Minggu, 25 November 2018

Bioekologi Bentos


Zonasi Bentos di Pantai Berbatu dan Hutan Mangrove

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) penampilan umum pantai berbatu tropis mengikuti pola yang sama seperti daerah berlintang tinggi. Pada bagian terendah yang terpapar, ada zona makroalga kecil (Sargassum, Caulerpa, dan Dictyopteris di Afrika Barat, Sargassum dan Bifurcaria di Galapagos dan Turbinaria di Madagaskar), yang membentuk zona tersendiri dan terdapat bersama dengan berbagai jenis echinoidae, anemon dan zoanthidae. Di atas zona ini adalah zona eulitoral atau litoral-tengah yang didominasi di bagian atas oleh teritip (Chtamalus) dengan Siphonaria, Nerita dan Ostrea di tempat-tempat terlindung dan bagian bawah dihuni oleh alga koralin menghampar dan berbagai jenis moluska (Fissurella, Mytilus, Patella, Thais) dan kepiting. Di atas zona Chtamalus di litoral-tengah terdapat zona-percikan dengan moluska littorinidae dan di atasnya lagi ditempati lichenes (lumut kerak) yang menghampar. Zonasi umum seperti ini terutama dikendalikan oleh derajat keterpaparan (exposure) terhadap pasang surut dan aksi angin. Zonasi ini ditemukan di sepanjang Teluk Guinea, di pesisir Madagaskar, dan Galapagos meskipun tanpa littorinidae atau Nerita, dan diduga juga ada di seluruh tropis.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa zonasi seperti tersebut di atas membentang sampai ke tiang-tiang dermaga dan batang mangrove. Zonasi seperti ini di estuaria mempunyai fauna yang berkurang akibat faktor-faktor lingkungan. Pada batang mangrove, terutama dekat sisi luar hutan mangrove, dua dari tiga zona utama pantai berbatu dapat dikenali meskipun dengan beberapa perbedaan besar. Zona littorinidae didominasi oleh spesies Littorina yang mengkhususkan diri terhadap habitat tertentu ini; zona eulitoral didominasi di bagian atas oleh teritip, kadang-kadang oleh spesies yang berspesialisasi terhadap mangrove, dan oleh Ostrea yang tumbuh rapat pada bagian batang yang lebih bawah bersama dengan gastropoda Thais. Di bawah zona ini, bagaimanapun, kondisinya sangat berbeda dengan pantai berbatu dan di tempat tumbuhnya rumpun-rumpun alga merah dan coklat sublitoral, ada fauna lumpur pada kaki batang mangrove dan akar nafas (pneumatofora), termasuk gastropoda, kelomang dan ikan belodok Periopthalmus.

Pengaruh Pemupukan Terhadap Bentos Kolam

Menurut Boyd (1982), berdasarkan hasil-hasil penelitian lain, pengaruh pemupukan juga tercermin dalam produksi bentos di kolam ikan. Kelimpahan bentos di dua kolam pembenihan ikan yang tak dipupuk dan dua kolam pembenihan yang dipupuk rata-rata adalah 425 dan 694 organisme/m2, berturut-turut. Di kolam pembenihan lain, kepadatan organisme bentik makanan ikan rata-rata 371 dan 640 organisme/m2 di kolam yang tak dipupuk dan yang dipupuk, berturut-turut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh McIntire dan Bond pada tahun 1962 menyimpulkan bahwa pemupukan dengan nitrogen dan fosfor meningkatkan biomas organisme bentik makanan ikan sebanyak 76 kali di sebuah kolam dan 19,5 kali di kolam yang lain. Larva nyamuk “midge” (famili Tendipedidae) sedemikian jauh merupakan kelompok bentos paling penting di kolam.

Kolam-kolam di New York, sebagaimana dilaporkan oleh Hall et al. dan dikutip oleh Boyd (1982), mempunyai komunitas bentos yang tersusum terutama dari organisme-organisme berikut :
- Diptera : Chironomus tentans, Procladius sp., Ablabesmyia sp., Tanytarsini sp., Glypotendipes sp., Microtendipes sp., Ceratopogonidae dan Chironomus sp.
- Trichoptera : Ocetis sp. dan Polycentropis sp.
- Ephemeroptera : Caenis simulans dan Callibaetis ferrugineus
- Zygoptera : Ishneura sp.dan Enallagra sp.
- Anisoptera : Libelludidae dan Gomphidae
- Amphipoda : Hyalella azteca

Pemupukan dengan nitrogen dan fosfor menyebabkan biomas bentos meningkat cukup besar. Pada kolam yang dipupuk, Chironomus tentans merupakan spesies bentos yang paling dominan; Caenis simulans paling dominan di kolam yang tak dipupuk. Penelitian juga menunjukkan bahwa pemupukan meningkatkan biomas organisme bentik makanan ikan di kolam di Alabama, Amerika Serikat. Larva chironomidae melimpah di dalam contoh-contoh yang diambil dari kolam-kolam yang dipupuk.

Pengaruh Faktor Fisika dan Kimia Air Terhadap Keragaman Bentos Sungai

Selama tahun 1980 dan 1981, sebuah survei limnologis telah dilakukan di daerah Uraba di sungai-sungai Turbo, Apartado dan Chigorodo. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis-jenis makroinvertebrata berikut adalah yang paling umum : Baetis, Leptohyphes, Tricorythodes, Ambrisus, Phyllogomphoides dan Chironomus. Secara umum, keragaman zoobentosnya tinggi, dan kondisi fisika serta kimia air bukan merupakan faktor pembatas untuk mendukung keragaman ini (Ramirez dan Roldan, 1989).

Pengaruh Jenis Tumbuhan Bakau Terhadap Kepadatan Bentos Mangrove :

Vanhove et al. (1991) melaporkan bahwa distribusi vertikal meiofauna dalam sedimen tumbuhan bakau Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhyza, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba di Teluk Gazi (Kenya) dibahas. Tujuh belas taksa telah diamati dengan kepadatan tertinggi pada sedimen Bruguiera (6707 individu/10 cm2), diikuti oleh Rhizophora (3998 individu/10 cm2), Avicennia (3442 individu/10 cm2), Sonneratia (2889 individu/10 cm2) dan Ceriops (1976 individu/10 cm2). Nematoda menyusun sampai 95 % dari total kepadatan; taksa lainnya adalah kopepoda , turbellaria, oligokhaeta, polikhaeta, ostracoda dan rotifera. Kepadatan-kepadatan tinggi terdapat pada kedalaman sampai 20 cm dalam sedimen. Terutama sedimen Ceriops masih menunjukkan kepadatan tinggi untuk nematoda (342 individu/10 cm2) dan kopepoda (11 individu/10 cm2) di lapisan terdalam (15 – 22 cm). Ukuran partikel dan kondisi oksigen merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi distribusi meiobentos; liang-liang kepiting Uca berdampak besar terhadap distribusi dan kelimpahan meiofauna.

Pengaruh Gas Dasar Laut Terhadap Bentos

Bubinas (1991) melaporkan bahwa pada bulan Oktober – November 1982 penelitian zoobentos telah dilakukan di bagian timur Laut Baltik selama ekspedisi di atas kapal “Ayu-Dag”. Peneliti menemukan dua biocenoses makrozoobentos : lithophilic (senang habitat berbatu) – Mytilus edulis - dan psammophilic (suka habitat berpasir) – Macoma baltica. Kedua biocenoses merupakan bagian utama biomas zoobentos. Ada 17 spesies zoobentos. Biocenoses yang diwakili oleh Mytilus edulis ditemukan meluas ke bawah sampai 35 meter. Ada sangat banyak bangkai Macoma baltica. Lebih dalam dari 100 meter zoobentos tidak ditemukan karena adanya rejim gas yang buruk dan pencemaran dasar laut oleh hidrogen sulfida.

Pengaruh Budidaya Kerang Terhadap Bentos Laut di Sekitarnya

Lim et al. (1992) telah melakukan penelitian untuk menjelaskan pola distribusi makrobentos penghuni dasar-lunak dekat lokasi budidaya kerang di Teluk Chinhae, Korea. Binatang bentos yang dikumpulkan selama penelitian ini mencakup 107 spesies dengan perincian 6.978 individu : 52 spesies dari polikhaeta (48,6 %), 34 spesies dari krustasea (31,8 %), 14 spesies dari moluska (13,1 %) dan 7 spesies dari kelompok fauna lain (6,5 %). Spesies dominan adalah 4 polikhaeta dan 1 amfipoda : Lumbrineris longifolia, Capitella capitata, Mediomastus sp., Sigambra tentaculata dan Erictonius pugnax. Daerah penelitian bisa dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan kesamaan fauna yang sangat berhubungan dengan konsentrasi bahan organik pada sedimen permukaan. Komunitas bentos yang terletak dekat lokasi budidaya kerang menunjukkan variasi-ruang dan variasi-musiman yang besar dalam hal keragaman spesies dan kemerataan, berbeda dengan kestabilan-kestabilan pada komunitas-komunitas yang jauh dari lokasi budidaya.

Dihipotesiskan bahwa fenomena bersiklus mortalitas musim panas yang diikuti oleh pemulihan pada musim dingin mungkin merupakan karakteristik umum pada komunitas bentos yang sangat banyak terkena pencemaan bahan organik.

Pengaruh Tekstur Sedimen dan Energi Gelombang Terhadap Zoobentos Pantai Berpasir

Corbisier (1991) melaporkan bahwa komposisi spesies, kepadatan fauna, keragaman spesies dan pola zoonasi makrozoobentos serta hubungannya dengan karakteristik sedimen telah dipelajari dan dibandingkan di tiga pantai berpasir pada daerah polyhaline (banyak garam) di sistem estuaria Santos, Sao Paulo, Brazil. Sampel dikumpulkan tiap tiga bulan selama setahun (Juli 1977 – Mei 1978). Lokasi sampling adalah daerah intertidal rendah, rata-rata dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polikhaeta mendominasi fauna ini, baik dalam hal jumlah spesies maupun jumlah individu. Struktur komunitas pantai Ponta da Praia dicirikan oleh kepadatan yang tinggi, serta keragaman dan kemerataan yang rendah, akibat didominasi oleh spionidae Scolelepis squamata. Di Vicente de Carvalho, faunanya dicirikan oleh dominasi polikhaeta Laeonereis acuta dan Capitella capitata dengan kepadatan rendah, keragaman tinggi serta kemerataan tinggi. Di Bertioga Channel, nilai-nilainya intermediet dan faunanya didominasi oleh Scolelepis squamata dan Laeonereis acuta. Tekstur sedimen bertangung jawab atas gambaran-gambaran ini, namun beberapa perbedaan dalam hal keragaman bisa disebabkan oleh perbedaan energi gelombang. Sedikitnya jumlah krustasea dan moluska menunjukkan pengaruh pencemaran di estuaria terhadap fauna. Pola zonasi untuk distribusi spesies dan struktur komunitas berbeda di lokasi-lokasi penelitian; ia tidak berhubungan dengan karakteristik sedimen yang relatif seragam di bagian bawah pantai; bagaimanapun, keragaman terendah ditemukan di bagian atas di semua lokasi.

Daftar Pustaka :

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 318 pp.

Bubinas, A. 1991. Species Composition, Distribution and Biomass of Zoobenthos in The Eastern Part of The Baltic Sea. Ecology, No. 1, pp. 33 – 42

Corbisier, T.N. 1991. Benthic Macrofauna of Sandy Intertidal Zone at Santos Estuarine System, Sao Paulo, Brazil. Biol. Inst. Oceanogr. Sao Paulo, Vol. 39, No. 1, pp. 1 - 13

Lim, H.-S., J.-W. Choi, J.-G. Je and J.-H. Lee. 1992. Distribution Pattern of Macrozoobenthos at The Farming Ground in The Western Part of Chinhae Bay, Korea. Bulletin of Korean Fisheries Society, Vo. 25, No. 2, pp. 115 - 132

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc. San Diego. 407 pp.

Ramirez, J.J. and G. Roldan. 1989. Contribution to The Limnological Knowledge and The Aquatic Macroinvertebrates in Some Rivers of The Uraba Region (Antioquia). Actual Biology, Vol. 18, No. 66, pp. 113 - 121

Vanhove, S., M. Vincx, D. Van Gansbeke, W. Gijselinck and D. Schram. 1992. The Meiobenthos of Five Mangrove Vegetation Types in Gazi Bay, Kenya. Hydrobiologia, Vol. 247, no. 1 – 3, pp. 99 - 108

Minggu, 11 November 2018

Pernafasan Tambahan Pada Ikan


Pernafasan Udara Pada Ikan

Menurut Hickman et al. (2001) ada banyak jenis ikan yang dapat hidup di luar air selama beberapa periode waktu dengan melakukan pernafasan udara. Berbagai organ digunakan oleh berbagai jenis ikan untuk keperluan ini. Alat pernafasan udara berupa paru-paru dimiliki oleh ikan paru, Polypterus, dan sejenis ikan crossopterygii yang telah punah. Sidat air tawar seringkali menjelajahi daratan selama cuaca berhujan, dengan menggunakan kulitnya sebagai permukaan respirasi utama. Ikan bowfin, Amia, mempunyai insang serta gelembung renang yang mirip paru-paru. Pada suhu rendah ikan bowfin hanya menggunakan insang, tetapi ketika suhu dan aktivitas meningkat ikan ini melakukan lebih banyak pernafasan udara dengan gelembung renangnya. Sidat listrik mempunyai insang yang menyusut dan harus melengkapi respirasi insangnya dengan menelan udara melalui rongga mulut yang penuh pembuluh darah. Salah satu ikan yang bernafas udara yang paing baik adalah ikan betok India (Indian climbing perch) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di darat dekat tepi perairan dengan melakukan pernafasan udara melalui ruang-ruang udara khusus di atas insangnya yang telah menyusut.

Pernafasan Udara dan Permasalahannya Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa alasan ikan untuk bernafas dengan udara tampaknya jelas – bila oksigen menjadi jarang di dalam air atau bahkan ketika air itu sendiri menjadi jarang, maka kemampuan untuk memperoleh oksigen dari udara mempunyai nilai kelangsungan hidup yang nyata. Gagasan ini cukup berguna karena perkembangan pernafasan udara terjadi berkali-kali, walaupun paling sering pada iklim tropis. Pernafasan ini terjadi pada banyak famili ikan yang menggunakan berbagai modifikasi struktur untuk bernafas dengan udara. Memilih pernafaan udara berarti juga membawa perubahan dan permasalahan, dan demikianlah, banyak ikan bernafas udara hanya untuk sementara waktu untuk menghidari atau setidaknya untuk meminimumkan masalah berkenaan dengan udara seperti kekeringan dan kesulitan akibat timbunan internal karbon dioksida. Kondisi ekstrim lain adalah kasus pada ikan paru-paru Australia yang bernafas dengan udara, tetapi tampaknya jarang menjumpai kondisi lingkungan tak menguntungkan di mana pada kondisi tersebut bernafas-udara berperanan penting. Jadi mungkin banyak alasan bagi ikan untuk bernafas dengan udara selain dengan air.

Struktur yang dipakai untuk bernafas-udara berbeda-beda sesuai dengan alasannya. Pertama, kebanyakan insang ikan tidak berfungsi dalam udara dan sangat sulit untuk pertukaran gas. Beberapa ikan (misal, sidat Anguillidae) mempunyai struktur pendukung tambahan yang bisa menyokong insang dalam kondisi tanpa air, tetapi kebanyakan ikan penafas udara mempunyai beberapa struktur bagi perukaran gas dalam udara selain insang dan bagian-bagian insangnya yang khas bagi teleostei menyusut atau bahkan hilang sama sekali. Struktur seperti ini yang dikenal baik adalah gelembung renang fisostomus, yang diduga merupakan paru-paru sederhana pada ikan primitif bersirip-lembaran sebelum mereka berevolusi menjadi amfibi dan sebelum struktur tersebut digunakan sebagai organ pengapung. Ikan paru-paru modern (ketiga spesies semuanya) juga menggunakan gelembung renang sebagai paru-paru. Pada ikan sidat listrik Amazon, lapisan mulut sangat berlipat-lipat dan meluas sedemikian efektif hingga insangnya hampir hilang. Ada banyak ragam perluasan permukaan di belakang mulut ikan dan di bawah tutup insang, termasuk beberapa jenis kantung dan berbagai tonjolan mirip-pohon atau mirip-karang sebagai perluasan permukaan pernafasan. Banyak ikan dengan jenis-jenis “insang-udara” ini, termasuk ikan betta dari daerah tropis, yang hanya bisa bernafas dengan udara dan mati lemas di dalam air bila tidak bisa berhubungan dengan udara. Ada sedikit ikan yang menggunakan lambung atau ususnya untuk pertukaran gas dengan menelan udara. Sangat beragamnya adaptasi struktural untuk pernafasan udara ini biasanya ditafsirkan sebagai petunjuk banyaknya asal evolusi adaptasi tersebut (Smith, 1982).

Masalah fisiologis yang dihadapi ikan penafas udara lebih dari sekedar menyediakan permukaan pernafasan baru dan mencegah kekeringan. Masalah utama adalah penimbunan karbon dioksida. Di air karbon dioksida melintasi insang dalam bentuk larutan dengan tekanan parsialnya rendah. Di udara, penyingkiran karbon dioksida tergantung pada difusi saja, sementara tekanan parsial karbon dioksida yang cukup tinggi (25 – 40 mmHg) tertimbun di dalam darah ikan. Hal ini tidak akan menjadi masalah selama hemoglobin ikan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai efek Bohr maupun efek Root. Bila kedua efek ini ada, maka kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen akan sangat tertekan sehingga hampir tak berfungsi. Hemoglobin kebanyakan ikan penafas udara yang sebegitu jauh telah diteliti menunjukkan sedikit atau tidak mempunyai efek Bohr atau efek Root. Tingkat tekanan parsial karbon dioksida naik cukup banyak dan ekskresi karbon dioksida diduga terjadi melalui kulit karena karbonat anhidrase ditemukan di sini dalam konsentrasi tinggi pada ikan penafas udara. Juga, salah satu alasan beberapa ikan penafas udara sering kembali ke air adalah untuk menghilangkan timbunan karbon dioksida.

Masalah lainnya mencakup adaptasi pola aliran darah sedemikian hingga oksigen dikirimkan sebagaimana mestinya ke jaringan. Pada ikan paru-paru, sebagai contoh, darah teroksigenasi dari gelembung renang menuju ke jantung, kemudian sebagian besar melintasi lengkung insang pertama (yang tidak mempunyai kemampuan pertukaran gas) dan kemudian ke bagian tubuh lainnya. Bila darah teroksigenasi melintasi insang normal ketika tekanan parsial oksigen dalam air lebih renah dari pada tekanan parsial oksigen dalam darah, maka darah akan melepaskan oksigen ke air. Juga ada masalah upaya mengurangi percampuran antara darah vena teroksigenasi dari organ petukaran gas baru (pernafasan udara) dengan darah vena dari bagian tubuh lainnya. Sedikit ikan penafas udara mempunyai darah vena teroksigenasi dan yang tak teroksigenasi dalam kondisi hampir terpisah agak seperti yang dimiliki mamalia. Sebaliknya, pengendalian pernafasan air dan udara yang digabungkan kadang-kadang menimbulkan respon yang tidak sesuai yang dilakukan oleh salah satu sistem pernafasan tersebut (Smith, 1982).

Pernafasan Tambahan Pada Ikan Paru-Paru, Arapaima, Belodok dan Sidat

Pada ikan paru-paru, nostril (lubang hidung) hanya digunakan untuk kemoresepsi (menerima rangsang kimia). Air masuk ke dalam faring hanya melalui mulut. Perkembangan insang sangat buruk sehingga ikan paru-paru akan mati lemas bila tidak dapat menuju ke udara bebas. Ikan ini menelan udara di permukaan air dengan bantuan bagian khusus saluran pencernaan yang dapat mengikat oksigen; bagian khusus ini disebut “ventral diverticula” yang strukturnya serupa dengan paru-paru vertebrata. Ikan paru-paru melakukan estivasi atau tidur musim panas. Selama estivasi ini metabolisme dan respirasinya minimal; kantung lipoprotein disekresi menyelubungi dirinya untuk mencegah kekeringan.

Pada ikan arapaima gelembung gas dimodifikasi dengan adanya pembuluh darah tambahan yang memiliki kantung-kantung kecil sempurna. Udara melewati gelembung gas melalui duktus pneumatikus.

Ikan belodok bernafas dengan udara. Ikan ini menghabiskan sebagian besar waktunya di darat dekat perairan.

Selama migrasi melintasi darat, ikan sidat diyakini melakukan pernafasan tambahan yang disebut respirasi kutaneus (pernafasan kulit). Hal ini menimbulkan masalah karena kehilangan air dan garam terjadi secara bersamaan.

Lapisan Operkulum Clarias Dalam Hubungannya Dengan Respirasi Tambahan

Garg dan Mittal (1990) mengamati lapisan tutup insang (operkulum) pada ikan lele Clarias batrachus dalam hubungannya dengan respirasi tambahan. Operkulum bisa dibagi menjadi daerah proksimal, distal dan intermediet. Epitelium yang melapisi permukaan-dalam operkulum dan epidermis operkulum di daerah-daerah ini pada ikan Clarias batrachus menunjukkan perbedaan nyata dalam hal ketebalan, kepadatan, ukuran sel-sel lendir dan “club cell” (sel tongkat), dan distribusi limfosit, melanosit, taste bud (organ perasa) serta organ ampullary. Perbedaan-perbedaan ini dalam hal organisasi struktural adalah berhubungan dengan perbedaan kondisi yang mendominasi lokasi-lokasi tersebut. Pembuluh darah yang banyak terlihat dalam jaringan yang ada di bawah epidermis operkulum adalah berhubungan dengan respirasi tambahan pada ikan ini. Sebaliknya, jaringan yang ada di bawah epitelium pelapis sisi-dalam operkulum memiliki sedikit pembuluh darah. Respirasi tambahan di daerah ini mungkin tidak begitu menguntungkan.

Daftar Pustaka :

Garg, T.K. and A.K. Mittal. 1990. The Epidermal and Inner Epithelial Lining of The Operculum in Clarias batrachus (Clariidae, Siliruformes). Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 2, pp. 149 - 157

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Sabtu, 03 November 2018

Penangkapan dan Manajemen Perikanan Udang Laut


Sumberdaya Udang di Indonesia

Udang merupakan komoditi ekspor perikanan primadona di Indonesia. Ditemukan sekitar 83 spesies udang di perairan Indonesia dan hanya sedikit di antaranya dieksploitasi secara komersial. Penaeidae merupakan spesies utama yang banyak ditangkap. Spesies ini hampir selalu ditemukan di semua perairan pesisir, terutama dekat daerah estuaria, di perairan sedalam 30 – 40 meter dengan dasar lumpur berpasir. Khusus untuk tiger prawn atau udang windu (Penaeus monodon dan Penaeus semisulcatus), kedalaman yang sesuai adalah 40 – 60 meter dengan kondisi air jernih dan dasar lumpur berpasir. Pendugaan MSY (Maximum Sustainable Yield) untuk udang dan lobster didasarkan pada model Graham-Schaefer yang menggunakan analisis regresi terhadap hasil tangkap per satuan upaya versus jumlah upaya. Data yang digunakan adalah data primer dari hasil survei laut (hasil tangkapan kapal penelitian dan nelayan) dan survei pendaratan (pangkalan pendaratan dan stasiun pengumpulan udang). Sumberdaya nasional udang penaeidae di Indonesia diduga sebanyak 199.400 ton per tahun dan MSY-nya adalah 100.700 ton per tahun (Anonymous, 1992).

Evaluasi Terhadap Larangan Penangkapan Udang Laut di Perairan Queensland

Long et al. (1991) menyajikan data hasil survei tahun 1989 setelah dilarangnya operasi trawl udang Pesisir Timur di perairan utara Queensland, Ausralia, untuk menduga pengaruh larangan trawl terhadap laju tangkap dan ukuran udang serta menentukan apakah waktu diberlakukannya larangan berhasil dalam melindungi stok udang juvenil untuk setiap spesies. Perikanan ini terutama dipusatkan pada brown tiger prawn (Penaeus esculentus), tetapi juga menangkap groobed tiger prawn (Penaeus semisulcatus), endeavour prawn (Metapenaeus endeavour), Metapenaeus ensis dan Penaeus latisulcatus. Hasil survei menunjukkan bahwa larangan ini secara efektif menurunkan jumlah juvenil Penaeus esculentus dan Penaeus latisulcatus yang tertangkap secara kebetulan; bagaimanapun, karena perbedaan regional dalam hal populasi udang dan perbedaan interspesifik dalam hal biologi populasi udang, larangan untuk seluruh pesisir timur tidak sama efektifnya untuk setiap daerah.

Penutupan Musim Penangkapan Udang Dengan Trawl di Moreton Bay, Queensland

Courtney et al. (1991) melaporkan bahwa pada tahun 1988, penutupan musim penangkapan udang dengan trawl diperkenalkan di Moreton Bay, Queensland, Australia, untuk mengurangi upaya penangkapan udang-udang kecil. Untuk itu dilakukan program penelitian yang dimulai pada bulan Agustus 1988 guna membahas penutupan musim penangkapan di teluk ini serta mempelajari kemungkinan pengaruh, bila ada, manipulasi penangkapan tersebut terhadap perikanan. Pola ruang dan pola waktu dalam hal distribusi udang dari semua spesies komersial utama yang sedang berekruitmen telah dipelajari untuk menentukan bulan apa dan daerah mana yang penangkapannya melebihi pertumbuhan udang; tiga spesies komersial yang terlibat dalam perikanan ini adalah Metapenaeus bennettae, Penaeus plebejus dan Penaeus esculentus. Secara keseluruhan, ditemukan bahwa pengaruh penutupan musim penangkapan terhadap hasil-per-rekruit untuk tiga spesies utama adalah tidak nyata, dan juga disimpulkan bahwa kelanjutan penutupan musim penangkapan ini tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Daftar Pustaka :

Anonymous. 1992. The Indonesian Fisheries Profile. Department of Agriculture, Directorate General of Fisheries. Jakarta. 25 pp.

Courtney, A.J., J.M. Masel and D.J. Die. 1991. An Assessment of Recently Introduced Seasonal Prawn Trawl Closures in Moreton Bay, Queensland. INF. SER. DEP. PRIMARY IND. (QUEENSLAND), No. Q191037, 84 pp.

Long, W.J.L., S.A. Helmke and R.G. Coles. 1991. Preliminary Assessment of The 1988/89 East Coast Prawn Trawling Closure. INF. SER. DEP. PRIMARY IND. (QUEENSLAND), No. Q191038, 14 pp.