Minggu, 22 April 2018

Antibiotik dan Formalin di Lingkungan Perairan


Daftar Isi

Bab I. Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir
-Peranan Kegiatan Pertanian Dalam Menyumbangkan Bahan Beracun Bagi Perairan Pesisir
-Keberadaan Merkuri Pada Hewan Laut : Peranan Proses Geokimia dan Aktivitas Bakteri
-Jaringan Lunak Kerang Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat di Perairan Pesisir
-Residu Pestisida dan Herbisida Dalam Sedimen dan Seagrass di Pesisir
-Residu Pestisida Toxaphene Dalam Tubuh Ikan Laut

Bab II. Antibiotik dari Bakteri, Alga Laut dan Mimi
-Bakteri Akuatik Penghasil Antibiotik
-Antibiotik Dari Alga Laut
-Fenol dan Terpen Sebagai Antibiotik Dari Alga
-Antibiotik Dari Mimi

Bab III. Residu Oksitetrasiklin Dalam Tubuh Ikan dan Sedimen Kolam

Bab IV. Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam
-Formalin Untuk Menghilangkan Parasit Pada Ikan Kakap
-Efek Pemberian Formalin Secara Berulang Terhadap Juvenil Ikan Lele
-Pengaruh Kesadahan Air Terhadap Daya Racun Formalin
-Dampak Formalin Terhadap Daya Tetas Telur Ikan
-Efisiensi Formalin Dalam Mengendalikan Ektoparasit dan Daya Racunnya Bagi Ikan Budidaya
-Penggunaan Formalin Dalam Akuakultur dan Dampaknya
-Pengaruh Formalin Terhadap Parasit Ikan dan Kualitas Air Kolam

Referensi

Bab I
Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir


Peranan Kegiatan Pertanian Dalam Menyumbangkan Bahan Beracun Bagi Perairan Pesisir

Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan masuknya bahan-bahan beracun ke perairan pesisir adalah (1) pertanian, (2) perawatan lahan/tanah,(3) pengendalian perairan (yakni, pegendalian gulma air), (4) pengendalian nyamuk dan vektor penyakit lainnya, serta (5) pembuangan limbah industri dan limbah perkotaan. Dalam kisaran yang lebih sempit, gudang aneka barang dan instalasi pembangkit tenaga bisa juga menghasilkan limbah beracun. Kegiatan pertanian, dalam rangka memasok barang kebutuhan manusia dengan kuantitas dan kualitas yang layak, memanfaatkan berbagai jenis biosida. Pestisida, terutama insektisida, nematosida dan fungisida, dipakai pada tingkat yang seringkali melebihi tingkat yang dianjurkan. Di samping itu, pemakaian pestisida dalam bentuk gas seringkali tidak efisien, hanya 50 % saja yang mengenai sasaran. Senyawa organoklorin dan logam berat yang terkandung di dalam pestisida akan tetap ada di dalam tanah dan vegetasi selama periode yang panjang. Hujan dan irigasi menghanyutkan tanah bersama biosida yang dikandungnya ke arah hilir, di mana biosida ini lebih mudah menyerap bahan organik daripada tanah berpasir. Dengan sifat kimianya yang lebih aktif, limpasan tanah liat pertanian mampu memindahkan bahan-bahan beracun ini ke wilayah pesisir.

Dalam pertamanan buatan manusia, yang didominasi oleh vegetasi eksotik (tumbuhan asli suatu daerah) dan umumnya ditanam dengan sistem monokultur, dan diserang oleh spesies hama dari luar, kontrol kimia merupakan kegiatan utama dalam mempertahankan vegetasi tersebut. Meskipun kebanyakan pestisida menyertakan label petunjuk dosis yang dianjurkan dan hama sasaran, namun sebagian besar orang memakainya berlebihan dan terus-menerus. Wilayah pesisir sangat potensial untuk dikembangkan dan seringkali manusia menanami tumbuh-tumbuhan secara besar-besaran di sini. Hamparan rumput dan semak yang semula ada tetap dipelihara dengan memangkasnya pendek-pendek sedemikian hingga potongan-potongan rumput, pupuk serta pestisida bisa memasuki perairan pesisir. Manusia mendapatkan kenyataan bahwa setelah mengubah lahan di sekitar jalur air atau estuaria mereka harus membuat “seawall’ (tembok laut) untuk melindungi lahan baru tersebut agar tidak terkikis. Filosofi pertamanan buatan-manusia ini sangat membingungkan karena vegetasi alami seperti Spartina, Juncus dan mangrove, mencengkeram tanah dengan sangat kuat sebelum akhirnya dibabat dengan dalih “perbaikan”. Bila seawall menggantikan vegetasi alami maka ia tidak hanya mengganggu kehidupan binatang liar tetapi yang paling parah adalah hilangnya filter biologis yang menahan bahan beracun agar tidak memasuki perairan pesisir (Lincer dan Haynes, 1976).

Keberadaan Merkuri Pada Hewan Laut : Peranan Proses Geokimia dan Aktivitas Bakteri

Vukadin et al. (1995) melaporkan konsentrasi logam-logam berat pada beberapa organisme dari pesisir Laut Adriatik timur dan dari daerah tercemar di dekat sebuah kota besar (split area). Secara mengejutkan, konsentrasi air raksa yang tinggi ditemukan pada ikan sea bream (Pagellus erythrinus) dan ikan belanak bergaris (Mullus barbatus) dari Laut Adriatik bagian tenggara. Penyebab tingginya konsentrasi logam berat ini mungkin disebabkan oleh penyimpangan proses geokimia. Penelitian terhadap konsentrasi air raksa, organik maupun total, pada bivalva juga menunjukkan bahwa insang dan hepatopankreas kerang menimbun air raksa dengan kadar tinggi. Pada ikan ditemukan air raksa dengan konsentrasi yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada kerang. Tingginya konsentrasi merkuri ini mungkin disebabkan oleh proses metilasi pada organ-organ dalam binatang. Aktivitas bakteri di dalam isi usus adalah faktor paling mungkin yang bertanggung jawab atas proses metilasi ini.

Jaringan Lunak Kerang Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat di Perairan Pesisir

Menurut Karami et al. (2013) Teluk Persia merupakan lingkungan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh pencemaran logam berat. Pemasukan logam-logam berat ke kolom air dan pengikatannya pada partikel sedimen dapat mempengaruhi organisme bentik yang selanjutnya menimbun material tersebut di dalam tubuhnya. Dengan memperhatikan hal ini, kerang bisa menjadi agen bio-monitoring. Kerang mutiara Pinctada radiata dan sampel sedimen dikumpulkan dari Pelabuhan Lengeh dan Pulau Qeshm.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penimbunan logam dengan konsentrasi lebih tinggi di dalam jaringan lunak kerang. Juga terlihat adanya korelasi positif antara kadmium (Cd), timah hitam (Pb), seng (Zn) dan tembaga (Cu) di dalam sedimen dan jaringan lunak oyster. Penggunaan jaringan lunak oyster Pinctada radiata sebagai indikator menunjukkan nilai-nilai tertinggi penimbunan Cd (9,76 ± 0,59) dan Zn (3142,60 ± 477,10) di Lengeh Port, tetapi tidak ada perbedaan nyata untuk konsentrasi Cu dan Pb di antara kedua lokasi penelitian. Lebih tingginya konsentrasi logam-logam berat dalam jaringan lunak Pinctada radiata dibandingkan dengan konsentrasinya di dalam cangkang menunjukkan bahwa jaringan lunak merupakan indikator logam berat yang lebih baik daripada cangkang. Juga, korelasi antara konsentrasi logam-logam berat di dalam jaringan lunak dan di dalam sedimen mendukung gagasan bahwa jaringan lunak Pinctada radiata bisa menjadi agen bio-monitoring untuk pencemaran logam-logam beracun. Penggunaan bioindikator ini menunjukkan bahwa Lengeh Port lebih tercemar daripada Qeshm Island (Karami et al., 2013).

Residu Pestisida dan Herbisida Dalam Sedimen dan Seagrass di Pesisir

Haynes et al. (2000) menyatakan bahwa pestisida dan herbisida, termasuk senyawa-senyawa organoklorin, dulu maupun sekarang dipakai secara luas oleh industri pertanian pesisir intensif di Queensland, Australia. Sifat sulit-terurai yang dimiliki senyawa ini ditambah dengan penggunaan secara ilegal yang terus-menerus meningkatkan potensi pencemaran kronis berjangka panjang yang terus-menerus bagi tumbuhan dan hewan di Great Barrier Reef. Sampel sedimen dan lamun (seagrass) dikumpulkan dari 16 lokasi intertidal dan 25 lokasi subtidal antara Selat Torres dan Townsville, serta di Teluk Hervey dan Teluk Moreton pada tahun 1997 dan 1998 untuk dianalisis kandungan residu pestisida dan herbisidanya.

Haynes et al. (2000) menyimpulkan bahwa sedikit konsentrasi atrazine (0,1 – 0,3 mikrogram/kg), diuron (0,2 – 10,1 mikrogram/kg), lindane (0,08 – 0,19 mikrogram/kg), dieldrin (0,05 – 0,37 mikrogram/kg), DDT (0,05 – 0,26 mikrogram/kg), dan DDE (0,05 – 0,26 mikrogram/kg) ditemukan di dalam sedimen dan/atau lamun. Bahan pencemar terutama ditemukan dalam sampel yang dikumpulkan selama curah hujan tinggi di pesisir tropis antara Townsville dan Port Douglas dan di Teluk Moreton. Dari semua bahan pencemar yang terdeteksi, herbisida diuron harus mendapat perhatian serius karena konsentrasinya berpotensi memberikan dampak besar bagi komunitas lamun lokal.

Residu Pestisida Toxaphene Dalam Tubuh Ikan Laut

Musial dan Uthe (1983) menyajikan bukti kromatografi dan konfirmasi kimiawi mengenai keberadaan residu toxaphene, sejenis pestisida “polychlorinated camphene”, pada ikan herring (Clupea harengus harengus) dan cod (Gadus morhua) dari daerah-daerah yang terpisah jauh di pesisir timur Kanada. Residu toxaphene tidak terdeteksi dalam sampel scallop laut-dalam (Placopecten magellanicus). Toxaphene ditentukan dengan kromatografi gas kapiler. Konsentrasinya dalam jaringan tubuh ikan berkisar dari 0,4 sampai 1,1 mikrogram/gram berdasarkan berat basah dan dari 2,4 sampai 12 mikrogram/gram berdasarkan berat lemak. Data ini menunjukkan terjadinya pencemaran lingkungan laut berskala luas oleh pestisida chlorinated camphene.



Bab II
Antibiotik dari Bakteri, Alga Laut dan Mimi


Bakteri Akuatik Penghasil Antibiotik

Austin dan Austin (1999), berdasarkan laporan beberapa penelitian, menyatakan bahwa makin banyak bukti adanya mikroflora-mikroflora akuatik alami yang efektif menghambat patogen ikan yang melibatkan produksi antibiotik atau penghambat berberat-molekul-rendah. Di lingkungan laut telah ditemukan bakteri penghasil antibiotik yang menghambat sekelompok bakteri patogen ikan, termasuk Aeromonas hydrophila. Senyawa penghambat ini menghasilkan antibiotik termolabil (labil-panas) anionik berberat-molekul-rendah (kurang dari 10 kDa). Juga telah dilaporkan adanya senyawa penghambat bakteri Flavobacterium columnare, Serratia liquefaciens dan Vibrio anguillarum. Telah diidentifikasi pseudomonad fluoresensi yang melawan Aeromonas salmonicida. Sejenis Vibrio, galur NM10, telah diisolasi dari usus ikan pepetek (Leiognathus nuchalis). Photobacterium damselae subspesies piscicida dihambat oleh senyawa protein labil-panas berberat molekul 5 kDa. Dua jenis mikroba, yang diduga adalah Aeromonas dan Vibrio, ditemukan pada ikan sebelah dan menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio yang bersifat patogen bagi ikan. Selain itu, sebuah isolat Vibrio alginolyticus, yang semula digunakan sebagai prebiotik dalam hatchery udang Ekuador, efektif dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas salmonicida, Vibrio anguillarum dan Vibrio ordalii. Kejadian relatif penghambatan mikroba ditunjukkan oleh sebuah penelitian terhadap lebih dari 400 isolat bakteri dari saluran usus dan permukaan tubuh ikan turbot, pakan ikan dan air, di mana 28 % (kebanyakan dari lendir usus) bersifat menghambat Vibrio anguillarum. Tampaknya bahwa mikroflora akuatik asli adalah sama pentingnya dengan cara-cara alami pengendalian penyakit. Sebagai tambahan, ada laporan mengenai keunggulan pengendalian penyakit dengan menggunakan biopestisida, Bacillus thuringiensis.

Antibiotik Dari Alga Laut

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa penelitian terhadap antibiotik pada alga bersel satu dan bersel banyak telah dilakukan secara luas selama dekade 1950 sampai 1960. Akibatnya, banyak spesies alga telah ditemukan memiliki efek menghambat pertumbuhan bakteri, alga, virus, dll. Asam lemak, bromofenol dan terpenoid telah diisolasi sebagai komponen antibiotik dari alga. Asam lemak merupakan komponen biologi yang umum dan tidak dianggap sebagai racun. Bagaimanapun, kadang-kadang asam lemak bersifat racun bagi organisme laut karena kuatnya sifat aktif permukaan. Alga hijau bersel satu, Chlorella vulgaris, menimbun asam lemak antibakteri yang disebut chlorellin. Asam lemak ini tampaknya berasal dari oksidasi lipida. Senyawa antibakteri yang disebut komplek sarganin diperoleh dari ekstrak ether alga coklat Sargassum natans, alga merah Chondria littoralis dan lain-lain dengan cara fraksionasi dalam kolom alumina dan dengan cara kromatografi lapisan. Komponen utamanya berupa asam mudah-menguap yang bersifat menghambat bakteri, jamur dan sel tumor, tetapi tidak beracun bagi hewan pengerat. Substansi penghambat bakteri, seperti Staphylcoccus aureus, telah diekstrak dengan kloroform-metanol (perbandingan 2 : 1) dari diatom Asterionella japonica. Substansi ini memiliki asam lemak berantai panjang dengan lima ikatan ganda.

Fenol dan Terpen Sebagai Antibiotik Dari Alga

Hashimoto (1979) mengulas laporan-laporan penelitian mengenai aktivitas antibakteri dari alga. Fenol yang mengandung halogen telah lama dikenal sebagai antiseptik dan disinfektan sehingga tidak mengherankan bila bromofenol dari alga menunjukkan aktivitas antibakteri. Dilaporkan bahwa ekstrak ether dari alga Rhodomela larix dan Symphocladia gracilis merupakan agen aktif terhadap beberapa bakteri, dan diduga bahwa senyawa yang bertanggung jawab atas sifat antibakteri ini adalah sejenis bromofenol. Efek antibakteri juga ditunjukkan oleh alga Laminaria angustata dan Undaria pinnatifida. Fraksi bromofenol yang berasal dari S. gracilis memiliki efek yang kuat dalam menghambat pertumbuhan Bacillus mesentericus. Kristal bromofenol, dengan titik leleh 213 – 214 °C, memperlihatkan aktivitas insektisida yang kuat pada konsentrasi 0,02 sampai 0,04 %. Selain itu, senyawa terpen diketahui menghambat pertumbuhan Staphylcoccus aureus dan Escherichia coli. Sejumlah besar antibiotik yang mengandung terpen dan senyawa-senyawa terkait telah diisolasi dari alga laut genus Dictyopteris dan Laurencia. Dua senyawa sesquiterpen, yaitu zonarol dan isozonarol, telah diisolasi dari alga coklat Dictyopteris zonarioides. Kedua senyawa ini tidak memiliki aktivitas antibakteri tetapi sangat kuat menghambat pertumbuhan sepuluh spesies jamur patogen pada tanaman. Banyak senyawa terpen berhalogen telah diisolasi dari Laurencia spp. dan beberapa di antaranya bersifat antibakteri. Laurinterol telah diekstrak dari Laurencia nidifica dan bertanggung jawab atas sebagian besar aktivitas antibakteri terhadap Mycobacterium smegmatis. Dari Laurencia intermedia telah diperoleh laurinterol dan debromolaurinterol; yang terakhir ini juga ditemukan pada alga Marginisporum aberrans dan bersifat aktif terhadap Bacillus substilis. Telah ditunjukkan bahwa laurinterol dan debromolaurinterol aktif menghambat Staphylcoccus aureus, Mycobacterium smegmatis dan Candida albicans. Prepacifenol diperoleh dari Laurencia filiformis, sedangkan chondriol dan cycloeudesmol ditemukan dalam Chondria oppositiclada. Pepacifenol dan chondriol menghambat Staphylcoccus aureus dan Mycobacterium smegmatis pada konsentrasi tinggi. Cycloeudesmol menghambat pertumbuhan Staphylcoccus aureus, Salmonella choleraesuis, Mycobacterium smegmatis dan Candida albicans dengan kekuatan yang sama seperti streptomisin.

Antibiotik Dari Mimi

Yeo et al. (1993) melaporkan bahwa sebuah komponen bioaktif yang ditemukan di dalam plasma darah mimi Asia Tenggara, Carcinoscorpius rotundicauda, telah ditunjukkan berbeda dengan lektin antibakteri yang berasal dari serum darahnya dan peptida tachyplesin bakterisidal yang dimurnikan dari sel-sel darah. Pemurnian awal faktor antimikrobial melibatkan ultrasentrifugasi limfa darah dan filtrasi gel melewati Sephadex G-100. Sampel semi-murni bersesuaian dengan berat molekul kurang dari 2 kD. Sampel semi-murni ini menunjukkan efek antibakteri terhadap gram positif dan gram negatif, yang terutama berpotensi menghambat Klebsielleae. Komponen ini juga memperlihatkan sifat-sifat anti jamur terhadap ragi dan jamur berfilamen. Efek antimikroba senyawa ini bersifat tahan-panas. Pemurnian lebih lanjut dengan fase terbalik HPLC menyebabkan potensi antimikroba terhadap Klebsiella pneumoniae meningkat dua kali lipat.

Bab III
Residu Oksitetrasiklin Dalam Tubuh Ikan dan Sedimen Kolam



Xu and Rogers (1994) menentukan residu antibiotik oksitetrasiklin dalam jaringan tubuh ikan stripped bass, Morone saxatilis, yang telah disuntik secara intraperitoneal (di bagian perut) dengan oksitetrasiklin 50 mg/kg atau diberi pakan yang mengandung oksitetrasiklin 75 mg/kg ikan setiap hari selama 10 hari. Konsentrasi oksitetrasiklin dalam otot ikan yang diberi pakan berantibiotik adalah di bawah batas perhitungan pada 67 % ikan 12 hari setelah perlakuan dan di bawah batas perhitungan pada semua ikan setelah 16 hari pada suhu 23°C. Konstanta laju penghilangan akhir (ß) hasil perhitungan adalah 0,20/hari (kisaran 0,15 – 0,37/hari), dan waktu-paruhnya adalah 2,7 hari (kisaran 1,9 – 4,5 hari). Konsentrasi oksitetrasiklin dalam otot setelah penyuntikan intraperitoneal adalah di bawah batas perhitungan setelah 24 hari pada suhu 23°C. Nilai ß adalah 0,34/hari dengan waktu-paruh 2,0 hari pada ikan yang disuntik oksitetrasiklin secara intraperitoneal.


Uno et al. (1992) melaporkan bahwa farmakokinetik (kinetika obat) dan konsentrasi antibiotika oksitetrasiklin dalam jaringan telah ditentukan setelah pemberian lewat-mulut (100 mg/kg berat badan) pada ikan budidaya rainbow trout (Oncorhynchus mykiss), amago salmon (Oncorhynchus rhodurus) dan ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata). Konsentrasi oksitetrasiklin ditentukan dengan metode “high performance liquid chromatography”. Konsentrasi oksitetrasiklin dalam serum darah ketiga spesies ikan tidak sesuai dengan model farmakokinetik kompartemen penyerapan ordo-pertama. Luas daerah di bawah kurva konsentrasi-waktu adalah 32.1, 58.7 dan 38.4 (mikrogram/jam/ml) untuk rainbow trout, amago salmon dan ikan ekor kuning, berturut-turut. Rata-rata waktu tinggal (residence time) yang dihitung berdasarkan kurva konsentrasi-waktu adalah 50.3, 24.6 dan 43.3 jam untuk rainbow trout, amago salmon dan ikan ekor kuning, berturut-turut. Waktu paruh (half-life) biologis oksitetrasiklin dalam serum darah adalah 23, 16 dan 28 jam untuk rainbow trout, amago salmon dan ikan ekor kuning, berturut-turut.


Meinertz et al. (1998) melaporkan bahwa pemakaian oksitetrasiklin dalam akuakultur yang diijinkan adalah terbatas untuk penyakit-penyakit tertentu pada ikan salmonidae dan channel catfish. Oksitetrasiklin mungkin efektif dalam mengendalikan penyakit pada spesies ikan budidaya lain, tetapi sebelum pemakaiannya diijinkan, sebuah metode analitik untuk menentukan residu oksitetrasiklin dalam jaringan filet berbagai spesies ikan dibutuhkan untuk mendukung upaya pengurangan residu oksitetrasiklin. Penelitian ini bertujuan mengembangkan dan mengesahkan sebuah metode “liquid chromatographic” (LC) yang akurat, tepat dan peka terhadap oksitetrasiklin dalam filet spesies-spesies ikan yang dikonsumsi manusia. Jaringan filet dari ikan walleye, Atlantic salmon, striped bass, white sturgeon, rainbow trout, dan channel catfish dihomogenisasi dan diberi oksitetrasiklin pada konsentrasi 10, 20, 100, 1.000 dan 5.000 nanogram/gram. Dalam jaringan yang diberi oksitetrasiklin sebanyak 100, 1.000 dan 5.000 nanogram/gram, rata-rata penemuan-kembali oksitetrasiklin berkisar dari 83 sampai 90 %, dengan simpangan baku relatif (relative standard deviation) 0,9 sampai 5,8 %. Dalam semua jaringan lain, rata-rata penemuan-kembali berkisar dari 59 sampai 98 % dengan simpangan baku relaif 3,3 sampai 20 %. Kisaran batas-batas perhitungan hasil metode ini adalah 6 sampai 22 nanogram/gram untuk 6 spesies. Metode ini akurat, tepat dan peka untuk oksitetrasiklin dalam jaringan filet enam spesies dari 5 kelompok ikan yang secara filogenetik berbeda.


Malvisi et al. (1996) mengevaluasi distribusi dan penurunan kadar residu oksitetrasiklin dalam jaringan tubuh setelah pemberian antibiotik tersebut lewat mulut pada ikan sea bream dan sea bass di lapangan. Ikan dipelihara dalam jaring apung yang ditempatkan di laut dan diberi pakan komersial yang mengandung oksitetrasiklin 7,5 g/kg sekali sehari selama 14 hari sebanyak 1,0 % (75 mg a.i./kg) biomas per hari. Otot, hati, tulang belakang dan kulit dengan sisik disampling dari ikan yang ditangkap pada berbagai selang waktu selama (hari ke-2, ke-4, ke-6, ke-10 dan ke-14) dan setelah perlakuan (hari ke-10, ke-20, ke-30, ke-40, ke-50 dan ke-60). Analisis oksitetrasiklin dilakukan dengan metode HPLC (high performance liquid chromatography), setelah ekstraksi SPE. Pada ikan sea bream, penyerapan antibiotik yang sangat bervariasi dibuktikan oleh perbedaan antar-ikan dalam hal konsentrasi oksitetrasiklin jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi ditemukan dalam kulit dan hati (7,70 ± 6,71 mikrogram/gram dan 14,65 mikrogram/gram pada hari ke-6, berturut-turut). Tulang belakang menunjukkan konsentrasi enam kali lipat dibandingkan konsentrasi dalam otot, dan mencapai nilai stabil pada hari ke-40 setelah akhir perlakuan (1,73 ± 0,92 mikrogram/gram), yang bertahan sampai akhir penelitian. Konsentrasi oksitetrasiklin dalam otot lebih rendah daripada dalam semua jaringan lain untuk semua percobaan dan menurun sampai kurang dari 0,1 mikrogram/gram pada hari ke-20 setelah perlakuan dihentikan. Pada ikan sea bass terjadi mortalitas yang tinggi yang tidak berkaitan dengan penyakit infeksi dan sampel otot mengandung oksitetrasiklin hanya sedikit atau tidak dapat dideteksi bahkan selama pemberian antibiotik tersebut.


Björklund et al. (1990) mempelajari residu dan “persistence” (daya tahan terhadap penguraian) oksitetrasiklin di dalam tubuh ikan liar dan sedimen di dua kolam budidaya ikan setelah melakukan kemoterapi (pengobatan kimiawi) ikan. Pada ikan liar, residu oksitetrasiklin terdeteksi sampai 13 hari setelah pengobatan. Waktu-paruh oksitetrasiklin dalam sedimen kolam ikan adalah 9 hari dan 419 hari pada dua kolam, berturut-turut. Hasil ini menunjukkan bahwa oksitetrasiklin, pada kondisi anoksik (tanpa oksigen) dan airnya tidak mengalir, bisa bertahan sangat lama di dalam sedimen kolam ikan. Hal ini menyimpulkan bahwa penyingkiran dari sedimen, bukan penguraian, mungkin merupakan faktor utama yang mengurangi konsentrasi oksitetrasiklin di dalam sedimen. Bakteri, yang kebal terhadap oksitetrasiklin, telah diisolasi dari usus ikan liar tersebut.


Pouliquen et al. (1992) melaporkan bahwa sebuah prosedur-cepat telah disusun untuk menentukan secara kuantitatif konsentrasi oksitetrasiklin di dalam sedimen dengan menggunakan “high performance liquid chromatography”. Batas-batas pendeteksian dan penentuan berturut-turut adalah 0,05 dan 0,2 mikrogram/gram berat basah sedimen ketika 50 mikroliter sampel disuntikkan. Nilai rata-rata penemuan-kembali oksitetrasiklin dalam sedimen adalah 57,5 %. Metode ini digunakan pada studi eksperimental kinetika oksitetrasiklin dalam sedimen tangki. Tangki-tangki ini dicemari oleh air laut bekas yang berasal dari tangki lain di mana oksitetrasiklin ditambahkan (45 gram per hari selama 7 hari). Selama pengobatan, konsentrasi oksitetrasiklin dalam sedimen perlahan-lahan meningkat sampai maksimum pada nilai rata-rata 4,05 mikrogram per gram. Rata-rata waktu-paruh (half-life) oksitetrasiklin dalam sedimen adalah 60,4 hari. Empat belas hari setelah akhir pengobatan, konsentrasi oksitetrasiklin di dalam sedimen masih tinggi (rata-rata 1,67 mikrogram per gram). Hasil penelitian ini bervariasi antar tangki karena adanya perbedaan kecil dalam hal suhu, intensitas cahaya dan aliran air antar tangki. Disimpulkan bahwa oksitetrasiklin mungkin bertahan sangat lama di dalam sedimen dan bahwa lenyapnya oksitetrasiklin lebih cepat di dalam air laut daripada di dalam sedimen.

Bab IV
Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam


Formalin Untuk Menghilangkan Parasit Pada Ikan Kakap

Menurut Seng dan Seng (1992) kejadian penyakit terkait-parasit pada budidaya ikan intensif sedang menjadi masalah yang serius di Asia. Industri budidaya ikan membutuhkan metode penanganan dan pengendalian parasit yang layak agar industri ini tetap ekonomis. Formalin, malasit hijau (malachite green), dipterex dan air tawar telah diuji kefektivannya dalam membasmi parasit monogenea (cacing trematoda) dari insang ikan kakap Lutjanus johni di dalam jaring apung yang terinfeksi dengan parah. Pengobatan dilakukan dalam akuarium kaca di mana 10 ekor ikan untuk setiap konsentrasi uji dimandikan dalam waktu singkat selama 30 menit dan diaerasi. Formalin secara nyata mengurangi parasit Haliotrema johni (48 %) dan Haliotrema sp. (78 %) pada kadar 30 ppm. Air tawar efektif dalam mengurangi Haliotrema sp. (91 %). Bahan kimia lain (dipterex dan malachite green) tidak efektif. Bagaimanapun, formalin 300 ppm dan air tawar mempengaruhi ikan sampai akhir periode percobaan 30 menit.


Efek Pemberian Formalin Secara Berulang Terhadap Juvenil Ikan Lele

Bodensteiner et al. (1993) melaporkan bahwa ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan panjang total 70 – 148 mm telah ditangani dengan formalin berkonsentrasi 25 mikroliter/liter selama 4 jam setiap hari selama 4 hari berturut-turut dalam seminggu selama periode 28 minggu yang dimulai pada pertengahan September. Koefisien kondisi (rasio bobot badan terhadap panjang ikan) dan pengujian histologis terhadap jaringan insang digunakan untuk mengevaluasi kesehatan ikan yang diberi formalin. Jaringan ikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok yang tidak diberi formalin menunjukkan efek khas budidaya intensif, yang mencakup hipertrofi (pembesaran organ akibat meningkatnya ukuran sel), hiperplasia (pembesaran organ/jaringan akibat meningkatnya laju pembelahan sel) dan sekresi lendir yang berlebihan; tidak ada perbedaan morfometri insang antara kedua kelompok. Ikan channel catfish yang secara periodik diberi perlakuan formalin memiliki koefisien kondisi yang secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) setelah 28 minggu dan tidak ada indikasi timbulnya efek negatif akibat formalin.

Pengaruh Kesadahan Air Terhadap Daya Racun Formalin

Meinelt dan Stueber (1992) mempelajari pengaruh kesadahan air terhadap daya racun formalin bagi telur dan embryo ikan. Uji embryo-larva ikan Brachydanio rerio (144 jam, 37 % formalin) telah dilakukan dengan menggunakan dua jenis air uji : air (1) memiliki derajat kesadahan 17,3 (308,8 mg CaCO3/liter) dan air (2) dengan derajat kesadahan 3,5 (62,5 mg CaCO3/liter). Hasil penelitian membuktikan bahwa daya racun formalin meningkat dengan menurunnya kesadahan air.

Dampak Formalin Terhadap Daya Tetas Telur Ikan

Menurut Rach et al. (1997) formalin banyak digunakan untuk menangani infeksi jamur pada telur ikan dalam operasi akuakultur intensif. Penggunaan formalin di Amerika Serikat hanya diijinkan untuk telur ikan salmonidae dan esocidae; pemakaiannya untuk spesies ikan lain harus mendapat ijin khusus. Penelitan telah dilakukan untuk menentukan keamanan perlakuan formalin pada telur ikan spesies air hangat dan air dingin. Telur tak bermata dari ikan walleye (Stizostedion vitreum), ikan mas (Cyprinus carpio), white sucker (Catostomus commersoni), channel catfish (Ictalurus punctatus), dan sturgeon danau (Acipenser fulvescens) dipelihara dalam tabung penetasan miniatur dan selama 45 menit setiap hari diberi formalin sebanyak 1500, 4500 atau 7500 mikroliter/liter sampai menetas.

Penelitian tersebut memberikan hasil yang menunjukkan bahwa untuk semua spesies ikan yang diuji, persentase penetasan adalah lebih besar pada kelompok perlakuan 1500 mikroliter/liter daripada kelompok kontrol yang tak diberi formalin. Telur ikan walleye memiliki kepekaan yang paling lemah terhadap formalin dan memiliki laju penetasan 87 % dalam perlakuan formalin 7500 mikroliter/liter. Ikan sturgeon danau adalah spesies yang paling peka dengan rata-rata laju penetasan 54 % dalam perlakuan formalin 1500 mikroliter/liter. Batas keamanan perlakuan formalin adalah 1500 mikroliter/liter selama 15 menit untuk telur semua spesies ikan kecuali ikan sturgeon danau. Infeksi jamur menyebabkan laju penetasan banyak berkurang atau bahkan menjadi nol pada sebagian besar kelompok kontrol, sedangkan kebanyakan kelompok perlakuan bebas dari infeksi jamur. Hal ini menunjukkan efisiensi formalin sebagai fungisida (Rach et al., 1997).

Efisiensi Formalin Dalam Mengendalikan Ektoparasit dan Daya Racunnya Bagi Ikan Budidaya

Fajer-Ávila et al. (2003) melaporkan bahwa upaya pertama untuk membudidayakan ikan Sphoeroides annulatus (bullseye puffer fish) terhambat oleh serangan parasit monogenea Heterobothrium ecuadori dan dinoflagelata Amyloodinium ocellatum; kedua spesies parasit ini berkaitan dengan kematian pada spesies-spesies ikan budidaya lainnya. Penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi keamanan formalin bagi ikan bullseye puffer dan menentukan efisiensi formalin dalam mengendalikan serangan parasit. Konsentrasi letal median (LC50) formalin untuk ikan ini berkisar dari 1095 mg/liter selama 30 menit dan 972 mg/liter selama 60 menit sampai 79 mg/liter selama 72 jam. Konsentrasi efektif median (EC50) formalin untuk Heterobothrium ecuadori adalah 225 mg/liter selama 30 menit dan 87 mg/liter selama 60 menit. Indeks terapeutik hasil penelitan adalah 5 pada 30 menit dan 11 pada 60 menit. Formalin selanjutnya diuji secara in vivo (di luar tubuh mahluk hidup) terhadap Amyloodinium ocellatum. Dibandingkan dengan kontrol, formalin sebanyak 51 mg/liter secara nyata menurunkan jumlah parasit pada kulit (97 %) dan insang (68 %) ikan setelah pemaparan selama 1 jam, sedangkan formalin sebanyak 4 mg/liter secara nyata mengurangi jumlah parasit pada kulit (66 %) dan insang (84 %) setelah 7 hari. Perbedaan daya racun formalin terhadap ikan bullseye puffer dan terhadap parasit-parasit tersebut menunjukkan bahwa formalin adalah efektif dalam mengendalikan parasit epizootik untuk budidaya ikan bullseye puffer.

Penggunaan Formalin Dalam Akuakultur dan Dampaknya

Boyd (1982) menyatakan bahwa formalin banyak digunakan dalam budidaya ikan untuk mengendalikan jamur pada telur ikan dan parasit eksternal pada ikan. Bahan kimia ini relatif tidak beracun bagi ikan dan digunakan sebanyak 1.000 – 2.000 mikroliter/liter (1.103 – 2.206 mg/liter) selama 15 menit dalam media air yang mengalir konstan, 167 – 250 mikroliter/liter (184 – 276 mg/liter) dalam tangki atau kolam air deras selama 1 jam, dan 15 – 25 mikroliter/liter (16,5 – 27,6 mg/liter) selama periode tak hingga di kolam. Sayangnya, formalin sangat beracun bagi plankton, dan kolam yang diberi formalin 15 mg/liter (13,6 mikroliter/liter) bisa menyebabkan kehabisan oksigen terlarut bila populasi planktonnya sangat padat.

Pengaruh Formalin Terhadap Parasit Ikan dan Kualitas Air Kolam

Rowland et al. (2006) melaporkan bahwa serangan cacing parasit trematoda monogenea (Lepidotrema bidyana dan Gyrodactylus sp.) terhadap ikan air tawar silver perch (Bidyanus bidyanus Mitchell) di kolam tanah telah ditangani dengan formalin (formaldehid 37 %). Konsentrasi 30 dan 40 mg/liter formalin adalah efektif, tetapi ikan di kolam yang diberi formalin 20 atau 25 mg/liter tetap terinfeksi parasit. Pada suhu 24,1 – 26,9 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) berkurang dari 10,1 – 11,9 menjadi 3,0 – 3 dan 1,2 – 1,7 mg/liter, berturut-turut, dalam perlakuan pemberian formalin 36 – 42 jam. Selain itu, pH air turun dari 7,2 – 8,4 menjadi 6,3 – 6,7 dalam 36 jam dan kekeruhan berkurang setelah 48 jam. Di kolam yang konsentrasi oksigen terlarutnya 1,2 – 1,7 mg/liter, ikan silver perch menunjukkan tanda-tanda stres yang parah, tetapi aerasi terus-menerus (daya aerator 10 HP per hektar) selama 3 hari dan pemasukan air beroksigen-tinggi selama 6 – 8 jam mencegah kematian. Pada suhu 13,2 – 15,7 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut turun dari 9,0 – 10,0 menjadi 6,0 – 8,1 mg/liter dan pH dari 7,0 – 7,3 menjadi 5,9 – 6,6 dalam waktu 72 jam. Konsentrasi total amonia-nitrogen naik dalam waktu 72 jam di kolam yang diberi formalin 30 atau 40 mg/liter. Ikan diserang-kembali oleh parasit Lepidotrema bidyana di semua kolam dalam waktu 30 hari perlakuan. Konsentrasi formalin 30 mg/liter disarankan untuk mengendalikan parasit monogenea pada ikan silver perch di kolam, tetapi aerasi diperlukan untuk mempertahankan kualitas air yang cukup pada suhu tinggi.

Referensi :


Austin, B. and D.A. Austin. 1999. Bacterial Fish Pathogens : Disease of Farmed and Wild Fish. 3rd rev. ed. Praxis Publishing Ltd., Chichester, UK. 459 pp.

Björklund, H., J. Bondestam and G. Bylund. 1990. Residues of Oxytetracycline in Wild Fish and Sediments From Fish Farms. Aquaculture, Vol. 86, Issue 4, pp. 359–367

Bodensteiner, L.R., R.J. Sheehan, W.M. Lewis, P.S. Wills and R.L. Herman. 1993. Effects of Repetitive Formalin Treatments on Channel Catfish Juveniles. Journal Aquatic Animal Health, Vol. 5, No. 1, pp. 59 - 63

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Fajer-Ávila, E.J., I.A. la Parra, G. Aguilar-Zarate, R. Contreras-Arce, J. Zaldi´var-Rami´rez and M. Betancourt-Lozano. 2003. Toxicity of Formalin to Bullseye Puffer Fish (Sphoeroides annulatus Jenyns, 1843) and Its Effectiveness to Control Ectoparasites. Aquaculture, Vol. 223, Issues 1 – 4, pp. 41 – 50

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Haynes, D., J. Muller and S. Carter. 2000. Pesticide and Herbicide Residues in Sediments and Seagrasses from the Great Barrier Reef World Heritage Area and Queensland Coast. Marine Pollution Bulletin, Vol. 41, Issue 7 - 12, pp. 279 - 287

Karami, A.M., A.R. Bakhtiari, A. Kazemi and K. Kheirabadi. 2013. Assessment of Toxic Metals Concentration using Pearl Oyster, Pinctada radiata, as Bioindicator on the Coast of Persian Gulf, Iran. Iranian Journal of Toxicology, Vol. 7, No. 23, pp. 956 - 961

Lincer, J.L. and M.E. Haynes. 1976. The Ecological Impact of Synthetic Organic Compounds on Estuarine Ecosystems. USEPA, Washington. 354 pp.

Malvisi, J., G. della Rocca, P. Anfossi and G. Giorgetti. 1996. Tissue Distribution and Residue Depletion of Oxytetracycline in Sea Bream (Sparus aurata) and Sea Bass (Dicentrarchus labrax) After Oral Administration. Aquaculture, Vol. 147, Issues 3–4, pp. 159–168

Meinelt, T. and A. Stueber. 1992. Subchronic Fish Toxicity to Formalin Baths on Eggs and Fry in Dependence of Water Hardness. Fischer und Teichwirt, Vol. 43, No. 8, pp. 294 - 295

Meinertz J.R., Stehly G.R. and Gingerich W.H. 1998. Liquid Chromatographic Determination of Oxytetracycline in Edible Fish Fillets From Six Species of Fish. Journal of AOAC International, vol. 81, no. 4, pp. 702-708, ISSN 1060-3271

Musial, C.J. and J.F. Uthe. 1983. Widespread Occurrence of the Pesticide Toxaphene in Canadian East Coast Marine Fish. International Journal of Environmental Analytical Chemistry, Vol. 14, Issue 2, pp. 117 - 126

Pouliquen, H., H. Le Bris and L. Pinault. 1992. Experimental Study of The Therapeutic Application of Oxytetracycline, Its Attenuation in Sediment and Sea Water, and Implication for Farm Culture of Benthic Organisms. Marine Ecology Progress Series, vol. 89, no. 1, pp. 93 – 98, ISSN 0171-8630

Rach, J.J., G.E. Howe and T.M Schreier. 1997. Safety of Formalin Treatments on Warm- and Coolwater Fish Eggs. Aquaculture, Vol. 149, Issues 3 – 4, pp. 183 – 191

Rowland, S.J., M. Nixon, M. Landos, C. Mifsud, P. Read and P. Boyd. 2006. Effects of Formalin on Water Quality and Parasitic Monogeneans on Silver Perch (Bidyanus bidyanus Mitchell) in Earthen Ponds. Aquaculture Research, Vol. 37, Issue 9, pp. 869 – 876

Seng, L.K. and L.T. Seng. 1992. Treatment of Cultured Golden Snapper, Lutjanus johni Bloch, Infected With Monogeneas. Aquaculture, Vol. 106, No. 1, pp. 1 - 8

Uno, K., T. Aoki and R. Ueno. 1992. Pharmacokinetic Study of Oxytetracycline in Cultured Rainbow Trout, Amago Salmon, adn Yellowtail. Nippon Suisan Gakkaishi, vol. 58, no. 6, pp. 1151 – 1156, ISSN 0021-5392

Vukadin, I., T. Zvonaric and N. Odžak. 1995. Fate and Distribution of Toxic Heavy Metals in Some Marine Organisms From The Eastern Adriatic Coast. Helgoländer Meeresuntersuchungen, Vol. 49, Issue 1-4, pp. 679 - 688

Xu, D. and W.A. Rogers. 1994. Oxytetracycline Residue in Striped Bass Muscle. Journal of Aquatic Animal Health, Vol. 6, Issue 4, pp. 349-354

Yeo, D.S.A., J.L. Ding and B. Ho. 1993. An Antimicrobial Factor From The Plasma of Horseshoe Crab, Carcinoscorpius rotundicauda. Microbios, vol. 73, no. 294, pp. 45 – 48, ISN 0026-2633

Tidak ada komentar:

Posting Komentar