Jumat, 27 April 2018

Bioekologi Jamur Air


Daftar Isi

Bab I. Ekologi Jamur Air

- Klasifikasi dan Habitat Jamur Air
- Jamur Air Saprolegniales
- Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air
- Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air
- Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air
- Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air
- Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air
- Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur
- Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Bab II. Respirasi dan Metabolisme Jamur Air

- Katabolisme Substrat dan Sintesis Enzim Pencernaan Oleh Jamur Air
- Produksi Asam Laktat Oleh Jamur Air dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya
- Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Bab III. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Bab IV. Pertumbuhan Jamur Air

- Pertumbuhan Jamur Berfilamen
- Pertumbuhan Jamur Bersel-Satu
- Metode Pengukuran Pertumbuhan Jamur Air

Bab V. Pembentukan Enzim Selulase pada Jamur Trichoderma : Pengaruh Logam dan Sumber Karbon

- Kebutuhan Mineral Bagi Pembentukan Enzim Selulase
- Pengaruh Logam dan Sumber Karbon Terhadap Pembentukan Selulase

Referensi


Bab I
Ekologi Jamur Air


Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.

Bab II
Respirasi dan Metabolisme Jamur Air


Katabolisme Substrat dan Sintesis Enzim Pencernaan Oleh Jamur Air

Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai katabolisme substrat oleh zoospora. Zoospora yang mampu bergerak dan sedang bertunas dari jamur Phytophthora mengkatabolisasi asparagin, glutamat, serin, asetat dan glukosa yang diberi label C-14 radioaktif.

Banyak jamur air dapat menghidrolisa molekul-molekul besar baik yang dapat-larut maupun yang tak dapat-larut, misalnya pati, glikogen, selulosa, kitin, pektin, gelatin, kasein dan keratin dengan mengekskresi enzim esktraseluler. Kemampuan untuk mengekskresi enzim protease, kitinase, selulase dan pektinase dapat diideteksi pada media agar. Secara umum sifat-sifat fisika dan kimia enzim-enzim ini belum banyak diketahui. Baru-baru ini dilaporkan bahwa dua jenis enzim ekstraseluler yakni enzim endopoligalakturonase dan kitinase telah ditemukan pada jamur Aphanomyces. Enzim selulase berhasil diperoleh dari jamur Achlya dan tampaknya enzim ini lebih suka bekerja pada dinding sel daripada menguraikan selulosa yang ada di luar sel. Jamur Pythium juga dapat mensintensis selulase.

Produksi Asam Laktat Oleh Jamur Air dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Banyak jamur Chytridiomycetes dan Oomycetes menfermentasi gula menjadi asam laktat. Isomer asam laktat yang dihasilkan adalah D(-). Beberapa peneliti melaporkan bahwa D(-)laktase dehidrogenase dari Pythium, Sapromyces dan Allomyces telah diisolasi dan dibandingkan dengan enzim laktase dehidrogenase dari sumber lainnya. Ada perbedaan yang cukup menyolok dalam hal sifat-sifat fisika, kimia dan kinetika enzim laktase dehidrogenase dari jamur Oomycetes. Dalam kultur campuran, Blastocladiella dan Sapromyces mengubah glukosa menjadi asam laktat dan kemudian mengasimilasi asam laktat kembali. Mindeniella tidak mempunyai organ-organ enzimatik untuk mengasimilasi kembai asam laktat yang telah dilepaskan ke dalam medium. Berdasarkan hasil beberapa penelitian disimpulkan bahwa laju produksi asam laktat tergantung pada aerasi karena aerasi menurunkan laju glikolisis. Laju produksi asam laktat juga bergantung pada tahap perkembangan jamur. Pada Allomyces diferensiasi membutuhkan aerasi yang cukup; jadi aerasi merangsang diferensiasi, yakni pembentukan gametangia. Pada kultur yang tak diaerasi di mana diferensiasi tidak berlangsung, aktivitas enzim laktase dehidrogenase jauh lebih tinggi dibandingkan pada kultur yang diaerasi. Reproduksi seksual berlangsung dengan disertai oleh pergeseran pola respirasi dari respirasi glikolitik menjadi respirasi oksidatif pada Allomyces. Adalah menarik bahwa aktivitas enzim laktase dehidrogenase pada galur jamur yang berdiferensiasi menjadi jantan dua kali lipat aktivitas enzim yang sama pada galur jamur yang berdiferensiasi menjadi betina dalam kultur yag diaerasi. Juga galur yang berdiferensiasi menjadi jantan menghasilkan lebih banyak asam laktat daripada galur yang berdiferensiasi menjadi betina. Terakhir, laju produksi asam laktat dipengaruhi oleh konsentrasi gula pada jamur air.

Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Tujuan utama sebagian besar studi nutrisi jamur adalah mengembangkan media sintetis agar jamur dapat tumbuh optimal di mana media tersebut relatif mudah disiapkan. Bagaimanapun, beberapa penelitian penting telah dilakukan dengan media campuran. Di alam, jamur tumbuh dalam media campuran dari berbagai jenis substrat, jadi bukan satu jenis substrat saja sebagai sumber karbon dan energinya. Pertumbuhan Phytophthora pada media minyak sayur dan jenis-jenis lemak lainnya telah diamati. Leptomitus dan Saprolegnia tumbuh subur pada media campuran asam amino. Pengaruh satu komponen campuran terhadap pemanfaatan komponen lainnya telah diamati oleh beberapa peneliti. Pada Allomyces, penambahan sedikit glukosa ke dalam medium pertumbuhan merangsang jamur untuk memanfaatkan fruktosa dan manosa dengan mempercepat fase-lambat (lag phase). Telah dibuktikan bahwa asam amino asparagin, arginin, sitrulin, ornitin, asam glutamat dan prolin juga merangsang pemanfaatan manosa oleh Allomyces.

Telah dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan Aphanomyces pada media campuran glukosa, manosa dan galaktosa. Jamur ini tumbuh baik pada media glukosa sebagai sumber karbon dan tumbuh jelek pada media manosa maupun galaktosa. Laju pertumbuhan jamur pada media campuran manosa dan galaktosa, manosa dan glukosa, serta galaktosa dan glukosa kira-kira sama dengan laju pertumbuhan pada media glukosa saja di mana jumlah total gula pada setiap media sama. Pada jamur Apodachlya sejumlah kecil metionin dapat menghambat pertumbuhan jamur pada media yang mengandung asam glutamat sebagai sumber karbon. Campuran leusin dan glukosa memungkinkan jamur tumbuh lebih baik dibandingkan bila jamur ditumbuhkan pada media leusin saja atau glukosa saja khususnya pada jamur Leptomitus.

Bab III
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur


Dengan memperhatikan kerumitan proses yang terlibat dalam pertumbuhan, maka tidak mengherankan bila pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan. Di antara faktor lingkungan tersebut adalah nutrisi, air, suhu, pH, iradiasi, aerasi dan karbon dioksida serta bahan-bahan kimia seperti pestisida dan herbisida.

Suhu

Jamur berbeda menyolok dalam hal suhu optimalnya. Penelitian tentang pertumbuhan jamur laut pada media agar pada berbagai suhu menunjukkan bahwa pertumbuhan paling lambat terjadi pada suhu 5 oC dan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu. Jamur Alternaria sp., Stachybotrys atra dan Dendryphiella salina tumbuh subur pada suhu 30 oC, tetapi suhu ini di atas suhu optimal bagi spesies-spesies jamur lain.

Beberapa jenis jamur membutuhkan suhu di atas 20 oC dan seringkali tumbuh subur pada suhu 50 oC atau lebih. Jamur termofilik (suka-panas) seperti ini ditemukan di dalam sampah kebun yang sedang membusuk (kompos), timbunan kotoran binatang dan produk-produk hutan serta pertanian yang sedang disimpan. Mereka juga terlibat dalam pembakaran material secara spontan dan dalam penyakit binatang. Contoh jamur termofilik ini adalah Mucor miehei dan Sporotrichum thermophile yang mempunyai suhu optimal pada kisaran 40 -45 oC.

Meskipun beberapa jenis jamur dapat bertahan hidup pada lingkungan yang teramat dingin, pertumbuhan pada suhu rendah berlangsung dengan laju minimal pada sebagian besar jamur dan merupakan salah satu kunci yang perlu diperhatikan dalam mengawetkan makanan. Suhu di mana jamur disimpan berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur selanjutnya. Penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan Gyromitro esculenta pada suhu di bawah titik beku menyebabkan penurunan daya tahan hidup bila jamur ini kemudian diinkubasikan pada suhu 15 – 23 oC, kisaran suhu untuk pertumbuhan normalnya. Penyimpanan kryogenik (atau penyimpanan beku) telah diterapkan untuk mempertahankan jamur dalam jangka panjang. Sebuah penelitian melaporkan bahwa beberapa galur jamur tetap hidup setelah sembilan tahun disimpan secara kryogenik.


Pengaruh pH

Nilai pH optimum untuk pertumbuhan jamur bervariasi antar galur atau spesies jamur dan kondisi nutrisinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur Dendryphiella salina tumbuh paling subur pada pH 4 – 6, Cladosporium herbarium pada pH 5 – 6, Monodictys pelagica pada pH 6, Alternaria sp pada pH 6 – 7. Telah diketahui bahwa pH berperanan dalam penyerapan berbagai jenis nutrien, dan dengan demikian respon pertumbuhan ini dapat dipahami dengan memperhatikan perbedaan laju penyerapan tersebut. Pengamatan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum pada hifa Trichoderma viride berbanding lurus dengan konsentrasi ion H+ yang berkaitan dengan pengaruh pH terhadap penyerapan nutrien.


Iradiasi Sinar Tampak dan Sinar Tak Tampak

Pengaruh berbagai bentuk radiasi terhadap perkembangan dan reproduksi jamur telah mendapat perhatian besar selama bertahun-tahun, namun pengaruhnya terhadap pertumbuhan jamur berfilamen maupun tak berfilamen kurang diperhatikan. Cahaya telah terbukti merangsang pertumbuhan spesies jamur tertentu, menghambat spesies lain, dan tak berpengaruh bagi spesies lainnya lagi.

Telah dilakukan penelitian pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan empat galur jamur Candida albicans. Cahaya dengan semua panjang gelombang terbukti menghambat pertumbuhan galur SA# 1. Pada galur 3C, cahaya bisa menghambat bisa pula tak berpengaruh. Pada dua galur lainnya, cahaya hitam (UV) bersifat menghambat tetapi cahaya dengan panjang gelombang lainnya mendorong pertumbuhan.


Sulit menentukan dengan mekanisme bagaimana mana cahaya berengaruh terhadap pertumbuhan jamur. Pada galur-galur Candida albicans di atas, cahaya umumnya menghambat sintesis protein dan merangsang sintesis karbohidrat. Pada Blastocladiella emersonii, perangsangan pertumbuhan oleh cahaya berkaitan dengan peningkatan sintesis polisakarida dan penurunan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase. Pada Penicillium spp penghambatan pertumbuhan oleh cahaya berkaitan dengan penurunan sintesis dinding sel. Bagaimanapun, sulit untuk menentukan apakah pengaruh cahaya tersebut bersifat langsung atau tidak langsung.

Pengaruh irradiasi sinar tak tampak terhadap pertumbuhan telah dipelajari pada beberapa spesies jamur. Sebagai contoh, iradiasi sinar gamma (1,6 – 4,1 rad/jam) sangat mendorong pertumbuhan dan produksi asam organik pada Aspergillus niger. Iradiasi sinar gamma dengan kadar rendah juga mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi aflatoksin pada Aspergillus flavus, tetapi dalam kadar tinggi ia bersifat menghambat.

Bab IV
Pertumbuhan Jamur Air


Pertumbuhan Jamur Berfilamen

Pertumbuhan berbagai jenis jamur berfilamen menunjukkan kinetika sigmoidal. Sebagai contoh, kurva pertumbuhan jamur Pycnoporus cinnabarinus yang dikultur dalam media cairan esktrak malt (sejenis selai) menunjukkan fase-fase lambat, logaritmik, perlambatan, stasioner dan penurunan. Bagaimanapun, bentuk kurva pertumbuhan ini berbeda jauh bila menggunakan medium dasar kaldu Czapek. Sekilas tampaknya aneh bahwa kurva pertumbuhan jamur bersel-satu dan jamur berfilamen sangat mirip, terutama fase eksponensial. Jelas bahwa produksi autokatalitik sel-se baru yang diamati pada ragi tidak terjadi pada jamur berfilamen. Hifa hanya tumbuh pada bagian ujungnya, dan dengan demikian tidak seluruh panjang hifa berperanan dalam pertumbuhan, khususnya pertumbuhan eksponensial. Bagaimanapun, kemampuan jamur berfilamen untuk membentuk cabang baru berarti memperbanyak ujung hifa baru, yang memungkinkan koloni tumbuh secara eksponensial. Percabangan seringkali terbentuk pada interval yang tak teratur, pertumbuhan eksponensial menyebabkan laju pembentukan cabang sebandiing dengan panjang hifa. Pembentukan cabang pada jamur berfilamen dengan demikian dapat disamakan dengan pembelahan sel pada jamur bersel-satu.

Miselia jamur yang ditumbuhkan dalam media yang teraerasi akan tumbuh menjadi bentuk yang hampir menyerupai bulatan. Telah ditunjukkan bahwa pertumbuhan eksponensial jamur Neurospora cardia (diukur sebagai berat kering, x) lebih merupakan fungsi kubik (pangkat tiga) daripada fungsi logaritme. Persamaan yang sangat sesuai untuk menggambarkan pertumbuhan ini adalah :

xt 1/3 – xo 1/3 + kt

di mana k adalah konstanta. Perbedaan kinetika pertumbuhan jamur yang berbentuk bulat tersebut disebabkan oleh pengurangan nutrien di dalam koloni. Sekali jamur mencapai bentuk bola besar dengan diameter tertentu, difusi nutrien ke bagian pusat jaringan terlalu lambat untuk dapat mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi pada seluruh miselium. Jadi, pertumbuhan berlangsung terutama pada bagian tepi bulatan jamur, sementara hifa di bagian tengah bulatan mingkin mati.

Kinetika jamur berfilamen yang tumbuh pada permukaan media padat serupa dengan yang ditemukan pada jamur yang berbentuk bulatan. Pertumbuhan kultur permukaan pada fase eksponensial dapat dinyatakan dalam persamaan :

Xt = (pHdro2) e µt

di mana koloni diasumsikan tumbuh menjadi bentuk seperti cakram berjari-jari r, tinggi H, dan kepadatan d, sedangkan e adalah bilangan dasar logaritma natural (2,71828...), µ laju pertumbuhan spesifik, dan t waktu. Bagaimanapun, makin ke arah pusat koloni kondisi makin tidak menguntungkan, dan pertumbuhan di daerah ini lambat.

Pertumbuhan Jamur Bersel-Satu

Studi kinetika pertumbuhan jamur seringkali berguna untuk menganalisa bagaimana pertumbuhan organisme tersebut mengalami perubahan akibat perubahan lingkungan. Bila suatu organisme bersel satu seperti ragi dimasukkan ke dalam medium yang masih baru dan pertumbuhan populasinya diukur selama periode waktu tertentu, maka akan diperoleh kurva sigmoid khas. Mulanya akan terjadi fase lambat (lag phase) di mana pada saat itu organisme baru beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Hal ini mungkin melibatkan pengaktivan enzim untuk memetabolisme nutrien yang tersedia. Sebagai tambahan, beberapa organisme mungkin memodifikasi lingkungan barunya itu dengan memproduksi CO2, H+ atau senyawa metabolit sekunder sehingga kondisi media tersebut sesuai bagi pertumbuhannya.

Setelah periode adaptasi dilewati, populasi memasuki fase eksponensial. Pada fase in jamur mengalami pertumbuhan maksimal selama kondisi lingkungan sesuai, dan pembelahan sel berlangsung dengan laju yang konstan yang disebut laju pertumbuhan spesifik, dinyatakan dengan µ. Laju pertumbuhan spesifik didefinisikan sebagai jumlah jaringan yang diproduksi oleh satu satuan organisme per satu satuan waktu. Pertumbuhan pada fase ini bersifat autokatalitik : jumlah sel (N) pada waktu t (dilambangkan berama-sama sebagai Nt) merupakan fungsi eksponensial jumlah sel yang ada pada awal periode pertumbuhan (dinyatakan sebagai No). Jadi ,

Nt = No eµt

di mana e adalah bilangan dasar logaritma natural (2,71828...). Fase pertumbuhan ini disebut juga fase logaritma (atau log) karena plot log N terhadap periode waktu ini menghasilkan garis lurus yang kemiringan garisnya sama dengan µ. Jadi, laju pertumbuhan spesifik merupakan parameter yang berguna untuk membandingkan pertumbuhan berbagai jenis jamur atau pertumbuhan satu jenis jamur pada berbagai kondisi kultur yang berbeda. Jelas bahwa kondisi nutrisi yang berbeda bisa menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan spesifik karena adanya perbedaan laju penyerapan dan metabolisme nutrien.

Dalam kultur campuran di mana tidak ada nutrien baru yang ditambahkan, laju pertumbuhan eksponensial tidak dapat dipertahankan sehingga populasi memasuki fase perlambatan. Timbulnya fase ini mungkin disebabkan konsentrasi beberapa nutrien berkurang sampai menjadi faktor pembatas, atau terjadi perubahan faktor lingkungan seperti tekanan oksigen dan pH yang tidak menguntungkan, atau karena adanya racun yang diekskresi oleh organisme. Akibatnya, pertumbuhan populasi menurun sampai titik di mana jumlah sel tidak bertambah, dan populasi memasuki fase datar atau fase tetap (stationery). Berhentinya pertumbuhan mungkin disebabkan oleh berhentinya pembelahan sel atau kematian sel dengan laju yang sama dengan laju pembentukan sel baru. Bila kondisi pembatasan pertumbuhan ini tetap bertahan, laju kematian akhirnya akan meningkat dan populasi memasuki fase penurunan.

Metode Pengukuran Pertumbuhan Jamur Air

Pertumbuhan umumnya didefinisikan sebagai pertambahan massa suatu organisme yang terjadi setelah periode waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan hasil bersih pelipatgandaan molekular dan selular serta perubahan morfologis. Sebelum mempelajari pertumbuhan jamur, ada baiknya kita mempelajari lebih dulu metode pengukuran pertumbuhan dan cara-cara analisa pertumbuhan jamur. Hal ini menjadi dasar untuk membahas mekanisme pertumbuhan jamur, baik yang berfilamen maupun yang tak berfilamen, serta beberapa faktor yang mempengaruhi proses yang kompleks terrsebut.

Metode pengukuran pertambahan massa jamur pada satuan waktu tertentu merupakan cara langsung untuk menduga pertumbuhan jamur. Bagaimanapun, secara operasional morfologi jamur, kondisi kultur dan pertimbangan eksperimental memaksa kita menggunakan metode lain. Jadi seorang peneliti mungkin mendasarkan defisnisi pertumbuhan pada metode yang dipakainya. Ada beberapa metode pengukuran pertumbuhan jamur, di antaranya adalah metode berat kering, metode ekstensi linier, metode jumlah sel, metode konsentrasi komponen sel dan metode metabolisme.


Penimbangan berat kering adalah cara yang paling luas dan memuaskan dalam mengukur pertumbuhan jamur. Jaringan jamur ditempakan pada sebuah nampan, dipanaskan selama 24 jam pada suhu 80 oC, dibiarkan mendingin dan kemudian ditimbang. Kelemahan metode ini adalah membutuhkan jaringan jamur dalam jumlah besar, dan hanya mengukur meterial dinding sel saja. Selain itu, bila menggunakan media padat seringkali merepotkan untuk memisahkan jaringan dari media tersebut. Dan, tampaknya, perubahan kontinyu pertumbuhan spesimen jamur tidak dapat diamati

Metode ini melibatkan pendugaan pertambahan panjang setiap hifa atau pertambahan diameter koloni. Dalam penerapannya, metode ekstensi linier tidak merusak jaringan jamur, sehingga pertambahan kontinyu jamur tersebut bisa diamati. .Metode ini paling sedikit memakan waktu bila menggunakan media padat. Bagaimanapun, karena metode ini mengukur diameter koloni, pertumbuhan vertikal hifa tidak teramati., sehingga kinetika pertumbuhan yang diamatinya mungkin berbeda dengan hasil yang diperoleh melalui metode berat kering.
Penghitungan jumlah sel sangat berguna dalam menentukan pertumbuhan jamur bersel satu seperti ragi. Penghitungan jumlah sel dapat dilakukan dengan bantuan counting chamber seperti jenis hemasitometer atau sel Sedgwick-Rafter. Cara lain adalah dengan menggunakan spektrofotometer yang sering dipakai untuk menentukan jumlah sel secara tidak langsung dengan mengukur kekeruhan kultur. Dalam hal ini, kekeruhan dapat diubah menjadi jumlah sel dengan menggunakan kurva standar nilai hemasitometer yang diplotkan terhadap densitas optik. Bagaimanapun, metode ini harus dilakukan dengan hati-hati. Perlu diingat bahwa meskipun laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae yang diukur dengan spektrofotometer mapun dengan metode berat kering adalah sama, namun nilai dugaan mutlak jumlah sel yang diukur dengan kedua metode tersebut adalah berbeda.



Bab V
Pembentukan Enzim Selulase pada Jamur Trichoderma :
Pengaruh Logam dan Sumber Karbon


Selulase merupakan enzim adaptif bagi sebagian besar jamur, meskipun ditemukan juga pada bakteri selulitik. Banyak enzim polisakarase yang bersifat khas bagi jamur, di antaranya adalah pentosanase, poligalakturonase, kitinase, dekstranase, xilanase dan mananase. Karena banyak substrat enzim ini tidak dapat larut, masalah muncul berkaitan dengan bagaimana suatu subtsrat yang tak dapat larut bisa merangsang pembentukan enzim ekstraseluler.

Hasil hidrolisis polisakarida sering dapat merangsang pembentukan enzim polisakarase yang bersesuaian : asam galakturonat merangsang enzim poligalakturonase pada Penicillium chrysogenum; xilose merangsang pentosanase pada beberapa jenis cendawan; maltosa merangsang amilase pada Aspergillus niger; N-asetilglukosamin merangsang kitinase pada Aspergillus fumigatus dan Myrothecium verrucaria. Penggunaan hasil hidrolisis ini sebagai perangsang pembentukan enzim seringkali memberikan hasil enzim yang lebih sedikit daripada hasil enzim yang diperoleh dengan bantuan substrat.

Pada kebanyakan jamur selulolitik yang dicobakan, bagaimanapun, baik glukosa maupun selobiosa tidak dapat bertindak sebagai perangsang pembentukan enzim selulase. Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan masalah ini menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu beberapa jenis gula dapat merangsang pembentukan enzim selulase pada Trichoderma viride.

Kebutuhan Mineral Bagi Pembentukan Enzim Selulase

Komposisi mineral dalam medium pertumbuhan jamur berpengaruh besar terhadap produksi enzim selulase bila 0,5 % gula dipakai sebagai sumber karbon. Magnesium dan kalsium dalam berbagai konsentrasi mempengaruhi baik produksi selulase maupun konsumsi gula. Dalam kondisi ketiadaan magnesium, pertumbuhan tertunda (sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya konsumsi gula) dan produksi selulase terhenti. Dalam kondisi medium mengandung MgSO4 sebanyak 0,003 %, pertumbuhan berlangsung baik dengan sedikit produksi selulase. MgSO4 pada konsentrasi 0,03 % juga memacu pertumbuhan, tetapi produksi selulase lebih seikit daripada bila konsentrasi MgSO4 sebanyak 0,003 %.

Kalsium tidak dapat menggantikan magnesium dalam memacu pertumbuhan jamur. Bagaimanapun, magnesium yang dilengkapi dengan 0,003 % CaCl2 sangat meningkatkan produksi selulase, dan bila dilengkapi dengan 0,03 % CaCl2 maka produksi selulase tersebut jauh lebih tinggi lagi. Data ini memperkuat dugaan bahwa kalsium mungkin bertindak menghilangkan sebagian efek menghambat yang ditimbulkan oleh magnesium. Strontium dapat menggantikan sebagian fungsi kalsium. Barium tidak mempunyai pengaruh.

Pengaruh berbagai konsentrasi CaCl2 diuji lebih lanjut dalam kondisi ada MgSO4 0,03 %. Aktivitas selulase rendah bila CaCl2 tidak ditambahkan. Penambahan 0,001 % CaCl2 (3,6 ppm Ca) menyebabkan aktivitas selulase meningkat tajam. Aktivitas ini terus meningkat sampai mencapai maksimum pada 0,02 % (72 ppm kalsium) dan kemudian menurun. Pertumbuhan berlangsung dengan laju sama bila konsentrasi CaCl2 yang ditambahkan melebihi 72 ppm. Gula dikonsumsi pada semua kultur setelah 2 hari, hal ini menunjukkan kecilnya pengaruh konsentrasi kalsium terhadap laju pertumbuhan.

Trichoderma viride tumbuh pesat bila medium kultur tidak diberi ekstrak ragi, kalsium atau trace elemen. Trace elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur ini tampaknya dipasok dalam jumlah cukup pada inokulum tersebut, trace elemen ini juga terdapat sebagai “pengotor” di dalam gula dan garam-garam nutrien yang dipakai sebagai medium. Bagaimanapun, untuk produksi selulase tidak hanya kalsium tetapi juga trace elemen tertentu harus ditambahkan ke dalam medium. Keberadaan atau ketiadaan kalsium atau trace elemen berpengaruh sedikit terhadap pertumbuhan jamur ini bila diukur berdasarkan berat maksimum.

Pada percobaan terpisah, diketahui bahwa penambahan besi, mangan atau seng sebanyak 20 kali konsentrasi di atas tidak menurunkan laju pertumbuhan, jadi pada percobaan ini unsur-unsur tersebut beraksi pada konsentrasi di atas yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maksimum, tetapi jauh di bawah batas konsentrasi racun. Trace elemen sangat mempengaruhi hasil selulase. Hasil terbaik diperoleh pada saat ada besi, mangan, seng dan kobalt di dalam medium. Penyingkiran seng akan mengurangi hasil; penghilangan salah satu dari tiga trace elemen lainnya berpengaruh kecil. Percobaan lebih lanjut menunjukkan bahwa gabungan besi atau mangan dengan seng atau kobal memberikan hasil selulase yang tinggi. Kobalt merupakan satu-satunya elemen yang mampu aktif sendirian.

Penelitian tentang pengaruh konsentrasi kobalt terhadap pertumbuhan dan produksi selulase menunjukkan bahwa hasil selulase meningkat sejalan dengan penambahan kobalt sampai 10 ppm kemudian menurun ketika kobalt ditambah sampai mencapai 100 ppm. Selulase tidak tampak dalam kultur ini hingga hari ke-3 (hari ke-4 untuk 50 dan 100 ppm). Pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi kobalt sampai 0,5 ppm. Dari 1,0 sampai 10 ppm, berat maksimum sedikit berkurang dan laju pertumbuhan menurun, yakni, laju konsumsi gula lebih lamban dan berat maksimum baru dicapai setelah 3 hari, bukannya 2 hari. Pada konsentrasi 50 dan 10 ppm, berat maksimum belum tercapai meskipun sudah hari ke-4 sejak inokulasi. Pada percobaan kontrol dengan trace elemen lengkap (Fe 1,0; Zn 0,8; Mn 0,5; Co 0,5 ppm), selulase muncul pada hari kedua dengan berat maksimum 4,7 unit per ml.

Pada dasarnya Trichoderma viride tidak memproduksi selulase pada medium selobiose tanpa kehadiran kalsium dan trace elemen. Pada medium laktosa, selulase dihasilkan tanpa kehadiran kalsium dan trace elemen, tetapi produksi selulase meningkat bila kalsium dan trace elemen ditambahkan. Pada medium selulosa sulfat, baik pertumbuhan maupun produksi selulase tidak berlangsung tanpa kehadiran kalsium ataupun trace elemen, sedangkan bila kalsium dan trace elemen ditambahkan maka pertumbuhan dan produksi selulase bisa berlangsung. Pada medium CMC (carboxymethylcellulose) dan pada medium selulosa seperti solka floc, pertumbuhan dan produksi selulase berlangsung bila kalsium dan unsur-unsur minor dihilangkan dari medium tersebut.

Data ini memperkuat dugaan bahwa selulosa mungkin mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan. Sebuah sampel solka floc diabukan (pada suhu 600 oC) dan abunya dimasukkan ke dalam HCl lalu ditambahkan ke medium glukosa dengan jumlah yang setara dengan 0,4 % selulosa. Penambahan abu ini ke medium glukosa yang kekurangan kalsium dan trace elemen memberikan produksi selulase sebesar 2,0 unit per ml. Bagaimanapun, abu sendirian atau dicampur dengan kalsium atau trace elemen tidak memberikan hasil yang sama dengan hasil yang diperoleh campuran kalsium dan trace elemen, yang menghasilkan selulase 4,5 unit per ml.

Data ini memperkuat dugaan bahwa kebutuhan mineral untuk pembentukan selulase adalah sama pada glukosa, selobiosa, laktosa atau selulosa, tetapi kehadiran mineral tersebut sebagai pengotor dalam selulosa sangat mengurangi kebutuhan ini.

Pengaruh Logam dan Sumber Karbon Terhadap Pembentukan Selulase

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selulase dibentuk bila Trichoderma viride ditumbuhkan pada medium kultur yang mengandung selulosa, laktosa, glukosa atau selobiosa. Selulosa dan laktosa diduga dapat menjadi perangsang pembentukan selulase dalam pengertian yang umum.

Glukosa tampaknya tidak bisa menjadi perangsang bagi enzim selulase karena alasan-alasan berikut. Konsentrasi glukosa awal yang agak tinggi dibutuhkan untuk memproduksi selulase, tetapi selulase tidak muncul sampai glukosa habis dari medium kultur. Beberapa senyawa yang mungkin dimetabolisasi menjadi glukosa, seperti kanji, maltosa, trehalosa dan –metil glukosida, merupakan penyokong pertumbuhan yang baik tetapi tidak merangsang pembentukan selulase. Mungkin bahwa glukosa dimetabolisasi menjadi suatu perangsang, kemungkinannya adalah glikosida.

Referensi :


Alderman, D.J. 1982. Fungal Disease of Aquatic Animals in R.J. Roberts. (Ed.). 1982. Microbial Disease of Fish. Academic Press. New York. Pp. 189 - 242

Alexopoulus, C.J. 1960. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. New York. 482 pp.

Dick, M.W. 1976. The Ecology of Aquatic Phycomycetes in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Garraway, M.O. and R.C. Evans. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley & Sons. New York. 401 pp.

Gleason, F. 1976.The Physiology of The Lower Freshwater Fungi in Jones, E.B.G. (Ed.). 1976. Recent Advences in Aquatic Mycology. Elek Science. London. 749 pp.

Mandels, M. and E.T. Reese. 1957. Induction of Cellulase in Trichoderma viride as Influenced by Carbon Sources and Metals. Journal of Bacteriology, Vol 73, No. 2, pp. 269 - 278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar