Minggu, 21 Januari 2018

Karakteristik Fisika Kimia Air

Bab I
Sifat Fisik Air Laut


Perubahan Kondisi Air Laut Selama Upwelling

D’Croz et al. (1991) melakukan penelitian empat tahun untuk mendokumentasikan perubahan air laut di Teluk Panama akibat upwelling musiman. Massa air hangat, dengan salinitas kurang dari 30 ppt, konsentrasi fosfat rendah, konsentrasi klorofil-a rendah dan kepadatan fitoplankton rendah terlihat selama musim hujan. Sebaliknya selama musim kemarau, ketika terjadi upwelling, massa air yang dingin dan asin dengan konsentrasi fosfat tinggi, konsentrasi klorofil tinggi dan fitoplankton melimpah mendominasi teluk tersebut. Suksesi spesies berhubungan dengan perubahan musiman ini. Chaetoceros cinctus dominan selama musim hujan sedangkan Chaetoceros curvisetus merupakan spesies dominan selama musim kering.

Kenaikan Suhu dan Tinggi Muka Laut Akibat Gas Rumah Kaca

Wigley dan Raper (1987) mempelajari hubungan antara gas rumah kaca, perubahan suhu rata-rata global dan kenaikan muka laut akibat pemuaian panas samudra dengan menggunakan model upwelling-difusi dan difusi murni. Pemuaian panas akibat gas rumah kaca menyebabkan kenaikan muka laut yang diduga sebesar 2 – 5 cm antara tahun 1880 dan 1985. Proyeksi dibuat sampai tahun 2025 untuk berbagai skenario kekuatan gas rumah kaca. Untuk periode 1985 – 2025 nilai dugaan pemanasan akibat gas rumah kaca adalah 0,6 – 1,0 oC. Terkait nilai ini maka pemuaian panas samudra akan menyebabkan kenaikan muka laut setinggi 4 – 8 cm.

Densitas dan Pengadukan Massa Air Laut

Open University (2004) menyatakan bahwa kisaran suhu air samudra adalah 0 – 25 oC, sedangkan kisaran salinitasnya secara umum sedikit lebih dari 34 – 36 ppt dan bisa lebih kecil lagi di basin samudra individual. Suhu dengan demikian lebih berpengaruh terhadap densitas (kepadatan) air laut daripada salinitas. Misalnya untuk suhu lebih dari 5 oC maka perubahan suhu 1 oC memberikan pengaruh terhadap densitas yang lebih besar daripada perubahan salinitas 0,1 ppt. Di daerah katulistiwa dan lintang-tinggi, di mana perubahan suhu musiman tidak begitu besar, penguapan/curah hujan dan pembentukan/peleburan es dapat menyebabkan perubahan salinitas – dan dengan demikian densitas – massa air permukaan secara nyata.

Telah diketahui bahwa pada kedalaman di bawah sekitar 500 – 1000 meter di samudra, suhu dan salinitas tidak banyak bervariasi. Pada kedalaman sekitar 1000 meter, bertambahnya kedalaman menyebabkan densitas air laut hanya meningkat sedikit. Profil densitas air laut hampir vertikal di bawah kedalaman sekitar 2000 meter. Sebaliknya, pada kedalaman kurang dari 500 meter di daerah lintang-tengah dan lintang-rendah, densitas air meningkat cepat dengan bertambahnya kedalaman di bawah lapisan air permukaan yang teraduk, dan kurva densitas ini hampir horizontal. Belokan tajam pada kurva densitas air disebut piknoklin. Di laut terbuka, piknoklin biasanya berhubungan dengan termoklin, namun posisi pasti mereka dan kemiringannya bergantung pada distribusi salinitas. Piknoklin utama timbul hampir bersamaan dengan termoklin permanen. Massa air di dalam piknoklin sangat stabil, artinya dibutuhkan energi besar untuk memindahkan mereka ke atas atau ke bawah. Piknoklin utama membentuk batas bawah atau “lantai” bagi turbulensi yang disebabkan oleh proses pengadukan di permukaan laut. Kedalaman lapisan massa air permukaan yang teraduk bergantung pada kekuatan angin dan pada proses-proses yang cenderung meningkatkan stabilitas gravitasi vertikal seperti pemanasan air permukaan dan curah hujan (Open University, 2004).

Termoklin Harian dan Termoklin Permanen

Open University (2004) menyatakan bahwa termoklin harian dapat terbentuk di mana saja ketika terjadi pemanasan yang cukup selama siang hari, namun termoklin ini hanya sampai kedalaman sekitar 10 – 15 meter dan perbedaan suhu air di atas dan di bawahnya secara normal tidak melebihi 1 – 2 oC. Pada musim panas, dengan mengabaikan variasi suhu musiman dan harian, termoklin permanen menyebabkan samudra secara keseluruhan terbagi menjadi tiga lapisan utama massa air. Ketebalan lapisan atas yang hangat dan termoklin permanen adalah lebih kecil pada daerah lintang-rendah dibandingkan pada daerah lintang-tengah karena pada daerah lintang-rendah angin biasanya lebih lemah dan perbedaan suhu musiman lebih kecil.

Termoklin, Konsentrasi Oksigen Minimum dan Kematian Masal Ikan

Longhurst dan Pauly (1987) menjelaskan bahwa di bawah termoklin, masa air laut bawah-permukaan di daerah tropis semuanya terbentuk di luar daerah tersebut, terutama melalui penenggelaman di dekat konvergensi (pertemuan massa air) subtropis. Massa air primer yang terbentuk dengan cara ini seringkali meluas dari bawah termoklin sampai kedalaman 500 – 600 meter, dan kemudian dimodifikasi oleh pengadukan. Bagaimanapun, massa air bawah-permukaan secara keseluruhan lebih seragam daripada massa air permukaan. Massa air bawah-permukaan sering memiliki salinitas maksimum di bagian tengahnya dan juga – yang lebih penting untuk perikanan – lapisan oksigen minimum. Yang terakhir ini hampir selalu ada di mana-mana di samudra tropis pada kedalaman yang bersesuaian dengan termoklin samudra utama. Di basin timur Atlantik dan Pasifik, dan terutama di Samudra Hindia barat laut, karakteristik ini berkembang dengan sangat kuat. Konsentrasi oksigen yang sangat rendah bisa meluas sampai kedalaman beberapa ratus meter, dan H2S mungkin ada meskipun dalam konsentrasi rendah. Oksigen minimum biasanya terjadi di dekat kedalaman yang gerakan air horizontalnya sangat terbatas. Upwelling pesisir yang terjadi secara musiman sepanjang pantai barat India membawa massa air berkonsentrasi oksigen sangat rendah ke paparan benua, dan hal ini menyebabkan dampak biologis penting terhadap fauna ikan demersal dan krustasea bentik. Terjebaknya biota dalam air upwelling beroksigen rendah di daerah pesisir ini mengakibatkan kematian massal ikan dan krustasea. Fenomena serupa tampaknya terjadi di lepas pantai Birma, di mana massa air yang miskin oksigen naik ke paparan benua.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Sinar Ultra Violet Oleh Air Laut

Armstrong dan Boalch (1961) mengukur spektrum penyerapan sinar ultra violet antara 200 dan 400 mix dengan menggunakan spektrofotometer. Pada panjang gelombang pendek, air laut alami memiliki absorbancy (daya serap) dua kali air laut buatan. Perbedaan yang ditunjukkan sampel dari laut dangkal disebabkan oleh bahan organik. Ditemukan adanya variasi regional, di mana perairan pesisir menunjukkan penyerapan sinar ultra violet yang lebih tinggi. Juga ditemukan adanya efek musiman yang kecil di mana absorbancy meningkat pada musim panas di Selat Inggris. Di perairan Atlantik yang dalam, peningkatan penyerapan di bawah 235 m/x mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi nitrat. Pada panjang gelombang yang lebih besar, absorbancy adalah lebih kecil untuk massa air permukaan.

Pengaruh Pigmen Fitoplankton Terhadap Warna Air Laut

Yentsch (1960) menyatakan bahwa dengan menggabungkan daya serap pigmen-pigmen fitoplankton dan daya serap air murni, maka daya serap cahaya biru meningkat tajam. Ketika konsentrasi pigmen fitoplankton meningkat, berkurangnya cahaya biru menggeser panjang gelombang transmisi maksimum ke arah cahaya hijau. Pada konsentrasi pigmen fitoplankton yang normalnya ditemukan di laut terbuka, pigmen klorofil merah memberikan sedikit pengaruh terhadap warna air laut.

Bab II
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Hubungan Salinitas dan Daya Hantar Listrik (Konduktivitas) Air

Boyd (1982) menyatakan bahwa istilah salinitas menunjukkan konsentrasi total semua ion terlarut dalam air. Walaupun sering tidak praktis untuk mengukur semua ion dalam air, kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik (daya hantar listrik) meningkat dengan bertambahnya salinitas. Jadi, alat pengukur daya hantar listrik (conductivity meter) bisa digunakan untuk mengukur daya hantar listrik, dan nilai konduktivitas ini menunjukkan derajat relatif salinitas. Ion berbeda-beda dalam hal kemampuannya menghantarkan arus listrik. Dengan demikian, hubungan antara daya hantar listrik dan salinitas bergantung sampai beberapa derajat pada proporsi ion-ion utama. Conductivity meter bisa digunakan di estuari untuk menduga salinitas secara langsung karena alat ukur ini sering mempunyai skala untuk pembacaan konduktivitas ataupun salinitas. Air tawar lebih bervariasi dalam hal proporsi ion-ion utamanya, sehingga suatu nilai konduktivitas biasanya tidak bersesuaian dengan suatu nilai salinitas tunggal. Namun demikian, konduktivitas bisa digunakan untuk menduga salinitas air tawar. Cara lain untuk memperoleh nilai dugaan salinitas adalah mengukur konsentrasi padatan terlarut total. Dalam air estuari, salinitas bisa diduga dari konsentrasi klorida menurut persamaan berikut :

Salinitas dalam mg/liter = 30 + (1,805 x konsentrasi klorida dalam mg/liter)

Konsentrasi klorida bisa diukur dengan metode titrasi atau diduga dengan alat refraktometer atau dengan alat hidrometer yang dikoreksi suhunya.

Variasi Salinitas Musiman di Estuari

Patnaik and Mishra (1990) mempelajari variasi musiman beberapa sifat fisika-kimia Estuaria Rushikulya, India. Suhu air permukaan bervariasi dari 20 sampai 34,5 oC, kejernihan air dari 6,3 sampai 12 cm, salinitas dari 28,3 sampai 32,8 ppt dan pH dari 6,77 sampai 7,35. Kejernihan dan salinitas menunjukkan distribusi bimodal (dua modus). Keberadaan larva Chanos berhubungan dengan faktor-faktor ini.

Fluktuasi Salinitas Selama Periode 24 Jam di Laut dan Perairan Hutan Bakau

Selvam et al. (1992) mempelajari variasi harian faktor-faktor hidrologis di tiga biotop yang saling berhubungan yang mencakup perairan tawar, laut dan perairan payau hutan bakau di zona pesisir Kakinada, Andhra Pradesh, india. Sampel dikumpulkan pada selang waktu 3 jam selama periode 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lingkungan laut salinitas bervariasi dari 26 ppt sampai 32 ppt, sedangkan di perairan hutan bakau nilainya berfluktuasi dari 12 ppt sampai 20 ppt, dan di kedua biotop ini salinitas menunjukkan fluktuasi tipe bimodal.

Salinitas Laut Jawa

Longhurst and Pauly (1987) menyatakan bahwa di beberapa paparan benua, massa air permukaan tropis banyak dipengaruhi oleh air buangan sungai dan diencerkan oleh hujan. Hal ini terjadi sebagai akibat estuarisasi terhadap paparan benua, atau akibat keberadaan massa air buangan sungai. Laut Jawa, di ujung selatan Laut Cina Selatan, memberikan contoh yang baik mengenai estuarisasi ini. Meskipun tidak ada sungai besar yang bermuara ke Laut Jawa, lapisan air permukaannya memiliki salinitas yang biasanya tidak melebihi 30 – 32 promil. Daerah dengan salinitas terendah bergerak maju-mundur di antara Pulau Kalimantan dan Jawa, tergantung pada musim.

Gipsum dan Garam Dapur Untuk Menaikkan Salinitas

Boyd (1982) menyatakan bahwa salinitas bisa dinaikkan dengan gipsum atau garam dapur (NaCl). Salinitas yang lebih tinggi dari 1.500 – 2.000 mg/liter membutuhkan garam dapur karena terbatasnya kelarutan gipsum. Kedua bahan kimia ini tampaknya tidak bereaksi dengan lumpur dasar atau pun dengan komponen-komponen lain dalam air, dan tingkat pemberiannya mudah dihitung dari volume kolam.

Hubungan Salinitas dan Kekeruhan Serta Pengaruhnya Terhadap Distribusi Ikan

Cyrus and Blaber (1992) mempelajari kekeruhan, salinitas dan pengaruh kedua faktor ini terhadap distribusi ikan selama dua setengah tahun di Estuari Embley di Australia utara tropis. Baik kekeruhan maupun salinitas bervariasi secara nyata selama setahun tetapi ada tiga pola tahunan yang tampak jelas. Ketiganya berhubungan dengan musim basah, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama masing-masing musim ini timbul gradien kekeruhan dan gradien salinitas. Gradien kekeruhan dan salinitas bersambungan dengan yang ada di sekitar lingkungan laut Teluk Albatros. Tingkat dan kisaran kedua faktor ini terutama ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan hujan di Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola kekeruhan, salinitas dan suhu di estuari ini. Data menunjukkann bahwa kepadatan ikan di dalam estuari berhubungan dengan kekeruhan dan salinitas tetapi tidak dengan suhu. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE) untuk setiap spesies telah ditentukan bagi setiap kisaran kekeruhan dan salinitas. Dari sini terlihat bahwa kekeruhan dan salinitas berkaitan dengan CPUE untuk 30 dari 45 spesies ikan yang dipelajari.

Salinitas Mempengaruhi Kelarutan Oksigen

Boyd (1982) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya salinitas; setiap kenaikan salinitas sebesar 9.000 mg/l maka kelarutan oksigen menurun sebesar kira-kira 5 % dari kelarutan dalam air murni. Jadi, pengaruh salinitas terhadap kelarutan oksigen bisa diabaikan dalam perairan tawar.

Bab III
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Komposisi Kimia Air Laut

Mowka (2009) menyatakan bahwa air laut merupakan larutan yang mengandung sekitar 3,4 persen material terlarut. Air laut mengandung banyak jenis unsur kimia, sebagian besar di antaranya ada dalam konsentrasi sangat rendah. Dengan metode analisis yang cukup canggih, adalah mungkin untuk membuktikan bahwa air laut mengandung semua unsur yang kita kenal. Bagaimanapun, hanya sedikit unsur yang perlu diperhatikan terutama karena merupakan ion-ion mayor, yaitu klorida (19.000 mg/liter), natrium (10.500 mg/liter), sulfat (2.600 mg/liter), magnesium (1.350 mg/liter), kalsium (400 mg/liter) dan kalium (380 mg/liter). Air laut buatan bisa disiapkan dengan meniru komposisi konsentrasi ion-ion mayor air laut alami ini. Ion-ion minor, yang terdapat dalam konsentrasi rendah tetapi lebih melimpah dibandingkan trace elemen, adalah bikarbonat (142 mg/liter), bromida (65 mg/liter), borat (25 mg/liter), strontium (8 mg/liter) dan silikat (8 mg/liter).

Bikarbonat merupakan ion paling penting karena terutama bertanggung jawab untuk buffering (penyangga), yaitu untuk mempertahankan pH air. Borat juga berperanan dalam sistem buffer ini, tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan bikarbonat. Arti penting ion-ion minor lainnya kurang jelas. Silikat penting bagi alga tertentu dan mungkin bagi beberapa jenis binatang. Bromida dan strontium, bagaimanapun, tidak diketahui peranan pentingnya bagi proses-proses biologis manapun. Adalah mungkin bahwa bila ion bromida dan strontium ini tidak ada sama sekali maka tidak memberikan pengaruh bagi kesehatan organisme akuatik.

Trace elemen adalah ion-ion yang normalnya terdapat di dalam air laut dengan konsentrasi hampir 1 mg/liter atau kurang. Di antara trace elemen ini adalah fluorida, rubididum, aluminium, litium, barium, yodin, mangan, fosfor, torium, merkuri, uranium, kobalt, seng, timah, timbal, selenium, arsen, tembaga, besi, nikel, kadmium, krom, titanium, vanadium, molibdenum, cesium dan lain-lain.

Penamaan trace elemen hanya merujuk pada fakta bahwa unsur-unsur tersebut terdapat dalam jumlah “trace” (sangat sedikit). Istilah trace tidak berhubungan dengan peranan unsur-sunur tersebut bagi kesehatan organisme akuatik. Jadi, perlu diperhatikan perbedaan antara trace elemen dengan essential element (unsur penting) karena keduanya berbeda. Tidak semua trace elemen bersifat esensial.

Menurut Mowka (2009) tidak ada alasan untuk mengharapkan manfaat dari keberadaan, sebagai contoh, cesium atau strontium. Tidak ada proses biologi yang bergantung pada keberadaan mereka. Meskipun trace elemen normalnya ada di dalam air laut alami, tetapi mereka bukanlah elemen kimia esensial. Kebanyakan trace elemen bukanlah elemen kimia esensial.

Banyak trace elemen yang bersifat esensial merupakam logam-logam berat (misal krom, mangan, besi, kobal, tembaga dan seng). Arti penting mereka bagi organisme hidup tergantung pada kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai molekul organik, seperti enzim, dan membentuk kompleks stabil dengan fungsi-fungsi biologi spesifik (Mowka, 2009).

Komposisi Kimia Air Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) dalam pengertian luas, kualitas air ditentukan oleh sangat banyak variabel biologi, fisika dan kimia yang mempengaruhi kelayakan air untuk tujuan tertentu. Dalam budidaya ikan, kualitas air biasanya didefinisikan sebagai kesesuaian air bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, dan biasanya kualitas air ini dipengaruhi hanya oleh beberapa variabel. Air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Perbedaan antara bahan terlarut dan bahan partikel agak tanpa aturan, yang didasarkan pada apakah bahan tersebut bisa disingkirkan melalui penyaringan atau tidak.

Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air. Bagaimanapun, perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain. Bahan-bahan organik terlarut meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak,vitamin dan tannic acid. Bahan organik partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Gas-Gas Terlarut Di Dalam Air

Meskipun kita cenderung mengasosiasikan gas dengan atmosfer dari pada dengan air, namun harus diingat bahwa sedikitnya ada 5 atau 6 macam gas penting yang terlarut di dalam air danau, sungai dan laut. Gas-gas tersebut memiliki fungsi biologis dan fisikokimia, tetapi sifat dan asal masing-masing gas berbeda-beda (Cole, 1994).

Menurut Cole (1994) permukaan air yang bersentuhan dengan campuran gas dan uap air – yang disebut udara – menyerap beberapa komponen udara tersebut. Nitrogen, oksigen dan karbon dioksida sangat penting karena mempunyai peran biologis yang esensial. Di samping itu, nitrogen dan oksigen merupakan komponen terbesar penyusun atmosfer, yaitu masing-masing sekitar 78 % dan 21 %, yang ada di permukaan laut. Konsentrasi karbon dioksida di udara adalah 28 kali lebih kecil dari pada konsentrasi argon, namun kelarutannya di dalam air minimal 15 kali lebih besar dibandingkan argon. Hal ini karena disebabkan karbon dioksida, yang terlarut dalam bentuk gas, menempatti persen volume yang sama dengan argon meskipun konsentrasi argon di atmosfer lebih besar.

Di antara gas-gas atmosfer yang terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (trace gas) adalah molekul-molekul hidrogen, karbon monoksida, nitro oksida ozon, metana, amonia, sulfur dioksida dan gas-gas inert (yaitu gas-gas yang sulit bereaksi) seperti kripton dan neon. Uap air ada dalam jumlah yang sangat bervariasi dengan konsentrasi sampai 3 % volume.

Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menggolongkan padatan dan partikel dalam air menurut konsentrasi kelompok-kelompok komponen tertentu yang didefinisikan sebagai berikut :

Padatan total (total solid) : Contoh air diuapkan sampai kering, dan berat residu – biasanya dalam miligram per liter – disebut konsetrasi padatan total. Untuk tujuan praktis, padatan total menyatakan semua bahan terlarut dan bahan partikel selain gas.

Total padatan mudah-menguap (total volatile solid) : Variabel ini merupakan berat yang hilang dari residu pada analisis padatan total setelah dibakar pada suhu 550 °C. Total padatan mudah-menguap merupakan jumlah bahan organik partikel dan bahan organik terlarut.

Padatan terlarut (dissolved solid) : Contoh air disaring, biasanya dengan saringan yang menahan kebanyakan partikel yang lebih kecil daripada 0,5 – 1 mikron, dan cairan yang tersaring diuapkan sampai kering. Untuk praktisnya, berat residunya menyatakan konsentrasi bahan-bahan terlarut, kecuali gas.

Padatan mudah-menguap terlarut (dissolved volatile solid) : Residu dari analisis padatan terlarut dibakar pada suhu 550 °C dan berat yang hilang ditentukan. Berat tersebut menunjukkan konsentrasi bahan organik terlarut

Bahan partikel (particulate matter) : Berat bahan kering yang tertahan pada saringan setelah air dilewatkan melalui sebuah saringan halus adalah bahan partikel total. Variabel ini juga bisa ditentukan dengan mengurangkan padatan terlarut dari padatan total.

Bahan organik partikel (particulate organic matter) : Variabel ini bisa ditentukan sebagai berat yang hilang setelah bahan kering yang tertahan pada saringan – yang digunakan dalam analisis bahan partikel – dibakar pada suhu 550 °C, atau dengan mengurangkan padatan mudah-menguap terlarut dari padatan mudah-menguap total.

Kesederhanaan analisis kasar ini jelas, dan data yang diperoleh sering kaya akan informasi. Sebagai contoh, tingginya nilai padatan terlarut menunjukkan bahwa perairan mengandung larutan dalam konsentrasi tinggi. Bila perairan mengandung padatan terlarut mudah-menguap dalam konsentrasi rendah, berarti perairan tersebut kaya akan mineral. Sebaliknya, perairan dengan konsentrasi padatan total tinggi dan konsentrasi total padatan terlarut dan mudah-menguap rendah berati kaya akan bahan anorganik tersuspensi. Air dari kolam ikan memiliki konsentrasi padatan yang bervariasi tergantung pada derajat mineralisasi, jumlah tanah liat tersuspensi, dan kelimpahan plankton. Pengukuran padatan terlarut dan bahan organik partikel, yang menunjukkan konsentrasi total ion-ion terlarut dan konsentrasi total bahan organik tersuspensi, berturut-turut, lebih banyak digunakan dalam budidaya ikan daripada jenis-jenis lain analisis padatan.

Padatan Tersuspensi di Dalam Air Laut

Armstrong dan Atkins (1950) mengumpulkan sampel air laut pada bulan Juni 1948 sampai November 1949. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel air laut tersebut mengandung bahan tersuspensi dengan konsentrasi (berat-kering dan -bakar) 2,77 sampai 0,45 gram/m3 (atau part per million, ppm). Pengukuran bahan organik tak-terlarut memberikan nilai 1,77 sampai 1,15 ppm berat kering pada suhu 100 °C. Residu yang dibakar mengandung 55 sampai 17 % silika, 28 sampai 3 % besi oksida, 20 sampai kurang dari 1 % aluminium dan 70 sampai 9 % kalsium karbonat. Tidak ada catatan suhu atau salinitas yang menunjukkan bahwa massa air mengalami perubahan selama periode sampling.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan tingginya konsentrasi besi dibandingkan dengan yang ditemukan dalam larutan. Residu yabg dibakar kaya akan silikat, sebagai mana ditunjukkan oleh tingginya rasio silika aluminium, tetapi sangat diragukan apakah tambahan pasokan silikat yang tersedia bagi diatom adalah cukup untuk mengimbangi kebutuhan mereka yang dihitung berdasarkan pemanfaatan fosfat. Tampaknya lebih mungkin bahwa fosfat, dalam jumlah cukup, tersedia bagi fitoplankton non-silika.

Nilai Gizi Padatan Tersuspensi dan Sedimen Bagi Cacing

Taghon dan Greene (1992) menyatakan bahwa cacing polikhaeta Boccardia pugettensis dan Pseudopolydora kempi japonica, seperti banyak invertebrata lain, ketika pemasukan partikel tersuspensi meningkat maka mereka mengubah kebiasaan makan dari memakan sedimen menjadi memakan padatan tersuspensi secara pasif. Kedua peneliti menguji hipotesis bahwa perilaku tersebut secara energitika adalah menguntungkan sebab partikel tersuspensi mengandung nilai gizi yang lebih tinggi. Pada percobaan-percobaan laboratorium, binatang dibatasi hanya memakan endapan, dibatasi hanya memakan suspensi, atau dibiarkan memakan keduanya. Partikel tersuspensi memiliki konsentrasi yang lebih besar dalam hal bahan organik total, karbon organik, protein labil, nitrogen dan klorofil-a.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume makanan yang dikonsumsi kedua spesies cacing secara nyata lebih sedikit ketika mereka memakan suspensi. Laju makan suspensi pada Pseudopolydora (hanya 19 % dari laju makan endapan) adalah jauh lebih kecil dibandingkan laju makan suspensi pada Boccardia (45 – 75 % dari laju makan endapan). Laju pertumbuhan Pseudopolydora lebih rendah ketika memakan suspensi dibandingkan dengan ketika memakan endapan. Sebaliknya, Boccardia tumbuh sebaik atau lebih baik ketika memakan suspensi dibandingkan ketika memakan endapan. Meskipun memiliki kesamaan morfologi dan tingkah laku, ada perbedaan dalam hal kemampuan kedua spesies cacing memanfaatkan partikel bahan organik pada berbagai kondisi habitat mereka.

Konsentrasi Zat-Zat Hara di Perairan Laut-Payau-Tawar Yang Saling Berhubungan

Selvam et al. (1992) mempelajari variasi harian variabel-variabel hidrologis dan zat-zat hara anorganik terlarut seperti PO43-, NO2--N, NO3--N dan NH4+-N di tiga biotop yang saling berhubungan yang mencakup perairan tawar, laut dan perairan payau hutan bakau di zona pesisir Kakinada, Andhra Pradesh, India. Sampel dikumpulkan pada selang waktu 3 jam, selama periode 24 jam. Di lingkungan laut, salinitas bervariasi dari 26 ppt sampai 32 ppt sedangkan di perairan hutan bakau nilainya berfluktuasi dari 12 ppt sampai 20 ppt, dan di kedua biotop ini salinitas menunjukkan fluktuasi tipe bimodal (dua-modus) Konsentrasi oksigen terlarut adalah tinggi di perairan hutan bakau selama siang hari tetapi berkurang dengan cepat selama malam hari.

Di lingkungan laut, konsentrasi PO43--P bervariasi dari 0,345 sampai 1,195 mikrogram at/liter, NO3--N dari 1,03 sampai 6,62 mikrogram at/liter dan NO2--N dari 0,086 sampai 0,506 mikrogram at/liter. Konsentrasi tertinggi dan terendah PO43--P, NO3--N dan NO2--N, yang tercatat di perairan hutan bakau adalah 0,790 dan 0,325 mikrogram at/liter, 7,10 dan 1,60 mikrogram at/liter serta 0,278 dan 0,060 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi PO43--P, NO3--N dan NO2--N adalah tinggi di kanal perairan tawar, dengan nilai maksimum dan minimumnya adalah 1,110 dan 0,730 mikrogram at/liter, 26,40 dan 9,98 mikrogram at/liter serta 0,520 dan 0,252 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi amonia adalah relatif tinggi di perairan hutan bakau . Produksi primer kotor dan neto di perairan hutan bakau adalah 4 kali lebih tinggi daripada di biotop laut. Tidak ada ekspor zat-zat hara terlarut dari lingkungan hutan bakau ke perairan laut di sekitarnya.

Bab IV
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Material-Material Yang Terkandung Dalam Air

Menurut Boyd (1982) air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi-kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air.

Perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain, di antaranya adalah sulfat, klorida, silika, nitrat, amonium, fosfat, besi, mangan, seng, tembaga dan boron. Bahan-bahan organik terlarut dalam air kolam meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak, vitamin dan “tannic acid”. Bahan organik berupa partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Pengaruh Proses Biogeokimia Terhadap Komposisi Kimia Air Danau

Lazzaretti et al. (1992) melaporkan bahwa spesies fosfor, besi, mangan dan sulfur telah dianalisis dalam sampel air dari bidang batas sedimen-air yang dikumpulkan pada empat waktu yang secara musim berbeda dalam setahun di dua lokasi sampling di basin selatan Danau Lugano (Lago di Lugano). Hasilnya menunjukkan kuatnya pengaruh proses-proses biogeokimia di dalam sedimen terhadap komposisi kimia air danau di atas sedimen tersebut. Konsumsi oksigen dan nitrat pada kondisi toksik sampai mikrooksik (konsentrasi oksigen sangat sedikit) dalam kolom air serta – akibatnya – pelepasan besi dan mangan tereduksi pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen) telah diamati sebagai akibat langsung atau tak langsung penguraian bahan organik oleh mikroba. Pola musiman untuk pelepasan dan penahanan mangan dan besi tereduksi terlarut berhubungan erat dengan proses serupa untuk fosfat terlarut. Siklus besi, mangan dan fosfor berhubungan erat di dalam sedimen. Kedua tipe sedimen bertindak sebagai penampung hidrogen sulfida dan sulfat. Siklus sulfur dalam-sedimen diduga melengkapi siklus besi, mangan dan fosfor dengan menguraikan bahan organik. Siklus zat hara pada bidang batas sedimen-air dengan demikian dikendalikan oleh mekanisme “pompa ion” yang diatur oleh mikroba.

Perubahan Kimia Air Danau Selama Kematian Masal Ikan Akibat Ledakan Populasi Alga

Barica (1973) mempelajari perubahan kimia air yang menyertai kejadian “summer fish kill” (kematian masal ikan musim panas) di danau eutrofik dangkal di Manitoba barat-daya, Kanada. Kematian masal ikan ini disebabkan oleh ledakan populasi alga Aphanizomenon flos-aquae. Perubahan kimia air yang paling dramatis terjadi selama beberapa hari sebelum ikan mati masal, yaitu selama puncak ledakan populasi alga dan selama kematian masal ikan tersebut. Konsentrasi oksigen terlarut dan amonia mengalami perubahan yang paling radikal. Konsentrasi oksigen terlarut mencapai maksimum kejenuhan 200 % atau lebih tepat sebelum ikan mati masal. Konsentrasi oksigen terlarut 20 sampai 24 mg/liter di dalam lapisan air permukaan danau adalah sangat umum; selama periode ini biomas Aphanizomenon mencapai maksimum. Kemudian, dalam beberapa hari, mulai terjadi kematian alga yang cepat dan seluruh alga hasil ledakan populasi mati. Fase berikutnya – kematian ikan yang sebenarnya – dicirikan oleh berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dengan cepat mulai dari permukaan danau sampai ke dasar danau, yang disertai dengan pelepasan amonia ke dalam seluruh air danau tanpa ada pola zonasi yang jelas.

Perubahan Komposisi Air Sungai Akibat Bendungan

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa pembendungan air sungai oleh waduk menyebabkan perubahan kualitas air sungai tersebut. Air yang dilepaskan dari dasar atau lapisan-dalam bendungan dicirikan oleh suhu yang lebih dingin, konsentrasi oksigen yang lebih rendah dan meningkatnya bahan-bahan beracun seperti hidrogen sulfida, besi dan mangan. Di dalam bendungan sendiri, airnya tidak cocok untuk ikan. Selain itu, lepasnya air berkualitas jelek dari bendungan mempengaruhi kelangsungan hidup populasi ikan dan invertebrata bentik di bagian hilir.

Kandungan Mineral Dalam Air Kolam

Menurut Boyd (1982), karena perairan permukaan biasanya merupakan larutan encer alkali tanah bikarbonat dan karbonat, maka kalsium, magnesium, bikarbonat dan karbonat biasanya merupakan ion-ion dominan. Bagaimanapun, ada beberapa kekecualian. Di daerah kering, karbonat dan bikarbonat bisa mengendap dari larutan ketika penguapan meningkatkan konsentrasi ion. Perairan seperti ini bisa mengandung natrium, sulfat dan klorida dengan proporsi relatif tinggi. Perairan asam di daerah pesisir yang lembab sering sedikit mengandung bikarbonat alkali tanah tetapi relatif kaya akan natrium dan klorida. Air sumur sepanjang dataran pesisir sering dikurangi kesadahannya oleh suatu proses di mana kalsium dan magnesium dalam air sumur digantikan oleh natrium yang berasal dari bahan-bahan padat di dalam lapisan air bawah-tanah. Kolam yang terisi air semacam air sumur seperti ini mengandung natrium dan bikarbonat dalam konsentrasi relatif besar tetapi miskin akan kalsium dan magnesium.

Dalam suatu daerah beriklim tertentu, derajat mineralisasi perairan permukaan mencerminkan kelarutan mineral-mineral dari tanah dan batuan di daerah tangkapan-air perairan tersebut. Perairan di daerah tanah yang kering dan tipis biasanya miskin mineral daripada perairan di daerah yang bertanah subur dan tebal. Perairan yang mengaliri tanah yang berkembang dari batu kapur lebih kaya akan mineral daripada perairan yang mengaliri tanah berpasir (Boyd, 1982).

Fosfat Di Dalam Lumpur dan Air

Menurut Boyd (1982) fosfat dalam lumpur dilepaskan dalam jumlah besar ke air ketika besi dan aluminium fosfat berdisosiasi di bawah kondisi tereduksi di dalam hipolimnion kolam (hipolimnion = masa air lapisan bawah di perairan tawar yang terstratifikasi). Fosfat ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan selama ada stratifikasi panas. Bila sratifikasi ini hilang maka fosfor dari hipolimnion teraduk merata di seluruh volume air dan fosfor tersebut sementara bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan. Bagaimanapun, proses yang dijelaskan di atas menyebabkan konsentrasi fosfor dengan cepat kembali ke normal.

Besi, aluminium dan kalsium fosfat dalam sedimen aerobik agak mudah larut, dan ada keseimbangan dinamis antara fosfat dalam sedimen dan fosfat dalam lapisan air di atasnya. Bila kondisi keseimbangan antara fosfat dalam air dan sedimen terganggu akibat penyerapan fosfat oleh tumbuhan, maka lebih banyak fosfat akan dilepaskan oleh sedimen (Boyd, 1982).

Karbon Dioksida di Dalam Perairan Darat

Cole (1994) menyatakan bahwa air hujan dimuati karbon dioksida ketika ia jatuh ke bumi. Secara teoritis, sebanyak 0,55 sampai 0,66 mg/liter karbon dioksida masuk secara langsung ke permukaan perairan. Air yang mengaliri tanah organik dimuati lebih lanjut oleh karbon dioksida hasil dari pembusukan bahan organik dan kemudian masuk ke sungai atau danau melalui sumber air bawah-tanah, sehingga memasukkan gas karbon dioksida ke dalam larutan. Air bawah-tanah kaya akan karbon dioksida, dan karena itu mengandung asam karbonat yang bisa melarutkan karbonat dan memasukkannya ke dalam larutan sebagai bikarbonat. Bikarbonat selanjutnya masuk ke dalam lingkungan perairan sehingga bisa dimanfaatkan oleh kebanyakan tumbuhan air autotrof sebagai sumber karbon untuk fotosintesis. Respirasi tumbuhan, binatang dan bakteri pengurai aerob menambah karbon dioksida ke dalam lingkungan; penguraian karbohidrat secara anaerob di dalam sedimen dasar merupakan sumber lain gas karbon dioksida yang penting. Karbon dioksida bebas seperti ini yang dihasilkan di dalam badan air bisa menyebabkan terlarutnya CaCO3 yang ada di dalam sedimen sehingga membentuk Ca(HCO3)2.

Bab V
Komponen Kimia Air Laut

Ion-Ion Dalam Air Laut

Mowka (2009) menyatakan bahwa air laut merupakan larutan cair yang mengandung sekitar 3,4 persen material terlarut. Air laut mengandung sejumlah besar unsur kimia, banyak di antaranya dalam konsentrasi sangat rendah. Dengan analisis yang cukup tepat, mungkin bahwa air laut mengandung semua unsur yang kita ketahui. Jika menganalisis air laut maka ada dua hal penting yang akan ditemukan. Pertama, proporsi semua unsur utama sangat konsisten di seluruh dunia. Hal ini menguntungkan karena organisme asli suatu daerah bisa dipindahkan ke banyak lokasi lain. Kedua, konsentrasi nutrien anorganik (nitrogen sebagai amonia, nitrit dan nitrat, serta fosfor sebagai fosfat) dan bahan organik terlarut adalah sangat rendah. Hal ini merupakan perbedaan kimia utama antara air laut di samudra dan air laut di akuarium.

Mowka (2009) menambahkan bahwa ion-ion utama yang ditemukan dalam air laut adalah – dari yang terbanyak - klorida, natrium, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium. Mereka juga merupakan ion-ion utama di dalam sel binatang hidup. Ion-ion ini bertanggung jawab mempertahankan kelistrikan dan keseimbangan osmotik di dalam sel serta transmisi impuls saraf. Ketiadaan salah satu ion utama ini berakibat fatal. Ikan yang ditempatkan dalam air laut modifikasi yang tidak mengandung kalium akan segera mati akibat ketidak-seimbangan kimiawi di dalam tubuh binatang tersebut.

Ion-ion minor dalam air laut – dari yang terbanyak – adalah bikarbonat, bromida, borat, strontium dan silikat. Ion-ion ini terdapat dalam konsentrasi rendah, tetapi jauh lebih melimpah dibandingkan trace element (unsur yang ada dalam jumlah sangat sedikit). Bikarbonat adalah ion minor terpenting karena terutama bertanggung jawab dalam buffering (penyangga), atau mempertahankan nilai pH. Borat juga berperanan dalam sistem buffer tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan bikarbonat. Arti penting ion-ion minor lain kurang jelas. Silikat penting bagi alga tertentu dan mungkin bagi beberapa binatang. Bromida dan strontium, bagaimanapun, tidak diketahui peranannya dalam proses biologis; mungkin bahwa ketiadaan salah satu ion ini tidak berpengaruh terhadap kesehatan organisme. Trace element adalah ion-ion yang normalnya ditemukan pada konsentrasi sedikit di atas atau di bawah 1,0 mg/liter. Istilah trace element tidak menunjukkan arti penting ion-ion ini bagi kesehatan organisme air. Yang jelas, tidak semua trace element merupakan unsur penting.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Logam Dalam Air Laut

Krauskopf (1956) mendaftar faktor-faktor yang mengendalikan konsentrasi 13 logam (Zn, Cu, Pb, Bi, Cd, Ni, Co, Hg, Ag, Cr, Mo, W, V) di dalam air laut :

- pengendapan senyawa-senyawa tak-larut yang mengandung ion-ion logam yang biasanya ada di dalam air laut teraerasi;

- pengendapan sulfida secara lokal di lingkungan tereduksi;

- penyerapan (adsorption) oleh fero sulfida, feri oksida terhidrat, mangan dioksida terhidrat, apatit, partikel tanah liat dan bahan organik.

Krauskopf (1956) menyimpulkan :

- Air laut adalah sangat tak-jenuh dalam hal ke-13 logam tersebut di atas. Dengan kata lain, tidak terjadi pengendapan senyawa-senyawa yang mengandung ion-ion logam tersebut yang biasanya berlangsung di dalam air laut yang diaerasi, bahkan pada kondisi suhu dan pH ekstrim.

- Pengendapan sulfida secara lokal merupakan mekanisme pengendalian yang mungkin untuk tujuh unsur (Cu, Zn, Hg, Ag, Cd, Bi, Pb), tetapi mungkin bukan merupakan pengendali utama karena konsentrasinya tidak berhubungan dengan kelarutan sulfida.

- Adsorption (penyerapan molekul hingga menempel di permukaan atau masuk ke dalam materi) adalah mekanisme yang mungkin untuk semua unsur kecuali V, W, Ni, Co, dan Cr; bila Cr disingkirkan oleh reduksi lokal dan pengendapan hidroksida, sedang keempat logam lainnya disingkirkan oleh reaksi organik, maka konsentrasi yang tersisa menunjukkan konsentrasi logam-logam lainnya. Proses adsorsi ditambah dengan reaksi-reaksi organik merupakan penjelasan kualitatif untuk distribusi berbagai jenis logam-jarang (rare metal) di dalam batuan sedimen asal-laut. Kesimpulan ini mungkin bisa diberlakukan juga untuk logam-logam lain yang ada di tengah Sistem Periodik Unsur, tetapi tidak berlaku untuk logam-logam yang ada di kedua sisi Sistem Periodik Unsur.

Besi, Tembaga dan Nikel Dalam Air Laut

Corcoran dan Alexander (1964) mempelajari distribusi tiga jenis trace element, yaitu besi, tembaga dan nikel di perairan tropis Florida Current. Metode yang digunakan adalah pengukuran kolorimetrik langsung terhadap besi dan tembaga. Besi dan tembaga ada dalam air laut terutama sebagai kompleks-kompleks organik “terlarut”. Nikel diendapkan dari air laut sebagai karbonat. Konsentrasi nikel ditentukan dengan ekstraksi kompleks organik yang dilanjutkan dengan analisis kolorimetrik. Distribusi nikel sangat mirip dengan pola distribusi tembaga.

Partikel Bahan Organik Tak-Hidup di Dalam Air Laut

Riley (1971) menyatakan bahwa bahan organik tak-hidup dalam air laut berasal dari berbagai jenis tumbuhan, termasuk fitoplankton, tumbuhan air yang menempel di perairan dangkal, alga pelagis makroskopik dan material asal-darat yang dibawa air dan angin. Arti penting relatif berbagai sumber ini tidak dapat dijelaskan dengan pasti, tetapi hampir tak diragukan bahwa fitoplankton merupakan sumber yang paling penting. Produksi fitoplankton , yang ditentukan berdasarkan fiksasi karbon-14, ada dalam kisaran 50 – 150 gram per m2 dalam setahun di basin-basin samudra utama; bagaimanapun, beberapa daerah, terutama di dekat kutub utara, kurang produktif dibandingkan basin samudra tersebut dan produksi yang lebih tinggi dicapai oleh beberapa perairan pesisir dan estuaria dan mungkin di daerah samudra yang mengalami upwelling secara intensif.

Hidrokarbon di Dalam Air Laut

Barbier et al. (1973) mengekstrak hidrokarbon terlarut dengan bantuan kloroform dari perairan pesisir dan laut terbuka; setelah fraksi tak-tersabunkan (unsaponifiable) diisolasi dan dilakukan kromatografi lapisan-tipis, senyawa-senyawa ini dianalisis dengan kromatografi gas-cairan dan spektrometri massa. Hidrokarbon menyusun sekitar 20 % dari total ekstrak; konsentrasinya bervariasi dari 10 sampai 140 mikrogram/liter. N-Parafin ada pada konsentrasi sekitar 12 %, dari n-C14 sampai n-C37, dengan maksimum pada n-C27 sampai n-C30. Karbon parafin yang tak lazim adalah tidak banyak. Air laut dari berbagai sumber (dikumpulkan pada kedalaman sampai 4500 meter) menunjukkan komposisi hidrokarbon terlarut yang sama. Komposisi ini tidak berbeda jauh dari hidrokarbon yang biasanya ditemukan dalam alga. Diduga bahwa hidrokarbon air laut berasal dari mikro atau makro fitoplankton. Perairan pesisir dengan jelas menunjukkan polusi oleh hidrokarbon-hidrokarbon berberat molekul rendah atau hidrokarbon berklorin.

Bab VI
Ion dan Mineral di Dalam Air dan Peranan Biologisnya

Ion-Ion Dalam Air Laut

Menurut Mowka (2009) ion adalah partikel bermuatan listrik. Ion memiliki kelebihan elektron (bermuatan negatif) atau kekurangan elektron (bermuatan positif). Beberapa molekul membentuk ion bila mereka dilarutkan di dalam air. Natrium klorida (NaCl) bila dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion natrium bermuatan positif (Na+) dan ion klorida bermuatan negatif (Cl-). Kalium nitrat (KNO3) menghasilkan ion kalium bermuatan positif (K-) dan ion nitrat bermuatan negatif (NO3-). Ion bisa berupa atom seperti natrium, kalium dan klorida, bisa juga berupa molekul sepeti nitrat. Ion-ion mayor yang banyak terdapat dalam air laut adalah klorida, natrium, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium. Air laut juga mengandung ion-ion minor yaitu bikarbonat, bromida, borat, strontium dan silikat. Bikarbonat merupakan ion paling penting karena berperanan dalam mempertahankan pH air, atau yang dikenal dengan istilah buffering (penyangga). Borat juga berperanan dalam sistem buffer ini meskipun pengaruhnya kecil.

Peranan Ion Dalam Interaksi Air-Udara

Jungwirth dan Tobias (2006) mempelajari pengaruh ion spesifik pada bidang-batas air/udara. Bidang-batas yang mengandung larutan ion banyak dijumpai di mana-mana dan memainkan peranan penting dalam proses-proses fisika, kimia, atmosfer dan biologis antara lain sebagai berikut : (1) Ion-ion pada bidang-batas udara/air sangat penting bagi kimia atmosfer yang terjadi pada permukaan samudra dan aerosol air laut, demikian juga pada bongkahan-bongkahan salju di Kutub Utara yang tertutup percikan air laut. (2) Banyak jenis garam (misalnya NaCl) cenderung menghambat penggabungan gelembung, dan hal ini menjadi salah satu sebab mengapa buih terbentuk ketika gelombang air pecah di laut tetapi tidak terbentuk di danau air tawar. (3) Terlontarnya butiran garam yang terjadi pada bidang batas es/air laut berpengaruh terhadap iklim di daerah kutub. (4) Bidang batas cairan elektrolit/logam terlibat dalam elektroda dan proses perkaratan. (5) Ion tertentu memainkan peranan penting dalam interaksi antara partikel-partikel koloid dalam elektrolit. (6) Ion-ion pada bidang batas bio(makro)molekul/air sangat penting bagi stabilitas protein.

Kandungan Ion dan Mineral Dalam Perairan

Boyd (1982) menyatakan bahwa perairan permukaan biasanya merupakan larutan encer akali tanah bikarbonat dan karbonat, sehingga kalsium, magnesium, bikarbonat dan karbonat merupakan ion-ion dominan. Bagaimanapun, ada beberapa pengecualian. Di daerah kering, karbonat dan bikarbonat bisa mengendap dari larutan ketika penguapan meningkatkan konsentrasi ion. Perairan seperti ini bisa mengandung natrium, sulfat dan klorida dengan proporsi relatif tinggi.

Perairan asam di daerah pesisir yang lembab sering sedikit mengandung bikarbonat alkali tanah tetapi relatif kaya akan natrium dan klorida. Air sumur sepanjang dataran pesisir sering dikurangi kesadahannya oleh suatu proses di mana kalsium dan magnesium dalam air sumur digantikan oleh natrium yang berasal dari bahan-bahan padat di dalam lapisan air bawah-tanah. Kolam yang terisi air semacam air sumur seperti ini mengandung natrium dan bikarbonat dalam konsentrasi relatif besar tetapi miskin akan kalsium dan magnesium.

Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Konsentrasi Mineral Dalam Perairan

Dalam suatu daerah beriklim tertentu, derajat mineralisasi perairan permukaan mencerminkan kelarutan mineral-mineral dari tanah dan batuan di daerah tangkapan-air perairan tersebut. Perairan di daerah tanah yang kering dan tipis biasanya miskin mineral dari pada perairan di daerah yang bertanah subur dan tebal. Perairan yang mengaliri tanah yang berkembang dari batu kapur lebih kaya akan mineral dari pada perairan yang mengaliri tanah berpasir.

Lembah, dataran tinggi dan prairi berbatuan kapur memiliki hamparan tanah luas yang berkembang dari batuan kapur yang lapuk. Tanah liat tandus umum dijumpai di prairi, sedang tanah permukaan di dataran pesisir seringkali berpasir. Derajat mineralisasi meningkat dalam urutan dataran pesisir, lembah dan dataran tinggi berbatuan kapur, dan prairi. Bagaimanapun, perbedaannya relatif kecil dalam hal proporsi ion-ion utama di dalam perairan yang ada di daerah-daerah yang tanahnya berbeda-beda tersebut; semuanya merupakan larutan encer karbonat dan bikarbonat alkali tanah dengan konsentrasi natrium, kalium, klorida dan sulfat rendah (Boyd, 1982).

Pengaruh Kation Terhadap Kelarutan Karbon Dioksida

Menurut Cole (1994) kelarutan gas di dalam cairan merupakan fungsi dari sifat-sifat gas itu sendiri dan dipengaruhi oleh tekanan, suhu dan salinitas. Dalam hal ini berlaku hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu konstan jumlah gas yang diserap oleh suatu cairan dengan volume tertentu adalah sebanding dengan tekanan atmosfer gas tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan berikut :

c = K x p

Di sini c adalah konsentrasi gas yang diserap, bisa dinyatakan dalam miligram per kilogram, mikromol, milimol, miligram atau mililiter per liter. Tekanan parsial gas diberi simbol p, sedang K adalah faktor kelarutan yang nilainya berbeda-beda untuk setiap gas.

Kebanyakan gas mengikuti hukum Henry sehingga kita dapat menduga jumlah suatu gas yang akan ditemukan terlarut di dalam air danau. Namun konsentrasi CO2 bisa menjadi lebih tinggi daripada yang diramalkan oleh hukum Henry, yaitu bila karbon dioksida bergabung dengan kation-kation ketika masuk ke dalam air. Karbon dioksida ditemukan baik dalam bentuk bebas maupun terikat (Cole, 1994).

Peran Hormon Prolaktin Dalam Keseimbangan Ion Pada Ikan

Peran hormon prolaktin pada ikan teleostei air laut tidak sejelas pada ikan air tawar, terutama teleostei eurihalin, namun prolaktin tampaknya terlibat dalam pengurangan aliran natrium keluar dari tubuh pada beberapa spesies ikan laut. Pada ikan sebelah, Platichthys flescus, prolaktin mengurangi “sodium turnover” (natrium keluar tubuh dan digantikan natrium baru) sebesar 50 % tetapi aliran natrium keluar dari tubuh pada spesies ikan ini tidak banyak berkurang. Juga pada spesies ikan sebelah Platichthys stellatus, prolaktin mengurangi permeabilitas air dalam gelembung renang dan permeabilitas air dalam tubula ginjal. Prolaktin juga mengurangi aktivitas enzim ATP-ase yang diaktifkan natrium-kalium dalam insang dan ginjal (Matty, 1985).

Pengaruh Hujan Dan Kekeringan Terhadap Konsentrasi Ion di Perairan

Menurut Boyd (1982) rendahnya konsentrasi ion terlarut di perairan bisa disebabkan oleh tingginya curah hujan. Sebaliknya, tingginya konsentrasi ion terlarut di perairan bisa disebabkan oleh penguapan, terutama di daerah beriklim kering. Konsentrasi ion dalam air sumur lebih tinggi daripada konsentrasinya di perairan permukaan karena air sumur sering bersentuhan erat dengan mineral selama periode waktu yang lama. Konsentrasi ion total dalam perairan permukaan berkisar antara 20 – 500 mg/liter (untuk daerah dengan curah hujan sedang sampai tinggi) dan antara 500 – 2.500 mg/liter atau lebih (untuk daerah kering). Bandingkan dengan air laut yang mengandung sekitar 35.000 mg/liter ion total.

Konsentrasi Ion Dalam Darah Ikan Selama Aklimasi Terhadap Air Tawar

Venturini et al. (1992) mengevaluasi aktivitas ATPase ginjal, esofagus dan insang serta konsentrasi ion-ion Na+, K+ dan Cl- dalam serum darah pada ikan Eropean sea bass (Dicentrarchus labrax) selama aklimasi eksperimental terhadap air tawar. ATPase ginjal dan esofagus meningkat dalam salinitas rendah dan mencapai maksimum dalam air tawar. ATPase insang menurun selama percobaan aklimasi dan meningkat kembali sampai ke nilai normal setelah tiga minggu berada dalam air tawar. Konsentrasi ion Na+ dan K+ serum darah menurun selama percobaan ini dan meningkat lagi setelah tiga minggu berada dalam air tawar.

Penyerapan Ion-Ion dan Mineral Pada Ikan Air Tawar

Menurut Lagler et al. (1977) insang dan membran mulut ikan merupakan lokasi penyerapan ion aktif yang penting untuk mengganti kehilangan garam atau untuk melengkapi mineral makanan. Ion-ion berikut telah dibuktikan diserap oleh kedua struktur tersebut : litium (Li+), natrium (Na+), kalsium (Ca2+), klorin (Cl-), brom (Br-), fosfat asam (HPO4-) dan sulfat (SO42-). Masing-masing ion ini memiliki ambang batas penyerapannya sendiri-sendiri, tetapi data kuantitatif menunjukkan bahwa penyerapannya adalah sedikit kecuali klorin. Ikan lamprey (Petromyzon), karper (Cyprinus) dan ikan roach (Leuciscus, famili cyprinidae) mengambil ion klorida dari air sebanyak kurang dari 0,05 milimol Cl per liter. Ikan air tawar lain, seperti ikan perch (Perca), memerlukan konsentrasi ion klorida yang lebih tinggi daripada nilai ini sebelum penyerapan aktif melalui insang bisa berlangsung.

Lagler et al. (1977) menambahkan bahwa selain ada perbedaan yang bersifat spesifik-spesies dalam hal penyerapan ion klorida dan ion-ion lain, juga sangat mungkin bahwa perbedaan seperti ini meluas ke sifat-sifat fisiologis, tergantung pada karakteristik kimia air tempat hidupnya. Laju penyerapan ion ini bersesuaian dengan laju kehilangan ion lewat difusi : ikan lamprey (Petromyzon) menyerap 90 mikromol ion klor per 100 gram jaringan tubuh per jam, ikan salmon Atlantik (Salmo salar) 30, dan beberapa ikan minnow (cyprinidae) antara 4 dan 30. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa penggantian ion klorida secara aktif oleh penyerapan melalui insang bisa sangat melebihi kehilangan ion klorin secara pasif. Banyak jenis mineral digantikan lewat makanan dalam jumlah yang cukup, tetapi jenis-jenis mineral lain memiliki mekanisme penggantian yang sama seperti pada klorida.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Keseimbangan Ion Pada Kerang Anodonta

Maekelae dan Oikari (1992) mempelajari pengaruh rendahnya pH air terhadap keseimbangan ion pada kerang air tawar Anodonta anatina. Pada penelitian tersebut kerang air tawar Anodonta anatina selama 8 atau 10 hari dimasukkan ke dalam air dengan konsentrasi ion kalsium 3 mg per liter. Untuk menghasilkan pH antara 4,8 sampai 2,3 dan 7,3 maka air media pemeliharaan kerang ditambahkan asam sulfat. Berdasarkan hasil penelitian ini Maekelae dan Oikari (1992) menyimpulkan bahwa pH air 2,3 dan 2,6 menyebabkan laju mortalitas kerang menjadi 63 % selama 8 hari, tetapi pH yang lebih tinggi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kerang Anodonta. Secara umum, pH rendah menyebabkan penurunan konsentrasi ion-ion natrium dan klorida di dalam hemolimfa, serta menyebabkan penurunan konsentrasi ion natrium di dalam jaringan lunak kerang. Peningkatan konsentrasi ion-ion kalsium dan natrium dalam hemolimfa kerang juga ditemukan.

Peranan Transpor Ion Dalam Perkembangan Sel Telur Ikan

Menurut Alderdice (1988) dalam Hoar et al., (1988) transpor ion berperanan dalam oogenesis, yaitu proses pembentukan sel telur ikan. Pergerakan ion-ion (dan hormon) melintasi membran sel telur akan merangsang berlangsungnya rantai proses yang menyebabkan berkembangnya oosit (sel telur) dan sempurnanya meiosis. Studi elektrofisiologis dan sitologis sangat bermanfaat dalam mempelajari peristiwa ini. Pada penelitian-penelitian tersebut terlihat adanya perubahan penting dalam hal potensial-istirahat dan potensial-aksi membran plasma oosit. Gejala-gejala ini secara mendadak mengubah laju influx (pemasukan) atau efflux (pengeluaran) ion, yang umumnya melibatkan ion-ion Ca2+, K+, Na+ dan Cl-, akibat perbedaan potensial lstrik yang timbul berkaitan dengan perbedaan menyolok konsentrasi ion di dalam dan di luar membran. Perubahan potensial membran secara mendadak ini berhubungan dengan perubahan yang cepat permeabilitas membran plasma oosit terhadap ion-ion tertentu.

Alderdice (1988) dalam Hoar et al., (1988) menambahkan bahwa mekanisme atau lintasan penembusan ion yang menyebabkan transmembran (pergerakan melintasi membran) berfluktuasi sebagai respon terhadap rangsangan tertentu disebut “channel” (saluran). Secara morfologis, saluran ini bertingkah laku seperti struktur protein dengan sebuah lubang di tengah. Mereka bertindak seperti “pintu”, yang membuka dan menutup sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi ion di dalam dan di luar membran atau depolarisasi membran. Bagaimanapun, meskipun saluran yang dapat-dirangsang listrik – yang menunjukkan potensial aksi – telah ditemukan pada oosit hewan tunikata, anelida, moluska, echinodermata, amfibi dan mamalia, namun saluran-saluran seperti ini belum ditemukan pada telur ikan teleostei secara meyakinkan. Bukti-bukti mengenai adanya perangsangan oleh listrik pada oosit ikan teleostei masih jarang; telur ikan padi (Oryzias latipes) dilaporkan tak dapat dirangsang oleh listrik.

Percobaan penggantian ion memperlihatkan bahwa potensial membran tergantung pada ion K+ dan Na+, tetapi tidak tergantung pada Ca2+ atau Cl-. Meskipun saluran-saluran Na+, beberapa tipe saluran Ca2+ dan tiga tipe saluran K+ telah diidentifikasi, namun peranannya dalam transpor ion melintasi membran oosit relatif tidak diketahui. Diperkirakan bahwa berbagai saluran ion terbentuk, menghilang, atau terkumpul selama perkembangan oosit; sebagian saluran tersebut terselip atau hilang dan sebagian lainnya tetap ada.

Telah dilakukan penelitian terhadap ikan book trout Salvelinus fontinalis untuk membandingkan sifat-sifat elektrofisiologis oosit, yang dipisahkan dari jaringan folikel, dengan sifat elektrofisiologis telur terovulasi. Oosit kontrol yang memiliki gelembung germinal (sel kelamin) dibandingkan dengan oosit yang diberi perlakuan dengan hormon 17α-20β-dihidroksiprogesteron (DHP) untuk merangsang GVBD (Germinal Vesicle Breakdown; pemecahan gelembung germinal). Gamet-gamet ini disimpan dalam larutan garam Cortland dan diuji dalam berbagai modifikasi larutan Ringer, yang semuanya memiliki osmolaritas konstan 310 – 320 mOsm/kg.

Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa dibandingkan dengan oosit yang memiliki gelembung germinal, potensial membran dalam telur yang terovulasi mengalami penurunan secara tajam. Dengan alasan yang sama, hambatan membran jauh lebih tinggi pada oosit setelah terjadinya GVBD, dan meningkat tajam setelah ovulasi. Daya hantar ion sebelum dan sesudah GVBD kira-kira konstan, sedangkan daya hantar ion-ion K+ dan Na+ menurun tajam selama berlangsungnya ovulasi. Tak ada bukti terjadinya perubahan daya hantar Cl-. Perlakuan oosit kontrol di dalam larutan Ringer yang rendah-Na+ dan tinggi-K+ menyebabkan oenurunan hambatan membran dan potensial membran, yang memperkuat dugaan bahwa depolarisasi merangsang lintasan penghantaran ion. Sebuah penjelasan mengenai efek ini adalah daya hantar tergantung-voltase; namun pembatasan elektroda tidak membuktikan kemungkinan ini. Studi ini membuktikan bahwa GVBD dan ovulasi meningkatkan hambatan membran, menurunkan arus membran, dan bahwa daya hantar ion-ion Na+ dan K+ serta depolarisasi membran menurun dengan terjadinya ovulasi. Karena itu sebagai wakil dari salmonidae, telur matang ikan brook trout relatif tidak permeabel terhadap ion Na+ dan K+ sebelum pembuahan (Alderdice, 1988, dalam Hoar et al., 1988).

Peranan Ion Kalium Dalam Memulai Daya Gerak Sperma Ikan Teleostei

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Morisawa dan Suzuki (1980) menyimpulkan bahwa spermatozoa - yang tidak aktif di dalam larutan elektrolit dan non elektrolit yang isotonik terhadap plasma cairan sperma - akan menunjukkan daya gerak ketika cairan sperma tersebut diencerkan dengan larutan hipotonik pada ikan teleostei air tawar (empat spesies yang diuji) dan diencerkan dengan larutan hipertonik pada ikan teleostei laut (lima spesies yang diuji). Penurunan atau peningkatan, berturut-turut, dalam hal osmolalitas lingkungan mungkin menjadi faktor yang memulai daya gerak sperma pada spesies-spesies ikan tersebut. Daya gerak spermatozoa ikan chum salmon dalam larutan natrium klorida (yang isotonik terhadap plasma cairan sperma) terhambat sama sekali oleh sekitar 10 milimol ion kalium per kilogram. Spermatozoa ikan topminow, bagaimanapun, menjadi tidak bergerak di dalam larutan non elektrolit, dan daya geraknya dirangsang oleh elektrolit, terutama ion kalium. Dengan demikian ion, bukan osmolalitas, merupakan faktor penting yang menentukan daya gerak sperma ikan salmonidae dan teleostei vivipar. (catatan, vivipar = melahirkan anak).

Peranan Gelembung Renang Dalam Transpor Ion dan Air

Baldisserotto et al. (1990) melakukan studi untuk membandingkan konsentrasi ion-ion (Na+, K+, Cl-, Ca2+ dan Mg2+) di dalam empedu gelembung renang dan plasma darah beberapa spesies ikan teleostei air tawar, yaitu Sebastiscus marmoratus, Prochilodus affinis dan Prochilodus marggravii. Data untuk konsentrasi ion-ion di dalam empedu gelembung renang ikan Prochilodus scrofa juga disajikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua spesies yang dipelajari tersebut memiliki konsentrasi ion-ion Na+, K+, Ca2+ dan Mg2+ yang lebih tinggi dan konsentrasi ion Cl- yang lebih rendah di dalam empedu gelembung renang daripada di dalam plasma darah. Konsentrasi ion-ion Na+ dan K+ di dalam empedu gelembung renang tidak berbeda pada spesies-spesies ikan yang dipelajari. Empedu ikan Prochilodus scrofa memiliki konsentrasi ion Cl- yang lebih rendah dibandingkan pada ketiga spesies yang lain, konsentrasi Ca2+ yang lebih rendah dibandingkan pada Prochilodus affinis dan Prochilodus marggravii , serta konsentrasi Mg2+ yang lebih rendah dibandingkan pada Sebastiscus marmoratus dan Prochilodus affinis. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan tidak mengubah konsentrasi ion di dalam empedu gelembung renang ikan, dan bahwa epitel gelembung renang spesies-spesies ikan tersebut mentranspor ion dan air sehingga memekatkan ion-ion Na+, K+, Ca2+ dan Mg2+ serta menurunkan konsentrasi ion Cl-.

Laju Penggantian Ion Pada Ikan Cucut

Carrier dan Evans (1972) mempelajari laju “turnover” (penggantian) ion dan air pada ikan cucut perawat Ginglymostoma cirratum dengan bantuan radioisotop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju turnover adalah 0,46 persen/jam untuk ion natrium, 1,52 persen/jam untuk ion klorida, 81 persen/jam untuk air dan 0,14 persen/jam untuk urea. Perbandingan dengan data lain yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa laju turnover air pada ikan cucut ini jauh lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan pada ikan-ikan teleostei laut, sedangkan laju turnover untuk ion natrium dan klorida adalah sekitar 5 persen dibandingkan laju yang ditemukan pada ikan-ikan teleostei laut. Laju turnover urea sesuai dengan data yang telah dipublikasikan mengenai laju sintesis urea pada spesies elasmobtanchii lain.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar