Minggu, 03 Juni 2018

Bioekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut


Daftar Isi



Bab I. Komunitas, Ekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut

- Persilangan Laminaria dari Atlantik Utara dan Selatan
- Asosiasi Lamun dan Rumput Laut di Teluk
- Pola Penimbunan Logam Berat Pada Rumput Laut
- Rumput Laut Budidaya
- Pemanfaatan Rumput Laut

Bab II. Aspek Ekologi dan Pemanfaatan Kandungan Kimia Dalam Rumput Laut

- Kandungan Protein Dalam Rumput Laut
- Variasi Geografis Kandungan Protein Dalam Rumput Laut
- Variasi Musiman Biomas, Kadar Algin dan Manitol Pada Rumput Laut
- Pemanfaatan Rumput Laut Untuk Pupuk dan Pestisida
- Tepung Rumput Laut Sebagai Agen Pengikat Pakan dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan

Bab III. Agar-Agar Rumput Laut

- Pengaruh Lokasi Geografi Asal Rumput Laut dan Perlakuan Basa (NaOH) Terhadap Sifat Agar-Agar
- Meningkatkan Hasil dan Kualitas Agar-Agar Dengan Penyimpanan di Tempat Gelap
- Pengaruh Lama Ekstraksi Terhadap Sifat Reologis Agar-Agar dari Gracilaria
- Pengaruh Kapur dan Larutan Basa Terhadap Hasil dan Sifat Agar-Agar Gracilariopsis
- Pengaruh Perlakuan Basa Terhadap Sifat Agar-Agar Dari Gelidium
- Stabilitas Agar-Agar Dari Gracilaria eucheumatoides Selama Penyimpanan
- Memperbaiki Kualitas Agar-Agar Dari Alga Merah, Pterocladia
- Karakteristik Agar-Agar dari Ceramiales : Laurencia


Referensi

Bab I
Komunitas, Ekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut


Persilangan Laminaria dari Atlantik Utara dan Selatan

Percobaan hibridisasi antara tujuh spesies Laminaria Atlantik utara dan selatan telah dilakukan oleh Dieck dan Oliveira (1993). Sporofit F1 yang secara morfologi normal telah dihasilkan dari persilangan antara spesies-spesies Altantik selatan berikut ini : Laminaria pallida x Laminaria schinzii, Laminaria pallida x Laminaria abyssalis dan Laminaria schinzii x Laminaria abyssalis. Sporofit F1 normal juga diperoleh dari persilangan berikut : Laminaria digitata (Atlantik utara) x Laminaria pallida (Atlantik selatan) dan Laminaria digitata (Atlantik utara) x Laminaria abyssalis (Atlantik selatan). Hibrida antara Laminaria ochroleuca (Atlantik utara) dan Laminaria pallida, Laminaria schinzii dan Laminaria abyssalis (semuanya dari Atlantik selatan) dan antara Laminaria digitata (Atlantik utara) dan Laminaria schinzzii (Atlantik selatan) semula berkembang sebagai sporofit normal tetapi kemudian menjadi cacat dan perkembangan selanjutnya terhambat. Tidak ada hybrid yang dihasilkan dari persilangan antara Laminaria saccharin (Atlantik timur laut) dan Laminaria abyssalis (dari Brazil).

Asosiasi Lamun dan Rumput Laut di Teluk

Coppejans et al. (1992) mempelajari komunitas lamun (seagrass) dan vegetasi rumput laut (makroalga) di Teluk Gazi, sekitar 30 km selatan Mombasa, Kenya, pada 88 stasiun sepanjang 7 transek. Hubungan antara distribusi lamun dan beberapa faktor abiotik (ukuran partikel, komposisi kimia substrat) tidak cukup jelas. Namun, zonasi umum dan suksesi lamun tampak nyata : sebuah zona peralihan antara hutan bakau dan hamparan lamun ditutupi oleh Boodleopsis pusilla; asosiasi perintis Halophila ovalis + Halodule wrightii tumbuh di bagian berpasir pada batas atas hamparan lamun, juga terdapat di seluruh daerah pertengahan litoral di mana lapisan-lapisan pasir baru saja ditimbun (misal pada hamparan karang); vegetasi klimaks di zona intertidal tampaknya adalah Thalassia hemprichii yang kadang-kadang berasosiasi dengan Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata, tentunya di kolam yang lebih dalam dan dekat dengan garis air rendah; Halimeda opuntia, Gracilaria salicornia dan Gracilaria corticata juga sering ada pada tipe vegetasi ini; dari garis air pasang ke bawah juga ada kelompok-kelompok vegetasi mono spesies Enhalus acoroides; dari garis air rendah rata-rata ke bawah sampai -1 meter terdapat vegetasi campuran Thalassia, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Halodule uninervis yang berkembang dengan baik; rumput laut Halimeda macroloba dan Avrainvillea obscura juga khas di zona ini; kelompok-kelompok lokal Syringodium isoetifolium tumbuh subur dan Halophila stipulacea tumbuh sebagai vegetasi perintis di pasir yang kosong; dari -1 ke bawah seluruh laguna ditutupi oleh semak homogen, mono spesies Thalassodendron ciliatum, yang secara lokal diganti oleh Enhalus acoroides.

Pola Penimbunan Logam Berat Pada Rumput Laut

Murugadas et al. (1995) melaporkan bahwa rumput laut yang dikumpulkan dari perairan Malaysia menimbun logam berat secara biologis sampai kadar yang tinggi. Tujuh spesies, yaitu Chaetomorpha linum, Padina tetrastomatica, Sargassum baccularia, Sargassum siliquosum, Gracilaria changii, Gracilaria edulis dan Gracilaria salicornia, digunakan dalam studi statis untuk mempelajari pola penimbunan logam berat pada rumput laut. Hal ini dilakukan dengan merendam rumput laut di dalam air laut dengan satu kisaran konsentrasi logam dan kemudian menentukan kandungan logamnya, selama periode pemaparan 24 jam. Lima pola penimbunan logam telah diamati dalam penelitian ini : Pola (1) Penyerapan awal yang cepat, diikuti penimbunan bertahap hingga 24 jam; (2) Pola penimbunan bertahap yang kontinyu selama seluruh periode 24 jam; (3) Penyerapan awal yang cepat, diikuti oleh suatu pola pelepasan-penyerapan sebelum konsentrasinya mencapai stabil atau penimbunan yang kontinyu hingga 24 jam; (4) Pola penyerapan-pelepasan yang bergantian selama 24 jam; (5) Pola penimbunan awal neto, diikuti pembuangan yang kontinyu dan teratur hingga 24 jam.

Rumput Laut Budidaya

Kang (1981) dalam Dogma et al. (1990) melaporkan bahwa rumput laut dari stok alami maupun dari akuakultur telah banyak dimanfaatkan di Korea sejak lama. Porphyra pertama kali dibudidayakan 360 tahun yang lalu. Budidaya Undaria pinnatifida telah diperkenalkan sejak 10 tahun yang lalu. Laminaria spp. juga diperkenalkan melalui metode kultur buatan. Laminaria religiosa ditanam di hampatan alami sepanjang pertengahan pesisir timur setelah pembudidayaan spesies ini mulai dilakukan. Saat ini, produksi Undaria pinnatifida dari pertanian adalah jauh lebih banyak daripada hasil panen alami. Spesies Porphyra yang paling banyak dibudidayakan adalah Porphyra yezoensis, tetapi Porphyra tenera juga dibudidayakan di beberapa daerah. Setelah Conchocelis berhasil ditumbuhkan, metode pembenihan buatan menjadi lebih terkenal. Produksi Porphyra budidaya adalah 34.025 mt pada tahun 1980; Undaria pinnatifida 153.333 mt pada tahun 1979; Laminaria 5.192 mt pada tahun 1979.

Pemanfaatan Rumput Laut

Dhargalkar dan Pereira (2005) menyatakan bahwa arti penting rumput laut untuk konsumsi manusia telah dikenal baik sejak tahun 300 Sebelum Masehi di Cina dan Jepang. Kedua negara ini merupakan pembudidaya, produsen dan konsumen utama rumput laut di dunia. Di wilayah Samudra Hindia seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Korea, dll., rumput laut digunakan dalam salad, agar-agar, sup dan lain-lain. Di India, bagaimanapun, konsumsi rumput laut bisa diabaikan kecuali dalam pembuatan bubur dari Gracilaria sp. dan Acanthophora sp. di daerah-daerah pesisir Kerala dan Tamil Nadu. Tiga jenis koloid komersial utama asal-tumbuhan yang diekstrak dari rumput laut adalah agar-agar dan karaginan yang berasal dari alga merah seperti Gelidiella, Gracilaria, Chondrus, Hypnea dan lain-lain serta alginat dari alga coklat seperti Ascophyllum, Laminaria, Turbinaria, Sargassum. Ketiga jenis produk tersebut sulit disintesis secara buatan karena besarnya penghalang kimiawi dan karena itu untuk produk komersial penting tersebut kita bergantung pada sumber daya rumput laut. Rumput laut juga bisa diubah menjadi tepung untuk digunakan sebagai pelengkap pakan ternak, unggas dan sebagainya. Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa tepung rumput laut meningkatkan kesuburan dan tingkat kelahiran binatang serta memperbaiki warna kuning pada telur. Tepung yang dibuat dari Gracilaria, Gelidiella, Hypnea dan Sargassum dipakai untuk membuat pakan ikan dan udang; pakan tersebut membantu mempertahankan kualitas air dalam akuakultur dan lebih disukai ikan serta kaya akan mineral, asam amino dan karbohidrat. Selain digunakan sebagai pakan, rumput laut juga dimanfaatkan dalam pemurnian air karena ia dapat mendaur ulang air yang tercemar limbah ikan dalam akuakultur.

Dhargalkar dan Pereira (2005) menambahkan bahwa banyaknya kandungan kalium, nitrogen, hormon perangsang pertumbuhan, mikronutrien, asam humus dan lain-lain di dalam rumput laut membuatnya menjadi pupuk yang istimewa. Tidak seperti pupuk kimia, pupuk yang berasal dari rumput laut (Fucus,Laminaria, Ascophyllum, Sargassum dsb.) bersifat dapat-duraikan secara biologis, tak beracun, tidak mencemari dan tidak berbahaya bagi manusia, binatang serta burung. Pupuk kimia bisa menurunkan kesuburan tanah dengan membuatnya menjadi asam sehingga tidak cocok untuk meningkatkan hasil panen. Petani di seluruh dunia sekarang beralih ke pupuk organik. Pupuk dari rumput laut selain meningkatkan kesuburan tanah juga meningkatkan kapasitas menampung-air serta memasok trace elemen logam sehingga memperbaiki struktur tanah. Hal ini menjelaskan luasnya penggunaan pupuk rumput laut di sepanjang daerah pesisir.

Bab II
Aspek Ekologi dan Pemanfaatan Kandungan Kimia Dalam Rumput Laut


Kandungan Protein Dalam Rumput Laut

Walford dan Wilber (1955) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai kandungan protein dalam rumput laut. Penggunaan rumput laut sebagai sumber unsur kimia yang dibutuhkan manusia bukanlah hal baru. Praktek ini telah lama dilakukan sejak awal abad delapan belas. Dilaporkan bahwa asam-asam amino utama yang ditemukan dalam rumput laut Laminaria saccharina, Laminaria cloustoni, Ascophyllum nodosum dan Pelvetia canaliculata adalah sebagai berikut : asam aspartat, asam glutamat, glisin, alanin, valin, leusin, isoleusin. Pada spesies-spesies rumput laut tersebut juga ditemukan dalam jumlah sedang asam amino serin, treonin, prolin, fenilalanin dan lisin serta dalam jumlah sangat sedikit sekali asam amino arginin. Berdasarkan berat kering, spesies-spesies tersebut mengandung rata-rata 6,3 % peptida dan protein. “Daun” alga Laminaria mengandung sebanyak 14 % (berdasar berat kering) protein kasar di perairan Skotlandia pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Fucus vesiculosus ditemukan mengandung asam-asam amino berikut : glisin, alfa-alanin, tirosin, serin, treonin, sistin, metionin, arginin, lisin, prolin, histidin, asam aspartat, asam glutamat, valin, leusin, isoleusin dan fenilalanin. Pada spesies ini hidroksiprolin ditemukan bersama dengan ninhidrin, tetapi triptofan tidak pernah dijumpai. Kandungan protein pada Fucus vesiculosus bervariasi sesuai dengan musim dalam setahun dari 4 % sampai 14 %.

Variasi Geografis Kandungan Protein Dalam Rumput Laut

Walford dan Wilber (1955), berdasarkan laporan beberapa peneliti, menyimpulkan bahwa lokasi pengumpulan alga (rumput laut) tampaknya mempengaruhi kadar proteinnya. Alga dari laut terbuka mengandung nitrogen organik dalam jumlah lebih besar daripada yang dikumpulkan di perairan yang terlindung atau tempat di antara keduanya. Tepung rumput laut dari Denmark mempunyai kadar protein kasar sekitar 13 %, dibandingkan dengan yang dari perairan Skotlandia (11 %) atau Norwegia (7 %). Di Jepang, Laminaria dari daerah Horotzumi mengandung sekitar 6,4 % protein (berat kering), sedangkan Laminaria dari daerah Mitsuishi 8 %. Variasi serupa dalam hal kandungan alga di sepanjang pesisir California juga telah diketahui.

Variasi Musiman Biomas, Kadar Algin dan Manitol Pada Rumput Laut

Kalimuthu et al. (1991) melakukan penelitian dari bulan September 1985 sampai Agustus 1986 mengenai “standing crop” (panenan tetap), kadar algin dan manitol dari tiga spesies alga coklat Colpomenia sinuosa, Hydroclathrus clathratus dan Rosenvingea intricata yang tumbuh di Pulau Shingle dan Kilakkarai dekat Mandapam, India. Rumput laut spesies-spesies ini ditemukan antara bulan September dan Maret dengan biomas tumbuhan maksimum pada bulan Desember sampai Februari. Standing crop bervariasi dari 0,814 sampai 4,250 kg berat/m2 untuk Colpomenia sinuosa, 1,823 sampai 4,971 kg berat/m2 untuk Hydroclathrus clathratus dan 3,309 sampai 12,024 kg berat/m2 untuk Rosenvingea intricata dan kadar algin berkisar dari 4,7 sampai 14,1 %, 7,5 sampai 14,7 % dan 10,4 sampai 20,5 % berturut-turut dengan nilai-nilai maksimum selama Desember sampai Februari. Kadar manitol bervariasi dari 0,5 sampai 2,2 % dalam rumput-rumput laut ini. Tidak ada variasi musiman yang menyolok dalam hal hasil algin dan manitol pada ketiga jenis alga tersebut. Periode dari Desember sampai Februari adalah cocok untuk memanen tumbuhan penghasil algin ini guna memproduksi natrium alginat.

Pemanfaatan Rumput Laut Untuk Pupuk dan Pestisida

Crouch dan Van Staden (1993) melaporkan bahwa pekatan rumput laut, yang dibuat dari alga Ecklonia maxima, bila diberikan sebagai obat tanah ke benih tomat, secara nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman tersebut dan menurunkan serangan Meloidogyne incognita. Pekatan rumput laut yang diberikan ke daun tomat berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan tanaman dan meningkatkan jumlah bisul nematoda. Pekatan rumput laut mengurangi efek menghambat terhadap serangan hama nematoda penyebab bisul-akar pada akar-terpotong tomat yang mudah terserang. Pemberian pekatan rumut laut dengan konsentrasi sama ke tanaman yang kebal-nematoda meningkatkan jumlah masa telur hama ini.

Tepung Rumput Laut Sebagai Agen Pengikat Pakan dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan

Hashim dan Mat Saat (1992) mengevaluasi empat spesies rumput laut lokal (Ulva spp., Sargassum spp., Polycavernosa spp. dan Gracilaria spp.) dan karaginan sebagai agen pengikat pada pakan pelet untuk anak ikan gabus (Channa striatus) selama periode 8 minggu. Lima pakan isonitrogen (berkadar nitrogen sama) telah disiapkan yang mengandung 5 % agen pengikat ditambah 5 % tepung gandum. Pakan kontrol mengandung 10 % tepung gandum. Pakan berbasis karaginan memiliki stabilitas air terbaik sedangkan pakan kontrol yang hanya mengandung tepung gandum memiliki kestabilan terburuk setelah 60 menit. Laju pertumbuhan dan nilai efisiensi pakan terbaik telah diamati untuk ikan yang diberi pakan karaginan-tepung gandum. Di antara jenis-jenis rumput laut yang diuji, tepung Ulva spp. memiliki kestabilan terbaik serta memberikan laju pertumbuhan relatif dan nilai efisiensi pakan tertinggi. Kelangsungan hidup anak ikan tertinggi ditemukan untuk kelompok yang diberi pakan berbasis karaginan sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah pada kelompok yang diberi pakan tepung Sargassum spp.

Bab III
Agar-Agar Rumput Laut


Pengaruh Lokasi Geografi Asal Rumput Laut dan Perlakuan Basa (NaOH) Terhadap Sifat Agar-Agar

Rebello et al. (1997) menyatakan bahwa sumber agar-agar pertama di dunia adalah Gelidium dari Jepang pada abad ke-17, tetapi pada awal abad ke-20 permintaan koloid-tumbuhan meningkat melebihi pasokan alga ini. Sejak itu Gracilaria memegang peranan penting dalam produksi agar-agar. Walaupun Gracilaria diketahui menghasilkan gel yang lemah, penggunaan hidrolisis-basa meningkatkan kekuatan gel, sehingga memungkinkan pembuatan agar-agar berkualitas bagus dari alga ini untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan lain-lain. Sifat fisik dan tekstur gel agar-agar merupakan faktor penting yang menentukan penerapannya terutama untuk industri makanan.

Rebello et al. (1997) mengumpulkan enam spesies Gracilaria ekonomis penting dari beberapa sumber komersial di dunia, dan Gracilariopsis lemaneiformis dari dua lokasi di Jepang. Kedua jenis rumput laut ini digunakan sebagai sumber bahan mentah untuk mengevaluasi kualitas agar-agar. Agar-agar diekstraksi menggunakan perlakuan pendahuluan dengan berbagai konsentrasi NaOH (0%, 3%, 5%, 7%, 10%) dan diinkubasikan pada suhu 80 oC selama 2 jam. Hasil agar-agar, kekentalan, dinamika peng-gel-an dan titik lebur serta tekstur gel ditentukan untuk gel agar-agar 1,5 %. Hasil agar-agar terbanyak diperoleh dari Gracilaria gracilis asal Argentina (39,5 %), sedang terendah dari G. gracilis asal Brazil (13,37 %). Suhu dinamika peng-gel-an adalah tertinggi pada agar-agar dari Gracilaria gracilis asal Turki (59 oC) dan terendah pada agar-agar dari Gracilaria edulis asal Indonesia yang diberi perlakuan non-basa (46 oC). Suhu titik lebur berkisar dari 96 oC untuk agar-agar dari Gracilariopsis asal Jepang dan G. chilensis asal Cili sampai 69 oC untuk agar-agar dari Gracilaria edulis asal Indonesia.

Secara umum, semua spesies menghasilkan agar-agar dengan kekuatan gel besar setelah perlakuan dengan 5 % NaOH, kecuali untuk G. chilensis dan dua spesies Gracilariopsis, yang menghasilkan agar-agar dengan kekuatan gel besar setelah perlakuan dengan 3, 7 dan 10 % NaOH. Kekuatan gel terbesar (2056 ± 13,6 per cm2) dan gel terkeras (261 ± 19,89 gram per mm2) diperoleh dari G. lemaneiformis asal Jepang (Oita Prefecture) setelah perlakuan dengan 7 dan 10 % NaOH, berturut-turut. Kekuatan gel terkecil (351 ± 93 per cm2) diperoleh dari G. gracilis asal Brazil setelah perlakuan dengan 3 % NaOH. Gel paling lunak (66,31 ± 9,63 gram per mm2) diperoleh dari G. tenuistipitata asal Cina, setelah perlakuan dengan 3 % NaOH. Gel paling fleksibel (11,62 ± 0,31 gram per mm2 x 102) diperoleh dari G. chilensis asal Chili setelah perlakuan dengan 3 % NaOH (Rebello et al., 1997).

Meningkatkan Hasil dan Kualitas Agar-Agar Dengan Penyimpanan di Tempat Gelap

Menurut Rincones et al. (1993) sintesis, hasil dan sifat kimia agar-agar dipengaruhi oleh beberapa faktor yang memodifikasi fisiologi alga. Komposisi agar-agar Gracilaria bergantung pada spesiesnya, sedangkan komposisinya di dalam spesies itu sendiri dipengaruhi oleh musim serta kondisi kultur. Pada studi budidaya Gracilaria dalam tangki, komposisi agar-agar juga bervariasi sesuai dengan kondisi kultur dan zat-zat hara.

Rincones et al. (1993) mempelajari pengaruh kegelapan dan amonia terhadap hasil dan kualitas agar-agar Gracilariopsis lemaneiformis. Rumput laut ini dibudidayakan pada kondisi terkendali di laboratorium dan dipupuk dengan amonia sebelum penyimpanan satu bulan pada kondisi gelap. Butir-butir kanji diketahui mengganggu sifat mekanis agar-agar. Kandungan kanji dalam jaringan alga dan aktivitas fosforilase kanji florida serta α-glukosidase diukur selama periode penyimpanan ini sebagai cara untuk mengikuti proses penguraian kanji dalam kondisi tidak ada cahaya, dan untuk mengetahui pengaruh kegelapan terhadap kandungan dan kualitas agar-agar yang disintesis. Agar-agar yang dihasilkan, kekuatan gel, kandungan 3,6-anhidrogalaktosa, sulfat dan kanji banyak dipengaruhi oleh perlakuan gelap tersebut. Nilai yang diperoleh mencerminkan pola optimisasi kualitas agar-agar ketika Gracilariopsis lemaneiformis disimpan di tempat gelap. Agar-agar yang diisolasi setelah perlakuan gelap adalah lebih sedikit tercemar oleh butiran kanji. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan hasil dan kualitas agar-agar, status nutrisi tanaman dan penurunan kadar kanji.

Pengaruh Lama Ekstraksi Terhadap Sifat Reologis Agar-Agar dari Gracilaria

Hurtado-Ponce (1992 a) menentukan pengaruh lama ekstraksi terhadap hasil bersih anhidra (tanpa air), sifat-sifat reologis (perubahan bentuk dan arus materi), dinamika pembentukan gel dan suhu titik lebur 1,5 % agar-agar dari enam spesies Gracilaria dan satu spesies Gracilariopsis yang dikumpulkan dari Filipina. Hasil agar-agar terendah diperoleh dari Gracilaria gverrucosah (10,1 %) bahkan setelah diekstraksi selama 120 menit, sedangkan hasil terbanyak didapat dari Gracilaria coronopifolia setelah diekstraksi selama 30 menit (23,5 %) maupun selama 60 menit (26,1 %) dan Gracilaria eucheumoides setelah diekstraksi selama 120 menit (27,3 %). Ekstraksi selama 60 menit terhadap Gracilariopsis heteroclada menghasilkan gel dengan kekuatan pecah tertinggi (1013 g), daya kohesi maksimum (7,4 mm), energi pemecahan terbesar (7481 g mm), dan paling kaku (137,3 g/mm). Gracilaria blodgettii menghasilkan gel paling lemah dalam uji ini. Suhu pembentukan gel dinamis paling rendah untuk Gracilaria blodgettii pada 60 menit (28 oC) dan tertinggi untuk Gracilaria edulis pada lama ekstraksi 120 menit (46,3 oC). Suhu titik lebur paling rendah pada lama ekstraksi 30 menit untuk Gracilaria salicornia (58,0 oC) dan paling tinggi pada lama ekstraksi 30 menit untuk Gracilaria edulis (95,0 oC). Ada efek interaksi yang kuat antara spesies, lama ekstraksi dan sifat-sifat reologis, tetapi tidak ada interaksi antara spesies, lama ekstraksi dan suhu. Setiap spesies menunjukkan sifat-sifat reologis yang baik pada lama ekstraksi yang spesifik.

Pengaruh Kapur dan Larutan Basa Terhadap Hasil dan Sifat Agar-Agar Gracilariopsis

Hurtado-Ponce (1992 b) mengamati sifat-sifat reologis pada 1,5 % gel agar-agar dari Gracilariopsis heteroclada yang ditangani dengan bubuk kapur komersial (CaCO3) selama penjemuran, dan kombinasi dua larutan basa selama pemanasan dalam media air di laboratorium. Semua sampel diberi perlakuan pemanasan selama satu atau tiga jam sebelum diekstraksi. Hasil agar-agar yang sedikit lebih banyak diperoleh dari sampel yang ditangani dengan kapur ketika penjemuran (2,9 - 4,5 %) dibandingkan dari rumput laut yang ditangani dengan larutan basa di laboratorium, yang hasilnya hanya 2,1 - 3,8 %. Sifat-sifat reologis (kekuatan pecah, daya kohesi, energi pemecahan dan kekakuan) dan sifat-sifat fisik (dynamic gelling dan suhu titik lebur) yang lebih baik diperoleh dari rumput laut yang ditangani di laboratorium setelah perlakuan 3 jam. Tak ada pengaruh lokasi pengumpulan, perlakuan basa dan lama penanganan terhadap hasil agar-agar yang diamati. Bagaimanapun, lokasi pengumpulan, perlakuan basa dan lama penanganan memberikan pengaruh nyata (P ≤ 0,01) terhadap sifat reologis, peng-gel-an dan suhu titik lebur.

Pengaruh Perlakuan Basa Terhadap Sifat Agar-Agar Dari Gelidium

Whyte dan Englar (1981) mempelajari komposisi kimia dan sifat-sifat reologis agar-agar yang diisolasi dari Gelidium purpurascens, agar-agar setelah perlakuan basa, dan agar-agar komersial. Agar-agar dari Gelidium dan yang diberi perlakuan basa memiliki gel yang lebih lemah, sebagaimana diukur dengan alat Instron 1122, daripada agar-agar komersial. Pada agar-agar yang mendapat perlakuan basa, xylose, glukosa dan glucuronic acid hilang bersama dengan 86 % kandungan nitrogennnya, yang menunjukkan bahwa keberadaan senyawa-senyawa tersebut di dalam agar-agar adalah dalam bentuk kompleks karbohidrat-protein. Urut-urutan ekstraksi alga bertanggung jawab atas rendahnya hasil agar-agar yang diperoleh karena kehilangan terjadi akibat pengendapan etanol. Perlakuan asam terhadap residu dari cairan sisa ekstraksi alga menghasilkan tambahan agar-agar sebanyak 10 % dengan kekuatan gel yang meningkat namun kadar glukosanya juga meningkat.

Stabilitas Agar-Agar Dari Gracilaria eucheumatoides Selama Penyimpanan

Romero et al. (2008) mempelajari status polisakarida dinding sel rumput laut alga merah, Gracilaria eucheumatoides selama penyimpanan pasca-panen. Hasil agar-agar, komposisi kimia, sifat fisik dan tekstur agar-agar yang diberi perlakuan alkali ditentukan pada selang waktu yang berbeda-beda selama penyimpanan 31 bulan pada kondisi kering setelah panen. Terjadi fluktuasi minimal dalam hal hasil agar-agar, yang berkisar dari 22,9 % sampai 29,0 %. Kekuatan gel agar-agar rata-rata 318 gram/cm2 hingga bulan ketiga penyimpanan tetapi cukup banyak berkurang setelah itu. Kekentalan relatif dan berat molekul ekstrak bervariasi terbalik dengan lama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika ,maupun tekstur agar-agar secara umum menurun sejalan dengan lama penyimpanan, mungkin akibat depolimerisai seperti dibuktikan oleh penurunan berat molekul. Agar-agar yang diekstrak dari rumput laut sampai 3 bulan penyimpanan memiliki kualitas gel yang dianggap sesuai untuk digunakan sebagai/bersama makanan. Perpanjangan lama penyimpanan panen rumput laut tidak dianjurkan.

Memperbaiki Kualitas Agar-Agar Dari Alga Merah, Pterocladia

Rao dan Bekheet (1976) mempelajari pengaruh berbagai perlakuan terhadap kualitas agar-agar yang diproduksi oleh rumput laut Pterocladia; selain itu persyaratan untuk produksi material berkualitas tinggi telah distandarisasi. Dalam proses yang telah dimodifikasi, rumput laut dijemur di bawah matahari hingga pucat kemudian dicuci bersih dengan air, direndam selama 24 jam, lalu digiling sampai menjadi bubur dan dibilas lagi di dalam air. Bubur ini selanjutnya diekstrak dengan air (rasio rumput laut : air adalah 1 : 30) di bawah tekanan selama 2 jam setelah pH disesuaikan menjadi 6 dengan penambahan asam asetat. Gel agar-agar, setelah dibekukan lalu dicairkan kembali, diberi obat pemutih berupa NaClO sebelum dikeringkan dengan aliran udara panas. Perlakuan pendahuluan terhadap rumput laut dengan alkali pada suhu 80 oC selama 2 jam sebelum ekstraksi ternyata bisa memperbaiki kualitas agar-agar sampai kisaran yang sangat besar.

Karakteristik Agar-Agar dari Ceramiales : Laurencia

Produksi dunia agen pembuat gel, agar-agar, terutama bersumber dari alga merah ordo Gracilariales dan Gelidiales sebagai bahan mentah. Penelitian telah dilakukan terhadap,potensi satu spesies dari ordo alga merah kurang dimanfaatkan, Ceramiales, sebagai sumber agar-agar. Agar-agar dari rumput laut Laurencia flexilis yang dikumpulkan dari Filipina utara diekstrak dengan prosedur perlakuan tradisional dan perlakuan alkali, kemudian sifat-sifat ekstrak ini ditentukan dengan metode kimia, spektroskopik dan fisika. Agar-agar produk asli tradisional, berdasarkan 26 % berat kering, membentuk gel dengan kekuatan sedang (200 gram/cm2). Perlakuan alkali tidak meningkatkan kekuatan gel, yang menunjukkan sedikitnya jumlah residu galaktosa-6-sulfat, bahan awal (precursor) 3,6-anhydrogalactose (3,6-AG) pembentuk gel. Selain itu, analisis kimia dan “Fourier transform infrared” menunjukkan rendahnya kandungan sulfat dan tingginya 3,6-AG, yang tidak banyak dipengaruhi oleh perlakuan alkali. “Nuclear magnetic resonance spectroscopic analysis” menunjukkan 6-O-methyl-D-galactose berkait-3 dan 3,6-anhydro-L-galactose berkait-4 sebagai unit pengulangan utama dalam ekstrak asli tradisional, dengan sulfasi minor pada posisi-4 residu galaktosa berkait-3. Agar-agar asli tradisional dan agar-agar yang diberi perlakuan alkali memiliki kesamaan dalam hal tingginya suhu pembentukan gel dan suhu leleh, namun agar-agar asli tradisional menunjukkan syneresis (kontraksi gel yang diikuti oleh pemisahan cairan) yang lebih tinggi. Laurencia flexilis dapat menjadi sumber agar-agar yang bagus yang memiliki kualitas fisika-kimia dan reologis yang sesuai untuk bahan makanan. Karena ketidakmampuan perlakuan alkali untuk meningkatkan kualitas gel ekstrak agar-agar asli, maka disarankan agar ekstraksi agar-agar komersial dari rumput laut ini dilakukan tanpa mengikuti prosedur industri yang banyak dipakai (Villanueva, et al., 2010)

Referensi :


Coppejans, E., H. Beeckman and M. de Wit. 1992. The Seagrass and Associated Macroalgal Vegetation of Gazi Bay (Kenya). Hydrobiologia, vol. 247, no. 1 – 3, pp. 59 – 75

Crouch, I.J. and J. Van Staden. 1993. Effect of Seaweed Concentrate From Ecklonia maxima (Osbeck) Papenfuss on Meloidogyne incognita Infestation on Tomato. Journal of Applied Phycology, Vol. 5, no. 1, pp. 37 – 43

Dhargalkar, V.K. and N. Pereira. 2005. Seaweed : Promising Plant of The Millenium. Science and Culture, vol. 71, no. 3 – 4, pp. 60 – 66.

Dieck, I.T. and E.C. de Oliveira. 1993. The Section Digitatae of The Genus Laminaria (Phaeophyta) in The Northern and Southern Atlantic : Crossing Experiments and Temperature Responses. Marine Biology, vol. 115, no. 1, pp. 151 - 160

Hashim, R. and N.A. Mat Saat. 1992. The Utilization of Seaweed Meals as Binding Agents in Pelleted Feeds For Snakehead (Channa striatus) Fry and Their Effects on Growth, Aquaculture, vol. 108, no. 3-4, pp. 299 – 308

Hurtado-Ponce, A.Q. 1992 a. Influence of Extraction Time on The Rheological Properties of Agar From Some Gracilaria Species From The Philippines. Botanical Marine, Vol. 35, No. 5, pp. 441 - 445

Hurtado-Ponce, A.Q. 1992 b. Rheological Properties of Agar From Gracilariopsis heteroclada Zhang et Xia (Gracilariales, Rhodophyta) Treated With Powdered Commercial Lime and Aqueous Alkaline Solution. Botanical Marine, Vol. 35, No. 5, pp. 365 - 369

Kalimuthu, S., N. Kaliaperumai and J.R. Ramalingam. 1991. Standing Crop, Algin and Mannitol of Some Alginophytes of Mandapam Coast. Journal of Marine Biologist Association of India, vol. 33, no. 1-2, pp. 170 – 174, ISSN 0025-3146

Kang, J.W. 1981. Present Status of Seaweed Culture in Korea in Dogma, I.J., Jr., G.C. Trono, Jr. and R.A. Tabbada (eds.). 1990. Culture and Use of Algae in Southeast Asia. Proceedings of The Symposium on Culture and Utilization of Algae in Southeast Asia. Aquaculture Dept. Southeast Asian Fisheries Development Center, Tigbauan (Philippines), pp. 21 – 26

Murugadas, T.L., S.M. Phang and S.L. Tong. 1995. Heavy Metal Accumulation Patterns in Selected Seaweed Species of Malaysia. Asia-Pacific Journal of Molecular Biology and Biotechnology, Vol. 3, no. 4, pp. 290 - 310

Rao, A.V. and I.A. Bekheet. 1976. Preparation of Agar-Agar from The Red Seaweed Pterocladia capillacea off The Coast of Alexandria, Egypt. Applied Environtal Microbiology. Vol. 32, no. 4, pp. 479 – 482

Rebello, J., M. Ohno, H. Ukeda and M. Sawamura. 1997. Agar Quality of Commercial Agarophytes From Different Geographical Origins: 1. Physical and Rheological Properties. Journal of Applied Phycology, Vol. 8, Issue 6, pp. 517 - 521

Rincones, R.E., S. Yu and M. Pedersén. 1993. Effect of Dark Treatment on The Starch Degradation and The Agar Quality of Cultivated Gracilariopsis lemaneiformis (Rhodophyta, Gracilariales) from Venezuela. Hydrobiologia, Vol. 260 - 261, Issue 1, pp. 633 - 640

Romero, J.B. , R.D. Villanueva and M.N.E. Montario. 2008. Stability of Agar in The Seaweed Gracilaria eucheumatoides (Gracilariales, Rhodophyta) During Postharvest Storage. Bioresource Technology, Vol. 99, Issue 17, pp. 8151 – 8155

Villanueva, R.D., J.B. Romero, A.L.R. Ragasa, M.N.E. Montaño. 2010. Agar From The Red Seaweed, Laurencia flexilis (Ceramiales, Rhodophyta) From Northern Philippines. Phycological Research, Vol. 58, Issue 2, pp. 151 – 156

Walford, L.A. and C.C. Wilber .1955. The Sea as A Potential Source of Protein Food. Advances in Protein Chemistry, vol. 10, pp. 289 - 317

Whyte, J.N.C. and J.R. Englar. 1981. The Agar Component of The Red Seaweed Gelidium purpurascens. Phytochemistry, Vol. 20, Issue 2, pp. 237 – 240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar