Kamis, 25 Januari 2018

Aerasi Kolam Ikan : Dampak Kimia dan Biologis

Bab I
Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Oksigen dari udara masuk ke dalam air melalui difusi (Davydov dan Samoylenko, 1990). Difusi ini bisa dibantu oleh aerasi (Leclercq dan Hopkins, 1985). Aerasi meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam air (Ludwig dan Gale, 1991; Martin, 1978). Bagaimanapun, aerasi kadang tidak bisa mencegah terjadinya kematian ikan akibat kekurangan oksigen (Boyd, 1982).

Davydov dan Samoylenko (1990) mempelajari sumber-sumber pemasok oksigen di perairan. Aerasi atmosfer secara alami merupakan salah satu sumber pemasok oksigen walaupun peranannya di zona berair dangkal adalah kecil. Namun aerasi dengan bantuan manusia sanggup mentransfer oksigen dalam jumlah besar sehingga dimanfaatkan untuk memulihkan danau yang tercemar (Martin, 1978).

Boyd (1982) mengembangkan persamaan untuk menghitung laju difusi oksigen oleh aerator. Dalam praktek, laju difusi tersebut lebih rendah daripada yang diperoleh di bawah kondisi standar. Hal ini bisa disebabkan oleh suhu mungkin tidak 20o C, konsentrasi oksigen terlarut mungkin lebih dari 0 mg/l, dan air saat diaerasi mungkin tidak menyerap oksigen dengan kecepatan yang sama seperti air keran. Substansi-substansi yang terkandung di dalam air sedikit menurunkan laju penyerapan oksigen dan konsentrasi kejenuhan oksigen.

Menurut Boyd (1982) efisiensi perpindahan oksigen berhubungan dengan ukuran gelembung udara; gelembung kecil memiliki bidang batas udara-air yang lebih luas daripada gelembung besar. Perbedaan konsentrasi yang lebih besar antara oksigen di dalam gelembung dan oksigen di dalam air bisa dicapai dengan menggunakan oksigen murni atau udara yang lebih padat. Penggunaan oksigen murni sebagai pengganti udara untuk memasok oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis bagi ikan (Meade, et al., 1991).

Loyacano (1974) dalam Boyd (1982) mempelajari pengaruh aerasi terhadap konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam ikan lele putih. Sementara Leclercq dan Hopkins (1985) meneliti penggunaan aerator untuk memasok oksigen dalam tangki budidaya ikan tilapia biru Kedua penelitian itu memberkan kesimpulan bahwa konsentrasi oksigen terlarut meningkat sejalan dengan derajat aerasi. Namun, Plemmons (1980) dalam Boyd (1982) menunjukkan bahwa walaupun diaerasi, konsentrasi oksigen terlarut sering jatuh di bawah 2 mg/l di kolam ikan, terutama di kolam dengan padat penebaran tinggi.

Ludwig dan Gale (1991) mengevaluasi dua metode aerasi untuk mengoksigenasi pasokan air dalam hatchery. Dalam penelitian mereka, air dan gas oksigen dialirkan dengan arah yang berlawanan. Sejalan dengan peningkatan aliran gas oksigen, konsentrasi oksigen terlarut dalam air arus-keluar meningkat dari sekitar 100 menjadi 290 %. Pada metode lain, oksigen dimasukkan secara langsung ke saluran pasokan air hatchery. Pada laju aliran air yang konstan 660 liter/menit dan aliran gas oksigen antara 5 dan 8 liter/menit, konsentrasi oksigen terlarut bertambah dari 68,6 menjadi 224 %. Mereka menyimpulkan bahwa kedua metode oksigenasi ini merupakan cara yang efisien untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam pasokan air hatchery.

Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Boyd (1982) untuk menentukan apakah aerasi malam hari untuk kolam dengan tingkat pemberian pakan tinggi bisa menurunkan resiko kehabisan oksigen terlarut. Hasilnya menunjukkan bahwa semua kolam yang tak diaerasi mengalami kematian ikan akibat rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi tidak ada ikan yang mati akibat kehabisan oksigen di kolam yang diaerasi. Perbandingan pola harian konsentrasi oksigen terlarut untuk kolam yang diaerasi dan yang tak diaerasi menunjukkan adanya perubahan mendadak dalam hal penurunan oksigen terlarut malam hari ketika aerasi dimulai. Setelah itu, konsentrasi oksigen terlarut tetap stabil selama periode aerasi.

Steeby (1976) dalam Boyd (1982) melakukan penelitian untuk mempelajari apakah aerasi dapat mencegah kematian masal ikan akibat kekurangan oksigen. Aerator dalam penelitan ini sanggup memindahkan udara yang dipadatkan sebesar 0,96 meter kubik per menit pada kolam yang ditebari sangat banyak ikan channel catfish dan diberi pakan dalam jumlah besar. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan sangat bagus pada kondisi cuaca normal. Bagaimanapun, banyak ikan yang mati akibat kekurangan oksigen selama satu periode cuaca berawan yang berkepanjangan, hanya beberapa minggu sebelum ikan akan dipanen. Secara kebetulan, sistem aerasi dioperasikan pada kapasitas maksimal ketika terjadi kematian ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, Steeby menyimpulkan bahwa sistem aerasi saja tidak cukup untuk memasok oksigen yang diperlukan biota kolam ketika laju fotosintesis rendah.

Bab II
Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air dan Produksi Ikan di Kolam

Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air Kolam dan Produksi Ikan Lele (Ictalurus)

Mevel dan Boyd (1992) melaporkan bahwa ikan lele (Ictalurus punctatus) telah diproduksi di Auburn, Alabama, dalam kolam kontrol dan kolam yang diberi aerasi udara-terdifusi kontinyu pada tingkat 0,9, 1,8 dan 3,6 kiloWatt/hektar. Konsentrasi DO (Dissolved Oxygen = oksigen terlarut) rata-ratanya sering di bawah 3 mg/liter di kolam kontrol dan pada dua perlakuan aerasi rendah (0,9 dan 1,8 kW/ha). Konsentrasi DO rata-rata tidak pernah jatuh di bawah 3 mg/liter pada perlakuan tingkat aerasi yang tinggi (3,6 kW/ha). Aerasi udara-terdifusi pada semua tingkat bisa menghilangkan stratifikasi DO vertikal di kolam dan mengurangi kisaran nilai-nilai DO harian minimum dan maksimum. Konsentrasi klorofil-a, kekeruhan, karbon dioksida, dan total fosfor, pH serta daya pandang Secchi disk tidak berbeda antar perlakuan. Konsentrasi total amonia nitrogen dan nitrit-nitrogen adalah lebih tinggi di kolam yang diaerasi daripada di kolam kontrol. Nilai produksi neto rata-rata dan rasio konversi pakan (FCR) adalah kontrol : 3.200 kg/ha, FCR = 2,01; perlakuan aerasi 0,9 kW/ha : 3.570 kg/ha, FCR = 2,75; perlakuan aerasi 1,8 kW/ha : 4.720 kg/ha, FCR = 2,11 dan perlakuan aerasi 3,6 kW/ha : 6.320 kg/ha, FCR = 1,79.

Pengaruh Aerasi Oksigen Terhadap Kesehatan dan Produksi Ikan

Meade et al. (1991) meneliti pengaruh penambahan udara versus oksigen dalam sistem budidaya yang penggunaan airnya berangkai (air bekas kolam masuk ke kolam berikutnya) terhadap kalitas air dan pertumbuhan ikan, hematologi serta kondisi ginjal. Rangkaian ulangan lima unit budidaya, yang ditebari dengan ikan trout danau Salvelinus namaycush di Wisconsin dan Pennsylvania, telah dilengkapi dengan aerasi atau oksigenasi, kemudian air dan ikannya dipantau selama 2 bulan. Seperti yang diharapkan, konsentrasi amonia dan konduktivitas (daya hantar) air meningkat, sedangkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut (DO), tekanan gas total dan pertumbuhan ikan menurun karena airnya bekas kolam(-kolam) sebelumnya. Ada perbedaan tekanan gas total antara air yang diaerasi dan air yang dioksigenasi, karena efek penyingkiran nitrogen yang ditimbulkan oksigenasi mengakibatkan tekanan gas total menjadi jauh lebih rendah pada akhir rangkaian kolam dibandingkan dengan air pada kolam yang diaerasi. Jadi penggunaan oksigen jauh lebih efektif daripada penggunaan udara untuk mengendalikan nitrogen terlarut dan tekanan gas total. Disimpulkan bahwa penggunaan oksigen, sebagai pengganti udara, untuk mengendalikan oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis, tetapi juga tidak meningkatkan kesehatan maupun produksi ikan.

Pengaruh Aerasi Terhadap Nitrifikasi

Avnimelech et al. (1992) melaporkan bahwa baik aerasi maupun percampuran massa air merupakan paramater penting dalam sistem akuakultur intensif. Penelitian mereka berkaitan dengan pengaruh masing-masing faktor tersebut dan gabungan keduanya terhadap pengubahan nitrogen dan karbon organik oleh bakteri. Metabolisme karbon organik yang paling efisien terjadi bila baik aerasi maupun percampuran massa air dilakukan bersama-sama. Penguraian bahan organik secara intensif juga berlangsung pada kondisi anaerobik terbatas, tetapi tidak pada sistem yang aerasinya terbatas. Aerasi merupakan faktor penting bagi berlangsungnya proses nitrifikasi. Bagaimanapun, proses nitrifikasi ini lebih efisien dan dimulai lebih awal bila dilakukan pengadukan. Selain itu, proses denitrifikasi juga terjadi dalam tangki yang diaerasi namun airnya tidak tercampur, di mana lapisan dasar tangki yang anaerob menyediakan kondisi yang dibutuhkan bagi proses tersebut. Percampuran massa air di kolam ikan meminimkan keberadaan zona anaerob yang tak dikehendaki di kolam dan meminimkan penimbunan amonium di dalam air.

Keunggulan Metode Aerasi Sistem Suspensi

Lohalaksanadet dan Musig (1998) melaporkan bahwa penggunaan dua sistem aerasi, yaitu sistem aerasi untuk mensuspensi sedimen dan sistem aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan di bagian tertentu di dasar kolam menyebabkan peningkatan kekeruhan air kolam sehingga menurunkan jumlah fitoplankton dan klorofil-a bila dibandingkan dengan kolam kontrol. Lebih rendahnya jumlah fitoplankton di kolam yang menggunakan kedua sistem aerasi ini menyebabkan lebih kecilnya fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut, lebih sedikitnya penimbunan bahan organik, dan lebih tingginya potensial redoks tanah dasar kolam. Pada sistem suspensi sedimen diamati bahwa airnya lebih keruh serta fluktuasi harian pH dan konsentrasi oksigen terlarut lebih kecil bila dibandingkan dengan penggunaan aerasi untuk memindahkan sedimen ke tempat penimbunan tertentu. Tidak ada perbedaan nyata (P< 0,5) dalam hal tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada semua perlakuan. Dengan memperhatikan data kualitas air dan tanah, disimpulkan bahwa sistem suspensi dianggap paling efektif dalam pengelolaan air kolam dan tanah kolam.

Gabungan Aerasi dan Sirkulasi Air Untuk Memperbaiki Kolam Ikan

Rogers (1989) menyatakan bahwa aerasi dan sirkulasi adalah dua proses yang terpisah, masing-masing sangat mempengaruhi dinamika kolam budidaya. Aerasi atau penambahan oksigen ke air kolam menyediakan kondisi yang cukup aerob untuk mendukung kehidupan akuatik dan memperbaiki kualitas air. Sirkulasi, sebaliknya, tidak secara langsung menambahkan oksigen ke kolam tetapi dapat mempengaruhi aerasi dengan cara mendistribusikan kembali oksigen dan mempengaruhi pemindahan oksigen. Baik aerasi maupun sirkulasi penting untuk mencegah proses penuaan alami tanah dan air kolam. Strartegi manajemen yang efektif harus melibatkan aerasi maupun sirklulasi. Keuntungan sistem seperti ini adalah memperpanjang umur kolam, memperbaiki kualitas air dan tanah kolam, menyeragamkan distribusi suhu dan konsentrasi oksigen terlarut dari permukaan ke dasar kolam, mengurangi lapisan sedimen anoksik dan memperbaiki habitat bagi produksi ikan.

Bab III
Pengaruh Aerasi Terhadap Organisme Air, Konsentrasi Oksigen, Karbon Dioksida, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Nitrogen

Untung-Rugi Perlakuan Aerasi Terus-Menerus

Ludwig (2003) merancang penelitian untuk menentukan pengaruh aerasi terus-menerus, aerasi malam hari dan perlakuan tanpa aerasi terhadap kualitas air, produktivias primer serta “standing crop” (panenan tetap) fitoplankton dan zooplankton di kolam pemeliharaan tanpa ikan yang banyak diberi pupuk. Tingkat pemberian pupuk yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi zooplankton tetapi sering mengakibatkan buruknya kondisi kualitas air sehingga membutuhkan aerasi. Empat kolam seluas 0,04 hektar diaerasi terus-menerus; empat kolam diaerasi hanya pada malam hari dengan sebuah aerator kincir air 372 W (0,5 hp); dan empat kolam lain tidak diaerasi. Selama 21 hari setelah kolam-kolam itu diisi air pada 21 Juli 1999, kolam menerima 1.224 kg/ha sekam padi dan 581 kg/ha pupuk cair 9-27-0 (N-P-K). Parameter-parameter kualitas air, produksi primer, klorofil-a dan zooplankton disampling setiap hari. Aerasi terus-menerus menyebabkan beberapa kondisi lebih mendukung bagi kelangsungan hidup anak ikan, seperti kepadatan zooplankton yang lebih tinggi, suhu yang lebih moderat (hangat), dan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih aman daripada perlakuan aerasi malam hari atau tanpa aerasi. Bagaimanapun, perkembangan standing crop fitoplankton yang lebih tinggi dan konsentrasi total amonia yang lebih tinggi di kolam yang diaerasi terus-menerus, hingga timbul pusaran arus air, menyebabkan konsentrasi amonia tak-terionisasi tidak sesuai bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak ikan. Konsentrasi zooplankton yang tinggi yang berkembang di kolam yang diaerasi bisa dimanfaatkan untuk kultur zooplankton di kolam lain atau untuk menyediakan pakan hidup bagi ikan pemakan zooplankton.

Pengaruh Aerasi Terhadap Kondisi Fisika-Kimia-Biologi Perairan

Lossow et al. (1991) selama tahun 1981 – 1984 meneliti pengaruh aerasi buatan dan penghilangan stratifikasi panas terhadap kondisi fisika-kimia dan biologi di sebuah danau kecil, Danau Mutek. Terjadi perubahan lingkungan yang nyata, terutama peningkatan suhu di lapisan air dekat-dasar, perbaikan oksigenasi serta penurunan konsentrasi fosfor dan nitrogen. Konsentrasi bahan organik di lapisan atas sedimen danau berkurang. Kondisi kesehatan perairan menjadi lebih baik. Komposisi spesies dan biomas fitoplankton tidak menunjukkan perubahan besar. Biomas zooplankton meningkat lebih dari dua kali. Pada komunitas zoobentos kepadatan Chironomidae, dan terutama cacing oligokhaeta, meningkat tajam. Perubahan lingkungan serta perubahan kesuburan danau ini bisa dimanfaatkan untuk intensifikasi produksi ikan.

Aerasi Untuk Menyingkirkan Karbon Dioksida (CO2)

Eshchar et al. (2003) meneliti laju penyingkiran karbon dioksida oleh peralatan aerasi di dalam tangki ikan laut. Mereka melaporkan bahwa, dibandingkan aerator bawah-air, kincir air lebih efisien dalam menyingkirkan karbon doksida dengan laju pemindahan sampai 1.200 gram CO2 per jam dan efiesiensi 1,2 kg CO2 per kWh. Pada budidaya intensif ikan sea bream, beban pakan maksimum yang dapat didukung oleh sebuah kincir air adalah 43,6 kg pakan per hari dengan kebutuhan energi sekitar 1,0 kWh per kg ikan yang diproduksi.

Pengaruh Aerasi Terhadap BOD, COD dan Pemulihan Perairan Tercemar

Maes (1983a) melaporkan bahwa sebuah sistem kolam-selokan, yang tercemar limbah rumah tangga, telah diaerasi dengan teknik EVENS (semula disebut teknik “Phallus”). Selama tiga tahun perkembangan konsentrasi oksigen, “biochemical oxygen demand” (BOD), “chemical oxygen demand” (COD) dan “oxygen producing capacity” (OPP; kapasitas produksi oksigen) telah dipelajari. Di kolam yang diaerasi terjadi penurunan tajam BOD dan COD (pengaruh langsung). Dengan penyingkiran beban organik secara cepat ini proses pemurnian-diri (selfpurification) menjadi pulih perlahan-lahan. Faktor penting dalam proses pemurnian-diri ini adalah peningkatan kapasitas produksi oksigen di perairan bagian hilir (pengaruh tak langsung).

Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Amonia, Nitrit, Nitrat dan Nitrogen-Organik


Maes (1983b) melaporkan bahwa sebuah sistem kolam-selokan, yang tercemar limbah organik, telah diaerasi dengan teknik EVENS yang berdasarkan pada prinsip “pompa vakum semburan air”. Selama tiga tahun perkembangan konsentrasi amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen-organik telah dipelajari. Pada kolam yang diaerasi penurunan konsentrasi amonia dan nitrogen-organik terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi nitrit dan nitrat. Di kolam bagian hilir terjadi penurunan lebih lanjut konsentrasi amonia dan nitrogen-organik, tetapi proses nitrifikasi masih terbatas. Dari kolam aerasi sampai stasiun sampling bagian hilir terjadi penurunan secara perlahan-lahan konsentrasi nitrogen total (NH4-N + NO2-N + NO3-N + N-organik).

Aerasi Dasar-Kolam Untuk Menghilangkan Amonia Nitrogen dan Nitrit

Zhongwen et al. (2010) meneliti kolam budidaya udang Litopenaeus vannamei dan kepiting Portunus trituberculatus selama bulan Agustus sampai Oktober 2008 untuk mempelajari efek positif aerasi dasar kolam terhadap kualitas air. Hasilnya menunjukkan bahwa aerasi dasar kolam selama 2 – 3 jam dapat menurunkan atau menghilangkan stratifikasi oksigen terlarut (DO) dan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P< 0,05). Waktu terbaik untuk operasi mesin pengaya-oksigen ini adalah pukul 8.00 sampai 11.00 pagi. Konsentrasi amonia nitrogen dan nitrit di kolam-kolam percobaan adalah 72.5 % - 74. 1% dan 2.6 - 2.7 % dibandingkan kontrol, berturut-turut. Jadi, aerasi dasar kolam bisa membantu mengoksidasi kolam, menurunkan konsentrasi bahan-bahan berbahaya dan memperbaiki kualitas air kolam.

Bab IV
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Pengaruh Aerasi Terhadap Bakteri Patogen Edwardsiella ictaluri

Mqolomba dan Plumb (1992) melaporkan bahwa ikan lele channel catfish (Ictalurus punctatus) telah diinfeksi secara eksperimental dengan bakteri Edwardsiella ictaluri dengan cara pencelupan. Setelah penyakit klinis berjalan selama 52 hari, ikan yang masih hidup diberi salah satu perlakuan lingkungan berikut : suhu 25 °C dengan aerasi, 25 °C tanpa aerasi, atau suhu yang berubah-ubah (18 – 23 °C) tanpa aerasi. Setelah 29 hari mendapat perlakuan lingkungan tersebut, berbagai organ dan jaringan ikan percobaan diperiksa untuk menentukan pengaruh kondisi-kondisi tersebut terhadap konsentrasi Edwardsiella ictaluri (dinyatakan dalam “colony-forming unit per ml” sampel jaringan). Konsentrasi patogen ini secara nyata lebh tinggi (P < 0,05) dalam semua jaringan (ginjal badan, hati, ginjal kepala, darah, limfa, gelembung renang, otot, otak dan gonad) 52 hari pasca infeksi daripada 29 hari setelah diberi berbagai perlakuan lingkungan (81 hari pasca infeksi). Ikan yang dikenai konsentrasi oksigen terlarut mendekati normal (6,4 mg/liter) dan suhu konstan 25 °C memiiki konsentrasi Edwardsiella ictaluri yang secara nyata lebih sedikit (P < 0,01) daripada ikan yang dikenai konsentrasi oksigen rendah (2,6 atau 1,8 mg/liter) dan suhu konstan atau berubah-ubah.

Pengaruh Aerasi Terhadap Kejadian Penyakit Octomitiasis

Moore (1929) melaporkan adanya hubungan antara aerasi pasokan air dengan kejadian penyakit di hatchery (pembenihan ikan). Banyak lokasi hatchery lama dipilih berdasarkan dua kriteria, yaitu volume dan suhu air pasokan. Sejalan dengan waktu, disadari bahwa ada faktor ketiga yang tidak boleh diabaikan dalam praktek hatchery yang efisien, yaitu aerasi atau oksigenasi. Sehubungan dengan hal ini, telah dilaporkan kejadian penyakit di tiga hatchery lama di mana kondisi gas dalam pasokan air tampaknya menjadi faktor pembatas. Di hatchery di Caledonia, pemeliharaan anak ikan brook trout semakin sulit karena timbulnya penyakit octomitiasis pada anak ikan tersebut. Mortalitas anak ikan ini akibat penyakit tersebut adalah tinggi, tetapi ikan yang bertahan hidup, meskipun konsentrasi oksigennya rendah, mencapai pertumbuhan yang baik. Di hatchery lain yang konsentrasi oksigennya tinggi, sekitar 9 – 10 ppm, mortalitas anak ikan akibat penyakit octomitiasis adalah rendah.

Pengaruh Aerasi Terhadap Penyakit Akibat Flexobacter

Boyd (1982) secara sepintas mengulas hasil penelitian berkaitan dengan hubungan antara aerasi dan kejadian penyakit ikan. Ikan channel catfish ditebarkan di kolam yang diaerasi secara kontinyu dan di kolam kontrol yang tidak diaerasi. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Flexobacter columnaris dijumpai pada dua kejadian terpisah dalam satu periode 6 hari setelah konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 2 mg/liter. Dua kasus penyakit lainnya berhubungan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut. Bagaimanapun, diduga bahwa sebagian besar masalah penyakit tersebut dipicu oleh cepatnya perubahan suhu air akibat peralihan ke musim dingin dan hujan musim dingin.

Penyakit dan Parasit Ikan Juga Terjadi Pada Kolam Yang Diaerasi

Boyd (1982) melaporkan hasil penelitian aerasi di kolam tanah seluas 0,02 – 0,04 hektar yang ditebari dengan benih ikan channel catfish sebanyak 20.000 ekor per hektar. Kolam ada yang diaerasi pada malam hari dan ada yang tidak. Rata-rata semua pengukuran konsentrasi oksigen terlarut adalah 1,52 dan 7,29 mg/liter saat fajar dan senja, berturut-turut, untuk kolam yang tak diaerasi serta 4,64 dan 8,25 saat fajar dan senja untuk kolam yang diaerasi. Parasit seperti Scyphidia sp., Cryptobia branchialis, Costia sp. dan Trichopyra sp. ditemukan pada ikan dari kolam yang diaerasi maupun yang tidak diaerasi. Infeksi Aeromonas hydrophila terjadi pada ikan di sebuah kolam yang diaerasi. Karena tidak terjadi kehabisan oksigen di kolam yang diaerasi, rata-rata kematian 8 % disebabkan oleh penyakit dan parasit. Kematian ikan di kolam yang tak diaerasi tidak disebabkan semata-mata oleh kehabisan oksigen terlarut karena masalah penyakit dan parasit sering muncul.

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Kejadian Parasit Ikan

Malhotra et al. (1991) melaporkan bahwa studi tiga tahun terhadap ekologi parasit ikan snow trout Schizothorax richardsonii penghuni perairan sungai Neeru Nullah, Bhaderwah, India, menunjukkan infeksi musiman Diplozoon sp. (Trematoda), Spinitectus sp. (Nematoda) dan sejenis Cestoda. Kejadian parasit yang rendah (secara kualitatif dan kuantitatif) pada ikan snow trout ini mungkin disebabkan oleh efek mekanis arus deras, konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, dan sedikitnya populasi kopepoda, moluska dan burung (ketiganya merupakan inang-antara) di sungai tersebut. Infeksi parasit yang diamati selama musim semi dan panas hanya menunjukkan hubungan positif dengan naiknya suhu dan relatif rendahnya konsentrasi oksigen terlarut.

Penyakit Gelembung Gas Akibat Aerasi Yang Berlebihan

Espmark et al. (2010) melaporkan bahwa dalam sistem pemeliharaan smolt (ikan juvenil salmon yang bermigrasi ke laut) Atlantik salmon yang intensif, dibutuhkan penambahan oksigen ke dalam air, tetapi ada resiko bahwa ikan bisa terpapar terhadap air yang super jenuh dengan oksigen. Untuk itu dilakukan studi guna meneliti proses dan tingkat keterpaparan berkaitan dengan penyakit gelembung gas yang disebabkan oleh hiperoksia (konsentrasi oksigen sangat tinggi), melalui kombinasi metode pengamatan morfologi dan tingkah laku ikan. Dalam percobaan tersebut, ikan Atlantik salmon tahap pra smolt dibagi menjadi tiga kelompok; satu kelompok kontrol (tidak diberi tambahan oksigen), dan dua kelompok yang menerima perlakuan peningkatan kejenuhan oksigen secara perlahan-lahan selama tiga minggu, kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen tinggi (130 %, 160 % dan 220 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berurut-turut) dan kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen rendah (110 %, 140 % dan 190 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berturut-turut).

Pada percobaan di atas, gejala pertama gangguan kesehatan muncul 8 hari setelah ikan dipaparkan ketika satu lapisan tipis bahan organik muncul di permukaan salah satu tangki kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Gejala pertama adanya gelembung gas di bawah-kulit muncul setelah 14 hari pada kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Setelah 16 hari, sebanyak 50 % ikan dari kelompok kejenuhan oksigen rendah dan 77 % ikan dari kelompok kejenuhan tinggi memiliki gelembung-gelembung gas di bagian-bagian utama tubuhnya, pada tingkat pemaparan kejenuhan oksigen 190 % dan 220 %, berturut-turut. Gelembung-gelembung gas muncul pada sebagian besar sirip, sepanjang gurat sisi, pada insang dan dalam mata. Gelembung gas terdeteksi melalui pengamatan visual dan diperkuat oleh pengamatan histologi. Pengamatan perilaku ikan menunjukkan bahwa selama minggu pertama ikan pada kelompok kejenuhan oksigen rendah (110 %) berenang lebih aktif secara nyata daripada kelompok kontrol maupun kelompok kejenuhan oksigen tinggi. Pada minggu ke-3, pada kelompok kejenuhan 190 %, aktivitas renang berkurang. Ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen 110 % selama minggu pertama juga menunjukkan lebih sering berbelok daripada ikan kelompok kontrol, dan perbedaan ini tetap terlihat dalam minggu ke-3 pada kelompok kejenuhan oksigen 190 %. Ikan pada kelompok kejenuhan oksigen tinggi maupun rendah tampak lebih panik daripada ikan kelompok kontrol, yang menunjukkan adanya stres fisiologis dan mungkin rasa sakit.

Referensi :

Avnimelech, Y., N. Mozes, and B. Weber. 1992. Effects of Aeration and Mixing on Nitrogen and Organic Matter Transformations in Simulated Fish Ponds. Aquaculture Engineering, vol. 11, no. 3, pp. 157 – 169, ISSN 0144-8609

Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Davydov, O.A. and V.N. Samoylenko. (1990). Variation in components of the diurnal oxygen balance in the Dnieper Delta region. Hydrobiological Journal, Vol. 26, no. 5, pp. 103-110

Eshchar, M., Mozes, N., and Fediuk, M. 2003. Carbon Dioxide Removal Rate By Aeration Devices In Marine Fish Tanks. The Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh, vol. 55, no. 2, pp. 79-85, ISSN: 0792-156X

Espmark, A.M., K. Hjelde and G. Baeverfjord. 2010. Development of Gas Bubble Disease in Juvenile Atlantic Salmon Exposed to Water Supersaturated With Oxygen. Aquaculture, Vol. 306, Issues 1 – 4, pp. 198 – 204

Leclercq , D.I. and K. Hopkins. 1985. Preliminary tests of an aerated tank system for tilapia culture. Aquacultural Engineering Volume 4, Issue 4, 1985, Pages 299-304

Lohalaksanadet, D. and Y. Musig. 1998. Experiment on The Use of Different Aeration Methods for The Management of Water Quality and Pond Bottom Soil in Closed Culture System of Penaeus monodon Fabricius. Proceedings of the 15th Rajamangala Institute of Technology Annual Conference: V.2 Animal Science and Fishery, Rajamangala Institute of Technology, Bangkok (Thailand). Research and Development Inst., Bangkok (Thailand), ISBN 974 625-136-8. pp. 283-293

Lossow, K., H. Gawronska, B, Kuklinska, A. Martyniak, S. Niewolak, M. Rybak and J. Widuto. 1991. The Effect of Artificial Aeration on The Physicochemical Conditions and Biological Associations of Mutek Lake. Pol. Arch. Hydrobiol., Vol. 38, no. 1, pp. 35 – 65

Ludwig, B. and G. Gale. 1991. Evaluation of two methods for oxygenating hatchery water supplies. Fisheries Bioengineering Symposium, no. 10, pp. 437-444

Ludwig, G.M. 2003. The Effect of Continual, Nocturnal, or No Aeration on Water Chemistry and Plankton Standing Crops in Highly-Fertilized Sunshine Bass, Morone chrysops × M. saxatilis, Fingerling Production Ponds Without Fish. Journal of Applied Aquaculture, Vol. 14, Issue 1-2, pp. 23-41

Maes, L. 1983a. Changes in the oxygen balance of a polluted brook-pond system during an aeration experiment. Natuurwetenschappelijk Tijdschrift. Ghent [NATUURWET. TIJDSCHR.]. Vol. 65, no. 1-3, pp. 52-74

Maes, L. 1983b. Changes of Organic and Inorganic Nitrogen in a Polluted Brook-Pond System During an Aeration Experiment (Veranderingen in de Organische en Anorganische Stikstof van een Bevuild Beek-Vijverwater Gedurende een Aeratie-Experiment). Natuurwetenschappelijk Tijdschrift, Vol. 65, No. 5, pp. 127-144

Malhotra, Y.R., S.P.S. Dutta and C. Shekhar. 1991. Studies on Ecology of Parasites of Schizothorax richardsonii (Grey and Hard) Inhabiting Neeru Nullah, Bhaderwah, Jammu. Indian Journal of Ecology, Vol. 18, no. 1, pp. 50 - 53

Martin, D.F. 1978. Aeration efficiency as a means of comparing devices for lake restoration. Journal of Environmental Science and Health, Part A, Volume 13, Issue 1 1978 , pages 73 – 85

Meade, J.W., W.F. Krise, D. Erdahl, J. Ortiz & A.J. Becker, Jr. 1991. Effect of oxygen versus air on fish in serial production. American Fisheries Society Symposium, No. 10, pp. 482-486

Mevel,J.-Y. and C.E.Boyd. 1992. Channel Catfish Production and Water Quality in Ponds With Different Rates of Continuous, Diffused-Air Aeration. J. Aquacult. Trop., vol.7, no. 2,pp. 275 – 285

Moore, E. 1929. The Aeration of Hatchery Water Supplies and the Incidence of Disease, Transactions of the American Fisheries Society, Vol. 59, Issue 1, pp. 195 - 196

Mqolomba, T.N. and J.A. Plumb. 1992. Effect of Temperature and Dissolved Oxygen Concentration on Edwardsiella ictaluri in Experimentally Infected Channel Catfish. Journal of Aquatic Animal Health, Vol. 4, no. 3, pp. 215 – 217

Rogers, G.L. 1989. Aeration and Circulation for Effective Aquaculture Pond Management. Aquacultural Engineering, Vol. 8, Issue 5, pp. 349–355

Zhongwen,J., Z. Zhongming, W. Songjie, Y. Ermao, H. Ankuan. 2010. Preliminary Study on Improvement of Pond Water Quality by Bottom Aeration. South China Fisheries Science, 2010-06

ARTIKEL TERKAIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar