewakili pengamatan pertama telur calanoid dorman (tak aktif) di Laut Baltik. Kepadatan telur tertinggi ditemukan pada kedalaman sedimen antara 4 dan 8 cm. Persentase penetasan bervariasi antara 0 dan 90 % di berbagai lapisan sedimen dan pada berbagai suhu percobaan (13, 16 dan 19 °C). Beberapa naupli menetas dari telur yang diambil dari lapisan sedimen 9 sampai 10 cm di bawah lapisan permukaan sedimen sedangkan naupli lain menetas dari telur setelah disimpan selama 82 hari dalam kondisi geap pada suhu 3 °C. Cahaya tidak dibutuhkan untuk memicu penetasan; naupli dapat menetas dalam gelap bila telur dimasukkan kembali ke dalam air laut yang disaring. Bukti tak langsung menunjukkan bahwa puncak kelimpahan naupli Acartia spp. pada musim semi yang terlihat dalam data pemantauan dari tahun 1973 sampai 1984 adalah berasal dari telur bentik dan bukan dari pemijahan.

Penetasan, Produksi Telur dan Umur Acartia

Trujillo-Ortiz (1990) melakukan percobaan keberhasilan penetasan, produksi telur dan lama perkembangan kopepoda calanoid laut Acartia californiensis Trinast di bawah kondisi laboratorium pada suhu 17 ± 1 °C dan salinitas 35 ppt. Spesimen A. californiensis dikumpulkan di Estero de Punta Banda, Baja California, Mexico. Kopepoda ini memiliki rata-rata keberhasilan penetasan 96 % ± 32 simpangan baku selama periode percobaan. Rata-rata produksi telur bervariasi dari 24,75 ± 1,95 simpangan baku telur/betina/hari (n = 2 betina, t = 10 hari). Lama perkembangan adalah 17,75 hari dari telur sampai dewasa. Hasil penelitian menunjukkan kesamaan yang besar dengan hasil-hasil penelitian lain pada spesies yang sama di daerah pesisir Pasifik utara. A. californiensis terbukti merupakan spesies yang mudah dipelihara di laboratorium.

Pengaruh Oksigen Terhadap Penetasan, Daya Hidup Telur dan Embryo Acartia

Lutz et al. (1992) meneliti pengaruh konsentrasi oksigen yang rendah terhadap penetasan dan daya hidup telur kopepoda laut. Telur dari empat spesies kopepoda, Acartia tonsa, Labidocera aestiva, Tortanus discaudatus dan Centropages hamatus dipaparkan terhadap oksigen berkonsentrasi kurang dari 0,02 ml oksigen per liter. Ketika telur-telur tersebut kemudian dipaparkan terhadap oksgen berkonsentrasi normal, tingkat penetasan bervariasi antar sesies, yang menunjukkan variasi kemampuan telur untuk bertahan hidup pada kondisi konsentrasi oksigen rendah. Pengeraman telur pada konsentrasi oksigen rendah menyebabkan perkembangan embryo menjadi lebih lama.

Kelangsungan Hidup, Umur dan Mortalitas Acartia

Trujillo-Ortiz dan Arroyo-Ortega (1991), dengan tujuan menganalisis mortalitas dan umur harapan hidup kopepoda calanoida Acartia californiensis selama siklus hidupnya, melakukan penelitian di bawah kondisi laboratorium (suhu 17 ± 1 °C dan salinitas 35 ppt). Telur dari individu dewasa yang dikumpulkan di Estero de Punta Banda, Baja California, Mexico, dikultur hingga tahap dewasa. Mereka diberi pakan mikroalga Tetraselmis sp dan Isochrysis tahitiana. Selama perkembangan organisme, laju mortalias maksimum terjadi pada tahap-tahap nauplius. Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, rata-rata umur harapan hidup atau umur lebih lama bagi binatang hidup dalam populasi menunjukkan nilai-nilai tertinggi untuk tahap nauplius-I sampai nauplius-VI (3,98 hari ± 0,24 simpangan baku); nilai terendah diperoleh pada tahap-tahap kopepodid (2,26 hari ± 1,05 simpangan baku). Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, selama sepuluh hari pertama umur organisme, kelangsungan hidup dan umur harapan hidup adalah 0,67 ± 0,24 simpangan baku dan 6,45 ± 0,82 simpangan baku, berturut-turut. Sebaliknya, nilai-nilai ini menurun sampai menjadi 0,183 ± 0,13 simpangan baku untuk kelangsungan hidup, dan 2,30 hari ± 1,32 simpangan baku untuk umur harapan hidup selama hari-hari akhir percobaan. Variasi mortalitas dan umur harapan hidup ungkin disebabkan perbedaan jenis akan dan variasi metabolisme organisme yang dipengaruhi tahap hidup.

Bab IV
Kebiasaan Makan Kopepoda Acartia

Acartia merupakan salah satu zooplankton laut dominan sepanjang tahun (Park, Choi dan Moon, 1991). Dominansi ini dipertahankan antara lain dengan memanfaatkan secara maksimal sumber daya makananannya. Untuk memanfaatkan sumberdaya makanannya yang sedikit atau tidak selalu ada, Acartia mengembangkan daya gerak untuk menangkap makanannya itu (Tiselius, 1992). Kopepoda ini makan pada siang (Wlodarczyk, Durbin dan Durbin, 1992), namun lebih aktif mencari makan pada malam hari (Rodriguez dan Durbin, 1992).

Daya gerak individu betina Acartia tonsa sebagai respon terhadap sebaran diatom Thalassiosira weissflogii telah dipelajari oleh Tiselius (1992) dengan menggunakan teknik digital dan rekaman video standar. Daya gerak, yang diukur sebagai perpindahan tiap 10 detik, berkurang setelah 24 jam kelaparan tetapi tak terpengaruh oleh 4 jam kelaparan; daya gerak meningkat untuk sementara setelah dipindahkan dari air laut yang penuh makanan ke air laut yang tidak ada makanannya. Bila makanan hanya ada di pertengahan atas akuarium, kopepoda ini menghabiskan sebagian besar waktunya di sana dan menghasilkan pelet tinja sebanyak seperti di akuarium dengan sebaran makanan homogen. Analisis video terinci menunjukkan bahwa frekuensi makan lebih tinggi dan frekuensi melompat lebih jarang di akuarium yang ada makanannya daripada di air laut yang tak ada makanannya. Kopepoda ini melakukan gerak naik vertikal dengan melompat berulang-ulang untuk mencapai lapisan air yang ada makanannya; dengan perilaku seperti ini mereka dapat bertahan di dalam lapisan-makanan yang tebalnya hanya 30 mm yang berada di tengah-tengah kolom air laut tanpa-makanan setebal 200 mm. Bahkan dengan lapisan-makanan yang tipis seperti ini, kopepoda tersebut selama periode 2 jam memproduksi pelet tinja sebanyak seperti pada akuarium dengan sebaran makanan homogen. Respon yang cepat terhadap makanan dan kemampuan yang tinggi untuk tetap ada di dalam lapisan air tertentu mungkin penting bagi kopepoda yang sumberdaya maanannya jarang.

Keragamaan perilaku makan individu Acartia hudsonica telah dipelajari oleh Rodriguez dan Durbin (1992). Mereka melakukan pengukuran fluorometrik untuk menentukan kandungan pigmen perut dan laju pengosongannya, yang merupakan dasar perhitungan laju makan dan volume makan harian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan perut (gut content) hampir selalu kurang dari 1,2 nano gram pigmen per kopepoda. Sekitar 45 % individu menunjukkan kadar pigmen agak tinggi (0,2 sampai 0,5 nano gram) baik pada siang maupun malam hari, tetapi persentase kopepoda dengan kadar pigmen lebih dari 0,5 nano gram meningkat dari 16 % pada siang hari menjadi 42 % pada malam hari.

Wlodarczyk, Durbin dan Durbin (1992) meneliti pengaruh suhu terhadap aktivitas makan Acartia dan ambang batas konsentrasi pakan di mana di bawah nilai konsentrasi ini aktivitas makan berhenti atau menurun drastis. Mereka menggunakan betina dewasa kopepoda laut Acartia hudsonica yang diberi makan diatom bersel satu Thalassiosira constricta (diamater 10,4 mikron bila dianggap bulat) pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC. Percobaan dilakukan selama siklus harian yang sama (pukul 05.00 sampai 10.00) dan berakhir menjelang tengah hari, saat itu laju makan relatif stabil, guna menstandarisasi pengaruh ritme makan harian. Ambang batas bawah aktivitas makan 280, 127, 282 dan 214 sel/ml berturut-turut pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC telah ditunjukkan oleh hasil analisis regresi bersegmen terhadap hubungan antara pigmen-pigmen lambung dan konsentrasi fitoplankton.

Selektivitas ukuran, laju pembersihan (atau kecepatan menghabiskan makanan dari lingkungan sekitar) dan laju penelanan makanan serta efisiensi asimilasi pada Acartia clausi dari Teluk Blanes Bay (Laut Catalan , NW Mediterranean) telah dievaluasi dalam percobaan grazing pada berbagai kosentrasi makanan. Acartia clausi mencapai koefisien grazing tertinggi untuk alga besar >70 µm (perpajjangan linier terpanjang). Dengan meningkatnya kadar zat hara, konsentrasi makanan efektif (Effective food concentration; EFC) membentuk kurva melengkung dengan nilai maksimum pada kadar zat hara intermediet. Sejalan dengan meningkatnya kadar makanan, laju pembersihan makanan oleh Acartia menunjukkan respon kurva-lengkung dengan kisaran modus yang sempit. Tidak ada aktivitas makan yang dapat dideteksi untuk A. clausi pada konsentrasi makanan < 0.1 mm3 per liter . Rata-rata laju penelanan makanan adalah 1.3 µg C per individu per hari. Konversi karbon yang ditelan menjadi jaringan adalah 30–80% ( Katechakis et al., 2004).

Kemampuan Acartia untuk menseleksi alga makanan yang beracun dan tak beracun menarik perhatian banyak peneliti. Peranan mesozooplankton grazer (pemakan) dalam perkembangan ledakan populasi alga satu-spesies telah sering diteliti dalam kerangka di mana grazer, yang bergantung pada kemampuannya untuk mengenali, menseleksi spesies beracun dan menaikkan tekanan grazing pada spesies tak-beracun. Barreiro (2006) menyajikan beberapa skenario ekologi di mana grazer bisa menseleksi berbagai galur (beracun dan tak beracun) dari spesies yang sama, yang hidup bersama-sama dengan kepadatan yang sama di lingkungan alami sebelum ledakan populasi dimulai. Acartia clausi diberi makan makanan tunggal dan campuran dari 2 galur dinoflagelata Alexandrium minutum, penghasil racun “paralytic shellfish poisoning” (PSP; keracunan kerang yang bersifat melumpuhkan). Satu galur menghasilkan racun PSP dalam jumlah besar dan yang lainya sedikit. Barreiro mengamati strategi makan dan memperkirakan respon kopepoda berdasarkan pada kemampuannya menseleksi makanan. Hasinya menunjukkan bahwa kopepoda memakan secara selektif galur-galur A. minutum. Disimpulkan bahwa kopepoda tidak menolak secara efektif galur beracun. Jadi, tekanan pemangsaan oleh grazer tampaknya bukan merupakan mekanisme penting yang mendorong dominasi galur beracun atas galur tak beracun sebelum terjadinya ledakan populasi.

Jeong et al. (2001) mengukur laju penelanan Acartia spp. terhadap dinoflagellate Amphidinium carterae yang beracun, laju penalanan Acartia spp. terhadap dinoflagelata Oxyrrhis marina (yang sebelumnya dikenyangkan kemudian dilaparkan). Grazing oleh Acartia spp. terhadap A. carterae tidak dapat dideteksi; jadi dinoflagelata ini tidak dimakan oleh Acartia . Laju penelanan Acartia spp. terhadap O. marina adalah sangat rendah (maksimum = 749 Oxyrrhis per pemangsa per hari) pada hari ke-0 (O. marina dilaparkan selama 0 sampai 1 hari setelah dikenyangkan dengan A. carterae), tetapi meningkat dengan meningkatnya selang lama waktu kelaparan. Laju penelanan maksimum adalah 4710 Oxyrrhis per pemangsa per hari pada hari ke-11 (O. marina dilaparkan selama 11 sampai 12 hari). Bukti ini menunjukkan bahwa grazing A. carterae oleh O. marina kadang-kadang dapat memindahkan karbon dari A. carterae ke Acartia spp., yang tidak dapat memakan A. carterae.

Bab V
Pemangsaan Terhadap Daphnia (Cladocera)


Perilaku Menjauhi Tepi Danau Untuk Menghindari Pemangsaan

Gliwicz and Rykowska (1992) melaporkan bahwa distribusi dua spesies Daphnia yang dominan di sebuah danau eutrofik, Danau Ros, menunjukkan perbedaan kelimpahan antara dekat-pantai dan jauh-pantai dengan penurunan dramatis ke arah dekat-pantai, yang menunjukkan kuatnya perilaku “menghindari pantai”. Bagaimanapun, lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih kecilnya kelompok individu kedua populasi yang ada di dekat pantai menunjukkan bahwa lebih rendahnya kepadatan populasi setiap spesies di dekat-pantai adalah lebih disebabkan oleh pengaruh langsung tingginya mortalitas individu yang berukuran lebih besar dan individu dalam kelompok besar karena mereka lebih rentan terhadap pemangsaan oleh ikan pantai, yang didominasi oleh juvenil ikan perch. Data hidroakustik dan data hasil tangkap trawl menunjukkan bahwa ikan perch muda berenang ke lepas pantai pada petang hari untuk memakan zooplankon pelagis, tetapi aktivitas makan mereka tidak seefisien pada malam hari ketika mereka mencapai kumpulan Daphnia paling jauh di tengah danau. Resiko pemangsaan yang tinggi di sekitar pantai danau bisa dianggap sebagai faktor terakhir di belakang evolusi perilaku menghindari pantai pada zooplankton.

Fluktuasi Aktivitas Pemangsaan Terhadap Daphnia

Rudstam et al. (1993) menganalisis data 14 tahun (1976 – 1989) mengenai ikan planktivora (pemakan plankton) dan zooplankton dari Danau Mendota, Wisconsin. Laju pemangsaan terhadap plankton berubah selama periode ini, terutama akibat fluktuasi ikan cisco (Coregonus artedi) kelas tahun 1977 yang mendominasi aktivitas pemangsaan plankton selama periode 10 tahun. Aktivitas pemangsaan terhadap plankton meningkat antara tahun 1977 dan 1978 akibat peningkatan biomas ikan kelas tahun tersebut dan penurunan biomasnya pada bulan Agustus 1987 setelah kejadian “summer kill” (kematian masal di musim panas) ikan cisco di danau ini. Kelas tahun ikan yellow perch (Perca flavescens) dan kelas tahun cisco lainnya menyumbangkan kurang dari 25 % total pemangsaan plankton selama tahun 1978 sampai 1987. Analisis rangkaian waktu menunjukkan bahwa fluktuasi 10 tahun laju pemangsaan plankton ini adalah berkaitan dengan perubahan spesies dan biomas Daphnia. Perubahan musiman dan antar-tahun dalam hal komposisi spesies Daphnia disebabkan oleh efek gabungan pemangsaan plankton, dinamika sumberdaya makanan, dan ekologi fisiologi dua spesies Daphnia. Tidak ada efek nyata peningkatan pemangsaan plankton terhadap biomas zooplankton total karena diimbangi oleh meningkatnya kelimpahan kopepoda cyclopoid sementara kopepoda calanoid tidak memberikan respon.

Pengaruh Ukuran Pemangsa Terhadap Laju Pemangsaan Dapnia

Butler and Burns (1993) meneliti pengaruh ketersediaan mangsa terhadap laju pemangsaan pada tungau air, Piona exigua, dengan tujuan untuk menentukan kisaran dampak pemangsa ini terhadap populasi spesies mangsanya. Piona exigua merupakan invertebrata pemangsa dominan di beberapa danau di New Zealand. Kedua peneliti mempelajari respon-respon fungsional Piona pada bebagai kondisi dan membandingkan hasil-hasilnya dengan menggunakan “analisis kurva paralel” dan sebuah metode pendugaan parameter-parameter kurva. Laju pemangsaan terhadap berbagai cladocera menunjukkan “ambang batas” ukuran mangsa di mana laju pemangsaan berubah mendadak. Nilai-nilai ambang batas ini adalah khas untuk setiap ukuran pemangsa. Piona betina, jantan dan nimfanya menunjukkan laju pemangsaan tertinggi terhadap Daphnia carinata, Ceriodaphnia dan Chydorus, berturut-turut.

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Populasi Daphnia

Irvine et al. (1991) meneliti pengaruh peniadaan tekanan pemangsaan oleh ikan terhadap Daphnia di danau dengan menggunakan karamba di Hoveton Great Broad, salah satu danau eutrofik dangkal di Norfolk Broadland di timur Inggris. Karamba dirancang sedemikian hingga fitoplankton bebas keluar masuk tetapi cladocera dan ikan tidak dapat. Populasi Daphnia di dalam karamba meningkat dan berlanjut sampai periode yang lebih lama pada musim panas dibandingkan dengan populasi yang ada di perairan terbuka di danau itu. Tidak ada penurunan mutu fitoplankton makanan akibat berlangsungnya musim panas dan akibat meningkatnya jumlah cyanophyta, terutama yang bersel kecil. Pengukuran laju makan pada Daphnia menunjukan bahwa laju makan, tetapi bukan efisiensi asimilasi, menurun dengan bertambahnya ukuran fraksi makanan. Analisa makanan pada ikan cyprnidae O+ (umur 0 tahun lebih) di danau menunjukkan bahwa ikan ini tetap memangsa zooplankton kecil, terutama Bosmina longirostris. Perkembangan musiman ikan muda adalah berhubungan dengan penurunan populasi Daphnia yang ada di danau dan mungkin disebaban oleh lebih besarnya kemampuan ikan O+ untuk memakan mangsa yang lebih besar.

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Migrasi Vertikal dan Pertumbuhan Daphnia

Dawidowicz and Loose (1992) mempelajari parameter-parameter sejarah hidup Daphnia magna yang ditumbuhkan secara individual di dalam tabung-tabung sepanjang 1 meter berarus mengalir dan berstratifikasi termal pada kondisi selalu banyak makanan (2,0 mg karbon/liter). Setiap individu bisa bermigrasi dengan bebas di dalam tabung dan kedalaman migrasi ini dicatat pada selang waktu yang teratur. Separuh tabung-tabung ini menerima air dari akuarium berisi ikan. Daphnia di dalam tabung tinggal di kedalaman selama siang hari dan naik ke permukaan pada malam hari, sehingga menunjukkan perilaku migrasi vertikal harian “normal”. Separuh tabung sisanya dipasok dengan air yang sama, tetapi tanpa ikan. Daphnia di dalam tabung ini tidak menunjukkan migrasi harian, tetapi tinggal di lapisan atas yang airnya hangat pada siang dan malam hari. Daphnia yang bermigrasi dalam tabung berisi air bekas ikan tumbuh pada laju (0,21/hari), hanya sepertiga dari laju pertumbuhan Daphnia penghuni tabung berisi air tanpa ikan (0,57/hari). Sebagian besar perbedaan antar perlakuan disebabkan oleh lebih rendahnya suhu yang dihadapi Daphnia yang bermigrasi. Bagaimanapun, percobaan tanpa stratifikasi termal menunjukkan bahwa keberadaan zat-zat kimia asal-ikan dalam air secara nyata menghambat pertumbuhan Daphnia.

Referensi :

Barreiro, A., Guisande, C., Frangópulos, M., González-Fernández, A., Muñoz, S., Pérez, D., Magadán, S., Maneiro, I. , Riveiro, I., and Iglesias, P. 2006. Feeding strategies of the copepod Acartia clausi on single and mixed diets of toxic and non-toxic strains of the dinoflagellate Alexandrium minutum .Marine Ecology Progress Series, Vol. 316, pp.115-125, ISSN: 0171-8630

Boomer, I and R. Whatley. 1992. Ostracoda and dysaerobia in the Lower Jurassic of Wales : The reconstruction of past oxygen levels. Palaeogeografy, Palaeoclimatology, Palaeoecology, vol. 99, no. 3 - 4, pp. 373 - 379

Butler, M.I. and C.W. Burns. 1993. Water Mite Predation On Planktonic Cladocera : Parallel Curve Analysis of Functional Responses. OIKOS, vol. 66, no. 1, pp. 5 – 16, ISSN 0030-1299

Chen, J.-C. and S.-H. Lai. 1993. Effects of Temperature and Salinity on Oxygen Consumption and Ammonia-N Excretion of Juvenile Penaeus japonicus Bate. Journal of Experimental in Marine Biology and Ecology, Vol. 165, No. 2, pp. 161 – 170

Dawidowicz, P. and C.J. Loose. 1992. Metabolic Costs During Predator-Induced Diel Vertical Migration of Daphnia. Limnology and Oceanography, vol. 37, no. 8, pp. 1589 – 1595, ISSN 0024-3590

Gliwicz, Z.M. and A. Rykowska. 1992. “Shore-Avoidance” in Zooplankton : A Predator-Induced Behavior or Predator-Induced Mortality ? Journal of Plankton Research, vol. 14, no. 9, pp. 1331 – 1342, ISSN 0142-7873

Goswami, S.C. and U. Goswami. 1992. Lunar, Diel and Tidal Variability in Penaeid Prawn Larval Abundance in The Mandovi Estuary, Goa. Indian Journal of Marine Sciences, vol. 21, no. 1, pp. 21 – 25, ISSN 0379-5136

Hernandez-Trujillo, S. 1991. Latitudinal Variation of Copepod Diversity on The West Coast of Baja California Sur, Mexico 1982 – 1984. Ciencias Marinas, Vol. 17, No. 4, pp. 83 - 103

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Irvine, K., J.T. Stansfield and B. Moss. 1991. The Use of Enclosures to Demonstrate The Enhancement of Daphnia Populations When Isolated From Fish Predation in A Shallow Eutrophic Lake. MEM.IST.ITAL.IDROBIOL., vol. 48.

Jeong, H.J., Kang, H, Shim, J.H., Park, J.K., Kim, J.S., Song, J. Y., and Choi, H.-J. 2001. Interactions among the toxic dinoflagellate Amphidinium carterae, the heterotrophic dinoflagellate Oxyrrhis marina, and the calanoid copepods Acartia spp. Marine Ecology Progress Series, Vol. 218, pp. 77-86. ISSN: 0171-8630

Katechakis, A., Stibor, H., Sommer, U. and Hansen, T. 2004. Feeding selectivities and food niche separation of Acartia clausi, Penilia avirostris (Crustacea) and Doliolum denticulatum (Thaliacea) in Blanes Bay (Catalan Sea, NW Mediterranean). Journal of Plankton Research 2004 26(6):589-603

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Lutz, R.V., N.H. Marcus and J.P. Chanton. 1992. Effects of Low Oxygen Concentrations on The Hatching and Viability of Eggs of Marine Calanoid Copepods. Marine Biology, vol. 114, no. 2, pp. 241 – 247

Nakamura, M. and T. Kuramoto. 1992. Effect of Cooling on The Heart Beat of The Japanese Spiny Lobster in Vivo. Zoological Sciences, Vol. 9, No. 6, p. 1216

Osore, M.K.W. 1992. A Note on The Zooplankton Distribution and Diversity in A Tropical Mangrove Creek System, Gazi, Kenya. Hydrobiologia, Vol. 247, No. 1 – 3, pp. 119 – 120

Park, C., K.-H. Choi and C.-H. Moon. 1991. Distribution of Zooplankton in Asan Bay, Korea, With Comments on Vertical Migration. Bulletin of Korean Fisheries Society, vol. 24, no. 6, pp. 472-482, ISSN 0374-8111

Rodriguez, V. & Durbin, E.G. 1992. Evaluation of synchrony of feeding behaviour in individual Acartia hudsonica (Copepoda, Calanoida). Marine Ecology Progress Series, Vol. 87, no. 1-2, pp. 7-13, ISSN 0171-8630

Rudstam, L.G., R.C. Lathrop and S.R. Carpenter. 1993. The Rise an Fall of A Dominant Planktivore : Direct and Indirect Effects on Zooplankton. Ecology, vol. 74, no. 2, pp. 303 – 319, ISSN 0012-9658

Tiselius, P. 1992. Behavior of Acartia tonsa in patchy food environments. Limnology and Oceanography, Vol. 37, no. 8, pp. 1640-1651, ISSN 0024-3590

Trujillo-Ortiz, A. 1990. Hatching Succes, Egg Production and Development Time of Acartia californiensis Trinast (Copepoda : Calanoida) Under Laboratory Conditions. Cienc. Mar., vol. 16, no. 1, pp. 1 – 22, ISSN 0185-3880.

Trujillo-Ortiz, A. and Arroyo-Ortega, J.E. 1991. Analysis of Mortality and Expectation of Life of Acartia californiensis Trinast (Calanoida - Copepoda) Under Laboratory Conditions. Cienc. Mar., vol. 17, no. 4, pp. 11 – 18, ISSN 0185-3880

Vlitasalo, M. 1992. Calanoid Resting Eggs in The Baltic Sea : Implications for The Population Dynamics of Acartia bifilosa (Copepoda). Marine Biology, vol. 114, no. 3, pp 397-405, ISSN 0025-3162

Wlodarczyk, E., Durbin, A.G. & Durbin, E.G. 1992. Effect of temperature on lower feeding thresholds, gut evacuation rate, dan diel feeding behavior in the copepod Acartia hudsonica. Marine Ecology Progress Series vol. 85, no. 1-2, pp. 93-106

Yamane, T. 1992. Relationship Between Changes in Water Temperature and Catch at Prawn Pot Fishing Grounds in The South Basin of Lake Biwa. Memoar of Faculty of Agricultural of Kinki University, No. 25, pp. 19 - 25