Selasa, 26 Juni 2018

Fotosintesis dan Produktivitas Primer Perairan


Daftar Isi



Bab I. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

- Pengaruh Bentuk Daun Terhadap Fotosintesis Pada Tumbuhan Air
- Variasi Laju Fotosintesis Antar Jenis Tumbuhan Air
- Pengaruh Luas Danau Terhadap Fotosintesis Fitoplankton
- Pengaruh Volume Sel Mikroalga Terhadap Laju Fotosintesis
- Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Fotosintesis Dunaliella
- Pengaruh Cahaya dan Suhu Terhadap Laju Fotosintesis Alga Perifiton
- Nitrat Mengurangi Efek Negatif Radiasi Ultra Violet Terhadap Fotosintesis

Bab II. Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

- Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan
- Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton
- Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau
- Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton
- Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton
- Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Bab III. Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan

- Pengadukan Sebagai Mekanisme Pendistribusian Zat Hara
- Pengadukan Massa Air Laut Akibat Upwelling
- Pengaruh Pengadukan Massa Air Terhadap Produktivitas Primer Perairan
- Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?
- Pola Harian Kedalaman Pengadukan dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Danau
- Pengadukan Massa Air Akibat Angin

Referensi

Bab I
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis


Pengaruh Bentuk Daun Terhadap Fotosintesis Pada Tumbuhan Air

Nielsen dan Sand-Jensen (1993) mengamati profil fotosintesis tiga bentuk daun (filamen udara, lembaran terapung dan filamen tenggelam) dari makrofita amfibi penghuni sungai, Batrachium peltatum (Schrank) Presl, sehubungan dengan perbedaan morfologi/anatomi dan komposisi kimia daun. Batrachium peltatum tumbuh melimpah di sungai-sungai dataran rendah Denmark, yang dicirikan oleh perairan yang lewat-jenuh dengan CO2. Fotosintesis ketiga bentuk daun ini sangat serupa pada kondisi sekeliling di lingkungannya masng-masing. Pembentukan daun yang muncul ke udara dan daun terapung, dengan demikian, berperanan penting dalam belanja karbon selama pertumbuhan aktif di musim panas, yang memungkinkan tumbuhan terus berfotosintesis ketika terbuka terhadap udara. Daun yang tenggelam, sebaliknya, berfotosintesis lebih baik di perairan pada saat karbon dioksida terbatas, dengan memanfaatkan HCO3-, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh daun yang muncul di udara dan daun terapung.

Semua tipe daun dirangsang oleh konsentrasi karbon dioksida di atas konsentrasi normal sampai tingkat jenuh yakni 30 – 40 mikromol/liter di udara (700 – 940 ppm) dan 500 – 1200 mikromol/liter di air. Kemiringan grafik fotosintesis vs konsentrasi CO2 adalah beberapa kali lipat lebih tingi di udara daripada di air karena lebih kecilnya hambatan difusi di udara, terutama untuk daun berbentuk lembaran terapung. Perbedaan fotosintesis yang dijumpai lebih berhubungan dengan bentuk morfologi daun daripada dengan komposisi kimia (klorofil, nitrogen, ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase) ketiga macam daun tersebut (Nielsen dan Sand-Jensen, 1993).

Variasi Laju Fotosintesis Antar Jenis Tumbuhan Air

Madsen et al. (1993) menentukan laju fotosintesis, kapasitas ekstraksi karbon dan aktivitas ribulose-1,5-biphosphate carboxylase/oxygenase (RUBISCO) pada 35 spesies makrofita air-tenggelam yang berbeda-beda dalam hal taksonomi, bentuk pertumbuhan dan habitat. Laju fotosintesis per unit klorofil dan berat kering pada konsentrasi CO2 sekelilingnya (sekitar 15 mikro M) maupun kapasitas ekstraksi karbon meningkat pada kelompok-kelompok tumbuhan dengan urutan : isoetidae, spesies amfibi, elodeidae tanpa penggunaan HCO3- yang jelas, elodeidae yang menggunakan HCO3-, angiosperma laut dan makroalga laut. Laju fotosintesis pada konsentrasi karbon dioksida yang makin meningkat (300 – 350 mikro M) menunjukkan pola yang sama seperti di atas tetapi perbedaannya lebih kecil di antara kelompok-kelompok ini. Hanya untuk makroalga laut fotosintesis pada CO2 sekeliling hampir sama dengan fotosintesis pada CO2 yang meningkat. Spesies dengan kapasitas ekstraksi karbon tinggi, diduga karena menggunakan HCO3- aktif, biasanya memiliki RUBISCO rendah. Pola yang berlawanan ditemukan pada spesies-spesies yang kapasitas ekstraksi karbonnya rendah.

Pengaruh Luas Danau Terhadap Fotosintesis Fitoplankton

Fee et al. (1992) mengukur fotosintesis fitoplankton selama 6 tahun di tujuh danau Canadian Shield yang terpencil yang mengalami stratifikasi sempurna selama musim panas dan memiliki waktu pembaharuan air (water renewal time) lebih dari 5 tahun tetapi luasnya bervariasi dari 29 sampai 34.700 hektar. Konsentrasi klorofil dan laju fotosintesis pada cahaya optimum adalah rendah di danau tersempit dan terluas, dan nilainya bertambah secara sistematis sampai hampir lima kali lipat di danau-danau yang berukuran sedang (sekitar 1.000 hektar). Nilai harian fotosintesis per meter persegi permukaan danau dan nilai tahunan fotosintesis per meter kubik lapisan air campuran juga bervariasi seperti itu, tetapi nilai tahunan fotosintesis per meter persegi adalah tinggi di danau yang luas (walaupun densitasnya rendah) karena musim pertumbuhannya lama.

Pengaruh Volume Sel Mikroalga Terhadap Laju Fotosintesis

Stel’makh (1992) membandingkan laju fotosintesis mikroalga yang berukuran kecil dan besar. Pada tiga musim dalam setahun, laju fotosintesis rata-rata fraksi fitoplankton berukuran 0,45 – 2,5 mikrometer di teluk Sevastopol (Ukraina) adalah berkisar dari 8,4 sampai 12,6 mg karbon per mg klorofil-a per jam, yang berarti 1,5 – 2,5 lebih besar daripada fraksi yang berukuran 2,5 – 150 mikrometer. Pada musim panas, laju pertumbuhan spesifik fraksi 0,45 – 2,5 mikron adalah 2 – 2,3 per hari; nilai ini kira-kira dua kali nilai untuk alga berukuran besar. Hasil-hasil penelitian ini mendukung teori bahwa laju proses-proses fungsional dalam mikroalga meningkat dengan berkurangnya volume sel.

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Fotosintesis Dunaliella

Dellarossa dan Silva Cifuentes (1991) mengukur laju fotosintesis in vitro pada berbagai intensitas cahaya pada 3 spesies Dunaliella : D. salina¸ D. pseudosalina dan D. lateralis, dan juga pada 3 galur asli Dunaliella salina. Setiap spesies menunjukkan respon fotosintetik yang khas dalam kisaran intensitas cahaya 35 sampai 600 mikroE/m2/detik. Laju produksi Dunaliella lateralis dan D. pseudosalina sangat terhambat pada intensitas cahaya tertinggi. D. pseudosalina adalah spesies yang paling efisien.

Pengaruh Cahaya dan Suhu Terhadap Laju Fotosintesis Alga Perifiton

St. Jonsson (1992) melaporkan bahwa komunitas alga epilitik (penempel batu) di Danau Thingvallavatn (Iceland) memiliki beberapa pola yang bersifat spesifik-spesies dan spesifik-kedalaman. Nilai dugaan laju fotosintesis spesifik (P max) adalah relatif rendah, dan berkurang sejalan dengan bertambahnya kedalaman dari 1,56 menjadi 0,85 mg oksigen/mg klorofil-a/jam. Juga terlihat adanya penurunan yang serupa dalam hal laju respirasi gelap. Dalam percobaan laboratorium terhadap komunitas alga epilitik alami, 68 sampai 79 % variasi laju fotosintesis (mg O2/m2/jam) disebabkan oleh cahaya, 0,4 sampai 8 % oleh suhu dan 2 sampai 5 % oleh biomas. Meskipun laju fotosintesis spesifik (Pmax)-nya rendah, produksi neto alga perifiton ini adalah tinggi, 146 – 315 gram O2/m2/tahun (55 – 118 gram karbon).

Nitrat Mengurangi Efek Negatif Radiasi Ultra Violet Terhadap Fotosintesis

Barufi et al. (2012) meneliti perlindungan terhadap radiasi ultra violet (ultraviolet radiation; UVR) pada alga merah agarofit Gracilaria tenuistipitata. Alga ini selama 1 minggu dikenai “photosynthetically active radiation” (PAR, 260 mikromol foton/m2/detik) atau PAR + UVR (UV-A, 8,13 W/m2 dan UV-B, 0,42 W/m2) pada berbagai konsentrasi nitrogen : 0, 0,1 dan 0,5 mM NO3-. Pigmen-pigmen fotosintesis berkurang selama periode percobaan terutama pada kondisi pasokan nitrogen sedikit dan UVR. Perlakuan alga dengan pasokan nitrogen banyak (0,5 mM) menghasilkan laju fotosintesis yang tetap tinggi selama periode percobaan. Sebaliknya, “mycosporine-like amino acids” (MAA; asam-asam amino mirip-mikosporin) meningkat sampai delapan kali lipat pada kondisi ada UVR dan 0,5 mM NO3-. Pada kondisi PAR + UVR, hasil quantum maksimal berkorelasi positif dengan kelimpahan MAA, sedangkan pada kondisi PAR tidak ada korelasi seperti ini.

Barufi et al. (2012) menambahkan bahwa hasil fotosintesis alga yang dikultur selama tujuh hari pada kondisi PAR + UVR kurang terpengaruh oleh pemaparan selama 30 menit terhadap UVR yang tinggi (16 W/m2) dan pulih dengan sempurna setelah dpindahkan ke radiasi PAR yang rendah, sedangkan alga yang dipelihara pada kondisi PAR lebih terpengaruh oleh UV dan tidak dapat pulih dengan sempurna. Laju pertumbuhan menurun setelah tiga hari pada kondisi UVR dan pasokan nitrat yang sedikit. Bagaimanapun, laju ini adalah sama bila dibandingkan dengan perlakuan PAR dan PAR + UVR setelah tujuh hari, dengan kekecualian sampel pada perlakuan konsentrasi NO3- 0 mM, yang menunjukkan bahwa aklimasi setelah pemaparan selama satu minggu adalah berkaitan dengan pasokan nitrat. Sebagai kesimpulan, UVR menimbulkan efek negatif terkecil terhadap fotosintesis dan laju pertumbuhan pada alga yang diberi banyak pasokan nitrogen bila terjadi perangsangan mekanisme perlindungan-cahaya, seperti penimbunan MAA. Perangsangan cahaya terhadap penimbunan MAA oleh UVR pada kondisi pasokan nitrogen yang banyak terlihat pada Gracilaria tenuistipitata bahkan setelah 20 tahun dalam kultur tanpa perangsangan sinyal cahaya fotomorfogenik ini.

Bab II
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia


Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan

Menurut Boyd (1982), seperti halnya semua tipe produksi ternak, produksi ikan berasal dari radiasi matahari. Energi dalam radiasi matahari ditangkap sebagai energi kimia di dalam karbohidrat melalui reaksi kimia fotosintesis tumbuhan hijau. Fotosintesis merupakan dasar penting semua bahan organik dan semua energi yang tersedia secara biologis. Sudah tentu, tumbuhan memerlukan sejumlah zat hara anorganik di samping karbon dioksida dan air untuk pertumbuhan. Zat-zat hara anorganik ini meliputi nitrogen, fosfor, belerang, kalium, kalsium, magnesium, besi, mangan, tembaga dan kadang-kadang yang lainnya.

Sebagian karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintensis digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi – suatu proses yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari fotosintesis. Dalam respirasi, karbohidrat dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air, dengan melepaskan energi yang bisa digunakan dalam reaksi-reaksi biokimia agar bisa berjalan. Sebagian besar sisa karbohidrat dari fotosintesis disintesis oleh tumbuhan menjadi berbagai senyawa organik : zat pati, selulosa, pektin, lignin, asam-asam amino, protein, asam nukleat, lemak, lilin, pigmen, minyak, vitamin, dll. Senyawa-senyawa ini dimanfaatkan untuk membangun jaringan tumbuhan atau untuk fungsi-fungsi penting lainnya.

Tumbuhan merupakan satu-satunya sumber energi dan bahan organik bagi binatang. Senyawa-senyawa berkarbon yang dibentuk oleh tumbuhan diperlukan oleh binatang sebagai sumber energi dan sebagai bahan biokimia penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan. Karena itu, fotosintesis dan asimilasi biokimia oleh tumbuhan berhubungan dengan produksi ternak. Lebih jauh, organisme mikroba yang tidak mampu berfotosintesis memanfaatkan material tumbuhan dan binatang mati sebagai makanan – mikroorganisme penyebab penyakit menggunakan jaringan hidup inang sebagai makanannya.

Oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dimanfaatkan dalam respirasi untuk mengoksidasi bahan organik yang terikat dalam fotosintesis dan untuk melepaskan karbon dan energi yang tersimpan di dalam karbohidrat. Sebaliknya, karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi bisa digunakan kembali sebagai pereaksi dalam fotosintesis. Sebagain energi yang dilepaskan dalam respirasi digunakan untuk menggerakkan fungsi-fungsi biologis, tetapi akhirnya semua energi yang dilepaskan oleh respirasi hilang ke lingkungan sebagai panas. Semua kehidupan tergantung pada input energi dari matahari dan pada siklus transformasi karbon dan oksigen. Pengelolaan terhadap transformasi ini untuk memproduksi bahan makanan manusia merupakan tujuan budidaya ikan dan pertanian secara umum.

Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton

Pada skala global, fotosintesis fitoplankton tahunan secara kasar sama dengan fotosintesis tahunan tumbuhan dan pepohonan di darat, padahal total biomas fitoplankton hanya 0,2 % dari total biomas tumbuhan darat. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Chisholm (1992) memberikan penjelasan untuk menjawab pertanyaan ini. Fitoplankton tumbuh sangat cepat. Mereka bisa menggandakan biomasnya dalam hitungan hari, sedangkan tumbuhan darat memerlukan waktu bulanan sampai tahunan.

Sebagai tambahan, Klochenko (1992) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ada korelasi antara konsentrasi klorofil-a, laju fotosintesis dan penimbunan nitrit dalam media kultur alga hijau-biru dan alga hijau yang secara algologi murni.

Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau

Penggolongan hasil-hasil fotosintesis menjadi produk berberat molekul rendah, lipida, polisakarida dan protein pada fitoplankton alami di sebuah danau eutrofik daerah beriklim-sedang (Nantua, Perancis) telah diteliti oleh Feuillade et al. (1992) setiap bulan selama satu tahun, dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan spesies fitoplankton yang ada. Selain itu, pengaruh intensitas cahaya terhadap produk akhir fotosintesis juga telah dipelajari dengan menggunakan kultur Oscillatoria rubescens, spesies dominan di danau ini. Selama periode pengadukan, variasi konsentrasi produk fotosintesis menurut kedalaman adalah terutama disebabkan oleh intensitas cahaya. Selama periode stratifikasi termal ketika Oscillatoria rubescens berkumpul di bawah termoklin, proporsi relatif produk fotosintesis adalah tergantung pada komposisi spesies dan ketersediaan zat hara. Pada lapisan Oscillatoria rubescens, penggabungan karbon adalah rendah pada lipida dan sangat tinggi pada polisakarida.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) laju fotosintesis dalam kolam ikan berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton dan intensitas cahaya. Dengan asumsi bahwa intensitas cahaya sama, produksi oksigen terlarut oleh fotosintesis akan meningkat sejalan dengan kelimpahan fitoplankton. Pada kolam ikan, fitoplankton merupakan sumber utama kekeruhan sehingga penetrasi cahaya umumnya berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton. Karena itu, fitoplankton terbatas pada kedalaman-kedalaman yang lebih dangkal ketika kelimpahannya meningkat, sehingga terjadi stratifikasi vertikal yang kuat dalam hal laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen terlarut.

Produksi primer kotor dengan laju 1 – 4 mg/liter oksigen per jam telah diamati di lapisan teratas kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Namun demikian, karena kelimpahan plankton, penetrasi cahaya sangat terbatas dan laju produktivitas primer menurun cepat sejalan dengan kedalaman. Titik kompensasi, yaitu kedalaman di mana jumlah oksigen yang dihasilkan fotosintesis tepat sama dengan jumlah oksigen yang dipakai untuk respirasi, berkisar dari 40 sampai 75 cm. Bila data ini dipadukan dengan kedalaman, maka produksi oksigen di kolam ikan berkisar dari 4 sampai 12 gram/m2 per hari. Untuk sebuah kolam dengan kedalaman rata-rata 1 meter, nilai-nilai ini bersesuaian dengan 4 – 12 mg/liter oksigen per hari.

Penelitian terhadap kolam-kolam ikan di Israel pada tahun 1962 menyimpulkan adanya stratifikasi vertikal yang tajam. Laju fotosintesis maksimum di kolam seperti ini berlangsung pada intensitas cahaya 1.500 – 8.000 kaki kandela (1 kaki kandela = 10,76 lux). Laju fotosintesis menurun cepat pada intensitas cahaya yang lebih rendah karena cahaya tidak memadai; fotosintesis sebesar 80 % dari maksimum pada 1.000 kaki kandela dan 50 % dari maksimum pada 500 kaki kandela. Intensitas cahaya di atas 8.000 kaki kandela menghambat fotosintesis; laju fotosintesis hanya 50 % dari maksimum pada 15.000 kaki kandela. Fotosintesis biasanya sekitar 80 – 90 % dari maksimum di dekat permukaan air, maksimum pada kedalaman 10 – 12 cm, dan sekitar 50 % dari maksimum pada kedalaman 30 cm. Berdasarkan hasil pengamatan ini disimpulkan bahwa ketika kolam ikan menjadi lebih kaya dengan zat hara, produktivitas primer meningkat pada lapisan-lapisan atas kolam tersebut, di mana kondisi cahaya menguntungkan, tetapi menurun pada lapisan-lapisan bawah, di mana penaungan oleh plankton menghambat masuknya cahaya ke lapisan air.

Pada hari yang cerah, laju fotosintesis meningkat cepat setelah matahari terbit dan tetap tinggi hingga matahari hampir terbenam, meskipun laju fotosintesis pada sore hari agak lebih rendah dibandingkan pada petang hari. Langit berawan menyebabkan penurunan laju fotosinesis.

Pola stratifikasi oksigen terlarut berdasarkan kedalaman mungkin berlawanan dengan yang dijelaskan di atas pada kolam di mana makrofita (vegetasi besar) tumbuh di bagian kolam yang dalam. Kolam ini memiliki sedikit fitoplankton sehingga laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi sering dijumpai pada hamparan gulma di bagian kolam yang dalam (Boyd, 1982).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton

Guilizzoni et al. (1991) melakukan penelitian selama setahun terhadap fitoplankton, produksi primer serta faktor-faktor fisika dan kimia yang berkaitan di sebuah danau eutrofik Lake Lugano di Italia. Berbeda dengan cara biasa menentukan karakteristik fitoplankton melalui berbagai struktur komunitas dan biomas, klorofil dan 12 karotenoid telah dianalisis dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Ketergantungan fotosintesis pada banyak faktor telah dievaluasi secara statistik. Ditemukan bukti adanya adaptasi-matahari dan peranan karotenoid dalam perlindungan. Tampaknya, variasi aktivitas dan efisiensi fotosintesis terutama tergantung pada rezim cahaya beberapa hari sebelum pengamatan serta pada kandungan selular klorofil dan karotenoid tunggal, yang konsentrasinya tergantung pada faktor-faktor fisik (terutama cahaya) dan ukuran sel rata-rata serta pada kumpulan spesies.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton

Moss (1980) menyatakan bahwa fotosintesis maksimum mungkin terjadi di lapisan permukaan air, tetapi pada hari-hari yang cerah biasanya fotosintesis maksimum ini terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh populasi fitoplankton di lapisan permukaan lebih sedikit daripada lapisan di bawahnya, karena hal ini juga terjadi bila konsentrasi fitoplankton di dalam semua lapisan air sama. Sinar ultraviolet, meskipun dengan cepat diserap oleh air dan senyawa organik terlarut, namun masih ada di lapisan permukaan air dalam jumlah yang cukup untuk menghambat laju fotosintesis.

Penggabungan nilai fotosintesis-kedalaman memberikan nilai produksi primer dalam kolom air. Nilainya tergantung pada beberapa faktor termasuk metode pengukuran yang digunakan. Fotosintesis kotor dan produksi akhir material sel baru merupakan proses yang terpisah, terkait bersama-sama, tetapi oleh berbagai faktor. Intensitas cahaya yang tinggi mungkin mendorong cepatnya pembentukan produk fotosintesis – ATP dan NADPH2 - serta besarnya produksi oksigen tetapi komponen sel yang penting (misal PO4, NO3) hanya sedikit dibentuk sehingga biomas baru tidak dapat dihasilkan. Sel berespirasi cepat tetapi pertumbuhan sel atau populasi hampir tidak terjadi. Metode C-14 dalam kasus ini mungkin memberikan nilai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah daripada bila laju fotosintesis ini diukur dengan metode oksigen. Bila intensitas cahaya tinggi dan tidak ada zat hara yang menjadi faktor pembatas maka kedua metode tadi akan menunjukkan laju fotosintesis yang tinggi.

Menurut Moss (1980) ada dua faktor yang membatasi aktivitas fitoplankton. Faktor-faktor pembatas-laju mempengaruhi laju fotosintesis kotor sedangkan faktor-faktor pembatas-hasil menentukan batas maksimal potensi produksi biomas. Karena itu mereka terutama mempengaruhi produksi neto fotosintesis.

Cahaya adalah faktor pembatas-laju yang paling umum. Intensitas cahaya pada lapisan air makin dalam makin berkurang secara eksponensial di bawah tingkat fotosintesis maksimum. Hal ini menyebabkan penyerapan cahaya juga berkurang secara eksponensial di dalam kolom air. Cahaya mungkin menjadi faktor pembatas-laju maupun pembatas-hasil pada lapisan air di dekat permukaan pada danau yang sangat subur di mana begitu banyak sel-sel alga dibentuk sehingga sel alga menaungi sel di bawahnya. Pada danau dan sungai dataran rendah yang keruh akibat banyaknya materi aloktonus (yakni, dari luar sistem), cahaya mungkin juga menjadi faktor pembatas-hasil (Moss, 1980).

Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Moss (1980) menyatakan bahwa faktor pembatas-hasil fotosintesis yang paling umum adalah faktor kimia. Berbagai jenis zat hara dibutuhkan oleh fitoplankton bagi pertumbuhannya tetapi beberapa zat hara ini terdapat dalam jumlah terbatas. Ada dua cara utama untuk mengetahui faktor pembatas potensial. Cara pertama adalah mengukur laju penyerapan karbon-14 dalam sampel plankton di mana ke dalam sampel ini dimasukkan berbagai jenis zat hara (nutrien) yang berpotensi sebagai faktor pembatas, bersama-sama dengan senyawa NaH14CO3. Peningkatan penyerapan karbon-14 secara tak wajar, yang diamati selama beberapa jam, berarti menunjukkan bahwa zat hara yang mendorong peningkatan ini adalah faktor pembatas. Banyak zat hara yang menyebabkan peningkatan laju penyerapan karbon-14, beberapa di antaranya diitemukan di danau dalam jumlah besar namun tidak bersifat racun. Penafsiran uji ini dengan demikian menjadi sulit. Untuk itu percobaan harus dilakukan lebih lama lagi agar dapat ditentukan apakah suatu zat hara memang dapat mendorong peningkatan produksi biomas fitoplankton ataukah tidak. Dengan cara ini jenis-jenis zat hara pembatas menjadi lebih sedikit. Fosfat, nitrat atau amonium, dan besi serta mangan, seringkali menjadi faktor pembatas di danau beriklim sedang, dan hasil ini diperkuat oleh percobaan di mana seluruh atau sebagian wilayah danau diberi pupuk. Di danau-danau Afrika tropis alami, senyawa nitrogen tampaknya lebih sering menjadi pembatas daripada fosfat. Hal ini mungkin menunjukkan melimpahnya batu-batu vulkanik yang kaya akan fosfat di daerah tangkapan-hujan (catchment area) di banyak danau Afrika, atau mungkin tingginya laju denitrifikasi di tanah daerah tangkapan-hujan danau-danau tropis tersebut.

Bab III
Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan


Pengadukan Sebagai Mekanisme Pendistribusian Zat Hara

Selain cahaya, zat-zat hara sangat dibutuhkan untuk mendukung produktivitas primer perairan . Distribusi zat hara di perairan sangat tidak merata. Sebagian besar zat hara ini menumpuk di bagian dasar perairan dan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kekurangan atau ketiadaan cahaya matahari. Pengadukan massa air yang mengangkat massa air dari lapisan dasar perairan menuju ke permukaan air menyebabkan zat-zat hara tersebut tersedia bagi produktivitas primer. Walaupun jarang, pengadukan juga bisa menurunkan produktivitas primer lapisan permukaan perairan jika massa air yang terangkat dari dasar tesebut miskin zat hara.

Pengadukan massa air merupakan salah satu faktor penting selain aerasi dalam sistem akuakultur intensif (Avnimelech et al., 1992). Dalam perairan alami, pengamatan terkini dan studi permodelan (Banas et al., 2007) menunjukkan bahwa pengadukan massa air akibat pasang-surut horizontal merupakan mekanisme utama penggelontoran (flushing) estuari.

Pengadukan Massa Air Laut Akibat Upwelling

Pengadukan merupakan kunci bagi dinamika samudra yang menciptakan arus dan pertukaran massa air lapisan dalam yang dingin dengan massa air permukaan yang lebih hangat. Proses ini mendistribusikan panas dari daerah lintang rendah ke daerah lintang tinggi dan membawa zat hara dari perairan dalam ke permukaan. Banas et al. (2007) menyimpulkan bahwa pengadukan massa air yang berupa upwelling memegang peranan penting dalam ekologi estuaria. Upwelling ini tidak hanya membawa zat hara tetapi juga plankton dari samudra. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa spesies plankton asal-samudra mendominasi estuaria selama periode produksi primer yang tinggi (> 3000 mg C per m2 per hari) maupun selama periode produktivitas rendah.

Banas et al. (2007) juga melaporkan bahwa selama upwelling yang kuat salinitas air permukaan meningkat menjadi 31 promil sedangkan konsentrasi klorofil naik dua kali lipat. Fitoplankton yang masuk ke estuaria ini dengan cepat dihabiskan oleh organisme pemakan plankton.

Di beberapa teluk, misalnya Teluk Willapa, AS, pengadukan massa air oleh pasang-surut meningkatkan impor fitoplankton dari samudra. Di Teluk Saldhana, Afrika Selatan, produksi primer selama musim panas dikendalikan oleh pengadukan baik oleh angin maupun oleh pasang-surut, yang membawa zat hara ke lapisan permukaan air yang miskin zat hara (Banas et al., 2007).

Hasegawa et al. (2008) mempelajari fenomena “efek massa pulau” di sekitar pulau kecil dekat Kuroshio, Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa difusi SCM (Subsurface Chorophyll-a Maximum atau maksimum klorofil-a bawah-permukaan) membutuhkan turbulensi/pusaran air di perairan sekitar pulau tersebut. Turbulensi ini menyebabkan teraduknya massa air yang kaya zat hara.

Di laut ketika stratifikasi masa air terbentuk di lapisan yang rendah pada musim panas maka transport horizontal, yakni sirkulasi yang mengaduk air upwelling, merupakan faktor fisik utama yang mengendalikan produksi primer perairan (Banas, et al., 2007). Di danau tropis yang kecil dan dangkal, stratifikasi termal hanya terbentuk selama matahari bersinar. Starifikasi ini hilang pada malam hari karena air pemukaan menjadi dingin sehingga terjadi percampuran antara masa air permukaan dengan massa air dasar danau. Berulang-ulangnya kejadian ini mencegah terjadinya ledakan populasi komunitas biotik (Satyanarayana et al., 2008).

Pengaruh Pengadukan Massa Air Terhadap Produktivitas Primer Perairan

Tang et al. (2003) meneliti distribusi konsentrasi klrofoil-a dan kondisi perairan di teluk Tonkin, Laut Cina Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan antara ledakan populasi fitoplankton pada musim dingin dengan pengadukan massa air laut secara vertikal yang diakibatkan oleh angin timur laut. Pengadukan vertikal massa air laut ini membawa zat-zat hara dari dasar laut menuju ke permukaan laut yang selanjutnya mendorong timbulnya ledakan populasi fitoplankton.

Peran pengadukan dalam mendistribusikan zat hara yang penting bagi produktivitas primer perairan ditunjukkan oleh hasil penelitian Nakayama et al. (2010). Mereka mengukur konsentrasi besi (Fe) terlarut dan total besi terlarut serta kadar zat hara di perairan permukaan daerah Oyashio (Pasifik Utara barat-laut) sebelum dan selama ledakan populasi fitoplankton musim semi (Maret sampai Mei 2007). Selama periode sebelum ledakan populasi (pertengahan Maret), mereka mengamati bahwa konsentrasi besi terlarut (0.3–0.5 nM) dan total besi terlarut (3–5 nM ), zat hara makro (10–15 µM NO3+NO2, 1.0–1.5 µM PO4 dan 20–30 µM Si(OH)4) serta klorofil a (Chl-a, 0.3–0.4 µg/l) adalah seragam secara vertikal pada kedalaman air 125 sampai 150 m akibat pengadukan vertikal selama musim dingin. Konsentrasi klorofil a yang tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi besi dan zat hara makro. Mekanisme paling penting yang mentranspor zat besi ke lapisan permukaan laut, yang mengatur produksi primer selama ledakan populasi musim semi di daerah Oyashio, adalah masuknya massa air yang kaya besi dan zat hara akibat proses pengadukan secara vertikal dan lateral (horizontal) selama musim semi dan musim dingin.

Zat-zat hara yang dibutuhkan fitoplankton antara lain C, N, P, Fe, Si. Jika salah satu unsur ini tidak ada dalam air yang tercampur, maka produktivitas primer akan berkurang. Pengadukan massa air dan upwelling membawa pasokan baru zat-zat hara tersebut dari bagian laut yang lebih dalam.

Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?

Sebuah hipotesis menarik baru-baru ini dikembangkan bahwa produktivitas primer di sebagian besar Samudra Pasifik dibatasi oleh input besi. Prahl (1992) menyajikan data geokimia organik dari sebuah inti sedimen di salah satu wilayah ini, yakni di Pasifik tropis timur, sebagai bukti yang mendukung hipotesis tersebut. Data menunjukkan bahwa total organik karbon (TOC), terutama yang berasal dari produktivitas laut, mencapai maksimum pada 18 ka dan ini sangat berkorelasi dengan input debu eolia. Data ini menguatkan dugaan bahwa perubahan ekologis yang dialami komunitas fitoplankton terjadi di perairan permukaan selama periode peralihan glasial akhir sebagai akibat perubahan pasokan debu eolia dan ketersediaan besi.

Pola Harian Kedalaman Pengadukan dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Danau

Pengaruh pengadukan akibat-turbulensi terhadap proses-proses metabolik fitoplankton telah diteliti oleh Nixdorf et al., (1992) melalui pengukuran kedalaman dan biologi di sebuah danau dangkal eutrofik Grosse Mueggelsee (kedalaman rata-rata 4,9 m). Transpor alga vertikal di lapisan yang teraduk disimulasikan dengan “lift method” (metode pengangkatan) yang memungkinkan penyesuaian kedalaman dan kecepatan gerakan partikel dalam kisaran yang luas (0,5 – 10 m, 0,03 – 3 cm/detik). Secara umum mereka menyimpulkan bahwa pengadukan akibat-turbulensi meningkatkan produksi primer harian berdasarkan luas. Produksi oksigen neto di dalam botol yang bersirkulasi meningkat sampai 3 kali dibadingkan pelepasan-oksigen oleh alga berdasarkan luas yang diinkubasikan pada satu posisi yang tetap. Hal ini terbukti terutama selama inkubasi sore hari yang menunjukkan pentingnya pengadukan selama siang hari.

Pengadukan Massa Air Akibat Angin

Pengadukan juga mempengaruhi berapa banyak cahaya yang diterima fitoplankton. Jika angin mengaduk laut sehingga lapisan air yang teraduk meluas sampai jauh di bawah zona kompensasi (zona dimana produksi oksigen fotosintetik seimbang dengan konsumsi oksigen), fitoplankton akan terdorong ke bawah lapisan yang kekurangan cahaya, sehingga produksi neto akan lebih rendah. Di wilayah laut di mana kecepatan angin bervariasi dari musim ke musim, produktivitas primer naik dan turun sesuai dengan kondisi tersebut.

Angin selatan yang bertiup di Teluk Willapa, AS, pada musim panas menyebabkan terjadinya upwelling pesisir yang membawa massa air yang dingin, bergaram dan kaya-zat hara ke permukaan air dan estuaria . Ledakan populasi fitoplankton di pesisir berlangsung selama kondisi upwelling ini. Sementara itu, angin utara yang bertiup pada musim dingin menyebabkan downwelling (penurunan massa air ke dasar perairan) di pesisir yang menyebabkan massa air permukaan menjadi lebih hangat, lebih tawar namun miskin zat hara dan biomas (Banas, et al., 2007). Pada kasus ini pengadukan massa air menyebabkan penurunan produktivitas primer di lapisan permukaan laut.

Referensi :


Avnimelech, Y., Mozes, N. and Weber, B. 1992. Effects of aeration and mixing on nitrogen and organic matter transformations in simulated fish ponds. Aquaculture Engineering, Vol. 11, no. 3, pp. 157 – 169, ISSN 0144-8609

Banas, N.S., Hickey, B.M., Newton, J.A. and Ruesink, J.L. 2007. Tidal exchange, bivalve grazing and patterns of primary production in Willapa Bay, Washington, USA. Marine Ecology Progress Series, Vol. 341, pp. 123 – 139

Barufi, J.B., M.T. Mata, M.C. Oliveira and F.L. Figueroa. 2012. Nitrate Reduces The Negative Effect of UV Radiation on Photosynthesis and Pigmentation in Gracilaria tenuistipitata (Rhodophyta): The Photoprotection Role of Mycosporine-Like Amino Acids. Phycologia, Vol. 51, No. 6, pp. 636 – 648

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Chisholm, S.W. 1992. What Limits Phytoplankton Growth ? OCEANUS, Vol. 35, No. 3, pp. 36 – 46

Dellarossa, S.V. and A. Silva Cifuentes. 1991. Photosynthesis-Illumination on Species of Dunaliella and Native Strains of D. salina (Dunal) Teodoresco. BOL. SOC. BIOL. CONCEPCION, No. 62, pp. 83 - 88

Fee, E.J., J.A. Shearer, E.R. DeBruyn and E.U. Schindler. 1992. Effects of Lake Size on Phytoplankton Photosynthesis. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, Vol. 49, No. 12, pp. 2445 - 2459

Feuillade, M., J. Feuillade and J.P. Pelletier. 1992. Photosynthate Partitioning in Phytoplankton Dominated by Cyanobacterium Oscillatoria rubescens. Archives of Hydrobiology, Vol. 125, No. 4, pp. 441 – 461

Guilizzoni, P., A. Lami, D. Ruggiu, P. Panzani, B. Polli, M. Simona and A. Barbieri. 1991. Ecology of Phytoplankton in A Eutrophic Lake (Lago di Lugano). DOC. IST. ITAL. IDROBIOL., No. 30, pp. 40 - 43

Hasegawa, D., Yamazaki, H., Ishimaru, T., Nagashima, H. and Koike, Y. 2008. Physical-Biological Interactions in the Upper Ocean : Apparent phytoplankton bloom due to island mass effect. Journal of Marine Systems, Vol. 69, Issues 3-4, pp 238-246

Klochenko, P.D. 1992. Relationship Between Photosyntehsis and Nitrite Accumulation in Algal Culture Media. Hydrobiology Journal, Vol. 28, No. 4, pp. 26 – 31

Madsen, T.V., K. Sand-Jensen and S. Beer. 1993. Comparison of Photosynthetic Performance and Carboxylation Capacity in a Range of Aquatic Macrophytes of Different Growth Form. Aquatic Botany, Vol. 44, No. 4, pp. 373 - 384

Moss, B. 1980. Ecology of Freshwaters. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 332 pp.

Nakayama, Y., Kuma, K., Fujita, S., Sugie, K. dan Ikeda, T. 2010. Temporal variability and bioavailability of iron and other nutrients during the spring phytoplankton bloom in the Oyashio region. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, Volume 57, Issues 17-18, pp. 1618-1629

Nielsen, S.L. and K. Sand-Jensen. 1993. Photosynthetic Implications of Heterophylly in Batrachium peltatum (Schrank) Presl. Aquatic Botany, Vol. 44, No. 4, pp. 361 – 371

Nixdorf, B., Pagenkopf, W.-C. and Behrendt, H. 1992. Diurnal patterns of mixing depth and its influence on primary production in a shallow lake. Int. Rev. Cesamt. Hydrobiol., Vol. 77, no.3, pp. 349 – 350

Satyanarayana, S.K.V. and coauthors. 2008. Manage Book 25 C : Sustainable Fisheries Development. Block-II : Sustainable Open Water Fisheries Development. National Institute of Agricultural Extension Management (MANAGE). Andhra Pradesh. India. 197 pp.

Tang, D.L., Kawamura, H., Lee, M.-A. and Van Dien, T. 2003. Seasonal and spatial distribution of chlorophyll-a concentrations and water conditions in the Gulf of Tonkin, South China Sea. Remote Sensing of Environment, Volume 85, Issue 4, pp. 475-483

Stel’makh, L.V. 1992. Photosynthetic Rates of Two Size Fractions of Phytoplankton in Eutrophic Waters of Sevastopol Bay. Hydrobiological Journal, Vol. 28, No. 6, pp. 13 – 20

St. Jonsson, G. 1992. Photosynthesis and Production of Epilithic Algal Communities in Thingvallavatn. Oikos, Vol. 64, No. 1 – 2, pp. 222 - 240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar