Selasa, 24 April 2018

Logam Berat, Pestisida dan Herbisida di Lingkungan Perairan


Daftar Isi

Bab I. Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan
- Kandungan Logam Berat Pada Ikan di Danau Yang Tercemar
- Fluktuasi Musiman Konsentrasi Logam Berat Pada Ikan Laut
- Distribusi Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan Pelagis dan Demersal
- Hubungan Antara Konsentrasi Logam Dalam Jaringan Dengan Ukuran Ikan
- Perlindungan Terhadap Logam Berat Oleh Lendir dan Sisik Pada Ikan

Bab II. Dampak Negatif Pestisida Bagi Perairan Pesisir
- Bahan-Bahan Beracun Yang Memasuki Perairan Pesisir
- Efek Negatif Herbisida Bagi Perairan Pesisir
- Dampak Negatif Pengendalian Nyamuk Dengan Pestisida
- Pencemaran Oleh Pestisida Organoklorin, DDE dan DDT
- Daya Racun Beberapa Jenis Pestisida dan Insektisida
- Aktivitas Algasida Senyawa Turunan Sulfonil Dari PCB dan Difenil Eter

Bab III. Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi
- Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Ikan Sungai Terkait Pestisida
- Residu Pestisida Dalam Air Danau dan Daging Ikan Mujaer
- Residu Pestisida Dalam Tubuh Ikan dan Kerang di Danau
- Residu Pestisida Organoklorin Dalam Daging Ikan Konsumsi
- Residu Toxaphene Dalam Ikan Laut

Bab IV. Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air
- Pengaruh Herbisida Terhadap Tumbuhan Air di Danau
- Jenis Tumbuhan Air Menentukan Efektivitas Herbisida
- Pengaruh Air Pengencer dan Tembaga Terhadap Efektivitas Herbisida
- Manipulasi Ketinggian Air Bendungan Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Hydrilla
- Efektivitas Herbisida Fluridone Dalam Mengendalikan Hydrilla dan Dampaknya
- Minyak dan Deterjen Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida

Referensi

Bab I
Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan


Kandungan Logam Berat Pada Ikan di Danau Yang Tercemar

Amundsen et al. (1997) mempelajari kandungan kadmium, tembaga, krom, merkuri, nikel dan seng dalam jaringan otot, hati dan insang ikan whitefish, perch, pike, brown trout, burbot dan vendace dari tiga lokasi di danau yang terletak di perbatasan antara Norwegia dan Rusia, di dekat aktivitas pertambangan dan di beberapa pabrik peleburan logam. Konsentrasi kadmium dan nikel dalam jaringan ikan meningkat dengan makin dekat jaraknya ke pabrik peleburan logam, sedangkan unsur-unsur logam lain menunjukkan konsentrasi yang sama pada tiga lokasi. Data konsentrasi logam berat tampaknya ada dalam kisaran untuk ikan danau yang tercemar logam, dan nilainya lebih tinggi dibandingkan pada ikan di perairan yang tak tercemar. Konsentrasi logam berat biasanya paling rendah dalam jaringan otot dan tertinggi dalam hati atau insang. Perbedaan nyata konsentrasi logam ditemukan antara spesies-spesies ikan yang berbeda, tetapi merkuri merupakan satu-satunya logam di mana perbedaan spesies ini mungkin berkaitan dengan biomagnifikasi. Untuk unsur-unsur logam lain, konsentrasinya secara umum berkorelasi terbalik dengan tingkat trofik (kedudukan dalam rantai makanan) spesies ikan.

Fluktuasi Musiman Konsentrasi Logam Berat Pada Ikan Laut

Dural et al. (2007) mengumpulkan secara musiman dua ratus sampel ikan dari November 2000 sampai Desember 2001 di Laguna Tuzla. Konsentrasi logam-logam berat (kadmium, timbal/timah hitam, tembaga, seng dan besi) diukur dalam jaringan otot, insang, hati dan gonad tiga spesies ikan (Sparus aurata, Dicentrarchus labrax dan Mugil cephalus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua logam berat ditemukan dengan konsentrasi tertinggi di dalam jaringan otot ikan Sparus aurata. Kadmium dan seng ditemukan pada musim semi, sedangkan besi, tembaga dan timbal dijumpai pada musim dingin. Konsentrasi tertinggi seng, besi dan tembaga diperoleh dalam hati ikan Mugil cephalus, sedangkan nilai tertinggi kadmium dan timbal adalah dalam jaringan insang Mugil cephalus. Bagaimanapun, pada beberapa musim, konsentrasi seng, kadmium dan timbal dalam jaringan otot lebih tinggi daripada nilai maksimum yang diijinkan oleh undang-undang. Untuk setiap spesies pada musim semi ditemukan seng berkonsentrasi tinggi; untuk Dicentrarchus labrax dan Mugil cephalus pada musim semi dan untuk Sparus aurata pada musim dingin ditemukan timbal berkonsentrasi tinggi; untuk Sparus aurata pada musim semi dan untuk Mugil cephalus pada musim dingin ditemukan kadmium berkonsentrasi tinggi sehingga tak layak bagi konsumsi manusia.

Distribusi Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan Pelagis dan Demersal

Romeo et al. (1999) menentukan konsentrasi kadmium, tembaga, seng dan merkuri dalam ikan pelagis dan bentik dari pesisir Mauritania. Ikan pelagis ini mencakup Sardinella aurita (Clupeidae), Scomber japonicus (Scombridae) dan Trachurus trachurus (Carangidae). Empat spesies ikan bentik yang diamati adalah dari famili Serranidae: Serranus scriba, kerapu Epinephelus costae dan Cephalopholis nigri serta satu spesies dari famili Mullidae: Pseudopeneus prayensis. Konsentrasi kadmium, tembaga, seng dan merkuri adalah rendah dalam jaringan otot (daging) yang biasa dikonsumsi pada spesies ikan pelagis. Pada ikan bentik, logam-logam berat juga ditemukan dalam insang dan hati. Kadmium dan tembaga ada dalam jumlah relatif rendah pada jaringan otot (0,06 mikrogram Cd per gram berat kering; 1,6 mikrogram Cu per gram berat kering) dan insang (0,23 mikrogram Cd per gram; 3,1 mikrogram Cu per gram); konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan dalam hati (51 mikrogram Cd per gram; 49,1 mikrogram Cu per gram). Konsentrasi seng dalam jaringan otot adalah rendah (20 mikrogram Zn per gram berat kering); konsentrasi logam ini dalam insang (120 mikrogram Zn per gram) hampir sama dengan yang ditemukan dalam jaringan hati ikan Cephalopholis nigri dan Pseudupeneus prayensis, tetapi lebih tinggi daripada yang ditemukan dalam ikan Serranus scriba dan Epinephelus costae. Konsentrasi merkuri dalam insang dan otot spesis ikan pelagis adalah rendah; nilai yang lebih tinggi ditemukan dalam hati spesies ikan bentik. Konsentrasi logam berat pada semua ikan yang dianalisis, yang terbatas pada sekitar 40 spesimen, adalah rendah kecuali untuk kadmium dalam jaringan hati ikan bentik.

Hubungan Antara Konsentrasi Logam Dalam Jaringan Dengan Ukuran Ikan

Canli dan Atli (2003) melaporkan bahwa konsentrasi beberapa logam berat (kadmium, krom, tembaga, besi, timah hitam dan seng) dalam otot, insang dan hati enam spesies ikan (Sparus auratus, Atherina hepsetus, Mugil cephalus, Trigla cuculus, Sardina pilchardus dan Scomberesox saurus) dari Laut Mediterania timur-laut telah diukur; hubungan antara ukuran ikan (panjang dan berat) dan konsentrasi logam dalam jaringan-jaringan tersebut diteliti dengan analisis regresi linier. Konsentrasi logam (dinyatakan sebagai mikrogram/gram berat kering) adalah tertinggi dalam jaringan hati, kecuali untuk besi yang nilainya tertinggi dalam insang Scomberesox saurus dan terendah dalam otot semua spesies ikan. Konsentrasi tertinggi kadmium (4,50), krom (17,1) dan timah hitam (41,2) ditemukan dalam jaringan hati ikan Trigla cuculus, Sardina pilchardus dan Atherina hepsetus, berturut-turut. Hati ikan Mugil cephalus menunjukkan konsentrasi tembaga yang sangat tinggi (202,8). Insang ikan Scomberesox saurus merupakan satu-satunya jaringan dengan konsentrasi besi tertinggi (885,5). Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa, kecuali pada sedikit kasus, hubungan yang nyata antara konsentrasi logam dan ukuran ikan adalah berkorelasi negatif. Korelasi negatif yang sangat nyata (P< 0,001) ditemukan antara panjang ikan dan konsentrasi krom dalam hati ikan Atherina hepsetus dan Mugil cephalus, dan konsentrasi krom di dalam insang ikan Trigla ticuculus. Konsentrasi krom dan timah hitam dalam hati dan konsentrasi tembaga dalam semua jaringan Scomberesox saurus juga menunjukkan korelasi negatif yang sangat nyata (P < 0,001).

Perlindungan Terhadap Logam Berat Oleh Lendir dan Sisik Pada Ikan

Coello dan Khan (1996) menyatakan bahwa sebagian besar logam berat yang memasuki perairan akan berakhir dalam sedimen di dasar perairan tersebut. Meningkatnya keasaman pada tahun-tahun terakhir ini menyebabkan pelepasan berbagai jenis logam dari sedimen. Hal ini, bersama dengan pemasukan secara kontinyu logam-logam berat melalui jalur air, bisa mempengaruhi organisme air. Pengaruh ini menjadi serius di daerah dekat sumber pencemar. Ikan sangat peka terhadap logam berat dan bisa mati oleh timah hitam dengan konsentrasi kurang dari 1 mg/liter. Benteng pertama pertahanan ikan terhadap logam berat terletak pada sekresi lendir epidermis. Ikan mensekresi lendir dalam jumlah berlebihan ketika mereka bersentuhan dengan suatu partikel. Sifat pelumasan lendir memberikan perlindungan terhadap partikel anorganik dan organisme biologis, sementara komponen-komponen penyusunnya seperti asam N-asetilneuraminik, N-asetil-heksoseamin dan glikoprotein lainnya bisa mengikat timah hitam dan kation-kation lain serta menetralkan keasaman air. Garam-garam terlarut dari merkuri, timah hitam, tembaga dan seng bisa merangsang sekresi lendir pada berbagai spesies ikan. Sel-sel berbentuk batang kecil dalam epidermis, terutama pada epitel insang, bisa menghasilkan lendir yang menyelubungi ion-ion logam berat. Sel-sel epidermis lain juga terlibat dalam penimbunan logam berat. Sisik ikan dapat menimbun dalam konsentrasi tinggi logam seperti seng, timah hitam, mangan dan strontium. Penelitian awal kami menunjukkan bahwa lendir ikan efektif dalam menyingkirkan timah hitam dan merkuri dari air, tetapi sebagian besar aksi ini dibantu oleh sisik ikan.

Coello dan Khan (1996) melaporkan bahwa anak-anak tiga spesies ikan air tawar menunjukkan perbedaan kerentanan terhadap daya racun 250 mg/liter suspensi timah hitam atau larutan timah hitam nitrat dalam air. Di antara ketiga spesies tersebut, ikan largemouth bass (Micropterus salmoides) lebih toleran daripada sunfish (Lepomis cyanellus) dan ikan mas koki (Carassius auratus). Penambahan lendir dari ikan largemouth bass ke dalam air akuarium yang mengandung timah hitam meningkatkan nilai Lethal Time “LT-50” (waktu yang dibutuhkan untuk membunuh 50 % anak ikan yang terkena 250 mg/liter timah hitam) pada ikan green sunfish dan mas koki. Bagaimanapun, penambahan sisik, terutama bila sisik ini ditangani dengan larutan basa sistein dan glisin, menyebabkan semua spesies ikan uji ini toleran terhadap konsentrasi letal timah hitam ataupun merkuri. Sisik memberikan efek buffer bagi pH larutan timah hitam nitrat serta menyingkirkan timah hitam (dan merkuri) dari air (dengan mengendapkannya ke dasar akuarium setelah mengikat/men-“chelate” ion timah hitam). Sisik anak ikan largemouth bass yang berumur lebih muda lebih efektif dalam men-chelate ion-ion logam berat daripada ikan yang lebih tua.

Bab II
Dampak Negatif Pestisida Bagi Perairan Pesisir


Bahan-Bahan Beracun Yang Memasuki Perairan Pesisir


Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa pembuangan racun adalah pemindahan bahan-bahan beracun ke dalam perairan pesisir atau perairan lainnya. Bahan ini disebut racun bila, karena sifat fisika atau kimianya, mereka mengganggu fungsi biologis normal. Gangguan ini dapat terjadi pada berbagai tingkat, bisa seringan penurunan laju pertumbuhan kerang oyster akibat pestisida atau separah kegagalan reproduksi pada burung elang botak atau keracunan merkuri pada manusia. Bahan beracun bisa muncul secara alami misalnya resin/damar yang berasal dari tumbuhan tertentu dan racun-racun yang menyertai organisme pasang merah. Bagaimanapun, dalam kisaran yang luas kebanyakan bahan beracun berasal dari kegiatan manusia modern dan aktivitasnya dalam mengejar “kemajuan”.

Secara logis bahan beracun yang memasuki perairan pesisir dapat digolongkan sebagai berikut :

- Pestisida atau biosida (semua bahan kimia yang membunuh organisme yang dianggap hama; di sini mencakup insektisida, fungisida, piscisida, herbisida, mitisida, dll). Insektisida secara umum dikelompokkan menjadi tiga grup : (a) hidrokarbon berklorin (organoklorin), misal DDT, aldrin, dieldrin, heptaklor dan chlordane; (b) organofosfat, seperti malathion, parathion, diazinon dan guthion;dan (c) karbamat, contoh Sevin dan Zectran. Fungisida meliputi bahan-bahan semacam ditiokarbamat (misal Ferbam dan Ziram), senyawa bernitrogen (misal phenylmercuric acetate), triazin, quinon, heterosiklik, dan senyawa anorganik seperti logam berat. Herbisida sangat bervariasi, yang paling umum adalah phenoxy acid seperti 2,4-D dan 2,4,5-T. Herbisida akuatik yang sering digunakan adalah endotal dan diquat, yang umum dipakai bersama-sama dengan surfaktan (misal deterjen).

- Racun industri, yakni istilah umum yang digolong-golongkan menjadi banyak golongan. Polychlorinated biphenyl (PCB) adalah senyawa berklorin yang digunakan hampir di semua sektor kegiatan manusia modern. Senyawa ini digunakan dalam pembuatan berbagai macam produk seperti tinta cetak dan cat untuk kolam renang. Phthalate ester adalah racun yang berkaitan dengan kegiatan industri dan telah diketahui merupakan sumber bahaya potensial. Limbah pabrik kertas dan asam serta senyawa lain yang berasal dari kegiatan penambangan dapat juga dimasukkan ke dalam grup ini.

- Logam berat, perlu diberi perhatian khusus karena, seperti insektisida organoklorin yang bersifat abadi, kelompok ini berumur sangat panjang dan dapat sangat beracun. Di dalam lingkungan estuaria logam berat tidak dapat dimanfaatkan oleh biota air karena kekuatan ikatan kimianya sehingga logam berat ini terdaur ulang melalui rantai makanan secara terus-menerus tanpa berakhir. Logam berat dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia maupun alam. Logam berat ditemukan dalam ramuan pestisida, limbah industri dan limbah perkotaan, serta limbah dari kegiatan penggalian tanah dan penambangan. Perlu ditekankan bahwa pendaur-ulangan logam-logam berat ini selalu terjadi, terus-menerus, meskipun lambat.

Lebih lanjut Lincer dan Haynes (1976) menyebutkan kegiatan-kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembuangan bahan beracun, yaitu pertanian, perawatan lahan/tanah, pengontrolan perairan (yakni pengontrolan gulma air), pengontrolan nyamuk dan vektor penyakit lain, serta pembuangan limbah industri dan limbah perkotaan.

Efek Negatif Herbisida Bagi Perairan Pesisir

Menurut Lincer dan Haynes (1976) dalam rangka menciptakan aliran air, pengendalian reproduksi nyamuk atau pemanfaatan dataran tinggi dengan drainase, manusia sering menciptakan badan air buatan. Bila badan air buatan ini dimasuki vegetasi eksotik seperti eceng gondok, Hydrilla, dan Elodea maka mereka akan tumbuh subur karena di sini belum ada musuh alaminya (yakni penyakit, kompetitor dan herbivora), untuk itu manusia mengendalikan vegetasi tersebut dengan menggunakan herbisida jenis surfaktan. Bahan-bahan kimia ini tidak sespesifik yang diduga oleh pemakainya, dan organisme yang sebenarnya bukan sasaran mungkin menjadi penerima terakhir pestisida tersebut. Logam berat digunakan secara periodik untuk mengatasi ledakan populasi (blooming) alga hijau-biru, dan logam berat tersebut dihanyutkan bersama air limpasan zat hara yang berasal dari tanah. Situasi ini diperparah jika filter alami, seperti rawa mangrove dan rawa Spartina, digantikan oleh tembok kokoh, atau bila sungai yang berbelok-belok, yang memaksimumkan waktu kontak antara racun dan agen pengurai, digantikan oleh saluran lurus dengan lereng gundul.

Dampak Negatif Pengendalian Nyamuk Dengan Pestisida

Nyamuk dan vektor penyakit potensial lainnya merupakan sasaran jutaan kilogram pestisida, seperti DDT, di Amerika Selatan, India dan negara-negara berkembang lainnya. Demikian pula, meskipun aspek kesehatan sangat ditekankan, daerah pesisir Amerika Serikat terus-menerus menerima berbagai bahan beracun terutama yang berasal dari rumah tangga dan industri pariwisata. Bila nyamuk dan serangga penggigit lainnya bisa leluasa bereproduksi, maka hal ini mendesak manusia untuk memakai biosida. Situasi ini diperburuk bila terdapat selokan buntu yang menyediakan air menggenang untuk tempat bertelur bagi nyamuk Culicidae penusuk-kulit ini. Sebagai tambahan, kualitas air yang jelek, habitat yang makin rusak atau keracunan langsung pestisida menyebabkan predator alam seperti mosquito fish (Gambusia), burung dan amfibi serta reptil pemakan serangga (kodok, salamander dan kadal) tidak dapat bertahan hidup sehingga manusia tidak dapat memanfaatkan mereka untuk mengontrol spesies serangga makanannya.

Pencemaran Oleh Pestisida Organoklorin, DDE dan DDT

Amerika Serikat telah banyak memproduksi pestisida organoklorin utama dan PCB, dan tidak dapat disangkal bahwa laut adalah penerima sekaligus tempat penimbunan terakhir bagi racun kekal ini. Sebagai contoh, sekitar 25 % DDT yang dihasilkan hingga saat ini telah memasuki laut.

Dari golongan pestisida organoklorin, DDE (hasil penguraian DDT) mungkin yang paling sering ditemukan di dalam tubuh ikan dan binatang liar. Dengan sifatnya yang lipofilik (suka-lemak), DDE – seperti juga organoklorin lain – sangat sulit larut dalam air dan terakumulasi di dalam lemak yang ada di tubuh mahluk hidup. Bahan kimia semacam ini dipindahkan dari mangsa ke predator di mana jumlah yang hilang melalui ekskresi adalah sedikit. Proses “biological magnification” di mana terjadi pemindahan pestisida dari satu mata rantai makanan ke mata rantai berikutnya menyebabkan binatang pada puncak rantai makanan memperoleh bahan-bahan beracun ini dalam jumlah besar. Konsentrasi DDE pernah mencapai 1100 ppm dalam lemak telur burung pelikan coklat yang hidup di lepas pantai Kalifornia dan sampai 1000 ppm dalam telur burung elang ekor-putih di Baltik.

Pestisida organoklorin mudah tertimbun di dalam tubuh kerang sehingga sifat ini dimanfaatkan untuk menduga kontaminasi pestisida. Sebagai bagian dari National Pesticide Monitoring Programme, kerang telah dikumpulkan dari wilayah pesisir Amerika Serikat. Analisa terhadap lebih dari 8000 sampel untuk meneliti 15 jenis organoklorin menunjukkan bahwa residu tipe DDT terdapat di mana-mana, dengan konsentrasi DDT maksimum mendekati 5 ppm. Senyawa nomor dua yang paling banyak ditemukan setelah DDT adalah dieldrin dengan konsentrasi maksimum 0,23 ppm. Endrin, mirex dan toxaphene kadang-kadang ditemukan.

Daya Racun Beberapa Jenis Pestisida dan Insektisida

Meskipun sebagian besar organofosfat dan pestisida karbamat diiklankan sebagai pestisida berumur-pendek, namun ada banyak bukti bahwa hal ini tidak semuanya benar. Dalam menggunakan karbaril (Sevin) pada konsentrasi tertentu untuk mengontrol hama pada peternakan kerang oyster ternyata bahwa bahan kimia ini masih ditemukan di dalam lumpur 42 hari setelah pemakaian.

Pestisida organoklorin mempengaruhi hampir semua tingkat fungsi biologis pada biota laut. Konsentrasi DDT serendah 0,001 ppm menyebabkan penurunan pertumbuhan oyster secara nyata, dan organoklorin dalam konsentrasi tinggi menyebabkan mamalia laut lahir prematur.

Beberapa jenis pestisida urea, misalnya Diuron, pada konsentrasi serendah 1 ppb (part per billion) mampu menghambat pertumbuhan alga laut. DDT, dieldrin atau endrin dalam konsentrasi beberapa ppm cukup untuk mengurangi laju fotosintesis.

Beberapa pestisida organoklorin seperti Mirex, senyawa kimia yang umum digunakan untuk mengendalikan semut api pnting, Solenopsis saevissima, di negara-negara bagian selatan, sangat beracun bagi biota estuaria. Sebagai contoh, kepiting dan udang juvenil mati bila terkena satu partikel Mirex; dan 1 ppb Mirex dalam air laut sanggup membunuh 100 % udang yang terpapar pestisida tersebut.

Aktivitas Algasida Senyawa Turunan Sulfonil Dari PCB dan Difenil Eter

Goulding et al. (1982) melaporkan bahwa enam senyawa turunan sulfonil dari polychlorobenzene dan 15 senyawa turunan sulfonil dari difenil eter telah diuji sebagai algasida potensial bagi dua spesies alga, Chlorella fusca dan Anabaena variabilis. Senyawa yang paling kuat sebagai algasida adalah nitrofenil sulfonilfenil eter dan kloronitrofenil sulfonilfenil eter, beberapa di antaranya sangat mirip dengan herbisida nitrofen yang telah dikenal berdasarkan metode pemeriksaan yang digunakan. Beberapa senyawa polikloro, seperti DDT (1,1,1-trikloro-2,2-bis (4-klorofenil) etana) merupakan insektisida penting yang baru-baru ini dilaporkan berpengaruh terhadap tumbuhan. Jadi, adalah mungkin bahwa beberapa senyawa ini bisa menjadi herbisida potensial. Banyak senyawa difenil eter tersubstitusi merupakan herbisida potensial, sebagai contoh, nitrofen (2,4-diklorofenil 4-nitrofenil eter). Secara umum, senyawa polikloro memiliki kelemahan di mana mereka lambat terurai dan akibatnya tertimbun di dalam lingkungan. Bagaimanapun, turunan sulfonil dari senyawa polikloro lebih mudah diuraikan karena komponen sulfonil memiliki posisi-posisi yang mudah diserang.



Bab III
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi


Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Ikan Sungai Terkait Pestisida

Fianko et al. (2011) melaporkan bahwa basin Sungai Densu merupakan salah satu daerah pertanian terbesar di Ghana. Praktek penggunaan pestisida seperti organoklorin, organofosfat, piretroid dan lain-lain dalam pertanian serta program kesehatan publik makin banyak menarik perhatian terutama dalam hal dampak negatif potensial bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu dampak terburuk pembangunan industri di dunia adalah pemakaian dan pembuangan pestisida yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Dampak kesehatan yang parah berkaitan dengan konsumsi makanan yang mengandung residu pestisida. Keberadaan pestisida dalam makanan, meskipun dengan konsentrasi sangat rendah, dianggap sebagai petunjuk terjadinya kontaminasi; resiko kesehatan akibat mengkonsumsi makanan terkontaminasi ini tergantung pada konsentrasi pestisida, frekuensi kontak dan lama periode terkena pestisida. Penelanan pestisida bersama makanan merupakan sumber utama penyakit dan mortalitas serta meningkatnya resiko kanker kulit, kandung kemih dan paru-paru.

Fianko et al. (2011) melaporkan bahwa telah dilakukan studi untuk menduga pengetahuan petani tentang keamanan dan pemakaian pestisida. Residu pestisida dalam sampel ikan serta resiko kesehatan potensial terkait pestisida juga dievalusasi. Data yang diperoleh dari survei lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani beresiko tinggi keracunan pestisida. Lebih dari 90 % pekerja pertanian tidak melakukan praktek keamanan selama penyiapan dan pemakaian pestisida sehingga banyak kasus penyakit terkait pestisida dalam masyarakat petani. Konsentrasi residu pestisida dalam sampel ikan sangat bervariasi dari 0,10 mikrogram/kg sampai 30,90 mikrogram/kg. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis aldrin, methoxychlor, chlordane, endrin al-dehyde, endrin ketone, endrin, p'p'-DDT dan d-HCH tidak berbahaya secara langsung bagi kesehatan manusia karena konsentrasinya lebih rendah daripada ambang batas toksik juga lebih rendah daripada dosis rujukan, namun mengkonsumsi ikan dan produk perikanan dari basin sungai ini adalah beresiko.

Residu Pestisida Dalam Air Danau dan Daging Ikan Mujaer

Essumang et al. (2009) melakukan studi untuk mengetahui keberadaan dan konsentrasi empat jenis pestisida organoklorin : dichlorodiphenyl dichloroethylene (2,4'-DDE), 4,4'-dichlorodiphenyldichloroethane (4,4'-DDD), p,p'-dichloro-diphenyltrichloroethane [p,p'-DDT] dan Propiconazol; serta empat jenis pestisida organofosfor : Fenitrothion, Chlorpyrifos, Dichlorvos dan Diazinon di laguna Chemu, laguna Korle, laguna Fosu dan laguna Etsii (keempat laguna terletak di Ghana). Teknik ekstraksi cairan-cairan dan cairan-padat digunakan untuk mengekstrak residu pestisida di dalam air dan dalam sampel ikan, berturut-turut, dengan menggunakan campuran etil asetat/diklorometana 1 : 1 (volume : volume) sebelum dianalisis dengan kromatografi gas.

Berdasarkan studi yang dilakukannya itu, Essumang et al. (2009) menyimpulkan bahwa kontaminasi pestisida dengan konsentrasi tertinggi ditemukan dalam laguna Chemu bila dibandingkan dengan laguna Korle dan laguna Fosu, dengan laguna Etsii menunjukkan kontaminasi paling kecil. Rata-rata total residu pestisida dalam sampel air dari keempat laguna : Chemu, Korle, Fosu dan Etsii adalah 2,6384 mg/liter, 0,4992 mg/liter, 0,3045 mg/liter dan 1,3629 mg/liter, berturut-turut. Rata-rata total residu pestisida yang diperoleh dalam sampel ikan (Sarotherodon melaanothern) dari laguna Fosu dan Etsii adalah 0,0155 mg/kg dan 0,0088 mg/kg, berturut-turut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi residu pestisida adalah berbahaya bagi manusia.

Residu Pestisida Dalam Tubuh Ikan dan Kerang di Danau

Aksoy et al. (2011) melaporkan bahwa 47 sampel ikan (24 endemik Alburnus tarichi, 8 ikan Capoeta capoeta, 15 ikan mas Cyprinus carpio) dan 13 kerang (Unio stevenianus), dengan 10 spesimen per sampel, dikumpulkan dari Danau Van, Turki dan sungai-sungai yang memasuki danau tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida jenis gamma-HCH terdeteksi di dalam 21 sampel ikan Alburnus tarichi (56,57 nanogram/gram ± 22,18 nanogram/gram) dan dalam dua sampel ikan Capoeta capoeta (27,6 nanogram/gram dan 36,45 nanogram/gram). Beta-HCH terdeteksi di dalam 8 sampel ikan Alburnus tarichi (24,95 nanogram/gram ± 4,42 nanogram/gram) dan dalam 2 sampel kerang (101,25 nanogram/gram dan 129,44 nanogram/gram). HCB ditemukan dalam satu sampel Alburnus tarichi (14,4 nanogram/gram) dan satu sampel kerang (181,25 nanogram/gram). Senyawa 4,4'-DDE terdeteksi dalam 21 sampel Alburnus tarichi (87,13 nanogram/gram ± 32,23 nanogram/gram), dalam 9 sampel ikan mas Cyprinus carpio (304,82 nanogram/gram ± 100,76 nanogram/gram) dan satu sampel kerang (149,31 nanogram/gram). PCB 28 terdeteksi dalam satu sampel Alburnus tarichi (19,46 nanogram/gram) dan PCB 101 ditemukan dalam satu sampel Capoeta capoeta (60,16 nanogram/gram). PCB 118 terdeteksi di dalam satu sampel ikan mas (277,5 nanogram/gram) dan dalam dua sampel Capoeta capoeta (43,77 dan 54,38 nanogram/gram). PCB terdeteksi hanya dalam satu sampel Capoeta capoeta (141,48 nanogram/gram). Disimpulkan bahwa (1) upaya harus dilakukan untuk mengurangi kontaminasi lingkungan perairan oleh pestisida-pestisida ini dan bahwa (2) konsentrasi pestisida dalam produk perikanan dari Danau Van serta sungai-sungai yang memasuki danau tersebut agar dipantau dan laporannya dipublikasikan secara teratur.

Residu Pestisida Organoklorin Dalam Daging Ikan Konsumsi

Kalyoncu et al. (2009) mengukur konsentrasi pestisida organoklorin dalam 18 spesies ikan dari beberapa pasar di Konya, Turki. Spesies-spesies ikan dipilih berdasarkan arti pentingnya bagi konsumsi ikan penduduk lokal. Ekstrak residu dianalisis dengan kromatografi gas mikro kapiler yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron. Total 14 jenis pestisida organoklorin ditemukan. Residu-residu ini ditemukan dalam semua spesies ikan kecuali trout, horse mackerel dan bonito. DDT dan metabolitnya serta HCH adalah pencemar dominan dalam daging ikan. Konsentrasi rata-rata DDT berkisar dari 0,0008 and 0,0828 mikrogram/gram. DDT merupakan residu dominan dalam ikan Sparus aurata. HCH, aldrin dan heptaklor dengan konsentrasi yang dapat diukur ditemukan dalam sebagian besar sampel. Bagaimanapun, dieldrin, endrin, ß endosulfan, p-p' DDT, dan p-p' DDD tidak ditemukan dalam ikan trout, Salmo trutta. Konsentrasi rata-rata endrin berkisar dari 0,0040 mikrogram/gram (Triglia lineate) sampai 0,0326 mikrogram/gram (Trachurus trachurus).

Residu Toxaphene Dalam Ikan Laut

Musial dan Uthe (1983) memberikan bukti kromatografis dan kimiawi mengenai keberadaan residu toxaphene, sejenis pestisida "polychlorinated camphene", pada ikan hering (Clupea harengus harengus) dan ikan cod (Gadus morhua) dari daerah-daerah yang terpisah jauh di pesisir timur Kanada. Toxaphene ditentukan dengan kromatografi gas kapiler. Residu toxaphene tidak terdeteksi di dalam sampel scallop laut-dalam (Placopecten magellanicus). Konsentrasi dalam jaringan ikan berkisar dari 0,4 sampai 1,1 mikrogram/gram berdasarkan berat basah dan dari 2,4 sampai 12 mikrogram/gram berdasarkan berat basah lemak. Data ini menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan laut oleh toxaphene telah tersebar luas.

Bab IV
Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air


Pengaruh Herbisida Terhadap Tumbuhan Air di Danau

Wagner et al. (1997) melaporkan bahwa telah dilakukan pemberian herbisida di empat danau untuk mengatasi serangan tumbuhan air Myriophyllum spicatum L. di Wisconsin antara tahun 1997 dan 2001 dengan menggunakan fluridone berdosis 6–16 mikrogram/liter. Data pasca-perlakuan tahunan (4 – 7 tahun) dipelajari untuk menduga (1) pengaruh herbisida terhadap tumbuhan eksotik (tumbuhan yang berasal dari daerah lain); (2) perubahan komunitas tumbuhan asli; dan (3) pengaruh terhadap kejernihan air. Perubahan pada danau yang diberi perlakuan dibandingkan dengan danau yang tidak ditangani.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Wagner et al. (1997) menyimpulkan bahwa perlakuan fluridone menyebabkan kelimpahan Myriophyllum spicatum dan tumbuhan eksotik menjadi mantap-kembali di 3 dari 4 danau perlakuan. Komunitas tumbuhan asli mengalami pergeseran di keempat danau setelah pemberian fluridone. Terjadi penurunan kelimpahan secara tajam, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, untuk tumbuhan air Elodea canadensis, Ceratophyllum demersum, dan Najas flexilis, yang menunjukkan adanya efek langsung pemberian fluridone. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, kelimpahan Potamogeton crispus dan Chara spp meningkat secara tajam di 1 dari 2 danau yang diberi perlakuan. Kedalaman Secchi berkurang secara nyata di 2 dari 3 danau. Di masa depan pemberian herbisida ini harus memperhatikan, antara lain, tumbuhan asli yang dominan, kepekaannya terhadap fluridone dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan berkaitan dengan penurunan kejernihan air.

Jenis Tumbuhan Air Menentukan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) mengutip laporan peneliti lain mengenai pengendalian gulma air secara kimia di kolam pertanian. Dilaporkan bahwa dua atau tiga kali pemberian 1 mg/liter tembaga sulfat, berjarak 2 atau 3 hari, adalah efektif dalam mengendalikan Cladophora dan Spirogyra. Pemberian 3 mg/liter tembaga sulfat diperlukan untuk membunuh Chara. Endothal sebanyak 1 – 3 mg/liter efektif terhadap alga berfilamen dan tumbuhan bawah-air tetapi tidak efektif terhadap tumbuhan air berdaun terapung atau Chara. Silvex sebanyak 2 – 3 mg/liter membunuh tumbuhan air tenggelam dan beberapa jenis tumbuhan air yang berdaun terapung tetapi tidak membunuh Chara. Gabungan herbisida dengan jumlah yang sama antara Endothal dan Silvex sebanyak 1 – 3 mg/liter tidak lebih efektif untuk membasmi tumbuhan bawah-air daripada bila kedua jenis herbisida ini digunakan sendiri-sendiri, tetapi campuran tersebut memberikan pengaruh lebih besar terhadap populasi campuran tumbuhan air tenggelam dan tumbuhan air berdaun terapung. Paraquat dan Diquat pada dosis 3 mg/liter efektif terhadap tumbuhan air tenggelam tetapi tidak terhadap Chara. Fenac (17 kg/ha), simazin (22 kg/ha) dan 2,4-D (34 – 35 kg/ha) efektif terhadap gulma bawah-air. Pemberian herbisida tidak secara langsung membahayakan ikan dan tidak berpengaruh besar terhadap populasi organisme makanan ikan. Bagaimanapun, beberapa ikan mati akibat kehabisan oksigen bila sangat banyak Chara dan alga lain yang terbunuh.

Pengaruh Air Pengencer dan Tembaga Terhadap Efektivitas Herbisida

Kammerer dan Ledson (2001) menyatakan bahwa berbagai jenis herbisida dan algasida yang mengandung tembaga telah dikembangkan untuk mengendalikan tumbuhan air. Herbisida “diquat dibromide” dengan merk dagang Reward sering digunakan bersama dengan material berbahan dasar tembaga untuk memperkuat efek herbisida atau algisida. Biasanya herbisida dicampur dengan sedikit air (20 ml Reward dan 100 ml air) untuk memaksimumkan luas penyemprotan herbisida tersebut. Tipe air yang diuji untuk mengencerkan herbisida adalah sebagai berikut : air suling (pH 7,79), air sadah (pH 7,68 dan konsentrasi ion kalsium dan magnesium 349 ppm), air asam (pH 4,39) dan air basa (pH 9,40). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Reward yang digabungkan dengan semua jenis herbisida bertembaga bisa diencerkan dengan berbagai tipe air, baik air sadah, basa, asam maupun air suling. Ketidak layakan campuran Reward dan herbisida bertembaga bisa disebabkan oleh kurangnya air pengencer, pengadukan yang tidak sempurna dan/atau terlalu lama didiamkan dalam wadah (lebih dari 6 jam).

Manipulasi Ketinggian Air Bendungan Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Hydrilla

Manning dan Johnson (1975) melakukan studi pengendalian tumbuhan air Hydrilla verticillata di bendungan Louisiana, AS, dengan kombinasi teknik manipulasi ketinggian air dan pemberian herbisida. Hydrilla dapat tumbuh sampai kedalaman 6 – 7 meter dan umumnya membentuk kumpulan yang sedemikian rapat hingga burung dan hewan kecil dapat berjalan di atasnya. Survei menunjukkan peningkatan serangan Hydrilla : semula kurang dari 0,8 ha pada Januari 1973 menjadi 216 ha pada November 1973. Hal ini membuktikan dengan jelas kemampuan Hydrilla untuk memencar dengan cepat dan menyerang daerah-daerah baru. Metode kontrol yang efektif diperlukan bila badan air yang diserang Hydrilla dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Teknik manipulasi fluktuasi ketinggian air yang dilakukan di Danau Sibley, Louisiana, pada tahun 1973 – 1974 sangat efektif dalam mengendalikan semua gulma air. Disimpulkan bahwa metode pengendalian terpadu yang menggabungkan fluktuasi ketinggian air dan pemberian herbisida (diquat dan tembaga sulfat pentahidrat) efektif mengurangi populasi Hydrilla verticillata sampai 100 %.

Efektivitas Herbisida Fluridone Dalam Mengendalikan Hydrilla dan Dampaknya

O’Dell et al. (1995) melaporkan bahwa pada tahun 1988 Hydrilla menyerang danau Istokpoga, Florida, yang berdampak parah bagi banyak fungsi air. Danau kemudian ditangani dengan herbisida fluridone untuk mengendalikan Hydrilla. Data kimia air selama lima tahun (1988 – 1992) menunjukkan bahwa penurunan populasi Hydrilla akibat pemberian herbisida menyebabkan peningkatan konsentrasi fosfor total dan klorofil-a serta penurunan kedalaman Secchi. Konsentrasi nitrogen total antara sebelum dan setelah perlakuan tidak meningkat secara nyata. Pemberian fluridone untuk danau Istokpoga menelan biaya sekitar $ 3,7 juta (sampai tahun 1992) dan hanya efektif untuk sementara waktu dalam mengendalikan Hydrilla.

Minyak dan Deterjen Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) menyarankan penggunaan minyak dan deterjen untuk meningkatkan efektivitas herbisida dalam membasmi jenis tumbuhan air yang daunnya dilapisi lilin. Daun banyak jenis tumbuhan air yang mengapung dan mencuat memiliki lapisan lilin tebal yang menyebabkan campuran herbisida-air atau larutan herbisida membentuk embun dan meluncur jatuh; hal ini mengurangi jumlah bahan aktif herbisida yang menembus permukaan daun. Bahan kimia “surfactant” (bahan aktif-permukaan) bisa ditambahkan ke dalam larutan herbisida-air untuk memencarkan larutan ini pada permukaan tumbuhan. Deterjen rumah merupakan surfactant yang sesuai. Bila herbisida yang dapat dilarutkan minyak dicampur dengan air, maka bahan pengemulsi bisa ditambahkan, kemudian campuran ini terus-menerus diaduk untuk mencegah memisahnya minyak dan air. Herbisida larut-minyak juga bisa dilarutkan di dalam minyak tanah, kerosen atau bahan bakar diesel. Larutan seperti ini sering menunjukkan aksi herbisidal yang lebih baik karena minyak membantu herbisida dalam menembus lapisan lilin dan karena minyak itu sendiri bersifat racun bagi tumbuhan.


Referensi :


Aksoy, A., Y.K. Das, O. Yavuz, D. Guvenc, E. Atmaca and S. Agaoglu. 2011. Organochlorine Pesticide and Polychlorinated Biphenyls Levels in Fish and Mussel in Van Region, Turkey. Bulletin of Environmental Contamination and Toxicology, Vol. 87, Issue 1 , pp. 65 - 69

Amundsen, P.-A., F.J. Staldvik, A.A. Lukin, N.A. Kashulin, O.A. Popova and Y.S. Reshetnikov. 1997. Heavy Metal Contamination in Freshwater Fish from The Border Region Between Norway and Russia. Science of The Total Environment, Vol. 201, Issue 3, pp. 211 – 224

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Canli, M. and G. Atli. 2003. The Relationships Between Heavy Metal (Cd, Cr, Cu, Fe, Pb, Zn) Levels and The Size of Six Mediterranean Fish Species. Environmental Pollution, Vol. 121, Issue 1, pp. 129 – 136

Coello, W.F. and M.A.Q. Khan. 1996. Protection Againts Heavy Metal Toxicity by Mucus and Scales in Fish. Archives of Environmental Contamination and Toxicology, Vol. 30, pp. 319 – 326

Dural, M., M.Z.L. Göksu and A.A. Özak. 2007. Investigation of Heavy Metal Levels in Economically Important Fish Species Captured from The Tuzla Lagoon. Food Chemistry, Vol. 102, Issue 1, pp. 415 – 421

Essumang, D.K., G.K. Togoh and L. Chokky. 2009. Pesticide Residues in The Water and Fish (Lagoon Tilapia) Samples from Lagoons in Ghana. Bulletin of the Chemical Society of Ethiopia. Vol 23, No 1, pp. 19 - 27

Fianko, J.R., A. Donkor, S.T. Lowor, P.O. Yeboah, E.T. Glover, T. Adom and A. Faanu. 2011. Health Risk Associated with Pesticide Contamination of Fish from the Densu River Basin in Ghana. Journal of Environmental Protection, Vol. 2, pp. 115 - 123

Goulding, K.H., T. Cronje and R.R.J.W. Cremlin. 1982. The Algaecidal Activities of Some Sulphonyl Derivative of Polychlorobenzenes and Diphenyl Ethers. Pesticide Science, Vol. 13, pp. 23 – 28

Kalyoncu, L., I. Agca and A. Aktumsek. 2009. Some Organochlorine Pesticide Residues in Fish Species in Konya, Turkey. Chemosphere, Vol. 74, Issue 7, pp. 885 – 889

Kammerer, S.J., and T.M. Ledson. 2001. Effects of Water and Copper Complexes in Combination with Reward®. Journal of Aquatic Plant Management, Vol. 39, pp. 53 – 55

Lincer, J.L. and M.E. Haynes. 1976. The Ecological Impact of Synthetic Organic Compounds on Estuarine Ecosystems. USEPA, Washington. 354 pp.

Manning, J.H. and R.E. Johnson. 1975. Water Level Fluctuation And Herbicide Application : An Integrated Control Method For Hydrilla In A Louisiana Reservoir. Hyacinth Control Journal, Vol.13, pp.11 – 17

Musial, C.J. and J.F. Uthe. 1983. Widespread Occurrence of the Pesticide Toxaphene in Canadian East Coast Marine Fish. International Journal of Environmental Analytical Chemistry, Vol. 14, Issue 2, pp. 117 - 126

O'Dell, K.M., J. VanArman, B.H. Welch and S.D. Hill. 1995. Changes in Water Chemistry in a Macrophyte-Dominated Lake Before and After Herbicide Treatment. Lake and Reservoir Management, Volume 11, Issue 4, pp. 311 - 316

Roméo, M., Y. Siau, Z. Sidoumou and M.Gnassia-Barelli. 1999. Heavy Metal Distribution in Different Fish Species from the Mauritania Coast. Science of The Total Environment, Vol. 232, Issue 3, pp. 169 – 175

Wagner, K.I., J. Hauxwell, P. W. Rasmussen, F. Koshere, P. Toshner, K. Aron, D. R. Helsel, S. Toshner, S. Provost, M. Gansberg, J. Masterson and S. Warwick. 1997. Whole-lake Herbicide Treatments for Eurasian Watermilfoil in Four Wisconsin Lakes: Effects on Vegetation and Water Clarity. Lake and Reservoir Management, Volume 23, Issue 1, pp. 83 - 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar