Bab I
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi
Perubahan Struktur Daging Cumi-Cumi Yang Disimpan-Dingin
Kagawa et al. (2002) mengamati perubahan tekstur dan komponen protein selama penyimpanan dingin berbagai varietas cumi-cumi. Daging mentah cumi-cumi oval, cumi-cumi Jepang dan cumi-cumi panah diiris dalam kondisi segar dan disimpan pada suhu 4 °C selama 0, 4, 8, 12, 18, 24, 48 dan 120 jam. Kemudian dilakukan pengukuran sifat reologis, komponen protein dan jumlah kolagen. Daya rekat setiap jenis cumi-cumi meningkat nyata pada awal tahap penyimpanan dingin. Pada semua varietas, penetrasi menurun pada jam ke-4, yang diduga disebabkan oleh rigor mortis, kemudian meningkat. Jumlah total kolagen, kolagen larut-air 20 °C dan kolagen larut-air 70 °C tidak berubah nyata pada setiap varietas selama penyimpanan dingin. Pola "sodium dodecylsulfate - polyacrylamide gel electrophoresis" (SDS-PAGE) menunjukkan bahwa komponen 580 kDa secara perlahan-lahan hilang sampai jam ke-48. Korelasi antara jumlah komponen 580 kDa dan daya rekat atau "firmness" (kekuatan daging) adalah tinggi. Model kesesuaian yang berdasarkan kinetika kimia melukiskan dengan tepat perilaku daya rekat, firmness dan penetrasi yang menunjukkan bahwa 63,2 % perubahan daya rekat terjadi pada jam ke-13 sampai 19 dan bahwa 63,2 % perubahan firmness terjadi pada jam ke-18 sampai jam ke-24.
Komposisi Kimia dan Sifat-Sifat Termal Daging Cumi-Cumi
Thanonkaew et al. (2006) mempelajari komposisi kimia dan sifat-sifat termal daging cumi-cumi (Sepia pharaonis). Kepala dan mantel cumi-cumi mengandung 11,9 - 14,9 % protein, 0,5 % lemak, 1,2 - 1,3 % abu, dan 0,6 - 1,8 % kolagen. Lipida dari kepala dan mantel mengandung fosfolipid sebagai komponen utama (78,6 - 87,8 % total lipid), dengan 10,6 - 19,5 % digliserida. Asam lemak politakjenuh menyumbangkan 50,3 - 54,9 % asam lemak dengan kandungan DHA dan EPA yang tinggi. Kandungan n-3 PUFA lebih tinggi daripada n-6 PUFA. C16:0 dan C18:0 merupakan asam lemak jenuh yang paling banyak di dalam kepala dan mantel. Otot cumi-cumi terdiri-dari protein myofibrilar sebagai protein utama (53,1 - 58,4 %). Analisis "Sodium dodecylsulfate-polyacrylamide gel electrophoresis" (SDS-PAGE) menunjukkan bahwa "myosin heavy chain" (MHC, rantai berat myosin), paramyosin dan aktin merupakan protein utama dengan porsi yang bervariasi. Studi "Differential scanning colorimetric" (DSC) menunjukkan tiga transisi yang bersesuaian dengan denaturasi termal myosin dan paramyosin, jaringan penghubung (connective tissue) dan aktin, pada suhu 49,8 - 50,3, 59,8 - 60,3 dan 74,7 - 78,8 °C, berturut-turut. Seng dan besi merupakan mineral "trace" yang dominan dalam kedua porsi.
Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Daging Cumi-Cumi
Dabrowski et al. (1970) melakukan pengamatan terhadap ukuran dan berat berbagai bagian tubuh dan komposisi kimia daging mantel, lengan dan bagian kepala atau seluruh tubuh cumi-cumi (Sepia sp.). Rata-rata hasil total daging yang bisa dimakan adalah 65,7 % dan meningkat dengan bertambahnya panjang dan bobot. Daging cumi-cumi utuh mengandung air 77,3 %, lemak 0,25 %, abu 1,58 %, total protein 8,29 %, di mana 74,58 % merupakan protein sebenarnya dan 0,75 % nitrogen non-protein. Daging mantel memiliki nilai-nilai yang lebih besar untuk berat kering, abu, total protein dan nitrogen non-protein daripada daging lengan plus kepala. Ada 20 jenis asam amino bebas dalam daging dan 18 asam amino dalam protein.
Pengaruh Umur Terhadap Kandungan Logam Berat Dalam Cumi-Cumi
Miramand et al. (2006) mempelajari perubahan konsentrasi 8 jenis logam berat esensial dan non esensial (perak, kadmium, tembaga, kobalt, besi, timah hitam, vanadium, seng) di dalam jaringan (kelenjar pencernaan, tulang cumi dan cumi utuh) pada cumi-cumi Sepia officinalis yang dikumpulkan di teluk Sungai Seine; pengamatan dilakukan sejak akhir embryogenesis sampai tahap dewasa reproduktif. Dibandingkan dengan embryo, juvenil setelah menetas menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk perak, tembaga, besi dan seng, yang membuktikan efisiensi penyerapan logam-logam tersebut dari air laut. Sebaliknya, jumlah kadmium, timah hitam dan vanadium pada individu yang baru menetas tetap konstan yang membuktikan bahwa logam-logam berat ini tersedia secara biologis bagi cumi-cumi juvenil. Segera setelah juvenil mulai makan, kelenjar pencernaan tampak memainkan peranan utama dalam penyimpanan logam. Hanya sebulan setelah hidup sebagai bentos, kelenjar pencernaan mengandung sampai 90 % dari total kandungan logam berat seluruh tubuh, yang menunjukkan bahwa kelenjar pencernaan memainkan peranan utama dalam penyimpanan dan detoksifikasi logam-logam tertentu. Konsentrasi logam di dalam kelenjar pencernaan meningkat secara logaritmik sejalan dengan umur sepanjang hidup cumi-cumi, kecuali untuk perak, yang menurun segera setelah cumi-cumi bermigrasi ke laut lepas.
Variasi Musiman Kandungan Asam Lemak Dalam Daging Cumi-Cumi
Özyurt et al. (2006) mengamati total lipida dan variasi musiman kandungan asam-asam lemak dalam mantel cumi-cumi (Sepia officinalis) yang ditangkap di Mediterania timur laut. Hasilnya menunjukkan bahwa mantel merupakan sumber yang baik untuk asam-asam lemak politakjenuh (terutama omega 3 PUFA). Di semua musim, asam lemak utama dalam mantel cumi-cumi adalah asam palmitat (16:0), asam stearat (18:0), eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5 omega 3) dan docosahexaenoic acid (DHA, 22:6). Perbandingan asam lemak jenuh (29,5 - 36,8 %), asam lemak monotakjenuh (7,81 - 9,84 %) dan asam lemak politakjenuh (43,7 - 49,6 %) dalam mantel cumi-cumi menunjukkan bahwa asam lemak politakjenuh (PUFA) menyumbangkan proporsi tertinggi. Kandungan DHA dalam mantel cumi-cumi pada musim gugur, dingin, semi dan panas adalah 27,6 %, 28,5 %, 29,5 % dan 23,9 %, sedangkan kandungan EPA adalah 16,8 %, 15,4 %, 14,7 % dan 13,9 %, berturut-turut.
Nilai Gizi Daging Cumi-Cumi Sebelum dan Selama Penyimpanan Dingin
Sykes et al. (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk menentukan nilai gizi cumi-cumi komersial dewasa, guna mengembangkan skema Quality Index Method (QIM), dan untuk mengevaluasi penerapan beberapa metode biokimia yng umum digunakan untuk menduga kesegaran ikan pada kondisi penyimpanan dingin. Selain itu, daya awet (self-life) ditentukan berdasarkan metode QIM maupun metode biokimia yang sesuai. Nilai gizi daging mantel cumi-cumi dalam 24 jam pertama dan setelah 13 hari ditentukan. Cumi-cumi hasil tangkapan tersusun dari, berdasarkan gram/100 gram, 16,60 ± 0,10 gram protein, 0,09 ± 0,01 gram lemak, 79,55 ± 0,14 gram air dan 1,39 ± 0,03 gram abu. Setelah 13 hari disimpan dalam es, daging cumi-cumi tersusun (berdasarkan gram/100 gram) dari 11,90 ± 0,28 gram protein, 0,17 ± 0,09 gram lemak, 87,04 ± 0,13 gram air dan 0,52 ± 0,01 gram abu. Perbedaan (p < 0,001) ditemukan untuk protein, abu dan kadar air tetapi tidak untuk kadar lemak (p > 0,05). Hasil-hasil ini tampaknya menunjukkan bahwa air es masuk ke dalam jaringan otot mantel cumi-cumi yang mendorong tercucinya protein dari daging cumi-cumi bersama dengan es yang mencair. TVB-N dan TMA-N menunjukkan kecenderungan peningkatan yang sama, dengan nilai maksimal pada hari ke-9 dan ke-10 melebihi nilai maksimal yang disarankan oleh undang-undang EEC (European Economic Community). Skema QIM yang dikembangkan untuk cumi-cumi tersusun dari 29 titik demerit, yang dibagi menjadi 4 sifat dan 13 parameter. Quality Index (QI) hasil perhitungan dikembangkan secara linier dengan lama penyimpanan dalam es (QI = 2.68 × hari dalam es - 0.61, R2 = 0.9866). Lama penyimpanan dapat diperkirakan dengan tepat ± 1 hari, bila lima cumi-cumi dari setiap sampel disertakan dalam pendugaan QIM. Daya awet diperkirakan adalah 8 ± 1 hari berdasarkan kedua metode (QIM dan biokimia).
Bab II
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika
Daging Ikan Bergizi Tinggi (Highly Nutritional Fish Meat/HNFM)
Nonaka et al. (1989) melaporkan bahwa sebagai tipe baru daging cincang ikan untuk bahan makanan, daging bergizi tinggi (atau disebut "highly nutritional fish meat/HNFM") dari ikan sardin cincang telah dikembangkan. Proses pembuatannya adalah sebagai berikut : daging cincang segar digiling dalam larutan dingin 0,1 % NaHCO3 dan 0,1 % NaCl dengan volume 4 kali volume daging ikan; kotoran seperti tulang dan kulit dibuang. Daging giling ini dipisahkan dari air, lipida dan bau yang tak dikehendaki dengan cara sentrifugasi; kemudian dicampur dengan aditif. HNFM dengan demikian mengandung lipida 60 - 80 % lebih sedikit dan senyawa volatil sekitar 60 % lebih sedikit dibandingkan dengan surimi sardin asli, dan hanya mengandung sedikit flavor ikan.
Kandungan Gizi Daging Ikan Budidaya Dibandingkan Dengan Ikan Liar
Amerio et al. (1996) menentukan komposisi analitik dan nilai gizi filet ikan hasil budidaya intensif yang ada di pasar Italia seperti ikan sidat, rainbow trout, sea bass dan sea bream. Kandungan lipida (4,08 % dalam daging segar ikan rainbow trout, 6,81 % dalam sea bream, 7,62 % dalam sea bass, 27,19 % dan 30,57 % dalam sidat 700 dan 200 gram, berturut-turut) adalah lebih tinggi daripada data yang dilaporkan oleh literatur Italia (0,1 - 3,0 % untuk sea bass, 0,2 - 5,9 % untuk sea bream, 18,7 - 25,6 % untuk sidat, keragamannya lebih tinggi untuk daging segar ikan trout 2,1 - 14 %), yang umumnya berlaku untuk ikan liar. Indeks atherogenic dan thrombogenic sangat baik (Indeks atherogenic dari 0,48 sampai 0,54; indeks thrombogenic dari 0,23 sampai 0,42). Ikan, terutama sidat, kaya akan asam oleat, C18:1 (n-9), dengan konsentrasi 18,2 sampai 29 %), serta kaya akan (n-6)PUFA dan (n-3)PUFA, terutama pada ikan laut. Kualitas protein adalah bagus untuk semua spesies ikan.
Amerio et al. (1996) menyatakan bahwa hasil analisis tersebut di atas mendukung kesimpulan tingginya nilai gizi dalam daging ikan budidaya. Lebih tingginya kandungan lipida dalam daging ikan budidaya dibandingkan daging ikan liar harus diperhatikan dalam masalah diet karena lebih tingginya kandungan energi daging ikan, hal ini juga harus diperhatikan dalam pengolahan ikan karena berkaitan dengan upaya mencegah perubahan nilai inderawi, nilai komposisi dan nilai gizi produk ikan.
Penyimpanan Daging Ikan Dengan Metode Super-Dingin
Fukuma et al. (2012) melaporkan bahwa daging ikan telah diberi perlakuan super-dingin dengan cara pendinginan perlahan; dan perubahan tekstur, histologi serta komposisi protein daging tersebut dipelajari. Daging ikan yang suhu penyimpanannya diturunkan 1,0 °C per hari (kelompok perlakuan 1,0 °C) dan 0,5 °C per hari (kelompok perlakuan 0,5 °C) mulai membeku pada suhu sekitar -3,5 dan -5,0 °C, berturut-turut. Titik beku tergantung pada spesies ikan; titik beku terendah adalah -8,5 °C untuk ikan red sea bream dalam kelompok 1,0 °C. "Kekuatan pecah" (breaking strength) cenderung menurun lebih lambat pada kelompok 1,0 °C, tetapi serabut kolagen rusak lebih cepat dalam kelompok 1,0 °C. Pada elektroforesis SDS, terlihat adanya perubahan kecil pola jalur-jalur, tetapi hubungan antara hasil pengamatan ini dengan perubahan sifat-sifat histologi dan fisik tidak jelas. Penelitian ini menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk menghasilkan kondisi super-dingin dalam daging ikan; selain itu menunjukkan bahwa super-dingin merupakan metode penyimpanan baru potensial yang bisa menurunkan suhu tanpa menghasilkan kristal es.
Komposisi Asam Amino Daging Ikan Selama Pembekuan
Wesselinova (2000) menggunakan pendekatan baru untuk meneliti salah satu aspek pembekuan ikan laut (termasuk filet ikan scad, tengiri, cod, sea bream, bonito) setelah penyimpanan pada suhu -35 °C dalam jangka waktu berbeda-beda. Penelitian bertujuan untuk membuktikan apakah musim, tempat dan kedalaman lokasi penangkapan ikan mempengaruhi kandungan asam amino dalam daging beku ikan tersebut. Analisis asam-asam amino dalam protein daging ikan selama penyimpanan beku 3, 6, 9 dan 12 bulan menunjukkan bahwa bahkan pada akhir penyimpanan asam-asam amino tetap tidak berubah dan terlihat adanya sedikit penyimpangan dalam hal konsentrasi senyawa-senyawa lain. Kemunculan diaminopimelic acid (DAP) menunjukkan adanya pencemaran mikrobiologis, terutama setelah penyimpanan jangka panjang, tetapi kondisi suhu yang sangat rendah tidak memungkinkan peningkatan jumlah bakteri psikrofil secara drastis. Metionin sulfoksida yang juga muncul, menunjukkan bahwa hanya oksidasi metionin yang umumnya terjadi selama penyimpanan jangka panjang.
Perubahan Konsentrasi Senyawa Volatil Dalam Daging Ikan Segar Selama Pendinginan
Miyasaki et al. (2011) meneliti perubahan senyawa volatil (mudah-menguap) dalam daging segar beberapa jenis ikan selama penyimpanan-es 3 sampai 4 hari menggunakan "electronic nose system" dan "gas chromatography-mass spectrometer” (GC/MS) dengan "headspace solid-phase micro-extraction (SPME)". Analisis komponen utama untuk sampel dengan menggunakan "electronic nose system" menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi beberapa senyawa volatil selama penyimpanan berlangsung cepat pada ikan sardin (Sardinops melanostictus), jack mackerel (Trachurus japonicus), dan chub mackerel (Scomber japonicus); berlangsung sedang pada ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tuna muda (Thunnus thynnus).
Sebaliknya dengan ikan-ikan tersebut di muka, perubahan konsentrasi senyawa volatil dalam daging adalah kecil pada ikan-ikan "daging putih" seperti red seabream (Chrysophrys major), Japanese seabass (Lateolabrax japonicus), ikan sebelah (Paralichthys olivaceus), puffer (Lagocephalus wheeleri), dan bartail flathead (Platycephalus indicus). Analisis SPME-GC/MS menunjukkan bahwa beberapa senyawa aldehid dan alkohol seperti 1-heptanol, (E)-2-octenal, (E)-2-hexenal, 1-pentanol, (E,E)-2,4-heptadienal,2,4-hexadienal, 1-hexanol dan 4-heptenal meningkat dengan cepat di dalam daging ikan jack mackerel dan chub mackerel, meningkat perlahan-lahan dalam daging ikan cakalang, serta meningkat sedikit dalam daging ikan red seabream dan puffer selama penyimpanan. Peningkatan konsentrasi senyawa-senyawa ini diyakini berdampak terhadap respon "electronic nose". Hexanal merupakan senyawa dominan yang meningkat kadarnya sejak awal penyimpanan ikan jack mackerel. Peningkatan konsentrasi senyawa volatil adalah sedikit pada ikan red seabream dan puffer. Peningkatan konsentrasi senyawa-senyawa aldehid dan alkohol diyakini bisa menjadi indikator yang sesuai untuk memantau kesegaran daging ikan kecuali untuk ikan berdaging putih (Miyasaki et al., 2011).
Oksidasi Selama Pencucian Daging Ikan Menurunkan Kemampuan Membentuk Gel
Tunhun et al. (2004) melaporkan bahwa untuk menguji efek oksidasi selama pencucian terhadap kemampuan membentuk gel, daging ikan dicuci dengan larutan CuCh dan dipanasi bersama dengan ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) untuk mencegah oksidasi lebih lanjut. Akibat pencucian dengan larutan CuCh, maka dimer "myosin heavy chain" (MHC, rantai berat myosin) terbentuk di dalam daging cucian oleh ikatan disulfida melalui oksidasi gugus SH. Kekuatan gel daging yang teroksidasi adalah lebih rendah daripada daging kontrol. Dalam gel ini, terjadi polimerisasi MHC dan aktin oleh ikatan disulfida meskipun oksidasinya kecil. Pasta daging teroksidasi dicampur dengan NEM (agen penghambat gugus SH) dan dipanasi agar terbentuk gel untuk menguji pengaruh penghambatan polimerisasi. Gel yang terbentuk memiliki kekuatan gel yang masih lebih lemah dibandingkan kekuatan gel kontrol.
Lebih lanjut, pengaruh oksidasi selama pencucian dibandingkan dengan pengaruh oksidasi setelah penggilingan garam. Gel dari daging teroksidasi setelah penggilingan menunjukkan hampir tidak ada penurunan kekuatan gel, namun terjadi polimerisasi MHC dan aktin melalui ikatan disulfida yang diikuti oleh oksidasi gugus SH. Disimpulkan bahwa pembentukan dimer (senyawa dua molekul) oleh oksidasi selama pencucian menurunkan kemampuan pembentukan gel, sehingga berbeda dengan peranan oksidasi dalam meningkatkan kemampuan
pembentukan gel pada pasta daging setelah penggilingan dengan 3 % garam. Dengan demikian, pencucian daging ikan harus dilakukan hati-hati agar tidak mengoksidasi daging sehingga terbentuk surimi dengan kualitas tinggi (Tunhun et al., 2004).
Bab III
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan
Perbedaan Komposisi Kimia Daging Ikan Laut dan Tawar
Jeon et al (1990a) meneliti komposisi lipida dalam otot (daging) dan komposisi asam-asam lemaknya pada dua kelompok ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di perairan tawar dan laut. Total lipida kelompok ikan budidaya laut adalah sedikit lebih kaya daripada kelompok ikan budidaya air tawar. Lipida netral paling melimpah dalam lipida otot kedua kelompok, diikuti fosfolipida dan gikolipida. Peningkatan kadar total lipida tampaknya tergantung pada fraksi trigliserida, karena sebagian besar lipida tersusun dari trigliserida. Fosfatidilkolin, fosfatidil etanolamin dan sfingomyelin telah diidentifikasi di dalam fosfolipida, dan kadar fosfatidilkolin adalah yang tertinggi. Secara khusus, senyawa 16 : 0 dan 18 : 1 berkadar tinggi telah diamati di dalam total lipida, lipida netral dan glikolipida. Bagaimanapun, 18 : 1 dan 18 : 2 berkadar rendah ditemukan di dalam fosfolipida, tetapi mereka memiliki kadar 20 : 4, 20 : 5 dan 22 : 6 yang tinggi. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal komposisi lipida otot dan asam-asam lemaknya antara dua kelompok ikan yang dibudidayakan di laut dan di perairan tawar.
Jeon et al. (1990b) menganalisis komposisi “approximate” (perkiraan) dan senyawa-senyawa pembentuk rasa pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dipelihara di perairan tawar dan laut selama 6 bulan. Dalam hal komposisi aproksimat, ada sedikit perbedaan kadar air dan kadar protein ikan nila yang dipelihara di laut dan di perairan tawar, tetapi kadar lipida dan abu pada ikan nila laut agak lebih tinggi daripada nila air tawar. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal kadar asam-asam amino, nukleotida, betain, TMAO dan total kreatinin antara kedua kelompok.
Pengaruh Kadar Pantetin dan Lipida Dalam Pakan Terhadap Komposisi Daging Ikan
Stowell dan Gatlin (1992) meneliti pengaruh berbagai kadar lipida dan pantetin dalam pakan terhadap komposisi tubuh ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan menggunakan rancangan faktorial 2 x 3. Pakan kasein/gelatin murni yang mengandung dua macam kadar lipida dan tiga macam kadar pantetin diberikan kepada anak channel catfish. Ikan dianalisis untuk mengetahui komposisi perkiraan seluruh tubuh, hati dan filet serta indeks hepatosomatik dan “intraperitoneal fat” (IPF; lemak perut). Analisis asam lemak juga dilakukan terhadap lipida dalam filet. Lipida pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan komposisi tubuh. Pakan yang mengandung 10 % lipida biasanya menghasilkan nilai-nilai perolehan berat dan efisiensi pakan yang lebih tinggi, demikian pula nilai-nilai kadar lipida filet dan lipida seluruh tubuh serta IPF lebih tinggi. Pada hati, 10 % lipida pakan hanya meningkatkan secara nyata kadar abu. Penambahan pantetin tidak berpengaruh terhadap perolehan berat dan efisiensi pakan tetapi meningkatkan kadar asam oleat dalam lipida filet. Lipida pakan secara nyata mempengaruhi penampilan dan penimbunan lipida ikan channel catfish sedangkan pengaruh pantetin (pada dosis 250 dan 1000 mg/kg pakan) bisa diabaikan.
Pengaruh Tingkat Kematangan Gonad dan Perlakuan Panas Terhadap Kadar Air Daging Ikan
Kawai et al. (1992) meneliti cincangan daging punggung ikan chum salmon yang dipanasi selama 30 menit pada pH 3 – 9. Kadar air dalam cincangan tersebut yang didehidrasi dengan sentrifugasi adalah menunjukkan “water holding capacity” (WHC; kapasitas menampung air). WHC daging salmon adalah minimal pada pH 5 dan cenderung menurun dengan naiknya suhu pemanasan di atas 40 °C pada kisaran pH yang diuji. WHC ikan salmon yang gonadnya lebih matang adalah lebih besar daripada salmon yang kematangan gonadnya minimal (ikan yang ditangkap di laut pesisir) pada pH netral dan basa dengan suhu 60 °C atau kurang. Di atas suhu 80 °C, perbedaan WHC adalah sangat kecil di antara kedua tahap kematangan gonad salmon itu.
Pembentukan Senyawa-Senyawa Dalam Tubuh Ikan Selama Penyimpanan
Zhang et al. (1992) mempelajari aktivitas enzim yang melibatkan pembentukan senyawa-senyawa volatil (mudah-menguap) pada beberapa jaringan ikan ayu (Plecoglossus altivelis). Aktivitas mirip-lipoksigenase ditemukan pada enzim kasar dari jaringan kulit dan insang ikan ayu, tetapi tidak dijumpai pada jaringan otot/daging. Enzim kulit ini tidak stabil; kondisi separuh tak aktif terjadi setelah 4 jam peyimpanan pada 0 °C. Nilai pH dan suhu optimum adalah 7,4 dan 25 °C, berturut-turut. Senyawa-senyawa volatil yang dibentuk oleh enzim kulit tergantung pada substrat “polyunstaurated fatty acid” (PUFA; asam lemak poli-tak-jenuh). Lima senyawa yang mencakup 1-octen-3-ol dan (E)-2-nonenal dibentuk dari arachidonic acid, dan empat senyawa yang meliputi (E,Z)-2,6-nonadienal dan 3,6-nonadien-1-ol dihasilkan dari eicosapentaenoic acid (EPA) atau docosahexaenoic acid (DHA).
Perbaikan Rasa Daging Ikan Dengan “Olah Raga”
Kawaguty et al. (1990) dalam Chung and Kaneko (1990) melaporkan bahwa sistem budidaya ikan baru yang dilengkapi pompa energi-gelombang dengan efisiensi tinggi telah dikembangkan. Konsep dasar sistem ini adalah bahwa ikan budidaya dipaksa berenang di dalam tangki air laut sehingga kualitas dagingnya bisa diperbaiki dengan melakukan gerakan renang; fenomena ini disebut “jogging effect”. Tenaga untuk mensirkulasi air dipasok oleh sebuah pompa energi gelombang yang memanfaatkan energi alami yang dimiliki laut. Mula-mula, pengaruh kecepatan dan periode renang terhadap otot dan lemak tubuh ikan serta karakteristik pengawetan ikan budidaya pada suhu rendah dipelajari untuk mengetahui efek gerak badan terhadap kualitas daging ikan. Tampak jelas bahwa peningkatan mutu daging ikan adalah nyata pada kecepatan renang 2,5 PB/detik, di mana PB menunjukkan panjang badan ikan.
Pelembekan Daging Ikan Pasca Kematian
Ando et al. (1992) melaporkan bahwa untuk menjelaskan mekanisme pelembekan pasca kematian otot ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss, perubahan struktur halus otot selama penyimpanan pada suhu 5 °C diamati dengan menggunakan mikroskop elektron transmisi kemudian menghubungkan hasilnya dengan perubahan kekuatan pecah otot. Nilai kekuatan pecah otot ini menurun dalam 24 jam penyimpanan setelah kematian. Pada saat yang sama, serabut-serabut kolagen dalam jaringan penghubung periseluler tampak terlepas. Tak ada bukti terjadinya penguraian cakram-Z. Berdasarkan hasil ini, diduga bahwa pelembekan daging ikan pasca kematian selama penyimpanan dingin adalah disebabkan oleh lepasnya serabut-serabut kolagen dalam jaringan penghubung periseluler, bukannya oleh lemahnya cakram-Z.
Bab IV
Biokimia Daging Ikan Bandeng
Biokimia Daging Ikan Bandeng
Perubahan Protein Selama Pengasinan Ikan Bandeng
Sannaveerappa et al. (2004) melaporkan bahwa ikan bandeng yang dikumpulkan dari tambak air payau telah diasin basah dan kering selama 24 jam, selain itu ikan kering-asin dijemur selama 48 jam. Perubahan biokimia, yaitu perubahan kandungan amino nitrogen, nitrogen non protein, nitrogen terlarut-garam, total asam amino bebas, asam-asam amino esensial dan gugus sulfhidril, selama penggaraman dan penjemuran dipelajari. Penurunan konsentrasi parameter-parameter ini adalah sedikit lebih tinggi pada ikan asin-basah dibandingkan pada ikan asin-kering. Penurunan lebih lanjut konsentrasi parameter-parameter ini terjadi setelah penjemuran ikan asin-kering. Studi elektroforesis menunjukkan penurunan jumlah jalur (band) selama penggaraman basah dan kering dengan laju yang lambat sampai 9 jam, setelah ini konsentrasi protein berberat molekul-besar menurun lebih cepat dibandingkan protein berberat molekul-sedang pada sampel ikan asin-kering maupun ikan asin-basah 24 jam. Penurunan lebih lanjut dalam hal jumlah jalur dan intensitasnya terlihat pada sampel yang dijemur selama 48 jam. Protein berberat molekul-sedang tampak lebih stabil.
Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Pembentukan Disulfida dan Denaturasi Aktomyosin Pada Daging Ikan Bandeng
Jiang et al. (1988) mempelajari pengaruh suhu penyimpanan beku tehadap pembentukan disulfida dan denaturasi aktomyosin, yang diekstrak dari otot punggung ikan bandeng (Chanos chanos). Aktivitas Ca-ATPase dan Mg(Ca)-ATPase, serta sensitivitas-Ca dan kelarutan aktomyosin dalam larutan 0,6 M KCl menurun dengan laju yang lebih cepat pada suhu -20 °C dibandingkan pada suhu -35 °C. Total protein tak terlarut dan terlarut-NaBH4 meningkat dengan laju yang jauh lebih cepat pada suhu -20 °C dibandingkan pada suhu -35 °C. Selama proses pembekuan, total sulfhidril menurun secara nyata; total sulfhidril menurun dengan laju yang lebih cepat pada suhu -20 °C dibandingkan pada suhu -35 °C, yang menunjukkan bahwa lebih banyak disulfida yang terbentuk dalam sampel pada suhu -20 °C dibandingkan pada suhu -35 °C. Selama penyimpanan, disulfida terbentuk pada suhu -20 °C tetapi tidak pada suhu -35 °C.
Kandungan Histamin dan Bakteri Pembentuk Histamin Dalam Produk Bandeng Kering
Hsu et al. (2009) mengumpulkan 32 produk ikan bandeng kering dari 5 pasar eceran di Taiwan selatan kemudian mengujinya untuk menentukan keberadaan histamin dan bakteri pembentuk-histamin. Kecuali untuk histamin dan cadaverine, rata-rata konsentrasi berbagai jenis amina biogenik dalam sampel yang diuji adalah kurang dari 8,5 mg/100 gram. Sebagian besar produk ikan bandeng kering yang diuji (78,1 %) mengandung histamin melebihi nilai yang disarankan oleh FDA (Food and Drugs Administration) yakni 5 mg/100 gram untuk ikan scombroidae dan/atau produknya, sedangkan 14 di antaranya (43,7 %) mengandung lebih dari 50 mg/100 gram. Tiga puluh galur bakteri penghasil histamin, yang dapat memproduksi 5,4 ppm sampai 562 ppm histamin dalam media TSBH (trypticase soy broth + 1,0 % L-histidin), diidentifikasi sebagai Enterobacter aerogenes (tujuh galur), Citrobacter sp. (satu galur), Staphylococcus xylosus (10 galur), Staphylococcus sciuri (1 galur), Bacillus thuringiensis (2 galur), Citrobacter freundii (5 galur), Klebsiella pneumoniae (1 galur) dan E. cloacae (3 galur), berdasarkan 16S rDNA yang diurutkan dengan penguatan PCR.
Keracunan Makanan Akibat Mengkonsumsi Ikan Bandeng Kering
Tsai et al. (2007) melaporkan sebuah kejadian keracunan asal-makanan, yang menyebabkan penyakit pada tiga korban akibat mengkonsumsi ikan bandeng kering, pada bulan Februari 2006 di Tainan Prefecture, Taiwan Selatan. Ikan bandeng kering sisa makanan korban dan tiga sampel ikan bandeng kering lainnya yang berasal dari toko yang sama, telah dikumpulkan dan diuji untuk menentukan keberadaan histamin dan bakteri pembentuk-histamin. Nilai pH, "aerobic plate count" (APC) dan "total volatile basic nitrogen" (TVBN) dalam sampel sisa ikan bandeng kering adalah secara nyata lebih tinggi daripada yang ditemukan dalam tiga sampel ikan bandeng lainnya. Tak ada sampel ikan bandeng uji yang mengandung coliform total dan Escherichia coli. Meskipun kandungan histamin dalam tiga sampel ikan bandeng lainnya kurang dari 5 mg/100 gram, sampel bandeng yang diduga penyebab keracunan mengandung 61,6 mg/100 gram histamin; nilai ini lebih besar daripada ambang bahaya yakni 50 mg/100 gram. Mengingat gejala-gejala mirip alergi pada korban dan tingginya kandungan histamin dalam sampel ikan bandeng penyebab keracunan, maka diduga kuat kasus keracunan makanan ini disebabkan oleh histamin. Empat galur bakteri penghasil histamin, yang dapat memproduksi 11,9 - 12,43 ppm histamin dalam "trypticase soy broth + 1,0 % l-histidine" (TSBH), diidentifikasi sebagai Staphylococcus sciuri subsp. sciuri, Serratia grimesii, Bacillus cereus dan Raoultella ornithinolytica, berdasarkan teknik 16S rDNA yang diurutkan dengan penguatan PCR. Raoultella ornithinolytica adalah pembentuk-histamin potensial yang dapat memproduksi lebih dari 800 ppm histamine dalam TSBH pada kondisi ada NaCl 1,5 % atau 3,5 %. Dengan demikian, Raoultella ornithinolytica adalah bakteri yang bertanggung jawab atas tingginya produksi histamin yang bisa menimbulkan kejadian keracunan ikan bandeng kering.
Kandungan Asam Amino Bebas dan Senyawa Nukleotida Pada Daging dan Organ Dalam Ikan Bandeng
Shiau et al. (1996) menganalisis asam-asam amino bebas dan senyawa-senyawa terkait-nukleotida di dalam otot putih, otot gelap dan organ dalam ikan bandeng (Chanos chanos) dengan menggunakan alat "automatic amino acid analyzer" serta high-performance liquid chromatography. Histidin adalah asam amino yang paling dominan dalam otot putih ikan bandeng, yang menyusun atas 63 % total asam amino bebas. Dalam otot gelap, histidin menyumbangkan 33 % sedangkan taurine 38 %. Asam amino bebas yang paling melimpah pada organ dalam adalah taurin diikuti oleh asam glutamat, alanin dan histidin. Organ dalam mengandung lebih sedikit histidin dibandingkan pada kedua jenis otot. Inosine 5‘-monophosphate (IMP) merupakan senyawa nukleotida utama di dalam otot putih dan konsentrasinya adalah sekitar tiga kali lebih tinggi daripada dalam otot gelap. Kandungan IMP pada organ dalam jauh lebih sedikit daripada kandungannya dalam otot; bagaimanapun, organ dalam mengandung lebih banyak hypoxanthine dan xanthine.
Pengaruh Kelaparan Terhadap Kandungan Histidin dan Asam Amino Dalam Otot Putih Ikan Bandeng
Shiau et al. (2001) melaporkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) menurunkan bobot badannya dari 47 menjadi 28 gram selama periode kelaparan 60 hari. Kelaparan juga menyebabkan penurunan kandungan lipida dan protein otot serta indeks hepatosomatik. Asam amino bebas yang dominan dalam otot putih ikan bandeng adalah histidin, diikuti oleh taurin dan glisin. Dalam 25 hari pertama kelaparan, konsentrasi histidin tidak mengalami perubahan nyata. Bagaimanapun, setelah 40 hari kelaparan, kandungan histidin berkurang secara nyata sebesar 46 %, dan tetap tak berubah setelah itu. Dibandingkan dengan kelompok ikan kontrol, ikan yang kelaparan 60 hari hanya mengandung setengah jumlah histidin. Taurin dan glisin, sebaliknya, tidak menunjukkan perubahan nyata selama kelaparan. Taurin menjadi asam amino paling dominan setelah kelaparan 40 hari, dan konsentrasinya pada ikan yang kelaparan 60 hari adalah dua kali lebih banyak dibandingkan konsentrasinya pada kelompok ikan kontrol yang tidak kelaparan. Rasio histidin, taurin, dan glisin terhadap total asam amino bebas tetap hampir sama meskipun masing-masing memberikan sumbangan yang bervariasi cukup besar bagi total konsentrasi asam amino bebas selama kelaparan. Hasil penelitian ini menguatkan dugaan bahwa strategi yang baik harus dilakukan untuk menjaga agar taurin dan glisin dalam otot ikan bandeng tetap relatif tinggi bagi berlangsungnya fungsi fisiologis ketika terjadi penurunan drastis kandungan histidin sehingga bisa menjadi sumber energi pada kondisi kekurangan makanan.
Bab V
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan
Arti Penting Vitelogenin dan Komponen-Komponen Kimia Telur Ikan
Mommsen dan Walsh (1988) menyatakan bahwa pada tahap-tahap tertentu dalam siklus hidupnya, individu betina vertebrata yang bertelur, termasuk sebagian besar spesies ikan, memasuki suatu fase pematangan oosit (sel telur) sebagai persiapan sebelum mengalami ovulasi dan pemijahan. Di bawah pengaruh pusat-pusat hormon yang bersifat majemuk seperti hipotalamus dan kelenjar pituitari, folikel yang sedang tumbuh mensintesis dan mensekresi ke dalam peredaran darah hormon-hormon steroid yang mengendalikan berbagai proses metabolik. Salah satu organ sasaran utama steroid-steroid ini, terutama 17β –estradiol, adalah hati. Organ ini, yang memiliki protein-protein pengikat yang sangat spesifik terhadap 17β –estradiol, sebaliknya berespon terhadap rangsangan hormonal seperti ini dengan mensintesis dan mengirimkan vitelogenin. Senyawa ini merupakan molekul pembawa bagi berbagai senyawa yang ditimbun oleh oosit yang sedang berkembang. Sementara komponen utama molekul vitelogenin adalah rantai protein berukuran besar (berat molekul 250.000 – 600.000), ia juga membawa sejumlah besar material lipida, komponen karbohidrat, gugus fosfat dan garam-garam mineral. Setelah diserap dengan sangat selektif ke dalam oosit, vitelogenin molekul transpor dipecah dan ditimbun sebagai komponen kuning telur spesifik , seperti fosvitin dan lipovitelin.
Selain komponen telur yang telah terkenal ini, oosit ikan yang sedang tumbuh menimbun berbagai jenis senyawa lain, kadang dalam jumlah besar, yang memainkan peranan terpadu dalam perkembangan secara .layak embryo dan larva ikan. Beberapa senyawa berfungsi sebagai cadangan bagi proses-proses yang membutuhkan energi. Pada beberapa kasus, bagaimanapun, peranan fisiologi senyawa-senyawa ini belum diketahui atau tidak dapat disimpulkan hanya dari bukti-bukti yang sedikit. Substansi yang tergolong kategori ini mencakup glikogen, karotenoid, lektin, sialoglikoprotein, ester lilin dan ester sterol (Mommsen dan Walsh, 1988).
Mommsen dan Walsh (1988) menambahkan bahwa tahap-tahap perkembangan awal pada banyak spesies ikan disertai dengan periode tak-makan yang lama, kadang-kadang beberapa minggu, sebelum pertama kali mendapat makanan dari luar. Dengan demikian, pembentukan vitelogenin yang dilakukan induk betina dan penimbunan kuning telur dalam jumlah cukup, maupun pelengkapan oosit secara layak, penting bagi kelangsungan hidup embryo dan larva.
Pengaruh Kadar Protein Pakan Induk Ikan Terhadap Komposisi Kimia Telurnya
Watanabe et al. (1985) melaporkan bahwa telur terapung (telur normal terapung di permukaan air) dan telur yang mengendap (telur tak normal tenggelam di dasar tangki) yang diproduksi oleh induk ikan yang diberi berbagai pakan telah dianalisa komposisi proksimat, kadar lipida, asam lemak, vitamin A dan E, kolesterol serta mineral. Pakan yang mengandung berbagai kadar protein diberikan selama 6 bulan, atau ikan induk diberi pakan yang dilengkapi dengan pigmen dan vitamin larut-lemak atau krill mentah beku tak lama sebelum pemijahan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan tajam komposisi proksimat dan mineral akibat perbedaan pakan induk, meskipun kadar protein dalam telur terapung sebanding dengan kadar protein pakan yang diberikan, sedang kadar air bervariasi terbalik. Asam lemak dalam telur sangat dipengaruhi oleh kadar asam lemak pakan yang diberikan kepada induk tak lama sebelum pemijahan atau selama pemijahan. Dalam telur dari induk yang diberi pakan minyak jagung segera setelah dan sebelum pemijahan, persentase 18 : 2-omega-6 setinggi 26 % dibandingkan dengan nilai asal. Vitamin E juga ditemukan dengan mudah bergabung ke dalam telur hampir konstan tanpa dipengaruhi kadar kolesterol dalam pakan.
Pengaruh Mutu Pakan Induk Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan
Watanabe et al. (1984) melakukan percobaan pemberian pakan untuk meneliti pengaruh mutu pakan, yang diberikan kepada induk ikan rainbow trout selama 3 bulan sebelum mereka memijah, terhadap reproduksi dan mutu telur. Induk ikan diberi berbagai jenis pakan dengan berbagai kadar protein dan lipida atau pakan tanpa penambahan asam lemak esensial (EPA). Laju pertumbuhan dan efisiensi pakan adalah tinggi pada induk yang menerima pakan yang mengandung 36 % protein dan 18 % lipida; selain itu “laju pemataan” (eyed rate) dan total penetasan juga tinggi pada telur yang diproduksi induk kelompok ini. Pertumbuhan dan efisiensi pakan pada ikan yang diberi pakan mengandung 28 % protein menjadi berkurang sekitar 60 hari setelah pemberian pakan. Pemberian pakan yang mengandung tepung daging sapi sebagai bagian sumber energi memberikan hasil yang baik terhadap reproduksi, dibandingkan dengan induk yang diberi pakan komersial berprotein tinggi. Pakan kekurangan EFA (essential fatty acid) menghasilkan laju pertumbuhan, laju pemataan dan daya tetas yang rendah, dan hal ini bisa ditingkatkan secara efektif dengan menambahkan etil linoleat ke dalam pakan, yang menunjukkan arti penting EFA bagi reproduksi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mutu telur sangat dipengaruhi oleh mutu gizi pakan yang diberikan kepada induk ikan rainbow trout selama periode singkat 3 bulan sebelum mereka memijah.
Pengaruh Komposisi Gizi Pakan Terhadap Komposisi Kimia Telur Ikan
Watanabe et al. (1984) melakukan studi untuk mengetahui hubungan antara komposisi pakan ikan induk dengan komponen-komponen kimia telur ikan yang dihasilkan. Baik telur maupun induknya, yang diberi berbagai jenis pakan dengan kualitas nutrisi berbeda-beda selama lebih dari 5 bulan, dianalisis dalam hal kandungan asam lemak, mineral dan proximate composition (komposisi perkiraan). Tidak ada perbedaan nyata dalam hal proximate composition karena perbedaan kualitas nutrisi pakan baik dalam otot (daging) dan hati ikan jantan maupun betina kecuali untuk induk jantan yang diberi pakan berprotein rendah atau kekurangan EFA (essential fatty acid; asam lemak esensial) di mana kandungan protein berkurang sedangkan kandungan lipida bertambah. Kandungan protein dan lipida adalah lebih tinggi sedangkan kandungan air lebih rendah dalam ovari pada ikan induk yang diberi pakan tepung cumi-cumi. Komposisi mineral dalam jaringan tubuh induk maupun telur secara umum tidak menunjukkan perbedaan, bahkan dalam hal kandungan fosfor pada vertebrae (ruas tulang belakang) dan telur dari induk yang diberi pakan kekurangan fosfor. Dalam telur yang dihasilkan oleh induk yang diberi pakan berprotein rendah, terlihat bahwa kadar airnya agak tinggi dan kandungan proteinnnya rendah.
Asam-asam lemak dalam telur sangat dipengaruhi oleh asam-asam lemak pakan yang dikonsumsi induknya. Proporsi HUFA (highly unsaturated fatty acid; asam lemak sangat tak jenuh) omega-3 adalah tinggi dalam telur induk yang pakannya mengandung HUFA omega-3 berkadar tinggi dan rendah dalam telur induk yang pakannya kekurangan EFA; persentase asam lemak 18:2 omega-6 adalah lebih tinggi pada telur yang terakhir akibat tingginya kadar 18:2 omega-6 dalam pakan yang mengandung minyak jagung, namun hubungan antara kualitas telur dan distribusi asam lemaknya tidak terbukti dalam eksperimen ini.
Watanabe et al. (1984) menambahkan bahwa reproduksi dan kualitas telur ikan red sea bream sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi pakan induknya, dengan cara yang sama seperti pada ikan rainbow trout. Kekurangan asam lemak esensial atau fosfor dalam pakan ikan menyebabkan rendahnya produksi dan kualitas telur. Pakan yang kekurangan nutrisi ini bisa memberikan beberapa dampak tidak hanya terhadap ikan yang memakannya tetapi juga terhadap komponen-komponen kimia telur yang dihasilkannya.
Penelitian menunjukkan bahwa telur dari ikan yang pakannya tidak ditambahi trace element memiliki nilai yang secara nyata lebih rendah dalam hal persentase telur bermata maupun daya tetasnya bila dibandingkan dengan ikan kontrol; dan bahwa kandungan mangan, seng dan besi dalam tulang serta mangan dalam telur adalah jauh lebih rendah pada ikan-ikan ini dibandingkan pada induk ikan yang menerima pakan komersial, walaupun perbedaan pakan tidak menimbulkan perbedaan menyolok dalam hal komposisi umum telur ikan. Distribusi asam lemak dalam lipida telur juga diketahui mencerminkan lipida yang ada dalam pakan ikan induk. Dalam telur yang dihasilkan oleh ikan rainbow trout yang pakannya kekurangan asam lemak esensial, persentase asam-asam lemak monoenoik meningkat dan bahwa persentase 22:6 omega-3 berkurang (Watanabe et al., 1984).
Pengaruh Kadar Lipida dan Pantetin Dalam Pakan Terhadap Komposisi Tubuh Ikan Channel Catfish
Stowell dan Gatlin (1992) meneliti pengaruh berbagai kadar lipida dan pantetin dalam pakan terhadap komposisi tubuh ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan menggunakan rancangan faktorial 2 x 3. Pakan kasein/gelatin murni yang mengandung dua macam kadar lipida dan tiga macam kadar pantetin diberikan kepada anak channel catfish. Ikan dianalisis untuk mengetahui perkiraan komposisi seluruh tubuh, hati dan filet serta indek hepatosomatik dan “intraperitoneal fat” (IPF; lemak intraperitoneal). Analisis asam lemak juga dilakukan terhadap lipida dalam filet.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa lipida pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan komposisi tubuh. Pakan yang mengandung 10 % lipida biasanya menghasilkan nilai-nilai perolehan berat dan efisiensi pakan yang lebih tinggi, demikian pula nilai-nilai kadar lipida filet dan lipida seluruh tubuh serta IPF lebih tinggi. Pada hati, 10 % lipida pakan hanya meningkatkan secara nyata kadar abu. Penambahan pantetin tidak berpengaruh terhadap perolehan berat dan efisiensi pakan tetapi meningkatkan kadar asam oleat dalam lipida filet. Lipida pakan secara nyata mempengaruhi penampilan dan penimbunan lipida ikan channel catfish, sedangkan pengaruh pantetin (pada dosis 250 dan 1000 mg/kg pakan) bisa diabaikan (Stowell dan Gatlin, 1992).
Memperbaiki Mutu Gizi Daging Ikan dengan Memodifikasi Pakannya
Kennish et al. (1992) memelihara dua kelompok ikan chinook salmon di dalam jaring apung di laut. Kelompok ikan kontrol diberi pakan komersial Biodiet sedang kelompok perlakuan diberi pakan ikan hering utuh. Ikan dari kedua kelompok disampel pada awal penelitian dan setiap bulan selama 3 bulan. Pakan hering berpengaruh nyata terhadap kadar lipida total dalam otot punggung yang berlipat ganda pada bulan pertama dibandingkan kontrol. Rasio asam lemak n-3/n-6 pada ikan pemakan hering meningkat 28 %, sedang pada kelompok kontrol menurun sebesar 57 % selama periode penelitian. Perubahan ini tampaknya berhubungan dengan perbedaan kadar asam lemak 18:2n-6 dalam pakan. Kadar kolesterol dalam ikan salmon pemakan hering adalah dua kali kadarnya pada salmon yang diberi pakan komersial, tetapi masih jauh lebih rendah daripada kadar kolesterol awal. Penelitian ini menunjukkan, untuk pertama kali, bahwa mutu gizi ikan chinook salmon yang dipelihara dalam jaring apung bisa diperbaiki tak lama sebelum dipasarkan dengan memodifikasi pakannya.
Kadar Pigmen Karotenoid Dalam Pakan dan Tubuh Ikan
Bjerkeng et al. (1992) memberi makan pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan suplemen 100 mg astaksantin/kg ((3S, 3’S)-, (3R, 3’S)-, (3R, 3’R)-isomer optis; 1:2:1), atau 100 mg kantaksantin/kg, atau tanpa karotenoid dalam percobaan yang berlangsung 140 minggu. Selama percobaan berat ikan meningkat dari 0,13 gram menjadi 3 kg. Dari minggu ke 23 sampai 58 setelah awal pemberian pakan, astaksantin secara nyata dimanfaatkan lebih efisien untuk pigmentasi daging daripada kantaksantin. Konsentrasi karotenoid dalam kulit ikan trout pra dewasa yang diberi pakan karotenoid mencapai kadar akhir 20 mg/kg. Konsentrasi karotenoid dalam kulit ikan trout pra dewasa yang diberi pakan karotenoid meningkat selama 49 minggu pertama dan kemudian berkurang. Konsentrasi karotenoid dalam kulit trout yang diberi pakan astaksantin cenderung lebih tinggi daripada ikan yang diberi pakan kantaksantin; kondisi yang berlawanan ditemukan untuk hati.
Total kandungan karotenoid ikan betina dan jantan matang gonad adalah 73 – 79 % dan 18 – 19 % dari kandungannya pada ikan pra dewasa, berturut-turut. Kadar karotenoid dalam gonad ikan betina meningkat agak banyak sejalan dengan kematangan gonad, dan kadar karotenoid dalam kulit ikan jantan meningkat secara kuat. Tidak ada perbedaan nyata antara daging dan pakan dalam hal komposisi isomer optis astaksantin. Kulit pada ikan yang diberi astaksantin terutama mengandung ester-ester astaksantin sedangkan kulit ikan yang diberi pakan kantaksantin mengandung kantaksantin dan metabolit-metabolit reduktifnya. Sedikit penimbunan isomer-(3S, 3’S) astaksantin terlihat dalam kulit. Hal ini disertai dengan penimbunan (3S, 3’S)- dan (3R, 3’S)-zeaksantin (Bjerkeng et al., 1992).
Perbedaan Daging Ikan Yang Berbeda Pakannya
Prescott dan Bell (1992) mengevaluasi secara inderawi daging dari tiga kelompok ikan snapper (Pagrus auratus) : ikan liar, snapper yang diberi pakan pelet berbahan baku tepung ikan dan snapper yang diberi pakan daging ikan. Rasa, warna daging, aroma segar dan bau tak enak, tekstur dan kadar minyak serta penerimaan total dibahas. Hasilnya menunjukkan bahwa ikan snapper yang dipelihara dengan pakan formula mendapat tanggapan konsumen yang sama seperti ikan liar; tak ada perbedaan nyata antara ikan yang diberi pakan daging ikan dan pelet untuk semua variabel yang diukur.
Bab VI
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) :
Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) :
Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi
Pengaruh Pembekuan Terhadap Struktur Daging Ikan Mas
Menurut Pavlov et al (2008) pembekuan ikan dan produk perikanan merupakan metode terbaik untuk memperpanjang daya awetnya. Pembekuan memiliki ciri khas berupa penerapan yang mudah dan kondisi penyimpanan yang tidak menambahkan atau menyingkirkan bahan apapun ke/dari daging tersebut. Efek suhu rendah ditimbulkan oleh fakta bahwa kecepatan gerak molekul berkurang dengan menurunnya suhu dan bahwa semua proses di dalam sel menjadi berjalan lambat. Selain itu, pembentukan kristal es di dalam jaringan produk menurunkan resiko perkembangan mikroba. Pembekuan mengubah sejumlah sifat fisik dan biologis jaringan. Studi terhadap daging binatang berdarah panas menunjukkan adanya pengaruh pembekuan terhadap mikrostruktur jaringan.
Pavlov et al. (2008) mempelajari histologi dan morfometri otot rangka dorsal (punggung) dari daging ikan mas (Cyprinus carpio) segar dan beku. Pengamatan dengan mikroskop cahaya terhadap sampel daging ikan segar tidak menunjukkan perubahan mikrostruktural apapun. Sampel dari daging ikan beku menunjukkan adanya perubahan struktural daging. Banyak ditemukan sel-sel otot yang mengalami proses awal penguraian di bagian tengah, namun tidak terlihat adanya perubahan di bagian tepi. Sarkoplasma sel-sel ini tanpa struktur fibrilar, tetapi memiliki sebuah massa detritus (bahan organik terurai) dengan komposisi granular/berbutir dan pola pewarnaan basofil yang menyolok. Studi morfometrik terhadap otot tangka dorsal menunjukkan bahwa berkas-berkas otot dalam daging ikan mas beku adalah lebih besar daripada dalam daging ikan segar. Disimpulkan bahwa pembekuan daging ikan mas menghasilkan berbagai perubahan struktural dalam sistem otot rangka dorsal yang bisa digunakan untuk membedakan daging ikan segar dari daging ikan beku yang telah dicairkan.
Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan-Beku Terhadap Pembentukan Gel Pada Daging Ikan Mas
Ganesh et al. (2006) mengamati pengaruh pembekuan dan penyimpanan beku terhadap kemampuan membentuk gel pada otot ikan mas (Cyprinus carpio). Daging segar ikan mas memiliki kemampuan yang baik untuk membentuk gel sebagaimana ditunjukkan oleh uji regangan besar (kekuatan gel 1027 gram.cm) dan perilaku dynamic viscoelastic. Pembekuan dan penyimpanan beku pada suhu 18 oC selama 180 hari secara nyata (P < 0,01) menurunkan kemampuan membentuk gel pada daging ikan mas. Penurunan kelarutan protein dan aktivitas enzim adenosintrifosfatase yang diaktifkan-kalsium pada daging ikan mas selama penyimpanan beku juga nyata (P < 0,05). Perubahan struktur protein selama penyimpanan beku terbukti dari berkurangnya viskositas/kekentalan dan profil filtrasi gel. Tingginya drip loss (kehilangan cairan jaringan dengan cara menetes) dan penurunan kemampuan membentuk gel pada daging ikan mas disebabkan oleh denaturasi protein selama penyimpanan beku.
Perubahan Kualitas Daging Cincang Ikan Mas Yang Dicuci dan Tak Dicuci Selama Penyimpanan Beku
Tokur et al. (2006) meneliti pengaruh penyimpanan beku pada suhu -18 °C terhadap kualitas kimiawi dan inderawi fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging ikan mas (Cyprinus carpio) yang tak dicuci dan yang dicuci. Kadar air, kandungan protein kasar, lipida, abu kasar, asam lemak poli-tak-jenuh omega-3 dan omega-6 dalam fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging tak dicuci adalah 68,50 %, 15,5 %, 6,00 %, 2,20 %, 2,31 % dan 55,2 %, berturut-turut, serta 70,23 %, 10,8 %, 2,14 %, 1,80 %, 2,28 % dan 54,6 %, berturut-turut, dalam fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging yang dicuci. Nilai thiobarbituric acid (TBA, mg malonaldehyde/kg) secara nyata lebih tinggi dalam daging cincang yang dicuci daripada dalam daging cincang yang yang tak dicuci dan meningkat secara nyata selama penyimpanan beku dalam daging cincang baik yang tak dicuci maupun yang dicuci (P < 0,05). Penurunan pH secara nyata terjadi selama perlakuan pencucian (P < 0,05).
Tokur et al. (2006) menambahkan bahwa, berdasarkan hasil penelitian tersebut, tidak ada perbedaan pH yang nyata dalam daging cincang yang tak dicuci ataupun yang dicuci antara awal dan akhir periode penyimpanan (P > 0,05), namun terjadi peningkatan tajam pada bulan keempat dalam kedua kelompok. Kelarutan protein daging cincang baik yang tak dicuci maupun yang dicuci menurun secara nyata selama periode penyimpanan (P < 0,05). Parameter inderawi seperti warna, bau, flavour dan penerimaan umum untuk kedua kelompok berkurang selama penyimpanan beku (P < 0,05) tetapi masih dalam batas-batas penerimaan. Juga disimpulkan bahwa ikan mas merupakan sumber yang baik untuk pembuatan fish finger dan bahwa produk tersebut dapat disimpan selama lima bulan dalam kondisi beku tanpa terjadi perubahan yang tak dikehendaki dalam hal kualitas inderawi dan kimiawi.
Daya Awet Ikan Mas Pada Berbagai Suhu Penyimpanan
Gelman et al. (1990) mengevaluasi shelf life (daya awet) dan perubahan kesegaran ikan mas (Cyprinus carpio L), yang dibesarkan dalam kolam, selama penyimpanan pada suhu 0 – 2 °C, 5 – 6 °C dan suhu kamar (26 – 29 °C). Pengamatan dilakukan dengan melakukan analisis inderawi, mikrobiologi, fisika dan kimia. Pengaruh pembuangan isi perut terhadap daya awet alami selama penyimpanan pada suhu 0 – 2 °C dipelajari. Yodin/kanji dan kalium sorbat dipelajari pengaruhnya terhadap daya awet alami ikan utuh yang disimpan pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C.
Hasil-hasil inderawi menunjukkan bahwa ikan utuh memiliki daya awet maksimum 24 sampai 25 hari pada suhu 0 – 2 °C. Lama penyimpanan di mana setelahnya ikan tidak layak untuk dijual (commercial shelf life) adalah 17 hari pada suhu 0 – 2 °C. Penyimpanan pada suhu 5 – 6 °C memperpendak daya awet 2 sampai 2,5 kali lipat. Pada suhu kamar (26 – 29 °C), pembusukan terjadi setelah 13 jam. Pembuangan isi perut ikan mas memperpendak potensial penyimpanannya pada suhu 0 – 2 °C. Perlakuan yodin terhadap ikan mas yang disimpan pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C tidak memperpanjang daya awet. Daya awet maksimum ikan yang diberi perlakuan sorbat pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C diperpanjang 1 – 2 hari, sedang commercial shelf life bertambah lama 3 – 4 hari. Total volatile basic nitrogen (TVBN), pH dan analisis penetrometer tidak bisa menjadi indikator yang meyakinkan untuk perubahan kesegaran selama periode daya awet. Nilai-nilai thiobarbituric acid tidak berguna karena bau atau flavor tengik tidak terdeteksi selama penyimpanan (Gelman et al., 1990).
Pengaruh Tekanan Tinggi Terhadap Profil Kimia-Fisika Filet Ikan Mas
Sequeira-Munoz et al. (2006) melaporkan bahwa filet mentah ikan mas (Cyprinus carpio) telah dikemas-vakum dengan tekanan 100, 140, 180 dan 200 MPa pada suhu 4 °C selama 15 dan 20 menit; perubahan fraksi lipida, profil elektroforetik filet tersebut diamati. Nilai senyawa-senyawa reaktif thiobarbituric acid (TBA) dalam sampel meningkat dengan meningkatnya tekanan dan lama perlakuan. Hasil yang sama diperoleh untuk konsentrasi asam-asam lemak bebas yang terbentuk akibat perlakuan tekanan. Nilai-nilai warna CIE, yaitu L (cerah), a (kemerahan) dan b (kekuningan), pada filet ikan mas juga meningkat sejalan dengan tekanan dan lama perlakuan tekanan.
Bab VII
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan
Keracunan histamin akibat memakan ikan busuk terjadi di seluruh dunia. Keracunan ini biasanya menimbulkan sakit yang agak ringan; bagaimanapun, komplikasi yang serius seperti gangguan jantung dan pernafasan agak jarang terjadi pada individu dengan kondisi tertentu. Ikan yang terlibat terutama adalah famili Scomberesocidae dan Scombridae (yang disebut juga ikan scombroid) dan banyak mengandung histamin. Histamin dengan kadar berbahaya dihasilkan melalui dekarboksilasi mikrobial terhadap histidin bebas di dalam jaringan otot ikan (Kanki et al., 2002)
Chen et al. (2010) melaporkan bahwa sebanyak 347 orang mengalami keracunan akibat mengkonsumsi ikan Tetrapturus goreng pada Juni 2007 di Taiwan Selatan. Salah satu sampel mengandung histamin sebanyak 52.3 mg/100 g, melebihi ambang bahaya 50 mg/100 g. Mengingat gejala-gejalanya yang mirip alergi dan tingginya kadar histamin pada sampel ikan goreng yang dikonsumsi maka kuat dugaan bahwa kasus ini merupakan keracunan histamin. Dalam penelitian ini dua isolat penghasil histamin lemah diidentifikasi sebagai Acinetobacter baumannii .
Yatsunami dan Echigo (1992) melakukan penelitian untuk mempelajari bakteri pembentuk histamin yang bersifat halotoleran (tahan garam) dan halofilik (suka garam) pada produk daging merah ikan. Empat puluh enam isolat bakteri pembentuk histamin yang halotoleran dan halofilik telah diisolasi pada 35 sampel dari 133 produk daging merah ikan. Dua puluh tiga isolat, 20 isolat dan satu isolat dari 46 bakteri pembentuk histamin adalah identik dengan Staphylococcus, Vibrio dan Pseudomonas III/IV-NH, berturut-turut. Dua isolat sisanya tak teridentifikasi. Empat puluh isolat menghasilkan 40 - 100 mg/100 ml histamin dalam media histidin yag ditambahkan ke NaCl 15% 14 hari pada suhu 20 derajat C.
López-Sabater et al. (1994) menganalisis kualitas bakteriologis dan kadar histamin pada sampel ikan tuna yang yang dikalengkan. Bahan mentah yang digunakan dalam proses pengalengan memiliki mutu yang bagus. Bakteri penghasil histamin hanya ditemukan pada tiga sampel dari tahap terakhir proses pengalengan sebelum sterilisasi. Kebanyakan bakteri yang diidentifikasi sebagai pembentuk histamin adalah gram negatif, dan hampir semuanya termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Morganella morganii adalah pembentuk histamin yang paling banyak dan aktif pada ikan tuna yang akan dikalengkan. Bakteri lain penghasil banyak histamin yang diisolasi selama operasi pengalengan adalah Klebsiella oxytoca, Klebsiella pneumoniae dan beberapa galur Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes. Mereka semuanya dapat memproduksi histamin lebih dari 500 ppm dalam kondisi eksperimental. Sebagian besar spesies tersebut muncul sebagai akibat kontaminasi ikan selama penangkapan dan penanganan yang tak hiegenis di pabrik pengalengan. Peningkatan kadar histamin dalam daging tuna adalah sesuatu yang tidak diharapkan dalam proses pengalengan. Kadar histamin harus di bawah nilai maksimum yang diijinkan baik oleh Masyarakat Ekonomi Eropa maupun Food and Drug Administration.
Bakteri enterik (Enterobacteriaceae) telah dilaporkan merupakan bakteri dominan penghasil histamin pada ikan. Pada 1979, Taylor et al. (1979) melaporkan bahwa Klebsiella pneumoniae galur T2 penghasil-histamin telah diisolasi dari sasimi tuna busuk. K. pneumoniae merupakan HPB (Histamine Producing Bacteria; Bakteri Pembentuk Histamin) paling terkenal sejak laporan itu, sedangkan Klebsiella oxytoca juga dikenal sebagai HPB dari ikan. Bagaimanapun, K. pneumoniae galur T2 kemudian dikirim ke American Type Culture Collection (sekarang di Manassas, Va.) dan diidentifikasi sebagai Klebsiella planticola (ATCC 43176) pada 1987. Galur ini dilaporkan memiliki gen-gen hdc, kode untuk "histidine decarboxylase" tergantung-piridoxal fosfat. Pada 1981, Bagley et al. mengusulkan nama Klebsiella planticola untuk "Klebsiella spesies 2" guna membedakannya dari K. pneumoniae maupun K. oxytoca . Lebih lanjut, K. planticola, bersama dengan Klebsiella ornithinolytica dan Klebsiella terrigena, diklasifikasikan ke dalam genus baru, Raoultella pada tahun 2001 (Drancourt, et al., 2001. ). Bagaimanapun, Raoultella planticola tidak dapat dibedakan dari K. pneumoniae atau K. oxytoca dengan menggunakan sistem komersial, seperti API 20E (Biomérieux, Marcy l'Etoile, France). Uji tambahan diperlukan untuk membedakan R. planticola dari spesies Klebsiella. Demikian pula, pada 1989 nama Klebsiella ornithinolytica disulkan untuk "NIH group 12" pada National Institute of Health, Tokyo, Japan, dan "Klebsiella group 47" pada Centers for Disease Control, Atlanta, Ga., yang menunjukkan reaksi positif pada uji produksi indole dan ornithine decarboxylase. K. ornithinolytica juga diklasifikasikan ke dalam genus Raoultella. (Kanki et al., 2002)
Semua galur dari ikan (22 galur R. planticola dan 5 galur R. ornithinolytica) menghasilkan antara 2.810 dan 5.250 mg histamin per liter. Sebanyak 15 dari 21 galur R. planticola menghasilkan antara 2.610 dan 5.200 mg histamin per liter. Galur R. planticola sisanya (6 galur) dan semua galur K. pneumoniae (51 galur) dan K. oxytoca (16 galur) tidak menghasilkan histamin. Tiga dari 5 galur R. planticola dan semua 8 galur R. ornithinolytica juga menghasilkan antara 3.370 dan 5.130 mg histamin per liter. Galur R. planticola (2 galur) dan semua galur R. terrigena (3 galur), K. pneumoniae (10 galur), K. oxytoca (2 galur), K. pneumoniae subsp. ozaenae (1 galur), dan K. pneumoniae subsp. rhinoscleromatis (1 galur) tidak menghasilkan histamin (Kanki et al., 2002).
Menurut Vidal-Carou et al. (1990) histamin dalam produk daging bisa menjadi indikator rendahnya kualitas bahan mentah, juga berhubungan dengan aktivitas mikrobial yang terlibat dalam proses fermentasi. Perubahan kadar histamin secara nyata terjadi selama penyimpanan/pembusukan daging baik pada suhu kamar maupun suhu dingin. Daging yang tak dimasak menunjukkan kadar histamin yang secara nyata lebih tinggi daripada daging yang dimasak.Pada daging yang dimasak nilai histamin berkisar dari 0,25 sampai 3,90 mg/kg. Untuk daging yang tak dimasak kisaran histaminnya adalah 0,25 sampai 249 mg/kg.
Wei et al.(2006) menyimpan sampel ikan tuna dalam kemasan vakum dan non vakum dengan bakteri-bakteri Klebsiella oxytoca, Morganella morganii atau Hafnia alvei pada suhu 2°C dan 10°C kemudian diuji untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada hari ke-3, 6, 10 dan 15. Tidak seperti yang disimpan pada suhu 2°C, sampel tuna yang disiimpan pada suhu 10°C menunjukkan pertumbuhan bakteri secara nyata sejalan dengan waktu dan mengandung banyak histamin (>200 mg/100g tuna pada hari ke-15). Pengemasan vakum tidak menunjukkan keuntungan apapun dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada sampel tuna pada kedua suhu tersebut. Penyimpanan pada suhu rendah lebih efektif dalam mengendalikan produksi histamin oleh bakeri yang diuji.
Semua galur R. planticola kebanyakan dapat tumbuh pada suhu 4°C (46 dari 48 galur) dan memanfaatkan histamin (46 dari 48 galur) dan semuanya memanfaatkan DL-ß-hydroxybutyric acid tetapi tidak etanolamin dan D-melezitose (48 dari 48 galur) (Kanki et al., 2002).
R. planticola dan R. ornithinolytica dapat tumbuh perlahan-lahan pada suhu 4°C. Selain itu, galur-galur ini sering diisolasi dari ikan mentah dan produk ikan. Respon pertumbuhan suhu-rendah dan distribusi galur-galur Raoultella penghasil-histamin dalam lingkungan adalah berhubungan dengan higienitas makanan. Tidak ada perbedaan kemampuan memproduksi histamin di antara galur-galur penghasil histamine, apapun sumbernya. Semua galur Raoultella penghasil histamin memproduksi sejumlah besar histamin. Ada sedikit keraguan bahwa R. planticola dan R. ornithinolytica merupakan HPB paling penting yang menyebabkan keracunan histamin (Kanki et al., 2002).
Kongpun dan Suwansakornkul (2000) menggunakan ikan tengiri segar yang baru disiangi sebagai bahan mentah pembuatan ikan asin dengan rasio ikan : garam sebagai berikut : 1:1, 2:1 dan 3:1 berdasar berat. Kadar histamin dan bakteri pembentuk histamin ditentukan pada hari ke-0, 2, 6, 7, 10 dan 13 setelah proses penggaraman. Kadar histamin meningkat dari 1.87 mg/100 g menjadi 115.52, 158.28 dan 125.10 mg/100 g pada hari ke-6 penggaraman untuk sampel dengan rasio ikan-garam 1:1, 2:1 dan 3:1, berturut-turut. Setelah 6 hari, kadarnya menurun tajam pada semua sampel hingga akhir proses. Jumlah tertinggi bakteri pembentuk histamin baik pada suhu 20°C maupun 37°C diamati pada sampel dengan kadar histamin terbanyak pada hari ke-6 penggaraman dan kemudian menurun hingga akhir penelitian.
Referensi :
Amerio, M., C. Ruggi, C. Badini. 1996. Meat Quality of Reared Fish : Nutritional Aspects. Italian Journal of Food Science, Vol. 8, no. 3, pp. 221 - 229
Ando, M., H. Toyohara and M. Sakaguchi. 1992. Post Mortem Tenderization of Rainbow Trout Muscle Caused by The Disintegration of Collagen Fibers in The Pericellular Connective Tissue. Bulletin of Japan Societies of Science of Fisheries, vol. 58, no. 3, pp. 567 - 570
Bagley, S. T., R. J. Seidler, and D. J. Brenner. 1981. Klebsiella planticola sp. nov.: a new species of Enterobacteriaceae found primarily in nonclinical environments. Curr. Microbiol. 6:105-109.
Bjerkeng, B., T. Storebakken and S. Liaaen-Jensen. 1992. Pigmentation of Rainbow Trout From Start Feeding to Sexual Maturation. Aquaculture, Vol. 108, No. 3 – 4, pp. 336 - 346
Chen, H-C., Y-R. Huang, H-H. Hsu, C-S. Lin, W-C. Chen, C-M. Lin, and Y-H. Tsai.2010. Determination of histamine and biogenic amines in fish cubes (Tetrapturus angustirostris) implicated in a food-borne poisoning. Food Control, Volume 21, Issue 1, January 2010, Pages 13-18
Dabrowski, T., E. Kolakowski, A. Kolakowska and B. Karnicka. 1970. Studies on Chemical Composition of Cuttlefish (Sepia sp.) Meat as Related to Its Nutritive Value. Journal Acta Ichthyologica et Piscatoria, Vol. 1, pp. 145 -158
Drancourt, M., C. Bollet, A. Carta, and P. Rousselier. 2001. Phylogenetic analyses of Klebsiella species delineate Klebsiella and Raoultella gen. nov., with description of Raoultella ornithinolytica comb. nov., Raoultella terrigena comb. nov. and Raoultella planticola comb. nov. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. 51:925-932
Fukuma, Y., A. Yamane, T. Itoh, Y. Tsukamasa and M. Ando. 2012. Application of Supercooling to Long-Term Storage of Fish Meat. Fisheries Science, Vol. 78, Issue 2, pp. 451 - 461
Hsu, H.H., T.-C. Chuang, H.-C. Lin, Y.-R. Huang, C.-M. Lin, H.-F. Kung and Y.-H. Tsai. 2009. Histamine Content and Histamine-Forming Bacteria in Dried Milkfish (Chanos chanos) Products. Food Chemistry. Vol. 114, Issue 3, pp. 933 – 938
Ganesh, A., A.O. Dileep, B.A. Shamasundar and U. Singh. 2006. Gel-Forming Ability of Common Carp (Cyprinus carpio) Meat : Effect of Freezing and Frozen Storage. Journal of Food Biochemistry, Vol. 30, Issue 3, pp. 342 – 361
Gelman, A. R. Pasteur and M. Rave. 1990. Quality Changes and Storage Life of Common Carp (Cyprinus carpio) at Various Storage Temperatures. Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 52, Issue 2, pp. 231 – 247
Jeon, J.-K., J.-S. Kim, C.-W. Park, M.-S. Han, H.-T. Huh and E.-H. Lee. 1990a. Studies on The Food Components of Tilapia Oreochromis niloticus Cultured in Seawater. 2. Comparison of Lipid Components of Tilapia With Freshwater Cultured Tilapia. Bulletin of Korean Fisheries Societies, vol. 23, no. 4, pp. 339 – 344
Jeon, J.-K., D.-S. Joo, C.-W. Park, H.-T. Huh and E.-H. Lee. 1990b. Studies on The Food Components of Tilapia Oreochromis niloticus Cultured in Seawater. 1. Comparison of Taste Compounds With Frehwater Cultured Tilapia. Bulletin of Korean Fisheries Societies, vol. 23, no. 4, pp. 334 – 338
Jiang, S.-T., D.-C. Hwang and C.-S. Chen. 1988. Effect of Storage Temperatures on the Formation of Disulfides and Denaturation of Milkfish Actomyosin (Chanos chanos). Journal of Food Science, Vol. 53, Issue 5, pp. 1333 - 1335
Kagawa, M., M. Matsumoto, C. Yoneda, T. Mitsuhashi and K. Hatae. 2002. Changes in Meat Texture of Three Varieties of Squid in The Early Stage of Cold Storage. Fisheries Science, Vol. 68, pp. 783 – 792
Kanki, M., T. Yoda, T. Tsukamoto, & T. Shibata. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No Histamine: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica Strains Are Histamine Producers. Applied and Environmental Microbiology, July 2002, Vol. 68, No. 7, pp. 3462-3466
Kawaguty, K., M. Tsuchimoto and H. Ueki. 1990. Fish Meat Improving System Powered by A Wave Energy Pump in Chung, J.S. and K. Kaneko (eds.). 1990. Proceedings of The First (1990) Pacific/Asia Offshore Mechanics Symposium, Volume 1, pp. 241 - 246
Kawai, Y., T. Nakasato and M. Hatano. 1992. Effect of Heat-Treatment on The Water Holding Capacity of Mature Chum Salmon Muscle. Nippon Suisan Gakkaishi, vol. 58, no. 6, p. 1193
Kennish, J.M., J.L. Sharp-Dahl, K.A. Chambers, F. Thrower and S.D. Rice. 1992. The Effect of a Herring Diet on Lipid Composition, Fatty Acid Composition, and Cholesterol Levels in The Muscle Tissue of Pen-Reared Chinook Salmon (Oncorhynchus tshawytscha). Aquaculture, Vol. 108, No. 3 – 4, pp. 309 - 322
Kongpun, O. and P. Suwansakornkul. 2000. Histamine Formation During Salting of Spanish Mackerel (Scomberomorus commerson). Journal of Aquatic Food Product Technology, Volume 9, Issue 1 January 2000 , pages 21 - 30
López-Sabater, E. I., J.J. Rodríguez-Jerez, A.X. Roig-Sagués and M.A.T. Mora-Ventura. 1994. Bacteriological Quality of Tuna Fish (Thunnus thynnus) Destined for Canning: Effect of Tuna Handling on Presence of Histidine Decarboxylase Bacteria and Histamine Level. Journal of Food Protection, Volume 57, Number 4, April 1994 , pp. 318-323
Miramand, P., P. Bustamante, D. Bentley and N. Kouéta. 2006. Variation of Heavy Metal Concentrations (Ag, Cd, Co, Cu, Fe, Pb, V, and Zn) During The Life Cycle of The Common Cuttlefish Sepia officinalis. Science of The Total Environment, Vol. 361, Issues 1 – 3, pp. 132 – 143
Miyasaki, T., M. Hamaguchi and S. Yokoyama. 2011. Change of Volatile Compounds in Fresh Fish Meat during Ice Storage. Journal of Food Science, Vol. 76, Issue 9, pp. C1319 – C1325
Mommsen, T.P. and P.J. Walsh. 1988. Vitellogenesis and Oocyte Assembly in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson (Eds.). 1988. Fish Physiology, Vol. XI. Part I. Academic Press, New York. 546 pp.
Niven, C. F., Jr., M. B. Jeffrey, and D. A. Corlett, Jr. 1981. Differential plating medium for quantitative detection of histamine-producing bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 41:321-322
Nonaka, M., F. Hirata, H. Saeki and Y. Sasamoto. 1989. Manufacture of Highly Nutritional Fish Meat for Food Stuff from Sardines. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 55, no. 9, pp. 1575 -1581
Özyurt, G., Ö. Duysak, E. Akamca and C. Tureli. 2006. Seasonal Changes of Fatty Acids of Cuttlefish Sepia officinalis L. (Mollusca: Cephalopoda) in The North Eastern Mediterranean Sea. Food Chemistry, Vol. 95, Issue 3, pp. 382 – 385
Pavlov, A., D. Dimitrov, G. Penchev and L. Georgiev. 2008. Structural Changes in Common Carp (Cyprinus carpio) Fish Meat During Freezing. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine, Vol. 11, No. 2, pp. 131 – 136
Prescott, J. and J.D. Bell. 1992. Sensory Evaluation of Australian Snapper (Pagrus auratus) Raised in Captivity. Asean Food Journal, Vol. 7, No. 2, pp. 111 - 113
Sannaveerappa, T., K. Ammu and J. Joseph. 2004. Protein-Related Changes During Salting of Milkfish (Chanos chanos). Journal of the Science of Food and Agriculture. Volume 84, Issue 8, pp. 863 - 869
Sequeira-Munoz, A., D. Chevalier, A. LeBail, H.S. Ramaswamy and B.K. Simpson. 2006. Physicochemical Changes Induced in Carp (Cyprinus carpio) Fillets by High Pressure Processing at Low Temperature. Innovative Food Science & Emerging Technologies, Vol. 7, Issues 1 – 2, pp. 13 – 18
Shiau, C.-Y., Y.-J.Pong , T.-K. Chiou and T.-j. Chai. 1996. Free Amino Acids and Nucleotide-Related Compounds in Milkfish (Chanos chanos) Muscles and Viscera. Journal of Agricultural and Food Chemistry, Vol. 44, No. 9, pp. 2650 – 2653
Shiau, C.-Y., Y.-J. Pong, T.-K. Chiou and Y.-Y. Tin. 2001. Effect of Starvation on Free Histidine and Amino Acids in White Muscle of Milkfish Chanos chanos. Comparative Biochemistry and Physiology, Part B: Biochemistry and Molecular Biology, Vol. 128, Issue 3, pp. 501 – 506
Stowell, S.L. and D.M. Gatlin, III. 1992. Effects of Dietary Pantethine and Lipid Levels on Growth and Body Composition of Channel Catfish, Ictalurus punctatus. Aquaculture, vol. 108, no. 1 – 2, pp. 177 – 188
Sykes, A.V., A.R. Oliveira, P.M. Domingues, C.M. Cardoso, J.P. Andrade and M.L. Nunes. 2009. Assessment of European cuttlefish (Sepia officinalis L.) Nutritional Value and Freshness Under Ice Storage Using a Developed Quality Index Method (QIM) and Biochemical Methods. LWT - Food Science and Technology, Vol. 42, Issue 1, pp. 424 – 432
Taylor, S. L., L. S. Guthertz, M. Leatherwood, and E. Lieber. 1979. Histamine production by Klebsiella pneumoniae and an incident of scombroid fish poisoning. Appl. Environ. Microbiol. 37:274-278.
Thanonkaew, A., S. Benjakul and W. Visessanguan. 2006. Chemical Composition and Thermal Property of Cuttlefish (Sepia pharaonis) Muscle. Journal of Food Composition and Analysis, Vol. 19, Issues 2 – 3, pp. 127 – 133
Tokur, B., S. Ozkütük, E. Atici, G. Ozyurt and C.E. Ozyurt. 2006. Chemical and Sensory Quality Changes of Fish Fingers, Made From Mirror Carp (Cyprinus carpio L., 1758), During Frozen Storage (-18 °C). Food Chemistry, Vol. 99, Issue 2, pp. 335 – 341
Tsai, Y.-H., H.-F. Kung, H.-C. Chen, S.-C. Chang, H.-H. Hsu and C.-I. Wei. 2007. Determination of Histamine and Histamine-Forming Bacteria in Dried Milkfish (Chanos chanos) Implicated in a Food-Borne Poisoning. Food Chemistry, Vol. 105, Issue 3, pp. 1289 – 1296
Tunhun, D., Y. Itoh, K. Morioka and S. Kubota. 2004. Oxidation During Washing of Fish Meat Induces a Decrease in Gel Forming Ability. Developments in Food Science. Vol. 42, pp. 357 – 373
Vidal-Carou, M. C., M. L. Izquierdo-Pulido, M. C. Martín-Morro, & Mariné-Font. 1990. Histamine and tyramine in meat products: Relationship with meat spoilage.Food Chemistry, Volume 37, Issue 4, 1990, Pages 239-249
Watanabe, T., S. Ohhashi, A. Itoh, C. Kitajima and S. Fujita. 1984. Effect of Nutritional Composition of Diets On Chemical Components of Red Sea Bream Broodstock and Eggs Produced. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, Vol. 50, No. 3, pp. 503 - 515
Wei, C.I., C.-M. Chen, J. A. Koburger, W. S. Otwell & M. R. Marshall. 2006. Bacterial Growth and Histamine Production on Vacuum Packaged Tuna. Journal of Food Science. Volume 55 Issue 1, Pages 59 - 63
Wesselinova , D. 2000. Amino Acid Composition of Fish Meat After Different Frozen Storage Periods. Journal of Aquatic Food Product Technology, Vol. 9, Issue 4, pp. 41 - 48
Yatsunami, K. & T. Echigo. 1992. Occurence of halotolerant and halophilic histamine-forming bacteria in red meat fish products. BULL. JAP. SOC. SCI. FISH. , Vol.58, no. 3, pp. 515-520
Zhang, C.-H., T. Hirano, T. Suzuki and T. Shirai. 1992. Enzymatically Generated Specific Volatile Compounds in Ayu Tissues. Bulletin of Japan Societies of Science of Fisheries, vol. 58, no. 3, pp. 559 - 565
Tidak ada komentar:
Posting Komentar