Minggu, 24 Juni 2018

Aktivitas Makan dan Kebutuhan Nutrisi Pada Ikan


Daftar Isi



Bab I. Kebutuhan Energi, Lipida, Asam Amino dan Mineral Pada Ikan

- Kebutuhan Energi Pada Ikan
- Kemampuan Ikan Memanfaatkan Kandungan Energi Dalam Makanan
- Kebutuhan Lipida Pada Ikan
- Kebutuhan Asam Amino
- Kebutuhan Gizi Pada Ikan Pemangsa
- Kebutuhan Mineral Pada Ikan Sidat

Bab II. Kebutuhan, Pengaruh dan Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan

- Karakteristik Vitamin E
- Kebutuhan Vitamin E Pada Ikan
- Pengaruh Konsentrasi Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Vitamin E Dalam Hati Ikan
- Pengaruh Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Lipida dan Vitamin E Dalam Tubuh Ikan
- Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan
- Kerusakan Jaringan Tubuh Ikan Akibat Kekurangan Vitamin E

Bab III. Gejala-Gejala Defisiensi Nutrisi Pada Ikan

- Gejala-Gejala Kekurangan Asam Pantotenat
- Kelainan Sel Hati Ikan Akibat Kekurangan Asam Pantotenat
- Fungsi Asam Askorbat Pada Ikan
- Dampak Defisiensi Lipida Pada Larva Ikan
- Gejala Defisiensi Beberapa Nutrisi Penting

Bab IV. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan

- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan Pada Bivalva
- Pengaturan Konsumsi Makanan
- Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Udang Crayfish
- Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan Piaractus
- Pengaruh Infeksi Parasit Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan
- Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan
- Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan
- Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan Kowan

Bab V. Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan

- Perbedaan Dinamika Nafsu Makan Antar Spesies Ikan
- Hormon Pertumbuhan dan Testosteron Merangsang Nafsu Makan Ikan
- Keterlibatan Hormon Kortikotropin dan Urotensin Dalam Penurunan Nafsu Makan Pada Ikan Yang Mengalami Stres
- Pengaruh Penambahan Enzim Fitase ke Dalam Tepung Kedelai Pakan Terhadap Nafsu Makan Anak Ikan
- Perubahan Nafsu Makan Sebagai Respon Ikan Terhadap Faktor Fisiologis dan Lingkungan
- Pengaruh pH, Kalsium dan Aluminium Terhadap Aktivitas Makan Pada Larva Ikan

Bab VI. Kanibalisme Pada Ikan

- Kanibalisme Pada Ikan Teleostei
- Faktor Penyebab Kanibalisme
- Pengaruh Kelaparan dan Perbedaan Ukuran Tubuh Terhadap Kanibalisme
- Kanibalisme Menyumbangkan Mortalitas Tertinggi Pada Ikan Gadus
- Kanibalisme Terhadap Telur Ikan
- Kanibalisme Pada Budidaya Anak Ikan Polyodon

Referensi

Bab I
Kebutuhan Energi, Lipida, Asam Amino dan Mineral Pada Ikan


Kebutuhan Energi Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa apa pun yang dimakan ikan, tanpa memperdulikan komposisi dan sifat makanan itu, harus mengandung cukup energi untuk mempertahankan proses-proses metabolik basal serta tersedia untuk pertumbuhan dan reproduksi. Kebutuhan energi ini bervariasi lebar sesuai dengan ukuran dan spesies ikan dan sesuai dengan suhu lingkungan serta tingkat aktivitas ikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa seekor ikan rainbow trout yang sedang tumbuh dengan berat 100 gram memerlukan sekitar 3,1 kcal/hari pada suhu 15 °C. Ransum pakan trout standar mengandung sekitar 2200 kcal energi yang dapat dimetabolisasi per kilogram sehinga 3,1 kcal bisa disediakan oleh 1,4 g pakan/hari. Ikan dengan berat tubuh selain 100 gram perlu makan sebanyak 1,4 % berat tubuhnya per hari. Ikan pada suhu di atas atau di bawah 15 °C menunjukkan laju makan yang disesuaikan ke atas atau ke bawah, berturut-turut. Penelitian lain menunjukkan bahwa ikan sockeye salmon mencapai efisiensi pertumbuhan maksimal pada tingkat ransum sekitar 4,5 % berat tubuh dan bahwa makanan yang melebihi sekitar 6 % berat tubuh akan dikeluarkan lagi dari tubuh.

Kemampuan Ikan Memanfaatkan Kandungan Energi Dalam Makanan

Menurut Smith (1982) komponen makanan yang berbeda menyediakan energi dengan jumlah berbeda sesuai dengan kandungan energi dan daya cernanya. Lemak paling kaya energi – 9,45 kcal/gram – dan ikan trout, salmon serta lele bisa memperoleh sekitar 8,0 kcal/gram dari lemak ini setelah dicerna dan diasimilasi. Protein memiliki nilai energi 4,65 kcal/gram, dari nilai ini yang bisa dimanfaatkan sekitar 3,9 kcal/gram. Karbohidrat mengandung sekitar 4,1 kcal/gram, dari nilai ini yang bisa dimanfaatkan sangat bervariasi tergantung pada daya cerna karbohidrat tersebut. Glukosa dan gula sederhana lainnya menyediakan sampai 4,0 kcal/gram, sedang kanji hanya menyediakan sekitar 1,6 kcal/gram dan selulosa menyediakan energi hampir nol. Gambaran ini menjelaskan kebiasaan ikan salmonidae memangsa binatang lain dan bahwa kebanyakan makanan alaminya adalah binatang, bukannya tumbuhan – sistem metaboliknya sangat efektif untuk protein dan lipida tetapi tidak efektif untuk molekul-molekul besar seperti kanji atau selulosa.

Kebutuhan Lipida Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa lipida yang dibutuhkan ikan adalah kompleks dan sangat berbeda dengan kebanyakan binatang darat, terutama yang berdarah panas. Perbedaan yag paling menyolok adalah dalam hal titik lebur lipida. Lemak mamalia berbentuk padat pada suhu yang kebanyakan lipida ikan masih cair. Basis kimia perbedaan titik lebur ini adalah panjang rantai karbon dalam molekul asam lemak dan jumlah serta lokasi ikatan tak jenuh dalam rantai karbon itu. Rantai karbon yang lebih pendek dan rantai dengan lebih banyak ikatan tak jenuh mempunyai titik lebur lebih rendah. Kebanyakan lipida dalam makanan alami ikan berasal dari tumbuhan dan mengandung asam-asam lemak dengan rantai sedikitnya 18 atom karbon. Rantai ini memiliki satu sampai tiga ikatan tak-jenuh dan diberi simbol 18:1 (asam oleat), 18:2 (asam linoleat) dan 18:3 (asam linolenat). Rantai-rantai karbon ini bisa dipanjangkan lagi oleh zooplankton dan ikan sehingga menghasilkan rantai dengan panjang 20:3, 22:5 dan 22:6 dengan menambahkan unit-unit dua atom karbon dan menghasilkan pasangan atom karbon untuk menciptakan ikatan tak-jenuh tambahan.

Smith (1982) menambahkan bahwa asam-asam lemak seri 18:3 bersifat esensial untuk pertumbuhan normal pada ikan rainbow trout, sedang seri 18:2 tampaknya sedikit diperlukan. Sebaliknya sedikitnya ada 1 % seri 18:3 di dalam makanan dan kurang dari 2 % seri 18:2 untuk asam lemak ini. Seri 18:1 tampaknya kurang penting dibandingkan seri 18:2. Ikan salmon dan lele mungkin memiliki kebutuhan yang sama. Jumlah total lipida esensial untuk pertumbuhan normal tampaknya sangat bervariasi. Rainbow trout akan tumbuh sangat lamban bila makanannya bebas lemak. Di alam lipida makanan berkisar dari 3 sampai 15 % (9 – 40 % berat kering). Pada beberapa pelet kering pakan trout komersial, kandungan lipidanya 6 – 14 % sedang untuk pelet basah (telah disimpan-beku) kandungan lipidanya 16 – 20 % (berat kering). Jadi kedua jenis pakan komersial ini tidak ada yang mencapai kadar lipida maksimal setinggi yang ditemukan dalam makanan alami.

Kebutuhan Asam Amino

Lovell (1998) menyatakan bahwa asam amino dapat dibagi menjadi dua kelompok nutrisi, esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis binatang atau dapat disintesis tetapi dalam jumlah tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan maksimum. Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh binatang dalam jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan maksimum, yang menunjukkan bahwa amino nitrogen tersedia. Kebanyakan binatang monogastrik seperti ikan, membutuhkan 10 jenis asam amino esensial : arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Pada tikus, beberapa asam amino esensial, yaitu arginin, histidin, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, triptofan dan valin dapat digantikan oleh analog a-hidroksi atau a-keto yang bersesuaian. Pada beberapa kasus, ikan dapat mengganti sebagian asam amino esensial dengan non esensial. Channel catfish tumbuh dengan baik ketika metionin merupakan satu-satunya asam amino bersulfur yang ada dalam makanannya, tetapi tidak ketika sistin menjadi satu-satunya asam amino bersulfur; bagaimanapun, sistin dapat menggantikan sekitar 60 % metionin. Tirosin, sejenis asam amino aromatik non esensial, dapat menggantikan sekitar setengah kebutuhan channel catfish akan fenilalanin yang merupakan asam amino aromatik esensial.

Kebutuhan Gizi Pada Ikan Pemangsa

Virtanen (1992) melaporkan bahwa spesies ikan budidaya di Finlandia kebanyakan adalah predator. Kebutuhan nutrisi ikan jenis ini dicirikan oleh tingginya kebutuhan akan protein dan oleh terbatasnya kemampuan memanfaatkan karbohidrat. Pakan ikan komersial dengan demikian terutama didasarkan pada makanan dengan kandungan protein tinggi, daya cerna protein yang besar dan profil asam amino yang baik, dan didasarkan pada minyak ikan dengan nilai energi tinggi. Pembatasan kandungan protein hanya untuk kebutuhan minimum dan peningkatan kandungan energi akan menurunkan beban nutrien, tetapi meningkatkan resiko ikan menjadi terlalu berlemak. Binatang invertebrata merupakan bagian penting pakan alami ikan salmonidae, tetapi arti penting nutrisinya hampir hanya sebagai sumber pigmen karotenoid.

Kebutuhan Mineral Pada Ikan Sidat

Arai (1974) mempelajari pengaruh penambahan mineral ke dalam pakan ikan terhadap pertumbuhan ikan sidat, Anguilla japonica. Pakan kering komersial telah banyak digunakan untuk sidat di Jepang. Bagaimanapun, perhatian kurang diberikan terhadap campuran mineral yang harus ditambahkan ke pakan terseut. Hal ni menyebabkan tidak hanya kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan mineral pada ikan sidat, tetapi juga ketidak tahuan bahwa tepung ikan white fish yang merupakan bahan baku utama mengandung abu kasar setinggi 16 – 20 % namun ketersediaannya bagi sidat masih belum jelas. Sebaliknya, kekompakan pasta pakan kering dianggap sebagai faktor penting dan sejumlah besar kanji kentang diformulasikan dalam pakan komersial untuk sidat sebagai binder (pengikat) dan sumber karbohidrat. Efek negatif campuran mineral terhadap kekompakan pakan diduga menjadi salah satu sebab mengapa pabrik pakan mengabaikan mineral. Telah diketahui bahwa sidat membutuhkan campuran mineral berkadar tinggi untuk pertumbuhan. Bila dipelihara dengan pakan yang mengandung campuran mineral 1 % atau tidak mengandung mineral, pertumbuhan sidat terhenti dalam 2 minggu, diikuti oleh kehilangan berat badan. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan campuran mineral ke dalam pakan ikan terhadap pertumbuhan sidat Anguilla japonica dengan menggunakan karboksimetilselulosa sebagai binder, dan hasilnya menunjukkan bahwa penambahan campuran mineral sebanyak 2 % memberikan efek menguntungkan terhadap pertumbuhan sidat.

Bab II
Kebutuhan, Pengaruh dan Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan


Karakteristik Vitamin E

Hamre (2011) menyatakan bahwa vitamin E merupakan istilah umum untuk sekelompok molekul larut-lemak, yaitu tokoferol dan tokotrienol, yang berfungsi melindungi organisme dari oksidasi dan fungsi-fungsi biologis spesifik lainnya. Pada ikan, seperti pada vertebrata lain, alfa-tokoferol lebih banyak disimpan oleh tubuh daripada tokoferol lain, mungkin karena adanya tocopherol transfer protein (TTP, protein pemindah tokoferol) di dalam hati yang mengikat tokoferol dan mengembalikannya ke dalam sirkulasi darah. Tokoferol yang terikat lemah kemudian diekskresi ke dalam empedu. Alfa-tokoferol berinteraksi dengan nutrien-nutrien lain, dan kebutuhannya dengan demikian bervariasi tergantung pada komposisi pakan. Asam-asam lemak poli-tak-jenuh berkonsentrasi tinggi serta vitamin C, selenium dan astaksantin berkonsentrasi rendah meningkatkan kebutuhan ikan terhadap vitamin E. Hal ini disebabkan sifat dinamis oskidasi lipida maupun pertahanan antioksidan, di mana vitamin E teroksidasi didaur ulang oleh antioksidan lain. Interaksi ini juga menentukan gejala-gejala apa yang muncul sebagai tanda kekurangan vitamin E, serta mempengaruhi respon kekebalan dan kualitas daging ikan.

Kebutuhan Vitamin E Pada Ikan

Cowey et al. (1983) melakukan penelitian terhadap sekelompok ikan rainbow trout (rata-rata berat awal 14 gram) yang diberi pakan mengandung 10 % asam lemak yang berasal dari minyak ikan white fish dengan tambahan vitamin E (2-10 mg/100 g) selama 16 minggu. Berat ikan meningkat delapan kali pada akhir percobaan tetapi tidak ada perbedaan perolehan berat antar perlakuan, konversi pakan adalah sama untuk semua perlakuan, dan hanya sedikit mortalitas. Pada ikan trout yang diberi vitamn E berdosis paling kecil, konsentrasi vitamin E dalam jaringan yang paling sedikit ditemukan pada otot rangka, konsentrasinya di sebagian besar jaringan lunak lain adalah sekitar tiga kali konsentrasi dalam otot tetapi konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan dalam otak. Peningkatan kerapuhan sel darah merah ditemukan pada ikan yang diberi sedikit vitamin E, dan peroksidasi lipida yang dipicu asam askorbat-Fe3+ di dalam mikrosom hati adalah menurun dengan meningkatnya vitamin E yang diberikan. Tidak ada atau sedikit malonaldehid yang dibentuk di dalam mikrosoma pada ikan yang diberi vitamin E sebanyak 5 mg per 100 g atau lebih. Nilai ini dianggap cukup atau aman. Mikrosom yang berasal dari otot ikan trout yang diberi sedikit vitamin E (2 mg/100 g pakan) lebih peka terhadap oksidasi secara in vitro daripada mikrosom yang berasal dari insang, jantung atau hati. Kerentanan mikrosom terhadap peroksidasi ditentukan oleh perbandingan antara vitamn E : asam lemak tak-jenuh yang dapat diperoksidasi di dalam membran mikrosom.

Pengaruh Konsentrasi Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Vitamin E Dalam Hati Ikan

Lim et al. (2010) telah melakukan penelitian untuk menentukan pengaruh peningkatan konsentrasi minyak ikan dalam pakan terhadap kebutuhan vitamin E serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan, status vitamin E dalam hati, dan komposisi perkiraan (proximate composition) asam lemak dalam jaringan tubuh ikan channel catfish. Pakan dasar murni (42 % protein dan 3.800 kcal DE/kg) diberi tambahan 6, 10 dan 14 % minyak ikan menhaden dan masing-masingnya diberi 50, 100 dan 200 mg vitamin E/kg (percobaan faktorial 3 x 3). Setiap pakan diberikan kepada juvenil ikan channel catfish dalam tiga akuarium acak sampai tampak kenyang sebanyak dua kali sehari selama 12 minggu. Perolehan berat, penelanan pakan dan rasio efisiensi pakan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan, vitamin E atau interaksinya. Tingkat kelangsungan hidup pada akhir mingu ke 12 secara nyata lebih rendah untuk ikan yang diberi pakan mengandung 14 % minyak ikan, tanpa memperhatikan konsentrasi vitamin E. Konsentrasi air seluruh tubuh secara nyata berkurang dan konsentrasi lipida meningkat ketika konsentrasi lipida dalam pakan dinaikkan menjadi 10 atau 14 %. Konsentrasi vitamin E pakan tidak mempengaruhi komposisi perkiraan tubuh. Konsentrasi lipida dalam hati tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan dan vitamin E ataupun interaksinya. Indeks hepatosomatik menurun secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi lipida tetapi tidak dipengaruhi oleh konsentrasi vitamin E dalam pakan. Vitamin E dalam hati meningkat dengan meningkatnya konsentrasi vitamin E dalam pakan tetapi menurun dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan. Komposisi asam lemak seluruh tubuh dan hati menunjukkan bahwa lipida pakan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi vitamin E dalam pakan. Kejenuhan seluruh tubuh meningkat, sedangkan MUFA (mono unsaturetd fatty acid; asama lemak mono-tak-jenuh) menurun dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan dalam pakan. Kejenuhan hati tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan, tetapi MUFA dan asam lemak n-6 menurun dan meningkat, berturut-turut, dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan. Total asam lemak n-3 dan HUFA n-3 dalam kedua jaringan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan dalam pakan, tetapi hati menyimpan lebih banyak asam-asam lemak ini.

Pengaruh Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Lipida dan Vitamin E Dalam Tubuh Ikan

Peng et al. (2008) melakukan percobaan pemberian pakan untuk mengevaluasi pengaruh konsentrasi vitamin E terhadap konsentrasi lipida dan aktivitas enzim antioksidan dalam hati ikan juvenil black seabream Acanthopagrus schlegeli yang diberi pakan mengandung minyak teroksidasi. Lima jenis pakan diformulasikan dengan memanfaatkan tepung ikan, tepung cumi dan tepung kedelai sebagai sumber protein, serta minyak ikan (yang dioksidasi hingga memiliki nilai peroksida POV 45 meq/kg minyak) sebagai sumber lipida. Penambahan a-tokoferil asetat (kemurnian 50 %) adalah sebanyak 0 mg/kg, 100 mg/kg, 300 mg/kg, 700 mg/kg dan 1 500 mg/kg pakan kering, berturut-turut. Ikan juvenile black seabream dengan berat awal 18,7 gram diberi pakan uji hingga tampak kenyang sebanyak dua kali sehari selama 9 minggu. Ada perbedaan nyata (P< 0,05) antar perlakuan dalam hal konsentrasi lemak tubuh, tetapi tidak ada perbedaan konsentrasi lemak dalam hati dan otot (P< 0,05). Konsentrasi vitamin E pakan berpengaruh secara nyata terhadap konsentrasi vitamin E hati. Konsentrasi vitamin E hati meningkat ketika konsentrasi vitamin E pakan meningkat. Peningkatan vitamin E pakan menurunkan secara nyata konsentrasi MDA hati (P< 0,05). Bagaimanapun, tidak ada perbedaan nyata antar-perlakuan penambahan vitamin E 100 mg/kg,300 mg/kg,700 mg/kg, juga tidak ada pada perlakuan penambahan vitamin E 700 mg/kg dan 1 500 mg/kg. Aktivitas Katalase, superoksida dismutase dan glutation-S-transferase dalam hati ikan berkurang secara nyata akibat penambahan vitamin E pakan (P< 0,05). Sebaliknya, glutation peroksidase dan glutation reduktase kurang terpengaruh oleh penambahan vitamin E pakan (P< 0,05). Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan vitamin E pakan dapat menghentikan, sampai beberapa kisaran, sebagian proses peroksidasi lipida dalam pakan ikan yang mengandung minyak teroksidasi, sehingga mengurangi dampak negatif akibat stres tingginya pro-oksidatif pada ikan.

Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan

Poston et al. (1976) melaporkan bahwa kekurangan (defisiensi) vitamin E dan selenium, secara bersamaan atau terpisah, pada ikan salmon Atlantik selama 4 minggu pertama pemberian pakan menyebabkan tingkat mortalitas menjadi dua kali lipat dibandingkan ikan yang diberi tambahan vitamin E (0,5 IU/gram pakan kering) maupun selenium (0,1 mikrogram/gram). Penambahan pakan selanjutnya dengan vitamin E maupun selenium menurunkan mortalitas secara nyata selama 2 minggu berikutnya. Ikan salmon besar (bobot awal rata-rata 0,9 gram), yang kekurangan vitamin E dengan atau tanpa selenium, menunjukkan tanda-tanda defisiensi sebagai berikut : anemia parah, insang pucat, anisocytosis, poikilocytosis, peningkatan konsentrasi protein dalam plasma darah, exudative diathesis (penimbunan nanah di bawah kulit atau di sekitar jantung), pigmen kulit memudar, peroksidasi yang dipicu asam askorbat secara in vitro dalam mikrosom hati, warna hati menjadi kuning-oranye, isi usus berwarna kuning coklat, pembengkakan gelembung renang, rendahnya konsentrasi vitamin E dalam daging dan jaringan hati, penyusutan otot, peningkatan konsentrasi lemak dan air dalam daging, dan respon terhadap penanganan ditandai dengan pingsan sementara dan aktivitas renang tersendat-sendat. Defisiensi selenium menghambat aktivitas glutation peroksidase dalam plasma darah. Penambahan selenium dengan vitamin E secara nyata meningkatkan aktivitas tokoferol dalam hati, tetapi tidak dalam jaringan daging. Penambahan vitamin E maupun selenium adalah penting untuk mencegah “muscular dystrophy” (penyusutan otot).

Kerusakan Jaringan Tubuh Ikan Akibat Kekurangan Vitamin E

Wilson et al. (1984) melakukan dua percobaan untuk mengevaluasi-kembali kebutuhan vitamin E pada anak ikan channel catfish. Makanan murni yang mengandung 1 % minyak hati ikan cod, 4 % lemak babi dan selenium secukupnya dan dilengkapi dengan DL-alfa-tokoferil asetat digunakan dalam kedua percobaan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai kebutuhan vitamin E yang dilaporkan sebelumnya, yang berdasarkan pada pertumbuhan dan perubahan patologis, adalah kurang dari nilai yang sebenarnya. Kebutuhan minimum vitamin E pakan dalam bentuk DL-alfa-tokoferil asetat adalah 50 mg/kg pakan berdasarkan data peroksidasi lipida yang dipicu-asam askorbat dalam mikrosom hati selama 16-minggu. Tidak ada perbedaan laju pertumbuhan atau efisiensi pakan pada kedua percobaan. Tidak ada perubahan patologis ataupun hematologis pada ikan yang diberi pakan berbagai dosis vitamin E selama 20 minggu,kecuali hemolisis sel darah merah, yang meningkat. Kerusakan jaringan hanya terjadi pada ikan yang menerima dosis 0 mg/kg pakan. Gangguan fisiologi yang disebut “multifocal splenic hemosiderosis” diamati pada ikan-ikan ini. “Multifocal splenic hemosiderosis” yang ringan terjadi pada jaringan pankreas di sekitar pembuluh hati. Jaringan pankreas tampaknya menyusut pada ikan yang diberi vitamin E dosis tinggi. Tidak ada kerusakan yang nyata pada jaringan-jarinan lain yang damati.

Bab III
Gejala-Gejala Defisiensi Nutrisi Pada Ikan


Gejala-Gejala Kekurangan Asam Pantotenat

Ishii dan Yamamoto (1972) mengulas beberapa penelitian mengenai defisiensi asam pantotenat pada ikan. Asam ini, yang merupakan kelompok vitamin B komplek, sangat diperlukan oleh beberapa ikan. Telah ditunjukkan bahwa defisiensi asam pantotenat dalam pakan menyebabkan penyakit insang dan penghambatan pertumbuhan pada ikan trout. Pertumbuhan yang sangat lambat, kehilangan nafsu makan dan pendarahan permukaan tubuh dialami oleh ikan karper sebagai gejala-gejala defisiensi vitamin ini. Pada anak ikan rainbow trout yang kekurangan asam pantotenat, telah dilaporkan bahwa ikan tersebut menunjukkan gejala-gejala seperti pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi dan gerak renang tidak normal. Pada sebagian binatang berdarah panas, telah dibuktikan bahwa hewan yang mengalami defisiensi asam pantotenat menunjukkan beberapa perubahan sel-sel hati.

Kelainan Sel Hati Ikan Akibat Kekurangan Asam Pantotenat

Ishii dan Yamamoto (1972) menggunakan mikroskop cahaya dan mirkoskop elektron untuk mengamati sel parenkim hati pada ikan mas koki yang diberi pakan sintetis Halver tanpa kalsium pantotenat. Periode penelitian berlangsung 52 hari dari 20 Oktober sampai 11 Desember 1969. Ikan yang mengalami kekurangan asam pantotenat menunjukkan pertumbuhan yang lambat, nafsu makan hilang, pendarahan lokal dan exophthalmus ringan (catatan : exophthalmus adalah bola mata menonjol keluar). Secara ultra struktur, sel-sel parenkim hati pada ikan yang kekurangan vitamin ini menunjukkan beberapa perubahan sitoplasma. Perubahan yang paling menyolok ditemukan pada mitokondria; kebanyakan mitokondria menjadi lebih besar ukurannya dibandingkan pada ikan kontrol dan beberapa mitokondria tersebut saling melekat satu sama lain. Retikulum endoplasma kurang berkembang dibandingkan pada sel-sel hati ikan kontrol. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal jumlah butiran lemak dalam sel-sel hati ikan kontrol dan ikan uji.

Fungsi Asam Askorbat Pada Ikan

Masumoto et al. dalam Akiyama dan Tan (1991) melaporkan bahwa sebagai agen pereduksi kuat, asam askorbat terlibat dalam banyak fungsi biologis pada ikan yang mencakup pertumbuhan, reproduksi, respon stres, ketahanan terhadap penyakit serta antioksidasi dan metabolisme lipida. Fungsi-fungsi ini bekerja pada tingkat kebutuhan dasar (50 – 100 ppm). Sulit untuk menentukan peranan positif dari penambahan asam askorbat berkadar tinggi ke dalam pakan akuakultur : mekanisme bagaimana asam askorbat berkadar tinggi mempercepat fungsi-fungsi biologis ikan belum dapat dipahami dengan jelas. Lama periode waktu yang diperlukan bagi pemberian asam askorbat berdosis tinggi guna memperbaki status asam askorbat dalam tubuh ikan adalah tidak pasti. Asam askorbat sebaiknya dianggap sebagai perlakuan pencegahan bagi kesalahan fungsi biologis, bukan sebagai metode penyembuhan bagi penyakit atau stres. Dengan demikian diperlukan periode pemberian yang lama. Pabrik pakan dan ahli akuakultur sebaiknya memperhatikan dengan cermat apakah asam askorbat berdosis tinggi adalah masuk akal dan ekonomis.

Dampak Defisiensi Lipida Pada Larva Ikan

Davis dan Olla (1992) melaporkan bahwa sementara pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan di laut bergantung pada jenis, ukuran dan kelimpahan mangsa, kualitas nutrisi mangsa juga memegang peranan penting. Kedua peneliti ini mempelajari hubungan antara kandungan lipida pada mangsa dengan pertumbuhan, ukuran gelembung renang, laju tenggelam, perilaku dan kelangsungan hidup larva ikan walleye pollock Theragra chalcogramma di bawah kondisi terkendali di laboratorium. Larva ikan yang diberi pakan berupa naupli udang renik Artemia spp yang kekurangan lipida menunjukkan pertumbuhan yang lambat, ukuran gelembung renang kecil dan kelangsungan hidup rendah. Larva ikan ini juga harus berenang hampir terus-menerus untuk mempertahankan posisi vertikal dalam kolom air agar tidak tenggelam. Sebaliknya, larva ikan yang diberi pakan berupa kopepoda liar atau Artemia spp. yang diperkaya dengan lipida menunjukkan perilaku pergiliran antara renang dan istirahat.

Gejala Defisiensi Beberapa Nutrisi Penting

Lovell (1998) menyusun daftar gejala-gejala kekurangan beberapa zat gizi pada ikan mas sebagai berikut :
- Magnesium : kejang, katarak, dan penurunan konsentrasi magnesium tulang.
- Fosfor : mineralisasi tulang kurang, cacat pada tulang tubuh dan tengkorak, dan peningkatan lemak pada organ dalam rongga perut.
- Besi : Anemia hypochromic microcytic
- Selenium : Anemia dan katarak
- Seng : katarak, pengikisan sirip dan kulit
- Vitamin A : pigmen kulit memudar, exophthalmus, tutup insang menggulung, pendarahan pada kulit dan sirip
- Vitamin E : exophthalmus, lordosis (tulang belakang melengkung), penyusutan otot, penyusutan ginjal dan pankreas.
- Thiamin : hipersensitif, pigmen kulit memudar, pendarahan di bawah kulit.
- Riboflavin : takut-cahaya, hipersensitif, pendarahan kulit dan sirip, kerusakan jaringan ginjal bagian depan
- Piridoksin : gangguan saraf, anemia, rendahnya enzim hepatopankreatik transferase
- Asam pantotenat : hyperplasia pertambahan jumlah sel-sel yang berlebihan) pada insang, exophthalmus, dan pendarahan kulit
- Niasin : pendarahan kulit, lesu
- Biotin : pertumbuhan lambat, lesu dan peningkatan jumlah sel lendir kulit.
- Kolin : hati berlemak dan muncul gelembung-gelembung dalam sel hati
- Inositol : kehilangan lapisan lendir kulit
- Asam askorbat : pertumbuhan lambat.

Bab IV
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan Pada Bivalva

Ward et al. (1992) menyatakan bahwa aktivitas makan suspensi pada bivalva merupakan proses dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik, kimia dan biologis di lingkungan alami. Banyak peneliti terdahulu menunjukkan bahwa perubahan suhu, salinitas, pH dan konsentrasi partikel bisa mempengaruhi laju pemompaan, pembersihan (penangkapan partikel makanan) dan penelanan makanan. Beberapa peneliti di antaranya menganggap bahwa sinyal-sinyal kimia merupakan faktor penting dalam membantu aktivitas makan pada kerang, walaupun sebenarnya perilaku mencari makan yang dibantu faktor kimia pada moluska lain (gastropoda) telah dibuktikan merupakan hal yang sangat penting.

Pada penelitian ini, ditunjukkan bahwa simping Placopecten magellanicus meningkatkan laju penangkapan dan penelanan partikel makanan sebagai respon terhadap metabolit dari diatom Chaetoceros muelleri. Data dosis-respon menunjukkan bahwa rangsangan dari metabolit ini menjadi jenuh pada konsentrasi ekstrak diatom yang rendah (setara dengan 5 sel/mikroliter). Diduga bahwa pemicu kimiawi dari fitoplankton ini merupakan faktor penting yang memungkinkan simping untuk menyesuaikan laju makannya di alam.

Pengaturan Konsumsi Makanan

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa kebanyakan binatang secara tak sadar menyesuaikan komsumsi makanan untuk mengimbangi pengeluaran energi. Bila pengeluaran energi meningkat akibat meningkatnya aktivitas fisik, maka binatang mengkonsumsi lebih banyak makanan. Kebanyakan vertebrata, dari ikan sampai mamalia, makan untuk memenuhi kebutuhan kalori bukannya untuk menimbun karena, bila makanan bercampur dengan serat, mereka berespon dengan makan lebih banyak. Demikian pula, konsumsi makanan dikurangi setelah periode beberapa hari ketika pemasukan kalori terlalu tinggi. Pusat lapar yang terletak di dalam hipotalamus otak mengatur konsumsi makanan. Penurunan konsentrasi glukosa darah merangsang kebutuhan untuk makan. Kebanyakan binatang tampaknya dapat menstabilkan berat badannya dengan mudah, sementara banyak manusia tidak dapat melakukan hal ini.

Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Udang Crayfish

Seals et al. (1997) menebarkan 12 ekor udang crayfish di dalam wadah plastik yang digantung pada setiap dari 5 sistem resirkulasi. Suhu dalam sistem resirkulasi perlahan-lahan diubah selama 2 minggu menjadi 5, 10, 15, 20 dan 25 oC. Konsumsi makanan yang dihitung sebagai % berat badan awal meningkat secara nyata dengan meningkatnya suhu air. Hubungan antara konsumsi pakan harian (FC) dan suhu (T) adalah FC = -0,1358 + 0,0344 T; r2 = 0,879. Seekor crayfish ditebarkan dalam setiap dari 3 akuarium pada 5 sistem resirkulasi untuk menentukan pengaruh penurunan dan peningkatan suhu air terhadap aktivitas makan. Suhu air mengalami siklus dari 20 – 8 - 20 oC selama 68 hari dan crayfish diberi pakan 5 hari/minggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu turun, rata-rata konsumsi makanan berkurang dari 1,16 ± 0,15 %/hari pada 20 oC menjadi 0,19 ± 0,06 %/hari pada suhu 8 oC. Ketika suhu naik, konsumsi makanan harian tidak meningkat secara nyata atau mencapai nilai awal 20 oC. Pengaruh laju makan terhadap pertumbuhan crayfish dan konversi pakan ditentukan pada 21 ekor crayfish yang diberi pakan sebanyak 1 %, 3 % atau 6 % berat badan/hari (5 hari per minggu). Setelah 8 minggu, crayfish yang diberi pakan 3 % dan 6 % berukuran sama tetapi secara nyata lebih besar daripada crayfish yang diberi pakan sebanyak 1 %. Konversi pakan meningkat secara nyata dengan meningkatnya laju makan (0,61 pada 1 %, 1,30 pada 3 % dan 2,22 pada 6 %).

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan Piaractus

Dias-Koberstein et al. (2004) mempelajari pengaruh suhu terhadap penelanan makanan pada ikan pacu (Piaractus mesopotamicus) dengan menentukan tingkah laku makan berdasarkan kebangkitan-kembali nafsu makan dan kekenyangan. Sembilan puluh enam ikan pacu 160 gram ditempatkan dalam akuarium bervolume 150 liter dengan aliran air terus-menerus dan diberi pakan komersial terapung yang mengandung 28 % protein kasar. Untuk menentukan waktu kebangkitan-kembali nafsu makan, pada setiap akuarium, ikan dari semua ulangan diberi pakan pada waktu nol. Ikan dari setiap akuarium diberi pakan kembali pada selang waktu 60 menit. Ikan dari akuarium 1 diberi pakan kembali 1 jam setelah pemberian pakan pertama. Ikan dari akuarium 2 pada 2 jam setelah pemberian pakan pertama dan selanjutnya hingga 24 jam setelah pemberian pakan pertama, untuk setiap suhu yang diuji. Untuk menentukan waktu penelanan makanan dan waktu kenyang pada masing-masing dari keenam pengamatan, ikan diberi pakan beberapa kali hingga kenyang. Waktu dicatat dari awal sampai akhir makan. Waktu kenyang dihitung untuk setiap akuarium berdasarkan rata-rata waktu penelanan makanan. Rancangan statistik bervariasi sesuai dengan karakteristik setiap percobaan. Ikan terlihat makan lebih baik pada sore hari (6.53 dan 3.97 gram untuk 23 dan 27°C, berturut-turut), namun waktu yang dihabiskan untuk menelan makanan adalah sama dengan waktu di pagi hari, 8,18 dan 7,84 menit untuk 23 dan 27 oC, berturut-turut. Konsumsi pakan harian dipengaruhi oleh suhu, yang menunjukkan indeks penelanan makanan 2,29 dan 2,9 % dari berat badan per hari pada suhu 23 dan 27 oC, berturut-turut.

Pengaruh Infeksi Parasit Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Urawa (1993) mempelajari pengaruh infeksi flagelata ektoparasit Ichthyobodo necator terhadap aktivitas makan pada ikan juvenil chum salmon (Oncorhynchus keta) yang dipelihara di perairan tawar. Kepadatan parasit pada kulit ikan ini meningkat 2 minggu setelah infeksi eksperimental, mencapai puncaknya pada minggu ke-6, dan kemudian berkurang sampai mendekati nol pada minggu ke-10. Infeksi parasit yang hebat memberikan dampak yang nyata terhadap efisiensi makan, tetapi tidak terhadap pertumbuhan ikan inang.

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan

Jorgensen et al. (1993) mengukur konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan konsumsi oksigen pada ikan Arctic charr (Salvelinus alpinus), yang ditebarkan pada kepadatan rendah (15 kg per m3), sedang (60 kg per m3) dan tinggi (120 kg per m3). Hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan adalah sama untuk ikan yang ditebarkan pada kepadatan sedang dan tinggi, tetapi sangat berkurang pada padat penebaran rendah. Perbedaan laju pertumbuhan mungkin disebabkan oleh perbedaan serupa dalam hal konsumsi makanan. Rendahnya konsumsi makanan mungkin juga menjadi sebab utama rendahnya konsumsi oksigen pada kelompok ikan yang ditebarkan dengan kepadatan rendah. Padat penebaran mempengaruhi perilaku ikan. Perilaku bergerombol terlihat pada kelompok padat penebaran sedang dan tinggi. Tidak ada korelasi nyata antara panjang tubuh awal, konsumsi makanan dan laju pertumbuhan pada semua ikan dari semua kelompok padat penebaran. Oleh karena itu, hambatan sosial akibat pembentukan hierarki dominansi mungkin bukan merupakan sebab utama penurunan nafsu makan dan pertumbuhan ikan pada kelompok padat penebaran rendah.

Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Gregory dan Northcote (1993) mempelajari pengaruh kekeruhan terhadap aktivitas makan pada juvenil ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) di laboratorium. Aktivitas makan ikan ini terhadap mangsa yang ada di permukaan air (Drosophila), mangsa planktonik (Artemia) dan bentos (Tubifex) diamati pada berbagai kisaran kekeruhan air (< 1, 18, 35, 70, 150, 370 dan 810 NTU). Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas makan berkurang pada kondisi yang lebih keruh untuk ketiga jenis mangsa.

Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan Kowan

Cai dan Curtis (1990) melaporkan bahwa konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan komposisi asam lemak jaringan pada juvenil ikan kowan triploid sangat bervariasi ketika diberi berbagai jenis makanan berupa tumbuhan air atau pakan komersial pada suhu 20 oC. Nilai-nilai tertinggi untuk konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan konsentrasi asam lemak omega-3 (terutama 18:3n-3) dalam otot dan hati ditemukan pada ikan kowan yang memakan tumbuhan air Elodea. Ikan yang makan Elodea selama 32 hari dan kemudian memakan pakan komersial selama 33 hari berikutnya pada suhu 14,4 oC, 18,8 oC atau 24,4 oC juga dipelajari.

Berdasarkan hasil pengamatan kedua peneliti menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan dan konsumsi makanan, tetapi tidak efisiensi asimilasi, meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. Bila ikan yang memakan Elodea selanjutnya memakan pakan komersial, laju pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan tetap bertahan selama 23 hari dan kemudian turun mendadak dalam 10 hari terakhir pada semua suhu. Penurunan laju pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan adalah bersamaan dengan penurunan konsentrasi asam-asam lemak omega-3 dalam otot dan hati. Kejadian yang bersamaan ini menunjukkan arti penting asam lemak 18:3n-3 bagi pertumbuhan ikan kowan. Bila pada suhu 14,4 oC dan 18,8 oC pakan ikan diubah dari Elodea menjadi pakan komersial, maka rasio total asam-asam lemak tak jenuh terhadap total asam lemak jenuh meningkat sedangkan jumlah total ikatan rangkap asam lemak dalam otot dan hati tidak meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh berkurangnya asam lemak 16:0 dan bertambahnya asam lemak 16:1. Pemberian pakan ikan kowan dengan Elodea pada suhu hangat meningkatkan nilai gizi ikan kowan sebagai sumber asam-asam lemak omega-3 untuk konsumsi manusia.

Bab V
Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan


Perbedaan Dinamika Nafsu Makan Antar Spesies Ikan

Ali et al. (2001) menganalisis dinamika nafsu makan (berat makanan yang dikonsumsi per hari) pada ikan yang diberi pakan sampai kenyang setelah 1 atau 2 minggu periode kekurangan makanan. Ikan-ikan tersebut mencakup tiga spesies yang meliputi dua omnivora (ikan minnow, Phoxinus phoxinus, dan ikan mas koki gibel, Carassius auratus gibelio) dan satu karnivora (ikan stickleback, Gasterosteus aculeatus). Semua spesies menunjukkan perubahan nafsu makan dan pertumbuhan selama periode pemberian pakan-kembali untuk mengimbangi kondisi selama kekurangan makanan, tetapi pada ikan stickleback ada keterlambatan satu minggu sebelum muncul respon pengimbangan tersebut. Dinamika nafsu makan yang bersifat temporal (tidak permanen) ini berbeda di antara ketiga spesies tetapi tidak berbeda dalam satu spesies. Nafsu makan ikan minnow, mulai saat pertama pemberian pakan-kembali, menurun ke arah normal. Pada mas koki gibel, nafsu makan meningkat sampai maksimum dan kemudian berkurang sampai mencapai normal. Pada ikan stickleback, nafsu makan mula-mula di bawah normal kemudian meningkat sampai maksimum dan akhirnya menurun hingga mencapai normal. Perbedaan antar spesies tersebut mungkin disebabkan oleh prosedur eksperimen yang dijalankan, tetapi dapat juga mencerminkan perbedaan yang mendasari pengendalian nafsu makan pada ketiga spesies ikan itu.

Hormon Pertumbuhan dan Testosteron Merangsang Nafsu Makan Ikan

Matty (1985) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan merangsang nafsu makan pada ikan. Peningkatan nafsu makan pada ikan killifish dan salmon yang terjadi setelah pemberian hormon pertumbuhan mungkin disebabkan karena hormon ini beraksi langsung pada pusat hipotalamus yang mempengaruhi konsumsi makanan. Kemungkinan lainnya adalah bahwa hormon pertumbuhan memberikan dampak tak langsung terhadap pusat hipotalamus dengan cara melakukan beberapa perubahan metabolik dalam tubuh ikan. Selain hormon pertumbuhan, pemberian testosteron juga menyebabkan peningkatan nafsu makan pada ikan.

Keterlibatan Hormon Kortikotropin dan Urotensin Dalam Penurunan Nafsu Makan Pada Ikan Yang Mengalami Stres

Bernier (2006) menyatakan bahwa ciri khas respon perilaku terhadap agen penyebab stres yang bersifat akut atau kronis adalah penurunan nafsu makan. Pada ikan, seperti vertebrata lainnya, sistem corticotropin-releasing factor (CRF; faktor pelepas kortikotropin) memainkan peranan penting dalam mengkoordinasi respon-respon neuroendokrin (hormon), saraf autonom (saraf tak sadar) dan respon perilaku terhadap stres. Telah ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan peranan sistem CRF sebagai mediator efek penekan nafsu makan yang ditimbulkan oleh stres pada ikan. Penyuntikan CRF atau peptida-peptida terkait, urotensin I, atau perlakuan pemberian obat atau agen penyebab stres, dapat menyebabkan penurunan konsumsi makanan yang tergantung-dosis, dan efek ini sebagian dapat dihilangkan dengan pemberian antagonis CRF. Selain itu, efek penekan nafsu makan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, penyakit, faktor fisik dan sosial adalah berkaitan dengan meningkatnya CRF otak-depan dan menguatnya sifat gen urotensin I serta berkaitan dengan pengaktivan sumbu stres hypothalamic–pituitary–interrenal (HPI).

Pengaruh Penambahan Enzim Fitase ke Dalam Tepung Kedelai Pakan Terhadap Nafsu Makan Anak Ikan

Hauler et al. (1999) menyatakan bahwa kelangsungan hidup jangka panjang industri salmon Atlantik di Australia tergantung pada upaya penggantian tepung ikan. Tepung kedelai merupakan alternatif yang layak, namun penggunaannya dibatasi oleh adanya sejumlah faktor anti nutrisi, termasuk phytate. Perlakuan enzimatik terhadap fitat bisa dilakukan pada pakan ikan yang mengandung tepung biji-bijian karena bisa meningkatkan daya cerna fosfor dan, dengan demikian, mengurangi eutrofikasi. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mempelajari pengaruh penambahan enzim fitase terhadap komsumsi pakan dan pertumbuhan anak ikan (parr) salmon Atlantik yang diberi pakan mengandung tepung kedelai. Anak ikan ini (berat rata-rata 6,0 gram) dalam enam tangki diberi pakan sampai kenyang dua kali sehari (jam 10.00 dan 16.00) selama 42 hari. Sebanyak 50 % tepung ikan dalam pakan ini diganti dengan tepung kedelai tanpa sekam. Fitase (EC 3.1.3.8; Sigma) ditambahkan ke dalam pakan sebanyak 2000 U/kg; tepung ikan dengan berat setara ditambahkan ke dalam pakan kontrol.

Penambahan fitase meningkatkan secara nyata (P < 0,01) laju pertumbuhan spesifik, tetapi tidak berdampak terhadap efisiensi konversi pakan (P > 0,05). Konsumsi pakan pada pagi hari tidak menunjukkan perbedaan antar perlakuan pakan (P > 0,05) sedangkan di sore hari anak ikan yang diberi pakan ber-fitase mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada kontrol (P < 0,001). Dalam percobaan ini, fitase meningkatkan konsumsi dan, dengan demikian, pertumbuhan anak ikan salmon Atlantik. Konsumsi pakan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya nafsu makan pada pemberian pakan sore hari.

Mekanisme respon ini mungkin rumit akibat banyaknya cara molekul fitat beraksi sebagai faktor anti nutrisi. Bagaimanapun, meningkatnya konsumsi pakan menyiratkan bahwa laju pengosongan lambung lebih cepat dan nafsu makan muncul kembali. Dengan demikian penambahan fitase meningkatkan kemungkinan penggunaan tepung kedelai yang lebih banyak dalam pakan ikan salmon Atlantik.

Perubahan Nafsu Makan Sebagai Respon Ikan Terhadap Faktor Fisiologis dan Lingkungan

Volkoff et al. (2008) menyatakan bahwa pada vertebrata termasuk ikan, pengaturan pengambilan makanan melibatkan hormon-hormon yang saling-mengait secara rumit yang dihasilkan baik oleh otak maupun oleh jaringan tepi. Pada kondisi optimum, pengambilan nutrisi adalah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan penimbunan cadangan energi. Karena ikan merupakan kelompok yang sangat beragam; berbagai spesies ikan hidup di dalam lingkungan yang sangat berbeda-beda dan menghadapi berbagai faktor yang sangat bervariasi, yang mencakup tidak hanya faktor internal seperti kondisi nutrisi/metabolik dan reproduksi, tetapi juga faktor lingkungan seperti suhu dan fotoperiod (panjang siang-malam). Respon fisiologis ikan terhadap faktor-faktor tersebut sering mencakup perubahan nafsu makan yang mungkin terjadi melalui pengaturan perwujudan gen dan aksi hormon-hormon pengatur aktivitas makan.

Pengaruh pH, Kalsium dan Aluminium Terhadap Aktivitas Makan Pada Larva Ikan

Di perairan alami banyak ditemukan kondisi di mana pH-nya rendah, konsentrasi kalsium rendah sedang konsentrasi aluminium tinggi. Cleveland et al. (1991) mempelajari pengaruh kondisi tersebut terhadap aktivitas makan (=nafsu makan) pada larva ikan. Larva ikan brook trout yang masih berkantung kuning telur dipelihara di laboratorium dalam media air dengan pH rendah (6,5 – 4,0), konsentrasi kalsium rendah (0,5 – 1,3 mg/liter) dan konsentrasi aluminium tinggi (300 mikrogram/liter). Hasilnya menunjukkan bahwa perkembangan larva ikan tertunda dan terjadi penurunan secara nyata dalam hal aktivitas renang dan aktivitas makan. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa fluktuasi pH dan penurunan konsentrasi kalsium yang terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi aluminium di perairan menyebabkan mortalitas dan dampak-dampak negatif lain pada populasi ikan alami.

Bab VI
Kanibalisme Pada Ikan


Kanibalisme Pada Ikan Teleostei

Smith dan Reay (1991) menyatakan bahwa kanibalisme dilaporkan dijumpai pada 36 dari 410 famili ikan teleostei, tetapi diduga bahwa penyebarannya lebih luas lagi. Menemukan contoh kanibalisme adalah tidak sulit, dan mungkin lebih menarik untuk mencari taksa ikan yang tidak menunjukkan perilaku kanibalisme. Famili ikan yang memberikan paling banyak contoh kasus kanibalisme adalah Engraulididae, Esocidae, Poeciliidae, Gasterosteidae, Percidae dan Cichlidae. Kanibalisme digolongkan menjadi tujuh tipe, bergantung pada tahap sejarah hidup, perbedaan umur antara ikan kanibal dan mangsanya, dan apakah mereka berkerabat atau tidak. Dalam populasi terkurung, kanibalisme cenderung meningkat dengan meningkatnya kepadatan ikan dan berkurangnya ketersediaan makanan, namun peranan kanibalisme dalam pengaturan populasi di alam liar belum dapat ditunjukkan. Kanibalisme memberikan beberapa dampak ekonomis yang penting dalam akuakultur, tetapi dampak tersebut bisa dikurangi dengan relatif mudah, yaitu dengan sering melakukan pengelompokkan-pengelompokkan guna mengurangi perbedaan ukuran ikan. Keuntungan utama dari tingkah laku kanibalisme adalah berkaitan dengan kebutuhan gizi; diduga bahwa tingkah laku ini berevolusi sebagai sebuah strategi yang efektif dalam menghadapi persaingan.

Faktor Penyebab Kanibalisme

Hecht dan Pienaar (1993) membahas kanibalisme dengan menitik beratkan pada peranan fenomena ini dalam budidaya larva ikan. Kanibalisme merupakan kejadian yang lebih sering dijumpai daripada yang diduga semula dan peranannya dalam budidaya larva ikan adalah penting. Ada dua faktor yang menyebabkan kanibalisme terhadap ikan-ikan saudaranya, yaitu genetik dan tingkah laku; yang terakhir ini dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor lingkungan. Kanibalisme dianggap sebagai strategi makan alternatif, lebih mungkin dilakukan oleh larva dan juvenil tahap awal ikan karnivora, ketika sumber daya menjadi terbatas. Perilaku berkelahi yang menyebabkan mortalitas mempunyai penyebab yang sama dengan kanibalisme.

Pengaruh Kelaparan dan Perbedaan Ukuran Tubuh Terhadap Kanibalisme

Folkvord (1991) meneliti pengaruh jenis makanan, puasa/kelaparan dan ukuran ikan terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kanibalisme pada juvenil ikan cod (Gadus morhua) yang dipelihara di kolam. Kelompok campuran ikan cod dengan berat 0,2 gram dan 8 gram memiliki kelangsungan hidup 93,5 – 97 % dalam waktu 4 minggu dengan diberi pakan zooplankton hidup. Rata-rata laju pertumbuhan harian adalah 4,5 % dan 1,6 %, berturut-turut, dan perbedaan ini diduga kemungkinan sebagai alasan mengapa inidividu-individu dalam kelompok 0,2 gram lebih banyak yang hilang akibat kanibalisme. Kanibalisme lebih tinggi di antara ikan cod berbobot badan 0,2 gram yang dipuasakan daripada ikan cod 0,2 gram yang diberi makan. Kanibalisme di antara ikan cod berbobot 0,2 gram berhenti setelah penambahan zooplankton hidup. Besarnya perbedaan ukuran dalam satu cohort (sekelompok individu dengan karakteristik sama) berpengaruh besar terhadap tingkat kanibalisme. Dua individu besar dari kelompok 0,2 gram memangsa lebih dari 50 saudaranya pada kondisi kekurangan makanan yang parah selama periode 4 minggu. Sebaliknya, sekitar 96 % ikan dari kelomok 8 gram tetap hidup selama kelaparan 4 minggu. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemanenan juvenil secara lebih dini dari kolam pemeliharaan disarankan untuk memperbaiki kelangsungan hidupnya dan untuk mengurangi jumlah ikan yang hilang akibat kanibalisme.

Kanibalisme Menyumbangkan Mortalitas Tertinggi Pada Ikan Gadus

Korzhev dan Tretyak (1991) dalam Bogstad dan Tjelmeland (1991) mempelajari kanibalisme ikan cod (Gadus morhua) berumur 1 – 9 tahun terhadap ikan cod muda berumur 0 ± 3 tahun berasarkan pengamatan aktivitas makan pada kondisi alami pada tahun 1984 – 1989. Ikan cod pertama kali menunjukkan kanibalisme pada umur 1 tahun tetapi umur tertua yang masih mengalami kanibalisme adalah 3 tahun. Dengan demikian mortalitas alami yang disebabkan oleh faktor selain kanibalisme bisa dihitung untuk ikan cod berumur 4 – 15 tahun, dan hasil perhitungan ini kemudian diekstrapolasi ke bawah untuk ikan cod berumur 0+ tahun. Mortalitas alami akibat kanibalisme dihitung untuk ikan berumur 0 ± 3 tahun dengan menggunakan VPA (virtual population analysis) spesies tunggal yang bertanggung jawab atas kanibalisme. Jumlah ikan cod muda yang dikonsumsi oleh ikan cod dewasa adalah setara dengan rata-rata kelimpahan kelas tahun pada umur 3 dan melebihi jumlah ikan cod yang ditangkap selama setahun sebesar 1,4 – 3,3 kali lipat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengoptimalkan perikanan cod dengan menekan tingkat kanibalisme yang tinggi.

Kanibalisme Terhadap Telur Ikan

Kamler (1992), berdasarkan beberapa laporan penelitian lain, menyatakan bahwa keberadaan telur ikan dalam lambung ikan Coregonidae dan dalam ikan Fundulus heteroclitus telah dilaporkan. Juga dilaporkan adanya kanibalisme terhadap telur pada ikan Gasterosteus aculeatus. Kasus serupa juga ditemukan pada ikan Coregonus albula. Ada dua sub populasi Coregonus di beberapa danau yang dalam di Skandinavia, yang satu memijah pada musim gugur sedang yang lain memijah pada musim dingin atau musim semi. Kelompok ikan yang terakhir ini melewatkan musim panas di bagian danau yang dalam yang airnya tetap dingin; pada akhir musim gugur, selama periode intensif perkembangan sel-sel telur dalam gonadnya, ikan-ikan ini menuju ke bagian danau yang lebih dangkal yang merupakan daerah pemijahan Coregonus pemijah musim gugur. Ikan pemijah musim dingin memangsa telur-telur dari ikan pemijah musim gugur. Makanan yang sangat berharga dan dalam jumlah besar ini, yang didapatkan tanpa banyak mengeluarkan energi dan pada saat yang tepat, memungkinkan telur-telur yang dipijahkan pada musim dingin di Danau Kajoonjarvi menjadi 3 – 7 kali lebih besar (berat kering) dibandingkan telur-telur ikan pemijah musim gugur. Coregonus pemijah musim dingin menetas lebih lambat dan lebih besar dibandingkan Coregonus pemijah musim gugur. Laju pertumbuhan larva ikan yang pertama juga lebih cepat daripada yang kedua.

Kanibalisme Pada Budidaya Anak Ikan Polyodon

Rideg dan Rideg (1992) melakukan percobaan pemeliharaan ikan paddlefish (Polyodon spathula) mulai dari telur yang diimpor pada musim semi 1992. Percobaan pemeliharaan ini menggunakan sebuah sistem daur ulang berkapasitas 25 m3 dengan suhu air 19 oC. Pada awalnya ikan hanya diberi pakan organisme hidup seperti nauplius Artemia dan Daphnia, kemudian pakan kering diberikan secara ad libitum. Alat pemberi pakan otomatis digunakan untuk memberi sejumlah kecil pakan sepanjang hari karena aktivitas makan ikan ini di dasar tangki tidak terlihat. Pada akhir percobaan pemeliharaan – pada hari ke 50 – diperoleh anak ikan berukuran 6 – 12 cm yang kemudian dipasarkan. Tingkat kelangsunga hidup adalah 21,1 % pada kelompok I dan 67,4 % pda kelompok II. Periode mortalitas utama terjadi antara hari ke-10 dan 22 dan sekitar hari ke-40 dari masa pemeliharaan. Hanya tangki bundar berkedalaman 40 cm terbukti sesuai untuk pemeliharaan. Kanibalisme terlihat jelas dari awal sampai akhir percobaan sehingga ikan harus secara teratur dikelompok-kelompokkan menurut ukurannya.

Referensi :


Ali, M., Y. Cui, X. Zhu and R.J. Wootton. 2001. Dynamics of Appetite in Three Fish Species (Gasterosteus aculeatus, Phoxinus phoxinus and Carassius auratus gibelio) After Feed Deprivation. Aquaculture Research, Vol. 32, Issue 6, pp. 443 – 450

Arai, S., T. Nose and H. Kawatsu. 1974. Effect of Minerals Supplemented to The Fish Meal Diet on Growth of Eel, Anguilla japonica. Bulletin of Freshwater Fisheries Research Laboratory, vol. 24, no. 2, pp. 95 - 100

Bernier, N.J. 2006. The Corticotropin-Releasing Factor System as a Mediator of The Appetite-Suppressing Effects of Stress in Fish. General and Comparative Endocrinology, Vol. 146, Issue 1, pp. 45 – 55

Cai, Z. and L.R. Curtis. 1990. Effects of Diet and Temperature on Food Consumption, Growth Rate and Tissue Fatty-Acid Composition of Triploid Grass Carp. Aquaculture, Vol. 88, Issues 3 – 4, pp. 313 – 327

Cleveland, L., E.C. Little, C.G. Ingersoll, R.H. Wiedmeyer and J.B. Hunn. 1991. Sensitivity of Brook Trout to Low pH, Low Calcium and Elevated Aluminium Concentrations During Laboratory Pulse Exposures. Aquatic Toxicology, Vol. 19, No. 4, pp. 303 – 318

Cowey, C.B., J.W. Adron and A. Youngson. 1983. The Vitamin E Requirement of Rainbow Trout (Salmo gairdneri) Given Diets Containing Polyunsaturated Fatty Acids Derived From Fish Oil, Aquaculture, Vol. 30, Issues 1–4, pp. 85–93

Davis, M.W. and B.L. Olla. 1992. Comparison of Growth, Behavior and Lipid Concentrations of Walleye Pollock Theragra chalcogramma Larvae Fed Lipid-Enriched, LIpid-Deficient and Filed-Collected Prey. Marine Ecology Progress Series, vol. 90, no. 1, pp. 23 – 30, ISSN 0171-8630

Dias-Koberstein, T. C. R., D.J. Carneiro and E.C. Urbinati. 2004. The Feeding Behaviour of Pacu Fingerlings (Piaractus mesopotamicus, Holmberg, 1887), Based on Appetite Revival and Satiation of Fish at Two Culture Temperatures. Acta Scientiarum - Animal Sciences, Vol. 26, No. 3, pp. 339 - 344

Folkvord, A. 1991. Growth, Survival and Cannibalism of Cod Juveniles (Gadus morhua) : Effects of Feed Type, Starvation and Fish Size. Aquaculture, Vol. 97, No.1, pp. 41 - 59

Gregory, R.S. and T.G. Northcote. 1993. Surface, Planktonic and Benthic Foraging by Juvenil chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) in Turbid Laboratory Conditions. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 50, No. 2, pp. 233 - 240

Hamre, K. 2011. Metabolism, Interactions, Requirements and Functions of Vitamin E in Fish, Aquaculture Nutrition, Vol. 17, Issue 1, pp. 98–115

Hauler, R.C. and C.G. Carter. 1999. Phytase Treatment of Soybean Meal Increases Appetite of Atlantic Salmon (Salmo salar L.) Parr. World Aquaculture 1999 - Meeting Abstract, p. 316

Hecht, T. and A.G. Pienaar. 1993. A Review of Cannibalism and Its Implications in Fish Larviculture. Journal of the World Aquaculture Society, Vol. 24, Issue 2, pp. 246 – 261

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Ishii, K. and K. Yamamoto. 1972. Electron Microscopic Studies on The Liver Cells in Pantothenic Acid Deficient Goldfish. Bulletin of Faculty of Fisheries of Hokkaido University, vol. 23, no. 3, pp. 151 – 157

Jørgensen, E.H., J.S. Christiansen and M. Jobling. 1993. Effects of Stocking Density on Food Intake, Growth Performance and Oxygen Consumption in Arctic Charr (Salvelinus alpinus). Aquaculture, Vol. 110, Issue 2, pp. 191 – 204

Kamler, E. 1992. Early Life History of Fish, an Energetics Approach. Chapman and Hall. London. 261 pp.

Korzhev, V.A. and V.L. Tretyak. 1991. Effect of Cannibalism on Recruitment to The North-East Arctic in Bogstad, B. and S. Tjemeland. (eds.). 1991. Interrelations Between Fish Populations in The Barents Sea. Proceedings of The Fifth PINRO-IMR Symposium, Murmansk, 12 – 16 August 1991. Institut Marine Research, Bergen, Norway, pp. 161 – 168

Lim, C., M. Yildirim-Aksoy, R. Shelby, M.H. Li and P.H. Klesius. 2010. Growth Performance, Vitamin E Status, and Proximate and Fatty Acid Composition of Channel Catfish, Ictalurus punctatus, Fed Diets Containing Various Levels of Fish Oil and Vitamin E. Fish Physiology and Biochemistry, Vol. 36, Number 4, pp. 855-866

Lovell, T. 1998. Nutrition and Feeding of Fish. 2 nd ed. Kluwer Academic, Massachusetts. 271 pp.

Masumoto, T., H. Hosokawa and S. Shimeno. 1991. Ascorbic Acid’s Role in Aquaculture Nutrition in Akiyama, D.M and R.K.H. Tan (eds.). 1991. Proceedings of The Aquaculture Feed Processing and Nutrition Workshop, Thailand and Indonesia. American Soybean Association, Singapore, pp. 45 - 48

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. 267 pp

Peng, S.-M., L.-Q. Chen, J.-L. Hou, W. WANG, Z.-Q. Long, J.-Y. Ye, X.-J.Sun. 2008. Effect of Dietary Vitamin E on Lipid Content and Hepatic Antioxidant Enzyme Activities of Juvenile Black Seabream, Acanthopagrus schlegeli Fed Oxidized Fish Oil, Journal of Shanghai Fisheries University, 2008-03

Poston, H.A., G.A. Combs, Jr. and L. Leibovitz. 1976. Vitamin E and Selenium Interrelations in The Diet of Atlantic Salmon (Salmo salar) : Gross, Histological and Biochemical Deficiency Signs. J. Nutr., vol. 106, pp. 892 - 904

Rideg, A. and G. Rideg. 1992. Rearing of Paddlefish (Polyodon spathula) in Recycling System. Halaszat, No. 3, pp. 141 – 144

Seals, C., A.G. Eversole, J.R. Tomasso and B.R. Petrosky. 1997. Effects of Temperature on Feeding Activity of The White River Cray-Fish, Procambarus acutus acutus. World Aquaculture '97 - Meeting Abstract, p. 162

Smith, C. and P. Reay. 1991. Cannibalism in Teleost Fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries, Vol. 1, Issue 1, pp. 41 – 64

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Urawa, S. 1993. Effects of Ichthyobodo necator Infections on Seawater Survival of Juvenile Chum Salmon (Oncorhynchus keta). Aquaculture, Vol. 110, No. 2, pp. 101 – 110

Virtanen, E. 1992. The Nutritional Requirements of Fish. SUOM. KALATAL., no. 60, pp. 142 – 147, ISSN 0085-6940

Volkoff, H., M. Xu, E.MacDonald and L. Hoskins. 2008. Aspects of The Hormonal Regulation of Appetite in Fish With Emphasis on Goldfish, Atlantic Cod and Winter Flounder: Notes on Actions and Responses to Nutritional, Environmental and Reproductive Changes. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Molecular & Integrative Physiology, Vol. 153, Issue 1, pp. 8 – 12

Ward, J.E., H.K. Cassell and B.A. MacDonald. 1992. Chemoreception in The Sea Scallop Placopecten magellanicus (Gmelin). 1. Stimulatory Effects of Phytoplankton Metabolites on Clearance and Ingestion Rates. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, Vol. 163, No 2, pp. 235 - 250

Wilson, R.P., P.R. Bowser, W.E. Poe. 1984. Dietary Vitamin E Requirement of Fingerling Channel catfish. Journal of Nutrition. Vol. 114, no. 11, pp. 2053-2058.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar