Minggu, 21 Januari 2018

Pengaruh Salinitas Terhadap Ikan dan Udang

Bab I
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya


Kemampuan Ikan Untuk Beradaptasi Terhadap Perubahan Salinitas

Perairan tawar merupakan medium yang sangat encer dengan konsentrasi garam (0,001 – 0,005 gram mol per liter (M)) jauh di bawah konsentrasi garam darah ikan-ikan air tawar (0,2 – 0,3 M). Air dengan demikian cenderung memasuki tubuh ikan secara osmotik dan garam hilang melalui difusi ke luar tubuh. Meski permukaan tubuhnya ditutupi sisik dan lendir hingga hampir secara total tidak dapat ditembus air, namun pemasukan air dan kehilangan garam dapat terjadi melalui membran insang yang tipis. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada ikan laut. Karena memiliki konsentrasi garam darah yang jauh lebih rendah (0,3 – 0,4 M) daripada air laut di sekelilingnya (sekitar 1 M), mereka cenderung kehilangan air dan kemasukan garam (Hickman and Hickman, 1974).

Hickman and Hickman (1974) menyatakan bahwa kebanyakan ikan bertulang sejati terbatas pada habitat air tawar atau air laut. Bagaimanapun, ada kira-kira 10% dari semua teleostei yang dapat berpindah-pindah dengan mudah di antara kedua habitat tersebut. Contohnya adalah ikan euryhalin (bahasa Latin : eury, lebar + hals, garam), yang pastilah memiliki mekanisme pengaturan osmosis yang sangat adaptif, seperti salmon, steelhead trout, banyak jenis ikan sebelah dan sculpin, killifish, stickleback dan sidat. Ikan yang hanya dapat mentolerir kisaran kadar garam yang sangat sempit disebut stenohalin (Latin : steno, sempit + hals, garam). Kelompok terakhir ini mencakup sebagian besar ikan air tawar dan ikan laut .

Menurut Black (1957) kemampuan ikan air tawar stenohalin untuk bertahan hidup dalam larutan garam tergantung pada histologi insang, luas permukaan insang, laju konsumsi oksigen, toleransi jaringan terhadap garam, dan pengendalian permeabilitas. Pengendalian permeabilitas bisa disebabkan oleh reaksi neurosekresi (hormon) terhadap lingkungan baru, dan bisa juga disebabkan oleh efek langsung terhadap sel-sel permukaan.

Beberapa spesies ikan air tawar peka terhadap perubahan salinitas yang mendadak. Ikan yang baru menetas bisa terbunuh oleh ketidak-seimbangan osmotik bila ia tiba-tiba dipindahkan dari salinitas 1.000 mg/liter ke 50 mg/liter. Ikan dewasa biasanya lebih toleran terhadap perubahan salinitas (Boyd, 1982).

Adaptasi Terhadap Perubahan Salinitas Pada Ikan Teleostei

Black (1957) menyatakan bahwa ikan eurihalin dapat mentolerir kisaran salinitas di perairan . Meskipun beberapa spesies seperti ini tampaknya tidak mempunyai alasan dalam pergerakannya, spesies lain melakukan migrasi pemijahan singkat, biasanya ke perairan tawar atau payau. Berdasarkan hasil pengamatannya, Gunter pada tahun 1942 menyimpulkan bahwa untuk setiap ikan air tawar yang ditangkap di laut di Amerika Utara, ada sembilan spesies ikan laut yang ditangkap di perairan tawar. Tampaknya lebih mudah bagi ikan untuk menyesuaikan dirinya dengan kelebihan air daripada menyesuaikan diri dengan kelebihan garam.

Dua genus ikan yang paling sering diteliti dalam rangka mempelajari anatomi dan fisiologi ikan eurihain adalah Gasterosteus dan Fundulus. Hal yang menarik dari kedua genus ini (dan juga pada ikan Pleuronectes) adalah bahwa setiap spesies berbeda dalam hal kemampuannya beradaptasi. Fundulus diaphanus dan Gasterosteus (atau Pygosteus) pungitius kurang mampu mentolerir air laut dibandingkan Fundulus heteroclitus dan Gasterosteus aculeatus.

Pada semua kasus di mana pengukuran dilakukan terhadap ikan yang berhasil dipindahkan ke lingkungan yang lebih pekat, akan terjadi secara sementara kehilangan berat (air) dan peningkatan konsentrasi garam. Tetapi penyesuaian fisiologis yang diperlukan berlangsung dalam waktu 48 jam dan berat serta konsentrasi kembali normal. Bila, sebaliknya ikan bermigrasi dari laut ke perairan tawar maka mereka akan memperoleh air dan kehilangan garam serta harus menyesuaikan diri dengan peningkatan aliran urin dan penahanan garam di dalam tubuh.

Struktur yang memungkinkan penyesuaian terhadap perubahan salinitas bisa didaftar sebagai berikut :

(1) Permeabilitas permukaan tubuh. Pada migrasi yang berhasil ke atau dari lingkungan yang lebih pekat, rendahnya permeabilitas permukaan tubuh terhadap air (dan garam) merupakan modal yang besar. Sebaliknya, permukaan yang permeabel seperti insang bisa menjadi modal bila membantu penyesuaian terhadap medium baru. Sebagai contoh, individu kecil dari suatu spesies (dengan kepala lebih panjang daripada panjang total) bertahan hidup lebih baik selama pengenceran daripada individu berukuran besar, karena permukaan insang yang lebih luas membantu ikan selama terjadinya stres pernafasan sementara yang disebabkan oleh pengenceran.

(2) Aktivitas ginjal. Ikan yang memasuki perairan tawar harus meningkatkan filtrat glomerular dan aliran urin untuk membuang air yang masuk melintasi permukaan tubuh. Penyerapan-kembali garam oleh tubula ginjal penting di perairan tawar. Ketika memasuki laut, ekskresi urin secara otomatis berkurang karena cairan tubuh menjadi lebih pekat akibat kehilangan air secara osmotik. Ada tidaknya “distal convoluted tubule (tubula menggulung distal)” pada ikan eurihalin dianggap sebagai petunjuk asal medium spesies baru, tetapi tampaknya tidak menjadi faktor pembatas dalam penyesuaian. Bahkan glomerulus tampaknya tidak penting bagi ikan di perairan tawar, karena ikan piperfish dan toadfish aglomerular (tanpa glomerulus) ditemukan di estuaria dan sungai.

(3) Insang. Penelitian yang menarik dan berguna telah dilakukan terhadap sitologi insang di laboratorium. Pada Fundulus tipe sel yang sama bisa bertanggung jawab atas ekskresi dan penyerapan klorida dalam perairan laut dan tawar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel klorida ikan Fundulus heteroclitus beradaptasi lebih cepat terhadap air tawar (4 jam) daripada terhadap air laut (7 – 9 jam). Sel klorida digambarkan sebagai “sel asidofilik berbentuk tiang yang ditemukan dalam filamen insang dan terpusat pada sisi filamen yang dipasok oleh darah aferen”. Ketika mengekskresi klorida, sebuah gelembung eksretori muncul pada ujung bebas sel ini. Telah ditunjukkan bahwa aktivitas sel ini ditentukan oleh konsentrasi lingkungan internal. Bukti untuk fungsi sel di perairan tawar didasarkan pada peningkatan aktivitas fosfatase sel ini. Hasil serupa akan diperoleh ketika mengamati sel-sel insang ikan sidat (Anguiila rostrata). Bagaimanapun, celah seluler pengekskresi klorida pada sel insang sidat tidak hilang ketika ikan ini dipindah ke air laut. Perubahan sitologis dari laut ke perairan tawar terjadi dalam waktu 15 jam pada sidat.

Pusat pengendalian perubahan aktivitas struktur ini dan pengendalian tingkah laku, seperti aktivitas minum air laut, tetapi tidak minum air tawar, belum dapat ditentukan. Pengendalian oleh saraf diduga terlibat, dan aktivitas hormonal telah diteliti. Tiroid aktif (seperti selama migrasi dan pemijahan) mengganggu pengaturan osmotik pada ikan stickleback dan sidat. Sidat dewasa yang telah dibuang hipofisanya dapat mentolerir air laut dan air tawar dengan sama baiknya. Fundulus heteroclitus, sebaliknya, tidak dapat bertahan hidup di dalam air tawar atau air laut encer setelah hipofisektomi (pembuangan hipofisa). Pengamatan terhadap ikan ini menunjukkan terjadinya pembentukan batu ginjal. Telah ditunjukkan bahwa hipofisektomi pada ikan Fundulus heteroclitus menyebabkan atrofi (kondisi jaringan yang tak tumbuh normal) pada sel lendir insang tetapi tidak mempengaruhi sel-sel klorida.

Di alam, perubahan salinitas biasanya perlahan dan ikan bisa mengatur kecepatan perpindahan. Pada kebanyakan prosedur percobaan, bagaimanapun, ikan terkena stres akibat tajamnya perubahan salinitas, penanganan, dll.

Pengaruh Pemindahan Dari Perairan Tawar Ke Laut Terhadap Laju Makan, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Ikan

Sebuah studi telah dilakukan oleh Arnesen et al. (1993) dengan tujuan menentukan perubahan musiman toleransi terhadap air laut dan pertumbuhan ikan anadromus Arctic charr (Salvelinus alpinus L.) yang dipelihara pada suhu yang sama (8°C) selama musim dingin dan musim panas. Ikan charr (panjang 20–27 cm), yang sebelumnya dipelihara di air tawar dengan fotoperiod alami, dipindahkan secara langsung (“pindah langsung”, PL) dari air tawar ke air laut (35 ppt), dari air tawar ke air payau (20 ppt), atau diadaptasikan secara bertahap (“adaptasi bertahap”, AB) ke air laut selama periode 10 hari. Ikan kontrol dipelihara dalam air tawar. Laju makan dan kemampuan osmoregulasi dipantau pada ketiga kesempatan ini selama 59 hari. Dua percobaan telah dilakukan, satu selama musim dingin (Desember – Januari) dan yang lain selama musim panas (Juni – Juli).

Pada kedua percobaan ini Arnesen et al. (1993) mengamati bahwa kematian ikan adalah rendah. Osmolalitas plasma yang dilaporkan pada ikan yang dipindahkan ke air laut ada dalam kisaran normal, tetapi osmolalitas pada hari ke-10, secara nyata lebih rendah pada musim panas (313 mOsm/kg (PL), 328 mOsm/kg (AB)) dibandingkan pada musim dingin (323 mOsm/kg (PL), 352 mOsm/kg (AB)). Pada musim dingin, laju makan dan pertumbuhan adalah tinggi pada ikan yang dipelihara di air tawar dan air payau, tetapi ikan charr yang dipindahkan langsung ke air laut laju makannya rendah dan bobot badannya menyusut. Ikan yang diadaptasikan secara bertahap terhadap air laut menempati posisi pertengahan. Selama musim panas, perbedaan laju makan yang terlihat adalah kecil dan semua ikan memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan Arctic charr menunjukkan perubahan musiman dalam hal laju makan dan pertumbuhan yang sejajar dengan perubahan musiman kapasitas hipoosmoregulasi. Kemampuan untuk bertahan hidup dan melakukan hipoosmoregulasi dalam lingkungan air laut-penuh, bagaimanapun, tampaknya tidak bisa menjadi indikator yang baik bagi keberhasilan adaptasi terhadap air laut dalam hubungannya dengan kemampuan mencapai laju makan dan pertumbuhan yang tinggi. Selama musim dingin, pemindahan ke air laut secara bertahap tampaknya bisa memperbaiki laju makan dan pertumbuhan bila dibandingkan dengan pemindahan secara langsung (Arnesen et al., 1993).

Kemampuan Ikan-Ikan Laut Untuk Memasuki Perairan Tawar

Beberapa peneliti (lihat Black, 1957) mengamati ikan-ikan yang dipindahkan ke medium yang berbeda salinitasnya. Pemindahan eksperimental ikan elasmobranchii laut ke perairan tawar jarang berhasil, meskipun mereka kadang-kadang ditemukan secara alami di sungai-sungai berair tawar. Beberapa spesies bertahan hidup selama jangka waku yang tak dapat ditentukan di dalam air laut encer, dan menunjukkan peningkatan tajam aliran urin. Ikan Pleuronectes (=Platichthys) flesus dapat beradaptasi terhadap air laut encer lebih baik dibandingkan Pleuronectes platessa. Dalam hal ini P. flesus berhenti minum, meningkatkan ekskresi urin dan menahan garam di dalam tubuh. P. flesus dapat menyerap ion-ion dari air tawar dan hanya kehilangan sejumlah kecil garam melalui kulitnya.

Dua spesies ikan aglomerular (tidak memiliki glomerulus) diketahui sering memasuki perairan pasang atau perairan tawar. Hasil-hasil pengamatan sebagaimana yang disebutkan oleh Black (1957) menunjukkan bahwa toadfish (Opsanus tau) memasuki Teluk Chesapeake sedangkan sejenis ikan pipa air tawar, Microphis boaja, memijah di sungai-sungai tropis. Kedua ikan ini tampaknya dapat melakukan penyesuaian osmotik tanpa memerlukan glomerulus.

Black (1957) melaporkan penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa keberadaan garam-garam kalsium dalam air tawar akan meningkatkan secara tajam kelangsungan hidup binatang laut dan eurihalin di dalam medium ini. Hal ini disebabkan kalsium menurunkan permeabilitas sel, baik terhadap garam maupun air. Konsentrasi garam yang lebih tinggi daripada air laut bersifat letal bagi ikan teleostei laut bila kapasitas insang untuk mensekresi garam terlampaui dan garam tertimbun di dalam jaringan ini.

Aklimasi Eksperimental Terhadap Air Tawar Pada Ikan Belanak

Chervinski (1975) mempelajari daya adaptasi ikan belanak abu-abu Liza aurata terhadap berbagai konsentrasi garam. Ikan muda belanak abu-abu (panjang total 20 – 40 mm) dikenai perubahan salinitas, secara mendadak dan bertahap, dari air laut ke air tawar. Pada ikan ini, kematian tidak terjadi akibat penurunan salinitas, bahkan pada saat perubahan mendadak dari 100% air laut (salinitas 39 ppt) ke 10% air laut (salinitas 3,9 ppt). Namun, semua ikan mati akibat penurunan salinitas yang mendadak dari 100% air laut ke 100% air tawar (salinitas 0,4 ppt). Dengan penurunan salinitas perlahan-lahan hingga mencapai 10% air tawar (salinitas 0,4 ppt) semua ikan bertahan hidup. Pengamatan menunjukkan bahwa Ikan Liza aurata muda (70 - 80 mm) mengalami pertumbuhan di kolam air tawar.

Stres dan Mortalitas Ikan Laut Akibat Pemindahan Dari Air Laut Ke Air Tawar

Tiga puluh lima ikan American shad (Alosa sapidissima) telah dipindahkan dengan cepat (2,5 jam) dari air asin ke air tawar. Perubahan konsentrasi komponen darah yang aktif secara osmotik dan mortalitas ikan telah diamati selama dan setelah pemindahan ini. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan 20 ikan shad yang dipelihara dalam air asin pada kondisi yang sama dan dengan 44 ikan shad yang baru ditangkap dari laut dan dari perairan tawar (40 km dari pertemuan air laut – air tawar). Konsentrasi natrium dan klorida dalam darah kelompok ikan yang dipindah menurun tajam selama dan setelah pemindahan. Konsentrasi kalsium, glukosa dan asam laktat meningkat, sedangkan konsentrasi kalium dan magnesium tetap stabil. Ikan shad yang dipindah banyak yang mati mulai jam ke-5 setelah salinitas mulai berkurang. Tidak ada yang mati pada kelompok ikan yang dipelihara di air asin. Disimpulkan bahwa perilaku renang berbelok-belok yang ditunjukkan ikan shad dewasa di daerah pertemuan air asin – air tawar selama migrasi musim semi di Sungai Connecticut merupakan respon perilaku untuk memperlambat peralihan dari lingkungan air asin ke air tawar, sehingga bisa meminimkan stres fisiologis dan/atau untuk memungkinkan pemulihan sepenuhnya dari stres ini sebelum melanjutkan migrasi ke hulu sungai (Leggett and O'Boyule, 1976).

Pengaruh Perubahan Salinitas Terhadap Osmoregulasi dan Morfologi Sel Klorida Pada Juvenil Ikan Kakap

Pengaruh pemindahan-cepat juvenil ikan Australian snapper, Pagrus auratus, dari lingkungan air laut (30‰) ke lingkungan hiperosmotik pekat (45‰) dan hiperosmotik encer (15‰) terhadap osmolalitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- dalam serum, hematokrit darah dan morfologi sel klorida insang telah diamati oleh Fielder et al. (2007) selama 168 jam setelah pemindahan tersebut. Osmolallitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- meningkat setelah 24 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰. Sebaliknya, setelah 24 jam di dalam media bersalinitas 15‰, konsentrasi K+ tidak berubah tetapi osmolalitas serum, konsentrasi Na+ dan Cl- berkurang. Perubahan kimia serum bersifat sementara dan kembali ke nilai-nilai awal setelah 168 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰ dan 15‰. Pemindahan dari lingkungan bersalinitas 30‰ ke 45‰ dan 15‰ tidak mempengaruhi hematokrit darah (hematocrit = perbandingan volume sel darah merah dengan volume total darah).

Sel klorida insang ditemukan baik pada epitelia filamen maupun epitelia lamelar pada semua perlakuan salinitas. Identifikasi sel klorida dilakukan dengan teknik pewarnaan imunositokimia dengan menggunakan antiserum khusus untuk Na+, K+-ATPase. Pada media bersalinitas 45‰, jumlah sel klorida filamen dan lamelar tidak berubah, tetapi sel klorida filamen lebih melimpah daripada sel klorida lamelar. Sebaliknya, sel klorida filamen meningkat ukurannya setelah 72 jam dan pada jam ke-168 setelah pemindahan dari 30‰ ukurannya menjadi 1,4 kali lebih besar daripada ukuran awal. Pada media bersalinitas 15‰, jumlah sel klorida filamen serta ukuran sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar berkurang setelah 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan snapper dapat berosmoregulasi pada kisaran salinitas yang lebar dan membuktikan bahwa baik sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar bertangung jawab atas ekskresi garam yang berlebihan pada lingkungan hiperosmotik. Kemampuan ikan snapper untuk beradaptasi dengan cepat dan mempertahankan homeostasis (keseimbangan) dalam kisaran salinitas yang lebar mendukung fakta bahwa ikan snapper merupakan spesies yang cocok untuk budidaya kolam berbasis-darat, di mana salinitas dapat berfluktuasi dengan cepat (Fielder et al., 2007).

Adaptasi Terhadap Salinitas Selama Migrasi Pada Ikan Salmon

Smith (1982) menyatakan bahwa perbedaan utama antara “smolting migration” (migrasi atau ruaya ke arah hilir sungai yang bersamaan dengan perkembangan larva salmon menjadi smolt) dan migrasi pemijahan adalah bahwa migrasi pemijahan mungkin merupakan akhir bagi individu banyak spesies. Sedangkan migrasi ke hilir menjamin kelangsungan hidup kebanyakan individu. Respon terhadap stres karena migrasi ke hilir tidak seberapa besar dibandingkan dengan arti penting kelangsungan hidup ikan, sebaliknya bila ruaya ini tidak dilakukan maka tidak akan ada ruaya pemijahan. Karena ikan raibow trout memerlukan tiga atau empat hari untuk beradaptasi di dalam salinitas yang perlahan-pelahan meningkat sebelum mereka dapat bertahan hidup di dalam air laut murni, maka diduga bahwa ikan salmonidae peruaya memerlukan periode peralihan. Hal ini tidak terjadi di alam, kecuali bila estuarianya memanjang sehingga perubahan salinitas berlangsung secara perlahan-lahan. Ini bukanlah persyaratan fisiologis. Perubahan salinitas secara mendadak tidak menyebabkan kematian ikan yang siap menghadapi perubahan seperti ini.

Lebih lanjut, Smith (1982) menambahkan bahwa perilaku menyukai air laut (yang disebabkan oleh hormon tiroksin) menjaga ikan agar tetap menjalankan pola osmoregulai air laut dan mencegah ikan untuk kembali ke perairan tawar apabila ada perairan tawar di estuaria. Arti penting kesukaan terhadap air laut ini terlihat di dalam laboratorium : toleransi terhadap air tawar yang ditunjukkan oleh smolt ikan chinook salmon di dalam air laut baru menghilang hampir sebulan sesudah mereka memasuki laut. Mereka masih bertahan hidup bila dikembalikan ke air tawar murni 8 sampai 10 hari sesudah hidup di dalam air laut. Mereka memiliki kemampuan penuh untuk bertahan hidup di dalam air tawar, bila mereka menghendakinya. Pada kasus lain dalam pengamatan laboratorium, smolt ikan coho salmon menghabiskan waktu hampir sebulan di dalam air laut dan kemudian bertahan hidup dengan baik ketika dikembalikan ke air tawar. Sebaliknya, seekor ikan coho dewasa yang sudah ada di dalam air tawar selama tidak lebih dari tiga hari dan kemudian dikembalikan ke air laut ternyata mati dalam waktu semalam, mungkin akibat dehidrasi. Jadi smolt ikan salmon tampaknya jauh lebih tahan dan lebih kurang menderita stres selama migrasinya dibandingkan ikan dewasa. (Catatan : smolt adalah ikan trout atau salmon muda yang bermigrasi ke laut untuk pertama kalinya).

Pengaturan Daya Apung Pada Ikan Stickleback Sebagai Respon Terhadap Perubahan Salinitas Air

Gee dan Holst (1992) melaporkan bahwa ikan stickleback Culaea inconstans dan Pungitius pungitius mempertahankan keseimbangan daya apung dalam percobaan laboratorium dengan mengubah volume gelembung renang bila dimasukkan ke dalam air bersalinitas 0 sampai 22,5 ppt. Dengan membiarkan ikan Culaea inconstans di dalam larutan Percoll yang densitas airnya bisa dinaikkan tetapi tekanan osmotiknya sama seperti air tawar, kedua peneliti tersebut membuktikan bahwa spesies ini menyesuaikan daya apungnya sebagai respon terhadap perubahan densitas air. Bila Culaea inconstans dipindahkan secara mendadak dari air tawar ke air payau (salinitas 10 ppt) maka kesimbangan daya apungnya tidak tercapai hingga 96 jam kemudian. Selama periode penyesuaian gelembung renang ini, gaya hidrodinamik dimanfaatkan untuk memberikan daya angkat yang dibutuhkan. Kedua spesies ikan ini menghadapi perubahan salinitas di alam, dan kemampuan untuk berespon terhadap perubahan seperti ini sangat penting bagi keberhasilan adaptasi.

Kerusakan Patologis Jaringan Otot Ikan Akibat Gangguan Keseimbangan Garam-Air

Kuz’mina et al. (1992) melaporkan kerusakan patologis jaringan otot pada ikan sturgeon Rusia (Acipenser gueldenstaedti), sterlet (Acipenser ruthenus) dan stellata sturgeon (Acipenser stellatus) disertai oleh gangguan pertukaran air dan elektrolit di dalam jaringan otot itu : penurunan kandungan air total, peningkatan proporsi cairan ekstraselular dan perubahan kandungan elektrolit. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan sifat-sifat materi interseluler. Serum darah menunjukkan peningkatan yang jelas dalam hal konsetrasi kalsium yang diyakini merupakan reaksi kompensasi ikan ini untuk menormalkan fungsi jaringan otot dan jaringan lainnya.

Aklimasi Ikan Laut Terhadap Salinitas Rendah

Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa di antara ikan-ikan laut bertulang keras, seperti halnya ikan air tawar bertulang keras, ada beberapa spesies yang lebih bersifat – dan yang lainnya kurang bersifat – stenohalin. Penyesuaian terhadap konsentrasi garam yang lebih tinggi dan lebih rendah bisa dilakukan. Ikan belodok (Periophthalmus) sering ditemukan di dalam genangan air pasang surut terisolasi bersalinitas 4,5 persen; dan banyak spesies ikan laut bisa perlahan-lahan menyesuaikan diri untuk hidup di perairan payau bahkan di perairan yang hampir tawar. Pemindahan langsung dari salinitas 3,5 persen ke 0 persen sering berbahaya bahkan bagi spesies yang toleran misalnya ikan bandeng (Chanos chanos). Satu faktor penting pada ikan laut dalam penyesuaian terhadap salinitas yang diturunkan adalah keberadaan ion-ion kalsium berkonsentrasi tinggi. Karena kalsium mengurangi permeabilitas sel terhadap garam dan air, maka ikan Halichoeres bivittatus, seperti halnya ikan wrasse penghuni terumbu karang (famili labridae), bisa tetap sehat dan makan di dalam campuran larutan kurang dari 1/10 air asin dan 9/10 air tawar yang disaring melalui pasir karang berkapur.

Bab II
Toleransi dan Pengaruh Salinitas Pada Ikan


Toleransi Ikan Air Tawar Terhadap Salinitas

Tekanan osmotik air meningkat dengan meningkatnya salinitas. Darah ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik kira-kira sama dengan tekanan 6 atmosfer, atau sekitar 7.000 mg/liter natrium klorida; ikan air tawar dapat hidup dengan baik di dalam air laut yang diencerkan sampai tingkat ini. Padatan terlarut sampai konsentrasi 2.000 mg/liter tidak berbahaya bagi ikan dan organisme air tawar. Beberapa spesies ikan air tawar peka terhadap perubahan salinitas yang mendadak. Ikan yang baru menetas bisa terbunuh oleh ketidakseimbangan osmotik bila ia dipindahkan dari salinitas 1.000 mg/liter ke 50 mg/liter. Ikan dewasa biasanya lebih toleran terhadap perubahan salinitas. Natrium klorida bisa digunakan untuk meningkatkan salinitas di kolam pemeliharaan dan kolam kecil percobaan. Sering tidak praktis untuk menyesuaikan salinitas di kolam besar, kecuali di kolam air payau di mana air laut bisa dimasukkan dengan memanfaatkan arus gravitasi atau arus air pasang (Boyd, 1982).

Boyd (1982) menyatakan bahwa secara umum salinitas biasanya tidak menjadi faktor penting dalam budidaya ikan. Lebih lanjut, perbedaan proporsi ion-ion utama biasanya tidak banyak mempengaruhi pengelolaan kolam ikan. Sebagai contoh, air dengan salinitas 75 mg/liter dan senyawa bikarbonat dan karbonat alkali tanah yang dominan dapat menghasilkan ikan sebanyak yang dihasilkan oleh air bersalinitas 500 mg/liter yang sangat kaya akan natrium, klorida dan sulfat di samping senyawa karbonat dan bikarbonat alkali tanah. Dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain adalah sama, maka prosedur yang pada dasarnya identik bisa digunakan dalam kedua jenis kolam tersebut untuk meningkatkan produksi ikan.

Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa ada perbedaan besar di antara ikan-ikan air tawar dalam hal toleransi garam sedemikian hingga kita bisa menyusun mereka menjadi kelompok : (1) stenohalin, yaitu relatif tidak toleran terhadap perubahan salinitas, (2) ikan-ikan air tawar pada umumnya, dan (3) eurihalin, yakni toleran terhadap perubahan konsentrasi garam. Di antara kelompok yang terakhir ini adalah banyak spesies ikan diadromus, seperti ikan sidat (Anguilla), salmon Atlantik (Salmo salar) dan juga beberapa jenis ikan stickleback (Gasterosteus) dan ikan killifish (Fundulus).

Di antara kelompok ikan stenohalin, ada variasi dalam hal kemampuan menyesuaikan diri terhadap salinitas yang lebih besar daripada salinitas normal; ikan karper (Cyprinus) dan ikan mas koki (Carassius) dapat mentolerir salinitas sampai 17 ppt, yang setara dengan penurun titik beku – 0,9 °C dan juga setara dengan konsentrasi garam-garam yang agak jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi garam di dalam tubuhnya. Konsentrasi garam jaringan dan garam urin meningkat pada kondisi seperti ini dan pembuangan urin berkurang karenanya. Makin lambat perkembangan kondisi eksternal penyebab stres seperti ini yang dihadapi ikan, makin besar toleransi ikan tersebut terhadap perubahan ini. Kemampuan ikan air tawar untuk menyesuaikan diri terhadap garam-garam non toksik berkonsentrasi tinggi juga tergantung pada faktor-faktor spesifik-spesies seperti rasio luas insang terhadap luas permukaan tubuh, histologi insang, kontrol neurosekresi dan/atau kontrol hormonal terhadap permeabilitas membran serta konsentrasi oksigen dan suhu. Juga ada variasi fisiologis antar spesies yang dipengaruhi oleh ras dalam hal fungsi pengaturan ini (Lagler et al., 1977).

Toleransi Salinitas Pada Larva Ikan Macquaria

Burke (1992) memberikan laporan singkat mengenai percobaan yang dilakukan untuk menentukan pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup larva ikan Macquaria novemaculeata. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk memelihara larva ikan Macquaria novemaculeata yang masih berkantung kuning telur di dalam media bersalinitas 15 gram/liter selama satu minggu dan kemudian memindahkannya ke kolam yang telah disiapkan dengan salinitas sisa 2 gram/liter. Di dalam habitat baru ini larva tersebut masih dapat bertahan hidup tergentung pada kemampuannya untuk menemukan sumber makanan yang sesuai dan kemampuannya menghindari pemangsa yang mungkin ada.

Toleransi Terhadap Salinitas Rendah Pada Ikan Laut Clupeidae

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa, dengan beberapa kekecualian, ikan Clupeiformes terdapat di atau di dekat paparan benua dan sering kali mereka merupakan ikan pesisir sejati, dengan kemampuan toleransi yang besar terhadap salinitas rendah, meskipun tidak semua spesies bersifat eurihalin. Dalam satu spesies tunggal, seperti Sardinella, ada keragaman yang besar dalam hal toleransi terhadap salinitas rendah; ikan Atlantik tropis Sardinella aurita bersifat sangat stenohalin (atau setidaknya tidak ditemukan di perairan dengan salinitas kurang dari sekitar 35 promil), walaupun belum jelas apakah hal ini disebabkan oleh persyaratan ekologis yang mengharuskan ikan ini hidup di perairan bersalinitas tinggi ataukah disebabkan oleh ketidak mampuan fisiologis untuk mentoleransi salinitas rendah. Sebaliknya, ikan Sardinella maderensis dari Teluk Guinea secara teratur memasuki perairan estuaria dengan salinitas sedikitnya 20 promil.

Tampaknya, genus-genus ikan clupeidae anadromus (Hilsa, Macrura) bersifat toleran terhadap perairan yang sangat tawar. Walaupun ikan clupeidae anadromus penghuni perairan beriklim sedang dan subtropis (misalnya Alosa, Dorosoma, Pomolobus) terdapat baik di Samudra Atlantik maupun Indo-Pasifik, tidak ditemukan adanya ikan clupeidae yang berenang naik ke hulu sungai di Atlantik tropis maupun di Pasifik timur tropis. Sedikit spesies ikan clupeidae kecil non-migrasi menghuni perairan pesisir yang tawar, seperti ikan Afrika Barat kecil Pellonula vorax yang ditemukan di estuaria bagian atas tetapi tampaknya tidak pernah turun ke laut. Demikian pula, ikan Rhinosardinia menunjukkan tingkah laku yang sama di Amerika Selatan, serta Microthrissa dan Pellonula di Indo-Pasifik dijumpai hanya di kepala estuaria (Longhurst dan Pauly, 1987).

Pengaruh Salinitas Terhadap Distribusi Ikan Juvenil Di Laguna

Zambriborshch dan Dumbuya (1990) melakukan studi untuk mempelajari komposisi, kelimpahan relatif dan distribusi ikan juvenil di sebuah laguna. Dua puluh delapan spesies ikan juvenil telah ditemukan di Laguna Dniester, Ukraina, pada tahun 1986. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa distribusi ikan-ikan juvenil tersebut dipengaruhi oleh salinitas. Jumlah spesies dalam kompleks air tawar meningkat dari zona arah-laut ke zona atas (arah-darat), dan jumlah spesies Ponto-Caspian dari zona atas ke zona arah-laut juga meningkat. Ikan roach, ikan azov kilka, ikan carassius dan gobi ditemukan dengan frekuensi tinggi, yakni 75 – 92 %. Pada kebanyakan kasus, ikan bream, roach, zander, percarina dan gobi bertanggung jawab atas lebih dari 46 % kelimpahan total.

Pengaruh Perubahan Salinitas Terhadap Asam Lemak Ikan

Bell et al. mengulas hasil-hasil penelitian tentang pengaruh perubahan salinitas terhadap asam lemak ikan. Pada usus ikan trout rasio asam lemak tak jenuh terhadap asam lemak jenuh di dalam fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin adalah jauh lebih besar untuk ikan yang melakukan adaptasi terhadap air laut, hal ini diakibatkan oleh besarnya peningkaan jumlah asam lemak 22:6 (n-3). Hal ini menyebabkan peningkatan fluiditas membran yang terjadi tanpa mengubah kandungan kolesterol atau komposisi gugus kepala fosfolipida. Penelitian pada ikan guppy juga menunjukkan adanya peningkatan PUFA (poly unsaturated fatty acid; asam lemak poli tak jenuh), terutama asam lemak 22:6 (n-3) untuk ikan yang beradaptasi terhadap air laut tetapi, berlawanan dengan ikan trout, mereka juga menunjukkan bahwa proporsi fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin berubah dalam berbagai jaringan. Bagaimanapun, tidak ditemukan adanya perubahan komposisi asam lemak pada insang ikan sidat air tawar yang beradaptasi terhadap air laut. Jadi, ada perbedaan hasil beberapa penelitian mengenai apakah terjadi perubahan komposisi asam lemak pada ikan yang berdaptasi terhadap air laut. Adalah mungkin bahwa jaringan tubuh yang berbeda, terutama jaringan epitel yang bersentuhan langsung dengan lingkungan luar, memberikan respon yang berbeda pada spesies yang berbeda bahkan pada spesies yang sama, tergantung pada kemampuan spesies ikan tersebut untuk melakukan osmoregulasi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bolis dkk pada tahun 1984 menunjukkan bahwa penurunan pH air akan meningkatkan kandungan PUFA dalam insang ikan trout.

Pengaruh Garam Pakan dan Salinitas Air Terhadap Pertumbuhan Ikan Sciaenops

Gatlin et al. (1992) melakukan tiga percobaan pemberian pakan selama delapan minggu untuk menentukan pengaruh garam-garam makanan pelengkap terhadap pertumbuhan dan osmoregulasi pada ikan red drum (Sciaenops ocellatus) muda pada berbagai salinitas air. Pada setiap percobaan, garam natrium klorida ditambahkan ke dalam pakan utama yang tersusun dari komponen semi murni dan praktis; pakan utama menyediakan 0,80 % klor, 0,84 % kalium dan 0,92 % natrium berdasarkan berat kering.

Dalam air tawar, ikan red drum yang diberi pakan utama yang dilengkapi dengan 2 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang lebih besar dan efisiensi pakan yang lebih tinggi secara nyata (P < 0,05) daripada ikan yang diberi pakan utama saja. Dalam air payau (salinitas 5 ppt), ikan yang diberi pakan yang ditambahi 2 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang secara numerik lebih besar tetapi tidak nyata (P = 0,076) dari pada perolehan berat untuk ikan yang diberi pakan utama. Dalam air laut buatan berkekuatan-penuh (salinitas 35 ppt), ikan yang diberi pakan yang dilengkapi dengan 2 dan 10 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang tidak berbeda nyata (P = 0,23) dibandingkan pada ikan yang diberi pakan utama, dan ikan yang diberi pakan yang dilengkapi dengan 10 % NaCl menunjukkan penurunan efisiensi pakan yang nyata. Tidak ada garam-garam pelengkap yang secara nyata mempengaruhi osmolalitas darah atau konsentrasi hormon tiroid total pada empat minggu atau mempengaruhi kemampuan ikan yang dipelihara dalam air tawar atau payau untuk bertahan hidup ketika dipindahkan ke air laut berkekuatan-penuh pada 8 minggu (Gatlin et al., 1992).

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan NaCl ke dalam makanan memperbaiki pertumbuhan ikan red drum dalam air encer (tawar dan payau), tetapi tidak dalam air laut berkekuatan-penuh. Garam-garam makanan untuk ikan red drum dalam air encer mungkin menyediakan ion-ion yang yang kurang cukup dapat diserap oleh ikan dari lingkungannya yang hipotonik (Gatlin et al. , 1992).

Pengaruh Salinitas Terhadap Tumor Pada Ikan

Berthiaume et al. (1993) mempelajari pengaruh salinitas terhadap kejadian tumor kulit pada ikan. Lymphocystis disease virus (LDV), sejenis iridovirus, merupakan agen penyebab tumor kulit jinak yang diamati banyak menyerang berbagai jenis ikan teleostei. Penyakit ini tampaknya sering terjadi, tetapi perwujudannya kurang dipahami karena kesulitan dalam mengisolasi dan mengkultur virus tersebut secara in vitro. Ikan sebelah Amerika (Hippoglossoides platessoides) telah ditangkap dengan jaring trawl di Teluk St. Lawrence dan kemudian diaklimatisasi selama sedikitnya 6 minggu di dalam tempat terkurung. Ikan ini kemudian dipaparkan terhadap berbagai salinitas yang lebih rendah dan diuji secara teratur selama periode enam minggu. Tumor limfokistis dicatat dan sampelnya diamati di bawah mikroskop elektron. Analisis statistik menunjukkan secara nyata peningkatan kejadian tumor dalam kaitannya dengan menurunnya salinitas sampai 7 gram/liter dan meningkatnya lama waktu pemaparan (exposure time) sampai 42 hari. Iridovirus ini terlihat melalui pengamatan mikroskop elektron ada di dalam tumor ikan.

Pengaruh Salinitas Terhadap Faktor Kondisi Pada Ikan Coregonus

Griffiths et al. (1992) menjelaskan kecenderungan pertumbuhan dan kondisi ikan Arktik cisco Coregonus autumnalis dan ikan broad whitefish Coregonus nasus di daerah Teluk Prudhoe, Alaska utara, untuk mempelajari efek subletal perubahan hidrografi akibat pembangunan causeway menuju Laut Beaufort. (catatan : causeway adalah jalan yang ditinggikan yang melintasi daerah rawa-rawa). Pertumbuhan ikan kelas umur-1 dan kelas umur-2 untuk kedua spesies berkorelasi positif dengan suhu. Korelasi antara kondisi (bobot badan basah total pada panjang tertentu) dengan suhu kurang erat dibandingkan korelasi antara pertumbuhan dan suhu. Bagaimanapun, ikan broad whitefish kecil, yang tidak mengembara jauh dari mulut sungai, menunjukkan asosiasi positif antara kondisi dan salinitas. Sebaliknya, ikan broad whitefish besar, yang mengembara jauh dari sungai, menunjukkan asosiasi negatif dengan salinitas. Daerah pencarian makan ikan broad whitefish besar mungkin dibatasi oleh masa air bersalinitas tinggi yang, bagaimanapun, membawa mangsa dengan level lebih besar dari pada normal ke habitat di dekat delta sungai di mana banyak terdapat ikan broad whitefish kecil. Ikan Arktik cisco tampaknya dapat mengeksploitasi suhu atau salinitas pada kisaran lebar dengan baik. Pertumbuhan ikan Arktik cisco dan broad whitefish kelas umur-1 dan kelas umur-2 diperkirakan bisa berkurang rata-rata sebesar 4 - 6 % akibat perubahan suhu yang disebabkan oleh pembangunan causeway. Besarnya perubahan ini diyakini tidak penting bagi ekologi kedua spesies ikan tersebut.

Pengaruh salinitas terhadap distribusi ikan laut dan CPUE

Cyrus dan Blaber (1992) melakukan studi untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap distribusi ikan di sebuah estuaria di Australia utara tropis. Salinitas bervariasi secara nyata selama periode penelitian yang berlangsung dua setengah tahun dan tampak jelas bahwa ada tiga pola musiman. Ketiga pola ini berkaitan dengan musim hujan, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama ketiga musim tersebut timbul gradien salinitas yang jelas. Gradien salinitas ini merupakan kelanjutan dari gradien serupa yang ada di lingkungan laut sekitarnya di teluk Albatros. Derajat dan kisaran salinitas ini sangat ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan-air Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola salinitas di estuari ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kepadatan ikan di dalam estuari adalah berkorelasi dengan salinitas. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE; hasil tangkap per satuan upaya) untuk setiap spesies ikan telah ditentukan dalam kisaran salinitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola-pola yang berkaitan dengan salinitas ditemukan pada 30 dari 45 spesies ikan yang diamati.

Pengaruh Salinitas Terhadap Migrasi dan Hasil tangkap Ikan Belanak

Vieira dan Scalabrin (1991) mempelajari distribusi, statistik perikanan, migrasi pemijahan dan rekruitmen ikan belanak, Mugil platanus, di estuaria Lagoa dos Patos dan pesisir Brazil selatan. Antara tahun 1978 dan 1982 total tangkapan ikan belanak ini adalah sekitar 6.000 ton per tahun. Korelasi positif ditemukan antara total tangkapan tahunan dan rata-rata salinitas estuaria Lagoa dos Patos. Selama bulan April dan Mei ikan dewasa matang gonad mulai melalukan migrasi reproduksinya keluar dari estuaria akibat turunnya suhu air serta masuknya air laut ke dalam laguna dos Patos. Pemijahan terjadi di perairan lepas pantai dari Mei sampai Agustus; telur dan larvanya dihanyutkan ke pantai dan ke arah selatan oleh arus pesisir selatan. Rekruitmen di estuaria Lagoa dos Patos berlangsung sepanjang tahun dengan puncak kelimpahan selama musim dingin dan musim semi.

Pengaruh Salinitas Terhadap Kesuburan, Ukuran dan Komposisi Kimia Telur Ikan

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap kesuburan telur ikan. Lama kesuburan telur ikan dalam media pemijahan alami dapat disamakan dengan lama kesuburan sel sperma dan, secara umum, kesuburannya lebih singkat dalam air tawar daripada dalam air laut. Pada telur ikan salmonidae, kesuburan telur menurun tajam pada medium air tawar dalam waktu 30 detik. Bagaimanapun, telur ikan cod (Gadus morhua) tetap sangat subur pada media air laut (salinitas 34 promil) selama 15 menit.

Penurunan kesuburan telur dalam media air tawar berbarengan dengan penutupan lubang micropyle, atau terputusnya hubungan antara micropyle dengan membran kuning telur. Ketidakmampuan untuk mempertahankan osmoregulasi, pengaktivan yang tidak sempurna, atau perkembangan partenogenetik merupakan sebab-sebab singkatnya lama kesuburan telur dalam air laut.

Kamler (1992) mengulas secara ringkas pengaruh salinitas terhadap ukuran dan komposisi kimia telur ikan. Ada kecenderungan untuk memproduksi telur yang lebih kecil di dalam air laut, meskipun kisaran ukuran telur untuk ikan laut dan ikan yang memijah di perairan tawar bertumpang tindih dengan jelas. Hal yang sama berlaku untuk kandungan kalori bahan kering telur yang menunjukkan lebih rendahnya persentase lipida dalam telur ikan laut, sedangkan hidrasi dan kandungan garam mineral lebih tinggi pada telur ikan laut.

Pengaruh Salinitas Tinggi Terhadap Perilaku dan Fisiologi Ikan Air Tawar Poecilia

Aktivitas perilaku dan perubahan histokimia pada mukopolisakarida, ATPase dam enzim-enzim pernafasan di dalam epitel insang ikan air tawar Poecilia reticulata Peters telah diamati oleh Gargiulo et al. (1992) pada waktu-waktu yang berbeda setelah dipaparkan terhadap air laut 100 %. Stres akut telah diamati dalam enam jam pertama, yang disertai dengan perubahan perilaku dan histokimia. Sampai selama 6 jam terlihat adanya penurunan aktivitas reaksi succinic-dehydrogenase, sitokrom oksidase, ATPase dan mukopolisakarida. Setelah enam jam pertama terjadi peningkatan tajam dalam hal konsentrasi ATPase dan enzim-enzim pernafasan hingga nilai-nilai tersebut sama dengan konsentrasinya pada ikan kontrol pada hari ke-7. Reaksi mukopolisakarida perlahan-lahan berkurang dan hilang sama sekali pada hari ke-7. Adaptasi perilaku berubah pada waktu yang sama, dan aktivitas tingkah laku kembali normal pada 24 jam. Diduga ada hubungan antara fleksibiltas adaptif ikan Poecilia reticulata dengan ciri-ciri morfologis dan fisiologis.

Bab III
Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)


Pengaruh Interaksi Salinitas dan pH Terhadap Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Udang Windu

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa tingkat-tingkat kritis pH rendah untuk udang windu muda Penaeus monodon (bobot rata-rata 4,2 – 5,5 gram) telah ditentukan dengan menggunakan bioesei statik dengan media berupa air laut yang diasamkan dengan asam hidroklorat (HCl). Nilai pH letal (LC50 96 jam) adalah 3,7 (batas-batas selang kepercayaan 95 % : 3,4 dan 4,1) pada salinitas 32 ppt. Nilai pH minimum yang dapat diterima, yang didefinisikan sebagai nilai pH yang menurunkan pertumbuhan sebanyak 5 % selama 23 hari, diduga adalah 5,9 pada salinitas 30 ppt. Dibandingkan dengan pH 7,8, udang yang dalam jangka panjang (23 hari) dikenai pH rendah (4,9) pada salinitas 30 ppt mengalami penurunan secara nyata kadar bahan kering (P < 0,001) dan peningkatan frekuensi ganti kulit/molting (P < 0,05). Untuk udang yang dipelihara dalam berbagai kombinasi pH (5,5 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt), pertumbuhan dihambat oleh pH rendah (P < 0,001) tetapi tidak dipengaruhi oleh salinitas (P > 0,05), sedangkan interaksi pH x salinitas adalah nyata (P < 0,05).

Dalam sebuah percobaan faktorial terpisah dengan udang yang dipelihara pada berbagai kombinasi pH (5,6 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt) osmoregulasi hemolimfa menjadi lebih buruk pada salinitas tinggi (P < 0,001) dan pH rendah (P < 0,01), dibandingkan dengan pada salinitas rendah dan pH tinggi, namun tidak ada interaksi yang nyata (P > 0,05). Pendugaan nilai-nilai pH rendah letal dan minimum yang dapat diterima akan membantu petani udang dalam mengelola kolam asam.

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Udang Penaeus

Gaudy dan Sloane (1981) meneliti pengaruh salinitas terhadap konsumsi oksigen pada udang budidaya Penaeus monodon Fabricius dan P. stylirostris Stimpson tahap post larva (32 dan 35 hari setelah metamorfosis, berturut-turut). Pada kedua spesies, tidak ada perbedaan antara individu yang tidak diaklimasikan dan yang diaklimasikan-sepenuhnya. Laju metabolik tidak dipengaruhi oleh variasi salinitas, tetapi Penaeus stylirostris menunjukkan kecenderungan (tidak nyata pada P < 0,05) untuk meningkatkan respirasi pada salinitas rendah.

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsentrasi Kalsium Darah dan Ganti Kulit Pada Udang Windu

Parado-Estepa et al. (1989) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon telah diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984 dan 1985 kemudian dipelihara dalam salinitas 8 sampai 44 permil. Total konsentrasi kalsium hemolimfa sangat dipengaruhi oleh tahap ganti kulit (molting) dan kurang terpengaruh oleh salinitas. Peningkatan secara tajam konsentrasi kalsium hemolimfa terjadi pada 3 sampai 6 jam setelah ganti kulit, diikuti oleh penurunan yang sama tajamnya pada 6 jam setelah ganti kulit sampai fase intermolting. Respon dua-fase ini terbatas pada udang yang dipelihara dalam salinitas 8, 20 dan 32 permil; dalam salinitas 44 permil, konsentrasi kalsium hemolimfa tetap sama di sepanjang periode sampling. Puncak konsentrasi kalsium total adalah lebih tinggi pada salinitas rendah (8 dan 20 permil) dibandingkan pada salinitas tinggi. Salinitas tidak berpengaruh terhadap lama siklus ganti kulit juga tidak terhadap waktu terjadinya ganti kulit. Hampir setengah kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 18.01 dan 0.00, dan sepertiga kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 0.01 dan 06.00.

Osmoregulasi Pada Udang Windu Selama Ganti Kulit Dalam Berbagai Salinitas

Ferraris et al. (1987) mempelajari pengaruh ganti kulit (molting) terhadap osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah udang windu Penaeus monodon Fabricius (20 ± 3 g) pada berbagai salinitas. Udang diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984. Mereka ditebarkan dalam salinitas 8, 20, 32 dan 44 permil, selanjutnya hemolimfa udang disampling selama ganti kulit (waktu 0) dan kemudian 0.125, 0.25, 0.5, 1, 2, 4, 6, 10 dan 14 hari setelah ganti kulit. Pada udang selama dan segera setelah ganti kulit, osmolalitasnya cenderung sesuai dengan osmolalitas lingkungan. Pada tahap-tahap pasca ganti kulit berikutnya, ada perbedaan yang makin besar antara salinitas hemolimfa dengan salinitas eksternal. Titik isoosmotik adalah lebih tinggi (940 ± 30 mOsm/ kg) selama molting daripada selama tahap intermolting (663 ± 8 mOsm/kg), yang menunjukkan perbedaan kebutuhan osmotik pada tahap awal ganti kulit. Hiperregulasi konsentrasi klorida dalam hemolimfa di bawah 20 permil, maupun titik isoionik (301 ± 6 mM), tidak tergantung pada tahap ganti kulit.

Pada salinitas 20 permil atau lebih, individu yang baru ganti kulit (0 sampai 0,25 hari pasca ganti kulit) cenderung menyesuaikan diri dengan konsentrasi klorida eksternal sedangkan individu intermolt (0,5 hari pasca ganti kulit) tidak. Sumbangan klorida hemolimfa bagi osmolalitas hemolimfa adalah lebih besar selama intermolt daripada selama ganti kulit, yang menunjukkan pentingnya peranan ion-ion bermuataan negatif lainnya selama ganti kulit. Bila ganti kulit terjadi dalam salinitas 20 permil (salinitas uji hampir sama dengan salinitas isoionik), hanya ada sedikit atau tidak ada perubahan osmolalitas hemolimfa atau pun konsentrasi klorida dari 0 sampai 14 hari pasca ganti kulit. Pada salinitas 8, 32 dan 44 permil, perubahan osmotik hemolimfa dan konsentrasi klorida dari fase molting ke intermolting adalah bersifat hiperbola. Regresi kuadrat-terkecil non linier menunjukkan bahwa udang umumnya mencapai fase intermolt dalam waktu 1 hari setelah ganti kulit. Udang pada fase intermolt melakukan pengaturan osmolalitas hemolimfa (620 sampai 820 mOsm/ kg) dan konsentrasi klorida (300 sampai 450 mM) pada kisaran yang jauh lebih sempit dibandingkan selama ganti kulit (520 sampai 1170 mOsm/ kg dan 250 sampai 520 mM, berturut-turut). Osmolalitas hemolimfa merupakan indikator respon fisiologis yang lebih sensitif daripada konsentrasi klorida hemolimfa.

Distribusi dan budidaya Penaeus monodon mungkin dibatasi dalam salinitas rendah oleh kemampuannya untuk mempertahankan osmolalitas hemolimfa pada nilai 500 mOsm/kg selama ganti kulit dan 600 mOsm/kg selama fase intermolt, dan dibatasi dalam salinitas tinggi oleh kemampuannya untuk menurunkan osmolalitas hemolimfa dari nilai pada saat ganti kulit menjadi nilai pada fase intermolt. Osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah Penaeus monodon sangat bervariasi sejalan dengan tahap moting dan salinitas medium. Ketergantungan pada faktor-faktor eksternal, bagaimanapun, perlahan-lahan berkurang sejalan dengan perjalanan tahap-tahap molting, yang menunjukkan terjadinya penurunan permeabilitas kulit dan makin berkembangnya mekanisme penyerapan/sekresi ion sejalan dengan mengerasnya kulit luar (cangkang).

Pengaruh Salinitas Terhadap Komposisi Asam Amino Udang Windu

Fang et al. (1992) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon dibudidayakan oleh petani ikan dalam kolam air payau agar tumbuh lebih baik meskipun binatang ini merupakan spesies laut. Penelitian mengenai variasi asam amino bebas (Free Amino Acid; FAA) dalam hemolimfa dan otot udang ini yang dipelihara dalam berbagai salinitas menunjukkan bahwa komposisi asam amino bebas dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 30 ppt adalah sama dengan komposisinya di dalam otot udang tersebut, yang membuktikan bahwa binatang ini secara fisiologis memang merupakan spesies yang beradaptasi terhadap laut. Komposisi asam amino bebas dalam otot udang yang diaklimasikan terhadap salinitas-salinitas yang berbeda adalah sama satu dengan yang lain. Sangat tingginya konsentrasi asam amino bebas yang tergolong asam-asam amino esensial dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 15 ppt menunjukkan bahwa asam-asam amino bebas tersebut lebih tersedia untuk diserap jaringan tubuh pada salinitas ini.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar