Daftar Isi
Bab I. Bakteri Pada Makanan Laut
- Bakteri Patogen Pada Kerang
- Bakteri Pada Daging Ikan Segar, Cincang dan Busuk
- Keberadaan Bakteri Staphylococcus Pada Ikan Olahan
- Pengaruh Gas Karbon Dioksida dan Nitrogen Terhadap Bakteri Filet Ikan
- Karbon Dioksida Menghambat Pertumbuhan Bakteri Pembusuk
- Adakah Listeria Pada Ikan Laut ?
Bab II. Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan
- Bau dan Flavor Minyak Ikan
- Flagelata Penyebab Bau dan Rasa Tak Enak
- Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya
- Menghilangkan Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya
- Cairan Buah Jeruk Untuk Menghilangkan Bau Sardin Panggang
Bab III. Warna Pada Produk Perikanan
- Perubahan Warna Pada Produk Perikanan
- Warna Coklat Pada Ikan Rebus-Kering (Niboshi) Selama Penyimpanan
- Pencoklatan Pada Ikan Asin-Kering
- Warna Gelap Pada Daging Ikan Akibat Oksidasi Lipida
- Pengaruh Tekanan Tinggi Terhadap Warna dan Tekstur Daging Ikan
- Metabisulfit Mencegah Timbulnya Warna Hitam Pada Udang Mentah
Referensi
Bab I
Bakteri Pada Makanan Laut
Bakteri Patogen Pada Kerang
Gore et al. (1992) menganalisis mutu bakteri pada sampel kerang dari kebun kerang dan pasar di sekitarnya, pasir pantai, sedimen dan air dari Estuaria Mahe, Kerala, India. Bakteri indikator seperti Escherichia coli dan bakteri streptococci tinja diisolasi dari air, sedimen dan sampel kerang dari kedua daerah terutama selama bulan-bulan angin muson dan pasca muson. Bakteri patogen seperti Salmonella dan Vibrio cholera diisolasi dari sampel kerang. Limbah selokan dan air limpasan daratan dari daerah ini menyumbangkan kontaminasi lingkungan tersebut.
Bakteri Pada Daging Ikan Segar, Cincang dan Busuk
Abraham et al. (1992) menguji daging cincang ikan kakap Johnius dussumieri dengan mengamati perubahan profil bakteriologi dalam kondisi segar dan busuk pada suhu penyimpanan dingin 4 ± 1 °C. Komposisi persentase flora bakteri ternyata bervariasi sesuai dengan kondisi ikan : ikan segar, daging cincang segar dan daging cincang busuk. Acinetobacter dan Aeromonas yang dominan pada ikan segar menurun drastis setelah pencincangan, pencucian dan penyimpanan. Pada daging cincang segar 71,0 % populasi bakteri tersusun dari bakteri gram positif yang didominasi oleh Micrococcus. Flora bakteri dalam daging ikan cincang busuk didominasi oleh bakteri gram negatif (80,0 %) dengan bakteri terbanyak adalah Vibrio dan disusul oleh Pseudomonas.
Keberadaan Bakteri Staphylococcus Pada Ikan Olahan
Sanjeev dan Surendran (1993) meneliti pengaruh penyimpanan terhadap keberadaan Staphylococcus aureus, bakteri yang menghasilkan racun-perut, pada ikan olahan. Staphylococcus aureus ditemukan pada ikan olahan yang diproses dengan kondisi tidak hiegenis. Bagaimanapun, penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut tidak dapat bertahan hidup pada ikan yang diolah selama lebih dari 13 hari walaupun konsentrasi awal bateri ini adalah 2,7 x 105/gram.
Pengaruh Gas Karbon Dioksida dan Nitrogen Terhadap Bakteri Filet Ikan
Oka et al (1992) meneliti pola pertumbuhan dan produksi enterotoxin (racun perut) bakteri penyebab keracunan makanan dalam filet ikan yang disimpan pada berbagai kondisi atmosfer. Filet ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dan bakteri penyebab keracunan makanan (Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Clostridium perfringens, pada khususnya) dikemas ke dalam kantung dan secara terpisah diisi udara dan campuran gas (rasio karbon dioksida : nitrogen = 60 : 40), berturut-turut. Pola pertumbuhan dan produksi enterotoksin yang dihasilkan bakteri-bakteri ini pada kedua macam sampel kemasan dipelajari selama penyimpanan 5 hari pada suhu 25 °C. Setelah lima hari, jumlah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dalam sampel kemasan udara adalah 1,2 x 109/gram dan 1,4 x 107/gram daging, dan 1,6 x 108/gram dan 1,6 x 105/gram daging dalam sampel kemasan gas, berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan organisme-organisme ini sedikit dihambat oleh campuran gas. Bagaimanapun, jumlah Clostridium perfringens, adalah 1,7 x 107/gram dan 3,7 x 107/gram daging dalam sampel kemasan udara dan kemasan gas, berturut-turut. Tidak ada penghambatan yang terlihat pada pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut di bawah kondisi kemasan gas.
Karbon Dioksida Menghambat Pertumbuhan Bakteri Pembusuk
Kimura dan Murakami (1992) meneliti flora mikroba pada daging filet ikan tengiri Scomber japonicus selama penyimpanan di dalam berbagai gas atmosfer. Filet ikan tenggiri Jepang Scomber japonicus disimpan dalam tiga kemasan yang secara terpisah mengandung udara, N2 atau 40 % CO2 + 60 % N2 pada suhu 5 °C , dan perubahan flora mikrobanya beserta perubahan inderawinya diamati selama penyimpanan. Flora bakteri dominan filet ikan segar adalah Moraxella, Acinetobacter, coryneform, Vibrio-Aeromonas. Setelah disimpan 6 hari, flora mikroba dominan filet ikan yang disimpan di dalam udara adalah Pseudomonas, Alcaligenes dan kelompok Vibrio-Aeromonas, sedang untuk filet yang disimpan di dalam N2 adalah kelompok Vibrio-Aeromonas dan Alcaligenes. Dengan adanya CO2, bagaimanapun, flora mikroba akhir adalah sama dengan pada awalnya. Dari hasil penelitian ini, 40 % CO2 disimpulkan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas, Alcaligenes dan kelompok Vibrio-Aeromonas.
Adakah Listeria Pada Ikan Laut ?
Sinell dan Schmidt (1992) mencari keberadaan Listeria dalam ikan laut. Listeria adalah mikroorganisme yang terdapat pada hampir semua organisme dan juga di lingkungan. Di antara 5 atau 7 genus Listeria, hanya satu yang bersifat patogen bagi binatang dan manusia, yaitu Listeria monocytogenes. Penyakit paling berbahaya akibat mikroorganisme ini adalah listerian meningitis dan listerian meningoencephalitis. Sekitar 10 sampai 30 % populasi manusia mengandung Listeria monocytogenes inaktif, terutama di dalam sistem pencernaan. Situasi pada ikan laut agak tidak diketahui. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Tak satupun dari 69 ikan yang baru ditangkap maupun yang dibekukan menunjukkan adanya infeksi Listeria. Bagaimanapun penelitian ikan selama proses pelelangan menunjukkan derajat infeksi yang jelas. Pencemaran Listeria pada ikan yang baru ditangkap agak jarang. Pencemaran dimulai selama penanganan di pabrik pengolahan ikan.
Bab II
Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan
Bau dan Flavor Minyak Ikan
Stansby (1971) melaporkan bahwa bau dan flavor tak enak pada minyak ikan muncul akibat terkontaminasi metabolit, pembusukan protein ikan atau akibat produk oksidasi minyak itu sendiri. Bau dan flavor yang dihasilkan menyebabkan minyak ikan kurang dapat diterima untuk banyak penggunaan. Bau atau flavor dalam daging ternak atau unggas yang diberi pakan yang mengandung minyak ikan lebih banyak disebabkan oleh sifat kondisi poli-tak-jenuh minyak ikan daripada oleh produk oksidasi atau flavor dan bau minyak ikan yang ada dalam pakan tersebut. Bau dan flavor tak enak bisa dihilangkan dengan metode pemurnian minyak ikan atau pada beberapa kasus, ditutupi dengan zat-zat tambahan.
Flagelata Penyebab Bau dan Rasa Tak Enak
Hegner (1946) menyatakan bahwa beberapa protozoa flagelata dapat memberikan rasa dan bau tak enak pada air minum. Organisme-organisme ini sering bersatu membentuk koloni dengan bentuk bulat atau bercabang-cabang. Salah satu spesies, yaitu Uroglena, menyebabkan timbulnya bau amis pada minyak hati ikan cod. Dinobryon, yang membentuk koloni bercabang-cabang, juga memberikan bau amis. Bau mirip ketimun masak dan rasa pahit serta pedas dihasilkan oleh Synura. Rasa dan bau minyak aromatik dibentuk di dalam tubuh dan dilepaskan ketika binatang itu membusuk. Dalam jumlah yang sangat sedikit minyak ini menimbulkan bau yang sudah dapat dicium. Sebagai contoh, satu bagian minyak dari Synura dapat dicium dalam 25 juta bagian air. Penambahan sejumlah tembaga sulfat, cukup sedikit saja agar tidak berbahaya bagi manusia dan hewan lain, akan menghancurkan protozoa-protozoa ini serta membebaskan air dari bau dan rasa yang tidak menyenanglan.
Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya
Boyd (1982) mengulas beberapa tulisan tentang bau tak enak pada ikan. Beberapa senyawa yang berbau lumut-tanah telah diisolasi dari organisme yang dikultur dan dari perairan alami. Senyawa geosmin (C12H22O) memiliki bau lumut-tanah yang kuat dan senyawa ini disintesis serta diekskresi ke dalam air oleh jamur actinomycetes dan alga hijau-biru. Senyawa-senyawa lain dengan bau lumut-tanah yang telah diisolasi dari kultur actinomycetes dan dari perairan alami adalah “mucidone” dan 2-metilisoborneol. Senyawa-senyawa ini serupa dengan geosmin dalam hal strukturnya. Alga hijau-biru penghasil geosmin, yakni Symploca muscorum dan Oscillatoria tenuis, telah dikultur di laboratorium. Ketika ikan channel catfish dimasukkan langsung ke dalam tangki kultur alga, ikan tersebut menjadi berbau lumut-tanah sama seperti bau alga itu dalam 2 hari, dan ketajaman bau mencapai maksimum setelah 10 hari. Bila ikan yang telah ditempatkan dalam tangki kultur alga selama 14 hari dipindahkan ke air-mengalir yang mengandung filtrat alga dari tangki kultur alga maka ikan tersebut menjadi berbau tak enak dengan kecepatan lebih lambat daripada ikan yang dipelihara secara langsung di dalam tangki kultur alga. Hal ini menunjukkan bahwa ikan bisa menyerap senyawa penyebab bau tak enak tanpa menelan alga tersebut – kemungkinan penyerapan terjadi melalui membran insang.
Boyd (1982) menyatakan bahwa alga hijau-biru bersifat autotrof dan tidak memerlukan bahan organik untuk pertumbuhannya. Jadi, pemberian pakan ikan tidak berperanan secara langsung bagi pertumbuhan alga ini. Bagaimanapun, zat-zat hara anorganik yang berasal secara tidak langsung dari pakan mendorong pertumbuhan alga, dan alga hijau-biru sering melimpah di kolam. Actinomycetes bersifat heterotrof dan harus memiliki sumber bahan organik, sehingga pakan yang tak dikonsumsi, feses dan alga mati berfungsi sebagai substrat untuk pertumbuhan organisme-organisme ini. Zat-zat hara yang berasal dari pemupukan atau pun pakan mendorong perkembang biakan organisme penyebab bau tak enak, tetapi bau tak enak dalam ikan tidak terbatas di perairan yang mengalami pengayaan zat hara saja.
Boyd (1982) mengulas sebuah penelitian mengenai timbulnya bau tak enak pada ikan di kolam pemeliharaan. Bau tak enak pada ikan dijumpai sepanjang musim pertumbuhan. Kolam di tanah berpasir, serta kolam di tanah liat subur dengan kesadahan total dan produktivitas tinggi memiliki ikan berbau tak enak. Keberadaan bau tak enak tidak berhubungan dengan kelimpahan plankton atau kematian masal plankton. Selain itu, bau tak enak tidak berhubungan secara mantap dengan sejenis alga atau actinomycetes tertentu. Komunitas fitoplankton di kolam yang ikannya berbau tak enak sama dalam hal komposisi genusnya dengan komunitas plankton di kolam yang ikannya tidak berbau tak enak. Actinomycetes penyebab bau tak enak dijumpai dengan frekuensi yang sama di kolam yang ikannya tidak berbau tak enak maupun di kolam yang ikannya berbau tak enak. Kolam di tanah berpasir dengan air kurang sadah biasanya memiliki ikan berbau tak enak di musim semi atau musim gugur ketika suhu air sekitar 20 °C. Kolam di tanah yang lebih subur dengan air sadah memiliki ikan berbau tak enak selama bulan-bulan musim pertumbuhan.
Menghilangkan Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya
Boyd (1982), dengan mengulas sebuah laporan, menyatakan bahwa bau tak enak bisa dihilangkan dari ikan dengan memeliharanya di dalam air mengalir yang bebas dari senyawa-senyawa penyebab bau tak enak. Tergantung pada suhu air dan derajat ketidak enakan bau, senyawa penyebab bau tak enak pada ikan channel catfish bisa dihilangkan dalam waktu 5 – 15 hari. Terjadi kehilangan berat badan 9 – 17 % ketika ikan yang berbau tak enak dicuci menurut prosedur tersebut. Kehilangan berat ini disebabkan ikan tidak makan selama prosedur tersebut. Selain itu, ada beberapa cara lain untuk mengurangi masalah bau tak enak dalam kultur ikan kolam. Limbah pakan sebaiknya dikurangi dengan menggunakan pakan yang bagus tanpa kelebihan jumlah. Bila mungkin, air dalam sistem kultur diganti untuk mengurangi pertumbuhan organisme penyebab bau tak enak. Kontrol kimia terhadap fitoplankton disarankan. Bagaimanapun, cara ini dipertanyakan karena dapat menyebabkan kehabisan oksigen. Juga dilaporkan bahwa peningkatan kekeruhan air baik secara mekanis maupun menggunakan ikan pemakan-dasar akan menekan pertumbuhan fitoplankton. Cara ini juga dipertanyakan.
Cairan Buah Jeruk Untuk Menghilangkan Bau Sardin Panggang
Asahara dan Nishibori (1992) mempelajari pengaruh cairan buah jeruk dalam menghilangkan bau sardin panggang dengan uji gabungan analisis inderawi, kromatografi gas dan kromatografi gas-spektrometri massa. Dengan uji inderawi, ternyata bahwa bau sardin panggang jelas hilang dengan penambahan jeruk. Lima karbonil, satu alkohol dan sepuluh hidrokarbon yang diidentifikasi dalam sardin panggang juga terdeteksi dalam sardin panggang yang diberi cairan buah jeruk, dan pola kedua kromatografi gas senyawa-senyawa mudah-menguap ini pada dasarnya adalah sama. Bagaimanapun, alfa-pinene, beta-pinene, myrcene , d-limonene dan gamma-terpinene ditemukan hanya pada sardin panggang yang diberi cairan buah jeruk, dan telah dibuktikan bahwa senyawa-senyawa ini berasal dari jeruk.
Bab III
Warna Pada Produk Perikanan
Perubahan Warna Pada Produk Perikanan
Sen (2005) menyatakan bahwa perubahan warna merupakan masalah bagi daging merah ketika pasokan oksigen menjadi terbatas namun jarang terjadi pada produk makanan laut kecuali yang banyak mengandung pigmen. Bagaimanapun, pada beberapa spesies ikan timbulnya warna asing pada daging dan kulit bisa menyebabkan produk ikan tersebut kurang dapat diterima konsumen. Penelitian terhadap filet ikan rockfish yang disimpan pada kondisi atmosfer termodifikasi, yakni 80 % karbon dioksida dan 20 % udara, dan suhu 35 ± 2 °F serta keadaan gelap menunjukkan bahwa setelah 13 hari penyimpanan tidak ada perbedaan nyata dalam hal warna kulit atau daging antara sampel segar dan sampel yang disimpan dalam atmosfer termodifikasi. Tetapi warna kulit sampel segar dan sampel udara-kontrol menunjukkan perbedaan nyata setelah 13 hari penyimpanan. Diduga bahwa atmosfer-termodifikasi menunda proses pemudaran warna kulit yang diamati pada sampel udara-kontrol. Munculnya warna tak lazim pada lapisan peritoneal rongga perut ikan salmon setelah 2 minggu disimpan dalam atmosfer-termodifikasi dan dalam udara telah dilaporkan. Pigmen kehijauan dalam otot gelap ikan swordfish setelah 11 hari disimpan dalam CO2/O2 juga telah dilaporkan.
Warna Coklat Pada Ikan Rebus-Kering (Niboshi) Selama Penyimpanan
Takiguchi (1992) mempelajari oksidasi lipida dan pembentukan warna coklat pada ikan teri Engraulis japonica rebus-kering (niboshi) selama penyimpanan pada berbagai suhu antara -30 dan 30 °C selama 240 hari. Niboshi menjadi berwarna coklat selama penyimpanan pada suhu 30, 20 dan 0 °C. Intensitas warna tergantung terutama pada suhu penyimpanan; makin tinggi suhu penyimpanan makin tua warnanya. Niboshi yang disimpan pada suhu -20 dan -30 °C tetap hampir tak berubah warna. Kadar metionin, histidin dan lisin menurun pada niboshi yang menjadi berwarna coklat selama penyimpanan. Asam-asam amino ini, dengan demikian, diduga terlibat dalam reaksi pencoklatan seperti reaksi amino-karbonil.
Pencoklatan Pada Ikan Asin-Kering
Smith dan Hole (1991) melaporkan bahwa lipida dalam ikan asin kering-matahari tradisional sangat mudah mengalami oksidasi selama pengolahan dan penyimpanan pada suhu udara tropis (25–30 °C), sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat serta bisa kehilangan nilai gizi dan nilai ekonomi produk tersebut. Zat warna coklat terlarut, berfluoresensi dan dapat-diekstrak diketahui merupakan indikator yang berkaitan dengan tingginya derajat oksidasi lipida dalam ikan tersebut. Pada suhu 25°C produk-produk oksidasi lipida yang bereaksi dengan fosfolipida dan asam-asam amino menghasilkan fluoresensi yang nyata. Demikian pula, protein dan asam amino berinteraksi dengan produk oksidasi lipida menyebabkan terbentuknya warna coklat, walaupun pada suhu 25 °C reaksi ini hanya terjadi bila ada air. Suhu di atas 50 °C dibutuhkan untuk perkembangan warna coklat pada minyak ikan yang teraerasi saja. Kadar asam-asam amino bebas dalam ikan asin kering-matahari berkurang selama penyimpanan dan hal ini disebabkan keterlibatan asam-asam amino dalam fluoresensi dan pembentukan warna. Fluoresensi/warna berhubungan dengan perkembangan produk oksidasi lipida dan karena itu menjadi dasar untuk bertindak sebagai indikator oksidasi lipida yang luas.
Warna Gelap Pada Daging Ikan Akibat Oksidasi Lipida
Sohn et al. (2005) meneliti peranan oksidasi lipida dalam perkembangan bau tengik pada tahap awal penyimpanan-es pada otot biasa dan otot gelap ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata) budidaya. Kadar total hidroperoksida lipida dan “thiobarbituric acid-reactive substance” (TBARS; substansi reaktif-asam thiobarbituric) dalam otot gelap secara nyata lebih tinggi (P < 0.01) daripada dalam otot biasa selama 2 hari penyimpanan-es. Peningkatan kadar metmyoglobin otot gelap diikuti oleh pembentukan warna gelap secara perlahan-lahan selama penyimpanan-es. Untuk membedakan perubahan karakteristik bau pada otot, maka dilakukan evaluasi inderawi. Perubahan kecil dalam hal intensitas 7 macam bau diamati dalam otot biasa, tetapi terjadi peningkatan secara nyata dalam hal bau keseluruhan, bau amis, bau busuk dan bau tengik pada otot gelap selama 2 hari penyimpanan-es. Tidak ada hubungan antara kadar total hidroperoksida lipida dan intensitas bau pada otot biasa; bagaimanapun, ada hubungan nyata antara kadar total hidroperoksida lipida dan intensitas bau tengik dan bau keseluruhan pada otot gelap. Laju oksidasi lipida otot gelap ikan ekor kuning secara nyata lebih cepat dibandingkan pada otot biasa. Oksidasi lipida otot gelap sangat berkaitan dengan proses penggelapan daging dan perkembangan bau tengik selama tahap awal penyimpanan-es.
Pengaruh Tekanan Tinggi Terhadap Warna dan Tekstur Daging Ikan
Matser et. (2000) meneliti pengaruh tekanan tinggi terhadap warna daging ikan untuk mengevaluasi kisaran perlakuan tekanan tinggi yang tidak mempengaruhi penampilan produk perikanan. Perlakuan tekanan tinggi lebih dari 150-200 MPa selama 5 menit menimbulkan warna tampilan seperti direbus pada ikan pollack (Pollachius virens), tenggiri (Scomber scombrus), tuna (Thunnus thynnus), cod (Gadus morhua), salmon trout (Salmon trutta), ikan mas (Cyprinus carpio), ikan sebelah (Pleuronectus platessa) dan anglerfish (Lophius piscatorius). Hanya gurita (Octopus vulgaris) yang tetap mempertahankan warna tampilan seperti kondisi masih mentah hingga tekanan 400 – 800 MPa. Pengaruh tekanan tinggi terhadap tekstur ikan cod (Gadus morhua) telah dievaluasi setelah penyimpanan beku selama 6 bulan. Kekerasan daging meningkat akibat tingginya tekanan pada nilai 200 dan 400 MPa. Selama penyimpanan hanya terjadi sedikit perubahahan kekerasan. Bahkan sampel yang tidak diberi perlakuan tekanan menunjukkan hanya sedikit peningkatan kekerasan selama penyimpanan.
Metabisulfit Mencegah Timbulnya Warna Hitam Pada Udang Mentah
Chakrabarti et al. (1992) melakukan penelitian mengenai pengendalian terhadap pembentukan warna hitam pada udang mentah dari daerah tropis. Mereka melaporkan bahwa metabisulfit memberikan hasil yang menggembirakan dalam mencegah pembentukan warna hitam pada berbagai spesies udang. Metabisulfit 0,3 % cukup untuk mengendalikan bintik hitam pada Penaeus monodon dan Penaeus indicus selama 5 hari disimpan dalam es sedang pencelupan dalam metabisulfit 0,4 % selama 30 detik mencegah bintik hitam pada Metapenaeus monoceros selama periode yang sama.
Referensi :
Abraham, T.J., G. Sugumar, D. Sukumar and P. Jeyachandran. 1992. Bacterial Profile of Fresh and Spoiled Mince From Johnius dussumieri at Refrigerated Storage. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 53 - 56
Asahara, K. and K. Nishibori. 1992. Suppressing Effect of Lemon Juice on The Odor of Roasted Sardine. Bulletin of Japan Societies of Science of Fisheries, vol. 58, no. 3, pp. 529 - 531
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.
Chakrabarti, R., S.S. Gupta, C.C.P. Rao and S. Basu. 1992. Control of Black Discolouration in Raw Shrimps From Tropical Region. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 84 – 85
Gore, P.S., C. Raveendran, T.S.G. Iyer, P.R.G. Varma and V.N. Sankaranarayanan. 1992. Bacterial Contamination of Mussels At Mahe Estuary, Malabar Coast. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 57 – 61
Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company, New York. 675 pp.
Kimura, B. and M. Murakami. 1992. Microbial Flora of Common Mackerel Scomber japonicus Fillets During Storage Under Different Gas Atmosphere. Journal of Shimonoseki University of Fisheries, vol. 40, no. 2, pp. 69 - 74
Matser, A.M., D. Stegeman, J. Kals and P.V. Bartels. 2000. Effects of High Pressure On Colour And Texture of Fish. High Pressure Research: An International Journal, Vol. 19, Issue 1-6, pp. 109 - 115
Oka, S., H. Ito and K. Takama. 1992. Growth Pattern and Enterotoxin Production of Food Poisoning Bacteria in Fish-Fillets Stored Under Different Modified Atmosphere. Bulletin of Faculty of Fisheries of Hokkaido University, vol. 43, no. 3, pp. 105 – 114
Sanjeev, S. and P.K. Surendran. 1993. Effect of Storage on Enterotoxigenic Staphylococcus aureus in Cured Fish. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology Kochi, vol. 30, no. 1, pp. 79 – 80
Sen, D.P. 2005. Advances in Fish Processing Technology. Allied Publisher Pvt. Ltd. New Delhi, India. 823 pp.
Sinell, H.-J. and A.G. Schmidt. 1992 Do Listeria Occur in Marine Fishes ? A Gradual Experiment From The Catch to The Processing of Fish. Proceedings of The Food Science Advisory Board For German Fisheries. 35 Annual Meeting. Pp. 93 - 106
Smith, G. and M. Hole. 1991. Browning of Salted Sun-Dried Fish. Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 55, Issue 2, pp. 291 – 301
Sohn, J.-H., Y. Taki, H. Ushio, T. Kohata, I. Shioya and T. Ohshima. 2005. Lipid Oxidations in Ordinary and Dark Muscles of Fish: Influences on Rancid Off-Odor Development and Color Darkening of Yellowtail Flesh During Ice Storage. Journal of Food Science, vol. 70, issue 7, pp. s490–s496
Stansby, M. E. 1971. Flavors and Odors of Fish Oils. Journal of the American Oil Chemists' Society, Vol. 48, Number 12, pp. 820 - 823
Takiguchi, A. 1992. Lipid Oxidation and Brown Discoloration in Niboshi During Storage at Ambient and Low Temperature. Bulletin of Japan Societies of Science of Fisheries, vol. 58, no. 3, pp. 489 - 494
Tidak ada komentar:
Posting Komentar