Selasa, 01 Mei 2018

Komposisi Kimia Air dan Zat-Zat Hara Dalam Ekosistem Perairan


Daftar Isi

Bab I. Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

- Material-Material Yang Terkandung Dalam Air
- Pengaruh Proses Biogeokimia Terhadap Komposisi Kimia Air Danau
- Perubahan Kimia Air Danau Selama Kematian Masal Ikan Akibat Ledakan Populasi Alga
- Perubahan Komposisi Air Sungai Akibat Bendungan
- Kandungan Mineral Dalam Air Kolam
- Fosfat Di Dalam Lumpur dan Air
- Karbon Dioksida di Dalam Perairan Darat

Bab II. Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

- Komposisi Kimia Air Laut
- Komposisi Kimia Air Kolam Ikan
- Gas-Gas Terlarut Di Dalam Air
- Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan
- Padatan Tersuspensi di Dalam Air Laut
- Nilai Gizi Padatan Tersuspensi dan Sedimen Bagi Cacing
- Konsentrasi Zat-Zat Hara di Perairan Laut-Payau-Tawar Yang Saling Berhubungan

Bab III. Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

- Sumber-Sumber Fosfor Bagi Perairan
- Fosfor Anorganik dan Organik Dalam Air Kolam Ikan
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Fosfor dan Nitrogen di Sungai
- Lumpur Sebagai Sumber Fosfor di Kolam Ikan dan Penyerapannya Oleh Tumbuhan Air
- Peranan Ikan Dalam Menyumbangkan Fosfor Bagi Perairan

Bab IV. Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

- Nitrogen Anorganik di Perairan Tawar dan Masalah Yang Ditimbulkannya
- Bentuk-Bentuk Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan
- Masukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria Dari Daratan Sekitarnya
- Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Nitrogen Terlarut
- Peran Nitrogen Dalam Penguraian Bahan Organik di Kolam

Bab V. Silikat Dalam Air Laut

- Metode Penentuan Konsentrasi Silikat Dalam Air Laut
- Proses Non Biologis Penyingkiran Silikat Dari Air Laut
- Upwelling Sebagai Pengendali Aktivitas Biogeokimia Silikat
- Hubungan Konsentrasi Silikat Dalam Air Laut Dengan Produktivitas Primer
- Dinamika Produktivitas Perairan Yeng Tercermin Dalam Perubahan Kelimpahan Organisme Bersilikat

Bab VI. Dinamika Zat Hara di Estuaria

- Sumber Zat Hara di Estuaria
- Peran Migrasi Ikan Dalam Transpor Zat Hara dari Estuaria ke Laut Pesisir
- Peranan Sedimen Dalam Dinamika Zat Hara di Estuaria
- Pemasukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria
- Perilaku Fosfor dan Nitrogen di Estuaria Setelah Banjir
- Hubungan Salinitas Dengan Nitrat, Silikat dan Fosfat di Estuaria

Bab VII. Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

- Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau
- Siklus Zat-Zat Hara Pada Bidang Batas Sedimen-Air Di Danau
- Siklus Karbonat – Karbon Dioksida Di Danau
- Penurunan Kesuburan Danau Akibat Pengendapan Kalsium Karbonat
- Pengaruh Diatom Terhadap Distribusi Seng dan Tembaga Dalam Air Danau

Referensi


Bab I
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat


Material-Material Yang Terkandung Dalam Air

Menurut Boyd (1982) air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi-kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air.

Perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain, di antaranya adalah sulfat, klorida, silika, nitrat, amonium, fosfat, besi, mangan, seng, tembaga dan boron. Bahan-bahan organik terlarut dalam air kolam meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak, vitamin dan “tannic acid”. Bahan organik berupa partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Pengaruh Proses Biogeokimia Terhadap Komposisi Kimia Air Danau

Lazzaretti et al. (1992) melaporkan bahwa spesies fosfor, besi, mangan dan sulfur telah dianalisis dalam sampel air dari bidang batas sedimen-air yang dikumpulkan pada empat waktu yang secara musim berbeda dalam setahun di dua lokasi sampling di basin selatan Danau Lugano (Lago di Lugano). Hasilnya menunjukkan kuatnya pengaruh proses-proses biogeokimia di dalam sedimen terhadap komposisi kimia air danau di atas sedimen tersebut. Konsumsi oksigen dan nitrat pada kondisi toksik sampai mikrooksik (konsentrasi oksigen sangat sedikit) dalam kolom air serta – akibatnya – pelepasan besi dan mangan tereduksi pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen) telah diamati sebagai akibat langsung atau tak langsung penguraian bahan organik oleh mikroba. Pola musiman untuk pelepasan dan penahanan mangan dan besi tereduksi terlarut berhubungan erat dengan proses serupa untuk fosfat terlarut. Siklus besi, mangan dan fosfor berhubungan erat di dalam sedimen. Kedua tipe sedimen bertindak sebagai penampung hidrogen sulfida dan sulfat. Siklus sulfur dalam-sedimen diduga melengkapi siklus besi, mangan dan fosfor dengan menguraikan bahan organik. Siklus zat hara pada bidang batas sedimen-air dengan demikian dikendalikan oleh mekanisme “pompa ion” yang diatur oleh mikroba.

Perubahan Kimia Air Danau Selama Kematian Masal Ikan Akibat Ledakan Populasi Alga

Barica (1973) mempelajari perubahan kimia air yang menyertai kejadian “summer fish kill” (kematian masal ikan musim panas) di danau eutrofik dangkal di Manitoba barat-daya, Kanada. Kematian masal ikan ini disebabkan oleh ledakan populasi alga Aphanizomenon flos-aquae. Perubahan kimia air yang paling dramatis terjadi selama beberapa hari sebelum ikan mati masal, yaitu selama puncak ledakan populasi alga dan selama kematian masal ikan tersebut. Konsentrasi oksigen terlarut dan amonia mengalami perubahan yang paling radikal. Konsentrasi oksigen terlarut mencapai maksimum kejenuhan 200 % atau lebih tepat sebelum ikan mati masal. Konsentrasi oksigen terlarut 20 sampai 24 mg/liter di dalam lapisan air permukaan danau adalah sangat umum; selama periode ini biomas Aphanizomenon mencapai maksimum. Kemudian, dalam beberapa hari, mulai terjadi kematian alga yang cepat dan seluruh alga hasil ledakan populasi mati. Fase berikutnya – kematian ikan yang sebenarnya – dicirikan oleh berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dengan cepat mulai dari permukaan danau sampai ke dasar danau, yang disertai dengan pelepasan amonia ke dalam seluruh air danau tanpa ada pola zonasi yang jelas.

Perubahan Komposisi Air Sungai Akibat Bendungan

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa pembendungan air sungai oleh waduk menyebabkan perubahan kualitas air sungai tersebut. Air yang dilepaskan dari dasar atau lapisan-dalam bendungan dicirikan oleh suhu yang lebih dingin, konsentrasi oksigen yang lebih rendah dan meningkatnya bahan-bahan beracun seperti hidrogen sulfida, besi dan mangan. Di dalam bendungan sendiri, airnya tidak cocok untuk ikan. Selain itu, lepasnya air berkualitas jelek dari bendungan mempengaruhi kelangsungan hidup populasi ikan dan invertebrata bentik di bagian hilir.

Kandungan Mineral Dalam Air Kolam

Menurut Boyd (1982), karena perairan permukaan biasanya merupakan larutan encer alkali tanah bikarbonat dan karbonat, maka kalsium, magnesium, bikarbonat dan karbonat biasanya merupakan ion-ion dominan. Bagaimanapun, ada beberapa kekecualian. Di daerah kering, karbonat dan bikarbonat bisa mengendap dari larutan ketika penguapan meningkatkan konsentrasi ion. Perairan seperti ini bisa mengandung natrium, sulfat dan klorida dengan proporsi relatif tinggi. Perairan asam di daerah pesisir yang lembab sering sedikit mengandung bikarbonat alkali tanah tetapi relatif kaya akan natrium dan klorida. Air sumur sepanjang dataran pesisir sering dikurangi kesadahannya oleh suatu proses di mana kalsium dan magnesium dalam air sumur digantikan oleh natrium yang berasal dari bahan-bahan padat di dalam lapisan air bawah-tanah. Kolam yang terisi air semacam air sumur seperti ini mengandung natrium dan bikarbonat dalam konsentrasi relatif besar tetapi miskin akan kalsium dan magnesium.

Dalam suatu daerah beriklim tertentu, derajat mineralisasi perairan permukaan mencerminkan kelarutan mineral-mineral dari tanah dan batuan di daerah tangkapan-air perairan tersebut. Perairan di daerah tanah yang kering dan tipis biasanya miskin mineral daripada perairan di daerah yang bertanah subur dan tebal. Perairan yang mengaliri tanah yang berkembang dari batu kapur lebih kaya akan mineral daripada perairan yang mengaliri tanah berpasir (Boyd, 1982).

Fosfat Di Dalam Lumpur dan Air

Menurut Boyd (1982) fosfat dalam lumpur dilepaskan dalam jumlah besar ke air ketika besi dan aluminium fosfat berdisosiasi di bawah kondisi tereduksi di dalam hipolimnion kolam (hipolimnion = masa air lapisan bawah di perairan tawar yang terstratifikasi). Fosfat ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan selama ada stratifikasi panas. Bila sratifikasi ini hilang maka fosfor dari hipolimnion teraduk merata di seluruh volume air dan fosfor tersebut sementara bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan. Bagaimanapun, proses yang dijelaskan di atas menyebabkan konsentrasi fosfor dengan cepat kembali ke normal.

Besi, aluminium dan kalsium fosfat dalam sedimen aerobik agak mudah larut, dan ada keseimbangan dinamis antara fosfat dalam sedimen dan fosfat dalam lapisan air di atasnya. Bila kondisi keseimbangan antara fosfat dalam air dan sedimen terganggu akibat penyerapan fosfat oleh tumbuhan, maka lebih banyak fosfat akan dilepaskan oleh sedimen (Boyd, 1982).

Karbon Dioksida di Dalam Perairan Darat

Cole (1994) menyatakan bahwa air hujan dimuati karbon dioksida ketika ia jatuh ke bumi. Secara teoritis, sebanyak 0,55 sampai 0,66 mg/liter karbon dioksida masuk secara langsung ke permukaan perairan. Air yang mengaliri tanah organik dimuati lebih lanjut oleh karbon dioksida hasil dari pembusukan bahan organik dan kemudian masuk ke sungai atau danau melalui sumber air bawah-tanah, sehingga memasukkan gas karbon dioksida ke dalam larutan. Air bawah-tanah kaya akan karbon dioksida, dan karena itu mengandung asam karbonat yang bisa melarutkan karbonat dan memasukkannya ke dalam larutan sebagai bikarbonat. Bikarbonat selanjutnya masuk ke dalam lingkungan perairan sehingga bisa dimanfaatkan oleh kebanyakan tumbuhan air autotrof sebagai sumber karbon untuk fotosintesis. Respirasi tumbuhan, binatang dan bakteri pengurai aerob menambah karbon dioksida ke dalam lingkungan; penguraian karbohidrat secara anaerob di dalam sedimen dasar merupakan sumber lain gas karbon dioksida yang penting. Karbon dioksida bebas seperti ini yang dihasilkan di dalam badan air bisa menyebabkan terlarutnya CaCO3 yang ada di dalam sedimen sehingga membentuk Ca(HCO3)2.



Bab II
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut


Komposisi Kimia Air Laut

Mowka (2009) menyatakan bahwa air laut merupakan larutan yang mengandung sekitar 3,4 persen material terlarut. Air laut mengandung banyak jenis unsur kimia, sebagian besar di antaranya ada dalam konsentrasi sangat rendah. Dengan metode analisis yang cukup canggih, adalah mungkin untuk membuktikan bahwa air laut mengandung semua unsur yang kita kenal. Bagaimanapun, hanya sedikit unsur yang perlu diperhatikan terutama karena merupakan ion-ion mayor, yaitu klorida (19.000 mg/liter), natrium (10.500 mg/liter), sulfat (2.600 mg/liter), magnesium (1.350 mg/liter), kalsium (400 mg/liter) dan kalium (380 mg/liter). Air laut buatan bisa disiapkan dengan meniru komposisi konsentrasi ion-ion mayor air laut alami ini. Ion-ion minor, yang terdapat dalam konsentrasi rendah tetapi lebih melimpah dibandingkan trace elemen, adalah bikarbonat (142 mg/liter), bromida (65 mg/liter), borat (25 mg/liter), strontium (8 mg/liter) dan silikat (8 mg/liter).

Bikarbonat merupakan ion paling penting karena terutama bertanggung jawab untuk buffering (penyangga), yaitu untuk mempertahankan pH air. Borat juga berperanan dalam sistem buffer ini, tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan bikarbonat. Arti penting ion-ion minor lainnya kurang jelas. Silikat penting bagi alga tertentu dan mungkin bagi beberapa jenis binatang. Bromida dan strontium, bagaimanapun, tidak diketahui peranan pentingnya bagi proses-proses biologis manapun. Adalah mungkin bahwa bila ion bromida dan strontium ini tidak ada sama sekali maka tidak memberikan pengaruh bagi kesehatan organisme akuatik.

Trace elemen adalah ion-ion yang normalnya terdapat di dalam air laut dengan konsentrasi hampir 1 mg/liter atau kurang. Di antara trace elemen ini adalah fluorida, rubididum, aluminium, litium, barium, yodin, mangan, fosfor, torium, merkuri, uranium, kobalt, seng, timah, timbal, selenium, arsen, tembaga, besi, nikel, kadmium, krom, titanium, vanadium, molibdenum, cesium dan lain-lain.

Penamaan trace elemen hanya merujuk pada fakta bahwa unsur-unsur tersebut terdapat dalam jumlah “trace” (sangat sedikit). Istilah trace tidak berhubungan dengan peranan unsur-sunur tersebut bagi kesehatan organisme akuatik. Jadi, perlu diperhatikan perbedaan antara trace elemen dengan essential element (unsur penting) karena keduanya berbeda. Tidak semua trace elemen bersifat esensial.

Menurut Mowka (2009) tidak ada alasan untuk mengharapkan manfaat dari keberadaan, sebagai contoh, cesium atau strontium. Tidak ada proses biologi yang bergantung pada keberadaan mereka. Meskipun trace elemen normalnya ada di dalam air laut alami, tetapi mereka bukanlah elemen kimia esensial. Kebanyakan trace elemen bukanlah elemen kimia esensial.

Banyak trace elemen yang bersifat esensial merupakam logam-logam berat (misal krom, mangan, besi, kobal, tembaga dan seng). Arti penting mereka bagi organisme hidup tergantung pada kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai molekul organik, seperti enzim, dan membentuk kompleks stabil dengan fungsi-fungsi biologi spesifik (Mowka, 2009).

Komposisi Kimia Air Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) dalam pengertian luas, kualitas air ditentukan oleh sangat banyak variabel biologi, fisika dan kimia yang mempengaruhi kelayakan air untuk tujuan tertentu. Dalam budidaya ikan, kualitas air biasanya didefinisikan sebagai kesesuaian air bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, dan biasanya kualitas air ini dipengaruhi hanya oleh beberapa variabel. Air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Perbedaan antara bahan terlarut dan bahan partikel agak tanpa aturan, yang didasarkan pada apakah bahan tersebut bisa disingkirkan melalui penyaringan atau tidak.

Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air. Bagaimanapun, perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain. Bahan-bahan organik terlarut meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak,vitamin dan tannic acid. Bahan organik partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Gas-Gas Terlarut Di Dalam Air

Meskipun kita cenderung mengasosiasikan gas dengan atmosfer dari pada dengan air, namun harus diingat bahwa sedikitnya ada 5 atau 6 macam gas penting yang terlarut di dalam air danau, sungai dan laut. Gas-gas tersebut memiliki fungsi biologis dan fisikokimia, tetapi sifat dan asal masing-masing gas berbeda-beda (Cole, 1994).

Menurut Cole (1994) permukaan air yang bersentuhan dengan campuran gas dan uap air – yang disebut udara – menyerap beberapa komponen udara tersebut. Nitrogen, oksigen dan karbon dioksida sangat penting karena mempunyai peran biologis yang esensial. Di samping itu, nitrogen dan oksigen merupakan komponen terbesar penyusun atmosfer, yaitu masing-masing sekitar 78 % dan 21 %, yang ada di permukaan laut. Konsentrasi karbon dioksida di udara adalah 28 kali lebih kecil dari pada konsentrasi argon, namun kelarutannya di dalam air minimal 15 kali lebih besar dibandingkan argon. Hal ini karena disebabkan karbon dioksida, yang terlarut dalam bentuk gas, menempatti persen volume yang sama dengan argon meskipun konsentrasi argon di atmosfer lebih besar.

Di antara gas-gas atmosfer yang terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (trace gas) adalah molekul-molekul hidrogen, karbon monoksida, nitro oksida ozon, metana, amonia, sulfur dioksida dan gas-gas inert (yaitu gas-gas yang sulit bereaksi) seperti kripton dan neon. Uap air ada dalam jumlah yang sangat bervariasi dengan konsentrasi sampai 3 % volume.

Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menggolongkan padatan dan partikel dalam air menurut konsentrasi kelompok-kelompok komponen tertentu yang didefinisikan sebagai berikut :

Padatan total (total solid) : Contoh air diuapkan sampai kering, dan berat residu – biasanya dalam miligram per liter – disebut konsetrasi padatan total. Untuk tujuan praktis, padatan total menyatakan semua bahan terlarut dan bahan partikel selain gas.

Total padatan mudah-menguap (total volatile solid) : Variabel ini merupakan berat yang hilang dari residu pada analisis padatan total setelah dibakar pada suhu 550 °C. Total padatan mudah-menguap merupakan jumlah bahan organik partikel dan bahan organik terlarut.

Padatan terlarut (dissolved solid) : Contoh air disaring, biasanya dengan saringan yang menahan kebanyakan partikel yang lebih kecil daripada 0,5 – 1 mikron, dan cairan yang tersaring diuapkan sampai kering. Untuk praktisnya, berat residunya menyatakan konsentrasi bahan-bahan terlarut, kecuali gas.

Padatan mudah-menguap terlarut (dissolved volatile solid) : Residu dari analisis padatan terlarut dibakar pada suhu 550 °C dan berat yang hilang ditentukan. Berat tersebut menunjukkan konsentrasi bahan organik terlarut

Bahan partikel (particulate matter) : Berat bahan kering yang tertahan pada saringan setelah air dilewatkan melalui sebuah saringan halus adalah bahan partikel total. Variabel ini juga bisa ditentukan dengan mengurangkan padatan terlarut dari padatan total.

Bahan organik partikel (particulate organic matter) : Variabel ini bisa ditentukan sebagai berat yang hilang setelah bahan kering yang tertahan pada saringan – yang digunakan dalam analisis bahan partikel – dibakar pada suhu 550 °C, atau dengan mengurangkan padatan mudah-menguap terlarut dari padatan mudah-menguap total.

Kesederhanaan analisis kasar ini jelas, dan data yang diperoleh sering kaya akan informasi. Sebagai contoh, tingginya nilai padatan terlarut menunjukkan bahwa perairan mengandung larutan dalam konsentrasi tinggi. Bila perairan mengandung padatan terlarut mudah-menguap dalam konsentrasi rendah, berarti perairan tersebut kaya akan mineral. Sebaliknya, perairan dengan konsentrasi padatan total tinggi dan konsentrasi total padatan terlarut dan mudah-menguap rendah berati kaya akan bahan anorganik tersuspensi. Air dari kolam ikan memiliki konsentrasi padatan yang bervariasi tergantung pada derajat mineralisasi, jumlah tanah liat tersuspensi, dan kelimpahan plankton. Pengukuran padatan terlarut dan bahan organik partikel, yang menunjukkan konsentrasi total ion-ion terlarut dan konsentrasi total bahan organik tersuspensi, berturut-turut, lebih banyak digunakan dalam budidaya ikan daripada jenis-jenis lain analisis padatan.

Padatan Tersuspensi di Dalam Air Laut

Armstrong dan Atkins (1950) mengumpulkan sampel air laut pada bulan Juni 1948 sampai November 1949. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel air laut tersebut mengandung bahan tersuspensi dengan konsentrasi (berat-kering dan -bakar) 2,77 sampai 0,45 gram/m3 (atau part per million, ppm). Pengukuran bahan organik tak-terlarut memberikan nilai 1,77 sampai 1,15 ppm berat kering pada suhu 100 °C. Residu yang dibakar mengandung 55 sampai 17 % silika, 28 sampai 3 % besi oksida, 20 sampai kurang dari 1 % aluminium dan 70 sampai 9 % kalsium karbonat. Tidak ada catatan suhu atau salinitas yang menunjukkan bahwa massa air mengalami perubahan selama periode sampling.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan tingginya konsentrasi besi dibandingkan dengan yang ditemukan dalam larutan. Residu yabg dibakar kaya akan silikat, sebagai mana ditunjukkan oleh tingginya rasio silika aluminium, tetapi sangat diragukan apakah tambahan pasokan silikat yang tersedia bagi diatom adalah cukup untuk mengimbangi kebutuhan mereka yang dihitung berdasarkan pemanfaatan fosfat. Tampaknya lebih mungkin bahwa fosfat, dalam jumlah cukup, tersedia bagi fitoplankton non-silika.

Nilai Gizi Padatan Tersuspensi dan Sedimen Bagi Cacing

Taghon dan Greene (1992) menyatakan bahwa cacing polikhaeta Boccardia pugettensis dan Pseudopolydora kempi japonica, seperti banyak invertebrata lain, ketika pemasukan partikel tersuspensi meningkat maka mereka mengubah kebiasaan makan dari memakan sedimen menjadi memakan padatan tersuspensi secara pasif. Kedua peneliti menguji hipotesis bahwa perilaku tersebut secara energitika adalah menguntungkan sebab partikel tersuspensi mengandung nilai gizi yang lebih tinggi. Pada percobaan-percobaan laboratorium, binatang dibatasi hanya memakan endapan, dibatasi hanya memakan suspensi, atau dibiarkan memakan keduanya. Partikel tersuspensi memiliki konsentrasi yang lebih besar dalam hal bahan organik total, karbon organik, protein labil, nitrogen dan klorofil-a.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume makanan yang dikonsumsi kedua spesies cacing secara nyata lebih sedikit ketika mereka memakan suspensi. Laju makan suspensi pada Pseudopolydora (hanya 19 % dari laju makan endapan) adalah jauh lebih kecil dibandingkan laju makan suspensi pada Boccardia (45 – 75 % dari laju makan endapan). Laju pertumbuhan Pseudopolydora lebih rendah ketika memakan suspensi dibandingkan dengan ketika memakan endapan. Sebaliknya, Boccardia tumbuh sebaik atau lebih baik ketika memakan suspensi dibandingkan ketika memakan endapan. Meskipun memiliki kesamaan morfologi dan tingkah laku, ada perbedaan dalam hal kemampuan kedua spesies cacing memanfaatkan partikel bahan organik pada berbagai kondisi habitat mereka.

Konsentrasi Zat-Zat Hara di Perairan Laut-Payau-Tawar Yang Saling Berhubungan

Selvam et al. (1992) mempelajari variasi harian variabel-variabel hidrologis dan zat-zat hara anorganik terlarut seperti PO43-, NO2--N, NO3--N dan NH4+-N di tiga biotop yang saling berhubungan yang mencakup perairan tawar, laut dan perairan payau hutan bakau di zona pesisir Kakinada, Andhra Pradesh, India. Sampel dikumpulkan pada selang waktu 3 jam, selama periode 24 jam. Di lingkungan laut, salinitas bervariasi dari 26 ppt sampai 32 ppt sedangkan di perairan hutan bakau nilainya berfluktuasi dari 12 ppt sampai 20 ppt, dan di kedua biotop ini salinitas menunjukkan fluktuasi tipe bimodal (dua-modus) Konsentrasi oksigen terlarut adalah tinggi di perairan hutan bakau selama siang hari tetapi berkurang dengan cepat selama malam hari.

Di lingkungan laut, konsentrasi PO43--P bervariasi dari 0,345 sampai 1,195 mikrogram at/liter, NO3--N dari 1,03 sampai 6,62 mikrogram at/liter dan NO2--N dari 0,086 sampai 0,506 mikrogram at/liter. Konsentrasi tertinggi dan terendah PO43--P, NO3--N dan NO2--N, yang tercatat di perairan hutan bakau adalah 0,790 dan 0,325 mikrogram at/liter, 7,10 dan 1,60 mikrogram at/liter serta 0,278 dan 0,060 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi PO43--P, NO3--N dan NO2--N adalah tinggi di kanal perairan tawar, dengan nilai maksimum dan minimumnya adalah 1,110 dan 0,730 mikrogram at/liter, 26,40 dan 9,98 mikrogram at/liter serta 0,520 dan 0,252 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi amonia adalah relatif tinggi di perairan hutan bakau . Produksi primer kotor dan neto di perairan hutan bakau adalah 4 kali lebih tinggi daripada di biotop laut. Tidak ada ekspor zat-zat hara terlarut dari lingkungan hutan bakau ke perairan laut di sekitarnya.



Bab III
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan


Sumber-Sumber Fosfor Bagi Perairan

Cole (1994) menyatakan bahwa fosfor ditemukan di dalam meteorit, batuan, tanah dan bahkan di atmosfer matahari; ia tidak termasuk unsur terjarang. Bagaimanapun, fosfor jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan atom-atom utama lain penyusun mahluk hidup (karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur). Kelimpahannya pada permukaan bumi adalah sekitar sepersepuluh dari 1 % berdasarkan berat. Ia diserap dengan cepat dan dipekatkan oleh mahluk hidup. Fosfor dioksidasi dengan sangat mudah dan terdapat di batuan bumi sebagai ortofosfat (PO43-). Sumber utama ion ini adalah batu api (igneous rock) yang mengandung mineral fosfat, apatit, yaitu Ca5(PO4)4+ yang bergabung dengan OH-, Cl- atau fluor. Fluoro apatit adalah sumber mineral utama dalam material ini, tetapi masih ada sedikitnya 205 jenis mineral lain yang mengandung fosfor, namun kebanyakan mineral tersebut sangat jarang. Gas fosfin (PH3) tereduksi adalah bentuk fosfor yang bebas tetapi sangat mudah teroksidasi. Diduga bahwa kilatan cahaya yang kadang-kadang terlihat di rawa-rawa adalah fosfin dan mungkin gas-gas lain, yang diproduksi oleh penguraian anaerobik, ketika bersentuhan dengan udara. Ada sedikit fosfor lain dalam atmosfer bumi yang bergabung dengan debu.

Cole (1994) menambahkan bahwa batu api merupakan sumber asli fosfor di bumi. Proses-proses cuaca, yang mungkin dibantu asam karbonat, membebaskan sebagian besar fosfor yang kemudian diendapkan kembali atau dibawa ke laut. Aliran air dari benua ke laut merupakan pergerakan fosfor yang utama. Akumulasi fosfor dari mahluk hidup terbentuk di dekat samudra ketika fosfat yang ter-up welling diserap oleh plankton dan dikonsentrasikan oleh ikan laut yang merupakan makanan burung laut penghasil guano. Akumulasi guano raksasa terbentuk di pulau dan tebing karang kering, terutama di lepas pantai pesisir barat Amerika Selatan. Selain itu, fosfor dipekatkan di dalam tulang binatang vertebrata sebagai komponen utama rangka. Penimbunan fosfat merupakan peranan penting yang dimainkan oleh organisme dalam mengkonsentrasikan unsur esensial ini.

Sumber fosfat biotik lainnya adalah limbah manusia dan buangan deterjen laundry ke lingkungan. Kedua sumber ini bertanggung jawab atas 300 % peningkatan kadar fosfat di danau Zurich, Swiss, sejak Perang Dunia II. Dengan digunakannya bukit guano oleh industri dan pertanian maka terjadi arus balik dari laut ke benua. Karena fosfor dari batuan juga ditambang dan digunakan, maka fosfor tersebar luas di sebagian besar bola bumi. Fosfor ini kemudian tercuci ke laut, banyak di antaranya mencapai danau dalam rutenya itu. Pembusukan dan mineralisasi tumbuhan dan binatang merupakan sumber fosfor bagi komponen ekosistem yang hidup; bakteri mengubahnya dari molekul fosfor organik menjadi ortofosfat anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Cole, 1994).

Fosfor Anorganik dan Organik Dalam Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa bentuk fosfor anorganik dalam perairan alami biasanya merupakan hasil ionisasi asam ortofosfat (H3PO4). Walaupun merupakan komponen yang relatif minor, fosfor sering menjadi zat hara paling penting relatif terhadap produktivitas ekosistem perairan. Pupuk berfosfor banyak digunakan dalam budidaya ikan, dan fosfor yang berasal dari limbah metabolik merupakan faktor penting dalam kolam yang ikan-ikannya diberi pakan buatan.

Boyd (1982) menambahkan bahwa selain ortofosfat, air kolam mengandung fosfor organik terlarut dan partikel fosfor. Fosfor organik terlarut dan fosfor yang terkandung dalam partikel bahan organik mati dimineralisasi oleh bakteri menjadi ortofosfat terlarut. Fosfor yang terkandung dalam partikel hidup mungkin memiliki laju turnover (pengembalian) yang tinggi karena singkatnya umur plankton. Kecuali segera setelah pemupukan, konsentrasi ortofosfat hanya merupakan sebagian kecil (biasanya kurang dari 10 %) dari konsentrasi fosfor total. Ikan dan organisme makroskopik lain mengandung fosfor dengan konsentrasi cukup tinggi, dan biomas gabungan mereka mengandung fosfor dengan jumlah agak tinggi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Fosfor dan Nitrogen di Sungai

Mulholland (1992) mempelajari selama 2 tahun peranan proses-proses di darat dan di sungai dalam mengendalikan konsentrasi nitrogen dan fosfor yang ada dalam air sungai. Penelitian di lakukan di sebuah sungai hutan berdaun-gugur di timur Tennessee. Lapisan tanah paling atas merupakan lokasi penimbunan yang sangat efektif untuk nitrogen dan fosfor anorganik selama gugur daun; dan aksi cuaca terhadap batuan dolomit induk merupakan sumber dominan fosfor anorganik bagi sungai. Zona tepi sungai merupakan sumber potensial NH4+ dan fosfor bagi sungai ketika konsentrasi oksigen terlarut dalam air bawah-tanah tepi sungai adalah rendah, tetapi merupakan tempat penimbunan fosfor ketika konsentrasi oksigen terlarut tinggi. Pergerakan nitrogen dan fosfor anorganik dalam sungai yang sangat terhambat terlihat pada akhir musim gugur sampai musim semi, terutama sebagai akibat penyerapan oleh mikroba pada daun-daun yang membusuk dan juga akibat penyerapan oleh alga. Tidak bergeraknya nitrogen dan fosfor anorganik menyebabkan penurunan konsentrasi unsur-unsur ini sejalan dengan bertambahnya jarak ke arah hilir dari mata air bawah-tanah, dengan demikian meningkatkan arti penting bentuk organik kedua unsur tersebut dalam air sungai di daerah hilir.

Lumpur Sebagai Sumber Fosfor di Kolam Ikan dan Penyerapannya Oleh Tumbuhan Air

Menurut Boyd (1982) fosfor dari lumpur adalah penting dalam mengatur produktivitas fitoplankton di kolam yang tak dipupuk, dan kolam yang tak dipupuk dengan konsentrasi fosfor di dalam lumpur tinggi adalah lebih produktif daripada kolam dengan konsentrasi fosfor dalam lumpur rendah. Pada kolam yang dipupuk, lumpur bertindak sebagai endapan fosfor. Selama bertahun-tahun, fosfor tertimbun di dalam lumpur kolam yang dipupuk, sehingga menggeser keseimbangan fosfat dengan larut ke air. Namun demikian, bahkan setelah dipupuk bertahun-tahun, fosfor biasanya masih harus dimasukkan ke kolam tersebut untuk mempertahankan produktivitas primer yang tinggi.

Makrofita berakar sanggup menyerap fosfor dari sedimen. Makrofita terdapat di atas termoklin, sementara permukaan lumpur di bawah air epilimnetik adalah aerob. Pada kedalaman beberapa sentimeter, lumpur bersifat anaerob, dan konsentrasi fosfat di dalam air di sela-sela lumpur meningkat karena rendahnya potensial redoks membantu kelarutan besi dan aluminium fosfat. Dengan demikian akar-akar makrofita menyedot sangat banyak pasokan fosfor di dalam sedimen. Fosfor di dalam sedimen yang anaerob tidak masuk ke dalam air di atasnya di mana ia dapat diserap oleh fitoplankton atau daun-daun makrofita. Namun, fosfor mengendap pada bidang batas antara lapisan sedimen anaerob dan aerob (Boyd, 1982).

Peranan Ikan Dalam Menyumbangkan Fosfor Bagi Perairan

Kraft (1992) menggunakan sebuah model yang berdasarkan bioenergitika untuk menduga peranan ikan perch (Perca flavescens) dalam daur ulang zat hara. Ekskresi fosfor dan nitrogen oleh ikan muda umur kurang-setahun serta ikan yang lebih tua diduga untuk ekosistem danau. Model ini berhasil menduga ekskresi fosfor dengan membandingkannya dengan dugaan terdahulu untuk ikan yellow perch. Dibandingkan ikan kelas umur yang lebih tua, ikan umur kurang-setahun menyumbangkan bagi danau lebih banyak zat hara yang bersiklus melalui ekskresi; dan ikan umur kurang-setahun juga berfungsi sebagai cadangan fosfor yang penting dibandingkan dengan cadangan fosfor yang tenggelam bersama alga mati. Volume ekskresi fosfor oleh ikan yellow perch umur kurang-setahun pernah mencapai maksimum sebesar 0,3 mikrogram fosfor per liter per hari; ekskresi nitrogen maksimum sebanyak 10 mikrogram per liter per hari. Rasio nitrogen : fosfor yang diekskresikan bervariasi empat kali lipat selama musim panas. Nilai dugaan ekskresi fosfor sangat dipengaruhi oleh perubahan kandungan fosfor dalam tubuh ikan.

Bab IV
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan


Nitrogen Anorganik di Perairan Tawar dan Masalah Yang Ditimbulkannya

Welch (1952) menyatakan bahwa garam-garam amonium, nitrit dan nitrat memperkaya pasokan nitrogen yang penting dalam rantai makanan organisme. Garam-garam amonium (amonia nitrogen atau amonia bebas) berperanan dalam tahap pertama mineralisasi nitrogen organik. Biasanya dianggap bahwa nitrat memasok nitrogen dalam bentuk yang lebih mudah dimanfaatkan, namun dua bentuk senyawa nitrogen lain, terutama garam-garam amonium, juga banyak dimanfaatkan. Sementara beberapa jenis tumbuhan lebih menyukai nitrat, jenis-jenis vegetasi lain tumbuh sama baiknya dengan memanfaatkan nitrit maupun garam-garam amonium; selain itu ada beberapa tumbuhan, terutama ketika muda, yang lebih menyukai amonia. Variasi konsentrasi nitrogen dalam air adalah berhubungan dengan musim pertumbuhan vegetasi dan suhu yang, sampai beberapa kisaran, mengendalikan aksi bakteri.

Sebenarnya, nitrogen dalam bentuk teroksidasi akhir, yakni nitrat, tidak terdapat dalam jumlah banyak di perairan alami yang belum tercemar. Perairan biasanya akan diperkaya oleh nitrat dan senyawa-senyawa penting lain akibat perubahan-perubahan di daerah tangkapan-airnya yang menyertai aktivitas pertanian. Penelitian terhadap konsentrasi amonia dan nitrat di danau-danau Wisconsin menunjukkan bahwa alga, gulma air dan bakteri pereduksi nitrat merupakan konsumen penting nitrogen dan bahwa bakteri penitrifikasi membantu meningkatkan konsentrasi nitrat (Welch, 1952).

Welch (1952) menambahkan bahwa nitrogen dianggap sebagai salah satu faktor pembatas paling penting dalam perkembangan fitoplankton. Nitrogen merupakan salah satu zat hara yang penting bagi produksi klorofil. Pembentukan klorofil berhenti sangat cepat bila terjadi kekurangan nitrat. Tampaknya ada kasus-kasus keracunan berkaitan dengan nitrogen. Larutan nitrit encer dilaporkan menimbulkan kerusakan pada beberapa jenis tumbuhan namun menguntungkan bagi spesies tumbuhan lain, dan larutan nitrit mungkin dipekatkan sampai ke titik yang berbahaya; larutan nitrit lebih beracun daripada larutan nitrat pada konsentrasi yang sama. Garam-garam amonia yang berlebihan bisa meracuni ikan bila ada bersama karbonat.

Bentuk-Bentuk Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Boyd (1982) menyatakan bahwa siklus nitrogen merupakan siklus biokimia di mana sebagian besar perubahan bentuk melibatkan reaksi biokimia, dan kebanyakan nitrogen di dalam ekosistem kolam terikat di dalam organisme hidup dan bahan organik busuk. Bentuk-bentuk nitrogen di dalam air meliputi : nitrogen gas, nitrat, nitrit, amonium, amonia dan berbagai bentuk nitrogen organik. Nitrogen organik berkisar dari senyawa terlarut yang relatif sederhana, seperti asam amino, sampai partikel bahan organik kompleks. Nitrogen terdapat di dalam lumpur dengan bentuk yang sama seperti yang ada di dalam air. Pupuk biasanya mengandung nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat. Kedua senyawa ini mudah larut dan ion-ion yang dihasilkan mungkin diserap tumbuhan dan diasimilasi menjadi nitrogen organik – biasanya dalam bentuk protein. Tumbuhan bisa dikonsumsi oleh binatang dan kemudian nitrogennya bisa diasimilasi menjadi protein jaringan binatang tersebut. Akhirnya, nitrogen digabungkan dengan protein tumbuhan atau binatang dan selanjutnya menjadi bahan organik mati yang akan diuraikan oleh mikroorganisme.

Masukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria Dari Daratan Sekitarnya

Correll et al. (1991) melaporkan bahwa studi interdisiplin jangka panjang terhadap estuaria Sungai Rhode dan daerah aliran airnya di dataran pesisir Mid-Atlantik di Amerika Utara telah dilakukan untuk mengukur masukan nitrogen dan fosfor dari ekosistem-ekosistem yang terkait secara hidrologis ke dalam estuaria ini. Ekosistem-ekosistem tersebut adalah hutan, lahan pertanian dan padang rumput yang semuanya ada di dataran tinggi; hutan tepi-sungai; rawa dataran banjir; dataran lumpur dan rawa pasang surut berair payau; dan teluk di estuaria. Air limpasan permukaan dari lahan pertanian mengandung nitrogen per hektar jauh lebih banyak daripada hutan dan padang rumput. Bagaimanapun, hutan pohon berkayu berdaun-gugur yang terletak di antara lahan pertanian dan sungai akan menyerap lebih dari 80 % nitrat dan total fosfor yang ada dalam air limpasan lahan pertanian, dan menyerap sekitar 85 % nitrat yang terkandung air bawah tanah dangkal dari lahan pertanian. Meskipun demikian, buangan zat hara dari hutan tepi sungai yang terletak di bawah (hilir) lahan pertanian masih lebih tinggi dibandingkan buangan dari padang rumput dan hutan lain.

Correll et al. (1991) menambahkan bahwa rasio atom nitrogen terhadap fosfor yang masuk ke estuaria dari daerah tangkapan airnya adalah 9 untuk total zat hara dan 6 untuk fraksi zat hara anorganik. Rasio N : P yang rendah seperti ini akan menyebabkan nitrogen lebih menjadi faktor pembatas daripada fosfor bagi pertumbuhan fitoplankton di estuaria. Rawa-rawa pasang surut di daerah estuaria menjebak zat-zat hara partikulat dan melepaskan zat hara terlarut. Hamparan lumpur subtidal (zona di bawah garis pasang-surut terendah) di bagian atas estuaria menjebak partikel fosfor, melepaskan fosfat terlarut, dan mengkonsumsi nitrat. Hal ini menyebabkan penurunan rasio N : P anorganik terlarut dalam estuaria. Bagaimanapun, estuaria bagian hulu merupakan tempat penenggelaman utama untuk total fosfor akibat penimbunan sedimen di daerah subtidal. Disimpulkan bahwa buangan nitrogen dan fosfor ke dalam Sungai Rhode, walaupun merupakan sebagian kecil dari beban total daerah tangkapan air, adalah cukup besar untuk menyebabkan masalah pengayaan zat hara (eutrofikasi) yang parah di estuaria bagian hulu.

Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Nitrogen Terlarut

Ludwig dan Gale (1991) mengevaluasi dua metode aerasi untuk mengoksigenasi pasokan air dalam hatchery. Dalam penelitian mereka, air dan gas oksigen dialirkan dengan arah yang berlawanan. Sejalan dengan peningkatan aliran gas oksigen, konsentrasi oksigen terlarut dalam air arus-keluar meningkat dari sekitar 100 menjadi 290 %, sedangkan konsentrasi nitrogen terlarut menurun dari 102 menjadi 60 %; tekanan gas total dalam air arus-keluar bervariasi dari 101 sampai 108 %. Pada metode lain, oksigen dimasukkan secara langsung ke saluran pasokan air hatchery. Pada laju aliran air yang konstan 660 liter/menit dan aliran gas oksigen antara 5 dan 8 liter/menit, konsentrasi oksigen terlarut bertambah dari 68,6 menjadi 224 %, sedangkan konsentrasi nitrogen terlarut berkurang dari 108,4 menjadi 85,0 %. Mereka menyimpulkan bahwa kedua metode oksigenasi ini merupakan cara yang efisien untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan menurunkan konsentrasi nitrogen terlarut dalam pasokan air hatchery.

Peran Nitrogen Dalam Penguraian Bahan Organik di Kolam

Menurut Boyd (1982) peranan nitrogen dalam penguraian menjelaskan beberapa fenomena yang umum diamati di kolam. Kolam berair asam cenderung menimbun sejumlah besar bahan organik karena penguraian oleh bakteri terhambat dan sebagian besar penguraian dilakukan oleh jamur. Ketika mati akibat herbisida, tumbuhan-mencuat terurai lebih lambat daripada tumbuhan-tenggelam. Tumbuhan air tenggelam terurai lebih lambat daripada fitoplankton. Kandungan nitrogen meningkat dengan urutan : tumbuhan air mencuat < tumbuhan air tenggelam < fitoplankton. Bahan organik tertimbun lebih cepat di dalam lumpur kolam yang tak dipupuk daripada dalam lumpur kolam yang dipupuk karena nitrogen yang ditambahkan di dalam pupuk mendorong penguraian residu.

Bab V
Silikat Dalam Air Laut


Metode Penentuan Konsentrasi Silikat Dalam Air Laut

Armstrong (1951) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai metode penentuan konsentrasi silikat dalam air laut. Silikon dalam air laut bisa ada dalam bentuk suspensi (melayang-layang di dalam kolom air), partikel tanah liat atau pasir, sebagai komponen diatom dan lain-lain, atau dalam bentuk larutan. Sebagian silikon dalam larutan ada dalam bentuk silikat. Konsentrasi silikat biasanya diduga dengan metode kolorimetrik DiĆ©nert & Wandenbulcke, yang memanfaatkan warna kuning asam silikomolibdik yang terbentuk ketika amonium molibdat dan asam sulfur ditambahkan ke air. Warna ini kemudian dibandingkan dengan warna larutan standar asam pikrik atau kalium kromat. Metode tersebut sederhana tetapi warna dalam air laut sering samar dan tidak mudah disesuaikan secara penglihatan, juga intensitas warnanya berkorelasi kurang erat dengan konsentrasi silikat. Warna yang dihasilkan dalam air laut kurang kuat daripada dalam larutan standar yang dibuat dari air suling dan “kesalahan garam” ini harus diperhatikan.

Proses Non Biologis Penyingkiran Silikat Dari Air Laut

Liss and Spencer (1970) meneliti proses-proses yang dialami silikat reaktif terlarut di Sungai Conway ketika mengalir melalui bagian estuari sungai tersebut. Ada bukti terjadinya penyingkiran non biologis yang cepat terhadap 10 sampai 20 % silikat reaktif dari larutan. Penyingkiran ini tergantung pada keberadaan partikel material anorganik dalam suspensi. Di Estuari Conway, partikel material dalam suspensi tampaknya dihasilkan akibat pengadukan pasang surut terhadap endapan dasar estuari. Percobaan laboratorium membuktikan bahwa baik material tersuspensi maupun elektrolit air laut harus ada agar reaksi ini bisa terjadi. Sebagian besar silikat yang melekat tampaknya terikat lebih kuat pada fase padat.

Upwelling Sebagai Pengendali Aktivitas Biogeokimia Silikat

Prego and Bao (1997) mempelajari karakteristik lokal upwelling di Galicia (Semenanjung Iberia barat laut) dalam kaitannya dengan pola silikat terlarut dalam kolom air laut dan distribusi opal dalam sedimen. Masukan air tawar, upwelling, mineralisasi-kembali dan sedimentasi dipertimbangkan. Masukan silikat air tawar tidak penting selama musim upwelling. Upwelling merupakan proses utama pengendali aktivitas biogeokimia silikat di zona pesisir. Area mineralisasi-kembali silikat dalam kolom air dan area kelimpahan opal dalam sedimen permukaan adalah sama. Hal ini secara bersama-sama menentukan batas pengaruh upwelling di pesisir dan berbagai efek lokalnya. Upwelling di Galicia penting di tiga daerah sekitar : Cape Finisterre, Cape Prior dan La Corun˜a Canyon. Upwelling di selatan Finisterre lebih intensif dan lebih dekat ke pesisir. Ke arah utara, upwelling ini terputus-putus dan jauh dari pesisir, menjadi dekat dengan tepi paparan benua.

Hubungan Konsentrasi Silikat Dalam Air Laut Dengan Produktivitas Primer

opinathan and Rodrigo (1988) meneliti produktivitas primer dan parameter-parameter terkait di perairan pantai Tuticorin, India, selama tahun 1985 – 1987. Siklus tahunan produksi primer menunjukkan tiga periode puncak, pertama selama Maret – April, kedua selama Juli dan ketiga selama September – Oktober. Produksi rendah terjadi pada bulan-bulan musim dingin November – Januari. Rata-rata produksi primer diduga sebesar 350 mgC/m3/hari dengan nilai-nilai yang relatif lebih tinggi sebesar 1.600 mgC/m3/hari pada bulan April dan nilai-nilai serendah 114 mgC/m3/hari diamati pada bulan November. Konsentrasi klorofil-a menunjukkan hubungan langsung dengan produksi primer. Parameter-parameter hidrologis yang mencakup zat-zat hara dalam kolom air memperlihatkan fluktuasi musiman yang jelas. Zat-zat hara terutama fosfat dan silikat menunjukkan hubungan terbalik dengan produksi primer, sedangkan nitrat berkorelasi positif. Ledakan populasi Trichodesmium theibautii selama musim panas (April – Juni) dan dinoflagelata selama musim timur-laut (Oktober – Desember) diamati sebagai fenomena yang teratur. Kelompok fitoplankton dominan penting yang ditemukan dalam penelitian ini adalah spesies-spesies diatom Chaetoceros, Skeletonema dan Thalassiosira serta fitoflagelata seperti Isochrysis, Pavlova, Chromulina dan Dicrateria.

Dinamika Produktivitas Perairan Yeng Tercermin Dalam Perubahan Kelimpahan Organisme Bersilikat

Romero et al. (2002) meneliti aliran air yang membawa organisme berkarbonat dan bersilikat, serta sinyal isotop d15N pada perangkap sedimen selama 1 tahun di daerah pelagis Namibia Upwelling, sekitar 29°LS, 13°BT dalam Sistem Benggala tengah. Aliran tersebut menunjukkan pola bimodal (berpuncak-dua) musiman dengan puncak-puncak utama pada musim panas, kemudian menurun menjadi sedang sampai rendah pada musim gugur dan musim semi. Fraksi kalsium karbonat mendominasi ekspor partikel sepanjang tahun, diikuti oleh fraksi litogenik dan opal biogenik. Plankton foraminifera dan coccolithophoridae merupakan komponen utama fraksi karbonat, sedang diatom dengan jelas mendominasi fraksi opal biogenik. Komposisi isotop d15N dalam partikel berkorelasi positif dengan total massa aliran selama musim panas dan musim gugur, sedang korelasi negatif terjadi selama musim dingin dan musim semi. Perubahan musiman dalam hal intensitas proses-proses oseanografi utama yang mempengaruhi daerah Namibia Upwelling bisa diduga berdasarkan variasi komponen yang terbawa dalam aliran air, dan berdasarkan pola keragaman spesies individual atau kelompok spesies. Pengaruh upwelling Namaqua (Hondeklip), berdasarkan migrasi filamen korofil lepas pantai, adalah lebih kuat pada musim panas, sedang aliran maksimum pada musim dingin tampaknya mencerminkan produksi di daerah itu, sementara upwelling di pesisir dan di paparan benua memberikan pengaruh yang lebih kecil. Pada basis tahunan, jenis mikroorganisme dominan sangat bersesuaian dengan flora dan fauna perairan tropis/sub tropis, dengan organisme dekat-pantai memberikan sumbangan sedikit. Keberadaan spesies yang bersamaan dengan berbagai daya tarik ekologi membuktikan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah peralihan dengan keragaman hidrografi yang besar selama jangka waktu yang singkat.

Bab VI
Dinamika Zat Hara di Estuaria


Sumber Zat Hara di Estuaria

Mann (1982) menyatakan bahwa perairan estuaria dicirikan oleh tingginya konsentrasi zat hara dan detritus tersuspensi, yang terutama berasal dari air selokan perkotaan. Estuaria menerima air dan materi biologis melalui mekanisme limpasan sungai, “tidal flushing” (penggelontoran air pasang-surut) dan upwelling. Upwelling membawa massa air yang dingin dan kaya zat hara dari bagian laut yang dalam menuju pantai. Masuknya air upwelling ke estuaria dapat menyebabkan pertukaran secara total massa air permukaan serentak dengan masuknya air dari sungai. Pada zona intertidal, dan di perairan dangkal tepat dibawahnya, terjadi pengendapan sedimen yang menyediakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan vegetasi rawa asin dan lamun (sea grass). Hal ini menyebabkan estuaria umumnya mempunyai daerah luas yang didominasi oleh makrofita, yang menyumbangkan produktivitas primer yang tinggi. Biasanya sejumlah besar zat hara beregenerasi dari permukaan sedimen di perairan dangkal. Karena itu pada estuaria air dasar sering lebih banyak mengandung zat hara daripada air permukaan. Singkatnya, estuaria dikenal sangat produktif dan bertindak sebagai perangkap zat hara. Selain itu, banyak estuaria disuburkan oleh masuknya limbah rumah tangga dan limbah pertanian.

Peran Migrasi Ikan Dalam Transpor Zat Hara dari Estuaria ke Laut Pesisir

Deegan (1993) mengevaluasi akumulasi biomas serta perubahan energi tubuh ikan dan komposisi zat hara (karbon, nitrogen dan fosfor) dalam hubungannya dengan pola migrasi ikan menhaden (Brevoortia patronus). Penelitian bertujuan untuk menentukan apakah transpor biotik oleh ikan merupakan sumber penting energi dan zat hara bagi ekosistem perairan laut pesisir. Ikan menhaden mentranspor banyak energi, karbon, nitrogen dan fosfor dari estuari Louisiana ke daerah dekat-pantai di Teluk Meksiko. Ekspor nitrogen dan fosfor adalah sama besar dengan yang diekspor secara pasif oleh gerakan air, namun dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi ikan dapat memainkan peranan penting dalam mengekspor produktivitas estuaria ke ekosistem laut pesisir.

Peranan Sedimen Dalam Dinamika Zat Hara di Estuaria

Callender dan Hammond (1982) menyatakan bahwa aliran amonia, fosfat, silika dan radon-222 dari sungai pasang-surut Potomac dan sedimen estuari dikendalikan oleh proses-proses yang terjadi pada bidang batas sedimen-air dan di dalam sedimen lapisan permukaan. Hasil hitungan aliran difusi berkisar antara 0,6 dan 6,5 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,020 dan 0,30 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 1,3 dan 3,8 mmol/m2/hari untuk silika. Hasil pengukuran secara in situ (di tempat) aliran zat hara ini berkisar antara 1 dan 21 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,1 dan 2,0 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 2 dan 19 mmol/m2/hari untuk silika. Rasio aliran in situ terhadap aliran difusi bervariasi antara 1,6 dan 5,2 di sungai pasang-surut, antara 2,0 dan 20 di zona peralihan dan dari 1,3 sampai 5,1 di estuaria bagian hilir. Besarnya peningkatan aliran dari sedimen zona peralihan disebabkan oleh migrasi makrofauna. Peningkatan aliran zat hara berkorelasi dengan peningkatan aliran radon, yang menunjukkan bahwa aliran ini mungkin berasal dari daerah umum dan bahwa zat hara diregenerasi di dalam lapisan sedimen teratas setebal 10 – 20 cm. Rendahnya aliran fosfat dari sedimen sungai pasang-surut menunjukkan bahwa sedimen dasar perairan mengendalikan aliran fosfor dengan cara penyerapan oleh besi oksihidroksida yang ada dalam sedimen. Pada sungai pasang-surut, aliran amonia dan fosfat di dasar perairan adalah setara dengan setengah dan sepertiga input zat hara pada instalasi pengolah air limbah Blue Plains. Pada sungai Potomac pasang-surut, regenerasi sedimen dasar perairan memasok banyak zat hara yang dimanfaatkan oleh produsen primer dalam kolom air selama bulan-bulan musim panas.

Pemasukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria

Magnien et al. (1991) mempelajari beban (kandungan) zat hara eksternal, kolam zat hara internal dan produksi fitoplankton di tiga subsistem utama estuaria Teluk Chesapeake, yaitu Mainstem hulu, estuaria Patuxent dan estuaria Potomac, selama tahun 1985 - 1989. Rasio atom nitrogen terhadap fosfor (TN : TP) dalam beban zat hara total di Mainstem, Patuxent dan Potomac adalah 51, 29 dan 35, berturut-turut. Sebagian besar beban zat hara yang memasuki kepala estuaria berasal dari sungai dan instalasi utama pengolah air limbah. Sekitar 7 – 16 % beban nitrogen masuk ke kepala estuaria sebagai partikel, bertolak belakang dengan fosfor yang sebesar 48 – 69 %. Perbedaan ini diduga menyebabkan fosfor lebih banyak yang hilang melalui sedimentasi dan penguburan. Proses ini penting untuk mengendalikan rasio nitrogen : fosfor di estuari agar lebih tinggi daripada nilai input. Rasio TN : TP kolom air pada zona buangan air sungai (air tawar), oligohalin (salinitas rendah) dan mesohalin (salinitas sedang) untuk setiap estuari berkisar dari 56 – 82 di Mainstem, 27 – 48 di Patuxent dan 72 – 126 di Potomac. Angin badai yang terjadi di daerah aliran sungai Potomac telah dibuktikan banyak meningkatkan fraksi partikel nitrogen dan fosfor serta menurunkan rasio TN : TP dalam air buangan sungai. Kandungan zat hara selama bulan timbulnya angin badai (November 1985) bertanggung jawab atas 11 % nitrogen dan 31 % fosfor yang dikirimkan ke estuaria ini oleh sungai Potomac selama seluruh periode penelitian 60 bulan.

Perilaku Fosfor dan Nitrogen di Estuaria Setelah Banjir

Eyre dan Twigg (1997) melakukan studi terhadap fosfor dan nitrogen dalam bentuk organik maupun anorganik, partikel maupun terlarut, serta sedimen tersuspensi, silika terlarut dan parameter-parameter fisika-kimia di estuaria sungai Richmond, New South Wales, setelah terjadinya banjir kecil. Pada kondisi banjir, konsentrasi zat hara adalah tinggi, tidak terjadi proses-proses di estuaria karena dilewati begitu saja, dan air tawar, sedimen serta zat hara dibuang langsung ke paparan benua. Estuaria dipulihkan oleh mengalirnya massa air asin (baji garam) sepanjang dasar perairan masuk ke sungai; estuaria kemudian mengalami perubahan stratifikasi massa air dari terstratifikasi agak kuat menjadi terstratifikasi sedang dan akhirnya menjadi sistem yang homogen secara vertikal. Waktu penggelontoran (flushing time) adalah pengendali dominan terhadap derajat proses internal zat hara, di mana kebanyakan zat hara yang dipasok sungai mengalami transformasi pada kondisi normal karena waktu penggelontorannya yang sangat lama. Fosfor anorganik terlarut tampaknya disingkirkan pada salinitas rendah karena melekat pada oksihidroksi koloid aluminium dan besi yang kemudian menggumpal dan mengendap. Pada salinitas tinggi, fosfor anorganik terlarut dilepaskan kembali akibat peningkatan pH yang tajam.

Eyre dan Twigg (1997) menambahkan bahwa silika dan nitrat terlarut mungkin diserap oleh fitoplankton, dan sebagian nitrat bisa juga disingkirkan dari air melalui denitrifikasi. Karena pasokan zat hara dari sungai mengandung nitrogen dalam jumlah terbatas (artinya, rasio nitrogen anorganik terlarut terhadap fosfor anorganik terlarut adalah rendah), maka produksi primer selama sebagian besar tahun tampaknya disokong oleh aliran amonium di dasar perairan yang dihasilkan oleh mineralisasi partikel nitrogen organik yang mengendap selama tahap pemulihan. Bila pasokan amonium di dasar perairan ini habis, nitrat asal-sungai menjadi sumber nitrogen yang penting. Juga tampaknya angin secara kontinyu mendorong terjadinya pengendapan dan pensuspensian kembali material dasar perairan pada saat massa air dangkal teraduk sempurna; fenomena ini sering terjadi selama kondisi normal. Model konsep tiga tahap ini (banjir, pemulihan, normal) mungkin lebih bisa diterapkan di estuaria Australia yang sangat bervariasi daripada di estuaria Eropa Barat dan Amerika Utara yang khas.

Hubungan Salinitas Dengan Nitrat, Silikat dan Fosfat di Estuaria

Morris et al. (1981) telah memperoleh rekaman autoanalitik kontinyu tentang distribusi nitrat, silikat dan fosfat terlarut dalam perairan asin estuaria Tamar, Inggris barat daya, dan dalam air sungai yang masuk estuaria tersebut. Variabilitas jangka pendek dalam hal distribusi dipelajari dengan cara membuat profil distribusi zat hara setiap selang waktu kira-kira 3 jam dalam sehari, sedangkan perbandingan musiman diperoleh dari 10 survei yang dilakukan antara Juni 1977 dan Agustus 1978. Sementara nitrat dipertahankan selalu ada di seluruh estuaria bagian hulu, hubungan salinitas dengan silikat dan fosfat selalu menunjukkan adanya penyingkiran kedua zat hara ini secara non biologis dalam kisaran salinitas yang rendah (0 – 10 %). Upaya untuk menghitung secara tepat derajat penyingkiran tersebut dan untuk mengkorelasikannya dengan perubahan faktor-faktor lingkungan (pH, kekeruhan, fluoresensi klorofil, salinitas, komposisi air tawar) gagal karena adanya fluktuasi jangka-pendek konsentrasi silikat dan fosfat dalam air sungai yang masuk ke estuaria dan karena cepatnya perubahan kekeruhan akibat pengendapan dan pensuspensian-kembali sedimen dasar perairan sebagai imbas dari pasang surut.

Bab VII
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau


Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau

van Liere et al. (1991) melaporkan bahwa Danau Loosdrecht di Belanda mengalami – akibat meningkatnya beban fosfor dari luar – perubahan dari danau yang jernih dengan sedikit makrofita, melalui periode waktu dengan pertumbuhan characea yang melimpah, menjadi danau keruh yang didominasi oleh cyanobakteri dan material detritus. Eutrofikasi diatasi dengan memanfaatkan sistem selokan dan mengurangi kandungan fosfor dari pasokan air. Pengurangan beban fosfor eksternal yang diakibatkan oleh tindakan tersebut tidak menyebabkan secara nyata penurunan kekeruhan oleh partikel tersuspensi. Hal ini bisa dikarenakan oleh tingginya beban fosfor internal, baik yang disumbangkan oleh sedimen maupun oleh ikan. Bagaimanapun, konsentrasi klorofil Danau Loosdrecht tidak meningkat lebih jauh. Konsentrasi maksimum fosfor total berkurang sebanyak kira-kira 10 % per tahun. Klorofil-a tidak terlihat memberikan reaksi yang nyata.

Siklus Zat-Zat Hara Pada Bidang Batas Sedimen-Air Di Danau

Lazzaretti et al. (1992) menganalisis fosfor, besi, mangan dan sulfur di dalam sampel air dari bidang batas sedimen-air yang dikumpulkan pada empat waktu yang secara musim berbeda dalam setahun di dua lokasi sampling di basin selatan Danau Lugano (Lago di Lugano). Hasilnya menunjukkan kuatnya pengaruh proses-proses biogeokimia di dalam sedimen terhadap komposisi kimia air di atas sedimen tersebut. Konsumsi oksigen dan nitrat pada kondisi oksik (oksigen cukup) sampai mikrooksik (oksigen sangat sedikit) dalam kolom air serta – akibatnya – pelepasan besi dan mangan tereduksi pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen) telah diamati sebagai akibat langsung atau tak langsung dari penguraian bahan organik oleh mikroba. Pola musiman untuk pelepasan dan penahanan mangan dan besi tereduksi terlarut berhubungan erat dengan proses serupa untuk fosfat terlarut. Siklus besi, mangan dan fosfor berhubungan erat di dalam sedimen. Kedua tipe sedimen bertindak sebagai penampung hidrogen sulfida dan sulfat. Siklus sulfur dalam-sedimen diduga melengkapi siklus besi, mangan dan fosfor dengan menguraikan bahan organik. Siklus zat hara pada bidang batas sedimen-air dengan demikian dikendalikan oleh mekanisme “pompa ion” yang diatur oleh mikroba.

Siklus Karbonat – Karbon Dioksida Di Danau

Welch (1952) menyatakan bahwa beberapa proses kimia di danau secara otomatis merampas, untuk sementara atau selamanya, dua komponen penting dari air danau, yaitu kalsium (dan sampai beberapa kisaran, magnesium) dan karbon dioksida. Penyingkiran karbon dioksida dari air danau dalam bentuk karbonat tak terlarut adalah bersifat sementara hanya bila endapan karbonat tetap bersentuhan langsung dengan air di atasnya dan bila periode produksi karbon dioksida bebas memungkinkan proses pengubahan monokarbonat menjadi bikarbonat terlarut, sehingga bisa mengembalikannya ke dalam air. Sirkulasi karbon dioksida ini jauh lebih rumit di perairan dangkal di mana gerakan air bisa mendistribusikan kembali bikarbonat terlarut; tetapi di daerah-daerah yang dalam bikarbonat hasil proses pengubahan tersebut hanya bisa didistribusikan oleh difusi yang sangat lambat dan oleh gerakan air yang begitu lemah dan sering tak berarti sebagaimana yang terjadi di daerah hipolimnion, sehingga sirkulasi yang efektif harus menunggu terjadinya overturn (pembalikan massa air danau).

Penurunan Kesuburan Danau Akibat Pengendapan Kalsium Karbonat

Welch (1952) menyatakan bahwa penyingkiran secara permanen sejumlah besar kalsium dan karbon dioksida yang terikat dalam bentuk monokarbonat terjadi bila keadaannya sedemikian hinga endapan zat-zat hara tersebut tertutup oleh sedimen lain dan tidak bisa bersentuhan langsung dengan lapisan air di atasnya. Berbagai proses sedimentasi bisa mengubur endapan kalsium karbonat secara permanen. Sampel sedimen yang diambil secara vertikal sering menunjukkan endapan kalsium karbonat yang berlapis-lapis di dasar danau. Metode sampling vertikal yang sama menunjukkan adanya endapan kalsium karbonat yang terkubur di dalam danau-rawa dan basin lain yang mengalami sedimentasi dengan cepat. Bahkan pengadukan dasar danau yang biasa terjadi sudah cukup untuk menyebabkan material dasar tersebut kemudian menutupi endapan kalsium karbonat sehingga menghalanginya bersentuhan dengan air. Masuknya air sungai ke danau yang membawa tanah liat pada saat hujan deras atau pada saat mencairnya salju musim semi menyebabkan tanah liat yang sulit ditembus air itu mengendap ke dasar danau dan menutupi endapan kalsium karbonat yang telah terbentuk sebelumnya. Penyingkiran kalsium yang berikatan dengan karbon dioksida dan penyingkiran magnesium yang berikatan dengan karbon dioksida yang terjadi terus-menerus ini menunjukkan dengan jelas pentingnya mengganti zat-zat hara tersebut guna mempertahankan produktivitas (kesuburan) danau. Hamparan endapan kalsium karbonat di bawah permukaan tanah di belakang tepi danau merupakan saksi bisu bahwa tempat itu dulu merupakan bekas danau yang kehilangan zat-zat hara pentingnya. Bila laju penyingkiran zat-zat hara tersebut melebihi laju penggantiannya maka produktivitas danau mulai berkurang meskipun ada proses-proses lain yang meningkatkan ketersediaan zat-zat hara jenis lainnya; dan sekarang danau seperti ini bisa menjadi salah satu danau gersang yang ketiadaan mahluk hidupnya sangat menarik perhatian.

Pengaruh Diatom Terhadap Distribusi Seng dan Tembaga Dalam Air Danau

Reynolds and Hamilton-Taylor (1992) mengukur konsentrasi seng (Zn) dan tembaga (Cu) terlarut bersama dengan biomas (jumlah alga, karbon organik dan klorofil-a) serta zat hara mikro (fosfor dan silika) selama periode 8 minggu, di mana dalam periode waktu tesebut terjadi ledakan populasi diatom Asterionella. Distribusi seng terlarut tampaknya dipengaruhi oleh siklus alga. Dalam periode ketika diatom mencapai maksimum, konsentrasi seng terlarut berkorelasi (P < 0,01) secara positif dengan konsentrasi fosfat dan silikat, yang menunjukkan rasio atom karbon : fosfor : seng sebesar 1,06 : 1 : 0,034, dan berkorelasi negatif dengan konsentrasi klorofil-a. Setelah terbentuk stratifikasi, konsentrasinya di epilimnion (lapisan atas air danau) secara nyata (P < 0,01) lebih sedikit daripada di hipolimnion (lapisan bawah air danau). Distribusi tembaga terlarut tidak dipengaruhi oleh ledakan populasi diatom musim semi. Seng disingkirkan dari air danau dan masuk ke sedimen bersama fitoplankton yang mati dan mengendap ke dasar danau, tetapi efek proses ini terhadap siklus tembaga bisa diabaikan.

Referensi :


Armstrong, F.A.J. and W.R.G. Atkins. 1950. The Suspended Matter of Sea Water. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom, Vol. 29, Issue 01, pp. 139 - 143

Barica, J. 1973. Changes in Water Chemistry Accompanying Summer Fish Kills in Shallow Eutrophic Lakes of Southwest Manitoba. Proceedings of The Symposium on The Lakes of Western Canada, 1973, Edmonton, Ontario, pp. 228 - 242

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Callender, E. and D. E. Hammond. 1982. Nutrient Exchange Across The Sediment-Water Interface in The Potomac River Estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science, Vol. 15, Issue 4, pp. 395 – 413

Cole, G.A. 1994. Textbook of Limnology. Waveland Press, Inc. Illinois. 412 pp.

Correll, D.L., T.E. Jordan and D.E. Weller. 1991. Nutrient Flux in a Landscape : Effects of Coastal Land Use and Terrestrial Community Mossaic on Nutrient Transport to Coastal Waters. Couplings Between Watersheds and Coastal Waters. Fifth International Congress of Ecology (Intecol), pp. 431 - 442

Deegan, L.A. 1993. Nutrient and Energy Transport Between Estuaries and Coastal Marine Ecosystems by Fish Migration. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol.50, No. 1, pp. 74 – 79

Eyre, B. and C. Twigg. 1997. Nutrient Behaviour During Post-Flood Recovery of the Richmond River Estuary, Northern NSW, Australia. Estuarine, Coastal and Shelf Science, Vol. 44, Issue 3, pp. 311 – 326

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries .1999. Our Inland Wetlands. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 23 pp.

Gopinathan, C.P. and J.X. Rodrigo. 1988. Investigations on Primary Production and Related Parameters in The Inshore Waters of Tuticorin. Journal of Marine Biological Association of India, Vol. 33, No. 1 – 2, pp. 33 – 39, ISSN 0025-3146

Kraft, C.E. 1992. Estimates of Phosphorus and Nitrogen Cycling by Fish Using a Bioenergetics Approach. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 49, No. 12, pp. 2596 - 2604

Lazzaretti, M.A., K.W. Hanselmann, H. Bandi, D. Span and R. Bachofen. 1992. The Role of Sediments in The Phosphorus Cycle in Lake Lugano. 2. Seasonal and Spatial Variability of Microbiological Processes At The Sediment-Water Interface. Aquatic Science, Vol. 54, no. 3 – 4, pp. 285 - 299

Liss, P.S. and C.P. Spencer, 1970. Abiological Processes in The Removal of Silicate From Sea Water. Geochimica et Cosmochimica Acta, Vol. 34, Issue 10, pp. 1073–1088

Ludwig, B. and G. Gale. 1991. Evaluation of Two Methods for Oxygenating Hatchery Water Supplies. Fisheries Bioengineering Symposium, no. 10, pp. 437 -444

Magnien, R.E., R.M. Summers and K.G. Sellner. 1991. External Nutrient Sources, Internal Nutrient Pools, and Phytoplankton Production in Chesapeake Bay. Estuaries, Vol. 15, No.4, pp. 497 - 516

Mann, K.H. 1982. Ecology of Coastal Waters. A System Approach. University of California Press. Los Angeles. 722 pp.

Morris, A.W., A.J. Bale and R.J.M. Howland. 1981. Nutrient Distributions in An Estuary : Evidence of Chemical Precipitation of Dissolved Silicate and Phosphate. Estuarine, Coastal and Shelf Science, Vol. 12, Issue 2, pp. 205 – 216

Mowka, E.J., Jr. 2009. The Sea Water Manual. Fundamentals of Water Chemistry for Marine Aquarists. United Pet Group, Inc. Cincinnati. 26 pp.

Mulholland, P.J. 1992. Regulation of Nutrient Concentrations in a Temperate Forest Stream : Roles of Upland, Riparian, and Instream Processes. Limnology and Oceanography, Vol. 37, No. 7, pp. 1512 - 1526

Prego, R. and R. Bao. 1997. Upwelling Influence on The Galician Coast: Silicate in Shelf Water and Underlying Surface Sediments, Continental Shelf Research, Vol. 17, Issue 3, pp. 307–318

Reynolds, G.L. and J. Hamilton-Taylor. 1992. The Role of Planktonic Algae in The Cycling of Zn and Cu in A Productive Soft-Water Lake. Limnology and Oceanography, vol. 37, no. 8, pp. 1759 – 1769, ISSN 0024-3590

Romero, O., B. Boeckel, B. Donner, G. Lavik, G. Fischer and G. Wefer. 2002. Seasonal Productivity Dynamics in The Pelagic Central Benguela System Inferred From The Flux of Carbonate and Silicate Organisms, Journal of Marine Systems, Vol. 37, Issue 4, pp. 259–278

Selvam, V., J. Azariah and H. Azariah. 1992. Diurnal Variation in Physical-Chemical Properties and Primary Production in The Interconnected Marine. Mangrove and Freshwater Biotopes of Kakinada Coast, Andhra Pradesh, India. Hydrobiologia, Vol. 247, No. 1-3, pp. 181 - 186

Taghon, G.L. and R.R. Greene. 1992. Utilization of Deposited and Suspended Particulate Matter by Benthic “Interface” Feeders. Limnology and Oceanography, Vol. 37, No. 7, pp. 1370 - 1391

Van Liere, L., J. Ebert, W. Kats and J.-J. Buyse. 1991. The Water Quality in The Loosdrecht Lakes Reviewed. MEM.IST.ITAL.IDROBIOL., vol. 48, pp. 219 – 232

Welch, P.S. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Co., Inc. New York. 538 pp.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar