Sabtu, 27 Januari 2018

Ikan Bandeng : Makanan, Hormon Pertumbuhan dan Produksi Budidaya

Bab I
Pakan Alami Larva Bandeng (Chanos chanos)

Makanan Alami dan Aktivitas Makan Larva Bandeng di Laut dan Estuaria

Banno (1980) mengumpulkan larva bandeng (nener) setiap minggu dan setiap hari dari habitat laut dan estuaria untuk mengetahui kebiasaan makan, periodisitas makan dan kelimpahannya selama musim larva 1977 dan 1978 di Hamtik, Antique. Analisis isi perut larva bandeng (panjang total 13,4 ± 0,9 mm dan berat badan 7,5 ± 1,9 mg) menunjukkan bahwa hanya 71 dari 636 dan 34 dari 391 larva yang dikumpulkan setiap minggu dari habitat laut dan estuaria, berturut-turut, mengandung plankton di dalam ususnya. Demikian pula, hanya 40 individu dari 1289 sampel laut dan 71 dari 1377 sampel estuaria yang dikumpulkan setiap hari, menelan plankton. Lima genera diatom, tiga kopepoda, dua tipe foraminifera, dan butiran pasir ditemukan dalam usus larva bandeng. Yang paling umum adalah Coscinodiscus sp., Oithona sp., Paracalanus sp. dan Calanus sp. Larva bandeng mulai makan plankton pada jam 06.00 dan berhenti pada pukul 19.00, dengan periode makan paling aktif pada jam 07.00 sampai 13.00, aktivitas makan sedang pada periode jam 14.00 sampai 17.00 dan aktivitas makan paling kecil pada jam 00.00 sampai 02.00. Data ini menunjukkan rendahnya aktivitas makan plankton pada bandeng di kedua tipe habitat. Hal tersebut bisa disebabkan oleh sedikitnya jumlah plankton selama pengumpulan larva bandeng. Bagaimanapun, hal ini sangat memperkuat dugaan bahwa sumber utama makanan larva bandeng adalah detritus dan nutrien anorganik yang sangat melimpah di sepanjang daerah pesisir dan yang mudah dimanfaatkan oleh larva bandeng untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Kelimpahan larva bandeng tidak berhubungan dengan ketinggian pasang surut.

Mana Yang Lebih Baik Untuk Pakan Nener : Chlorella sp., Tetraselmis sp. atau Isochrysis ?

Juario dan Storch (1984) melakukan evaluasi biologis terhadap fitoplankton sebagai makanan larva ikan bandeng. Kultur fitoplankton Chlorella sp., Tetraselmis sp dan Isochrysis galbana digunakan sebagai pakan tunggal bagi larva bandeng (Chanos chanos) yang baru ditangkap (umur sekitar 21 hari). Studi ultrastruktural terhadap sel acinar pankreas dan hepatosit (sel hati) menunjukkan bahwa larva bandeng tidak dapat memanfaatkan Chlorella secara langsung, karena dinding selnya keras. Sebaliknya, larva bandeng dapat memanfaatkan secara langsung Tetraselmis dan Isochrysis. Tetapi bila Tetraselmis digunakan sebagai satu-satunya pakan maka nutrisinya tidak cukup untuk kebutuhan pertumbuhan dan kelangsungan hidup nener sehingga secara nutrisi Tetraselmis kurang baik dibandingkan Isochrysis.

Pengaruh Alga Terhadap Kualitas Brachionus Sebagai Makanan Nener

Acosta (1984) melakukan dua rangkaian eksperimen untuk mengevaluasi kualitas Brachionus plicatilis yang diberi pakan satu spesies tunggal alga bersel satu, Chlorella sp., Isochrysis galbana dan Tetraselmis tetrahele serta kombinasi mereka sebagai pakan untuk larva ikan bandeng. Dalam percobaan I, pertumbuhan paling baik terjadi pada larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang memakan Isochrysis, diikuti oleh larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan Tetraselmis; pertumbuhan paling buruk dialami oleh larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan Chlorella. Pengamatan dengan mikroskop elektron memperkuat hasil penemuan ini dan membuktikan bahwa hepatosit (sel hati) larva bandeng yang memakan Brachionus dengan Isochrysis memilki ciri ultra struktural yang optimum. Sel hati ini berukuran teratur, inti sel berdensitas ringan dan plasma banyak mengandung partikel glikogen. Sedangkan hepatosit larva bandeng yang memakan Brachionus dengan Chlorella menunjukkan kondisi abnormal; sel hati ini berukuran lebih kecil dengan inti sel berwarna gelap dan menyusut, jumlah glikogen dan mitokondria sedikit. Dalam percobaan II, larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang memakan kombinasi ketiga spesies alga tersebut di atas menunjukkan pertumbuhan yang secara nyata lebih baik daripada larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan kombinasi dua spesies alga manapun. Larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang diberi pakan kombinasi spesies fitoplankton mengalami pertumbuhan yang lebih cepat daripada larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan satu spesies tunggal fitoplankton. Laju pertumbuhan sangat tinggi pada semua perlakuan. Perbedaan tingkat kelangsungan hidup larva bandeng adalah tidak nyata.

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Artemia dan Kombinasi Artemia + Pakan Buatan

Figueroa-Bombeo (1983) melakukan percobaan untuk membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang dan bandeng yang diberi pakan Artemia, pakan buatan dan kombinasi keduanya dengan rasio 1 : 1. Post larva Penaeus monodon dan larva Chanos chanos dipelihara selama 30 hari dengan padat penebaran 15 ekor per liter di dalam akuarium dan tangki putih (white basin), berturut-turut. Larva bandeng yang diberi pakan Artemia memiliki nilai tertinggi untuk berat badan rata-rata (0,14 gram) dan panjang total rata-rata (26,91 mm); nilai-nilai tersebut berbeda nyata dengan perlakuan-perlakuan lain. Konversi pakan terbaik 9,52 diperoleh larva yang diberi pakan lumat; nilai ini secara nyata berbeda dengan konversi pakan larva yang diberi pakan basah (moist diet) saja. Rasio efisiensi protein larva bandeng yang diberi pakan Artemia secara nyata lebih besar daripada perlakuan-perlakuan lain. Kelangsungan hidup adalah tertinggi untuk larva yang diberi pakan Artemia (48 %) tetapi nilai ini tidak berbeda nyata dengan larva yang diberi jenis-jenis pakan lainnya. Larva bandeng dengan berat rata-rata 20,7 mg lebih menyukai Artemia dengan kisaran ukuran 1 sampai 2 mm.

Proses Pencernaan Bandeng Dalam Kaitannya Dengan Pakan Alami

Benitez et al. (1982) mempelajari proses pencernaan ikan bandeng (Chanos chanos), yang dipelihara dalam tambak air payau, dalam hubungannya dengan pakan alami yang berupa dua tipe : (1) komplek komunitas alga bersel satu dan plankton lain dan (2) alga hijau berfilamen beserta organisme-organisme yang berasosiasi dengannya. Pencernaan karbohidrat terjadi terutama di dalam pilorik kaeka dan usus. Ikan yang memakan alga berfilamen memiliki aktivitas karbohidrase yang secara umum lebih tinggi. Studi terhadap aktivitas amilase usus dan “feeding index” (indeks aktivitas makan) selama periode 24 jam menunjukkan bahwa puncak aktivitas amilase terjadi satu kali sehari pada sekitar tengah hari ketika perutnya penuh. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sekresi enzim adalah bersamaan dengan aktivitas makan. Aktivitas protease terjadi terutama di dalam pilorik kaeka, usus dan pankreas. Ikan yang memakan alga bersel satu memperlihatkan aktivitas protease yang secara konsisten lebih tinggi. Aktivitas chymotrypsin diamati pada ikan yang memakan kedua tipe pakan alami. Sebaliknya, aktivitas tripsin hanya terjadi pada ikan yang memakan alga bersel satu. Tripsin bandeng sangat dihambat oleh ekstrak kasar dari alga berfilamen. Penghambatan tersebut bisa menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan ikan yang memakan pakan alami ini.

Aktivitas Enzim Lipase Dalam Hubungannya Dengan Jenis Alga Yang Dimakan

Borlongan (1990) melaporkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) telah diberi dua macam pakan alami untuk menentukan pola distribusi enzim lipase sepanjang saluran pencernaan dan untuk mengidentifikasi kondisi optimum bagi aktivitas lipase. Satu jenis makanan terdiri dari komplek biologis alga bersel satu dan diatom (Pakan A) dan yang lain terdiri dari alga hijau filamen berserat, yang didominasi oleh Chaetomorpha brachygona (Pakan B). Lokasi utama sekresi lipase dalam saluran pencernaan ikan bandeng adalah usus, pankreas dan pilorik kaeka. Aktivitas lipase alga lebih tinggi untuk ikan yang diberi Pakan A daripada yang diberi Pakan B. Aktivitas lipase usus terlihat maksimal pada suhu 45 °C dan pada pH 6,8 dan 8,0. Aktivitas lipase pankreas tampak maksimal pada suhu 50 °C dan pH 6,4 dan 8,6. Adanya dua nilai pH optimal, satu agak asam dan yang lain basa untuk lipase usus dan lipase pankreas, menunjukkan adanya keragaman fisiologis dalam pencernaan lipida pada ikan bandeng.

Bab II
Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)

Pakan Buatan Pengganti Pakan Alami Nener

Borlongan et al. (2000) melakukan penelitian dengan tujuan mengembangkan pakan bergizi seimbang dengan biaya produksi efektif sebagai makanan bagi larva ikan bandeng (Chanos chanos). Dua jenis pakan larva (pakan A dan pakan B) diformulasikan dan dibuat agar mengandung 45 % protein dan 10 % lipida. Beberapa bentuk pakan larva yang telah diuji adalah “microbound (ikatan-mikro)”/bukan pelet (kering-beku), ikatan-mikro/pelet (kering-oven) dan ikatan-mikro/serpihan (kering-drum) dan dievaluasi dalam hal ukuran partikel pakan, daya apung, stabilitas air dan penerimaan (acceptability) pakan. Teknik pembuatan yang menghasilkan pakan dengan ukuran partikel, daya apung dan stabilitas terbaik kemudian diterapkan untuk membuat pakan ikatan-mikro (menggunakan karaginan-K sebagai pengikat) yang selanjutnya dijadikan serpihan dengan menggunakan drum pengering. Pakan tersebut digunakan dalam serangkaian eksperimen pemberian pakan yang bertujuan menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng yang dipelihara dengan berbagai skema pemberian pakan.

Dalam eksperimen di atas larva bandeng diberi pakan buatan saja atau kombinasi pakan buatan dan pakan hidup. Nener dalam perlakuan kontrol dipelihara dengan pakan hidup seperti Brachionus plicatilis dan naupli Artemia. Larva terlihat menelan pakan, yang menunjukkan bahwa pakan tersebut cocok secara fisik dan menarik bagi larva bandeng. Secara keseluruhan hasil percobaan pemberian pakan ini menunjukkan bahwa pakan buatan dapat diberikan kepada larva ikan bandeng sebagai kombinasi dengan rotifera Brachionus mulai hari ke dua atau ke delapan, dan dapat diberikan sebagai pakan tunggal (tanpa pakan hidup) mulai hari ke-15. Hasil penelitian ini akan dapat mengurangi ketergantungan larva bandeng terhadap pakan hidup dan memberikan keuntungan ekonomis yang nyata dalam bentuk penyederhanaan prosedur hatchery bandeng.

Tepung Daun Singkong, Kentang dan Kangkung Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Borlongan dan Coloso (1994) mempelajari kemungkinan menggantikan sebagian protein tepung ikan dengan protein tepung daun dalam pakan ikan bandeng, Chanos chanos. Lima pakan isokalori/berkalori-sama (375 kcal/100 gram pakan) telah diformulasikan agar mengandung tepung daun yang bersifat isonitrogen (protein 40 %) dan isolipid (10 %). Daun yang dipakai adalah daun kangkung (Ipomea reptans), kentang manis (Ipomea batata), ipil-ipil (Leucaena leucocephala) dan singkong (Manihot esculenta), atau kombinasi daun kangkung, kentang manis dan singkong. Pakan kontrol mengandung tepung ikan dan tepung kedelai sebagai sumber protein sedangkan pakan uji mengandung tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung daun yang menggantikan 15 % protein tepung ikan. Sumber-sumber protein ini digabungkan hingga memberikan pola asam amino esensial yang optimal pada pakan. Setiap pakan diberikan kepada tiga kelompok ikan (sekitar 0,3 gram) yang dipelihara pada salinitas 20 ppt dan suhu 29 °C dalam sistem resirkulasi selama 12 minggu. Pertumbuhan, rasio konversi pakan (“Feed Conversion Ratio”, FCR), rasio efisiensi protein (“Protein Efficiency Ratio”, PER) dan kelangsungan hidup ikan yang diberi berbagai jenis pakan tidak berbeda nyata dibandingkan ikan kontrol. Bagaimanapun, ikan yang diberi pakan yang mengandung tepung daun singkong menunjukkan nilai-bilai terbaik untuk pertumbuhan, FCR, PER dan kelangsungan hidup. Data ini memperkuat dugaan bahwa tepung berbagai jenis daun ini bisa digunakan untuk menggantikan sebagian tepung ikan dalam pakan juvenil ikan bandeng bila kebutuhan asam-asam amino esensialnya terpenuhi.

Upaya Memanfaatkan Daun Eceng Gondok Untuk Pakan Nener

Santiago et al. (1984) mempelajari pengaruh pakan buatan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng di perairan tawar. Nener bandeng liar (Chanos chanos), berat rata-rata 15 mg, dipelihara dalam air tawar selama 5 minggu dengan empat jenis pakan buatan kering. Moina atau campuran daun eceng gondok digunakan sebagai pakan. Nener yang diberi pakan buatan mencapai tingkat kelangsungan hidup rata-rata 83 – 95 % dan perolehan berat rata-rata 0,16 – 0,18 gram. Nener yang diberi pakan Moina dan campuran daun eceng gondok memiliki pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang jauh lebih rendah. Empat jenis pakan kering yang mengandung 40 % protein kasar tampaknya cukup bagi nener. Penggantian sampai 5 % protein kasar dengan tepung kedelai dan/atau tepung daun ipil-ipil (Leucaena leucocephala) tidak mempengaruhi pertumbuhan, tetapi pakan yang mengandung tepung daun ipil-ipil memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sedikit lebih rendah.

Tepung Kacang Sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Bandeng

Borlongan et al. (2003) melakukan uji coba pemberian pakan selama 12 minggu untuk mengevaluasi penggunaan tepung kacang (Pisum sativum) sebagai sumber protein untuk juvenil ikan bandeng. Pakan praktis yang isonitrogen (30 % protein kasar) dan isokalori (16,5 kJ/gram) telah diformulasikan. Pakan kontrol mengandung tepung ikan, tepung kedelai, tepung daging dan tulang serta tepung kopra sebagai sumber protein utama. Tepung kacang secara bertahap menggantikan 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % dan 30 % total protein. Pakan komersial juga diuji sebagai kontrol tambahan. Pakan eksperimen diberikan dengan tiga ulangan kepada kelompok-kelompok juvenil ikan bandeng (berat awal rata-rata 0,42 plus minus 0,01 gram) sebanyak 10 % berat badan per hari.

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa penampilan pertumbuhan (dinyatakan sebagai persentase perolehan berat dan SGR), kelangsungan hidup, rasio konversi pakan (FCR) dan rasio efisiensi protein (PER) bandeng yang diberi pakan, yang proteinnya diganti dengan tepung kacang sampai 10 %, adalah tidak berbeda nyata (P > 0,05) bila dibandingkan ikan yang diberi pakan kontrol. Penggantian dengan tepung kacang sebanyak 15 % atau lebih menyebabkan bandeng yang memakannya menunjukkan respon pertumbuhan yang secara nyata lebih rendah daripada bandeng yang memakan pakan kontrol tanpa tambahan tepung kacang sedikitpun. Namun demikian, terlihat bahwa ikan bandeng yang memakan pakan yang sampai 20 % total proteinnya diganti dengan tepung kacang menunjukkan laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan yang lebih baik daripada pakan komersial kontrol. Komposisi tubuh ikan secara total (protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ekstrak bebas-nitrogen dan kadar abu) pada bandeng yang diberi berbagai jenis pakan uji adalah tidak berbeda nyata. Koefisien “apparent digestibility” (daya cerna yang terlihat) untuk tepung kacang dan pakan eksperimen bandeng juga ditentukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tepung kacang merupakan sumber protein yang dapat diterima dan dapat menggantikan sampai 20 % total protein pakan dalam pakan ikan bandeng.

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Buatan

Alava dan Lim (1988) melaporkan bahwa larva ikan bandeng (Chanos chanos) yang diperoleh dari alam telah ditebarkan, masing-masing 200 ekor, dalam 18 tangki fiberglas berisi 30 liter air laut tersaring dan teraerasi. Nener ini diberi makanan enam jenis pakan kering buatan yang mengandung protein kasar rata-rata 40,8 %. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan. Larva bandeng mencapai berat badan rata-rata 0,173 – 0,202 gram, panjang total rata-rata 29 – 31 mm, nilai efisiensi pakan rata-rata 0,94 – 1,16, dan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 92 – 98 %. Respon nener bandeng yang sangat serupa terhadap enam jenis pakan menunjukkan bahwa keenam jenis pakan tersebut mengandung nutrisi esensial yang dibutuhkan oleh ikan yang tumbuh-cepat. Tepung kedelai bisa menggantikan tepung gluten jagung; tepung tulang dan daging dapat menggantikan tepung kepala udang sampai 8 % dari protein kasar.

Mortalitas dan Pertumbuhan Bandeng Muda Yang Diberi Pakan Pelet Trout dan Pelet Kelinci

Sembrano-Timbol (1974) melaporkan bahwa ikan bandeng tahap pra-fingerling, fingerling dan juvenil telah ditangkap dari perairan Oahu (Hawaii) dan dipelihara dalam tangki dengan berbagai jenis pakan pelet untuk menentukan mortalitas dan pertumbuhan relatif serta kelayakan pemeliharaan buatan secara total. Hasil pengumpulan ikan bandeng dari alam menunjukkan bahwa bandeng muda terdapat secara lokal di perairan pantai yang dangkal. Bandeng dikelompokkan menjadi 3 kelompok ukuran (< 7, 7 – 11, > 11 gram). Mereka dimasukkan ke dalam tangki identik berisi air laut yang mengalir dengan debit 10 liter/menit.

Dalam dua percobaan pemberian pakan, satu kelompok ikan diberi pakan pelet ikan trout berprotein tinggi (berbasis tepung ikan), kelompok lain diberi pakan berupa pelet kelinci berprotein rendah (berbasis tumbuhan alfalfa) yang harganya seperempat lebih murah dibandingkan yang pertama. Ikan bandeng yang diberi pakan pelet trout menunjukkan perolehan berat yang lebih tinggi. Juga, mortalitas lebih rendah pada ikan bandeng yang diberi pelet trout (rata-rata 8 % dibandingkan 16 % untuk pelet kelinci). Ikan yang bertahan hidup menunjukkan perolehan berat rata-rata 27 % (untuk kelompok yang diberi pelet trout) dan 11 % (untuk kelompok yang diberi pelet kelinci) dalam 8 minggu. Penyakit dan pengaruh suhu dipertimbangkan. Disimpulkan bahwa pelet ikan trout secara nutrisi lebih unggul daripada pelet kelinci pada kondisi percobaan.

Bab III
Kemungkinan Penggunaan Hormon Untuk Merangsang Pertumbuhan Bandeng (Chanos chanos)

Menurut Matty (1985) hormon pertumbuhan bisa digunakan sebagai agen pemacu pertumbuhan dalam kultur ikan. Masalahnya, ada dua faktor utama yang menyulitkan penggunaannya. Pertama, kesulitan memperolehnya dalam jumlah cukup dan kedua, sebagai polipeptida bisa diduga bahwa hormon ini akan hancur oleh enzim pencernaan bila diberikan lewat mulut. Jadi penggunaannya dalam akuakultur terbatas. Bagaimanapun, kemungkinannya terletak pada sintesis molekul ini dengan bioteknologi di masa depan. Juga adalah mungkin untuk memberikan hormon ini lewat mulut karena ada petunjuk bahwa pertumbuhan bisa dipacu setelah memberi makanan lewat mulut. Mungkin bahwa molekul ini sebelum diserap hanya terurai sebagian, seperti halnya kasus pada hormon pertumbuhan binatang bovine; pecahan-pecahan molekul ini ketika dicerna masih mempertahankan sebagian aktivitas perangsangan pertumbuhan. Walaupun pemberian hormon pertumbuhan lewat mulut bersama makanan bisa diterapkan di masa depan, saat ini cara yang sangat tepat untuk merangsang pertumbuhan adalah dengan penyuntikan atau pencangkokan hormon. Penggunaan hormon pertumbuhan bovine dengan cara ini bisa digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ikan stok yang dipilih sebagai calon induk.

Somatotropin atau STH (juga disebut hormon pertumbuhan) bekerja, seperti prolaktin, dengan suatu pola yang meluas tanpa melibatkan kelenjar hormon perantara. Secara umum, ia merangsang nafsu makan dan pertumbuhan serta mencegah hipertrofi (pertumbuhan jaringan dengan sangat cepat) hati. Hormon pertumbuhan binatang bovine yang disuntikkan “intramuscular” (lewat otot) sekali seminggu meningkatkan pertumbuhan ikan coho salmon sebesar 50 – 100 % dibandingkan ikan kontrol hanya dalam waktu 56 hari, tergantung pada komposisi ransum. Bagaimanapun, teknik peningkatan pertumbuhan pada ikan salmon budidaya dengan cara ini secara ekonomi tidak layak. Hormon tersebut mahal sekalipun bila peningkatan pertumbuhan yang diperoleh cukup besar (Smith, 1982).

Cruz (1988) melakukan penelitian untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaan hormon-hormon 17 alfa-metiltestosteron (MT), estradiol-17 beta (E2), dan/atau 3,5,3’-triyodo-L-tironin (T3) sebagai perangsang pertumbuhan ikan kiper (Scatophagus argus) dan bandeng (Chanos chanos). Anak ikan kiper diberi pakan yang mengandung 0, 0,1, 1,0, 5,0 dan 10,0 ppm T3. Tidak ada pengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup setelah 200 hari. Peningkatan dosis menyebabkan penurunan faktor kondisi dan rasio badan-ekor. Ketidaknormalan lain terlihat pada perlakuan pemberian T3 sebanyak 5,0 dan 10,0 ppm. Pada ikan kiper dewasa, MT atau E2 pada kadar 10,0 dan 20,0 ppm, atau pada 10,0 ppm digabungkan dengan 5,0 ppm T3, gagal memperbaiki pertumbuhan setelah 70 hari di karamba. Semua perlakuan hormon menekan pertumbuhan dan konsumsi pakan. Ikan kontrol memilki indek hepatosomatik paling tinggi tetapi tidak nyata bila dibandingkan dengan perlakuan 10,0 dan 20,0 ppm E2. Pada ikan bandeng, metil testosteron telah diuji untuk juvenil dengan konsentrasi 0, 1,0, 5,0, 10,0, 20,0 dan 40,0 ppm. Setelah 112 hari, MT berkonsentrasi 1,0 ppm tampaknya memperbaiki pertumbuhan sebesar 27,1 %. Dosis yang lebih tinggi cenderung menekan konsumsi pakan dan pertumbuhan. Pertumbuhan secara nyata terhambat pada perlakuan 40,0 ppm MT. Tidak ada pengaruh hormon terhadap efisiensi pakan dan kelangsungan hidup. Peningkatan dosis MT menyebabkan peningkatan faktor kondisi. Tampaknya tidak ada potensi menguntungkan penggunaan MT, E2 dan/atau T3 pada ikan kiper. Penelitian ini menujukkan bahwa potensi menguntungkan hormon-hormon tersebut bersifat spesifik-spesies . Pemakaian MT untuk meningkatkan pertumbuhan juvenil bandeng tampaknya bisa diterapkan secara komersial.

Bab IV
Pemupukan Tambak Bandeng (Chanos chanos) : Pengaruhnya Terhadap Produksi Ikan

Sumitra-Vijayaraghavan.et al. (1985) mempelajari budidaya bandeng (Chanos chanos) telah diusahakan di tambak air payau dekat Laguna Negombo. Anak ikan (rata-rata bobot badan 7,5 gram dan panjang 90 mm) ditebarkan pada bulan Oktober 1983 dan dipanen setelah 8 bulan. Rata-rata pertambahan panjang dan bobot badan setiap bulan adalah 23,1 mm dan 17,81 gram, berturut-turut. Kapasitas produksi kolam ikan yang dihitung dengan teknik “C super (14)” diperkirakan sebesar 31.680,6 gram karbon untuk seluruh periode kultur. Tingkat produksi ikan diduga sebesar 700 kg/ha. Peningkatan produksi ikan dengan pemberian pupuk dan pakan tambahan telah berhasil dibuktikan.

Bombeo-Tuburan (1989) melakukan penelitian untuk menentukan kombinasi optimum antara frekuensi penggantian air dan pemupukan yang dapat memberikan hasil tertinggi dalam hal pertumbuhan, kelangsungan hidup dan produksi kotor ikan bandeng (Chanos chanos). Hasilnya menunjukkan bahwa bobot badan dan kelangsungan hidup ikan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Produksi ikan kotor lebih tinggi pada pemupukan dua-mingguan bila dianggap sebagai faktor tunggal. Bagaimanapun bila pemupukan ini dikombinasikan dengan penggantian air mingguan atau dua-mingguan akan diperoleh produksi ikan kotor yang sama. Pada semua kasus, karena pemupukan dua-mingguan memberikan efek paling baik daripada jadwal mingguan, maka pemupukan seperti ini sebaiknya dikombinasikan dengan semua tingkat penggantian air. Penggantian air mingguan, bagaimanapun, tidak praktis di kolam besar yang luasnya 5 – 10 hektar.

Telah dilakukan studi perbandingan terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan produksi ikan bandeng serta karakteristik ekologi dua kolam budidaya air payau (luas masing-masing 0,042 hektar), salah satu kolam diberi pupuk organik (kotoran sapi) dan kolam lain diberi pupuk anorganik (superfosfat dan urea). Bandeng, Chanos chanos, dengan bobot rata-rata 6 gram ditebarkan dengan padat penebaran 4.500 anak ikan per hektar di kedua kolam. Pertumbuhan ikan yang jauh lebih baik (238 gam), kelangsungan hidup 86 %, produksi kotor 852 kg/ha, diperoleh setelah kultur 120 hari dari kolam yang diberi kotoran sapi, dibandingkan dari kolam yang diberi pupuk anorganik yang pertumbuhannya hanya 63 gram, kelangsungan hidup 82 %, produksi kotor 226 kg/ha dan produksi bersih 199 kg/ha selama periode yang sama. Analisis ekonomi produksi bandeng telah dibandingkan. “Rate of return” (laju pengembalian) biaya operasional adalah 298 % di kolam yang diberi kotoran sapi dan 3 % di kolam yang diberi pupuk kimia (Joseph and Vadhyar, 1994).

Penelitian menggunakan kotoran ayam dan sapi dengan tingkat pemberian 0,5, 1,2 dan 4 ton/ha telah dilakukan. Pengaruh kedua jenis kotoran terhadap beberapa sifat fisika kimia tanah dan air tambak, produktivitas primer, dan produksi ikan bandeng Chanos chanos (Forsskal) telah dibandingkan. Dengan menggunakan 8 perlakuan dan masing-masing 3 ulangan dalam rancangan acak lengkap, 24 unit kolam masing-masing seluas 40 m2 ditebari 20 anak ikan per kolam. Ikan dikultur dari 22 September sampai 20 Desember 1983 di Pusat Budidaya Air Payau, Universitas Filipina, Iloilo, Filipina. Perbedaan hasil antar perlakuan dalam hal parameter-parameter fisika kimia tidak nyata kecuali untuk fosfor reaktif. Produktivias primer di semua perlakuan mencapai puncak selama minggu ke-5, setelah itu turun perlahan-lahan akibat gabungan pengaruh cuaca yang berawan dan rendahnya konsentrasi fosfor reaktif dalam air kolam. Rata-rata produksi ikan neto tertinggi (680,9 kg/ha) dan rata-rata laju pertumbuhan (1,54 gram/hari) diperoleh untuk perlakuan pemberian kotoran ayam 1 ton/ha. Perlakuan pemberian 0,5 ton/ha kotoran sapi menghasilkan rata-rata produksi ikan neto terendah (343,6 kg/ha) dan mungkin laju pertumbuhan terkecil (0,80 gram/hari). Kelangsungan hidup untuk semua perlakuan adalah tinggi, berkisar dari 95 sampai 100 %. Secara umum, kotoran ayam lebih unggul dibandingkan kotoran sapi; bagaimanapun, produksi ikan untuk perlakuan pemberian 2 ton/ha kotoran sapi adalah hampir sama dengan produksi ikan untuk perlakuan pemberian 2 ton/ha kotoran ayam, yang menunjukkan bahwa kotoran sapi bisa digunakan sebagai pupuk organik di kolam air payau untuk produksi bandeng (Aduma, 1984).

Referensi :

Acosta, B.O. 1984. Biological Evaluation of Brachionus plicatilis Fed With Chlorella sp., Tetraselmis tetrahele and Isochrysis galbana and Their Combinations As Feed For Milkfish (Chanos chanos, Forsskal) Fry. University of The Philippines in The Visayas, Miag-ao, Iloilo. 74 pp. M.S. thesis

Aduma, I.A. 1984. Effect of Cow And Chicken Manures on Milkfish Chanos chanos (Forsskal) Production inn Brackishwater Ponds. University of The Philippines in The Visayas, Miag-ao, Iloilo. 98 pp. M.S. thesis

Alava, V.R. and C. Lim. 1988. Artificial Diets for Milkfish, Chanos chanos (Forsskal), Fry Reared in Seawater. Aquaculture, Vol. 71, no. 4, pp. 339 – 346

Banno, J.E. 1980. The Food and Feeding Habits of Milkfish Fry Chanos chanos (Forsskal) Collected From Two Habitats Along The Coast of Hamtik, Antique. University of The Philippines in The Visavas, Miag-ao, Iloilo. 77 pp. M.S. Thesis.

Benitez, L.V., L.B. Tiro and Y.N. Chiu. 1982. The Digestion Process of Milkfish in Relation to Its Natural Food. Presented at Second International Symposium on Marine Biogeography and Evolution in The Pacific, 5-7 July 1982, Sydney, Perth, Australia

Bombeo-Tuburan, I. 1989. Comparison of Various Water Replenishment and Fertilization Schemes in Brackishwater Milkfish Ponds. Journal of Applied ichthyology, Vol. 5, no. 2, pp. 61 - 66

Borlongan, I.G. 1990. Studies on The Digestive Lipases of Milkfish, Chanos chanos. Aquaculture, Vol. 89, no. 3 – 4, pp. 315 – 325

Borlongan, I.G., P.S. Eusebio and T. Welsh. 2003. Potential of Feed Pea (Pisum sativum) Meal As A Protein Source in Practical Diets For Milkfish (Chanos chanos Forsskal). Aquaculture, Vol. 225, no. 1 – 4, pp. 89 - 98

Borlongan, I.G. and R.M. Coloso. 1994. Leaf Meals As Protein Sources in Diets For Milkfish Chanos chanos (Forsskal), pp. 63 – 67. In : Fish Nutrition Research in Asia : Proceedings of The Fifth Asian Fish Nutrition Workshop, Udorn Thani, Thailand, January 1993. Asian Fisheries Society, Special Publication 9, Manila, Philippines.

Borlongan, I.G., C.L. Marte and J.N. Nocillado. 2000. Development of Larval Diets for Milkfish (Chanos chanos). Journal of Applied Ichthyology, Vol. 16, No. 2, pp. 68 – 72

Cruz, P.F.S. 1988. Dietary Use of Sex Steroids and Thyroid Hormobe as Potential Growth Promoters For The Spotted Scat (Scatophagus argus Linnaeus) and Milkfish (Chanos chanos Forsskal). University of the Philippines in the Visayas, Miag-ao, Iloilo. 51 pp. M.S. thesis

Figueroa-Bombeo, R. 1983. Growth and Survival of Penaeus monodon and Chanos chanos Fry Fed With Artemia Singly or in Combination With Artificial Diet. University of The Philippines in The Visavas, Miag-ao, Iloilo. 48 pp. M.S. Thesis.

Joseph, A. and K.J. Vadhyar. 1994. Milkfish Production and Ecology of Brackishwater Ponds Treated With Organic Versus Inorganic Fertilizers in Cochin, India. Fisheries Technology Society, vol. 31, no. 2, pp. 95 – 101

Juario, J.V. and V. Storch. 1984. Biological Evaluation of Phytoplankton (Chlorella sp., Tetraselmis sp. and Isochrysis galbana) as Food for Milkfish (Chanos chanos) Fry. Aquaculture, Vol. 40, No. 3, pp. 193 - 198

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. 267 pp

Santiago, C.B., M. Banes-Aldaba and E.T. Songalia. 1984. Effect of Artificial Diets on Growth And Survival of Milkfish Fry in Fresh Water. Aquaculture, Vol. 34, no. 3 – 4, pp. 247 – 252

Sembrano-Timbol, A. 1974. Observations on The Growth of Young Bangus, Chanos chanos (Forsskal) on Two Types of Pelleted Food. Philippine Journal of Science, Vol. 103, no. 4, pp. 199 - 206

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Sumitra-Vijayaraghavan, J., J.M.P.K. Jayasinghe, S.C. Jayamanne and W.A. Sumanadasa. 1985. Milkfish (Chanos chanos) Culture in A Brackishwater Pond Adjoining The Negombo Lagoon, pp. 87-96. In : Aquaculture Related Papers, NARA Occasional Paper 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar