Bab I
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Penetasan Telur Brachionus
Minkoff et al. (1983) melakukan percobaan penetasan pada populasi telur istirahat Brachionus plicatilis (galur Dor) yang dihasilkan dalam kultur laboratorium di bawah kondisi terkendali dan kemudian disimpan selama sedikitnya satu bulan pada suhu 4 °C dengan kondisi gelap. Cahaya diketahui merupakan sesuatu yang wajib untuk mengakhiri “dormancy” (kondisi tak aktif) telur Brachionus. Pada kisaran suhu 10–30 °C (salinitas 9,0 permil), penetasan adalah optimal (40 – 70%) pada suhu 10–15 °C dan menurun secara linier dengan naiknya suhu pengeraman. Telur istirahat yang dierami pada kisaran salinitas 9 – 40 permil (pada suhu 15 °C) menunjukkan penetasan optimal pada salinitas 16 permil. Pengeraman telur istirahat dalam air suling memungkinkan perkembangan embryo yang normal, tetapi larva yang baru lahir mati. Keberadaan alga Chlorella stigmatophora (0.5 × 106 sel per ml), diketahui membantu penetasan.
Produksi Masal dan Pengawetan Telur Istirahat Brachionus
Hagiwara et al. (1997) melaporkan bahwa produksi masal telur istirahat rotifera laut Brachionus plicatilis (dulu disebut tipe-L) dan Brachionus rotundiformis (disebut tipe-S) berhasil dilakukan dengan menggunakan metode “batch culture” (kultur kelompok). Efisiensi produksi telur istirahat bisa diperbaiki dengan menggunakan metode kultur semi-kontinyu. Beberapa kultur semi-kontinyu hancur antara hari ke-15 sampai 20 akibat efek bakteri. Bagaimanapun, kultur rotifera bisa distabilkan dengan menempatkan alat penyaring untuk menghilangkan bahan-bahan organik. Demikianlah, panen sebanyak 8,1 x 102 telur istirahat per hari per gram (berat kering) Nannochloropsis oculata bisa diperoleh, yang artinya 3,0 kali lebih efisien daripada yang diperoleh dengan metode “batch culture”. Telur istirahat Brachionus rotundiformis, bagaimanapun, tidak dapat diproduksi masal setelah penggantian air kultur. Telur istirahat dapat disimpan dalam air laut selama lebih dari 20 tahun pada suhu 5 °C dengan kondisi gelap total. Laju penetasan telur, bagaimanapun, berkurang bila disimpan bersama bahan organik yang melimpah. Telur istirahat dapat dikalengkan di bawah tekanan atmosfir 48–61 kPa setelah “lyophilization” (- 30 °C) tanpa mengurangi laju penetasan.
Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Brachionus
Jinqiu and Deshang (1997) melakukan penelitian pengaruh cahaya dan intensitas cahaya terhadap dinamika populasi Brachionus calyciflorus yang diberi pakan Chlorella pyrenoidosa dan Saccharoices carlsbergensis secara terpisah dengan metode “batch culture” pada suhu terkendali 32 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa cahaya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan populasi rotifera ini. Pertumbuhan populasi rotifera yang dikultur dengan diberi cahaya adalah lebih besar daripada yang dikultur dalam kondisi gelap. Tetapi pengaruh intensitas cahaya tidak ditemukan dalam kisaran kekuatan cahaya 100 – 12.000 lx .
Faktor-Faktor Lingkungan Pendukung Produksi Kultur Brachionus
Lubzens et al. (1990) meneliti kemungkinan memelihara rotifera (Brachionus plicatilis O.F. Müller) pada suhu 4°C selama periode waktu yang lebih lama pada kepadatan tinggi dan biaya rendah. Ditemukan bahwa proses-proses dinamika yang terlibat dalam pemeliharaan populasi rotifera (penetasan dan produksi telur) terus berjalan pada suhu 4°C, tetapi lajunya berkurang menjadi satu per sepuluh dibandingkan pada suhu 25°C. Kelangsungan hidup rotifera dan persentase telur yang dibawanya dipengaruhi oleh frekuensi penggantian media kultur, salinitas media kultur dan jumlah pakan yang tersedia serta jenisnya (alga, ragi atau Topal). Tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi diamati pada rotifera yang dipelihara dalam kondisi gelap. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada banyak kasus, pemeliharaan pada suhu 4°C berpengaruh secara nyata terhadap kelangsungan hidup dan persentase telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kultur yang paling murah adalah yang melibatkan pemeliharaan rotifera (sedikitnya 1000 per ml) dalam media air laut bersalinitas 10‰ pada suhu 4°C dengan ragi sebagai pakan. Media kultur sebaiknya diganti setiap 4 – 8 hari, dan kultur sebaiknya dipelihara dalam kondisi gelap. Rotifera hasil kultur ini bisa digunakan secara langsung, setelah diperkaya secara tepat dengan asam-asam lemak tak-jenuh, sebagai pakan untuk larva ikan laut, atau digunakan untuk memulai kultur baru. Makalah ini menyajikan metode baru pengawetan rotifera untuk periode yang lebih lama beberapa hari atau beberapa minggu. Metode ini memungkinkan untuk melakukan pengelolaan yang lebih fleksibel terhadap pasokan dan permintaan rotifera di hatchery budidaya air laut. Selain itu, rotifera yang diawetkan bisa didistribusikan dari satu lokasi utama ke hatchery-hatchery yang lebih kecil atau ke pengguna lain yang tidak memiliki fasilitas untuk mengkultur rotifera.
Pakan Terbaik Bagi Reproduksi Brachionus
Snell et al. (1983) meneliti laju reproduksi rotifera Brachionus plicatilis yang dipelihara dengan berbagai pakan. Pakan berupa alga bersel satu dan pakan campuran alga hijau Chlorella dan alga hijau-biru Schizothriz dibandingkan. Hasilnya menunjukkan bahwa laju reproduksi rotifera rata-rata 2,7 kali lebih besar untuk pakan campuran Chlorella dan Schizothriz daripada untuk Chlorella atau Schizothriz sebagai pakan tunggal. Peningkatan laju reproduksi rotifera tidak terlihat untuk pakan campuran Chlorella and Dunaliella bila dibandingkan dengan pakan Chlorella saja. Penelanan Schizothrix tidak dibutuhkan untuk meningkatkan reproduksi rotifera. Dibuktikan lebih lanjut bahwa faktor yang meningkatkan reproduksi adalah substansi yang labil pada kondisi panas.
Bab II
Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan
Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Kultur Brachionus Berkepadatan Tinggi
Yoshimura et al. (1997) melaporkan bahwa penggunaan Chlorella sebagai pakan dalam kultur masal Brachionus memungkinkan untuk mengkultur rotifera ini dengan kepadatan 103 individu/ml. Disadari bahwa untuk meningkatkan kepadatan kultur 104 individu/ml, maka faktor-faktor penghambat (konsentrasi oksigen terlarut yang rendah, pemisahan buih, dan daya racun NH3-N) harus dikurangi dengan cara penambahan gas oksigen dan pengaturan pH agar bernilai 7. Bagaimanapun, bahkan setelah perbaikan seperti ini, masalah tetap ada. Salah satu masalah tersebut adalah pengendalian sisa-sisa makanan dan kotoran, partikel bahan organik dan mikroba yang sering menyumbat jaring pengumpul saat panen. Masalah lainnya adalah pengembangan metode kuantitatif yang lebih akurat untuk menentukan kepadatan Chlorella dan rotifer yang dapat menggantikan metode penghitungan konvensional.
Menurut Yoshimura et al. (1997) masalah-masalah tersebt di atas bisa dipecahkan dengan cara berikut. (1) Alat penyaring untuk menghilangkan partikel kotoran dalam media kultur : saringan berupa jaring nilon dengan rangka stainless steel telah dikembangkan untuk meningkatkan luas permukaan jaring sehingga lebih banyak kotoran yang disingkirkan. Dengan menggunakan saringan ini, panen kultur rotifera berkepadatan tinggi 104 individu/ml adalah mungkin tanpa menyebabkan jaring pemanen tersumbat. (2) Penentuan rotifera secara kuantitatif dilakukan dengan metode sentrifugasi : Peneliti menentukan kelimpahan rotifera berdasarkan sampel sentrifugasi dan mengukur volume paketnya ("packed volume", PV, ml/liter). PV rotifera lebih mudah dihitung dan lebih akurat (koefisien keragaman 4 %) daripada perhitungan kepadatan secara langsung (koefisien keragaman 15 %). Masalah yang dihadapi di sini adalah bahwa limbah organik dalam kultur rotifera menyebabkan pengukuran PV rotifera menjadi sulit. Dengan menempatkan sebuah filter di dalam tangki kultur masal, bagaimanapun, batas antara rotifera dan limbah organik di dalam tabung sentrifugasi menjadi lebih jelas terlihat.
Kultur Masal dan Evaluasi Brachionus Sebagai Pakan Larva Ikan
Theilacker dan McMaster (1971) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan larva ikan anchovy, Engraulis mordax, yang dipelihara selama 19 hari pada kondisi lingkungan dengan pakan organisme hasil kultur laboratorium, melebihi laju pertumbuhan ikan anchovy yang diberi pakan plankton liar. Rotifera Brachionus plicatilis telah diketahui merupakan sumber makanan bergizi bila diberikan kepada larva ikan ini dengan konsentrasi 10 - 20/ml dan dalam kombinasi dengan dinoflagelata Gymnodinium splendens (100/ml). Kondisi optimum ditentukan untuk kultur masal rotifera ini. Konsentrasi pakan yang tinggi merupakan parameter terpenting yang dibutuhkan untuk menjamin hasil kultur rotifera yang banyak. Flagelata bersel satu, Dunaliella sp., dikultur dalam jumlah banyak sebagai pakan bagi rotifera. Teknik kultur rotifera yang dijelaskan dalam laporan ini bisa memproduksi hampir 2,5 juta organisme/hari, sehingga bisa menyediakan sumber makanan yang dapat diandalkan untuk studi penelitian. Panjang Brachionus plicatilis (tanpa telur) berkisar dari 99 dan 281 mikron, kebanyakan rotifera berukuran lebih dari 164 mikron dan kurang dari 231 mikron. Berat individu Brachionus 0,16 mikrogram dan mengandung 8×10-4 kalori.
Kemungkinan Kultur Masal Brachionus Dengan Pakan Chlorella
Maruyama et al. (1997) memanfaatkan alga Chlorella vulgaris (dalam bentuk "condensed suspension", yaitu media air berisi alga berkonsentrasi tinggi) sebagai pakan rotifera Brachionus plicatilis dan Brachionus rotundiformis untuk menggantikan Nannochloropsis oculata. Laporan ini menjelaskan karakteristik Chlorella vulgaris sebagai pakan rotifera yang hasilnya dibandingkan dengan Nannochloropsis oculata. Komponen sel Chlorella vulgaris seperti kandungan protein, asam-asam amino, mineral dan vitamin secara umum sama dengan Nannochloropsis oculata. Bagaimanapun, status taksonomi spesies-spesies alga ini berbeda. Berdasarkan pada kesamaan komponen sel ini, nilai gizi Chlorella vulgaris adalah sama dengan nilai gizi Nannochloropsis oculata bagi pertumbuhan rotifera. Nilai gizi Chlorella vulgaris dapat ditingkatkan dengan penambahan vitamin B12. Alga Chlorella vulgaris yang diberi perlakuan pengayaan gizi saat ini digunakan secara luas sebagai organisme pakan dalam kultur rotifera. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan "condensed suspension" Chlorella vulgaris memungkinkan untuk meningkatkan secara nyata kepadatan rotifera pada saat panen. Pemakaian "condensed suspension" Chlorella vulgaris membuat kultur rotifera menjadi sangat mudah karena kultur Nannochloropsis oculata tidak lagi dibutuhkan, dan produksi rotifera intensif dalam akuakultur sekarang dapat diwujudkan.
Ragi dan Chlorella Untuk Pakan Kultur Brachionus
James et al. (1987) mempelajari penggunaan ragi laut dan ragi roti yang dikombinasikan dengan Chlorella sp. untuk produksi skala besar rotifera Brachionus plicatilis. Kepadatan rotifera kultur yang diberi pakan ragi laut secara nyata lebih tinggi daripada rotifera yang diberi pakan ragi roti. Produksi rotifera secara nyata lebih tinggi dan waktu penggandaan lebih sedikit untuk rotifera yang diberi pakan ragi laut daripada rotifera yang diberi pakan ragi roti. Tampaknya bahwa penambahan ragi laut sebagai pakan meningkatkan laju kelahiran dan produksi total rotifera di dalam sistem kultur.
Pemanfaatan Bakteri Penghasil Vitamin B12 Dalam Kultur Brachionus
Yu et al. (1988) melaporkan bahwa di antara 31 galur bakteri yang diisolasi dari tangki kultur Brachionus plicatilis, hanya 8 galur yang merupakan produsen vitamin B12 yang mendukung pertumbuhan rotifera bebas-kuman ketika mereka dimasukkan ke dalam suspensi ragi. Dari 6 galur yang telah dipelajari taksonominya, mereka diidentifikasi sebagai Pseudomonas. Produktivitas vitamin B12 diukur dengan metode bioesei Euglena. Konsentrasi vitamin B12 dalam suspensi bakteri diukur setiap hari dan konsentrasi tertinggi vitamin B12 diduga adalah 1,2 - 16,5 nanogram/ml selama 8 hari kultur. Sebagian besar (98,1 - 99,3 %) vitamin B12 yang dihasilkan ditimbun di dalam sel bakteri. Pertumbuhan rotifera diuji di dalam "batch culture" pada kondisi bebas-kuman, yang diberi bakteri penghasil vitamin B12 sebagai satu-satunya sumber makanan, dan bakteri-bakteri ini sebagai pelengkap alga Nannochloropsis oculata atau ragi roti Saccharomyces cerevisiae. Rotifera menunjukkan pertumbuhan yang cepat bila vitamin B12 produksi sel bakteri ditambahkan dengan kisaran 107-1011 sel/ml. Hasil penelitian ini memiliki arti bahwa dalam tangki produksi masal rotifera, bakteri penghasil vitamin B12 bisa memainkan peranan penting sebagai pemasok vitamin B12.
Keunggulan Alga Beku Sebagai Pakan Kultur Brachionus
Menurut Lubzens et al (1995) alga eustigmatofita Nannochloropsis digunakan secara luas dalam banyak hatchery akuakultur untuk memantapkan tahap awal rantai makanan buatan. Keuntungan Nannochloropsis dibandingkan alga bersel satu lainnya adalah terutama pada komposisi asam lemaknya yang unik. Rotifera yang mengkonsumsi alga ini membawa asam-asam lemak tersebut (melalui rantai makanan) ke larva ikan. Kultur biomas alga dalam jumlah besar untuk mendukung rantai makanan ini merupakan beban yang berat bagi banyak hatchery, dan di banyak lokasi lain hal ini tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Dalam studi ini dilakukan penelitian untuk mempelajari kemungkinan pemakaian biomas alga Nannochloropsis beku sebagai pengganti alga Nannochloropsis segar sebagai satu-satunya sumber makanan bagi rotifera kultur atau sebagai perlakuan pengayaan sebelum rotifera diberikan kepada larva ikan.
Hasil penelitian yang dilakukan Lubzens et al (1995) memberikan kesimpulan bahwa laju reproduksi yang relatif tinggi ditemukan pada tiga galur rotifera yang diberi pakan Nannochloropsis beku. Total kandungan asam lemak rotifera-rotifera ini dan distribusi asam lemak berkaitan dengan komposisi kimia alga. Walaupun ada variasi musiman dalam hal komposisi biokimia dan distribusi asam lemak dalam biomas alga, kualitas alga beku jangka panjang cukup untuk menyediakan asam-asam lemak esensial bagi rotifera hampir sepanjang tahun. Tidak ada perbedaan komposisi asam lemak antara rotifera yang diberi pakan alga yang disimpan pada suhu -20 °C dengan yang disimpan pada suhu -70 °C. Biomas alga yang dicairkan pasca pembekuan dapat disimpan pada suhu 4 °C selama 7 hari dan digunakan untuk pakan rotifera tanpa memberikan efek negatif yang nyata terhadap komposisi dan kandungan asam lemak pada rotifera. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan biomas alga Nannochloropsis beku memungkinkan pengelolaan yang lebih mudah dalam produksi biomas rotifera yang diperkaya dengan lipida. Hal ini memudahkan untuk menyediakan rantai makanan buatan dengan asam-asam lemak esensial, yang merupakan faktor penting bagi perkembangan dan budidaya larva ikan, dengan relatif sedikit upaya produksi alga di lokasi hatchery.
Alga Beku-Kering Untuk Pakan Brachionus dan Pengaruhnya Terhadap Larva Ikan Yang Memakannya
Gatesoupe dan Luquet (1981) menggunakan pakan sediaan dan alga beku-kering Platymonas suecica, sebagai pakan untuk Brachionus plicatilis dalam kultur kontinyu dengan penggantian air seperempat volume setiap hari. Hasil yang tinggi, diperoleh dalam waktu satu bulan, hanya dicapai oleh tangki 60 liter, dengan air bersalinitas sedang (sekitar 18 ‰) dan dengan 33 % ransum berupa alga beku-kering : sekitar 120 Brachionus dihasilkan per ml per hari dengan cara ini, dua kali hasil yang didapat dengan alga hidup. Bila, dalam tiga eksperimen, rotifera diberi makan berupa pakan sediaan dan alga beku-kering dengan proporsi 3 : 1, kemudian rotifera ini diberikan kepada larva ikan sea bass, pertumbuhan larva ikan tersebut tidak berkurang, sedangkan tingkat kelangsungan hidupnya (25, 27 dan 11 % pada hari ke-25 atau 20) adalah lebih konstan daripada larva ikan yang makan rotifera yang diberi pakan alga (berturut-turut 24, 3 dan 1 %). Tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik diperoleh bila rotifera diperkaya dengan campuran zat gizi sebelum dimasukkan ke dalam tangki larva ikan (50 dan 16 %).
Bab III
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Bachionus
Pertumbuhan larva dan kelangsungan hidup larva ikan laut dalam produksi benih masal dipengaruhi oleh nilai nutrisi pakan hidup seperti rotifera dan Artemia (Matsumoto et al., 2009). Pakan hidup merupakan mata rantai penting yang menghubungkan nutrisi endogenous (dari dalam) dan aktivitas mencari makan eksogenus (dari luar) pada hewan air yang dibudidaya. Pakan hidup penting dalam pemeliharaan larva ikan, krustasea dan moluska hingga hewan-hewan ini dapat mencerna pakan buatan. Alga seperti Chlorella mudah dibudidayakan sebagai pakan Brachionus. Kadar asam-asam lemak esensial dalam pakan hidup merupakan faktor penting yang harus diperhatikan (Hertrampf and Piedad-Pascual, 2003).
Makin banyak perhatian diberikan pada penyediaan mikroalga untuk mempertahankan sifat-sifat yang konstan selama periode yang panjang. Tujuannya adalah untuk menjamin tercukupinya persediaan asam-asam lemak esensial (dan nutrisi-nutrisi penting lain) bagi larva moluska dan krustasea serta bagi zooplankton yang digunakan sebagai pakan hidup untuk memberi makan pertama larva ikan (Seychelles et al., 2009). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan metode efektif guna memperkaya pakan hidup dengan asam lemak esensial dan vitamin (Matsumoto et al., 2009).
Brachionus plicatilis sering digunakan sebagai pakan pertama kali bagi larva ikan laut budidaya. Sejak rotifera ini diperkenalkan sebagai pakan hidup, metode kultur masal rotifera telah dikembangkan. Setelah metode kultur masal ini berhasil dikembangkan maka produksi larva ikan menjadi mudah. Sebaliknya, timbul beberapa masalah larva ikan berkaitan dengan rotifera. Banyak di antara masalah ini disebabkan oleh ketidak cocokan kandungan nutrisi rotifera, misalnya kematian masal, malpigmentasi (salah-pigmentasi) dan cacat tubuh. Masalah lainnya disebabkan oleh ketidakstabilan kultur rotifera. Sebegitu jauh, masalah nutrisi tersebut sudah bisa diatasi dan beberapa di antaranya dilakukan dengan mengembangkan pakan yang diperkaya untuk rotifera. Asam n-3 highly unsaturated fatty acid (HUFA; asam lemak sangat tak-jenuh) yang mencakup eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) adalah penting bagi kesehatan dan aktivitas larva ikan, dan dengan demikian studi tentang pengayaan rotifera difokuskan pada n-3 HUFA, terutama EPA dan DHA (Kotani et al. 2009).
Sebagai pakan hidup, Brachionus dikultur agar mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh larva ikan. Kandungan nutrisi rotifera ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain salinitas. Frolov et al. (1991) meneliti pengaruh salinitas rendah dan tinggi terhadap konsentrasi total protein, lipida, karbohidrat, glikogen, asam amino bebas dan asam amino pada Brachionus plicatilis. Kadar protein, karbohidrat dan glikogen menurun bersamaan dengan meningkatnya kadar asam amino bebas yang sejalan dengan meningkatnya salinitas dari 0.5 ke 28%. Salinitas memberikan pengaruh paling jelas terhadap konsentrasi asam-asam amino bebas seperti glisin, alanin, prolin, arginin dan asam glutamat. Perubahan konsentrasi asam amino protein tidak teramati. Pada salinitas kurang dari 17%. dan lebih dari 17%, kadar lipida berkurang. Secara proporsional pengaruh ini lebih besar pada salinitas tinggi.
Selain faktor lingkungan, komposisi kimia Brachionus juga dipengaruhi oleh jenis dan komposisi kimia makanannya. Akan tetapi para peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda-beda mengenai pengaruh tersebut.
Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Scott dan Baynes (1978) rotifera diberi pakan empat spesies alga bersel-satu (Dunaliella tertiolecta, Pavlova lutheri, Phaeodactylum tricornutum dan Isochrysis galbana) pada satu kisaran suhu. Pengukuran dilakukan terhadap laju pertumbuhan, bobot dan kadar total protein, karbohidrat dan lipida. Perbedaan besar ditemukan pada bobot dan komposisi biokimia rotifera sebagai akibat aktivitas makan dan kelaparan. Hanya ada perbedaan kecil yang disebabkan jenis alga yang digunakan sebagai pakan.
Salah satu mikroalga yang umum untuk makanan rotifera Brachionus plicatilis adalah Isochrysis galbana. Ada beberapa galur mikroalga ini yang tersedia. Karena galur mikroalga bisa memiliki komposisi dan karakteristik pertumbuhan yang berbeda, Sayegh et al (2007) mempelajari apakah perbedaan pertumbuhan dan perbedaan biokimia dalam galur I. galbana menyebabkan perbedaan sifat-sifat biokimia B. plicatilis. Empat galur I. galbana dan satu galur flagelata Nanochloropsis telah ditumbuhkan pada kondisi standar. Laju pertumbuhan, volume, produksi, dan komposisi sel (berat kering, karbohidrat, protein, lipida) ditentukan. Perbedaan nyata terjadi antara galur-galur dalam semua karakteristik ini (2 sampai 3 kali lipat), tetapi tidak ada pola yang jelas bahwa suatu galur adalah paling unggul. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk beberapa pengukuran, perbedaan galur secara nyata lebih besar daripada perbedaan antar spesies. Galur-galur ini kemudian dijadikan pakan rotifera, dan sejumlah parameter diukur: laju pertumbuhan, laju reproduksi, sifat-sifat fekunditas, sejumlah laju perkembangan, dan komposisi (berat kering, karbohidrat, protein, lipida). Tidak ada efek nyata dalam hal pengaruh galur mangsa terhadap beberapa karakteristik, tetapi tidak ada yang dramatis (jarang lebih dari 10% dan kadang-kadang sampai 30%), yang menunjukkan bahwa pembudidaya tidak perlu terlalu memperhatikan galur I. galbana yang mana yang digunakan sebagai pakan. Bagaimanapun, kami menunjukkan adanya sedikit perbedaan, yang disebabkan oleh perbedaan galur mangsa dan menyarankan agar untuk mencapai produktivitas maksimum perbedaan-perbedaan ini harusnya dipertimbangkan.
Menurut Hertrampf dan Piedad-Pascual ( 2003) komposisi kimia pakan hidup berbeda tergantung spesies, kultur, dan tipe makanan yang diberikan. Sebagai contoh , kadar air, protein kasar, lipida kasar dan abu kasar pada Brachionus plicatilis yang diberi makan ragi roti berturut-turut adalah 90,7; 67,0; 19,4 dan 7,5 % berat kering. Nilai-nilai tersebut pada Brachionus yang diberi pakan Chlorella adalah 86,9; 60,3; 29,8 dan 5,3. Secara umum, rotifera mempunyai profil asam lemak sama seperti alga makanannya. Kualitas nutrisi rotifera bisa ditingkatkan dengan memberinya makanan yang mengandung asam-asam lemak esensial, vitamin C dan lain-lain.
Frolov et al. (1991) mempelajari pengaruh komposisi biokimia berbagai jenis pakan terhadap kadar protein, lipida dan karbohidrat, komposisi protein dan asam lemak serta perubahan komposisi-komposisi ini selama periode kultur sekunder (48 jam) pada rotifera yang diberi pakan alga Monochrysis lutheri (rotifera semula diberi pakan ragi roti, Saccharomyces cerevisiae). Ada korelasi positif antara kadar protein dan lipida rotifera dengan kadar senyawa-senyawa ini dalam pakan. Tidak ada korelasi untuk karbohidrat. Perubahan paling nyata dan paling kecil terjadi pada kadar lipida dan protein, berturut-turut. Tidak ada korelasi antara komposisi asam amino pada rotifera dan pada pakan. Kadar total asam amino dalam protein dan komposisi asam aminonya adalah tetap. Konsentrasi diasilgliserol, monoasilgliserol dan asam lemak bebas dalam lipida rotifera tidak tergantung pada kadar senyawa-senyawa ini dalam lipida pakan, dan agak konstan. Para peneliti menemukan korelasi positif antara kadar triasilgliserol dan sterol ester dalam rotifera dan dalam makanannya. Sebagian besar perubahan yang nyata terjadi pada kadar triasilgliserol. Secara keseluruhan, komposisi asam lemak rotifera adalah sama dengan komposisi asam lemak makanannya. Makin besar derajat ketidak-jenuhan asam lemak lipida netral, maka makin besar variasi dalam fraksi ini bila dibandingkan dengan lipida polar.
Selanjutnya Frolov et al. (1991) melaporkan bahwa perubahan komposisi biokimia umum dimulai dengan peningkatan kadar lipida setelah 1 jam makan. Kadar lipida mencapai maksimum setelah sekitar 6 jam makan, dan kemudian berkurang. Kadar karbohidrat mulai berkurang setelah 6 jam makan dan mencapai minimum setelah sekitar 24 jam makan, kemudian naik dan menjadi stabil. Kadar fosfolipid menurun sedikit setelah 12 jam makan, sedangkan kadar triasilgliserol meningkat setelah 6 jam dan peningkatannya melebihi fosfolipid. Perubahan kadar sterol dan sterol ester terjadi setelah 12 jam makan dan hilang sama sekali setelah sekitar 36 jam. Perubahan komposisi asam lemak lipida dimulai dengan perubahan pada lipida polar (setelah 1 jam). Perubahan komposisi asam lemak terjadi antara 6 dan 12 jam makan dan praktis berhenti setelah 24–36 jam.
Reitan et al. (1997) meneliti pengaruh kandungan nutrisi alga terhadap komposisi biokimia Brachionus yang memakannya. Mereka menggunakan mikroalga sebagai makanan dalam produksi rotifera Brachionus plicatilis dengan tujuan memindahkan nutrien esensial dari alga ke pakan hidup. Selain itu, alga diberikan secara langsung kepada larva ikan bersama dengan pakan hidup (Brachionus). Dalam hal ini, alga bertindak baik sebagai pakan larva ikan maupun pakan hidup rotifera. Alga di dalam tangki larva cenderung memodifikasi dan menstabilkan mutu nutrisi rotifera selama periode sebelum mereka dikonsumsi oleh larva ikan. Kandungan lipida dan komposisi asam lemak rotifera mencerminkan komposisi makanan alga, dan spesies alga yang digunakan bisa menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan kandungan asam lemak (terutama DHA, 22:6n-3, docosahexaenoic acid, dan EPA, 20:5n-3, eicosapentaenoic acid).
Karena alga dan konsentrasinya merupakan faktor penting dalam kultur masal rotifera, Kennari et al. (2008) melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh dua tipe alga, Chlorella sp. dan Scenedesmus obliquus, terhadap komposisi asam lemak rotifera air tawar, Brachionus calyciflorus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar HUFA pada rotifera yang diberi makan Chlorella sp. (3.32%) relatif lebih banyak dari pada yang diberi makan S. obliquus (2.65%). Ada hubungan antara meningkatnya konsentrasi alga dengan peningkatan kadar relatif HUFA dan penurunan kadar asam lemak mono-tak-jenuh.
Wacker and Weithoff ( 2009) menguji kaitan ekofisiologis penting antara flagelata miksotrofik Chlamydomonas acidophila dan konsumennya, rotifera Elosa worallii, Cephalodella sp. dan Brachionus sericus, dengan membandingkan profil asam lemaknya. Flaglelata miksotropik ditumbuhkan pada kondisi autotropik ekslusif dengan cahaya, pada kondisi heterotropik eksklusif dengan sumber karbon organik (glukosa) tanpa cahaya, atau dalam kondisi gelap ditambah sumber karbon organik (=miksotrofik). Walaupun PUFA dengan lebih dari 18 atom karbon tidak terdeteksi pada C. acidophila, ditemukan eicosatetraenoic (ETA, 20:4n-3) dan eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n-3) dalam jumlah besar pada tiga rotifer konsumen. Perbedaan-perbedaan yang bersifat spesifik-spesies dalam hal profil asam lemak berkaitan dengan ETA, EPA dan precursor (bahan pokok) ALA ditemukan pada Brachionus yang diberi pakan bersifat heterotrofik yang mengandung lebih sedikit EPA. Karena di alam cara asimilasi karbon pada organisme-organisme miksotrofik berbeda, dan komposisi asam lemaknya bervariasi tergantung pada cara asimilasi karbon, ketersediaan ALA mungkin penting bagi konsumen mereka. Kekurangan pasokan pakan precursor ini untuk sintesis ETA dan EPA dapat menghalangi kemampuan konsumen dalam mengatur kadar ETA dan EPA.
Rotifera (Brachionus plicatilis Müller) telah dibudidayakan dengan pakan monokultur fitoplankton (Dunaliella tertiolecta, Tetraselmis suecica, Nannochloropsis sp., Phaeodactylum tricornutum), nanoplankton alami dan ragi roti. Komposisi biokimia rotifera yang dipanen pada fase eksponensial, stasioner and fase mati telah ditentukan. Kadar air berkurang pada semua sampel fase pertumbuhan stasioner. Kadar abu adalah paling tinggi pada fase mati. Lipida dan karbohidrat terlihat menurun antara fase eksponensial dan fase kematian. Kadar protein meningkat pada fase stasioner. Laju pertumbuhan, “doubling time” (waktu penggandaan), kadar lipida, karbohidrat dan protein rotifera yang diberi pakan Phaeodactylum tricornutum dan Nannochloropsis sp. menunjukkan bahwa monokultur tersebut adalah pakan yang paling sesuai untuk rotifera. Rotifera yang diberi pakan alga-alga ini diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi larva ikan (Caric et. al, 1993).
Upaya memperbaiki kandungan nutrisi rotifera juga dilakukan dengan memberinya pakan berupa bakteri penghasil asam lemak EPA. Bakteri antartika, galur ACAM 456, diketahui memproduksi eicosapentaenoic acid (20:5n - 3, EPA). Bakteri ini pada konsentrasi awal 107, 108 dan 109 sel per ml, digunakan sebagai pakan rotifera Brachionus plicatilis. Pada 6 dan 24 jam, rotifera disingkirkan, dipanen dan diekstrak untuk analisis komposisi asam lemak, yang kemudian dibandingkan dengan rotifera yang ditumbuhkan pada ragi roti. Penyerapan EPA, bersama dengan penanda asam lemak bakterial (i13:0, i15:0 and 14:0), dibuktikan pada semua konsentrasi pakan bakterial yang diuji. Penyerapan paling tinggi terjadi bila rotifera ditumbuhkan dalam medium yang semua mengandung 109 bakteri per ml. Setelah 24 jam makan, kadar EPA mencapai 9.4% dari asam lemak total dari rotifera pakan (6.7 nanogram EPA per rotifer). ACAM 456, galur bakteri dengan kemampuan memproduksi EPA, dengan demikian merupakan alternatif pakan yang kaya gizi bagi rotifera Brachionus plicatilis pada kondisi pakan yang mungkin bisa diterapkan pada banyak budidaya laut (Nichols, et al. 1996).
Kultur rotifera Brachionus plicatilis (200 ind./ml, 0.5 µg berat kering/individu) yang diberi pakan permulaan berupa ragi dan minyak ikan capelin (10:1 bobot/bobot) diberi pakan yang berbeda dan dipanen setelah 24 jam. Komposisi asam lemak rotifera dipengaruhi oleh komposisi makanannya. Kadar tertinggi HUFA n-3 (38%) dan HUFA 22:6 n-3 (19%) diperoleh setelah rotifera diberi pakan tepung cumi. Hubungan positif ditemukan antara HUFA n-3 dalam pakan yang diperkaya dan dalam rotifera (P < 0.05, uji-t). Kelaparan selama 49 jam tidak mengubah komposisi asam lemak rotifera (Rainuzzo et al., 1989).
Sebuah sistem kultur kontinyu intensif otomatis, yang bedasarkan pada prinsip “chemostat”, untuk memproduksi dua galur rotifera Brachionus plicatilis (tipe L dan S) telah diteliti oleh James and Abu-Rezeq (1989). Dengan menggunakan tangki fiberglas berkapasitas 1 meter kubik, adalah mungkin untuk mencapai produksi rata-rata 308.75 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe S dan 186.71 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe L dalam sistem kultur ini. Rotifera diberi pakan isolat mikroalga lokal Nannochloropsis galur MFD-2 yang diproduksi dengan menggunakan chemostat alga. Ragi roti digunakan sebagai pakan suplemen. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas rotifera dalam sistem kultur kontinyu agak lebih tinggi daripada dalam sistem kultur konvensional. Selain itu, komposisi asam lemak n-3 pada rotifera dalam sistem kultur ini menunjukkan bahwa rotifera-rotifera ini mengandung cukup banyak asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh larva ikan laut dan tidak membutuhkan pengayaan nutrisi lebih lanjut (James and Abu-Rezeq, 1989). Namun demikian sebagian besar peneliti menekankan pentingnya pengayaan nutrisi pada Brachionus sebelum rotifera ini diberikan kepada larva ikan. Beberapa jenis nutrisi yang ada di dalam air tidak dapat diserap atau dimakan secara langsung oleh Brachionus sedangkan mikroalga dapat menyerapnya secara langsung dari air. Mikroalga bisa diperkaya dengan nutrisi semacam ini dan bila Brachionus memakan mikroalga tersebut maka nutrisinya bisa diserap oleh tubuh rotifera ini.
“Nutritional enrichment” (pengayaan nutrien) untuk rotifera adalah penting dalam menstabilkan produksi larva ikan. Kotani et al. (2010) mempelajari pengaruh pakan bernutrien normal dan bernutrien overdosis terhadap komposisi nutrien rotifera. Populasi rotifera dalam dua sistem kultur diperkaya dengan empat kondisi, yang sesuai dengan dua tingkat pakan, dan dua periode pengayaan : 0.25 g/L selama 8 jam (normal), 0.25 g/L selama 24 jam (pengayaan yang lama), 0.75 g/L selama 8 jam (pengayaan overdosis), and 0.75 g/L selama 24 jam (pengayaan lama + overdosis). Ketika populasi rotifera kultur-kelompok diperkaya, pengayaan yang lama dan pengayaan overdosis tidak menyebabkan kadar asam lemak berbeda dari normal. Pengayaan overdosis adalah yang paling efektif di antara semua kondisi pengayaan jika menggunakan populasi rotifera kultur-kontinyu. Pada kedua metode kultur, kandungan DHA untuk kondisi pengayaan lama + overdosis adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan untuk kondisi pengayaan normal dan ini menghasilkan peningkatan rasio DHA/EPA dua sampai tiga kali. Dengan demikian, adalah mungkin untuk mengubah komposisi asam lemak rotifera dengan mengubah metode pengayaan.
Sebaliknya, tidak dapat disangkal bahwa asam lemak yang berlebihan berpengaruh negatif terhadap larva ikan. Lebih lanjut, meskipun studi ini difokuskan pada kadar asam lemak, adalah mungkin bahwa jenis-jenis nutrien lain menunjukkan kecenderungan yang sama, misalnya untuk protein atau vitamin. Adalah penting untuk memperbaiki komposisi pakan yang diperkaya. Pada pemeliharaan larva ikan, nilai nutrisi pakan hidup pada tahap larva adalah penting bagi pertumbuhan dan kesehatan larva (Kotani et al. 2009).
del Castillo e al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya kandungan gizi rotifera Brachionus plicatilis yang diberi pakan sel kering-beku thraustochytrid tropis Schizochytrium mangrovei (Isolat IAo-1). Rotifera dilaparkan selama 24 jam kemudian diberi pakan sel S. mangrovei pada konsentrasi 200, 300, 400, 500, 600 dan 700 mg per liter. Pengayaan dilakukan pada dua periode (jangka-pendek = 5 jam; jangka-panjang = 10 jam) untuk menentukan waktu optimum yang dibutuhkan untuk pengayaan maksimum rotifera. Ada peningkatan yang nyata dalam hal kadar lipida total, arachidonic acid (AA) dan DHA pada rotifera setelah makan S. mangrovei kering-beku yang menunjukkan keberhasilan penyerapan zat-zat gizi ini ke dalam komposisi biokimia rotifera. Sebaliknya, docosapentaenoic acid (DPA) tidak berubah nyata dalam rotifera yang diperkaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua faktor, konsentrasi makanan dan periode pengayaan, berpengaruh nyata terhadap kadar lipida, AA dan DHA rotifera. Penyerapan lipida, AA dan DHA meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi makanan kecuali untuk rotifera yang diberi pakan dengan konsentrasi tertinggi 700 mg per liter selama 10 jam. Selain itu, kadar lipida dan AA pada rotifera yang diperkaya adalah secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-pendek sementara kadar DHA secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-panjang. Jadi, disimpulkan bahwa konsentrasi pakan 700 mg per liter pada periode pengayaan 5 jam adalah optimum untuk pengayaan AA dan DHA rotifera. Skema strategis penggabungan jumlah produk dan lama pengayaan yang tepat untuk meningkatkan kadar DHA rotifera akan menjamin secara efektif produksi rotifera bergizi-superior dengan biaya minimal. Hal ini pada akhirnya akan menyukseskan pemeliharaan larva ikan laut di hatchery.
Seychelles et al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya Brachionus plicatilis dengan PUFA. Peneliti menggunakan empat spesies mikroalga [Isochrysis galbana (T-ISO), Chaetoceros muelleri (CHGRA), Pavlova lutheri (MONO), dan Nannochloropsis sp.] baik sebagai kultur segar maupun dalam bentuk pekatan-beku untuk memperkaya rotifera. Rotifera mempunyai konsentrasi asam lemak yang relatif sama bila diberi makan pekatan-beku atau mikroalga segar. Konsentrasi 20:4n-6, 22:6n-3, dan 20:5n-3 pada B. plicatilis dan pada mikroalga pakan berkorelasi linier. Asam lemak 20:4n-6 adalah yang paling siap diasimilasi : konsentrasinya dalam rotifera mencapai setengah konsentrasi dalam mikroalga pakan. Disimpukan bahwa keempat spesies mikroalga baik bentuk segar maupun bentuk pekatan-beku dapat digunakan untuk memperkaya kadar PUFA pada rotifera. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk menguji apakah asimilasinya berbeda bila rotifera diperkaya dengan mikroalga mono- atau multispesies.
Kotani et al. (2009) memperkaya populasi Brachionus dengan Nannochloropsis oculata atau pakan komersial yang diperkaya. Bila diperkaya dengan N. oculata maka 24 jam kemudian arachidonic acid (ARA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) diperoleh dalam jumlah lebih tinggi. Hasil yang sama diperoleh bila menggunakan pakan (komersial) yang diperkaya, bahkan DHA juga meningkat.
Setelah pengayaan nutrisi dengan menggunakan N. oculata dan pakan komersial yang diperkaya, rotifera dari tangki pemanenan kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sebanyak 1.5–2 kali dibandingkan rotifera dari batch culture pada 48 jam setelah inokulasi. Pada percobaan yang dilakukan Tomoda et al., rotifera dari kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sekitar 1.5 kali dibandingkan rotifera dari batch culture dalam fase logaritmik akhir (Kotani et al. 2009).
Beberapa kondisi pengayaan (tipe dan konsentrasi minyak dalam medium kultur dan waktu pengayaan) telah diuji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap komposisi lipida dan asam lemak rotifera (Brachionus plicatilis). Rotifera yang diberi pakan pendahuluan berupa ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) diberi pakan yang diperkaya dengan emulsi lipida yang mengandung campuran triasilgliserol (TAG) atau metil ester (ME) pada tiga konsentrasi yang berbeda. Rotifera disampling setelah pengayaan 0 (rotifera yang makan ragi), 3, 6, 12 dan 24 jam. Pada setiap konsentrasi dan waktu yang diuji, kadar lipida tertinggi diperoleh bila menggunakan TAG. Meskipun ada perbedaan komposisi asam lemak jenuh dan mono-tak-jenuh antara emulsi pengayaan, rotifera cenderung mempertahankan kadar asam-asam lemak ini tanpa dipengaruhi oleh periode dan konsentrasi minyak pengayaan. Peningkatan periode pengayaan, bukannya jumlah minyak yang ada dalam medium, lebih efektif dalam menaikkan kadar asam lemak n-3 sangat-tak-jenuh (n - 3 HUFA) pada rotifera. Rotifera menunjukkan lebih banyak mengikat eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n - 3) daripada docosahexaenoic acid (DHA, 22:6n - 3), tanpa memperhatikan rasio antara kedua asam lemak ini dalam emulsi. Penggunaan ME sebagai sumber pengayaan menyebabkan mortalitas betina pembawa-telur lebih besar daripada bila menggunakan TAG (Rodríguez et al., 1996).
Sebuah metode praktis untuk memperkaya rotifera dengan seng telah diteliti oleh Matsumoto et al. (2009). Perubahan konsentrasi mineral lain ketika seng ditambahkan ke dalam tangki pengayaan-rotifera juga dipelajari. Komposisi mineral rotifera dan Chlorella setelah pengayaan seng menunjukkan bahwa penambahan seng secara langsung ke media kultur adalah tidak efektif karena rotifera tidak dapat menimbun secara efisien seng yang berasal dari air. Kemampuan Chlorella untuk menyerap seng asal-air adalah jauh lebih besar daripada kemampuan rotifera, dan dengan demikian, seng mula-mula ditimbun di dalam Chlorella, yang kemudian dimakan rotifera. Konsentrasi seng maksimum pada rotifera adalah 585.0 µg per gram (berat kering) ketika rotifera diperkaya dengan seng saja. Konsentrasi seng ini bisa disamakan dengan konsentrasi yang ditemukan pada zooplankton alami. Pada rotifera yang secara bersamaan diperkaya dengan seng dan asam-asam amino n-3 HUFA, konsentrasi seng meningkat, tetapi konsenrasi n-3 HUFA tidak. Jadi, secara terpisah dilakukan pengayaan dengan seng dan asam-asam lemak. Konsentrasi seng pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang diperkaya-seng adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang tidak diperkaya. Setelah pengayaan seng, rotifera diperkaya dengan asam-asam lemak, dan hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi DHA serta n-3 HUFA pada rotifera adalah lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya setelah pengayaan secara bersamaan dengan seng dan asam-asam lemak. Dengan memperhatikan konsentrasi mineral-mineral lain dalam rotifera setelah pengayaan seng, konsentrasi mangan cenderung menurun ketika konsentrasi seng naik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengayaan rotifera dengan seng dapat dilakukan dengan menggunakan mikroalga yang telah menimbun seng, dan pengayaan rotifera dengan asam-asam lemak juga bisa dicapai setelah pengayaan seng dan sebelum memberi makan larva. Metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkaya zooplankton dengan mineral-mineral lain.
Referensi :
Caric, M., Sanko-Njire, J. and Skaramuca, B. 1993. Dietary effects of different feeds on the biochemical composition of the rotifer (Brachionus plicatilis Müller). Aquaculture, Volume 110, Issue 2, 1 March 1993, Pages 141-150
del Castillo, C.E., Gapasin, R.S. and Leaño, E. M. 2009. Enrichment potential of HUFA-rich thraustochytrid Schizochytrium mangrovei for the rotifer Brachionus plicatilis. Aquaculture, Vol. 293, Issues 1-2, 1 August 2009, pp. 57-61
Frolov, A.V., Pankov, S.L., Geradze, K.N. and Pankova, S.A. 1991. Influence of salinity on the biochemical composition of the rotifer Brachionus plicatilis (Muller) : aspects of adaptation. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology, Volume 99, Issue 4, Pages 541-550
Frolov, A.V., Pankov, S.L., Geradze, K.N., Pankova, S.A. and Spektorova, L.V. 1991. Influence of the biochemical composition of food on the biochemical composition of the rotifer Brachionus plicatilis . Aquaculture. Volume 97, Issues 2-3, 15 September 1991, Pages 181-202
Gatesoupe, F.J. and P. Luquet. 1981. Practical Diet for Mass Culture of The Rotifer Brachionus plicatilis : Application to Larval Rearing of Sea Bass, Dicentrarchus labrax. Aquaculture, Vol. 22, pp. 149 – 163
Hagiwara, A., M.D. Balompapueng, N. Munuswamy and K. Hirayama. 1997. Mass Production and Preservation of The Resting Eggs of The Euryhaline Rotifer Brachionus plicatilis and B. rotundiformis. Aquaculture, Vol. 155, Issues 1–4, pp. 223–230
Hertrampf, J.W. and Piedad-Pascual. F. 2003. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, Netherland. 624 pp
James, C.M., P. Dias and A.E. Salman. 1987. The Use of Marine Yeast (Candida sp.) and Bakers’ Yeast (Saccharomyces cerevisiae) in Combination with Chlorella sp. for Mass Culture of The Rotifer Brachionus plicatilis. Rotifer Symposium IV, Developments in Hydrobiology, Vol. 42, pp. 263-268
James, C.M. and Abu-Rezeq, T.S. 1989. An intensive chemostat culture system for the production of rotifers for aquaculturestar. Aquaculture, volume 81, Issues 3-4, 15 October 1989, Pages 291-301
Jinqiu, W. and L. Deshang. 1997. Effects of Ecological Factors on The Population Dynamics of Brachionus calyciflorus -- The Effect of Light. Transaction of Oceanology and Limnology, Vol. 04
Kennari, A. A., Ahmadifard, N., Seyfabadi, J. and Kapourchali, M. F. 2008. Comparison of Growth and Fatty Acids Composition of Freshwater Rotifer, Brachionus calyciflorus Pallas, Fed with Two Types of Microalgae at Different Concentrations. Journal of the World Aquaculture Society, vol. 39, pp. 235–242
Kotani, T., Genka, T., Fushimi, H., Hayashi, M., Dierckens, K. and Sorgeloos, P. 2009. Effect of cultivation methods on nutritional enrichment of euryhaline rotifer Brachionus plicatilis. Fisheries Sciences, vol. 75, pp. 975–984
Kotani, T., Genka, T., Tanabe, M., Miyashima, A., Fushimi, H. and Hayashi, M. 2010. Effect of Nutritional Enrichment Method on Fatty Acid Contents of Rotifer Brachionus plicatilis. Journal of the World Aquaculture Society, vol. 41, pp. 884–892.
Lubzens, E., G. Kolodny, B. Perry, N. Galai, R. Sheshinski and Y. Wax. 1990. Factors Affecting Survival of Rotifers (Brachionus plicatilis O.F. Müller) at 4°C. Aquaculture, Volume 91, Issues 1-2,pp. 23-47
Lubzens, E., O. Gibson, O. Zmora and A. Sukenik. 1995. Potential Advantages of Frozen Algae (Nannochloropsis sp.) for Rotifer (Brachionus plicatilis) Culture. Aquaculture, Volume 133, Issues 3–4, 15 June 1995, pp. 295 – 309
Maruyama, I., T. Nakao, I. Shigeno, Y. Ando and K. Hirayama. 1997. Application of Unicellular Algae Chlorella vulgaris for The Mass-Culture of Marine Rotifer Brachionus. Hydrobiologia, Vol. 358, Issue 1 - 3, pp. 133 – 138
Matsumoto, S., Satoh, S. , Kotani, T. and Fushimi, H. 2009. Examination of a practical method for zinc enrichment of euryhaline rotifers (Brachionus plicatilis). Aquaculture, Volume 286, Issues 1-2, 7 January 2009, Pages 113-120
Minkoff, G., E. Lubzens and D. Kahan. 1983. Environmental Factors Affecting Hatching of Rotifer (Brachionus plicatilis) Resting Eggs. Hydrobiologia, Vol. 104, Number 1, pp. 61 – 69
Nichols, D.S., Hart, P., Nichols, P.D. and McMeekin, T.A. 1996. Enrichment of the rotifer Brachionus plicatilis fed an Antarctic bacterium containing polyunsaturated fatty acids. Aquaculture, Volume 147, Issues 1-2, 20 November 1996, Pages 115-125
Rainuzzo, J.R., Olsen, Y. and Rosenlund, G. 1989. The effect of enrichment diets on the fatty acid composition of the rotifer Brachionus plicatilis. Aquaculture, Volume 79, Issues 1-4, Pages 157-161
Reitan, K.I., Rainuzzo, J.R., Øie, G. and Olsen, Y. 1997. A review of the nutritional effects of algae in marine fish larvae. Aquaculture, Volume 155, Issues 1-4, 20 September 1997, Pages 207-221
Rodríguez, C., Pérez, J.A., Izquierdo, M.S., Cejas, J.R., Bolaños, A. and Lorenzo, A. 1996. Improvement of the nutritional value of rotifers by varying the type and concentration of oil and the enrichment period. Aquaculture; Vol. 147, Issues 1-2; pp. 93-105
Sayegh, F.A.Q, Radi, N. and Montagnes, D.J.S. 2007. Do strain differences in microalgae alter their relative quality as a food for the rotifer Brachionus plicatilis ? Aquaculture, Volume 273, Issue 4, 20 December 2007, Pages 665-678
Scott, A.P. and Baynes, S.M. 1978. Effect of algal diet and temperature on the biochemical composition of the rotifer, Brachionus plicatilis . Aquaculture, Volume 14, Issue 3, pp. 247-260
Seychelles, L., Audet, C., Tremblay, R., Fournier, R. and Pernet, F. 2009. Essential fatty acid enrichment of cultured rotifers (Brachionus plicatilis, Müller) using frozen-concentrated microalgae. Aquaculture Nutrition, vol. 15, pp. 431–439
Snell, T.W., C.J. Bieberich and R. Fuerst. 1983. The effects of green and blue-green algal diets on the reproductive rate of the rotifer Brachionus plicatilis. Aquaculture, Vol. 31, Issue 1, pp. 21-30
Theilacker, G.H. and M.F. McMaster. 1971. Mass Culture of The Rotifer Brachionus plicatilis and Its Evaluation as a Food for Larval Anchovies. Marine Biology, Vol. 10, Issue 2, pp. 183 - 188
Wacker, A. and Weithoff, G. 2009. Carbon assimilation mode in mixotrophs and the fatty acid composition of their rotifer consumers. Freshwater Biology, vol. 54, pp. 2189–2199
Yoshimura, K., K. Usuki, T. Yoshimatsu, C. Kitajima and A. Hagiwara. 1997. Recent Development of a High Density Mass Culture System for The Rotifer Brachionus rotundiformis Tschugunoff. Hydrobiologia, Vol. 358, Issue 1 - 3, pp. 139 - 144
Yu, J.-P. A. Hino, R. Hirano and K. Hirayama. 1988. Vitamin B12-Producing Bacteria as a Nutritive Complement for a Culture of the Rotifer Brachionus plicatilis. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 54, No. 11, pp. 1873 - 1880
Tidak ada komentar:
Posting Komentar