Rabu, 24 Januari 2018

Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Dampak Biologisnya

Bab I
Kondisi Logam-Logam Berat di Perairan Pesisir

Keberadaan Logam Berat di Perairan Pesisir

Buangan limbah, baik dalam bentuk air buangan dari instalasi pengolah limbah cair atau limbah padat dari kegiatan sanitasi maupun uap dari pembakaran limbah, merupakan sumber bahan beracun bagi lingkungan. Pada kebanyakan sistem pembuangan limbah saat ini, hanya sebagian kecil bahan beracun dapat dihilangkan sebelum limbah cair atau uap memasuki perairan atau atmosfer.

Limbah industri secara tak terbatas dapat digolongkan menurut senyawa dan sumbernya. Cukup dikatakan bahwa limbah organik total dari industri yang menggunakan–air diduga memiliki kekuatan polusi 3-4 kali kekuatan polusi limbah domestik dan limbah perkotaan. Jenis-jenis industri yang menyumbangkan limbah beracun total mencakup (a) industri penghasil racun (pestisida yang mengandung PCB), dan (b) industri yang, karena melibatkan berbagai proses, menghasilkan secara tak disengaja limbah beracun (misal logam berat) atau memanfaatkan biosida (misal cairan pembersih atau senyawa pengusir ngengat) dalam proses produksinya.

Perhatian terhadap logam berat yang ada di perairan pesisir dan perairan lainnya bukanlah hal baru, juga tidak hanya terbatas di Amerika Serikat saja. Penentuan tingkat di atas-normal logam berat sulit dilakukan karena kekompekan variasi alami daerah pesisir. Konsentrasi merkuri di dalam tubuh ikan laut yang baru ditangkap dan di dalam spesimen dari spesies yang sama yang disimpan di laboratorium tampaknya adalah sama, tetapi keberadaan merkuri bisa karena kejadian-kejadian yang tidak wajar. Sebagai contoh, merkuri organik telah berkali-kali dinyatakan sebagai penyebab “penyakit Minamata” yang berbahaya, sehingga orang yang banyak memakan biota laut akan keracunan merkuri. Antara tahun 1956 dan 1973 di Jepang tekah terjadi tiga kali kasus penyakit Minamata ini.

Jelas bahwa logam-logam berat memasuki esutaria. Para peneliti telah menunjukkan bahwa bila logam berat dimasukkan ke hulu sungai maka hanya sebagian kecil saja yang dapat ditemukan di dalam air yang meninggalkan estuaria, sementara peneliti lain melaporkan bahwa konsentrasi logam berat di dekat pantai lebih tinggi daripada di perairan yang lebih jauh ke arah lepas pantai.

Logam berat cenderung bergabung dengan fraksi organik sedimen dasar estuaria dan tampaknya terkonsentrasi lebih banyak di lapisan permukaan sedimen daripada di sedimen yang lebih dalam. Hal ini memperkuat dugaan bahwa input dari manusia modern ikut berperanan.

Kecepatan pemindahan logam akibat manusia melebihi kecepatan akibat proses geologis alami sampai beberapa derajat. Sebagai contoh, manusia meningkatkan produksi perak dan merkuri (melalui kegiatan penambangan saja) dengan faktor mendekati dua. Besi, tembaga, seng dan timah hitam ditingkatkan dengan faktor 10, fosfor 30 dan timah 100.

Konsentrasi logam berat di dalam vegetasi yang diambil pada jarak yang makin jauh dari pabrik peleburan logam menunjukan bahwa partikel yang ada di udara dapat meningkatkan input polutan melalui hujan debu. Meskipun bukan merupakan sumber langsung logam berat, air pendingin instalasi listrik tenaga batu bara dapat bereaksi dengan sedimen yang mengandung logam berat sehingga logam berat tersebut dilepaskan ke air.

Biota estuaria mudah menimbun logam berat, baik rumput laut, kerang, ikan maupun burung pemakan-ikan. Yang menarik, kerang mampu menimbun logam berat sampai konsentrasi yang luar biasa. Sebagai contoh, oyster dari estuaria Patuxent, Maryland, menimbun tembaga sampai melebihi 1000 ppm, di mana pada keadaan ini dagingnya tampak berwarna hijau dengan rasa tidak enak.

Konsentrasi alami logam berat di dalam air laut mungkin kecil bila dibandingkan dengan yang ada di dalam lumpur dasar. Sebagai contoh, konsentrasi logam kadmium hampir mencapai 0,08 ppm di air laut tetapi 130 ppm di lumpur dasar. Konsentrasi racun di dalam biota laut bervariasi dari 0,01 sampai 10 ppm. Konsentrasi logam berat di dalam lumpur limbah dapat mencapai nilai tinggi. Sebagai contoh, konsentrasi tembaga dan seng rata-rata adalah mendekati 600 dan 1500 ppm dalam lumpur dasar, namun dalam tubuh biota laut berturut-turut 0,1 dan 10 ppm.

Konsentrasi merkuri dalam tubuh ikan dari perairan tak tercemar umumnya kurang dari 0,1 ppm (berdasarkan berat basah), sedangkan sampel dari perairan tercemar memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi logam-logam berat di dalam daging kepiting komersial rata-rata adalah 21 ppm besi, 46 ppm seng, 466 ppm magnesium dan hampir 15 ppm tembaga.

Pengaruh biologis logam-logam ini terhadap ekosistem estuaria sangat bervariasi, bergantung pada jenis logam, organisme dan faktor pemodifikasi misalnya adanya racun lain, kondisi lingkungan serta umur atau kondisi organisme.

Berdasarkan pada penurunan daya racun terhadap biota air, maka merkuri, perak dan tembaga menempati posisi teratas, diikuti oleh kadmium, seng, timah hitam, kromium, nikel dan kobal. Bagaimanapun, daya racun kadmium perlu dipertimbangkan, terutama dalam hal pengaruh teratogenik (menimbulkan cacat) pada mamalia.

Ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri yang sama dengan konsentrasi yang ditemukan d1 laut akan berpengaruh buruk terhadap plankton, pangkal utama banyak rantai makanan laut. Spesies organisme tertentu peka terhadap logam beracun tertentu, dan berbagai spesies menunjukkan respon yang sangat bervariasi terhadap satu jenis logam berat. Dengan demikian, karena kepekaan yang beraneka ragam, komposisi spesies di daerah tertentu dapat berubah secara drastis.

Bentuk-Bentuk Ion Aluminium di Alam

Aluminium merupakan unsur ketiga paling melimpah di tanah, menyumbang rata-rata 8 % mineral. Di permukaan mineral yang terpengaruh cuaca, aluminium ditemukan sebagai oksida dan polimer hidroksida. Pada kondisi asam, senyawa-senyawa ini terlarut hingga membentuk ion Al terhidrat , Al(H2O)6 3+ (ditulis Al3+ untuk singkatnya) atau produk-produk hidrolisis dari ion ini. Ion Al diikat oleh titik-titik pertukaran kation pada partikel tanah dan dengan demikian bisa memasuki akar tumbuhan. Al3+ merupakan ion Al dominan pada pH kurang dari 4,5. Sejak awal abad ini, Al3+ dianggap sebagai faktor pembatas penting pertumbuhan di tanah asam, bersama-sama dengan pH rendah dan kelangkaan makronutrien dalam tanah tersebut (Rosseland et al., 1990).

Pengaruh Fisiologis Logam Berat Terhadap Ikan

Smith (1982) melaporkan timbulnya kecemasan luar biasa pada awal tahun 1970-an terhadap air raksa dalam ikan dan dalam lingkungan, sebagaimana logam berat lainnya seperti timah hitam dan seng. Kecemasan yang berlebihan mungkin tidak beralasan, namun penelitian terus dilakukan terhadap peranan kompleks logam-logam berat di dalam lingkungan perairan dengan pertimbangan yang lebih baik. Pengkambinghitaman industri yang berlebihan telah dikoreksi, dan penelitian metabolik pada manusia menunjukkan bahwa lebih banyak logam berat yang keluar melewati tubuh (daripada yang diendapkan dalam tubuh) dibandingan yang semula diyakini. Keberadaan logam berat dalam lingkungan perairan sebaiknya menjadi penyebab perhatian, tetapi tidak selalu menjadi penyebab peringatan akan bahaya.

Menurut Smith (1982) sebagian pengaruh logam berat pada ikan bersifat sangat langsung. Di Inggris, limpasan air dari daerah pertambangan menjadi agak asam dan membawa sejumlah cukup besar seng terlarut (Zn2+). Logam ini merangsang produksi lendir dan pengendapan logam tersebut. Endapan ini bisa menutupi membran insang dengan cukup tebal sehingga ikan tidak bisa bernafas. Dalam penelitian 96-jam lainnya mengenai limbah bubur kertas (pulp) di Kanada, seng menurunkan jumlah limfosit kecil yang ada di dalam darah yang sedang beredar pada ikan coho salmon tetapi tidak mempengaruhi jumlah eritrosit.

Bab II
Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Keberadaan Logam Berat di Estuaria

Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa logam berat berumur sangat panjang dan dapat sangat beracun. Di dalam lingkungan estuaria, logam berat tidak dapat dimanfaatkan oleh biota air karena kekuatan ikatan kimianya sehingga logam berat ini terdaur ulang melalui rantai makanan secara terus menerus tanpa berakhir. Logam berat dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia maupun alam. Logam berat ditemukan dalam ramuan pestisida, limbah industri dan perkotaan serta limbah dari kegiatan penggalian tanah dan penambangan. Bila logam berat dimasukkan ke hulu sungai maka hanya sebagian kecil saja yang dapat ditemukan di dalam air yang meninggalkan estuaria. Konsentrasi logam berat di dekat pantai lebih tinggi daripada kosentrasinya di perairan yang lebih jauh ke arah laut. Logam berat cenderung bergabung dengan fraksi organik sedimen dasar estuaria dan tampaknya terkonsentrasi lebih banyak di lapisan permukaan sedimen daripada di dalam sedimen yang lebih dalam. Konsentrasi alami logam berat di dalam air laut mungkin lebih kecil bila dibandingkan dengan yang ada di dalam lumpur dasar. Sebagai contoh, konsentrasi kadmium hampir mencapai 0,08 ppm di air aut tetapi 130 ppm di lumpur dasar.

Lincer dan Haynes (1976) menambahkan bahwa biota estuaria, baik rumput laut, kerang, ikan maupun burung pemakan ikan, mudah menimbun logam berat. Kerang mampu menimbun logam berat sampai konsentrasi yang luar biasa. Sebagai contoh, oyster di estuaria Patuxent, Maryland, menimbun tembaga sampai melebihi 1000 ppm, di mana pada keadaan ini dagingnya tampak berwarna hijau dengan rasa tidak enak. Kadar merkuri dalam tubuh ikan di perairan tak tercemar umumnya kurang dari 0,1 ppm (berdasarkan berat basah), sedangkan sampel dari perairan tercemar memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi logam-logam berat di dalam daging kepiting komersial rata-rata adalah 21 ppm besi, 46 ppm seng, 466 ppm magnesium dan hampir 15 ppm tembaga. Berdasarkan urutan daya racun yang makin kecil terhadap biota air maka merkuri, perak dan tembaga menempati posisi teratas, diikuti oleh kadmium, seng, timah hitam, kromium, nikel dan kobal. Bagaimanapun, daya racun kadmium perlu dipertimbangkan terutama dalam hal pengaruh yang bersifat teratogenik (menimbulkan cacat) pada mamalia.

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat Dalam Jaringan Cumi-Cumi

Miramand dan Bentley (1992) mengukur konsentrasi 11 jenis logam berat (perak, kadmium, kobal, kromium, tembaga, besi, mangan, nikel, timah hitam, vanadium dan seng) dalam jaringan dua spesies cephalopoda Eledone cirrhosa dan Sepia officinalis yang dikumpulkan dari pesisir Perancis di Selat Inggris pada bulan Oktober 1987. Jaringan cumi-cumi yang diamati adalah kelenjar pencernaan, saluran genital, jantung branchial, insang, saluran pencernaan, ginjal, otot, kulit dan cangkang. Jaringan kedua spesies cephalopoda ini menunjukkan kesamaan pola penimbunan logam berat : kelenjar pencernaan, jantung branchial dan ginjal merupakan lokasi utama penimbunan ke-11 logam berat yang diamati; kelenjar pencernaan menimbun perak, kadmium, kobalt, tembaga, besi, timah hitam dan seng; jantung branchial kaya akan tembaga, nikel dan vanadium; sedang ginjal menimbun banyak mangan, nikel serta timah hitam. Kelenjar pencernaan, yang menyumbangkan 6 – 10 % dari seluruh jaringan binatang, mengandung lebih dari 80 % konsentrasi badan total untuk perak, kadmium dan kobal serta mengandung 40 – 80 % konsentrasi badan total untuk logam-logam lain.

Pengaruh Logam Berat Terhadap Indra Pengecap Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa logam berat memberikan efek yang tidak lazim terhadap indra pengecap ikan. Perlakuan reseptor eksternal (indra pengecap) pada hidung ikan dengan menggunakan larutan encer Hg2+ atau Pb2+ diikuti pembilasan dengan air suling menunjukkan hasil bahwa reseptor pengecap menjadi kurang peka, baik terhadap logam berat maupun bahan kimia lain. Sekali respon tersebut diturunkan atau dihalangi oleh Hg2+ , respon tersebut tetap terhalang lebih lanjut meskipun logam berat itu sudah terbilas. Bagaimanapun, pembilasan dengan CuSO4 encer bisa memulihkan respon normal.

Logam Berat Mengganggu Proses Pematangan Sel Telur Ikan

Mommsen dan Walsh (1988) dalam Hoar et al. (1988) melaporkan bahwa logam kadmium dan tembaga diketahui tertimbun di dalam jaringan hati ikan, dan pada saat proses pematangan akhir sel telur dan penimbunan kuning telur maka logam-logam berat ini dipindah dari hati ke gonad dan ditimbun di dalam telur. Pada satu sisi hal ini merupakan cara pasif bagi ikan betina untuk mengurangi konsentrasi logam di dalam hatinya, namun pada sisi lain cara ini sangat berbahaya bagi sel telur. Tidaklah berlebihan untuk menduga bahwa dalam situasi di mana beban logam-logam berat meningkat dari konsentrasi sangat kecil menjadi konsentrasi sub letal, perpindahan logam berat ke gonad bersamaan dengan proses pematangan sel telur bisa menyebabkan penimbunan bahan beracun kuat ini di dalam sel telur. Walaupun logam berat ini sekarang tidak mempengaruhi ikan laut, keberadaannya mencemaskan bagi ikan-ikan perairan tawar dan payau di banyak bagian dunia. Komponen vitelogenin (kuning telur) itu sendiri mungkin terlibat dalam transpor logam berat dari hati ke gonad mengingat kemampuan vitelogenin dalam mengikat ion.

Mommsen dan Walsh (1988) menambahkan bahwa masalah lain bisa muncul melalui persaingan antara logam-logam berat yang ditimbun di dalam hati dengan ion-ion logam yang normalnya dipindah menuju gonad selama vitelogenesis (proses pembentukan komponen-komponen kuning telur), yakni magnesium, kalsium dan besi. Meskipun ikan dewasa dapat mengikat dan menetralkan racun logam-logam berat dengan cukup efisien melalui sintesis metalotionin di dalam hati secara spesifik, namun proses ini tidak cukup cepat untuk menghilangkan beban logam berat dari tubuh induk dan dengan demikian berpotensi meracuni sel telur. Juga karena metalotionin dirangsang di dalam hati, efektivitas sintesisnya bersaing dengan vitelogenin dan dengan demikian bisa diduga mengganggu keseimbangan arus vitelogenin ke gonad.

Pelepasan Logam-Logam Berat Oleh Diatom

Lee dan Fisher (1992) mengkultur diatom Thalassiosira pseudonana tanpa zat hara dalam kondisi gelap selama 22 hari; laju pelepasan karbon dan tujuh jenis logam diukur dengan radiotracer (pelacak radioaktif). Karbon seluler hilang lebih cepat pada suhu 18 oC dibandingkan pada suhu 4 oC karena lebih tingginya aktivitas mikroba pada suhu 18 oC. Laju kehilangan karbon berkurang setelah 7 hari. Formalin dan HgCl2 menghambat aktivitas mikroba sebagaimana ditunjukkan oleh evolusi 14CO2; keefektivan NaN3 lebih kecil. Sel diatom yang diberi perlakuan racun melepaskan 33 – 39 % karbonnya (sebagai karbon organik terlarut) dan sejumlah besar kadmium, selenium, seng dan perak. Kadmium, selenium dan seng, yang terutama dalam bentuk fraksi terlarut d dalam sel, dilepaskan dengan laju yang sama seperti laju pelepasan karbon serta dipengaruhi oleh aktivitas mikroba dan suhu. Sebaliknya, perak, amerisium, cerium dan kobalt dipertahankan oleh sel diatom yang membusuk; pelepasan unsur-unsur in lebih lambat daripada pelepasan karbon, dan suhu aktivitas mikroba tidak banyak berpengaruh terhadap laju pelepasan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadmium, selenium dan seng dengan cepat didaur ulang dari sisa-sisa plankton di perairan permukaan, sedangkan cerium, amerisium, perak dan kobalt dipindahkan dari perairan permukaan bersama tenggelamnya fitoplankton.

Bab III
Keberadaan Logam Berat di Lingkungan dan Penanganannya

Penyingkiran Logam Berat Dari Air Limbah

Goronszy et al. (1992) menyatakan bahwa metode yang paling sering dipakai untuk menghilangkan logam berat dari air limbah adalah dengan mengendapkan logam sebagai hidroksida. Untuk melakukannya, kapur atau kaustik ditambahkan ke air limbah guna menaikkan pH hingga mencapai titik di mana kelarutan logam minimum. Pada nilai pH ini terbentuk partikel-partikel hidroksida logam berukuran kecil. Kelarutan berbagai jenis logam bervariasi tergantung pH. Bagaimanapun, dalam air yang mengandung beberapa jenis logam, yang masing-masing memiliki kelarutan berbeda-beda, pengendapan hidroksida logam akan terbatas. Setelah hidroksida logam terbentuk maka partikel-partikel yang berukuran kecil ini harus digumpalkan atau digabungkan menjadi partikel-partikel yang lebih besar dan lebih berat. Makin berat suatu partikel makin cepat ia mengendap. Hidroksida sering berflokulasi (menarik satu sama lain hingga membentuk gumpalan) tetapi umumnya tidak cukup sempurna untuk dihilangkan. Dalam hal ini, flokulan polimer harus ditambahkan ke dalam air limbah sehingga logam berat berflokulasi serta mengendap dan dapat dipisahkan.

Setelah logam dipisahkan dari air limbah, lumpur (yang masih mengandung 96 – 99 % air) dipindahkan ke tempat pengeringan atau filter hampa udara atau diperas dengan filter press untuk menurunkan kadar airnya, sehingga kandungan airnya tinggal 65 – 85 %. Lumpur yang kadar airnya telah diturunkan ini dapat dijadikan penimbun tanah, tetapi lumpur ini dapat digolongkan sebagai limbah berbahaya, bergantung pada senyawa-senyawa pencemar yang dikandungnya.

Goronszy et al. (1992) menambahkan bahwa meskipun merupakan metode yang paling populer untuk menghilangkan logam, teknik pengendapan hidroksida (hydroxide precipitation) bukanlah satu-satunya cara. Logam dapat juga diendapkan dari air limbah sebagai karbonat atau sebagai sulfida. Pengendapan sulfida mempunyai keuntungan karena sulfida logam memiliki kisaran kelarutan minimum yang lebar. Kerugiannya, lumpur yang dihasilkan lebih sulit untuk diperas airnya daripada lumpur hasil pengendapan hidroksida, selain itu gas yang dihasilkannya berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, pengendapan sulfida hanya digunakan sebagai “jalan pintas” setelah pengendapan hidroksida dilakukan. Ada banyak metode lain untuk menghilangkan logam. Sebagai contoh, beberapa jenis logam seperti arsenik akan dijerap (diadsorpsi) oleh flokulan besi atau tawas yang bekerja pada pH netral. Damar penukar-ion, karbon aktif dan osmosis balik bisa juga dipakai untuk menyingkirkan logam dari air limbah.

Referensi :

Goronszy, M.C., W.W. Eckenfelder and E. Froelich. 1992. A Guide to Industrial Pretreatment Waste Water. A Variety of Mechanical and Biological Methods Are at Your Disposal. Chemical Engineering, November 1992, pp. 4 - 11

Lee, B.G. and N.S. Fisher. 1992. Degradation and Elemental Release Rate From Phytoplankton Debris and Their Geochemical Implications. Limnology and Oceanography, Vol. 37, No. 7, pp. 1345 - 1360

Lincer, J.L. and M.E. Haynes. 1976. The Ecological Impact of Synthetic Organic Compounds on Estuarine Ecosystems. USEPA, Washington. 354 pp.

Miramand, P. and D. Bentley. 1992. Concentration and Distribution of Heavy Metals in Tissue of Two Cephalopods, Eledone cirrhosa and Sepia officinalis, From The French Coast of The English Channel. Marine Biologi, Vol. 114, No. 3, pp. 407 - 414

Mommsen, T.P. and P.J. Walsh. 1988. Vitellogenesis and Oocyte Assembly in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson (Eds.). 1988. Fish Physiology, Vol. XI. Part I. Academic Press, New York. 546 pp.

Rosseland, B.O., T. D. Eldhuset and M. Staurnes. 1990. Environmental Effects of Aluminium. Environmental Geochemistry and Health, Vol. 12, No. 1 - 2, pp. 17 – 27

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.


ARTIKEL TERKAIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar