Kamis, 22 Februari 2018

Derajat Keasaman (pH) Perairan dan Dampak Biologisnya


Bab I
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air


Sumber Alami Ion Hidrogen di Perairan

Menurut Cole (1994) bahwa sumber utama ion hidrogen dalam perairan alami adalah berbagai bentuk asam karbonat. Secara umum, sumber karbon dioksida di perairan juga memasok ion hidrogen. Karbon dioksida itu sendiri bisa berasal dari atmosfer yang masuk ke perairan bersama air hujan. Air hujan dalam kondisi setimbang dengan CO2 atmosfer memiliki pH sekitar 5,6 bila hanya mengandung asam karbonat. Bagaimanapun, analisis menunjukkan bahwa air hujan dengan pH lebih rendah banyak mendominasi beberapa tempat di dunia. Air hujan ber-pH rendah ini terutama disebabkan oleh kegiatan manusia, namun beberapa sumber alam juga turut berperan. Letusan gunung berapi mencemari atmosfer dengan sulfur dioksida (SO2), suatu gas yang sangat mudah larut hingga membentuk H2S. Senyawa yang terakhir ini bersifat asam lemah namun oksidasi lebih lanjut akan membentuk H2SO4 yang bersifat asam kuat. Sumber alami lain ion hidrogen di perairan adalah asam-asam organik yang secara kolektif disebut asam humus. Asam humus berasal dari material tumbuhan yang membusuk dengan perantaraan enzim bakteri. Asam humus lebih kuat daripada asam karbonat, bisa menyebabkan pH perairan turun menjadi sekitar 4,0.

Pengaruh Penyerapan Karbon Dioksida Oleh Tumbuhan Air Terhadap pH

Boyd (1982) menyatakan bahwa penyingkiran karbon dioksida dari air oleh tumbuhan air meningkatkan pH perairan alami. Hal ini disebabkan konsentrasi karbonat meningkat ketika karbon dioksida diserap dan karbonat ini terhidrolisis menghasilkan ion-ion hidroksil. Pada kebanyakan perairan, anion-anion alkalinitas berhubungan dengan kalsium dan magnesium, dan peningkatan konsentrasi karbonat yang disebabkan penyingkiran karbon dioksida pada akhirnya melebihi kelarutan produk kalsium karbonat. Pengendapan kalsium karbonat cenderung membatasi kenaikan pH karena hidrolisis karbonat merupakan sumber ion hidroksil yang menyebabkan pH naik. Dengan kata lain, pH berbanding langsung dengan konsentrasi karbonat. Pengendapan karbonat oleh kalsium mencegah pH kebanyakan perairan meningkat di atas 9,5 atau 10 di sore hari, bahkan ketika laju fotosintesis tinggi. Bagaimanapun, di beberapa perairan kesadahan kalsium jauh lebih kecil daripada alkalinitas total, dan anion-anion alkalinitas berhubungan dengan magnesium, natrium atau kalium (biasanya natrium). Magnesium karbonat lebih mudah larut daripada kalsium karbonat, sedang natrium dan kalium karbonat sangat mudah larut. Jadi, dalam air yang beralkalinitas tinggi dan berkesadahan kalsium rendah, karbonat yang dihasilkan dari penyingkiran karbon dioksida oleh tumbuhan air akan tertimbun dan nilai pH bisa naik menjadi 11 atau 12.

Fluktuasi pH Air di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) ada saling ketergantungan antara pH, karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat. Sebab utama terjadinya perubahan variabel-variabel ini dalam kolam ikan adalah perubahan konsentrasi karbon dioksida akibat fotosintesis dan respirasi. Pengendapan kalsium karbonat akan membatasi penimbunan karbonat dan membatasi kenaikan pH. Sebagai contoh, pH akan naik lebih tinggi dalam larutan natrium bikarbonat daripada dalam larutan kalsium bikarbonat selama penyingkiran karbon dioksida dengan cepat oleh alga. Karena pengaruh karbon dioksida, pH air kolam paling rendah menjelang fajar dan paling tinggi pada sore hari. Fluktuasi harian pH paling besar ketika pertumbuhan fitoplankton cepat. Nilai pH pada awal pagi perlahan-lahan meningkat selama musim pertumbuhan. Pengubahan karbon dioksida menjadi bahan organik oleh fotosintesis lebih besar daripada pelepasan karbon dioksida dari bahan organik oleh respirasi, karena itu pH meningkat. Perairan dengan konsentrasi bikarbonat sedang atau tinggi mempunyai cadangan karbon dioksida yang lebih banyak daripada perairan dengan konsentrasi bikarbonat rendah, sehingga fluktuasi harian pH sering lebih kecil pada yang pertama dibandingkan pada kasus yang terakhir.

Fluktuasi pH Air Danau Selama 11 Tahun

Yoshikawa et al. (2004) memantau fluktuasi pH dan parameter kualitas air lainnya di Sawanoike Pond, Kyoto, Jepang, dari tahun 1993 sampai 2003. Rata-rata pH dan alkalinitas di danau ini selama periode pemantauan adalah 5,53 dan 16 MU.eq/liter, berturut-turut. Nilai-nilai tersebut termasuk terendah untuk hasil pengamatan efek hujan asam terhadap ekosistem perairan di danau-danau Jepang. Tidak ditemukan adanya kecenderungan meningkat maupun menurun untuk variabel-variabel ini selama periode penelitian. Bagaimanapun, konsentrasi H+ di danau ini cenderung berfluktuasi dengan proporsi yang terbalik terhadap ketinggian muka air (r = -0,652) dan berfluktuasi secara proporsional terhadap konsentrasi ion SO42- (r = 0,632). Sebaliknya, koefisien korelasi antara ion H+ dan suhu air maupun antara ion H+ dan konsentrasi klorofil-a adalah rendah (r = -0,143, r = 0,006, berturut-turut), yang menunjukkan bahwa fluktuasi pH tidak disebabkan oleh perubahan suhu air maupun aktivitas fotosintesis. Hasil pemantauan kualitas air ini mencakup pula kasus penurunan pH yang tak lazim selama bulan Oktober dan November 2000, yang menunjukkan pengaruh erupsi (letusan gunung) di Pulau Miyake-jima terhadap kualitas air danau Sawanoike Pond. Pada musim panas, konsentrasi oksigen terlarut di lapisan air dasar danau menurun (minimum 1,9 mg/liter) akibat meningkatnya alkalinitas (maksimum 52 MU.eq/liter) dan pH (maksimum 6,5) di air lapisan dasar.

Fluktuasi pH Air Danau Akibat Perubahan Ketinggian Muka Air

Yoshikawa et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan studi paleolimnologi terhadap perubahan keasaman danau Sawanoike Pond di Kyoto, Jepang, pH air kolam ini menurun sekitar 0,5 satuan dari tahun kira-kira 1960 sampai 1985. Peningkatan polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab yang mungkin untuk pengasaman danau ini; bagaimanapun, pengaruh perubahan ketinggian muka air juga bisa menjadi penyebab perubahan pH air danau. Data menunjukkan adanya kemungkinan ketinggian muka air danau ini menurun sejak tahun 1960-an. Berdasarkan pemantauan kualitas air Sawanoike Pond selama 11 tahun, pH air danau ini cenderung berfluktuasi sejalan dengan ketinggian muka air. Walaupun beberapa penelitian membuktikan terjadinya penurunan pH air sungai selama meningkatnya curah hujan, namun hanya ada sedikit informasi mengenai pengaruh perubahan tinggi muka air terhadap pH air danau. Di Sawanoike Pond, pH air selama periode meningkatnya ketinggian muka air adalah sekitar 0,3 satuan lebih tinggi daripada selama periode menurunnya ketinggian muka air. Derajat fluktuasi pH air Sawanoike Pond yang menyertai perubahan ketinggian muka air adalah nyata. Nilai pH air danau ini yang relatif tinggi selama periode meningkatnya ketinggian muka air disebabkan terutama oleh tingginya alkalinitas dalam air bawah-permukaan yang masuk ke danau tersebut.

Kecenderungan Perubahan pH Air Laut

Dawson dan Spannagle (2009) menyatakan bahwa laut pada kondisi ekologi yang seimbang akan mempertahankan nilai pH yang relatif konstan, yaitu sekitar 8,2. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi CO2 atmosferik akibat kegiatan manusia selama satu abad yang lalu menyebabkan air laut menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang selalu meningkat. Meningkatnya penyerapan CO2 selama satu abad tersebut menyebabkan rata-rata pH air laut jatuh sekitar 0,1 unit, dari 8,2 menjadi 8,1. Nilai ini tampaknya kecil, tetapi karena pH diukur pada skala logaritma maka penurunan 0,1 unit mewakili peningkatan 25 % konsentrasi ion hidrogen. Dugaan nilai pH air laut di masa depan bervariasi sesuai dengan asumsi tentang emisi gas karbon dioksida dan proses-proses biofisika. “Intergovernmental Panel on Climate Change” (IPCC) menduga bahwa, berdasarkan kecenderungan emisi yang diharapkan, pH air laut akan turun sebesar 0,14 – 0,35 poin pada tahun 2100 tergantung skenario emisi. Hal ini berarti bahwa pH air laut akan menjadi serendah 7,75 pada akhir abad ini; nilai tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sampai sebesar 180 % dibandingkan dengan nilai pH pada era pra-industri. Perubahan pH air laut sebesar ini belum pernah terjadi selama sedikitnya 20 juta tahun atau mungkin lebih. Setelah dua atau tiga abad lagi, pH air laut bisa jatuh menjadi 7 (bila emisi CO2 tinggi) atau stabil pada nilai sekitar 7,9 (bila emisi CO2 rendah).

Bab II
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur


pH, Keasaman dan Alkalinitas

Boyd et al. (2011) menyatakan bahwa pengukuran pH, keasaman dan alkalinitas umum dilakukan untuk menjelaskan kualitas air. Tiga variabel ini saling berkaitan dan kadang-kadang dikacaukan. Istilah pH air merupakan faktor intensitas, sedang keasaman dan alkalinitas air adalah faktor-faktor kapasitas. Lebih tepatnya, keasaman dan alkalinitas didefinisikan sebagai kapasitas air untuk menetralkan basa kuat atau asam kuat, berturut-turut. Istilah keasaman untuk nilai pH di bawah 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung alkalinitas; demikian pula, istilah basa (alkalin) untuk nilai pH di atas 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung keasaman. Perairan dengan nilai pH antara 4,5 dan 8,3 memiliki keasaman total maupun alkalinitas total. Definisi pH, yang berdasarkan pada transformasi logaritma konsentrasi ion hidrogen ([H+]), menyebabkan ketidak sepahaman yang cukup besar berkenaan dengan metode yang tepat untuk menjelaskan pH rata-rata.

Pendapat bahwa nilai pH harus diubah menjadi nilai konsentrasi H+ sebelum merata-ratakan tampaknya didasarkan pada konsep pengadukan larutan yang berbeda pH. Dalam praktek, bagaimanapun, perata-rataan nilai konsentrasi H+ tidak akan menunjukkan pH rata-rata yang benar karena buffer yang ada di dalam perairan alami memberikan dampak yang lebih besar terhadap nilai pH akhir daripada dampak yang ditimbulkan oleh pengenceran saja. Untuk hampir semua penerapan pH dalam perikanan dan akuakultur, nilai-nilai pH bisa dirata-ratakan secara langsung. Bila seperangkat data pH diubah menjadi konsentrasi ion H+ untuk menduga nilai rata-rata pH, maka nilai-nilai pH yang ekstrim akan menyimpangkan nilai pH rata-rata. Nilai pH hasil penyesuaian lebih mendekati distribusi normal daripada nilai konsentrasi ion H+, sehingga nilai pH ini lebih diterima untuk kepentingan analisis statistik. Pengukuran pH secara elektrokimia dan banyak respon biologis terhadap konsentrasi H+ dijelaskan oleh persamaan Nernst, yang menyatakan bahwa hasil pengukuran dan respon yang diamati berkorelasi linier terhadap kelipatan 10 perubahan konsentrasi ion H+. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, pH lebih tepat daripada konsentrasi ion H+ untuk digunakan dalam analisis statistik (Boyd et al., 2011).

Respon Fisiologis Ikan Air Tawar Terhadap Stres Asam

Fromm (1980) menyatakan bahwa data mengenai efek spesifik pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar bersifat ambigu (mendua). Kegagalan reproduksi akibat stress asam tampaknya dikaitkan dengan kekacauan metabolisme kalsium dan kegagalan proses deposit (pengendapan) protein di dalam sel telur yang sedang berkembang. Tampaknya bahwa nilai pH yang tidak berdampak terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya memberikan respon yang tak berbeda terhadap pH dalam kisaran sekitar 10,5 sampai 5,5 dan antara 7,4 sampai 4,5; CO2 tampaknya merupakan faktor penentu utama. Pada kasus stres asam yang parah terjadi perubahan membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang, dan timbul kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal); hipoksia ini terjadi akibat bertambahnya jarak difusi air-darah.

Menurut Fromm (1980) beberapa laporan menyepakati bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit dalam tubuh ikan tetapi pengaruh pH rendah terhadap permeabilitas osmotik belum banyak diteliti. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara di hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini keseimbangan elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi tidak memadai. Bila ikan dikenai stres asam lemah maka pH darah menurun yang mungkin disebabkan oleh masuknya ion-ion H+ melewati membran insang ke dalam darah. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial serta memungkinkan ion-ion Na+ berdifusi ke dalam darah sehingga menurunkan gradien elektrokimia. Penurunan pH lingkungan bisa mempengaruhi konsentrasi kalsium insang sehingga meningkatkan permeabilitas insang terhadap ion H+ dan Na+ atau bisa terjadi acidemia (pH darah rendah secara tak normal) akibat penurunan ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer terlampaui maka pH darah jatuh dan kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen berkurang.

Hilangnya Populasi Ikan Akibat Pengasaman Air Danau

Beamish (1974) melaporkan bahwa populasi ikan di danau-danau di Ontario, Canada, hilang terutama akibat tingginya kandungan asam dalam air danau tersebut. Ketika suatu danau menjadi asam, spesies yang lebih peka terhadap asam menghentikan aktivitas reproduksinya dan bahkan menghilang. Hilangnya populasi ikan disebabkan oleh efek letal jangka panjang dan ketiadaan rekruitmen ikan muda akibat kegagalan reproduksi.

Pada salah satu danau, tingkat keasaman adalah tinggi dalam waktu cukup lama hingga menyebabkan hilangnya populasi bahkan spesies ikan yang paling kebal sekalipun. Konsentrasi nikel yang tidak wajar di danau dan air hujan; tingginya konsentrasi nikel yang masuk ke dalam atmosfir di Sudbury, Ontario; kemampuan sulfur dioksida untuk membentuk asam di atmosfir dan jatuh bersama hujan pada jarak yang agak jauh dari sumbernya; emisi sulfur dioksida oleh industri di Sudbury dalam jumlah sangat besar; tingginya konsentrasi ion-ion hidrogen dan sulfat secara tak wajar di danau yang dipelajari; semua menunjukkan bahwa emisi dari pabrik nikel dekat Sudbury merupakan sumber pencemar yang paling mungkin yang menyebabkan hilangnya stok ikan dari O.S.A., Muriel, dan danau-danau lain (Beamish, 1974).

Mekanisme Adaptasi Ikan Untuk Hidup di Danau Ber-pH Rendah

Hirata et al. (2003) melaporkan bahwa meskipun kondisinya tidak menguntungkan, satu spesies ikan tunggal, Osorezan dace, hidup di sebuah danau yang sangat asam (pH 3,5) di Osorezan, Aomori, Jepang. Studi fisiologi menunjukkan bahwa ikan ini dapat mencegah pengasaman plasma darahnya dan kehilangan ion Na+. Telah ditunjukkan bahwa kemampuan ini terutama disebabkan oleh sel-sel klorida di dalam insang, yang tersusun di dalam suatu struktur folikel dan mengandung banyak Na+-K+-ATPase, karbonik anhidrase II, tipe 3 Na+/H+ exchanger (NHE3), tipe 1 Na+-HCO3- cotransporter, dan aquaporin-3, yang semuanya merupakan pengatur pengasaman yang baik. Studi imunohistokimia menunjukkan lokasi sel-sel klorida ini, dengan NHE3 pada permukaan puncak dan yang lain-lainnya terletak pada membran basolateral. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi Osorezan dace terhadap kondisi lingkungan asam. Kemungkinan besar, NHE3 pada sisi puncak mengekresi H+ untuk dipertukarkan dengan Na+, sedangkan elektrogenik tipe 1 Na+-HCO3- kotransporter dalam membran basolateral menyediakan HCO3- untuk menetralisir plasma dengan menggunakan gaya pengendali yang dibangkitkan oleh Na+-K+-ATPase dan karbonik anhidrase II. Peningkatan dampak glutamat dehidrogenase juga terlihat di berbagai jaringan ikan dace yang teradaptasi-asam, yang menunjukkan pentingnya peranan amonia dan bikarbonat yang dibangkitkan oleh katabolisme glutamin.

Budidaya Ikan Intensif Pada Kondisi Konsentrasi Amonia Tinggi dan pH Rendah

Eshchar et al. (2006) menyatakan bahwa ikan mengeksresi dua jenis utama metabolit beracun ke dalam air : NH3 dan CO2; jenis yang pertama merupakan racun yang khas bagi ikan pada konsentrasi rendah (< 0,1 mg N/liter). Bagaimanapun, penimbunan CO2 metabolik yang larut dalam-air menyebabkan penurunan pH, sehingga mengurangi fraksi NH3 dari TAN (Total Amonia Nitrogen). Hal ini mengharuskan untuk menaikkan nilai ambang batas bagi TAN, yang bisa menurunkan kebutuhan akan aliran air dalam sistem arus-mengalir. Dalam penelitian ini, parameter-parameter pertumbuhan ikan sea bream (Sparus aurata) yang dipelihara pada kondisi TAN tinggi dan pH rendah dipantau. Daya racun TAN pertama kali diuji dalam akuarium 27 liter, di mana anak ikan sea bream dipelihara pada kondisi nilai TAN sampai 20 mg N/liter dan pH 6,8, tanpa menunjukkan efek negatif yang nyata. Berdasarkan hal ini, dua tangki kultur ikan laut bervolume 100 m3 ditebari dengan 84 gram ikan dan dipasok dengan pakan yang sama setiap hari selama 250 hari. Oksigen cair ditambahkan dan aerator kincir digunakan untuk mengusir CO2. Air laut dipasok ke sistem percobaan TAN-tinggi dengan laju rata-rata 5,25 m3 per kg pakan dan ke sebuah tangki kontrol dengan laju rata-rata 22,9 m3 per kg pakan (praktek aliran-air normal). Sistem eksperimental ini mencakup sebuah filter padat, tetapi bukan unit nitrifikasi.

Eshchar et al. (2006) melaporkan bahwa konsentrasi TAN hasil pengukuran dalam sitem eksperimental ini jauh lebih tinggi daripada nilainya dalam sistem kontrol (rata-rata 5,44 ± 1,2 mg N per liter dan 1,34 ± 0,6 mg N per liter, berturut-turut); bagaimanapun laju pertumbuhan ikan dan mortalitasnya pada kedua sistem secara statistik adalah sama. Keseimbangan massa karbon anorganik berbeda nyata antara kedua sistem yang menunjukkan peran penting alat pengusir CO2. Pemilihan alat pengusir CO2 ini memungkinkan untuk mengendalikan konsentrasi CO2 (cair), yang selanjutnya bisa mengendalikan nilai pH pada alkalinitas tertentu. Pengendalian seperti ini terhadap konsentrasi CO2 (cair) memungkinkan untuk mengoperasikan sistem pada konsentrasi TAN yang relatif tinggi sementara konsentrasi NH3 (cair) dipertahankan di bawah nilai ambang batas.

Sebuah model akuatik-kimiawi telah dikembangkan untuk meramalkan nilai pH, dan dengan demikian konsentrasi CO2(cair) serta NH3(cair), dengan asumsi kondisi seimbang. Model yang dihasilkan digunakan untuk menentukan laju aliran air minimal yang memungkinkan keamanan operasi dengan mempertimbangkan ambang batas konsentrasi metabolit. Model ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang diuji, sistem air-mengalir dapat dioperasikan dengan rasio serendah 4,4 m3 air laut/kg pakan tanpa membutuhkan biofilter nitrifikasi. Implikasi pemeliharaan ikan pada konsentrasi TAN-tinggi adalah luas, yang paling penting adalah penurunan secara nyata biaya pengelolaan air (Eshchar et al., 2006).

Bab III
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan


Pengaruh pH Rendah Terhadap Kelangsungan Hidup Kerang Anodonta

Maekelae dan Oikari (1992) melaporkan bahwa kerang air tawar Anodonta anatina selama 8 atau 10 hari dimasukkan ke dalam air (3 mg kalsium per liter) yang diasamkan dengan asam sulfat untuk menghasilkan nilai pH yang berkisar dari 4,8 sampai 2,3 dan 7,3. Nilai pH 2,3 dan 2,6 menghasilkan laju mortalitas 63 % dalam waktu 8 hari tetapi pH yang lebih tinggi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan statistik dalam hal indeks cangkang atau “shell index” (berat cangkang/panjang x lebar cangkang) antara kelompok-kelompok perlakuan yang berbeda. Bagaimanapun, pelarutan lapisan periostrakum cangkang terjadi pada semua pH di bawah 3,9. Kondisi asam, secara umum, menyebabkan penurunan konsentrasi natrium dan klorida di dalam hemolimfa, serta menurunkan kadar natrium dalam jaringan lunak. Juga terlihat adanya peningkatan konsentrasi kalsium dan natrium dalam hemolimfa.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Perilaku Reproduksi Ikan

Ikuta et al. (2003) melaporkan bahwa di Eropa Utara dan Amerika, pengasaman danau dan sungai yang ditimbulkan oleh hujan asam menghancurkan populasi ikan. Saat ini, aktivitas industri yang berkembang cepat di Asia Timur menyebabkan peningkatan secara terus-menerus jumlah emisi polutan asam, dan hujan dengan tingkat keasaman mencapai pH 4 terjadi di seluruh Jepang. Akibatnya, dampak hujan asam terhadap populasi ikan telah terlihat di Jepang. Untuk mempelajari pengaruh pH rendah terhadap perilaku reproduksi ikan salmonidae yang diketahui merupakan spesies peka-asam, maka dilakukan pengamatan terhadap perubahan frekuensi pergerakan ikan ke hulu sungai dan perilaku menggali sarang pada ikan betina yang sedang memijah sebagai respon terhadap perubahan pH pada ikan dewasa hime salmon (sockeye salmon yang terisolasi daratan) Oncorhynchus nerka, brown trout Salmo trutta dan Japanese char Salvelinus leucomaenis. Perilaku menggali dan pergerakan ke arah hulu terhambat secara nyata di dalam perairan yang bersifat asam lemah dengan pH 5,8 – 6,4. Sockeye salmon yang terisolasi daratan adalah paling peka terhadap perubahan pH di antara ketiga spesies ikan di atas.

Pengaruh Tahap Perkembangan Embryo dan Spesies Ikan Terhadap Toleransi Asam

Ikuta et al. (1992) melakukan uji toleransi asam dengan tujuan mempelajari pengaruh pengasaman terhadap ikan-ikan salmonidae. Kepekaan terhadap pH rendah yang dibuat dengan asam sulfat dibandingkan di antara tahap-tahap perkembangan pada ikan hime salmon (jenis sockeye salmon yang terisolasi di darat), dan 6 spesies salmonidae. Kepekaan (24 jam LC50-pH) pada tahap-tahap perkembangan untuk hime salmon adalah dengan urutan sebagai berikut : ikan muda (4,23) > alevin (larva salmon yang belum bermigrasi) (4,07) > anak ikan (4,06) > embryo-bermata (3,82). Kepekaan alevin diurut untuk spesies salmonidae adalah sebagai berikut : hime salmon (4,07) > honmasu salmon (3,98) > rainbow trout (3,83) > char (3,63). Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kepekaan terhadap pH rendah meningkat sejalan dengan perkembangan embryo, dan spesies salmonidae anadromous seperti Oncorhynchus lebih peka terhadap pH rendah.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Embryo dan Larva Ikan Air Tawar

Sayer et al. (1993) mempelajari pengaruh pH rendah terhadap tahap awal kehidupan ikan. Setelah fertilisasi, membran korionik memberikan perlindungan terhadap pengaruh pH rendah dan khususnya terhadap daya racun logam-logam yang menyertai kondisi asam, terutama aluminium. Sebenarnya, aluminium terlarut dapat mengurangi daya racun asam pada tahap perkembangan ikan ini, mungkin dengan cara membantu menurunkan permeabilitas membran dan penyerapan ion H+. Bahaya utama tampaknya adalah terhambatnya perkembangan embryo ikan (mungkin berkaitan dengan penurunan pH cairan perivitelin), yang sering menyebabkan hilangnya kemampuan untuk memecahkan membran korionik pada saat menetas. Setelah menetas , kepekaan meningkat. Aluminium terlarut, dan “trace metal” (logam yang jumlahnya sedikit) lainnya yang berkaitan dengan pengasaman, menjadi lebih penting.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aluminium berkonsentrasi rendah memberikan perlindungan secara kontinyu terhadap pH rendah. Penyebab kematian hanya dapat diduga : sebagian besar perhatian dipusatkan pada penyerapan dan keseimbangan mineral, dan ada bukti terjadinya gangguan pernafasan walaupun tidak sejelas kasus pada ikan post larva. Bagaimanapun, perbandingan dengan ikan post larva tidak selalu membantu; sedikitnya ada satu perbedaan penting. Tidak seperti ikan post larva, larva tidak menghadapi kombinasi kondisi yang paling berbahaya, yaitu adanya aluminium pada pH sekitar 5,5 (ketika efek pernafasan mungkin paling penting); kondisi yang paling berbahaya bagi larva tampaknya adalah adanya trace metal (termasuk aluminium) ketika pH sangat rendah (< 5.0).

Sayer et al. (1993) selanjutnya menyatakan bahwa terjadi peningkatan kepekaan yang dialami kuning telur. Periode ini bersamaan dengan perpindahan dari lokasi pengeraman telur di dalam substrat menuju ke perairan terbuka, di mana sifat-sifat kimia air di sekitar telur mengalami fluktuasi yang lebih besar. Bagaimanapun, selama hujan musim gugur dan melelehnya salju pada musim semi, pH dan konsentrasi ion kalsium pelindung biasanya mencapai nilai terendah sementara logam-logam seperti aluminium mencapai nilai tertinggi. Di perairan di mana pengasaman paling mungkin terjadi, tahap awal kehidupan banyak spesies ikan air tawar akan mendekati ambang batas kelangsungan hidup di mana penurunan kualitas air sedikit saja bisa menyebabkan kematian seluruh ikan kelas umur tersebut (tahap awal kehidupan), yang selanjutnya mempengaruhi rekruitmen dan bahkan status populasi.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Fisiologi Ikan Air Tawar

Fromm (1980) mengulas beberapa respon fisiologis dan toksikologis terhadap stres asam pada ikan air tawar. Data mengenai efek pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar tampaknya rancu. Kegagalan reproduksi akibat stres asam tampaknya berkaitan dengan gangguan metabolisme kalsium dan penimbunan protein dalam sel telur yang sedang berkembang juga terganggu. Tampaknya bahwa nilai pH di mana penurunan pH tidak berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya tidak terpengaruh oleh pH pada kisaran kira-kira 10,5 sampai 5,5. Pada kasus stres asam yang parah, terjadi gangguan pada membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang dan kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal) mungkin disebabkan oleh makin jauhnya jarak difusi air-darah. Beberapa laporan membenarkan bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit pada ikan. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara dalam hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini homeostasis elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi terganggu.

Bila ikan dikenai stres asam yang lemah maka pH darah turun yang mungkin diakibatkan oleh masuknya aliran ion H+ ke dalam darah melintasi membran insang. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial dan memungkinkan difusi ion Na+ melalui gradien elektrokimia. Penurunan pH air di sekelilingnya bersama dengan konsentrasi kalsium dalam insang bisa meningkatkan permeablitas insang terhadap ion H+ maupun Na+ ; sementara acidemia (darah bersifat asam) bisa terjadi akibat berkurangnya ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer tidak bisa menampung penurunan pH darah maka kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen akan berkurang.

Bab IV
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan


Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan

Lopes et al. (2001), dengan mengutip laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa pH air dalam akuakultur adalah penting untuk menjamin produksi ikan yang baik. Kisaran pH 6,5 – 9,0 biasanya disarankan untuk budidaya ikan, tetapi kisaran optimumnya mungkin berbeda untuk spesies ikan yang berbeda. Kebanyakan ikan yang terpapar terhadap air asam atau air basa menunjukkan peningkatan kehilangan ion lewat insang sehingga mengganggu pengaturan ionik. Akibatnya, nilai-nilai pH ekstrim dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi, terutama selama tahap-tahap larva. Nilai pH yang rendah menurunkan pertumbuhan dan reproduksi ikan. Laporan terbaru menyebutkan bahwa kisaran pH 9,0 sampai 11,0 menurunkan pertumbuhan dan bahwa pada kisaran ini beberapa spesies ikan teleostei mati dalam beberapa hari.

Lopes et al. (2001) melakukan studi dengan tujuan menentukan pengaruh pH air (5,5, 6,0, 7,0, 8,0 dan 8,5) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan silver catfish (Rhamdia quelen). Larva ikan ini diperoleh dari pijah-rangsang pada bulan November dan dipelihara di dalam tangki polietilen 40 liter (350 larva per tangki) di bawah kondisi terkendali dengan suhu 25 oC, sistem air digunakan-kembali (re-use system) dan aerasi kontinyu. Larva diberi pakan hingga kenyang enam kali sehari. Pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 dan setelah kuning telur diserap, 10 larva dari setiap kelompok dipilih secara acak untuk mengevaluasi panjang, berat dan laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate, SGR). Panjang, berat kelangsungan hidup dan biomas pada akhir hari ke-21 adalah secara nyata lebih tinggi untuk larva yang dipelihara pada pH 8,0 – 8,5. Seperti yang diharapkan, laju pertumbuhan spesifik menurun dengan berjalannya waktu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai 8,0 – 8,5 adalah kisaran pH terbaik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva spesies ikan ini.

pH dan Pertumbuhan Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas laporan-laporan mengenai hubungan pH air dengan budidaya ikan. Sebagian besar perairan alami mempunyai pH 6,5 – 9, tetapi ada banyak kekecualian. Titik-titik mati asam dan basa untuk ikan adalah sekitar pH 4 dan 11, berturut-turut. Bagaimanapun, bila perairan lebih asam daripada pH 6,5 atau lebih basa daripada pH 9 – 9,5 selama periode yang panjang, maka reproduksi dan pertumbuhan ikan akan menurun. Masalah-masalah terkait pH tidak umum dijumpai pada kolam ikan; bagaimanapun, di daerah pertambangan, rembesan air pertambangan yang berpH rendah bisa mengasamkan danau dan sungai. Pengasaman jangka panjang danau dan sungai akibat hujan asam memberikan pengaruh yang membahayakan populasi ikan di beberapa daerah di Eropa dan Amerika Utara.

Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Anak Ikan Salmon

Lacroix et al. (1985) memelihara ikan Atlantic salmon (Salmo salar) yang baru menetas selama fase awal mencari makan di dalam air asam dan sadah yang berasal dari Sungai Westfield (rata-rata pH 5,0) di Nova Scotia. Anak ikan dipelihara dalam sistem tangki air-mengalir secara in situ dan diberi pakan hatchery. Bioesei juga dilakukan terhadap air sungai yang diberi kapur (rata-rata pH 6,1) sebagai kontrol. Mortalitas kumulatif anak ikan setelah 30 hari percobaan dalam tangki adalah 70 % pada pH 5,0 dan hanya 4 % pada pH 6,1. Anak ikan dalam air sungai yang tak diberi perlakuan adalah tidak aktif, menelan sedikit makanan, dan kehilangan berat (sekitar 25 %) selama 15 hari pertama periode percobaan. Peningkatan secara tajam konsentrasi Ca2+ dan Na+ dalam tubuh terlihat pada anak ikan pada kedua nilai pH selama waktu itu, tetapi peningkatan Ca2+ terlambat dan bahwa konsentrasi Na+ lebih sedikit pada anak ikan yang dipelihara dalam air berpH rendah. Kematian terjadi 15 – 30 hari setelah ikan berenang ke atas dan semua anak ikan yang mati tampak sangat kurus, yang menunjukkan bahwa kematian mungkin disebabkan oleh kelaparan.

Lacroix et al. (1985), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menambahkan bahwa walaupun ada perbedaan perubahan komposisi ion pada anak ikan yang dipelihara pada pH 5,0 dibandingkan kontrol, tidak terjadi pengurangan cadangan ion tubuh bila dibandingkan dengan konsentrasi awal. Anak ikan yang bertahan hidup pada pH 5,0 mengembangkan toleransi setelah 25 hari serta memiliki laju pertumbuhan, faktor kondisi dan konsentrasi ion yang mirip dengan anak ikan yang dipelihara dalam air yang diberi perlakuan. Mortalitas anak ikan selama peralihan ke tahap mencari makanan eksogen, sebagai respon terhadap stres pH rendah dalam air sadah, mungkin menyebabkan berkurangnya rekruitmen dan penurunan atau kehilangan stok ikan salmon di sungai ini dan sungai-sungai asam lain di Nova Scotia.

Pengaruh pH Terhadap Produksi Ikan Danau

Downing dan Plante (1993) menghitung nilai dugaan produksi biologis 100 populasi ikan dari 38 danau di seluruh dunia berdasarkan literatur. Hubungan antara produksi tahunan populasi ikan (P, kilogram per hektar per tahun), rata-rata tahunan biomas tetap (B, kilogram per hektar) dan maksimum berat badan individual (W, gram) diperkirakan adalah sebagai berikut :

Log10P = 0,32 + 0,94 log10B – 0,17 log10 W (R2 = 0,84)

Hubungan ini adalah sama dengan yang diamati pada populasi invertebrata di perairan-mengalir dan menunjukkan bahwa P menurun dengan naiknya W. Regresi sumbu utama menunjukkan bahwa hubungan P/B : W memiliki eksponen (pangkat) yang sama dengan yang diduga oleh teori alometrik. Nilai sisa (residu) dari persamaan multivariate (banyak-variabel) ini menunjukkan bahwa produksi ikan berkorelasi positif dengan suhu, konsentrasi fosfor dalam danau, konsentrasi klorofil a, produksi primer dan pH. Hasil studi ini bisa menjadi landasan untuk mengendalikan komponen-komponen ekosistem danau.

Hilangnya Populasi Ikan Akibat Penurunan pH Sungai dan Danau

Hultberg (1985) melaporkan bahwa dokumen-dokumen masa lalu tentang Danau Gardsjon dan danau-danau lain di sekitarnya di daerah aliran Sungai Anrasea, Swedia, menunjukkan bahwa ikan perch Perca fluviatilis L. dan sidat Eropa Anguilla phoxinus L. adalah spesies asli di semua danau. Ikan roach Leuciscus rutilus L., minnow Phoxinus phoxinus L., brown trout Salmo trutta L. dan ikan sea trout berasal dari banyak danau dan sungai. Nilai-nilai pH pada musim panas 6,0 dan 6,5 pada tahun 1940-an menurun selama tahun 1950-an dan 1960-an sebesar 1,0 sampai 1,8 di kebanyakan danau hingga awal tahun 1970-an nilai pH ini menjadi 4,5 sampai 5,5. Penurunan nilai pH, bersama dengan air ber-pH rendah selama mencairnya salju dan hujan musim gugur, menyebabkan stok ikan mengalami perubahan secara menyolok. Ikan roach hilang dari semua danau, ikan perch banyak terpengaruh di semua danau atau hilang seperti nasib spesies-spesies lain dari berbagai danau : ikan northern pike, tench Tinca tinca L., ikan crucian carp Carassius carassius L., sidat Eropa dan brown trout. Ikan minnow, brown trout dan sea trout lenyap dari banyak sungai.

Bab V
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi


Biologi Amfibi

Hegner (1946) menyatakan bahwa “amphibi” dalam bahasa Yunani berarti “hidup di dua alam”. Binatang ini menghabiskan sebagian waktunya di darat dan sisanya di air. Pada kenyataannya, bila sungai, danau atau kolam kekeringan, mereka tetap hidup sepanjang tahun atau berjemur di bawah sinar matahari. Ada amfibi yang tidak pernah masuk ke dalam air sama sekali, yang lainnya sangat jarang meninggalkan air. Amfibi yang hidup di darat mungkin memiliki kulit yang kering dan kasar, namun kebanyakan spesies mempunyai kulit yang lembab dan licin di mana mereka menyerap air seperti layaknya hewan minum. Spesies-spesies seperti ini harus menjaga kulit dari kekeringan, oleh karena itu mereka mendiami perairan atau tempat-tempat yang lembab, misal di bawah batu atau meliang ke dalam tanah.

Kaki amfibi air mempunyai jari-jari yang dihubungkan satu sama lain oleh selaput kulit; kaki seperti ini dipakai untuk mendorong air ke belakang, mirip dayung. Amfibi memiliki mulut yang luar biasa besar, sering melebar sampai ke belakang mata, dan banyak di antaranya yang dilengkapi dengan banyak sekali gigi kecil yang tajam. Kulit dipenuhi kelenjar; beberapa kelenjar tersebut mensekresi cairan beracun yang sangat ampuh. Di beberapa daerah di Amerika Selatan, orang-orang Indian memanfaatkan sekresi dari sejenis kodok untuk melumuri anak panahnya. Kelenjar-kelanjar lainnya mensekresi lendir yang terlalu banyak hingga tubuhnya selalu tampak mengkilat. Amfibi bertelur biasanya sekali setahun dan banyak di antaranya yang bermigrasi ke perairan pada musim semi untuk bertelur. Amfibi muda sering suka makan tumbuhan, tetapi yang dewasa hidup dari binatang lain terutama serangga, laba-laba dan cacing.

Hegner (1946) menambahkan bahwa kodok dan katak bukan hanya menghabiskan umurnya di darat, tetapi juga meliang ke dalam tanah. Spesies tertentu hidup di pohon, yang sekali-kali meluncur ke tanah seperti burung. Tak ada cara yang tepat untuk membedakan kodok (frog) dan katak (toad). Sebagai patokan, kodok bertubuh ramping dan berkulit licin serta lembab, sedang katak pendek gemuk dengan kulit berjendol-jendol dan berbintil-bintil. Badan kodok dan katak biasanya kecil dan padat. Anak dari kebanyakaan sesies hidup di air dan memiliki insang serta ekor, tetapi yang dewasa bernafas dengan paru-paru dan ekornya hilang. Lehernya pendek. Kaki depan juga pendek namun cukup panjang untuk menopang bahu dan kepala, sedang kaki belakang sangat panjang dan berotot serta sesuai untuk melompat. Kepalanya besar sekali dengan mata sangat lebar yang menjorok ke atas; dengan posisi mata seperti ini ia dapat melihat segala sesuatu di sekitarnya, namun mata ini terutama disesuaikan untuk melihat benda-benda yang bergerak.

Mata dapat ditarik masuk ke dalam celah mata sehingga aman dari benturan. Matanya memiliki kelopak mata. Di belakang mata terdapat membran timpani bundar sebagai bagian dari telinga; seringkali membran ini tampak menyolok. Mulut sangat besar, rahang bawah tidak bergigi. Berhubungan dengan rongga mulut, terutama pada yang jantan, terdapat kantung suara. Salah satu ciri menarik amfibi ini adalah lidahnya, yang melekat pada ujung depan mulut, bukan di belakang mulut seperti pada manusia, sehingga lidahnya dapat dijulurkan sepenuhnya untuk menangkap mangsa. Lidah ini lengket sehingga dapat menangkap serangga yang sedang terbang. Makanannya ditelan bulat-bulat. Jika mangsanya besar, kaki depan dipakai untuk mendorongnya masuk ke dalam mulut.

Pengaruh pH Terhadap Ukuran Saat Metamorfosis dan Persaingan Interspesifik Pada Kodok

Warner et al. (1993) menyatakan bahwa bila spesies menunjukkan perbedaan kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai kondisi abiotik, maka perubahan satu faktor abiotik berpotensi mengubah hasil interaksi biotik. Telah dilakukan penelitian untuk menguji femomena tersebut, dengan mengamati pengaruh satu faktor abiotik (pH) dan dua faktor biotik (persaingan interspesifik dan intraspesifik) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva sampai metamorfosis pada dua spesies kodok anura (Hyla gratiosa dan Hyla femoralis) di tangki luar-ruangan. Dua nilai pH (4,5 dan 6,0) serta tiga tingkat kepadatan (0, 30 atau 60 embryo tiap tangki bervolume 580 liter) untuk setiap spesies telah disusun menurut rancangan faktorial fraksional dan diulang tiga kali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva Hyla gratiosa memperlihatkan pola yang khas dalam hal respon tergantung-kepadatan intraspesifik : ketika kepadatan meningkat, kelangsungan hidup dan ukuran saat-metamorfosis berkurang dan periode larva bertambah lama. Interaksi faktor biotik dan abiotik adalah kompleks dalam percobaan ini. Penambahan Hyla femoralis pada pH tinggi menyebabkan penurunan kelangsungan hidup dan meningkatkan periode larva Hyla gratiosa, tetapi pada pH rendah pengaruh negatif ini tidak tampak. Variasi pH tidak berpengaruh terhadap ukuran saat metamorfosis Hyla gratiosa. Persaingan interspesifik dengan Hyla femoralis yang menyebabkan mengecilnya ukuran saat metamorfosis Hyla gratiosa hanya terjadi bila kepadatan awal tinggi.

Pengaruh pH Terhadap Reproduksi dan Kelangsungan Hidup Amfibi

Karns (1992) melaporkan bahwa amfibi yang memijah di rawa di Minnesota utara menghadapi bebagai kualitas air dengan pH bervariasi : lokasi berpH kurang dari 4,5, lokasi berpH kurang dari 5,0 dan daerah batas berpH 4,5 – 5,0. Studi laboratorium maupun di lapangan menunjukkan bahwa amfibi rawa (Rana sylvatica, Rana pipiens, Pseudacris triseriata, Pseudacris crucifer, Hyla versicolor, Bufo americanus, Ambystoma laterale) memiliki toleransi yang berbeda terhadap perairan rawa. Perkembangan embryo tertahan atau penetasan terhambat di bagian rawa yang berpH kurang dari 4,5, sedangkan pertumbuhan larva dan kelangsungan hidupnya mendapat pengaruh negatif. Rana sylvatica, spesies paling toleran yang diuji, berhasil menetas di bagian rawa yang berpH 4,5 dengan lokasi peletakan telur yang luas (lebih dari 65 massa telur) ketika suhu air relatif hangat. Rana sylvatica merupakan satu-satunya spesies rawa yang berhasil berkembang di daerah batas berpH 4,5 – 5,0. Kelangsungan hidup amfibi sampai melewati tahap metamorfosis tidak ditemukan di rawa yang berpH kurang dari 4,5. Semua spesies berhasil bereproduksi di bagian rawa yang berpH kurang dari 5,0.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Kelangsungan Hidup Kodok Rana

Beattie dan Tyler-Jones (1992) mempelajari pengaruh pH rendah terhadap fertilisasi dan perkembangan embryo kodok Rana temporaria (L.) di laboratorium dan di lapangan. Di lapangan, keberhasilan fertilisasi berkurang terutama akibat tingginya konsentrasi aluminium monomer anorganik, sedang mortalitas embryo disebabkan terutama oleh rendahnya suhu air. Kebanyakan telur yang mati ada pada pertengahan fase pembelahan akhir atau tahap gastrula awal. Di laboratorium, kelangsungan hidup embryo menurun dengan meningkatnya konsentrasi aluminium monomer anorganik pada pH 4,5. Konsentrasi aluminium monomer anorganik yang tinggi juga meningkatkan jumlah embryo yang mati pada tahap-tahap awal perkembangan, dan meningkatkan proporsi embryo yang tetap terkurung oleh membran perivitelin dan gagal menetas. Panjang badan larva yang bertahan hidup berkurang baik oleh meningkatnya konsentrasi aluminium maupun oleh rendahnya pH.

Mortalitas Amfibi di Kolam BerpH Rendah

Sadinski dan Dunson (1992) menyatakan bahwa kebanyakan peneliti yang mempelajari pengaruh pH rendah terhadap amfibi yang memijah di kolam- sementara melakukan pengukuran langsung efek letal pada satu spesies tunggal. Telah dilakukan penelitian selama 4 tahun di Pennsylvania tengah yang menggambarkan arti penting ekologis efek langsung dan tak langsung pH rendah pada tingkat letal dan subletal. Untuk itu dilakukan pendekatan multilevel (sampling lapangan dan percobaan di laboratorium, kolam simulasi dan kolam alami) guna mempelajari efek-efek tersebut terhadap embryo dan larva amfibi di kolam-sementara. Sebagian besar kolam yang dipelajari mempunyai pH yang lebih rendah daripada yang dilaporkan sebelumnya dalam penelitian di Amerika Utara. Air kolam bersifat kurang sadah dan sering kaya akan aluminium total. Nilai tengah pH musiman dari 9 kolam berasosiasi negatif dengan jumlah total curah hujan selama 4 tahun, tetapi tidak berasosiasi dengan pengendapan H+ selama periode yang sama. Nilai pH kebanyakan kolam berkurang dengan meningkatnya total curah hujan. Mortalitas embryo salamander Ambystoma jeffersonianum adalah tinggi di kolam dengan pH kurang dari 4,5.

Respon Perilaku Kecebong Terhadap Air Asam

Freda dan Taylor (1992) melaporkan bahwa kecebong dari lima speises amfibi (Rana clamitans, Rana sylvatica, Rana pipiens, Pseudacris crucifer dan Bufo americanus) yang bervariasi dalam hal kepekaannya terhadap pH rendah telah dikenai berbagai kisaran pH air. Perilaku menghindar dan perubahan tingkat aktivitas kecebong-kecebong tersebut diamati. Semua spesies yang diuji menghindari air asam yang bersifat letal dan semua spesies kecuali Rana sylvatica menghindari tingkat keasaman yang bersifat subletal. Bagaimanapun, nilai pH tertinggi yang dihindari oleh kecebong bervariasi tergantung spesies dan hal ini tampaknya berhubungan dengan kepekaan spesies tersebut terhadap asam. Pseudacris crucifer menunjukkan penurunan tingkat aktivitas yang sedikit tetapi secara statistik adalah nyata, sedangkan Bufo americanus sangat meningkatkan tingkat aktivitasnya selama terkena air asam.

Referensi :

Beamish, R.J. 1974. Loss of Fish Populations from Unexploited Remote Lakes in Ontario, Canada as a Consequence of Atmospheric Fallout of Acid. Water Research, Vol. 8, Issue 1, pp. 85 - 95

Beattie, R.C. and R. Tyler-Jones. 1992. The Effects of Low pH and Aluminium on Breeding Success in The Frog Rana temporaria. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 353 - 360

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Boyd, C.E., C.S. Tucker and R. Viriyatum. 2011. Interpretation of pH, Acidity, and Alkalinity in Aquaculture and Fisheries. North American Journal of Aquaculture. Vol. 73, Issue 4, pp. 403 - 408

Cole, G.A. 1994. Textbook of Limnology. Waveland Press, Inc. Illinois. 412 pp.

Dawson, B. and M. Spannagle. 2009. The Complete Guide to Climate Change. Routledge. New York. 436 pp.

Downing, J.A. and C. Plante. 1993. Production of Fish Populations in Lakes. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 1, pp. 110 - 120

Eshchar, M., O Lahav, N. Mozes, A. Peduel and B. Ron. 2006. Intensive Fish Culture at High Ammonium and Low pH. Aquaculture, Vol. 255, Issues 1 - 4, pp. 301 - 313

Freda, J. and D.H. Taylor. 1992. Behavioral Response of Amphibian Larvae to Acidic Water. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 429 - 433

Fromm, P.O. 1980. A Review of Some Physiological and Toxicological Responses of Freshwater Fish to Acid Stress. Environmental Biology of Fishes. Vol. 5, Issue 1, pp. 79 - 93

Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company, New York. 675 pp.

Hirata, T., T. Kaneko , T. Ono , T. Nakazato , N. Furukawa , S. Hasegawa , S. Wakabayashi , M. Shigekawa , M.-H. Chang , M.F. Romero and S. Hirose. 2003. Mechanism of Acid Adaptation of a Fish Living in a pH 3.5 Lake. American Journal of Physiology - Regulatory, Integrative and Comparative Physiology, Vol. 284, no. 5, pp. R1199-R1212

Hultberg, H. 1985. Changes in Fish Populations and Water Chemistry in Lake Gardsjon and Neighbouring Lakes During The Last Century. Ecological Bulletins, Vol. 37, pp. 64 - 72

Ikuta, K., T. Shikama, S. Oda and N. Okummoto. 1992. Acid Tolerance of Eyed Embryos and Larvae in Salmonid Fishes. Bulletin of National Research Institute of Aquaculture (Japan), No. 21, pp. 39 – 45

Ikuta, K., Y. Suzuki and S. Kitamura. 2003. Effects of Low pH on The Reproductive Behavior of Salmonid Fishes. Fish Physiology and Biochemistry, Vol. 28, No. 1 - 4, pp. 407 - 410

Karns, D.R. 1992. Effects of Acidic Bog Habitats on Amphibian Reproduction in a Northern Minnesota Peatland. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 401 - 412

Lacroix, G.L., D.J. Gordon and D.J. Johnston. 1985. Effects of Low Environmental pH on the Survival, Growth, and ionic Composition of Postemergent Atlantic Salmon (Salmo salar). Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 42, No. 4, pp. 768 – 775

Lopes, J.M., L.V.F. Silva and B. Baldisserotto. 2001. Survival and Growth of Silver Catfish Larvae Exposed to Different Water pH. Aquaculture International, Vol. 9, Issue 1, pp. 73 - 80

Maekelae, T.P. and A.O.J. Oikari. 1992. The Effect of Low Water pH on The Ionic Balance in Freshwater Mussel Anodonta anatina. ANN. ZOOL. FENN., Vol. 29, No. 3, pp. 169 – 175

Sadinski, W.J. and W.A. Dunson. 1992. A Multilevel Study of Effects of Low pH on Amphibian Declines and Habitat Acidification. Journal of Herpetology, Vol. 26, No. 4, pp. 413 - 422

Sayer, M.D.J., J.P. Reader and T.R.K. Dalziel. 1993. Freshwater Acidification: Effects on The Early Life Stages of Fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries, Vol. 3, No. 2, pp. 95 – 132

Warner, S.C., J. Travis and W.A. Dunson. 1993. Effect of pH Variation on Interspecific Competition Between Two Species of Hylid Tadpoles. Ecology, Vol. 74, No. 1, pp. 183 - 194

Yoshikawa, S., K. Tazaki, S. Okuda, K. Nakagawa, M. Kawai, K. Yoshida and K. Mihara. 2004. Fluctuation Trends of pH, alkalinity and Ions in Sawanoike Pond During 11 Years. Japanese Journal of Limnology, Vol. 65 ; No. 2; pp. 99 - 108

Yoshikawa, S., K. Tazaki, S. Okuda, K. Nakagawa, M. Kawai, K. Yoshida and K. Mihara. 2005. pH Fluctuation of Sawanoike Pond in Kyoto Accompanied by Water Level Changes. Limnology, Vol. 6, Issue 1, pp. 15 - 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar