Jumat, 01 Juni 2018

Pemanfaatan Ikan Cucut, Squalen dan Minyak Ikan


Daftar Isi




Bab I. Pemanfaatan dan Pengolahan Ikan Cucut

- Pemanfaatan Cucut Sebagai Makanan, Sumber Vitamin A dan Bahan Kulit
- Sup Sirip Hiu dan Dampaknya Bagi Populasi Ikan Tersebut
- Pemanfaatan Gelatin dari Kulit dan Tulang Ikan Cucut
- Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Sifat-Sifat Gelatin Ikan Cucut
- Teknologi Pengolahan dan Penyimpanan Filet Ikan Cucut Untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Awet Produk
- Pengaruh Squalen dan Minyak Hati Ikan Cucut Terhadap Kadar Kolesterol Darah

Bab II. Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

- Peranan Squalen Dalam Fisiologi
- Squalen dan Kesehatan
- Kandungan Squalen dan Lipida Dalam Hati Ikan Cucut Laut-Dalam

Bab III. Komposisi Kimia Minyak Ikan

- Komposisi Umum Minyak Ikan
- Kolesterol Sebagai Komponen Minyak Ikan
- Asam Lemak Dalam Minyak Ikan
- Komposisi Asam Lemak Dalam Minyak Ikan Cucut
- Komposisi Kimia Minyak Ikan Hasil Samping Pabrik Pengolahan Ikan
- EPA, DHA dan Yod Dalam Minyak Ikan Komersial
- Senyawa Hijau di Dalam Minyak Ikan Sardin

Bab IV. Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

- Proses Silase Untuk Memperoleh Minyak Ikan
- Aroma Hijau Pada Minyak Ikan Sardin
- Minyak Ikan Melemahkan Kekebalan Terhadap Penyakit
- Keracunan Makanan Akibat Minyak Ikan

Referensi

Bab I
Pemanfaatan dan Pengolahan Ikan Cucut


Pemanfaatan Cucut Sebagai Makanan, Sumber Vitamin A dan Bahan Kulit

Sharp (1984) menyatakan bahwa meskipun ikan cucut hanya menyumbangkan satu persen dari total tangkapan ikan dunia setiap tahun, ikan ini biasa dimanfaatkan sebagai makanan, dagingnya tidak berlemak dan rasanya lezat. Hati ikan ini mengandung minyak yang kaya akan vitamin A, sehingga cucut merupakan sumber penting vitamin ini sebelum ada metode yang efektif untuk memproduksi vitamin A secara komersial di laboratorium. Di Cina dan Timur Jauh, sirip ikan hiu merupakan makanan yang sangat lezat dan menjadi komponen vital dalam sup sirip ikan hiu, masakan Timur yang terkenal dan digemari. Kulit ikan hiu, atau “shagree”, dapat digosok hingga halus dan diwarnai untuk kemudian dijadikan sepatu atau pakaian yang menarik.

Sup Sirip Hiu dan Dampaknya Bagi Populasi Ikan Tersebut

Randall (1995) menyatakan bahwa beberapa spesies ikan hiu merupakan bahan makanan yang penting secara komersial, terutama pada tahun-tahun terakhir ini ketika stok banyak jenis ikan ekonomis penting mulai mengalami overfishing (penangkapan yang berlebihan). Sirip beberapa jenis ikan hiu merupakan komponen penting dalam pembuatan sup di negara-negara Timur. Hal ini berdampak buruk karena menyebabkan adanya perikanan yang dikhususkan menangkap jenis-jenis hiu tersebut. Karena hiu yang ditangkap adalah yang muda sedangkan pertumbuhan sebagian besar ikan ini lambat, maka populasinya dengan cepat mengalami overfishing.

Pemanfaatan Gelatin dari Kulit dan Tulang Ikan Cucut

Kittiphattanabawon et al. (2012) menyatakan bahwa ikan cucut, terutama Chiloscyllium punctatum dan Carcharhinus limbatus, dimanfaatkan untuk produksi filet dan sirip ikan di Thailaind. Selama pengolahan ikan cucut, dihasilkan limbah padat, terutama kulit dan tulang rawan. Umumnya hasil samping ini sebagian besar digunakan untuk membuat tepung ikan atau pupuk, yang nilai ekonomisnya rendah. Biasanya, gelatin diproduksi secara komersial dari kulit dan tulang babi dan “bovine” (sejenis sapi/kerbau). Namun, gelatin dari bovine membawa resiko tinggi terjadinya “bovine spongiform encephalopathy” (BSE), sedangkan kulit dan tulang babi tidak dapat digunakan dalam makanan bagi Muslim dan Yahudi. Dengan demikian, gelatin ikan, terutama gelatin dari kulit ikan cucut Chiloscyllium punctatum dan/atau Carcharhinus limbatus, bisa menjadi sumber alternatif untuk produksi gelatin. Gelatin adalah senyawa biopolimer yang diperoleh dengan cara denaturasi (penguraian)-sebagian kolagen. Gelatin banyak digunakan dalam industri makanan maupun non makanan (fotografi, kosmetik dan obat-obatan). Dalam industri makanan, gelatin dapat bertindak sebagai stabilizer.

Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Sifat-Sifat Gelatin Ikan Cucut

Kittiphattanabawon et al. (2012) mempelajari sifat-sifat fisika kimia, sifat fungsional dan aktivitas antioksidatif yang ditunjukkan oleh gelatin dari kulit ikan cucut Chiloscyllium punctatum dan Carcharhinus limbatus, di bawah pengaruh suhu ekstraksi. Kadar gugus alfa-asam amino dan hidrofobisitas permukaan gelatin kedua spesies ikan cucut meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu ekstraksi (P < 0.05). Kedua gelatin memiliki kelarutan yang tinggi (lebih dari 80 %) dalam kisaran pH yang lebar (1 – 10). Kedua gelatin yang diekstrak pada suhu 60 °C menunjukkan nilai tertinggi untuk “emulsion activity index” (EAI), “emulsion stability index (ESI) dan “foam expansion” (FE; pemuaian busa). “Foam stability” (FS; stabilitas busa) terendah terjadi bila gelatin diekstrak pada suhu 75 °C (P < 0.05). Gelatin Chiloscyllium punctatum memiliki nilai EAI, ESI dan FE yang lebih rendah daripada gelatin Carcharhinus limbatus. Bagaimanapun, FS yang lebih tinggi ditemukan pada gelatin Chiloscyllium punctatum (P < 0.05). Akivitas antioksidan kedua gelatin meningkat bersamaan dengan meningkatnya kadar gugus alfa-asam amino dan sejalan dengan meningkatnya suhu ekstraksi (P < 0.05). Gelatin Chiloscyllium punctatum umumnya menunjukkan aktivitas antioksidatif yang lebih tinggi daripada gelatin Carcharhinus limbatus (P < 0.05). Gelatin yang diekstrak pada suhu 60 °C menunjukkan sifat-sifat interfasial (antar bidang-batas) yang tertinggi, sedangkan gelatin yang diekstrak pada suhu yang lebih tinggi (75 oC) memiliki aktivitas antioksidatif yang lebih tinggi. Suhu ekstraksi dengan demikian bisa diatur untuk penerapan maksimum.

Teknologi Pengolahan dan Penyimpanan Filet Ikan Cucut Untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Awet Produk

Ramachandran dan Solanki (1991) melaporkan bahwa filet ikan tanpa duri telah dibuat dari ikan cucut dengan memodifikasi metode pengolahan. Mutu produk dan karakteristik penyimpanannya pada berbagai kelembaban (Relative Humidity; RH) dan pengemasan vakum, iradiasi, dan lain-lain telah dipelajari. Penyerapan garam maksimum oleh daging selama penggaraman terjadi selama delapan jam pertama yang kemudian berkurang secara perlahan-lahan sejalan dengan waktu. Demikian pula, dehidrasi juga menunjukkan kecenderungan yang sama selama penggaraman. Periode penggaraman yang optimum selama 16 sampai 18 jam dalam air garam yang jenuh (pekat) dianggap merupakan cara terbaik untuk memperoleh produk dengan kadar garam 16 sampai 18 % dan kadar air 52 sampai 56 %. Metode pengolahan yang lebih disempurnakan bisa mengurangi lama waktu penanganan dan memperbaiki mutu produk. Produk yang dikemas dalam polythene dan kemudian diiradiasi menunjukkan daya awet yang lebih lama. Penyimpanan pada kelembaban (RH) yang lebih tinggi mempercepat pemudaran warna permukaan produk dan pembusukan. Produk yang disimpan pada RH 65 % bisa mempertahankan komposisi produk dan mutu selama hampir satu bulan.

Pengaruh Squalen dan Minyak Hati Ikan Cucut Terhadap Kadar Kolesterol Darah

Zhang et al. (2002) melaporkan bahwa squalen dan minyak hati ikan cucut dijual sebagai suplemen kesehatan yang terkenal. Telah dilakukan studi untuk menguji aktivitas hiperkolesterolemik (konsentrasi kolesterol yang berlebihan di dalam darah) yang ditimbulkan oleh squalen murni dan minyak hati ikan cucut murni pada binatang hamster. Squalen ditambahkan dalam makanan dengan kadar 0,05, 0,1 dan 0,5 % sedangkan minyak hati ikan cucut ditambahkan ke dalam makanan sebanyak 0,05 % berdasarkan berat. Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, total kolesterol dalam serum darah untuk kelompok hamster yang menerima squalen 0,05 % meningkat sebanyak 32 %, untuk kelompok squalen 0,10 % meningkat sebanyak 23 %, untuk kelompok squalen 0,5 % meningkat sebanyak 35 % dan untuk kelompok minyak hati ikan cucut 0,05 % meningkat sebanyak 19 %. Kecenderungan yang sama tampak untuk trigliserida dalam serum darah. Pemberian squalen atau minyak hati ikan cucut juga meningkatkan konsentrasi kolesterol pada organ hati sebesar 97 – 133 % untuk empat kelompok uji dibandingkan dengan hamster kontrol. Selain itu, penambahan squalen dan minyak hati ikan cucut ke dalam makanan menyebabkan penimbunan squalen dengan jumlah yang nyata di dalam hati dan jaringan lemak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa squalen dan minyak hati ikan cucut bersifat hiperkolesterolemik setidaknya pada hamster. Perhatian harus diberikan bila squalen dan minyak hati ikan cucut dikonsumsi secara rutin sebagai suplemen kesehatan.

Bab II
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut


Peranan Squalen Dalam Fisiologi

Ahn dan Kim (1991) mengulas hasil-hasil studi mengenai peranan squalen dalam fisiologi. Squalen, sejenis senyawa triterpen asiklik, merupakan “precursor” (bahan awal) penting dalam biosintesis sterol yang menjadi komponen penting penyusun membran pada binatang dan tumbuhan. Squalen ini juga merupakan lipida yang dijumpai pada banyak minyak ikan dan tumbuhan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa squalen bisa dimanfaatkan dalam pengobatan luka lambung, rematik, hipertensi dan penyakit asal-bakteri. Telah dilaporkan bahwa aktivitas anti-jamur yang ditunjukkan oleh amphotericin B terhadap Saccharomyces cervisiae bisa ditingkatkan secara sinergis bila digabungkan dengan squalen. Penelitian lain menunjukkan bahwa lipida semi-murni yang diekstrak dari hati ikan cucut meningkatkan daya tahan inang terhadap infeksi bakteri.

Ahn dan Kim (1991) menambahkan bahwa penelitian-penelitian mengenai lipida serum dalam kaitannya dengan squalen membuktikan bahwa squalen dalam pakan dapat mempengaruhi konsentrasi squalen dalam serum darah manusia serta konsentrasi kolesterol dalam hati tikus. Telah ditunjukkan bahwa squalen pakan yang diserap tubuh menyumbangkan sampai beberapa kisaran kandungan squalen dalam jaringan lemak, secara efektif meningkatkan sintesis kolesterol total dan juga meningkatkan pembuangan kolesterol dalam bentuk asam-asam empedu pada tinja tikus. Bagaimanapun, ada laporan bahwa pemberian squalen lewat mulut menurunkan HDL-kolesterol dan meningkatkan nilai “thiobarbiturate reactive substance” (TBA) serta fosfolipid dalam serum darah dan hati tikus. Juga dilaporkan bahwa squalen meningkatkan secara nyata jumlah leukosit (sel darah putih) yang bersirkulasi serta mendorong penambahan berat relatif limfa dan timus pada tikus. Bagaimanapun, berat relatif hati sedikit berkurang.

Squalen dan Kesehatan

Narayan Bhilwade et al. (2010) melaporkan bahwa saat ini, peranan produk alami dalam menjaga kesehatan mendapat banyak perhatian, dan berbagai bahan fungsional telah dipelajari secara luas dalam hal kemampuannya mencegah banyak penyakit seperti penyakit “cardiovascular” (pembuluh jantung) dan kanker. Squalen merupakan salah satu contohnya. Produk alami ini tersebar di alam, baik pada tumbuhan maupun hewan, dan terutama dalam organ hati spesies ikan cucut tertentu (famili squalidae) sebagaimana ia diidentifikasi pertama kali sebagai substansi penyembuh dalam minyak hati ikan cucut. Sekarang telah diketahui bahwa squalen merupakan substansi fisiologis yang berfungsi pada tubuh binatang sebagai prekursor dalam biosintesis kolesterol. Sebenarnya, squalen telah lama digunakan sebagai sumber daya makanan fungsional yang menarik, sebagai pelengkap makanan atau bahkan obat karena memiliki sifat fisik yang unik serta banyak fungsi fisiologis seperti anti kanker dan anti “hiper-kolesterolemia” (konsentrasi kolesterol dalam darah yang tinggi). Sifat anti oksidan dan kemampuan squalen mengangkut oksigen menyebabkannya mampu mencegah penyakit kardiovaskuler.

Kandungan Squalen dan Lipida Dalam Hati Ikan Cucut Laut-Dalam

Deprez et al. (1990) melaporkan bahwa ikan hiu laut-dalam (terutama cucut anjing) merupakan hasil samping penting pada perikanan trawl yang bertujuan menangkap Hoplostethus atlanticus, sejenis ikan laut-dalam. Untuk menguji apakah hati ikan-ikan cucut ini bisa menjadi sumber squalen dan lipida komersial penting lainnya, sebanyak 16 ikan cucut dari 8 spesies dikumpulkan dari perairan Tasmania pada kedalaman 700 – 1.200 meter selama pelayaran penelitian S02/88 FRV Soela. Ikan hiu tersebut adalah Centroscyrnnus crepidater (longnose velvet dogfish), Centroscyrnnus owstoni (Owston's dogfish), Centroscyrnnus coelolepis (Portuguese dogfish), Deania calcea (shovelnose dogfish), Etmopterus baxteri (Baxter's dogfish), Etmopterus sp. nov. (ikan cucut anjing kerdil tanpa nama), Dalatias licha (kitefin atau seal shark) dan Centrophorus squarnosus (leafscale gulper shark). Konsentrasi squalen, triasillgliserol, diasilgliseril ether, asam lemak total, pristane dan lipida-lipida lain dianalisis dengan kromatografi gas kapiler dan deteksi ionisasi nyala api kromatografi lapisan tipis. Hati ikan cucut tersebut mengandung banyak squalen (15 – 69 % berdasarkan berat), kecual hati Centrophorus squarnosus (1 %), yang mengandung secara tak wajar banyak diasilgliseril ether (79 %). Konsentrasi triasillgliserol dan diasilgliseril ether di dalam hati berkisar dari 1 sampai 26 % dan dari 7 sampai 79 % berdasarkan berat, berturut-turut. C 19 isoprenoid alkane pristane merupakan komponen minor dalam semua sampel (0,01 – 0,56 % berdasarkan berat hati). Tiga jenis asam lemak ester yang banyak ditemukan dalam semua sampel adalah asam lemak palmitat (16 : 0), oleat [18 : 1 (n – 9)] dan eicosa-11-enoic [20: 1 (n - 9)]. Asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen minor. Data ini menunjukkan bahwa hati ikan cucut menyediakan hasil samping yang berharga dari perikanan trawl laut-dalam.

Bakes dan Nichols (1995) menganalisis minyak hati dari ikan cucut laut-dalam Somniosus pacificus, Centroscymnus plunketi, Centroscymnus crepidater, Etmopterus granulosus, Deania calcea dan Centrophorus scalpratus untuk mengetahui komposisi lipida, asam lemak dan squalen. Lipida-lipida utama pada semua spesies hiu ini adalah diasilgliseril eter dan triasilgliserol, sedangkan hidrokarbon utamanya adalah squalen. Lipida polar ditemukan dalam jumlah sangat sedikit. Asam-asam lemak mono-tak-jenuh (C 16 : 1, C 18 : 1, C 20 : 1, C 22 : 1 dan C 24 : 1) menyusun 62 – 84 % dari asam-asam lemak. Asam-asam lemak jenuh menyumbangkan 11 – 26 % dari total asam lemak, sedangkan asam-asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen yang relatif minor (1 – 13 %). Semua ikan hiu memiliki komposisi lipida yang berbeda, tetapi profil diol dan asam lemaknya sama. Tingginya kandungan squalen (50 – 82 % dari semua komponen minyak) dalam semua spesies ikan hiu, kecuali Centroscymnus plunketi dan Somniosus pacificus, menunjukkan bahwa minyak dari ikan-ikan cucut laut-dalam yang dikumpulkan di perairan Australia selatan cocok untuk kepentingan industri.

Bab III
Komposisi Kimia Minyak Ikan


Komposisi Umum Minyak Ikan

Brody (1965) menyatakan bahwa minyak ikan pada dasarnya merupakan ester dari asam lemak dan gliserol. Komposisi umum minyak ikan adalah sebagai berikut : (a) minyak ikan mengandung sekitar 25 % asam lemak jenuh, dan kira-kira 75 % asam lemak poli-tak-jenuh, (b) berbagai jenis asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak ikan memiliki panjang rantai yang sangat bervariasi dan sebagian besar asam lemak tak jenuh ini adalah asam-asam C-16, C-18 dan C-20 serta C-22, (c) minyak ikan memiliki komposisi tak-tersabunkan (unsaponifiable) yang cukup bervariasi, (d) minyak hati ikan mengandung kolesterol dengan konsentrasi yang relatif tinggi, sedang minyak badan ikan hanya mengandung sedikit kolesterol, (e) secara umum struktur gliserida minyak ikan jauh lebih komplek dibandingkan struktur gliserida lemak tumbuhan dan lemak binatang darat karena minyak ikan mengandung asam-asam lemak yang sangat tak jenuh dan berantai panjang.

Kolesterol Sebagai Komponen Minyak Ikan

Menurut Brody (1965) kolesterol dan ester-esternya merupakan satu-satunya jenis senyawa sterol yang terdapat dalam minyak ikan. Beberapa contoh konsentrasi kolesterol dalam produk perikanan adalah sebagai berikut : minyak hati ikan sebelah, 7,0 %, minyak hati ikan cod Atlantik, 0,3 %, minyak telur ikan salmon, 3,0 %, minyak ikan pilchard (sejenis lemuru) komersial, 0,7 % dan minyak dari limbah udang, 19,0 %. Sebagai tambahan, tepung ikan yang dihasilkan di Nova Scotia mengandung kolesterol 6 – 10 pon per ton (sekitar 0,3 – 0,5 %).

Asam Lemak Dalam Minyak Ikan

Kebanyakan asam lemak dalam minyak ikan merupakan senyawa berantai-lurus normal dengan jumlah atom karbon genap. Asam isovalerat merupakan kekecualian dalam hal ini karena memiliki jumlah atom karbon ganjil dan juga rantainya bercabang. Struktur beberapa asam lemak yang sangat tak jenuh menyebabkannya menjadi tak stabil sehingga sulit untuk diisolasi dan dimurnikan. Di antara asam lemak jenuh yang paling dikenal yang ada dalam minyak ikan, asam palmitat (C16H32O2), asam stearat (C18H36O2) dan asam miristat (C14H28O2) banyak terdapat di dalam minyak ikan. Asam lignoserat (C24H48O2) hanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit sekali pada minyak beberapa jenis ikan lemuru dan hering (Brody, 1965).

Brody (1965) menambahkan bahwa di antara asam lemak tak jenuh yang paling dikenal yang ditemukan dalam semua minyak ikan, asam oleat (C18H34O2) terdapat sebagai komponen utama. Asam ini mempunyai satu ikatan rangkap. Asam clupanodonat, yang memiliki lima ikatan rangkap, juga ditemukan praktis dalam semua ikan sebagai komponen penting. Diyakini bahwa bau khas minyak ikan sebagian disebabkan oleh adanya asam-asam lemak yang sangat tak jenuh ini. Kenyataannya memang bila minyak ikan dihidrogenasi (sehingga asam lemak tak jenuh menjadi jenuh) maka minyak ikan kehilangan bau khas tersebut.

Komposisi Asam Lemak Dalam Minyak Ikan Cucut

Saify et al. (2000) mempelajari komposisi asam lemak dalam minyak ikan dari dua spesies ikan laut yang ditemukan di perairan pesisir Karachi (Pakistan), yaitu ikan cucut martil (Eusphyra blochii) dan ikan cucut Carcharhinus bleekeri. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi asam-asam lemak ini dilakukan dengan teknik “gas liquid chromatography” (GLC) dan gabungan TLC-GLC. Berbagai jenis pelarut digunakan untuk mengekstrak lipida dari jaringan ikan; di antara pelarut tersebut yang paling baik adalah larutan kloroform : mentanol (2 : 1; volume/volume). Ditemukan variasi yang besar antara minyak hati ikan kedua spesies tersebut. Kandungan lipida dalam hati ikan Eusphyra blochii adalah 66,19 % dan dalam hati Carcharhinus bleekeri sebesar 39,94 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk ikan Eusphyra blochii kandungan asam lemak jenuh dalam hati ikan ini berkisar dari 56 % sampai 70,12 %. Asam palmitat adalah dominan dengan kisaran konsentrasinya 36,63 sampai 46,97 % sedangkan konsentrasi asam stearat berkisar dari 9,34 sampai 17,49 %. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, monoenoic merupakan asam lemak utama. Kadar asam oleat adalah 11,10 sampai 26,45 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Polyunstaurated fatty acid (PUFA) berkisar dari 4,25 sampai 15,21 % di mana EPA sebanyak 0,41 sampai 1,65 % dan DHA 0,24 sampai 3,07 %. EPA dan DHA dilaporkan ditemukan juga pada ikan silver carp dan bighead carp dengan rasio yang sama (Saify et al., 2000).

Saify et al. (2000) melaporkan hasil pengamatannya mengenai komposisi asam lemak dalam minyak ikan cucut Carcharhinus bleekeri sebagai berikut. Di antara kelompok lipida, konsentrasi asam lemak jenuh berkisar dari 34,77 sampai 68,24 %. Asam palmitat dan asam stearat merupakan asam-asam lemak jenuh utama dengan kadar berkisar dari 33,50 sampai 56,46 % dan 7,99 sampai 11,55 %, berturut-turut. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, asam lemak monoenoic berkisar dari 4,35 sampai 41,21 % dengan asam oleat sebagai komponen utama yang kadarnya 0,30 sampai 27,05 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Asam lemak poli-tak-jenuh berkisar dari 1,08 sampai 7,38 %. Persentase komposisi EPA dan DHA berkisar dari 0,16 sampai 0,85 % dan 0,06 sampai 2,39 %, berturut-turut. Diasilgliserol tidak mengandung EPA sedangkan asam lemak bebas tidak mengandung EPA maupun DHA.

Komposisi Kimia Minyak Ikan Hasil Samping Pabrik Pengolahan Ikan

Dobrzañski et al (2002) melakukan studi untuk mengevaluasi sifat-sifat kimia minyak ikan yang berasal dari industri pengolahan ikan. Teknologi pengolahan minyak ikan yang dipakai industri ini dikembangkan oleh Sea Fisheries Institute di Gdynia dan Big-Fish Ltd. di Gniewino. Kandungan asam minyak ikan hasil industri ini adalah sebagai berikut : asam-asam lemak tak jenuh 82,72 %; asam-asam lemak poli-tak-jenuh 35,59 %; omega-3 sebesar 17,04 %; klor 0,23 %, kalsium 0,047 %. Unsur-unsur berikut juga ditemukan (dalam mg/kg) : magnesium 24,6; natrium 37,57; fosfor 51,8; seng 220; besi 15,33; aluminium 14,43; selenium 7,62. Produk minyak ikan ini juga mengandung 20 unsur lain dalam jumlah sangat kecil. Vitamin terdapat dalam kadar sebagai berikut (dalam IU/gram) : vitamin A 458, vitamin D3 240, vitamin E 1,21. Konsentrasi pestisida klorin organik, polychlorinated biphenyl (PCB) dan logam beracun (As, Cd, F, Hg, Pb) ada dalam kisaran yang diijinkan. Minyak ikan ini memenuhi kriteria umum untuk bahan makanan hewan. Bagaimanapun, penting untuk menentukan rasio gizi optimal.

EPA, DHA dan Yod Dalam Minyak Ikan Komersial

Badolato et al. (1991) melaporkan bahwa minyak ikan merupakan sumber alami paling penting untuk asam lemak poli-tak-jenuh, seperti omega-3-eicosapentaenoic (EPA) dan docosahexaenoic (DHA), yang berguna dalam mencegah dan mengobati penyakit jantung tertentu. Peningkatan penawaran kapsul suplemen minyak ikan mendorong kita untuk membuktikan mutunya. Untuk itu, 19 sampel suplemen minyak sardin, yang diimpor dari Inggris dan dikapsulkan di Brazil, serta 8 sampel minyak ikan sardin Brazilia (Sardinella brasiliensis), yang diekstrak di laboratorium, dianalisis kadar asam EPA dan DHA-nya, dari segi jumlah total asam lemak, dengan kromatografi gas pada kolom kapiler silika CARBOWAX 20 M yang disatukan. Pada semua sampel juga ditentukan nilai yodin (Wijs) dan indeks refraksinya pada suhu 40 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya satu sampel suplemen minyak ikan sardin yang sangat tidak sesuai dengan pola formula yang dicantumkan pabrik dan nilai yodinnya juga sangat rendah.

Senyawa Hijau di Dalam Minyak Ikan Sardin

Minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli tak jenuh (poly unsaturated) merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Selama penyimpanan, flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Wada dan Lindsay (1992) telah meneliti aroma hijau di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Kedua peneliti menemukan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan mengidentifikasikannya sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 20 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.

Bab IV
Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan


Proses Silase Untuk Memperoleh Minyak Ikan

Reece (1981) melaporkan bahwa peningkatan kadar FFA (free fatty acid, asam lemak bebas) dalam minyak ikan, yang dihasilkan dari silase ikan yang kemudian disentrifugasi, secara prinsip berhubungan dengan pelepasan FFA dari material padat selama proses pembentukan cairan ikan. Sebagian besar dari FFA awal ada di dalam saluran pencernaan ikan sebelum proses pengasaman. Pigmentasi minyak selama proses silase disebabkan oleh pelepasan produk hidrolisis asam terhadap hemoglobin, yaitu haemin. Penambahan hidrogen peroksida 2 % menghambat pigmentasi minyak dan menurunkan kadar FFA. Nilai peroksida minyak ikan, yang berkurang akibat perlakuan ini, bisa dikurangi lebih lanjut dengan penambahan antioksidan larut-minyak ke dalam silase tersebut.

Reece (1981) menyatakan bahwa pengawetan ikan utuh dan limbah ikan dengan cara silase merupakan teknik yang telah lama dikenal. Perlakuan ikan cincang dengan asam menghasilkan senyawa protease asam yang menghidrolisis jaringan ikan menjadi produk cairan yang stabil dan cocok untuk pakan ternak. Silase sebagai cara untuk memperoleh minyak ikan dari ikan utuh dan limbah ikan, bagaimanapun, kurang mantap namun telah dibuktikan bahwa enzim-enzim proteolitik pada kondisi asam bisa digunakan untuk melepaskan minyak dari hati ikan dengan kandungan minyak rendah. Keuntungan metode ini adalah berkurangnya hidrolisis minyak oleh enzim lipase-pencernaan (yang biasanya paling aktif pada pH netral atau agak basa), lebih tingginya perolehan minyak dan berkurangnya proses emulsifikasi. Pemisahan minyak dari medium asam menghasilkan nilai FFA yang tinggi akibat disosiasi garam-garam asam lemak, dan lamanya periode inkubasi yang dibutuhkan untuk proses pencairan menyebabkan terjadinya penguraian minyak oleh lipase ber-pH optimum rendah yang ada pada beberapa spesies ikan. Lebih lanjut, minyak yang diperoleh dari silase ikan memiliki warna lebih gelap daripada yang diperoleh dari ikan segar, dan memiliki nilai iodin lebih kecil.

Aroma Hijau Pada Minyak Ikan Sardin

Wada dan Lindsay (1992) menyatakan bahwa minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli-tak-jenuh merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Bagaimanapun, selama penyimpanan flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Telah dilakukan penelitian terhadap aroma hijau tersebut di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Penelitian menghasilkan penemuan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan diidentifikasi sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 30 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.

Minyak Ikan Melemahkan Kekebalan Terhadap Penyakit

Obach dan Laurencin (1990) dalam Banning (1992) meneliti pengaruh pakan yang mengandung minyak ikan teroksidasi dan kekurangan antioksidan terhadap beberapa aspek respon kekebalan ikan turbot , Scophthalmus maximus. Ikan dengan berat kira-kira 85 gram diberi pakan komersial standar (kelompok kontrol) atau pakan dasar sama tetapi kekurangan antioksidan sintetis dan vitamin E, namun mengandung 7 % minyak ikan teroksidasi dan diberi sedikit vitamin C (kelompok teroksidasi). Ikan dari kedua kelompok divaksinasi terhadap Vibrio anguillarum 408, tepat sebelum percobaan dimulai. Setelah 9 bulan, respon chemiluminesent (perpendaran kimia) dari fagosit kepala ginjal, daya tahan terhadap infeksi bakteri dan produksi antibodi diuji untuk ikan dari kedua kelompok. Produksi antibodi plasma darah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan. Respon chemiluminesent fagosit kepala ginjal secara nyata lebih rendah pada ikan kelompok teroksidasi. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi Vibrio anguillarum 408 adalah lebih tinggi pada ikan kelompok teroksidasi (24 %) daripada kelompok kontrol (7 %).

Keracunan Makanan Akibat Minyak Ikan

Hashimoto (1979) mengulas hasil-hasil penelitian tentang sifat racun dari minyak ikan. Minyak hati ikan sea bass, bila diberikan kepada tikus, akan menggangu pertumbuhan dan kesehatannya bahkan membunuh banyak di antara tikus-tikus tersebut dalam waktu sebulan. Penyingkiran vitamin A dari minyak ikan tidak menyebabkan pertumbuhan menjadi lebih baik, yang menunjukkan bahwa efek sakit yang ditimbulkan oleh minyak hati ikan tidak disebabkan oleh vitamin A. Minyak hati ikan bisa mengandung tiga macam racun, yaitu racun minyak ikan secara umum, racun penyebab kejang dan racun penyebab lumpuh, yang semuanya mudah dibedakan dari vitamin A. Ketiga macam racun ini diyakini berupa senyawa amin dan senyawa lain yang belum diidentifikasi. Penelitian telah dilakukan terhadap hati ikan tengiri Spanyol, Scomberomorus niphonius, dan hati binatang paus (keduanya pernah menyebabkan keracunan masal di Yamaguchi Prefecture, Jepang) dan ternyata bahwa racun yang larut-air bersifat mematikan bagi tikus. Bagaimanapun, daya racunnya sangat lemah. Juga telah dilakukan penelitian terhadap tiga sediaan dari hati ikan sea bass, yaitu minyak, sisa-sisa hati yang lemaknya sudah dihilangkan dan esktrak cair. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya minyak ikan yang beracun bagi tikus.



Referensi :


Ahn, Y.K. and J.H. Kim. 1991. Effects of Squalene on The Immune Responses in Mice (I): Humoral Immune Responses of Squalene. Archives of Pharmacal Research, Vol. 14, No. 4, pp. 370 - 378

Badolato, E.S.G., J.B. de Carvalho, M. Tavares and S. Aued-Pimentel. 1991. Determination of Eicosapentaenoic (EPA) and Docosahexaenoic (DHA) Acids in Brazilian Sardine (Sardinella brasiliensis) Oil and in Encapsulated Sardine Oil Supplements. Reviews of Institute of Adolfo Lutz, Vol. 1, No. 1 – 2, pp. 75 - 81

Bakes, M.J. and P.D. Nichols. 1995. Lipid, Fatty Acid and Squalene Composition of Liver Oil From Six Species of Deep-Sea Sharks Collected in Southern Australian Waters. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology, Vol. 110, Issue 1, pp. 267 – 275

Brody, J. 1965. Fishery By-Products Technology. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. 232 pp.

Deprez, P.P., J.K. Volkman and S.R. Davenport. 1990. Squalene Content and Neutral Lipids Composition of Livers from Deep-Sea Sharks Caught in Tasmanian Waters, Australian Journal of Marine and Freshwater Research, vol. 41, no. 3, pp. 375 - 387

Dobrzanski, Z., P. Bykowski, Z. Iwaniuk, Z. Usydus, H. Górecka and T. Trziszka. 2002. Evaluation of The Chemical Composition of Fish Oil: a By-Product From Fish Processing Plants. Bulletin of the Sea Fisheries Institute, Gdynia, Vol. 1, pp. 39 – 46

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press. Tokyo. 369 pp.

Kittiphattanabawon, P., S. Benjakul, W. Visessanguan and F. Shahidi. 2012. Effect of Extraction Temperature on Functional Properties and Antioxidative Activities of Gelatin from Shark Skin. Food and Bioprocess Technology, Vol. 5, Issue 7, pp. 2646 - 2654

Narayan Bhilwade, H., N. Tatewaki, H. Nishida and T. Konishi. 2010. Squalene as Novel Food Factor, Current Pharmaceutical Biotechnology, Vol. 11, No. 8, pp. 875 - 880

Obach, A. and F.B. Laurencin. 1990. Effects of Dietary Oxidized Fish Oil and Deficiency of Anti-Oxidants on The Immune Response of Turbot, Scophthalmus maximus. In Banning, P. van (ed.). 1992. PAMAQ IV : Fourth International Colloquium on Pathology in Marine Aquaculture, Oct 1992, pp. 221 - 228

Ramachandran, A. and K.K. Solanki. 1991. Studies on The Processing and Storage Characteristics of Semi-Dried Products From Shark. Journal of Marine Biologist Association of India, Vol. 33, No. 1 – 2, pp. 19 – 25

Randall, J.E. 1995. Coastal Fishes of Oman. University of Hawaii Press, Honolulu. 443 pp.

Reece, P. 1981. Recovery of High Quality Oil From Mackerel and Sprat by The Silage Process. Journal of Science of Food and Agriculture, vol. 32, pp. 531 - 538

Saify, Z.S., S. Akhtar, S. Hassan, M. Arif. F. Ahmed and S. Siddiqui. 2000. A Study on Fatty Acid Composition of Fish Oil From Two Marine Fish, Eusphyra blochii And Carcharhinus bleekeri. Pakistan Journal of Pharmaceutical Science, Vol. 13, No. 2, pp. 5 - 12

Sharp, D. 1984. Animal Days. Bay Books, Australia. 127 pp.

Wada, S. and R.C. Lindsay. 1992. Occurence of The Green Aroma Compound, 1,5-Octadien-3-Hydroperoxide, in Stored Sardine Oil. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 58, No. 6, p.1195

Zhang, Z., W.K. Yeung, Y. Huang and Z.-Y. Chen. 2002. Effect of Squalene and Shark Liver Oil on Serum Cholesterol Level in Hamsters. International Journal of Food Sciences and Nutrition. Vol. 53, No. 5 , pp. 411 - 418

Tidak ada komentar:

Posting Komentar