Minggu, 01 Juli 2018

Penyebab Kekeruhan dan Pengaruhnya Terhadap Binatang Air

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan di Perairan

Akhurst dan Breen (1988) menyatakan bahwa dalam perairan menggenang, variasi kekeruhan yang cukup besar bisa disebabkan oleh variasi masukan dari sungai, pengadukan akibat turbulensi dan sedimen yang tersuspensi-kembali. Kestabilan kondisi kekeruhan tergantung pada gerakan air, ukuran partikel tersuspensi dan laju pengendapan partikel tersebut; laju pengendapan ini berbanding terbalik dengan ukuran dan berat partikel. Perilaku partikel tanah liat dalam suspensi dimodifikasi lebih lanjut oleh lapisan kation yang menempel di permukaan partikel itu. Jadi, sementara partikel tanah liat tetap tersuspensi selama periode yang panjang, terjadi perubahan muatan ion dalam air keruh seperti yang terjadi pada estuaria di mana terjadi percampuran air laut dan air tawar; perubahan muatan ini selanjutnya akan menyebabkan partikel tanah liat menggumpal. Situasi yang serupa juga bisa terjadi di beberapa eksosistem perairan darat seperti sungai dan danau.

Penyebab Kekeruhan di Estuari

Li dan Zhang (1998) melakukan studi perbandingan mengenai sifat-sifat dan transpor sedimen kohesif di muara Estuari Changjiang dan hasilnya menunjukkan bahwa “suspended sediment concentration” (SSC; konsentrasi sedimen tersuspensi) banyak ditingkatkan oleh tersuspensinya-kembali sedimen dasar perairan di daerah muara sungai, bersama dengan pecahnya gelombang pasang-surut dan arus pasang-surut yang kuat. Intrusi (penerobosan) salinitas dan sirkulasi gravitasi vertikal menyebabkan terjebaknya sedimen tersuspensi yang terbawa masuk dari sungai dan laut. Kekeruhan maksimum dengan demikian disumbangkan oleh tersuspensinya-kembali timbunan material dan erosi sedimen. Kekeruhan maksimum di Estuari Changjiang ditandai tidak hanya oleh tingginya SSC bila dibandingkan daerah sekitarnya, tetapi juga oleh tingginya konsentrasi material yang tercuci. Transpor sedimen adalah sangat penting. Kecepatan pengendapan sedimen tersuspensi ditingkatkan oleh flokulasi (penggumpalan). Pengendapan masal selama periode arus yang lemah sering meningkakan pembentukan lumpur cair. Disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kekeruhan maksimum adalah transpor materi secara adveksi dan pompa pasang-surut.

Kekeruhan Estuaria Akibat Pengerukan dan Penggalian Cangkang Kerang

Clark (1977) menjelaskan bahwa cangkang oyster biasanya ditambang dengan sekop penghisap hidrolik yang dilengkapi dengan alat pemotong yang dapat berputar, yang melonggarkan dan memecah kumpulan cangkang dari karang yang menyelubunginya. Biasanya oyster mati yang diselubungi karang tertimbun oleh selapis lumpur yang tererosi dari darat. Gangguan parah terjadi bila lapisan endapan lumpur teraduk dan menyebar ke dalam air. Meskipun dasar perairan mengalami gangguan parah, para ahli masih berselisih mengenai apakah kerusakan yang ditimbulkannya bersiat permanen atau sementara. Kekeruhan di lokasi penggalian cangkang kerang bisa mencapai 10 kali lebih tinggi daripada yang disebabkan oleh arus, angin atau kegiatan pelayaran. Penggalian cangkang juga menimbulkan arus lumpur pekat yang menyelubungi dasar perairan sepanjang lintasannya dan menyebabkan binatang penghuni dasar tersebut mati lemas. Arus lumpur ini bisa membentang 1500 sampai 2000 kaki dari lokasi penggalian. Dampak lain yang mungkin timbul dari penggalian adalah penurunan dalam jumlah besar oksigen terlarut di lokasi penggalian, terjadinya eutrofikasi dan perubahan arus akibat perubahan bentuk basin perairan.

Clark (1977) menambahkan bahwa untuk mencegah polusi seringkali disarankan agar penggalian cangkang dilakukan minimal sejauh 1200 kaki dari terumbu karang oyster hidup dan daerah vital lainnya. Tetapi di Teluk Mobile, Alabama, di mana telah digali parit sepanjang 20 mil dan sebanyak 2 juta yard kubik cangkang digali setiap tahun, arus yang ditimbulkan angin dengan kecepatan 12 – 15 meter per jam menyebabkan massa air keruh mengalir sampai sejauh 1,5 mil dari lokasi penggalian. Foto udara yang dilakukan NASA memperlihatkan massa air keruh sepanjang 20 mil dengan lebar 0,5 mil yang digerakkan oleh angin berkecepaan sedikit lebih tinggi. Jadi, jarak minimal 1200 kaki tidak cukup pada kondisi seperti ini. Pemecahan yang paling baik adalah melarang penggalian terbuka terhadap cangkang kerang di estuaria kecuali bila menguntungkan masyarakat.

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa turbulensi (pergolakan air) yang disebabkan oleh biota kolam jarang menyebabkan kekeruhan akibat tanah liat. Bangunan pemecah gelombang sering memungkinkan perkembangan vegetasi garis pantai kolam yang menurunkan erosi tepian kolam oleh gelombang. Tidak ada hubungan antara kandungan mineral air dengan kekeruhan tanah liat di kolam. Faktor paling penting yang mempengaruhi kekeruhan oleh tanah liat dalam kolam adalah daerah tangkapan-air kolam tersebut. Daerah tangkapan-air yang tak terlindung sangat mudah terkena erosi, dan limpasan air dari daerah seperti ini menyebabkan kekeruhan di kolam. Bagaimanapun, bila tanah tersusun dari tanah liat halus yang tersebar maka hamparan rumput sekalipun tidak dapat mencegah erosi. Sebagai contoh, bercak-bercak tanah yang bersifat basa di daerah tangkapan-air yang tanahnya tersebar dan tidak permeabel terhadap air menyebabkan air limpasan menjadi keruh meskipun tanah tertutup vegetasi. Kekeruhan oleh tanah liat yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang tersebar akan menyebar lebih lama di dalam air kolam daripada kekeruhan yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang menggumpal. Secara umum, tanah liat yang tersebar banyak mengandung natrium, sedangkan tanah liat yang menggumpal mengandung cukup banyak kalsium.

Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan dan Dampaknya

Boyd (1982) mengulas literatur-literatur mengenai penyebab kekeruhan air di kolam ikan. Kekeruhan yang disebabkan oleh plankton biasanya dikehendaki dalam kolam ikan. Ledakan populasi plankton menguntungkan bagi peningkatan produksi ikan dengan mendorong pertumbuhan organisme makanan ikan. Kekeruhan akibat tingginya konsentrasi substansi humus tidak berbahaya secara langsung bagi ikan, tetapi perairan seperti ini biasanya tidak subur akibat keasaman, rendahnya kadar zat hara dan terbatasnya cahaya yang masuk yang diperlukan untuk fotosintesis. Jenis kekeruhan yang sangat tidak dikehendaki adalah yang disebabkan oleh partikel-partikel tanah liat tersuspensi. Kekeruhan akibat tanah liat akan membatasi masuknya cahaya ke dalam air, berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan sebagian partikel akan mengendap di dasar hingga menimbuni telur ikan yang menyebabkan kematiannya serta merusak komunitas bentos.

Produksi Kekeruhan Oleh Ikan Mas Koki

Richardson dan Whoriskey (1992) melakukan percobaan untuk menentukan pengaruh ukuran tubuh, ukuran populasi dan struktur populasi serta suhu terhadap produksi kekeruhan oleh ikan mas koki (Carassius auratus) yang sedang mencari makan di kolam laboratorium. Suhu air berhubungan dengan pembangkitan kekeruhan, yang memuncak pada suhu 25 oC, tetapi menurun pada suhu 30 oC. Ikan mas koki menunjukkan aktivitas diurnal (aktif siang hari) pada semua suhu selain 25 oC, di mana perilaku nokturnal (malam hari) dominan. Panjang tubuh maupun ukuran populasi berpengaruh positif terhadap produksi kekeruhan. Kelompok yang terdiri dari sedikit ikan besar menghasilkan kekeruhan yang lebih nyata daripada kelompok yang terdiri dari banyak ikan kecil dengan biomas yang sama. Biomas dengan demikian merupakan penduga yang buruk untuk meramalkan tingkat kekeruhan, membuatnya sulit untuk memperkirakan dampak ikan mas koki terhadap komunitas multispesies setelah berhasil melakukan kolonisasi.

Pengapuran Menurunkan Kekeruhan

Boyd (1982), berdasarkan laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa ion-ion kalsium dan magnesium dalam air mendorong pengendapan koloid. Pemberian kapur menurunkan konsentrasi bahan organik koloid dan meningkatkan kedalaman pemasukan cahaya untuk fotosintesis. Pengapuran akan memudarkan warna air akibat humus dan mengurangi kekeruhan yang diakibatkan koloid partikel tanah liat. Derajat penghilangan kekeruhan tergantung pada tingkat pemberian kapur. Pengapuran danau-rawa meningkatkan daya pandang Secchi disc dari 2 meter menjadi 5 meter dan meningkatkan kedalaman air yang konsentrasi oksigen terlarutnya 4 mg/liter dari 2 meter menjadi 6 meter.

Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau

Liere et al. (1991) melaporkan bahwa Danau Loosdrecht (Belanda) mengalami – akibat meningkatnya beban fosfor dari luar – perubahan dari danau yang jernih dengan sedikit makrofita, melalui periode waktu dengan pertumbuhan characea yang melimpah, menjadi danau keruh yang didominasi oleh cyanobakteri dan bahan detritus. Eutrofikasi diatasi dengan memanfaatkan sistem selokan dan mengurangi kandungan fosfor dari pasokan air. Pengurangan beban fosfor eksternal yang diakibatkan oleh tindakan tersebut tidak menyebabkan secara nyata penurunan kekeruhan oleh partikel tersuspensi. Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya beban fosfor internal, baik yang disumbangkan oleh sedimen maupun oleh ikan. Bagaimanapun, konsentrasi klorofil Danau Loosdrecht tidak meningkat lebih jauh. Konsentrasi maksimum fosfor total berkurang sebanyak kira-kira 10 % per tahun. Klorofil a tidak terlihat memberikan reaksi yang nyata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Invertebrata Bentos Sungai

Quinn et al. (1992) mempelajari dampak pembuangan lumpur terhadap invertebrata bentik dengan membandingkan komunitas yang ada di arah hulu dan hilir dari pertambangan emas aluvial di 6 sungai di pesisir barat South Island, New Zealand. Rata-rata kekeruhan meningkat 7 – 154 NTU dibandingkan kontrol (rata-rata 1,3 – 8,2 NTU) akibat buangan pertambangan selama 2 bulan sebelum sampling. Pola peningkatan padatan tersuspensi (sangat berhubungan dengan kekeruhan, r = 0,95) adalah sama. Kepadatan invertebrata secara nyata lebih rendah di semua lokasi hilir, yang berkisar dari 9 sampai 45 % (median 26 %) dari kepadatan di lokasi-lokasi hulu yang bersesuaian. Kepadatan hilir sebagai persentase kepadatan hulu adalah berkorelasi negatif dengan logaritma beban kekeruhan (r = - 0,82, P < 0,05). Kepadatan taksa umum adalah biasanya lebih rendah di hilir penambangan. Kekayaan taksonomi secara nyata lebih rendah di lokasi-lokasi hilir pada empat sungai yang menerima beban kekeruhan lebih tinggi (kekeruhan rata-rata meningkat 23 – 154 NTU). Biomas dan produktivitas epilithon (organisme penempel batu) lebih rendah, dan mutu makanan yang lebih jelek di daerah hilir mungkin menyebabkan menurunnya kepadatan invertebrata. Pada beberapa lokasi, penurunan permeabilitas dasar sungai dan oksigen terlarut di sela-sela sedimen serta reaksi penghindaran oleh invertebrata (yakni, meningkatnya individu yang hanyut), juga berperanan dalam menyebabkan rendahnya kepadatan invertebrata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Juvenil Udang Penaeus

Lin et al. (1992) melaporkan bahwa juvenil Penaeus japonicus selama 3 minggu dikenai berbagai tingkat kekeruhan sedimen tersuspensi : kontrol (2 ± 2 NTU), kekeruhan sedang (35 ± 15 NTU) dan kekeruhan tinggi (65 ± 15 NTU). Tingkat mortalitas udang meningkat setelah terkena kekeruhan tinggi. Juvenil udang tahap akhir yang terkena kekeruhan menjadi kurang toleran terhadap perubahan salinitas lingkungan dan menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada salinitas rendah. Pengaruh kekeruhan terhadap kapasitas osmoregulasi dipelajari dengan menentukan gradien (perbedaan) osmotik antara hemolimfa dan medium eksternal pada air laut pekat (salinitas 42 ppt) dan air laut encer (salinitas 15 ppt). Pada udang juvenil muda, kapasitas osmoregulasi umumnya tidak terpengaruh oleh kekeruhan. Pada juvenil tahap akhir, kapasitas osmoregulasi diturunkan secara nyata oleh kekeruhan. Penurunan kapasitas osmoregulasi disebabkan oleh terganggunya pengaturan konsentrasi Na+ dan Cl-. Aktivitas Na+-K+ ATPase dalam insang juvenil tahap akhir adalah meningkat dengan meningkatnya kekeruhan, tampaknya sebagai reaksi kompensasi atas terganggunya keseimbangan osmotik dan ionik.

Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Gregory dan Northcote (1993) mempelajari pengaruh kekeruhan terhadap aktivitas makan pada juvenil ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) di laboratorium. Daya penglihatan ditentukan dengan mengukur “jarak reaksi” juvenil ikan chinook terhadap mangsa yang berupa Artemia dewasa. Ikan chinook menunjukkan penurunan “jarak reaksi” sejalan dengan peningkatan kekeruhan; penurunan tersebut bersifat logaritma linier. Aktivitas makan pada ikan ini terhadap mangsa yang ada di permukaan air (Drosophila), mangsa planktonik (Artemia) dan bentos (Tubifex) diamati pada berbagai kisaran kekeruhan air (< 1, 18, 35, 70, 150, 370 dan 810 NTU). Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas makan berkurang pada kondisi yang lebih keruh untuk ketiga jenis mangsa. Diduga bahwa meningkatnya laju makan pada kondisi keruh mencerminkan penurunan resiko ancaman predator.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Perilaku Menghindari Pemangsa

Gregory (1993) mengamati pengaruh kekeruhan terhadap perilaku menghindari pemangsa pada ikan juvenil chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) dalam percobaan laboratorium terkendali. Model berupa burung dan ikan digunakan untuk menciptakan resiko pemangsaan. Ketika tidak ada pemangsa, juvenil chinook tersebar secara acak di dalam arena percobaan pada kondisi keruh (sekitar 23 NTU), tetapi pada kondisi jernih (kurang dari 1 NTU) mereka tidak jauh-jauh dari dasar. Bila model burung dan ikan pemangsa dimasukkan, ikan chinook mengubah distribusinya dan menempati bagian-bagian perairan yang lebih dalam tanpa tergantung pada tingkat kekeruhan. Bagaimanapun, respon mereka dalam kondisi keruh kurang menyolok dan berlangsung lebih singkat. Kekeruhan tampaknya mengurangi rasa takut akan pemangsaan pada juvenil ikan chinook.

Kesukaan Juvenil Ikan Laut Terhadap Kekeruhan

Cyrus dan Blaber (1987) mengamati kesukaan juvenil 10 spesies ikan laut yang umum dijumpai di estuari-estuari Afrika tenggara. Percobaan yang dilakukan memungkinkan untuk menghilangkan semua faktor lingkungan selain kekeruhan. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ikan Liza dumerilii (Steindachner) adalah spesies perairan jernih (< 10 NTU); Liza macrolepis (Smith), Rhabdosargus sarba (Forsskal), Gerres filamentosus Cuvier, dan Valamugil buchanani (Bleeker) lebih menyukai “perairan jernih sampai keruh sebagian” (< 50 NTU); Monodactylus argenteus (L.) menyukai perairan dengan kekeruhan sedang (10 – 80 NTU); dan empat spesies ikan sisanya, yaitu Rhabdosargus holubi (Steindachner), Acanthopagrus berda (Forsskal), Pomadasys commersonni (Lacépède) dan Terapon jarbua (Forsskal) tidak terikat dengan kekeruhan. Analisis statistik terhadap data laboratorium dan lapangan menunjukkan adanya korelasi yang nyata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Distribusi dan Hasil Tangkap Ikan Laut

Cyrus dan Blaber (1992) mempelajari kekeruhan dan salinitas serta pengaruhnya terhadap distribusi ikan selama dua setengah tahun di estuaria Embley di Australia utara tropis. Baik kekeruhan maupun salinitas bervariasi secara nyata selama periode penelitian tetapi tampak jelas bahwa ada tiga pola musiman. Ketiga pola ini berkaitan dengan musim hujan, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama ketiga musim tersebut timbul gradien kekeruhan dan salinitas yang jelas. Gradien kekeruhan dan salinitas ini merupakan kelanjutan dari gradien serupa yang ada di lingkungan laut sekitarnya di teluk Albatros. Derajat dan kisaran kedua faktor ini sangat ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan-air Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola-pola kekeruhan, salinitas dan suhu di estuari ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kepadatan ikan di dalam estuari adalah berkorelasi dengan kekeruhan dan salinitas tetapi tidak dengan suhu. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE; hasil tangkap per satuan upaya) untuk setiap spesies ikan telah ditentukan dalam masing-masing dari ketiga kisaran kekeruhan dan salinitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola-pola yang berkaitan dengan kekeruhan dan salinitas ditemukan pada 30 dari 45 spesies ikan yang diamati.

Hubungan Kekeruhan dan Jenis Ikan Laut Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) menunjukkan adanya hubungan antara kekeruhan dan jenis ikan dominan di paparan benua. Pada komunitas ikan tropis paparan benua telah diidentifikasi empat kumpulan ikan : ikan-ikan di perairan dekat-pantai dan estuari berlumpur dengan air yang keruh yang didominasi oleh sciaenidae; kumpulan ikan di perairan jernih dengan sedimen berupa deposit berpasir dan dicirikan oleh banyaknya ikan sparidae; kumpulan ikan di habitat terumbu berbatu (perairan jernih) yang didominasi oleh ikan lutjanidae; dan terakhir adalah kumpulan ikan di terumbu karang (perairan jernih) tanpa ada ikan dominan. Perbedaan mendasar pada keempat kumpulan ikan ini terutama adalah antara perairan keruh dan perairan jernih.

Referensi :

Akhurst, E.G.J. and C.M. Breen. 1988. Ionic Content as a Factor Influencing Turbidity in Two Floodplain Lakes After a Flood. Hydrobiologia, Vol. 160, Issue 1, pp. 19 - 31

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Clark, J.R. 1977. Coastal Ecosystem Management : A Technical Manual for The Conservation of Coastal Zone Resources. John Wiley & Sons. New York. 928 pp.

Cyrus, D.P. and S.J.M. Blaber. 1987. The Influence of Turbidity on Juvenile Marine Fishes in Estuaries. Part 2. Laboratory Studies, Comparisons With Field Data and Conclusions. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, Vol. 109, Issue 1, pp. 71 – 91

Cyrus, D.P. and S.J.M. Blaber. 1992. Turbidity and Salinity in a Tropical Northern Australian Estuary and Their Influence on Fish Distribution. Estuary and Coastal Shelf Sciences, Vol. 35, No. 6, pp. 545 – 563

Gregory, R.S. 1993. Effect of Turbidity on The Predator Avoidance Behaviour of Juvenil Chinook Salmon (Oncorhynchus tshawytscha). Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 2, pp. 241 - 246

Gregory, R.S. and T.G. Northcote. 1993. Surface, Planktonic and Benthic Foraging by Juvenil Chinook Salmon (Oncorhynchus tshawytscha) in Turbid Laboratory Conditions. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 2, pp. 233 - 240

Li, J. and C. Zhang. 1998. Sediment Resuspension and Implications for Turbidity Maximum in The Changjiang Estuary. Marine Geology, Vol. 148, Issues 3 – 4, pp. 117 – 124

Liere, L. van, J. Elbert. W. Kets and J.-J. Buyse. 1991. The Water Quality in The Loosdrecht Lakes Reviewed. MEM. IST. ITAL. IDROBIOL., Vol. 48, pp. 219 - 232

Lin, H.-P., G. Charmantier, P. Thuet and J.-P. Trilles. 1992. Effects of Turbidity on Survival, Osmoregulation and Gill Na+-K+ ATPase in Juvenile Shrimp Penaeus japonicus. Marine Ecology – Progress Series, Vol. 90, No. 1, pp. 31 – 37

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Quinn, J.M., R.J. Davies-Colley, C.W. Hickey, M.L. Vickers and P.A. Ryan. 1992. Effects of Clay Discharges on Streams. 2. Benthic Invertebrates. Hydrobiologia, Vol. 248, pp. 235 - 247

Richardson, M.J. and F.G. Whoriskey. 1992. Factors Influencing The Production of Turbidity by Goldfish (Carassius auratus). Canadian Journal of Zoology, Vol. 70, No. 8, pp. 1585 - 1589

Tidak ada komentar:

Posting Komentar