Minggu, 01 Juli 2018

Bioekologi, Budidaya dan Pengolahan Kepiting

Habitat dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Macnae (1968) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan satu-satunya kepiting portunidae yang secara khas ditemukan di hutan bakau. Ia hidup di dalam liang dan jarang terihat jauh darinya. Irisan melintang liang ini hampir selalu berbentuk elips; liang biasanya panjang, sampai 5 meter, dan turun melandai sampai ke “water table” (lapisan batuan di dalam tanah yang kedap-air). Kepiting ini paling banyak ditemukan di tebing teluk sampai garis air rendah di teluk itu, tetapi mereka juga bisa ditemukan di lantai hutan Bruguiera dan Rhizophora atau di antara akar-akar Avicennia dan Sonneratia pada zona hutan bakau yang mengarah ke laut; kadang-kadang liangnya bisa ditemukan di zona hutan bakau yang mengarah ke darat. Liang seperti ini mudah dikenali dari bentuk pintu masuk dan jumlah lumpur lunak yang dilemparkan di pintu masuk itu. Sepanjang tebing sungai dikabarkan kepiting ini naik ke arah hulu sampai jauh di atas pengaruh air asin. Scylla serrata terdapat di seluruh Indo-Pasifik barat yang meluas ke arah selatan sampai ke dekat Teluk Mossel di Afrika Selatan dan ke Port Jackson di Australia. Ia diaporkan ditemukan di Jepang, Cina dan di beberapa gugusan kepulauan Pasifik.

Migrasi, Reproduksi dan Distribusi Kepiting Bakau

Macnae (1968), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mengulas migrasi dan distribusi kepiting bakau. Kepiting muda memasuki estuaria di sekitar Teluk Manila antara Juni dan Agustus dalam jumlah besar dan diduga bahwa kematangan seksual mungkin tercapai dalam satu tahun. Kepiting betina kadang bermigrasi untuk memijahkan larvanya atau kadang melepaskan larva ke air laut yang sedang surut. Distribusinya yang luas menunjukkan bahwa periode larva pelagisnya lama. Ada laporan penemuan beberapa individu kepiting yang hampir tak tercerna dalam lambung seekor ikan cucut macan (Galeocerdo cuvieri Agassiz) di Kanal Mozambik sekitar 20 km dari tepi paparan benua dan 50 km dari pantai Madagaskar. Dari fakta ini disimpukan bahwa kepiting tersebut juga hidup di tepi paparan benua karena kesegaran individu yang ditemukan dalam lambung ikan cucut itu menghilangkan kemungkinan bahwa mereka dimakan cucut di dekat pantai.

Macnae (1968) menambahkan bahwa di pantai di Inhaca, Scylla memiliki kisaran habitat yang luas. Nelayan lokal melaporkan bahwa kepiting-kepiting terbesar, hampir selalu betina, dikumpulkan dari liang yang terbuka saat pasang ekuinoktial sepanjang kanal di antara tebing-tebing pasir. Diduga bahwa kepiting bermigrasi ke bawah sejalan dengan pertumbuhannya; kepiting-kepiting kecil tertangkap jauh di atas teluk di dalam hutan bakau sedangkan kepiting-kepiting besar tertangkap di bagian teluk yang dekat laut dan di tepi hutan bakau. Individu yang diambil di dalam hutan bakau selalu berwarna gelap, biasanya hijau tua bertotol-totol, sedang individu yang ditangkap di kanal di Inhaca biasanya berwarna kecoklatan, bukannya kehijauan. Tampaknya bahwa, seperti kebanyakan kepiting portunidae lain, kepiting ini dapat mengubah warna sesuai dengan lingkungannya.

Ganti Kulit dan Reproduksi Kepiting Bakau

Macnae (1968) mengutip laporan penelitian mengenai proses ganti kulit (molting) dan pertumbuhan kepiting bakau di Filipina. Kepiting berukuran 6 x 9 mm yang tumbuh menjadi ukuran 90 x 130 mm mengalami 12 kali ganti kulit dengan selang waktu yang meningkat dari 9 hari untuk dua stadium pertama yang diamati sampai 23 hari untuk stadium terakhir yang diamati. Periode total pemeliharaan dan penelitian tersebut adalah 5 bulan. Hal ini menyiratkan bahwa pada kondisi Filipina pertumbuhan kepiting bakau adalah cepat. Perkawinan berlangsung tepat setelah ganti kulit sementara kedua individu masih berkulit lunak. Telur dibawa ke mana-mana selama 17 hari dan menetas sebagai zoea.

Ukuran Kepiting Bakau

Macnae (1968) melaporkan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) terkecil yang pernah ditemukan di estuaria Afrika Selatan memiliki panjang melintang karapas 20 mm. Yang terbesar mencapai lebih dari 200 mm, rata-rata untuk betina adalah sekitar 160 mm, untuk jantan sedikit lebih kecil. Di Srilangka ukuran rata-rata kepiting yang terlihat di pasar adalah sekitar 50 sampai 60 mm – hal ini mungkin disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan. Di Australia dilaporkan bahwa kepiting betina mencapai ukuran 165 mm dan kepiting jantan 195 mm. Kepiting-kepiting yang diperoleh dari Vietnam berkisar dari sekitar 60 sampai 95 mm.

Pengelolaan Perikanan dan Kegagalan Budidaya Kepiting Bakau

Macintosh et al. (1993) melaporkan bahwa kepiting bakau Scylla serrata (Forskaal), merupakan salah satu sumberdaya ekonomi penting dalam ekosistem hutan bakau Ranong di pesisir Laut Andaman di Thailand selatan. Bagaimanapun, ada masalah overfishing (penangkapan berlebihan) yang serius yang menyebabkan nelayan makin banyak menjual kepiting di bawah-ukuran untuk memenuhi kebutuhan pasar dan mempertahankan pendapatan nelayan. Populasi kepiting dan aktivitas penangkapan telah dipelajari untuk merencanakan pengelolaan perikanan kepiting bakau yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap induk kepiting betina dan kemungkinan membudidayakan kepiting muda.

Kepiting yang bertelur selalu berukuran lebih dari 10 cm (lebar karapas), dengan kebanyakan kepiting betina matang gonad dalam kisaran ukuran 10,0 – 11,5 cm. Nilai-nilai indeks gonosomatik mencapai maksimum pada bulan September, dengan periode “membawa-telur” dan periode pemijahan dari Juli sampai Desember. Perlindungan kepiting betina dari tekanan penangkapan selama musim ini, ditambah batas ukuran kepiting yang boleh ditangkap kurang dari 10 cm, atau memelihara kepiting-kepiting tersebut untuk digemukkan di kolam, akan menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik. Budidaya kepiting di Ranong dibatasi oleh faktor-faktor iklim, keberadaan tanah sulfat-asam dan ketiadaan pengetahuan teknis pada nelayan lokal. Percobaan pendahuluan untuk membudidayakan kepiting asal Ranong di daerah Surat Thani yang kondisinya lebih baik memberikan hasil yang terbatas. Meskipun demikian, perbedaan harga yang menyolok antara kepiting liar dan kepiting hasil penggemukan di kolam mendorong usaha budidaya kepiting bakau di Ranong.

Uji Coba Kultur Masal Larva Kepiting

Charmantier-Daures dan Charmantier (1991) melaporkan bahwa planktonkreisel lintas-air, yang dirancang untuk budidaya lobster, yang terdiri dari tangki-tangki bundar bervolume 40 liter dengan dasar cekung, telah dimodifikasi untuk membudidayakan kepiting Cancer irroratus. Modifikasi utamanya adalah sebagai berikut : penggunaan sebuah saringan dengan ukuran lubang 280 mikron dan dipasang mengelilingi sistem arus-keluar; penyaringan air laut dengan saringan 50 mikron selama perkembangan larva kepiting dari tahap zoea 1 sampai zoea 5; tidak ada penyaringan setelah itu; kecepatan arus 2,5 – 3 liter/menit selama perkembangan dari zoea 1 sampai tahap awal megalopa, kemudian 1 – 1,5 liter/menit setelah itu. Pada kondisi ini, tingkat kelangsungan hidup sampai tahap megalopa adalah 69 %, sehingga menghasilkan lebih dari 10.000 megalopa.

Percobaan perbandingan pada kondisi statis, dengan penambahan antibiotik, menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih rendah, jumlah total megalopa lebih sedikit serta ukuran zoea dan megalopa lebih kecil. Planktonkreisel yang telah dimodifikasi sangat sesuai untuk memproduksi megalopa, tetapi gagal mengatasi tingginya tingkat mortalitas yang terjadi selama peralihan metamorfosis dari megalopa ke tahap kepiting pertama. Tingkat kelangsungan hidup maksimal sampai tahap kepiting adalah 12,7 %. Penelitian lebih lanjut seharusnya dilakukan guna memperbaiki kondisi pakan dan rancangan tangki yang lebih sesuai dengan perilaku hidup di dasar yang ditunjukkan megalopa tahap akhir.

Pencucian Dalam Air Klor dan Pemasakan Pendahuluan Meningkatkan Mutu Daging Kepiting

Tinker dan Learson (1972) melaporkan bahwa proses normal pemasakan-pendahuluan dalam industri pengolahan kepiting bisa mengurangi populasi bakteri dalam produk tersebut. Proses pemasakan-pendahuluan ini melibatkan pencucian di dalam air yang mengandung klor 200 ppm, diikuti dengan pengukusan selama 8 menit pada suhu 212 oF. Data mikrobiologi yang membandingkan proses ini dengan proses industri yang biasa dilakukan (pengukusan 10 menit pada suhu 250 oF) menunjukkan bahwa kedua jenis proses tersebut memberikan hasil yang sama dalam hal pengurangan bakteri. Proses pencucian itu sendiri bisa mengurangi bakteri sebanyak rata-rata 99 %. Kepiting yang ditangani dengan cara seperti ini, yang diikuti dengan pengukusan 8 menit pada suhu 212 oF menghasilkan daging yang lebih banyak dengan mutu organoleptik lebih baik dan tingkat mikrobiologisnya bisa diterima oleh standar kesehatan masyarakat.

Perubahan Biokimia Pasca Kematian Dalam Daging Kepiting Selama Penyimpanan

Matsumoto dan Yamanaka (1992) meneliti perubahan kadar glikogen, metabolit glikolitik, senyawa terkait-ATP, asam amino bebas, poliamin dan “volatile basic nitrogen” (VBN; nitrogen basa mudah-menguap) dalam daging kaki kepiting tanner crab Chionoecetes opilio selama penyimpanan pada suhu 5, 0 dan -1 oC. Selama penyimpanan, glikogen teruai dan laktat tertimbun dengan cepat. Kadar hipoksantin meningkat cepat pada tahap awal penguraian. Ornitin meningkat perlahan selama penyimpanan dan makin nyata sejalan dengan berlangsungnya penguraian. VBN juga meningkat perlahan selama penyimpanan.

Karakteristik Penyimpanan Beku Daging Kepiting Mentah dan Matang

George et al. (1990) mempelajari perubahan mutu biokimia dan organoleptik selama pembekuan-lamban dan penyimpanan pada suhu – 18 oC pada ruas dan cangkang capit serta daging kepiting bakau (Scylla serrata), baik yang masih mentah maupun yang diberi perlakuan pemasakan pendahuluan. Kehilangan berat terjadi pada kepiting utuh, ruas dan capit kepiting. Studi penyimpanan beku menunjukkan bahwa dalam waktu 40 minggu ruas kepiting tetap dalam kondisi baik, sedangkan daging rebus menjadi jelek akibat mengalami “browning” (pencoklatan) ringan dan kehilangan cita rasa. Pada capit mentah meskipun warna pigmen berubah dari abu-abu ke hitam, namun cita rasa khasnya tetap lebih baik daripada cita rasa capit rebus.

Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Sifat Kimia dan Bakteriologi Daging Kepiting

Menurut Aman et al. (1983) penyimpanan-beku kepiting mentah dan kepiting matang dalam waktu yang lebih lama menyebabkan perubah-perubahan yang tak dikehendaki, terutama komponen-komponen utamanya seperti protein dan lipida. Penyimpanan kepiting beku yang lebih lama menyebabkan kelarutan protein asli berkurang, dan pada saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah protein yang terurai (tak larut). Hidrolisis dan oksidasi lipida selama penyimpanan beku juga menurunkan kelarutan protein, terutama protein myofibrilar (protein serabut otot). Juga, kapasitas pengikatan-air berkurang pada penyimpanan beku yang lebih lama. Hal-hal tersebut menyebabkan daging kepiting menjadi liat/keras ketika dimasak.

Aman et al (1983) mempelajari pengaruh penyimpanan beku pada suhu -10 oC terhadap karakteristik kimiawi daging kepiting merah Mesir (Carcinus maenas). Penelitian ini melibatkan penentuan nilai-nilai pH, kadar air, total nitrogen, nitrogen protein, total volatile basic nitrogen (TVBN), ekstrak dietil eter, nilai asam, asam tiobarbiturat (TBA) dan total jumlah bakteri (TC; Total Count). Diperoleh hasil bahwa kepiting matang dan kepiting mentah kupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 5 dan 3 bulan, berturut-turut, tanpa terjadi pembusukan. Kepiting mentah tak dikupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 4 bulan tanpa mengalami pembusukan. Perendaman kepiting mentah tak dikupas dalam 20 ppm klorotetrasiklin (CTC) selama 20 menit meningkatkan periode penyimpanan menjadi 5 bulan. Jumlah total bakteri pada daging kepiting dipengaruhi oleh berbagai perlakuan selama penyimpanan beku pada suhu -10 oC. Dapat dilihat bahwa jumlah bakteri total (TC) pada kepiting mentah adalah 0,015 x 106/gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TC pada kepiting mentah yang diberi CTC adalah sangat sedikit, terutama pada penyimpanan beku yang lebih lama dalam suhu -10 oC bila dibandingkan dengan sampel yang tidak diberi perlakuan. Daging kepiting matang selalu menunjukkan nilai TC yang lebih rendah daripada daging kepiting yang tak dimasak (mentah). Secara umum, TC daging kepiting meningkat perlahan-lahan sejalan dengan makin lamanya penyimpanan.

Penyakit Kolera Akibat Mengkonsumsi Kepiting Olahan

Finelli et al. (1992) melaporkan bahwa dari 31 Maret sampai 3 April 1991, sebanyak 8 penduduk New Jersey mengalami mencret parah setelah memakan daging kepiting yang dibawa sebagai oleh-oleh dari Ekuador. Kultur Stool menghasilkan Vibrio cholerae 01, seratype Inaba, biotype El Tor dari 4 orang, dan konsentrasi antibodi vibriosidal adalah sedikitnya 1 : 640 pada 7 orang, yang menunjukkan baru diinfeksi oleh Vibrio cholerae 01. Mengkonsumsi kepiting secara statistik berhubungan dengan penyakit; bagaimanapun, tak ada sisa daging kepiting yang tersedia untuk diuji. Semua dari 8 pasien sembuh total dan tak ada kasus penularan sekunder yang dilaporkan. Ini merupakan kasus kolera pertama di daratan Amerika Serikat yang berhubungan dengan makanan yang dibawa dari daerah yang diserang penyakit epidemi. Pelarangan membawa oleh-oleh makanan laut yang beresiko bisa mencegah terulangnya kasus lebih lanjut.

Perkembangan Industri Pengalengan Kepiting di Dunia

Menurut Martin (1992) dalam Granata et al. (1992), kepiting pertama kali dikalengkan di Amerika Serikat oleh James McMenamin di Norfolk, Virginia, pada tahun 1878. Kesulitan terbesar dalam pengalengan kepiting adalah “discoloration” (perubahan menjadi warna lain yang kurang menarik). Pada tahun 1936, sebuah metode untuk mengatasi masalah pemudaran warna ini telah dikembangkan, dan pada tahun 1938, Harris Company berhasil mengemas kepiting biru yang berasal dari pesisir Atlantik secara komersial. Meskipun proses pengalengan kepiting telah dikembangkan pada tahun 1892, industri Jepang skala komersial belum mantap hingga tahun 1908. Kepiting kaleng Jepang mulai memasuki pasar Amerika Serikat dalam jumlah cukup banyak selama Perang Dunia I. Pada tahun 1931, impor produk ini menyebabkan produksi domestik daging kepiting segar dan kalengan meningkat hampir dua kali lipat. Industri pengalengan kepiting domestik telah berkembang di Alaska, Oregon dan Washington; kesulitan dalam hal pengolahan dan masalah-masalah teknis lainnya telah berhasil diatasi dan pasar untuk produk tersebut telah dikembangkan di negara-negara pesisir Pasifik.

Referensi :

Aman, M.B., E. K. Moustafa, M. E. Zoueil and M. H. Ghaly. 1983. Effect of Frozen Storage on The Chemical and Technological Characteristics of Egyptian Crab Meat. Zeitschrift für Lebensmittel-Untersuchung und Forschung, Vol. 177, Issue 2, pp. 97 - 100

Charmantier-Daures, M. and G. Charmantier. 1991. Mass-Culture of Cancer irroratus Larvae (Crustacea, Decapoda) : Adaptation of A Flow-Through Sea-Water System. Aquacuture, Vol. 97, No. 1, pp. 25 – 39

Finelli, L., D. Swerdlow, K. Mertz, H. Ragazzoni and K. Spitalny. 1992. Outbreak of Cholera Associated With Crab Brought From an Area With Epidemic Disease. Journal of Infective Disease, Vol. 166, No. 6, pp. 1433 - 1435

George, C., K. Gopakumar and P.A. Perigreen. 1990. Frozen Storage Characteristics of Raw and Cooked Crab (Scylla serrata) Segments, Body Meat and Shell on Claws. Journal of Marine Biology Association of India, Vol. 32, No. 1 – 2, pp. 193 – 197

Macintosh, D.J., C. Thongkum, K. Swamy, C. Cheewasedtham and N. Paphavisit. 1993. Broodstock Management and The Potential to Improve The Exploitation of Mangrove Crabs, Scylla serrata (Forskaal), Through Pond Fattening in Ranong, Thailand. Broodstock Management and Egg and Larval Quality, pp. 261 - 269

Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna And Flora of Mangrove Swamps and Forests in The Indo-West-Pacific Region. Advances in Marine Biology, Vol. 6, pp. 73 – 270

Martin, R.E. 2012. A History of The Seafood Industry in Granata, L.A., G.J. Flick, Jr. and R.E. Martin. (Eds.). 2012. The Seafood Industry : Species, Products, Processing and Safety. 2nd Ed. Blackwell Publishing Ltd. Iowa. 469 pp.

Matsumoto, M. and H. Yamanaka. 1992. Post-Mortem Biochemical Changes in The Muscle of Tanner Crab During Storage. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 5, pp. 915 – 920

Tinker, B.L. and R.J. Learson. 1972. An Improved Precook Process for Blue Crab (Callinectes sapidus). Chesapeake Science, Vol. 13, Issue 4, pp. 331 - 333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar