Jumat, 19 Januari 2018

Daya Racun Amonia Bagi Hewan Air dan Penanganannya

Bab I. Variasi Daya Racun Amonia

Dua Bentuk Amonia

Menurut Ip et al., (2001) amonia merupakan racun tak lazim yang dihasilkan oleh, dan juga beracun bagi, binatang. Dalam larutan cair, amonia mempunyai dua bentuk, NH3 dan NH4+. Amonia total merupakan jumlah [NH3] + [NH4+] dan nilai pK untuk reaksi ion amonia/amonium adalah sekitar 9.5. Keseimbangan NH3/NH4+ baik di dalam tubuh binatang maupun di lingkungan sekitarnya tergantung pada suhu, tekanan, kekuatan ion, dan pH. pH merupakan faktor yang paling penting bagi binatang.

Sumber Amonia

Sumber-sumber amonia menurut MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) adalah ekskresi tumbuhan dan hewan, penguraian bahan organik oleh mikroba, emisi gunung berapi, dan kegiatan manusia seperti pemupukan dan emisi industri. Dalam praktek budidaya ikan, amonia merupakan limbah metabolit utama yang dihasilkan ikan dari katabolisme protein yang terkandung dalam makanan. Amonia diekskresi oleh ikan melalui insang. Amonia juga bisa berasal dari pembusukan sisa-sia pakan, namun sumber amonia ini dianggap relatif kecil.

Asal dan Fluktuasi Konsentrasi Amonia Dalam Kolam Udang

Amonia berasal dari proses amonifikasi bahan organik dan deaminasi atau ekskresi binatang air sebagai hasil akhir metabolisme senyawa-senyawa bernitrogen dalam sistem budidaya. Amonia merupakan racun yang paling umum bagi udang Penaeus monodon dalam kolam budidaya dan dapat meningkat sampai 0,808 mg/liter amonia-N di hatchery, serta 6,497 mg/liter amonia-N di kolam pembesaran intensif meskipun air sering diganti (Chen dan Chin, 1989).

Fluktuasi Konsentrasi Amonia Mempengaruhi Hasil Studi Daya Racun Amonia

Kualitas air sangat penting bagi kehidupan ikan. Kualitas air merupakan faktor-faktor lingkungan yang sangat berpotensi mempengaruhi kesehatan ikan. Ikan melakukan persentuhan erat dengan air melalui permukaan insang dan kulitnya. Efek subletal yang ditimbulkan buruknya kualitas air bisa menyebabkan ikan makin rentan terhadap penyakit, namun hubungan langsung antara kedua hal ini belum memiliki cukup bukti ilmiah. Literatur yang berkaitan dengan amonia dan daya racunnya pada ikan sangat banyak, bagaimanapun literatur-literatur tersebut sering bertentangan dan membingungkan. Pertentangan antar literatur tersebut mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar amonia akibat variasi laju ekskresi amonia harian, yang membuat perkiraan daya racun amonia menjadi sulit, dan bahwa efek amonia tidak dapat diramalkan berdasarkan pada konsentrasi amonia tak terionisasi saja (MacIntyre et al. (2008) dalam Branson, 2008).

Dampak Negatif Amonia Bagi Ikan

Menurut Boyd (1999) amonia nitrogen dalam bentuk tak terionisasi (NH3) dapat beracun bagi ikan dan organisme air lain. Konsentrasi amonia tak terionisasi berfluktuasi setiap hari karena proporsi amonia tak terionisasi terhadap total amonia nitrogen bervariasi akibat perubahan pH dan suhu. Meskipun mekanisme daya racun amonia belum dapat dijelaskan seluruhnya, sejumlah efek fisiologis dan histologis akibat tingginya konsentrasi amonia telah dapat diidentifikasi. Efek-efek ini mencakup: penurunan kemampuan organisme air untuk mengekskresi amonia, peningkatan kadar amonia dalam jaringan dan cairan tubuh, peningkatan pH darah, gangguan sistem enzim dan stabilitas membran serta kerusakan insang dan kerusakan jaringan berbagai organ dalam. Mortalitas jarang terjadi, tetapi pada banyak kasus, daya racun amonia tercermin dalam makin rentannya ikan terhadap penyakit dan penurunan pertumbuhan.

Daya Racun Amonia

Amonia tak terionisasi pada konsentrasi lebih dari 1,00 – 2,00 mg/liter biasanya bersifat letal dalam waktu 1 - 4 hari. Di bawah konsentrasi ini, ikan mungkin tidak mati, tetapi akan mengalami stres. Jika konsentrasi amonia tak terionisasi lebih dari 0,05 mg/liter, maka nilai ini harus diturunkan secepat mungkin (Noga, 2010).

Faktor Kimia Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor selain pH dan suhu. Daya racun meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi efek ini sering ditiadakan karena konsentrasi karbon dioksida yang tinggi menurunkan daya racun amonia. Ada bukti bahwa daya racun amonia menurun dengan meningkatnya salinitas dan kadar kalsium. Ikan juga cenderung meningkatkan toleransinya terhadap amonia ketika diaklimasikan secara perlahan-lahan terhadap peningkatan konsentrasi amonia selama beberapa minggu atau bulan (Boyd, 1999).

Hubungan Suhu dan pH Dengan Daya Racun Amonia

Boyd (1999) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan konsentrasi amonia yang berbahaya atau bersifat mematikan bagi spesies akuatik tertentu. Konsentrasi LC50 96-jam untuk amonia nitrogen tak terionisasi pada berbagai spesies ikan berkisar dari sekitar 0,3 sampai 3,0 mg/liter. Spesies perairan dingin biasanya lebih peka terhadap amonia daripada spesies perairan hangat. Amonia tak terionisasi tidak mempunyai efek letal atau subletal pada konsentrasi di bawah 0,005 sampai 0,01 mg/liter untuk spesies perairan dingin atau di bawah 0,01 sampai 0,05 mg/liter untuk spesies perairan hangat. Konsentrasi total amonia nitrogen tergantung pada pH dan suhu. Sebagai contoh, konsentrasi amonia nitrogen yang dibutuhkan untuk menghasilkan 0,05 mg/liter amonia nitrogen tak terionisasi pada nilai-nilai pH tertentu dan suhu 26 oC adalah sebagai berikut : pH 7, 8,33 mg/liter; pH 8, 0,88 mg/liter; pH 9, 0,13 mg/liter. Daya racun amonia tampaknya lebih besar di perairan dengan pH jauh di atas netral daripada di perairan netral atau asam.

Hubungan pH dan Daya Racun Amonia

Menurut Norberg-King et al. (2005) proporsi amonia tak terionisasi dalam sampel meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu. Pada kebanyakan sistem uji daya racun di lingkungan laut dan perairan tawar, daya racun amonia tak terionisasi meningkat dengan meningkatnya pH sedangkan daya racun amonia terionisasi menurun dengan meningkatnya pH. Bagaimanapun, untuk sebagian besar organisme uji, daya racun NH3 lebih besar daripada NH4+.

Pengaruh Suhu, pH dan Salinitas Terhadap Daya Racun Amonia

Ip et al., (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi amonia dalam lingkungan menyebabkannya menjadi beracun. Suhu mempunyai efek kecil terhadap daya racun amonia, sedangkan kekuatan ionik air dapat mempengaruhi daya racun amonia bahkan menunjukkan efek yang sangat kuat terhadap daya racunnya. Air yang bersifat asam mengurangi daya racun amonia, sedangkan air yang bersifat basa memperkuat daya racun ini. Ambang batas konsentrasi amonia total ([NH3] + [NH4+]) yang menyebabkan efek-efek biologis berbahaya di perairan tawar, yang disarankan oleh EPA (1998), adalah 3.48 mg N/liter pada pH 6,5 dan 0,25 mg N/liter pada pH 9,0. Hanya ada relatif sedikit data untuk perairan asin, terutama daya racun amonia di lingkungan laut yang bersifat kronis. Kriteria nasional yang diusulkan EPA untuk perairan asin adalah kriteria konsentrasi kontinyu (nilai kronis) sebesar 0,99 mg N/liter total amonia dan kriteria konsentrasi maksimum (setengah rata-rata nilai akut) sebesar 6,58 mg N/liter total amonia, agak sedikit lebih rendah daripada nilai untuk perairan tawar dengan pH 8,0 sebesar 1,27 dan 8,4 mg N/liter total amonia, berturut-turut. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa spesies laut lebih peka terhadap amonia daripada spesies air tawar.

Pengaruh Kekuatan Ionik Terhadap Daya Racun Amonia

Delos dan Erickson (1999) menyatakan bahwa fraksi amonia sangat tergantung pada kekuatan ionik, tetapi dalam air tawar efek ini jauh lebih kecil daripada efek pH dan suhu serta cukup kecil pengaruhnya bagi LC-50 (konsentrasi letal 50 %) sehingga dianggap tidak mempengaruhi daya racun amonia. Tidaklah mengherankan bahwa amonia tak terionisasi adalah bentuk yang lebih beracun, karena ia merupakan molekul netral sehingga dapat berdifusi menembus membran epitelial organisme air jauh lebih mudah daripada ion amonium bermuatan.

Bab II. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

MacIntyre et al. (2008) membuat daftar faktor-faktor yang mempengaruhi daya racun amonia bagi ikan sebagai berikut :

1. Oksigen terlarut (DO). Banyak peneliti mengamati bahwa daya racun amonia meningkat dengan menurunnya konsentrasi DO dan bahwa toleransi terhadap amonia menurun dengan menurunnya DO. Nilai LC50-96 jam untuk daya racun amonia pada rainbow trout turun sekitar 30 % pada kisaran konsentrasi DO 8,5 dan 5 mg/liter. Konsentrasi DO minimum disarankan 5 mg/liter.

2. pH. pH air mempengaruhi daya racun amonia dengan mengubah rasio distribusi bentuk amonia total. Peningkatan pH menyebabkan peningkatan fraksi amonia tak terionisasi. Bagaimanapun, terlepas dari efek pH terhadap keseimbangan spesies amonia, nilai LC50-96 jam akan menurun dengan menurunnya pH pada kisaran 9 sampai 6,5. Karena pH rendah dianggap tidak beracun, maka adalah mungkin bahwa efek racun disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi ion amonium (NH4+).


3. Suhu. Pengaruh suhu terhadap daya racun amonia adalah tidak jelas, terlepas dari pengaruh suhu terhadap distribusi bentuk-bentuk amonia. Bagaimanapun, beberapa studi menunjukkan hasil yang sebaliknya atau bahkan suhu tidak memberikan pengaruh.

4. Aklimasi. Ada beberapa bukti bahwa pemaparan-pendahuluan rainbow trout terhadap amonia pada kadar subletal akan meningkatkan toleransi ikan tersebut terhadap amonia.

5. Fluktuasi konsentrasi amonia. Telah lama diketahui bahwa dalam sistem budidaya, konsentrasi amonia lingkungan berfluktuasi tiap jam akibat variasi tingkat eksresi amonia. Telah dilaporkan bahwa ikan uji lebih sanggup mentolerir amonia berkonsentrasi konstan daripada amonia yang konsentrasinya berfluktuasi.


6. Gerak badan (exercise). Banyak peneliti melaporkan bahwa aktivitas renang meningkatkan daya racun amonia pada rainbow trout dan bahwa peningkatan konsentrasi amonia lingkungan akan menurunkan kemampuan renang. Nilai LC50-96 adalah 32 mg/liter total amonia nitrogen (sekitar 0,08 mg/liter NH3-N) untuk ikan yang melakukan gerak badan, dan 207 mg/liter total amonia nitrogen (0,52 mg/liter NH3-N) untuk ikan yang beristirahat. Gambaran ini lebih rendah daripada nilai-nilai LC50-96 jam lainnya.



7. Makan/puasa. Dalam kondisi budidaya ikan, sumber primer amonia adalah metabolisme ikan. Jadi, aktivitas makan pastilah berdampak pada kadar amonia. Juga ada bukti bahwa aktivitas makan mempengaruhi daya racun amonia – ikan yang makan adalah kurang peka terhadap amonia lingkungan daripada ikan yang tidak makan. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem penetralan racun yang lebih efisien pada ikan yang makan. Dilaporkan bahwa ikan yang makan dapat mentolerir kadar amonia dalam plasma darah pada konsentrasi yang di lingkungan bersifat letal, yang diduga disebabkan aktivitas sistem penetralan racun amonia.


8. Stres. Ada beberapa bukti bahwa stres meningkatkan daya racun amonia pada ikan, tetapi hal ini tidak dapat disimpulkan. Diduga bahwa ikan yang berulang-ulang mengalami stres akan memperbaiki sistem penetralan racun amonia.

9. Kekuatan ionik air. Kekuatan ionik air (diukur berdasarkan padatan terlarut) mempengaruhi keseimbangan dua bentuk amonia, walaupun pada kisaran yang lebih kecil daripada pH dan suhu. Dalam perairan tawar, daya racun amonia meningkat akibat makin besarnya perbedaan antara kekuatan ionik air dengan kekuatan ionik darah ikan, yang secara kasar nilainya sepertiga kekuatan air laut.


10. Tahap hidup dan ukuran. Toleransi terhadap daya racun amonia meningkat, ketika ikan berkembang dari tahap larva, sampai menjadi toleransi maksimum, ketika ikan mencapai tahap juvenil/muda (sekitar 1-4 gram), yang selanjutnya toleransi terhadap amonia berkurang. Toleransi rainbow trout adalah 50 kali lebih besar pada ikan yang tidak menyerap kuning telur seluruhnya dibandingkan pada ikan trout dewasa.

Boyd (1982) menambahkan bahwa gas karbon dioksida yang terlarut dalam air juga mempengaruhi daya racun amonia. Daya racun amonia berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida.

Daya racun amonia juga dipengaruhi oleh kesadahan air. Ankley et al. (1995) meneliti pengaruh pH dan kesadahan terhadap daya racun amonia bagi amfipoda. Pendedahan Hyalella azteca terhadap amonia dilakukan selama 96 jam dengan kesadahan air 42, 100, dan 270 mg/liter CaCO3 serta pH sekitar 6.5, 7.5, dan 8.5. Dalam air berkesadahan rendah, daya racun total amonia adalah konstan sepanjang uji pH. Ketika kesadahan air naik, daya racun amonia (pada basis total) terhadap amfipoda menurun dan menjadi lebih tergantung pada pH. Data penelitian menunjukkan bahwa pada air berkesadahan lebih rendah amfipoda sangat peka terhadap bentuk amonia terionisasi (NH4+). Hal ini bertentangan dengan kebanyakan spesies lain yang telah diuji, yang secara khas lebih peka terhadap amonia tak terionisasi (NH3) daripada terhadap NH4+. Data ini menyediakan landasan penting untuk menafsirkan kemungkinan peranan amonia dalam mempengaruhi daya racun sedimen bagi H. azteca dan juga menunjukkan bahwa pada beberapa situasi NH4+ mungkin lebih penting dalam penentuan daya racun amonia.

Menurut Ip et al. (2001) salinitas mempengaruhi daya racun amonia. Kriteria nasional yang diusulkan EPA untuk perairan asin adalah kriteria konsentrasi kontinyu (nilai kronis) sebesar 0.99 mg N/liter total amonia dan kriteria konsentrasi maksimum (setengah rata-rata nilai akut) sebesar 6.58 mg N/liter total amonia, agak sedikit lebih rendah daripada nilai untuk perairan tawar dengan pH pH 8.0 sebesar 1.27 dan 8.4 mg N/liter total amonia, berturut-turut. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa spesies laut lebih peka terhadap amonia daripada spesies air tawar.

Bab III. Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Dari semua parameter kualitas air yang mempengaruhi ikan, amonia adalah yang paling penting setelah oksigen. Amonia merupakan salah satu gas yang umum dijumpai dalam air . Amonia mudah tertimbun di dalam sistem perairan karena ia merupakan hasil samping alami metabolisme ikan serta hasil penguraian sisa-sisa makanan dan bahan organik lainnya. Ada dua bentuk amonia dalam air, yaitu amonia tak terionisasi (disebut juga amonia bebas) dan amonia terionisasi. Bentuk amonia tak terionisasi (NH3) sangat beracun sedang bentuk terionisasi (ion NH4+) tidak beracun. Kedua bentuk ini secara bersama-sama disebut “amonia total”.

Di perairan alami seperti danau amonia mungkin tidak pernah mencapai tingkat yang berbahaya karena rendahnya kepadatan ikan. Konsentrasi amonia yang tinggi dan berbahaya biasanya hanya terjadi dalam sistem budidaya yang bersifat resirkulasi (air didaur ulang terus-menerus) dan di kolam budidaya setelah terjadinya kematian masal fitoplankton. Keracunan amonia juga timbul pada sistem budidaya intensif. Masalah yang dijumpai dalam sistem akuakultur biasanya berasal dari produksi amonia yang berlebihan.

Amonia masuk ke dalam air melalui pupuk, hasil eksresi ikan dan hasil penguraian senyawa bernitrogen oleh mikroba. Dalam air, amonia terionisasi menjadi ion amonium tetapi reaksi ini bisa kembali dengan terbentuknya amonia bebas. Efek racun yang ditimbulkan amonia tak terionisasi bisa menyebabkan kerusakan insang, ginjal, limfa, jaringan tiroid dan darah ikan (Boyd, 1982).

Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Sebagian faktor ini mengubah konsentrasi amonia tak terionisasi dengan menggeser reaksi keseimbangan amonia – amonium, sedang faktor-faktor lainnya mempengaruhi daya racun amonia itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, selain suhu dan aklimasi, adalah konsentrasi oksigen terlarut, pH, konsentrasi karbon dioksida, salinitas dan keberadaan racun lainnya (EPA,1986). Kalsium, kalium dan natrium juga dilaporkan mempengaruhi daya racun amonia (Borgmann and Borgmann, 1997; Soderberg and Meade, 1992; Weirich et al., 1993).

Menurut Boyd (1982) amonia lebih beracun bila konsentrasi oksigen telarut rendah. Satyanarayana et al. (2008) menambahkan bahwa kondisi kekurangan oksigen timbul bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi yang beracun.

Allan et al. (1990) meneliti pengaruh konsentrasi oksigen terhadap daya racun amonia. Mereka memperkirakan daya racun akut amonia sebagai nilai LC50 96-jam. Untuk juvenil udang Metapenaeus macleayi dan udang windu Penaeus monodon, nilainya adalah 1,39 dan 1,69 mg amonia tak terionisasi per liter (26,3 dan 37,4 mg total amonia-nitrogen per liter), berturut-turut. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P < 0,05) meningkatkan daya racun akut amonia terhadap Penaeus monodon. Sembilan puluh persen udang yang dipelihara selama 96 jam pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 2,3 mg/liter dan konsentrasi amonia tak terionisasi 1,60 mg/liter (33,5 mg total amonia-nitrogen per liter) mati, namun hanya 33,3 % yang mati pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 5,7 mg/liter dan konsentrasi amonia 1,63 mg/liter (33,9 mg total amonia-nitrogen per liter). Nilai konsentrasi amonia “maksimum yang dapat diterima” (maximum acceptable) didefinisikan sebagai konsentrasi amonia di mana pertumbuhan berkurang 5 % selama 3 minggu. Untuk M. macleayi dan P. monodon nilai tersebut adalah 0,35 dan 0,21 mg amonia tak terionisasi per liter (7,7 dan 4,1 mg amonia total per liter), berturut-turut.

Gas terlarut dalam air lainnya yang juga mempengaruhi daya racun amonia adalah karbon dioksida. Daya racun amonia berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (Boyd, 1982).

Menurut Brick (2003) pH mempengaruhi daya racun amonia. Kadar amonia tak terionisasi meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Dengan naiknya pH air maka sebagian besar total amonia berupa amonia tak terionisasi yang bersifat racun. Pada pH 8 daya racun amonia 10 kali lipat daya racunnya pada pH 7 (EIFAC, 1969). Weirich et al. (1993) menyatakan bahwa toleransi terhadap amonia bisa ditingkatkan dalam lingkungan air tawar dengan menurunkan pH lingkungan.

Pada pH yang sama, daya racun amonia dalam air laut 30 % lebih lemah dibandingkan dalam air tawar. Weirich et al. (1993) mempelajari pengaruh salinitas dan kalsium terhadap daya racun amonia bagi ikan sunshine bass (Morone sp.). Konsentrasi letal amonia nitrogen tak terionisasi terhadap 50 % ikan dalam waktu 96 jam (LC50 96 jam) berkisar dari 0,32 sampai 0,60 mg/liter dan meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi kalsium pada kisaran uji (5-80 mg/liter). Daya racun akut amonia nitrogen tak terionissasi tidak dipengaruhi oleh salinitas pada kisaran uji (1-29 g/liter), dan nilai LC50 96 jam adalah 0,70 ± 0,04 mg/liter amonia nitrogen tak terionisasi (rata-rata ± kesalahan baku) pada semua salinitas yang diuji. Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan sunshine bass relatif peka terhadap amonia. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam habitat air tawar peningkatan konsentrasi kalsium bisa memperbaiki toleransi ikan terhadap amonia.

Kesimpulan serupa dalam hal pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia juga diberikan oleh Wicks et al. (2002). Ketika mempelajari pengaruh amonia terhadap aktivitas renang ikan salmon dan trout, mereka menemukan fakta bahwa pada pH konstan, peningkatan konsentrasi kalsium menurunkan daya racun amonia.

Menurut Borgmann dan Borgmann (1997) daya racun amonia terhadap Hyalella azteca pada pH tetap dalam media buatan dikendalikan oleh natrium dan kalium tetapi tidak oleh kalsium, magnesium atau anion. Sedikit peningkatan LC50 untuk amonia total (dari 0.15 menjadi 0.5 mM) terjadi ketika konsentrasi natrium meningkat dari 0.1 menjadi 1 mM atau lebih, tetapi peningkatan secara nyata LC50 (sampai lebih dari 10 mM amonia total) membutuhksn penambahan kalium. Kalium, bagaimanapun, lebih efektif menurunkan daya racun amonia ketika konsentrasi natrium tinggi (1 mM) daripada ketika kosentrasi natrum rendah (0.1 mM). Daya racun amonia tidak tergantung pH pada saat konsentrasi natrium dan kalium rendah, ketika daya racun amonia tampaknya sangat berkaitan dengan konsentrasi ion amonium cair (NH4+). Sebuah model matematika telah dibuat untuk meramalkan daya racun amonia berdasarkan konsentrasi natrium dan kalium serta pH.

Pengaruh natrium dan kalsium terhadap daya racun amonia akut 96-jam telah diamati oleh Soderberg dan Meade (1992) pada ikan trout danau (Salvelinus namaycush) dan ikan salmon Atlantik (Salmo salar). Kalsium tidak melindungi larva maupun anak ikan salmon Atlantik dari keracunan amonia. Natrium melindungi smolt (larva salmon) dari keracunan amonia tetapi tidak mempengaruhi toleransi fry (anak ikan) salmon Atlantik terhadap daya racun amonia. Kedua kation ini meningkatkan toleransi anak ikan trout danau berukuran 8 gram terhadap keracunan amonia, tetapi tidak mempengaruhi secara nyata daya racun amonia terhadap anak ikan trout danau berukuran 0,9 gram. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek pelemahan yang ditimbulkan kation larutan terhadap daya racun amonia mungkin berhubungan dengan spesies, ukuran dan tahap hidup ikan.

Konsumsi oksigen oleh bakteri nitrifikasi yang menguraikan amonia beracun menjadi bentuk tak beracun tergantung pada jumlah amonia yang memasuki sistem tersebut. Melalui proses biologi, amonia beracun bisa diuraikan menjadi nitrat yang tak berbahaya. Meade (1974) menentukan bahwa 4 – 4,6 kg oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi setiap kg amonia. Bagaimanapun, karena adanya bakteri lain dalam kolam maka rasio ini sebaiknya 6 kg oksigen untuk 1 kg amonia. Tumbuhan membutuhkan banyak amonia sehingga mereka sangat berguna dalam mengendalikan konsentrasi amonia agar tidak melebihi batas yang membahayakan.



Bab IV. Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Daya Racun Amonia

Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Sebagian faktor ini mengubah konsentrasi amonia tak terionisasi dengan menggeser reaksi keseimbangan amonia – amonium, sedang faktor-faktor lainnya mempengaruhi daya racun amonia itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, selain suhu dan aklimasi, adalah konsentrasi oksigen terlarut, pH, konsentrasi karbon dioksida, salinitas dan keberadaan racun lainnya.

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor selain pH dan suhu. Daya racun meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi efek ini sering ditiadakan karena konsentrasi karbon dioksida yang tinggi menurunkan daya racun amonia.

Faktor yang mempengaruhi daya racun amonia antara lain adalah konsentrasi oksigen terlarut (DO). Banyak peneliti mengamati bahwa daya racun amonia meningkat dengan menurunnya konsentrasi DO. Sebuah penelitian terhadap daya racun akut pada suatu kisaran konsentrasi DO menyimpulkan bahwa toleransi terhadap amonia menurun dengan menurunnya DO. Nilai LC50-96 jam untuk daya racun amonia pada ikan rainbow trout turun sekitar 30 % pada kisaran konsentrasi DO 8,5 dan 5 mg/liter. Saran untuk konsentrasi DO minimum adalah 5 mg/L.

Daya racun amonia tak terionisasi tergantung pada DO. Bila DO rendah maka amonia tak terionisasi bersifat racun pada konsentrasi yang lebih rendah. Daya racun amonia tak terionisasi berkurang dengan meningkatnya karbon dioksida yang menurunkan pH sehingga menggeser keseimbangan NH3/NH4+.

Amonia lebih beracun bila konsentrasi oksigen telarut rendah. Kondisi kekurangan oksigen timbul bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi yang beracun.

Pengaruh penurunan konsentrasi oksigen terhadap daya racun larutan amonia adalah lebih besar daripada yang ditemukan untuk empat jenis racun lain (seng, timah, garam tembaga dan campuran fenol monohidrat). Sebuah hipotesis disusun untuk menjelaskan pengaruh rendahnya konsentrasi oksigen terhadap toksisitas racun-racun ini bagi ikan. Diasumsikan bahwa efek suatu racun timbul karena racun tersebut terkonsentrasi di permukaan insang, dan diduga bahwa pengkonsentrasian ini tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi racun di dalam larutan tetapi juga oleh kecepatan aliran respirasi.

Nilai-nilai daya racun akut amonia untuk berbagai spesies ikan yang berkisar antara 0,25 dan 4 mg/liter amonia tak-terionisasi telah dilaporkan bahkan untuk konsentrasi serendah 0,01 mg/liter. Beberapa faktor yang meningkatkan atau menurunkan daya racun amonia diduga berhubungan dengan standar kualitas air untuk amonia. Untuk ikan rainbow trout pada kondisi bioesei, konsentrasi amonia letal median berkurang 30% ketika konsentrasi oksigen terlarut turun dari 8 menjadi 5 mg/liter.

Pengaruh konsentrasi oksigen terhadap daya racun amonia telah diteliti oleh Allan dkk. Mereka memperkirakan daya racun akut amonia sebagai nilai LC50 96-jam. Untuk juvenil udang Metapenaeus macleayi dan udang windu Penaeus monodon, nilainya adalah 1,39 dan 1,69 mg amonia tak terionisasi per liter (26,3 dan 37,4 mg total amonia-nitrogen per liter), berturut-turut. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P < 0,05) meningkatkan daya racun akut amonia terhadap Penaeus monodon. Sembilan puluh persen udang yang dipelihara selama 96 jam pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 2,3 mg/liter dan konsentrasi amonia tak terionisasi 1,60 mg/liter (33,5 mg total amonia-nitrogen per liter) mati, namun hanya 33,3 % yang mati pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 5,7 mg/liter dan konsentrasi amonia 1,63 mg/liter (33,9 mg total amonia-nitrogen per liter). Nilai konsentrasi amonia “maksimum yang dapat diterima” (maximum acceptable) didefinisikan sebagai konsentrasi amonia di mana pertumbuhan berkurang 5 % selama 3 minggu. Untuk M. macleayi dan P. monodon nilai tersebut adalah 0,35 dan 0,21 mg amonia tak terionisasi per liter (7,7 dan 4,1 mg amonia total per liter), berturut-turut.

Kelangsungan hidup juvenil ikan Atlantic salmon yang terpapar amonia pada konsentrasi konstan telah diamati pada kondisi laboratorium. Pada konsentrasi oksigen terlarut mendekati nilai kejenuhan-udara, LC50 24 jam amonia tak terionisasi adalah 0,15 mg NH3 per liter dalam air tawar (kesadahan 264 mg per liter sebagai CaCO3) dan 0,3 mg NH3 per liter dalam air laut 30%; pada konsentrasi oksigen terlarut 3,5 mg per liter dalam air tawar dan 3,1 mg per liter dalam air laut 30%, LC50 24-jam adalah 0,09 mg NH3 per liter dan 0,12 mg NH3 per liter berturut-turut.

Penelitian telah dilakukan terhadap kelangsungan hidup ikan rainbow trout dalam berbagai konsentrasi amonia tak terionisasi (kisaran 0,86-1,96 ppm nitrogen) dan konsentrasi oksigen (kisaran 1,5 sampai 8,5 ppm). Pada setiap konsentrasi oksigen terlarut periode kelangsungan hidup ikan menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi dari 0,86 sampai 1,96 ppm. Pengaruh oksigen terhadap peningkatan lama kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar pada konsentrasi amonia tak terionisasi yang lebih rendah.

Dalam mempelajari efek kronis amonia terhadap rainbow trout selama lima tahun dan tiga generasi ikan, ditemukan bukti adanya kerusakan insang dan ginjal pada konsentrasi amonia konstan sampai 0,07 mg/liter NH3 (0,06 mg/liter NH3-N), walaupun tidak ada bukti bahwa pertumbuhan atau fekunditas terpengaruh. Bagaimanapun, tidak ditemukan bukti adanya kerusakan ginjal pada ikan rainbow trout yang terpapar amonia berkonsentrasi sampai 0,4 mg/liter NH3 selama 90 hari. Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa kerusakan insang mungkin tidak disebabkan oleh daya racun amonia, dan diduga bahwa metabolit-metabolit lain bersama interaksinya dengan kimia air mungkin terlibat. Bisa dilihat bahwa pada kasus-kasus tersebut konsentrasi oksigen terlarut adalah jauh di bawah jenuh dan mungkin merupakan faktor penyebab kerusakan insang.

Nilai rata-rata LC50 96-jam amonia untuk juvenil Penaeus semisulcatus (bobot 0,35–2,4 g) adalah 23,7 mg/liter total amonia nitrogen (kisaran 19,3–28,7, selang kepercayaan 95%). Tidak ada pengaruh nyata ukuran terhadap kepekaan juvenil udang terhadap amonia. Peningkatan daya racun amonia terhadap juvenil P. semisulcatus diamati pada konsentrasi oksigen terlarut (DO) di bawah kejenuhan 55% (3,7 ppm). Pada kejenuhan DO 27%, daya racun amonia (LC50 96 jam) menjadi berlipat dua. Selain itu, periode waktu pemaparan terhadap amonia yang dibutuhkan untuk memberikan efek letal adalah menurun dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut.

Bab V. Dampak Negatif Amonia Tak Terionisasi Bagi Ikan

Meskipun mekanisme daya racun amonia belum dapat dijelaskan seluruhnya, sejumlah efek fisiologis dan histologis akibat tingginya konsentrasi amonia telah dapat diidentifikasi. Efek-efek ini mencakup: penurunan kemampuan organisme air untuk mengekskresi amonia, peningkatan kadar amonia dalam jaringan dan cairan tubuh, peningkatan pH darah, gangguan sistem enzim dan stabilitas membran, kerusakan insang, kerusakan jaringan berbagai organ dalam. Mortalitas jarang terjadi, tetapi pada banyak kasus, daya racun amonia tercermin dalam makin rentannya ikan terhadap penyakit dan penurunan pertumbuhan (Boyd, 1999).

Daya racun amonia bagi organisme air telah lama dilaporkan dan pada prinsipnya ditimbulkan oleh bentuk amonia tak terionisasi dan bisa menyebabkan penurunan laju pertumbuhan, kesulitan bernafas dan kematian. Kematian massal ikan mujair terjadi bila konsentrasi amonia tak-terionisasi melebihi 2 mg/liter. Pemaparan berkepanjangan (beberapa minggu) terhadap amonia tak-terionisasi berkonsentrasi lebih dari 1 mg/liter menyebabkan kematian terutama anak ikan bila konsentrasi oksigen terlarut rendah. Pembusukan insang mungkin berkaitan dengan tingginya amonia dan rendahnya oksigen terlarut (Abdelaziz and Zaki, 2010).


Boyd (1982) mendaftar pengaruh amonia terhadap ikan : penurunan eksresi amonia, peningkatan pH darah, gangguan terhadap reaksi yang dikatalisis enzim, gangguan kestabilan membran, peningkatan permeabilitas tubuh terhadap air dan penurunan konsentrasi ion internal. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen jaringan, merusak insang dan menurunkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. Perubahan histologis terjadi di dalam ginjal, limfa, jaringan tiroid dan darah pada ikan yang terkena amonia dengan konsentrasi subletal.


Menurut Smith (1982) amonia mempengaruhi ikan salmonidae pada kosentrasi mulai sekitar 2 ppm dan membunuh beberapa ikan ketika mencapai 15 ppm. Pengaruh yang paling nyata pada ikan trout adalah peningkatan permeabilitas total, karena laju urin meningkat tajam dan jaringan seperti kulit dan insang menjadi bengkak penuh air.

Lloyd and Orr (1969) menyatakan bahwa laju ekskresi urin pada ikan rainbow trout meningkat dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak-terionisasi di lingkungan sekitar. Diduga bahwa diuresis (peningkatan produksi urin) ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas ikan terhadap air. Pengukuran kuantitatf terhadap laju ekskresi urin menunjukkan bahwa konsentrasi amonia tak-terionisasi di bawah 12 % dari nilai ambang batas letal mungkin tidak menimbulkan efek beracun. Diduga bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keseimbangan air pada ikan mungkin juga mempengaruhi kerentanannya terhadap daya racun amonia. Pemaparan ikan rainbow trout terhadap amonia berkonsentrasi sub letal menyebabkan laju urin meningkat cukup banyak, dan diduga bahwa hal in disebabkan oleh peningkatan permeabilitas ikan terhadap air.


Ketika ikan rainbow trout dikenai amonia-lingkungan yang konsentrasinya makin tinggi, mereka mengekskresi makin sedikit amonia nitrogen dan sisa-sisa nitrogen total. Amonia-nitrogen, urea-nitrogen dan protein-nitrogen menyusun rata-rata 94% dari total nitrogen yang diekskresi ikan trout. Laju ekskresi urea dan protein oleh ikan trout tetap konstan untuk semua kisaran konsentrasi amonia yang diuji. Ikan trout yang diaklimasikan terhadap 5 mikrogram amonia per liter tidak menunjukkan peningkatan ekskresi urea bila dibandingkan dengan ikan yang diaklimasikan terhadap 0,5 mikrogram amonia per liter. Ikan mas koki yang dikenai amonia-lingkungan pada konsentrasi yang makin tinggi menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea (Olson and Fromm, 1971).

Pengaruh volume air dan amonia-lingkungan telah diamati oleh Guerin-Ancey (1976) pada ikan muda yang diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ikan bass (Dicentrarchus labrax) mengeksresi lebih sedikit amonia nitrogen ketika konsentrasi amonia-lingkungan meningkat dan ketika volume air berkurang. Ikan yang dikenai amonia-lingkungan dengan konsentrasi makin tinggi menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea. Keracunan amonia terjadi pada konsentrasi 10 mg per liter.

Penimbunan amonia hasil ekskresi pada konsentrasi melebihi 10 mg/liter pada suhu 10 - 30 oC dan pH 7,8 - 8,6 menyebabkan perubahan metabolisme gas pada anak ikan karper, yakni, penurunan penyerapan oksigen dan peningkatan laju pembuangan karbon dioksida, yang bersesuaian dengan peningkatan nilai koefisien respirasi menjadi satu atau lebih. Pada kondisi ini, laju pembuangan amonia jatuh menjadi setengah atau sepertiga dari nilai kontrol, dan koefisien amonia berubah (Kovalenko and Kotsar, 1992).

Bab VI. Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Kisaran Salinitas, pH, Amonia, Nitrit dan Nitrat pada Hatchery Udang

Treece dan Fox (1993) menyarankan kisaran beberapa faktor fisik dan kimia bagi operasi hatchery udang. Kisaran salinitas 25 – 36 ppt mungkin optimum untuk pemeliharaan larva udang, tetapi sebisa mungkin dipertahankan agar tidak berfluktuasi. Pembacaan salinitas harus dilakukan satu atau dua kali seminggu kecuali selama periode hujan ketika fluktuasi mungkin terjadi. Keasaman (pH) harus dibaca setiap hari di tangki pemelihaaan. Nilai pH 7,8 – 8,4 adalah bisa diterima, tetapi pH optimumnya 8,0. Nilai pH 8,4 atau lebih akan mulai menimbulkan stres bagi larva udang. Nilainya antara 8,0 dan 8,13 di tangki hingga tahap mysis III dan kemudian turun akibat masuknya air laut sehingga nilainya di bawah 8,0 sampai 7,75. Beberapa kematian terjadi tetapi mungkin tidak disebabkan oleh turunnya pH di bawah kisaran optimum. Total amonia dan nitrit dapat dipantau dengan alat uji yang murah (kecuali bila diperumit oleh adanya kesadahan magnesium) dan dapat diatur dengan pertukaran air. Amonia ada dalam bentuk terionisasi (NH3) yang beracun, terutama pada pH tinggi, dan bentuk terionisasi (NH4+) yang tak beracun, terutama pada pH rendah. Bentuk amonia terionisasi tidak dianggap beracun karena muatan ionnya mencegahnya menembus membran sel insang. Konsentrasi aman yang disarankan untuk amonia tak terionisasi (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N) adalah 0,1, 0,1 dan 200 mg/liter, berturut-turut.

Pengaruh Aktivitas Renang dan Pemberian Pakan Terhadap Daya Racun Amonia

Studi daya racun biasanya dilakukan pada ikan yang sedang beristirahat dan tidak diberi makan dengan tujuan untuk membandingkan hasilnya. Berdasarkan penelitian terbaru, bagaimanapun, stres lingkungan, termasuk renang, bisa berdampak besar terhadap daya racun amonia. Juga jelas bahwa pemberian pakan meningkakan kadar amonia dalam tubuh. Jadi, pemberian pakan bisa memperburuk kondisi ikan akibat daya racun amonia. Ikan bisa lebih rentan terhadap peningkatan kadar amonia selama dan setelah makan atau ketika renang. Jadi, kriteria konsentrasi amonia yang disajikan oleh EPA tidak bisa melindungi ikan pemigrasi dan tidak sesuai untuk ikan yang diberi pakan secara teratur (Ip et al., 2001).

Kepekaan Ikan, Cladocera dan Amfipoda Terhadap Daya Racun Amonia

Dalam sistem uji perairan tawar, ikan secara khas lebih peka terhadap amonia daripada invertebrata seperti cladocera. Perbedaan kepekaan ini menjadi kurang jelas ketika kekuatan ion larutan uji meningkat di atas 1000 mg/liter TDS (Total Dissolved Solid; Padatan Terlarut Total). Bagaimanapun, beberapa spesies seperti amfipoda Hyallela azteca, menunjukkan pola kepekaan terkait-pH yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh ikan fathead minnow dan cladocera (Norberg-King et al., 2005).

Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia

Menurut Norberg-King et a. (2005) NH3 adalah senyawa yang agak mudah menguap dan merupakan bentuk amonia dominan pada pH > 9,3. Berdasarkan sifat ini telah dikembangkan sebuah prosedur untuk menyingkirkan amonia. Prosedur tersebut melibatkan peningkatan pH sampel sampai mendekati 11 dan kemudian aerasi atau pengadukan secara perlahan-lahan di dalam wadah yang rasio luas permukaan : volumenya besar (yakni, wadah luas tapi dangkal). Prosedur ini bisa menghilangkan sebagian besar amonia total dari sampel. Bagaimanapun, perhatian perlu diberikan untuk memantau dari dekat terhadap total volume sampel selama proses ini karena evaporasi (penguapan) yang tinggi bisa terjadi akibat rasio luas permukaan : volume yang besar itu.

Mekanisme Fisiologis Pada Ikan Untuk Mengurangi Kandungan Amonia Dalam Tubuh

Ip et al., (2001) melaporkan bahwa kebanyakan ikan teleostei bersifat "ammonotelic", artinya memproduksi dan mengekskresi amonia melalui difusi NH3 lewat insang. Mereka sangat rentan terhadap peningkatan kadar amonia dalam jaringan tubuh pada kondisi buruk. Beberapa ikan menghindari keracunan amonia dengan memanfaatkan beberapa mekanisme fisiologi. Pengurangan proteolisis dan/atau katabolisme asam amino mungkin merupakan mekanisme umum yang dilakukan beberapa ikan selama terpapar di udara atau terkena amonia. Ikan lain, seperti ikan belodok, dapat melakukan katabolisme asam amino sebagian dan menggunakan asam-asam amino sebagai sumber energi, yang menyebabkan penimbunan alanin, selama aktif di darat. Beberapa ikan mengubah kelebihan amonia menjadi senyawa yang kurang beracun seperti glutamin dan asam-asam amino lain untuk disimpan. Sedikit spesis mempunyai siklus ornitin—urea yang aktif dan mengubah amonia menjadi urea untuk disimpan maupun untuk diekskresi. Pada kondisi lingkungan dengan konsentrasi amonia meningkat, ikan belodok Periophthalmus schlosseri dapat terus-menerus mengekskresi amonia melalui transpor aktif ion amonium. Ada bukti-bukti bahwa beberapa ikan dapat memanipulasi pH permukaan tubuh untuk mempercepat penguapan NH3 selama terpapar di udara, atau pH medium luar untuk mengurangi daya racun amonia.

Astaksantin Meningkatkan Daya Tahan Udang Terhadap Stres Amonia

Pan et al. (2003) melakukan studi dengan tujuan menentukan apakah peningkatan konsentrasi astaxanthin tubuh melalui pemberian pakan pada juvenil udang windu Penaeus monodon dapat meningkatkan kapasitas pertahanan antioksidan dan daya tahan terhadap stres amonia. "Total Antioxidant Status" (TAS) dan superoxide dismutase (SOD) dalam hemolimfa dipilih sebagai parameter kapasitas antioksidan udang. Daya tahan terhadap stres kimiawi dievaluasi berdasarkan tingkat kelangsungan hidup udang, dan aspartate aminotransferase (AST) serta alanine aminotransferase (ALT) dalam hemolimfa. Postlarva Penaeus monodon umur 5-hari diberi pakan makanan yang dilengkapi 71,5 mg/kg astaksantin selama 8 minggu. Udang kemudian dipaparkan selama 72 jam terhadap 0,02, 0,2, 2 dan 20 mg/liter amonia.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pan et al. (2003) menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup udang yang diberi makan astaksantin (AX) adalah lebih tinggi daripada udang kontrol untuk semua konsentrasi amonia kecuali 20 mg/liter, yang menunjukkan bahwa daya tahan udang terhadap stres amonia ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Udang AX memiliki TAS lebih tinggi daripada udang kontrol pada konsentrasi amonia di atas 0,02 mg/liter dan SOD lebih rendah pada semua konsentrasi amonia yang menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan telah banyak ditingkatkan. AST pada udang AX lebih rendah dibandingkan pada udang kontrol untuk semua tingkat stres amonia. ALT pada udang AX lebih rendah daripada atau sama dengan udang kontrol untuk berbagai konsentrasi amonia. Baik AST maupun ALT mencerminkan bahwa fungsi hepatopankreatik udang ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Astaksantin bisa menjadi penting untuk Penaeus monodon ketika hewan ini di bawah kondisi stres amonia.

Dampak Positif Amonia

MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) menjelaskan efek positif amonia bagi ikan. Ada beberapa bukti bahwa amonia berkonsentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan ikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan meningkat pada konsentrasi TAN (Total Amonia Nitrogen) 1,96 mg/liter (sekitar 0,035 mg/liter NH3-N). Penelitian lain menunjukkan bahwa amonia berkonsentrasi rendah bisa merangsang penggabungan amonia menjadi asam amino dan protein serta mengurangi biaya metabolik, karena pertumbuhan ikan ditingkatkan tanpa mengubah konsumsi makanan.

Bab VII. Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Gejala-Gejala Klinis Keracunan Amonia Pada Ikan

Keracunan amonia akut dapat menyebabkan perilaku yang tidak normal seperti yang terjadi pada mamalia, termasuk hipersensitif. Ikan sering berhenti makan. Keracunan amonia kronis adalah berkaitan dengan hiperplasia (pembesaran jaringan akibat peningkatan laju pembelahan sel) dan hipertrofi (pembesaran jaringan akibat peningkatan ukuran sel) jaringan insang, namun belum jelas apakah kelainan ini disebabkan secara langsung oleh keracunan amonia ataukah oleh aspek-aspek lain buruknya kualitas air yang sering menyertai peningkatan konsentrasi amonia. Mekanisme keracunan amonia pada ikan tidak diketahui secara tepat, tetapi amonia cair berkonsentrasi tinggi meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah dan jaringan, sehingga menyebabkan peningkatan pH darah, gangguan osmoregulasi, meningkatkan konsumsi oksigen dalam jaringan dan menurunkan transpor oksigen dalam darah. Keracunan amonia secara kronis akan menurunkan laju pertumbuan dan kekebalan terhadap penyakit (Noga, 2010).

Kejadian Keracunan Amonia di Kolam Ikan

Menurut Noga (2010) amonia biasanya tidak menjadi masalah di kolam ikan kecuali bila aerasi tambahan diterapkan, yang mencegah timbulnya kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal) sehingga memungkinkan kepadatan ikan yang lebih tinggi. Seperti pada sistem lain, pemberian pakan (pakan yang tak dimakan, pakan busuk dan amonia yang dihasilkan dari konsumsi makanan atau dari ikan mati) adalah sumber terbesar amonia dalam kolam ikan komersial. Daya racun amonia adalah paling mungkin terjadi menjelang matahari terbenam ketika pH, suhu dan amonia tak terionisasi mencapai nilai maksimum. Pada kebanyakan kolam, alga maupun bakteri Nitrosomonas adalah konsumen utama amonia. Sebagian besar kolam, terutama kolam ikan komersial, memiliki populasi alga yang besar. Amonia juga cenderung meningkat selama musim gugur dan musim dingin, mungkin karena penurunan metabolisme alga dan bakteri pada suhu rendah. Amonia bisa juga meningkat konsentrasinya setelah populasi alga hancur atau kematian masal; hal ini tidak hanya mengurangi asimilasi amonia tetapi juga mendorong pembentukan amonia akibat pembusukan alga. Kematian alga bisa terjadi secara spontan atau bisa disebabkan oleh pemakaian bahan kimia pembasmi alga. Oksigen biasanya menjadi faktor pembatas paling penting dalam sistem kolam air deras. Bagaimanapun, konsentrasi amonia bisa mencapai tingkat beracun bila aerasi tambahan meningkatkan kepadatan ikan maksimum yang dapat ditampung. Konsentrasi amonia paling rendah pada aliran air masuk dan paling tinggi pada aliran air keluar.

Peranan Bakteri Dalam Menyingkirkan Amonia Dari Air Akuarium

Noga (2010) menyatakan bahwa keracunan amonia juga bisa terjadi dalam akuarium yang sudah lama mapan. Bila ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang di dalamnya sudah ada banyak ikan atau bila ikan diberi pakan secara berlebihan, yang menyebabkan penimbunan pakan busuk, maka konsentrasi amonia akan naik. Jumlah total amonia yang dapat diubah menjadi nitrit tergantung seluruhnya pada jumlah filtrasi biologis di dalam akuarium. Filtrasi biologis (lebih tepat disebut filtrasi mikrobiologi karena merujuk pada penyaringan air oleh organisme mikro) terjadi bila air akuarium melintasi permukaan substrat yang dilapisi oleh mikroba. Jadi, filtrasi biologi (dan penyingkiran amonia) adalah paling tinggi bila air dalam jumlah banyak melintasi permukaan subtrat yang luas. Hal ini terjadi di dalam filter akuarium (di bawah saringan kerikil dll). Jika kapasitas filtrasi biologi terlalu kecil untuk menyingkirkan semua amonia yang dihasilkan oleh ikan, maka konsentrasi amonia akan naik. Jika filter dibersihkan terlalu bersih (misal kerikil diaduk kuat-kuat) maka konsentrasi amonia akan meningkat tajam karena bakteri mudah hilang dari substrat filter dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Bab VIII. Daya Racun Amonia Bagi Larva Udang Windu Penaeus monodon

Pada kebanyakan hatchery di seluruh dunia, amonia nitrogen merupakan parameter penting dalam tangki pemeliharaan udang. Amonia bisa menjadi kritis dan mematikan pada tahap zoea akhir dan tahap mysis sampai postlarva. Konsentrasi amonia letal diduga tergantung pada pH, salinitas dan suhu. Sisa-sisa nitrogen dari pencernaan protein dapat menumpuk sampai ke tingkat berbahaya di dalam tangki pemeliharaan larva. Seperti binatang lain, udang menggunakan komponen bernitrogen dari protein tercerna (gugus amino, NH2) untuk membentuk protein mereka sendiri, tetapi mereka tidak dapat memetabolisasi komponen nitrogen untuk menghasilkan energi (Treece and Fox., 1993).

Treece and Fox (1993) menyatakan bahwa ketika ketika protein dimetabolisasi menjadi energi, gugus amino dipecah dan secara langsung diekskresi sebagai amonia (NH3). Proses serupa juga terjadi selama penguraian oleh bakteri terhadap protein dan senyawa nitrogen lain yang terkandung di dalam pakan yang tak dimakan dan limbah. Amonia berkonsentrasi tinggi bisa berbahaya bagi hatchery. Amonia adalah umum di hatchery dan mencapai konsentrasi sampai 0,808 mg/liter amonia-N (amonia tak terionisasi dan terionisasi) meskipun 30 persen air diganti setiap hari. Amonia yang dilepaskan oleh ekskresi udang dan hasil penguraian oleh bakteri akan diserap sebagai nitrogen oleh bakteri nitrifikasi, Nitrosomonas dan Nitrobacter. Dalam tangki pemeliharaan larva udang intensif, bagaimanapun, amonia dapat tertimbun sampai ke tingkat beracun secara berkala.

Menurut Chin and Chen (1987) toleransi larva udang windu Penaeus monodon terhadap amonia meningkat ketika larva bermetamorfosis dari nauplius ke tahap postlarva. Nilai LC50 24-jam amonia untuk nauplius, zoea, mysis dan postlarva adalah 6.00, 8.48, 24.04, dan 52.11 mg/liter amonia-N (0.54, 0.76, 2.17, dan 4.70 mg/liter NH3-N), berturut-turut. Nilai LC50 48-jam amonia untuk mysis dan postlarva adalah 14,39 dan 27,73 mg/liter amonia-N (1,30 dan 2,50 mg/liter NH3-N). Nilai LC50 72-jam dan 96-jam amonia untuk postlarva adalah 17,05 dan 11,51mg/liter amonia-N (1,54 dan 1,04 mg/liter NH3-N). “Tingkat aman” amonia adalah 1,15 mg/liter amonia-N (0,10 mg/liter NH3-N) berdasarkan nilai LC50 96-jam untuk postlarva. Dugaan “tingkat aman” yang lebih konservatif bagi pemeliharaan larva Penaeus monodon dihitung berdasarkan nilai dugaan LC50 96-jam untuk nauplius, yaitu 0.13 mg/liter amonia-N (0.01 mg/liter NH3-N).

Pengaruh amonia terhadap postlarva udang windu Penaeus monodon (bobot 5,7 ± 0,9 mg, panjang 12,0 ± 1,4 mm) bervariasi sesuai dengan pH. Ketika postlarva dikenai 250 mg/liter amonia-N, nilai LT50 (lethal time 50) dan LT100 menurun dengan naiknya pH. Postlarva yang dikenai 60 mg/liter amonia-N dan pH 9,10 kurang toleran daripada postlarva yang dikenai 250 mg/liter amonia-N dan pH 8,31. Nilai LT50 untuk postlarva yang dikenai 0,07 mg/liter amonia-N dan pH 9,10 adalah kurang dari separuh nilai LT50 untuk postlarva yang dikenai amonia-N dengan konsentrasi sama tetapi pada pH 8,31. Peningkatan nilai pH dalam suatu larutan amonia meningkatkan proporsi NH3 dan meningkatkan daya racun amonia terhadap postlarva P. monodon. Pemantauan konsentrasi amonia dan pencegahan naiknya pH disarankan dalam budidaya udang (Chen and Chin, 1989).

Uji daya racun letal amonia pada berbagai pH (7, 7.5, 8, dan 8.5) serta pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva tahap awal udang windu Penaeus monodon telah dilakukan oleh Noor-Hamid et al. (1994). Peningkatan daya racun amonia ketika pH air naik ditemukan pada uji daya racun 96 jam. Nilai dugaan LT50 menurun dari 101,09 menjadi 25,16 jam untuk protozoea yang terkena 8 ppm amonia, menurun dari 115,79 menjadi 11,26 jam untuk mysis yang terkena 24 ppm amonia, dan dari 51,41 menjadi 22,58 untuk PL (postlarva) yang terkena 52 ppm amonia dengan peningkatan nilai pH. Pengaruh 3 dan 6 ppm amonia pada nilai pH 7.0, 7.5, 8.0 dan 8.5 terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva dan postlarva P. monodon juga telah diteliti dalam uji daya racun subletal 16 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa amonia pada 3 dan 6 ppm mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Kelangsungan hidup menurun 27% pada 3 ppm dan 48% pada 6 ppm amonia, sedangkan laju pertumbuhan menurun 4,4% pada 3 ppm dan 6,5% pada 6 ppm amonia. Peningkatan pH air budidaya menyebabkan kelangsungan hidup menurun secara nyata pada tahap-tahap protozoea, mysis dan postlarva. Tidak terdeteksi adanya efek interaksi antara pH dan amonia.

Post-larvae (bobot badan 32,0 ± 3 mg, panjang 1,43 ± 0,03 cm) udang windu, Penaeus monodon Fabricius, telah dipaparkan terhadap amonia-N (amonia tak terionisasi ditambah amonia sebagai nitrogen) pada konsentrasi kontrol, 0.12, 0.60, 1.20 dan 2.40 mg/liter yang setara dengan kontrol, 6, 32, 63 dan 126 mikrogram/liter NH3-N (amonia tak terionisasi sebagai nitrogen) selama 8 minggu dalam salinitas 25 ppt, pH 7,85 – 8,18 dan suhu 26–28 °C dengan metode pembaharuan statis. Pertumbuhan (yang diukur dalam bobot badan dan panjang) udang yang dipaparkan terhadap 1,20 dan 2,40 mg/liter amonia-N adalah secara nyata lebih rendah (P < 0,05) daripada udang yang dipaparkan terhadap kontrol. Nilai EC50 (konsentrasi yang menurunkan pertumbuhan sebesar 50% pertumbuhan kontrol) adalah 1,33 mg/liter amonia-N, 70 µg/liter NH3-N untuk perolehan bobot badan, dan 2,35 mg/liter amonia-N, 123 µg/liter NH3-N untuk perolehan panjang postlarva Penaeus monodon. Konsentrasi racun maksimum yang dapat diterima untuk amonia-N dan NH3-N bagi postlarva Penaeus monodon adalah 0,60 mg/liter dan 32 µg/liter, berturut-turut setelah pemaparan selama 6 minggu (Chen and Tu, 1991).

Menurut Treece and Fox (1993) konsentrasi amonia sebaiknya dipantau paling sedikit satu kali setiap hari di hatchery udang. Bila beberapa bentuk gas oksidan, seperti ozon, dipertahankan pada tingkat residu yang rendah di dalam tangki pemeliharaan larva (yaitu, dimasukkan bersama aerasi), ia dapat mempertahankan konsentrasi NH3 (amonia tak terionisasi) dalam kisaran yang dapat diterima. Bagaimanapun, ozon secara langsung bersifat racun bagi organisme air, sehingga konsentrasi residunya harus diperhatikan.

Bab IX. Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa

Amonia berasal dari proses amonifikasi bahan organik dan deaminasi atau ekskresi binatang air sebagai hasil akhir metabolisme senyawa-senyawa bernitrogen dalam sistem budidaya (Spotte, 1979).

Amonia merupakan produk akhir utama katabolisme protein pada krustasea. Ketika konsentrasi amonia dalam air meningkat, ekskresi amonia oleh organisme air menurun, sedangkan konsentrasi amonia dalam darah dan jaringan tubuh lain meningkat. Akibatnya adalah peningkatan pH darah dan berdampak negatif bagi reaksi-reaksi yang dikatalisis enzim dan stabilitas membran. Amonia meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (Chien, 1992).

Treece and Fox (1993) menyatakan bahwa total amonia dapat dipantau dengan alat uji yang murah (kecuali bila diperumit oleh adanya kesadahan magnesium) dan dapat diatur dengan pertukaran air. Amonia ada dalam bentuk terionisasi (NH3) yang beracun, terutama pada pH tinggi, dan bentuk terionisasi (NH4+) yang tak beracun, terutama pada pH rendah. Bentuk amonia terionisasi tidak dianggap beracun karena muatan ionnya mencegahnya menembus membran sel insang. Konsentrasi aman yang disarankan untuk amonia tak terionisasi (NH3-N) adalah 0,1 mg/liter.

Beberapa peneliti (lihat Chien, 1992) melaporkan kisaran konsentrasi amonia dalam air kolam budidaya. Kolam budidaya jarang mengandung lebih dari 2 atau 3 mg/liter total amonia nitrogen. Bagaimanapun, pada kolam budidaya superintensif dan pada tahap-tahap akhir pemeliharaan, konsentrasi amonia bisa mencapai setinggi 6,5 mg/liter (0,15 mg/liter NH3-N) dan bahkan 46,1 mg/liter (0,87 mg/liter NH3-N). Pada kasus terakhir, konsentrasi NH3-N yang melebihi 0,1 mg/liter dilaporkan dalam tiga sampling dalam satu bulan pada kolam udang P. penicillatus dengan padat penebaran 12,3 ton per hektar dan berhasil dipanen dengan tingkat kelangsungan hidup 44,3 %. Sulit untuk mengevaluasi daya racun amonia bagi udang di lingkungan kolam karena siklus harian pH dan konsentrasi amonia tak terionisasi berubah terus-menerus.

Udang dewasa Penaeus monodon (panjang 91,0 ± 8,0 mm) telah dipaparkan terhadap berbagai konsentrasi amonia (NH3 + NH4) dalam air laut bersalinitas 20 ppt pada pH 7,57 dan suhu air 24,5 oC dengan menggunakan metode pembaharuan statis. Nilai LC50 amonia-N (amonia tak terionisasi ditambah amonia terionisasi sebagai nitrogen), NH3-N (amonia-N tak terionisasi) menurun dengan makin lamanya periode pemaparan. Nilai LC50 24, 48, 96 dan 144 jam adalah 97.9, 88.0, 53.4 dan 42.6 mg/liter amonia-N (1.76, 1.59, 0.96 dan 0.77 mg/liter NH3-N), berturut-turut. “Ambang batas” daya racun amonia ditemukan pada 144 jam. Berdasarkan nilai awal LC50 dan faktor terapan 0,1, maka nilai aman untuk pemeliharaan udang dewasa Penaeus monodon (salinitas 20 ppt, pH 7.57, suhu 24.5 oC) adalah 4,26 mg/liter amonia-N, 0.08 mg/liter NH3-N (Chen et al., 1990).

Berdasarkan berbagai hasil penelitian, Chien (1992) mendaftar nilai EC50 (konsentrasi yang menurunkan pertumbuhan bobot badan sebesar 50 % dibandingkan kontrol) untuk NH3-N pada udang windu. Nilai EC50 NH3-N untuk post larva lima udang penaeidae, setelah 3 minggu pemaparan terhadap larutan uji, adalah 0,22 – 0,69 mg/liter dengan rata-rata 0,45 mg/liter. EC50 NH3-N untuk post larva P. monodon, setelah pemaparan 6 minggu, adalah 60 mikrogram/liter. EC 50 NH3-N untuk juvenil P. monodon, setelah pemaparan sekitar satu minggu, adalah 1,01 mg/liter.

Menurut Chien (1992) konsentrasi aman amonia-N untuk P. monodon post larva tahap 6 adalah 0,13 mg/liter amonia-N atau 0,01 mg/liter NH3-N, pada pH 8.2 suhu 29.5 oC dan salinitas 34 ‰. Untuk post larva tahap 30 - 50 nilainya adalah 1,8 mg/liter amonia-N atau 0,15 mg/liter NH3-N, pada pH 8.3 suhu 25 oC dan salinitas 25 ‰. Untuk juvenil (panjang badan 35,5 mm) adalah 3,7 mg/liter amonia-N atau 0,1 mg/liter NH3-N, pada pH 7.7 suhu 27 oC dan salinitas 20 ‰. Untuk udang dewasa (panjang badan 91,0 mm) nilai tersebut adalah 4,3 mg/liter amonia-N atau 0,08 mg/liter NH3-N, pada pH 7.6, suhu 24.5 oC dan salinitas 20 ‰.

Bab X. Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Ikan yang mengalami keracunan amonia akan terlihat lesu, laju pernafasan meningkat, dan dapat mengalami infeksi bakteri. Uji amonia harus dilakukan bila ada tanda-tanda seperti ini di akuarium. Dalam kejadian konsentrasi yang tidak normal, air harus segera diganti untuk mengurangi konsentrasi amonia. Jika jumlah ikannya terlalu banyak, sebagian ikan harus dpindahkan ke akuarium lain (Blasiola, 2000).

Konsentrasi amonia dapat dikurangi dengan sering mengganti air akuarium. Penambahan zeolit merupakan cara yang aman dan efektif untuk mengurangi konsentrasi amonia dengan cepat. Bagaimanapun, efisiensi zeolit berkurang akibat peningkatan salinitas. Penurunan pH akan mengurangi persentase amonia yang ada dalam bentuk NH3 yang bersifat racun. Untuk setiap 1 satuan penurunan pH, terjadi penurunan konsentrasi UIA (un-ionized ammonia; amonia tak-terionisasi) sebesar 10 kali lipat. Namun tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati karena penurunan pH yang mendadak bisa menimbulkan masalah lain. Amonia dapat dikendalikan secara kimia dengan menambahkan produk komersial penetral amonia (misal Ammonia Detox [ Kent Marine ]) yang mengandung natrium hidroksimetanasulfonat. Perlu diingat bahwa amonia berkonsentrasi tinggi menghambat bakteri yang bertanggung jawab atas oksidasi nitrit (Noga, 2010).

Menurut Treece and Fox (1993) amonia yang dilepaskan oleh ekskresi hewan air dan penguraian oleh bakteri akan diserap sebagai nutrien oleh bakteri nitrifikasi, Nitrosomonas dan Nitrobacter. Keberadaan bakteri tersebut bisa dimanfaatkan dalam bentuk biofilter untuk mengendalikan konsentrasi amonia.

Semua tindakan pengendalian amonia yang bersifat segera (misal penggantian air, penambahan zeolit, perlakuan pH, penetralan dengan bahan kimia) adalah berguna tetapi harus menjadi bagian dari rencana untuk meningkatkan kapasitas filtrasi biologis bagi akuarium. Dalam tangki baru, penambahan bakteri penitrifikasi bisa mempercepat proses pemantapan filter biologis yang efektif tetapi biasanya tidak segera berdampak pada biofilter yang telah mantap. Pemantapan biofilter sering lebih cepat bila menggunakan material filter (kerikil, serat filter) yang berasal dari tangki sehat yang sudah mantap. Bagaimanapun, tindakan ini beresiko memasukkan patogen bersama dengan material tersebut. Dalam tangki yang mantap, keracunan amonia muncul bila ada lebih banyak ikan daripada yang dapat diangani oleh biofilter. Dalam kasus ini, sebagian ikan harus dipindahkan atau biofilter diperbaiki. Banyak obat bisa bersifat racun bagi bakteri penitrifikasi. Penggunaan obat seperti ini bisa menyebabkan “sindrom tangki baru” pada tangki lama yang sudah mantap. Bila terjadi kerusakan kimiawi pada biofilter, maka filter dengan karbon aktif harus ditambahkan ke tangki untuk menghilangkan semua sisa obat. Tangki ini harus ditangani sebagai tangki baru dan langkah-langkah yang tepat harus dilakukan seperti dijelaskan di atas (Noga, 2010).

Di kolam ikan, pencegahan keracunan amonia lebih disukai daripada pemulihan karena amonia tidak dapat cepat dihilangkan dari kebanyakan kolam. Disarankan untuk memberi pakan tidak lebih dari 110 kg pakan/hektar/hari untuk mencegah penimbunan amonia di kolam ikan channel catfish. Bagaimanapun, banyak petani yang menolak saran ini karena ikan tumbuh lebih lambat sehingga memperpanjang siklus produksi. Konsentrasi TAN (total amonia nitrogen) dalam kolam biasanya meningkat perlahan-lahan, dengan demikian, pemantauan dua-mingguan biasanya cukup untuk prosedur komersial. Bila TAN melebihi 0,50 mg/liter, ia harus dipantau setiap hari hingga konsentrasinya kembali ke 0. Penggunaan pakan bermutu tinggi yang kaya akan protein yang dapat dicerna juga akan dapat menurunkan produksi amonia (Noga, 2010).

Noga (2010) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, penambahan air segar dapat mengencerkan amonia. Kolam seluas 0,5 hektar tidak dapat dengan cepat digelontor, tetapi penambahan air segar akan menciptakan zona aman di mana ikan bisa menghindari keracunan. Pada sistem budidaya kolam arus deras, penurunan padat penebaran, pengurangan tingkat pemberian pakan dan peningkatan aliran air adalah perlakuan-perlakuan penting guna mengatasi keracunan amonia. Penanganan air dengan zeolit merupakan pilihan lain.

Zeolit merupakan mineral aluminium-silikat dan banyak dipakai di kolam udang. Mineral ini memiliki sifat-sifat unik berkat struktur kristalnya yang membentuk rongga-rongga berukuran molekular. Rongga-ronga ini berfungsi sebagai saringan molekul yang menyerap gas-gas tertentu seperti H2S, SO2 dan CO2. Ia juga berfungsi sebagai material pertukaran ion. Bagaimanapun, zeolit kurang efektif dalam menghilangkan amonia di perairan payau (Chien, 1992).

Bab XI. Aklimasi Meningkatkan Toleransi Ikan Terhadap Daya Racun Amonia

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor. Ikan cenderung meningkatkan toleransinya terhadap amonia ketika diaklimasikan secara perlahan-lahan terhadap peningkatan konsentrasi amonia selama beberapa minggu atau bulan (Boyd, 1999).

Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Faktor tersebut diantaranya adalah aklimasi (EPA,1986).

Thurston (1980) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi daya racun amonia bagi ikan. Menurutnya ada bukti bahwa ikan yang pernah mengalami aklimasi terhadap konsentrasi amonia subletal akan lebih dapat bertahan terhadap konsentrasi letal akut, setidaknya selama beberapa periode jam dan mungkin beberapa hari.


Aklimasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya racun amonia. Ada beberapa bukti bahwa pemaparan-pendahuluan ikan rainbow trout terhadap amonia pada kadar subletal akan meningkatkan toleransi ikan tersebut terhadap amonia. Bagaimanapun, tidak ditemukan bukti adanya aklimasi bila konsentrasi amonia yang digunakan selama aklimasi sangat rendah sehingga tidak cukup untuk memicu respon aklimasi. Diduga bahwa aklimasi dapat terjadi akibat pengaturan enzim yang terlibat dalam penetralan daya racun amonia.(MacIntyre, 2008).


Menurut Noga (2010) daya racun amonia bervariasi sesuai dengan kondisi lingkungan (misal, pH, suhu, salinitas, kesadahan air) dan agen penyebab stres lainnya. Pemaparan terhadap amonia pada level subletal juga meningkatkan toleransi terhadap daya racun amonia.

Peranan aklimasi dalam toleransi ikan Tilapia aurea terhadap amonia tak terionisasi secara kronis dan akut telah diteliti oleh Redner dan Stickney (1979). Untuk ikan yang tidak terpapar amonia sebelum uji akut, nilai konsentrasi letal median 48-jam (LC50) adalah 2,40 mg/liter amonia tak terionisasi. Setelah ikan terpapar amonia tak terionisasi pada konsentrasi sub letal (0,43–0,53 mg/liter) selama 35 hari, konsentrasi setinggi 3,4 mg/liter tidak menyebabkan kematian dalam waktu 48 jam. Perubahan histopatologis terjadi pada insang ikan yang terpapar amonia baik dosis akut maupun non letal. Penyumbatan kapiler, pendarahan dan “telangiectasis” merupakan gejala-gejala umum kerusakan insang.


Bioesei daya racun akut di mana ikan dipaparkan terhadap amonia yang konsentrasinya berfluktuasi dengan siklus jangka-pendek telah dilakukan terhadap ikan rainbow trout (Salmo gairdneri) dan pada ikan cutthroat trout (S. clarki). Juga dilakukan uji lain di mana ikan dipaparkan terhadap amonia pada konsentrasi konstan. Lama pengujian berkisar dari 96 jam sampai 4 minggu. Nilai-nilai konsentrasi letal median (LC50) baik untuk konsentrasi amonia rata-rata maupun konsentrasi fluktuasi maksimum telah dibandingkan dengan nilai-nilai LC50 untuk uji konsentrasi konstan (konvensional). Berdasarkan perbandingan hasil pemaparan ikan terhadap dosis total, penelitian menunjukkan bahwa ikan lebih toleran terhadap amonia berkonsentrasi konstan daripada terhadap amonia yang konsentrasinya berfluktuasi. Ikan yang terkena amonia dengan konsentrasi berfluktuasi pada level di bawah nilai toksik akut akan menjadi lebih sanggup bertahan terhadap fluktuasi konsentrasi amonia yang lebih tinggi daripada ikan yang sebelumnya tidak diaklimasikan (Thurston et al., 1981)

Kelangsungan hidup smolt (ikan umur 2-3 tahun) Atlantic salmon yang terpapar amonia pada konsentrasi konstan telah diamati pada kondisi laboratorium. Pada konsentrasi oksigen terlarut mendekati nilai kejenuhan-udara, LC50 24 jam amonia tak terionisasi adalah 0,15 mg NH3 per liter dalam air tawar (kesadahan 264 mg per liter sebagai CaCO3) dan 0,3 mg NH3 per liter dalam air laut 30%; pada konsentrasi oksigen terlarut 3,5 mg per liter dalam air tawar dan 3,1 mg per liter dalam air laut 30%, LC50 24-jam adalah 0,09 mg NH3 per liter dan 0,12 mg NH3 per liter berturut-turut. Untuk ikan yang diaklimasikan selama 1 hari terhadap konsentrasi amonia yang hampir sama dengan nilai median 24-jam pada ikan yang tak diaklimasi, nilai median ini meningkat antara 38 dan 79 %, tergantung pada kondisi pengujian (Alabaster et al., 1979).

Bab XII. Dapatkah Kalsium Menurunkan Daya Racun Amonia ?

Memelihara ikan pada kepadatan tinggi dengan pertukaran air terbatas dapat menimbulkan situasi di mana konsentrasi amonia naik secara akut. Penimbunan amonia dianggap merupakan faktor utama pembatas-kepadatan ikan selama transpor dan pemeliharaan ikan golden shiner, Notemigonus crysoleucas. Telah dilakukan penelitian daya racun UIA (un-ionized ammonia, amonia tak terionisasi) 48- dan 72-jam pada ikan golden shiner sebagai respon terhadap sumber amonia, pH, konsentrasi kalsium, dan salinitas. Peningkatan konsentrasi kalsium lingkungan (75 mg/liter) menurunkan daya racun UIA bagi ikan shiners sebesar 21.7% pada pH 8. Untuk membatasi kematian ikan golden shiner akibat keracunan UIA, kalsium klorida sebaiknya ditambahkan ke sumber air yang mengandung kesadahan kurang dari 100 mg/liter, dan tangki pemeliharaan ikan sebaiknya digelontor bila konsentrasi UIA mendekati 0.13 (pH 7), 0.11 (pH 8), atau 0.10 (pH 9) mg/liter pada 48 jam atau 0.12 (pH 7), 0.08 (pH 8), atau 0.07 (pH 9) mg/liter setelah 72 jam.

Weirich et al. (1993) mempelajari pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia bagi ikan sunshine bass (Morone sp.). Konsentrasi letal amonia nitrogen tak terionisasi terhadap 50 % ikan dalam waktu 96 jam (LC50 96 jam) berkisar dari 0,32 sampai 0,60 mg/liter dan meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi kalsium pada kisaran uji (5-80 mg/liter). Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan sunshine bass relatif peka terhadap amonia. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam habitat air tawar peningkatan konsentrasi kalsium bisa memperbaiki toleransi ikan terhadap amonia.

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya racun amonia menurut MacIntyre et al. (2008) adalah kekuatan ionik air. Kekuatan ionik air (diukur berdasarkan padatan terlarut) mempengaruhi keseimbangan dua bentuk amonia, walaupun pada kisaran yang lebih kecil daripada pH dan suhu. Dalam perairan tawar, daya racun amonia meningkat akibat makin besarnya perbedaan antara kekuatan ionik air dengan kekuatan ionik darah ikan, yang secara kasar nilainya sepertiga kekuatan air laut. Amonia memiliki efek diuretik (merangsang peningkatan produksi urin) pada ikan rainbow trout, dan dengan demikian ikan harus mengganti ion-ion yang hilang bersama urin. Beberapa peneliti menduga bahwa amonia ditranspor secara aktif keluar dari tubuh ikan melalui pompa NH4+/Na+, sehingga konsentrasi Na+ yang lebih tinggi di dalam air akan meningkatkan transpor ini, mengurangi konsentrasi amonia di dalam tubuh ikan dan mengurangi daya racunnya. Bagaimanapun, beberapa peneliti mengabaikan keberadaan pompa NH4+/Na+ ini, dan menduga bahwa semua ekskresi amonia pada ikan rainbow trout air tawar adalah melalui difusi pasif. Kalsium dan kation-kation bervalensi-dua lainnya (misal, Mg2+) telah diketahui menurunkan permeabilitas membran insang dan dapat meningkatkan pemasukan natrium ke dalam tubuh ikan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi daya racun amonia. Telah ditunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ion kalsium dapat mengurangi daya racun amonia pada rainbow trout.

Kesimpulan serupa dalam hal pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia juga diberikan oleh Wicks et al. (2002). Ketika mempelajari pengaruh amonia terhadap aktivitas renang ikan salmon dan trout, ditemukan fakta bahwa pada pH konstan, peningkatan konsentrasi kalsium menurunkan daya racun amonia.

Baimanapun, beberapa penelitian menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Borgmann dan Borgmann (1997) mempelajari pengaruh natrium, kalium dan pH terhadap daya racun amonia bagi amfipoda Hyalella azteca. Bahan yang diuji adalah amonium klorida, dan asam hidroklorik digunakan untuk mengasamkan larutan. Mereka melaporkan bahwa natrium dan kalium mempengaruhi daya acun amonia bagi Hyalella azteca, dan bahwa efek pH terhadap daya racun amonia bagi Hyalella azteca tergantung pada kesadahan dan pada konsentrasi natrium dan kalium. Berdasarkan larutan uji, peneliti menyimpulkan bahwa kalsium, magnesium dan anion tidak mempengaruhi daya racun amonia.

Pengaruh natrium dan kalsium terhadap daya racun amonia akut 96-jam telah diamati pada ikan trout danau (Salvelinus namaycush) dan ikan salmon Atlantik (Salmo salar). Kalsium tidak melindungi larva maupun anak ikan salmon Atlantik dari keracunan amonia. Natrium melindungi smolt (salmon umur 2-3 tahun) dari keracunan amonia tetapi tidak mempengaruhi toleransi fry (anak ikan) salmon Atlantik terhadap daya racun amonia. Kedua kation ini meningkatkan toleransi anak ikan trout danau berukuran 8 gram terhadap keracunan amonia, tetapi tidak mempengaruhi secara nyata daya racun amonia terhadap anak ikan trout danau berukuran 0,9 gram. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek pelemahan yang ditimbulkan kation dalam larutan terhadap daya racun amonia mungkin berhubungan dengan spesies, ukuran dan tahap hidup ikan.

Bab XIII. Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia dan Daya Racunnya Dengan Mengunakan Zeolit

Karakteristik Fisika dan Kimia Zeolit

Payra dan Dutta (2003) dalam Auerbach et al. (2003) menyatakan bahwa zeolit merupakan kristal aluminosilikat berpori-mikro, dan memiliki susunan tetrahedra TO4 (T = Silikon, Aluminium) dengan atom-atom oksigen menjadi penghubung tetrahedra-tetrahedra di sekelilingnya. Untuk struktur bersilika komplit, kombinasi unit-unit TO4 (T = silikon) dalam pola ini akan membentuk silika (SiO2), yang merupakan padatan tak bermuatan. Ke dalam rangka silika ini kemudian bergabung aluminium dan kation-kation (terutama kation anorganik dan organik) sehingga struktur tersebut secara keseluruhan bermuatan netral. Kation-kation tersebut merupakan ion yang dapat-dipertukarkan sehingga zeolit memiliki sifat pertukaran-ion yang kuat. Karaktetristik zeolit berasal dari kondisinya yang banyak mengandung mikro pori-pori dan merupakan akibat dari topologi rangkanya.

Jumlah atom aluminium di dalam rangka zeolit dapat bervariasi sangat lebar, dengan perbandingan Si/Al = 1 sampai tak hingga. Sejalan dengan meningkatnya rasio Si/Al di dalam rangka tersebut, maka stabilitas hidrotermal dan sifat hidrofobisitas (takut-air) akan meningkat. Stabilitas termal zeolit bervariasi dalam kisaran suhu yang lebar. Suhu dekomposisi untuk zeolit rendah-silika adalah sekitar 700 °C, sedangkan zeolit bersilika lengkap, seperti misalnya silikalit, bersifat stabil sampai suhu 1300 °C. Zeolit bersilika-rendah adalah tidak stabil dalam kondisi asam, sedangkan zeolit bersilika-tinggi stabil dalam cairan asam mineral mendidih, namun tidak stabil dalam larutan basa. Zeolit bersilika-rendah cenderung memiliki struktur dengan 4, 6 dan 8 MR, sedangkan zeolit yang mengandung lebih banyak silika mempunyai 5 MR. Zeolit bersilika-rendah bersifat hidrofilik (suka-air), sedangkan zeolit bersilika-tinggi bersifat hidrofobik (takut-air), dan zeolit dengan sifat transisi timbul pada rasio Si/Al sekitar 10 (Payra dan Dutta, 2003, dalam Auerbach et al., 2003).

Payra dan Dutta (2003) dalam Auerbach et al. (2003) menambahkan bahwa konsentrasi, lokasi dan selektivitas pertukaran kation bervariasi sangat besar sesuai dengan rasio Si/Al dan memainkan peranan penting dalam penyerapan (adsorption), katalisis dan pertukaran ion. Meskipun konsentrasi lokasi asam berkurang dengan meningkatnya rasio Si/Al, namun koefisien-koefisien kekuatan asam dan aktivitas proton meningkat sejalan dengan menurunnya konsentrasi aluminium. Zeolit juga memiliki karakteristik akibat adanya sifat unik di mana permukaan internal sangat mudah diakses dan mungkin menyusun lebih dari 98 % luas permukaan total. Luas permukaannya secara khas bisa mencapai 300 – 700 m2/gram.

Secara khas, pada zeolit sintetis, air yang ada selama sintesis akan menempati ruang-ruang kosong di dalam zeolit tersebut. Kation organik non-rangka dan fase terserap dapat dihilangkan dengan cara oksidasi/perlakuan panas, sehingga terbentuk ruang intra-kristalin. Fakta bahwa zeolit mempertahankan integritas strukturalnya meskipun kehilangan air menyebabkan zeolit berbeda dari material berpori penyerap-air, seperti CaSO4. Sifat kristalin rangka zeolit menjamin mulut pori-pori berukuran seragam di seluruh kristal tersebut dan dapat dengan mudah memilah-milah berbagai molekul dengan perbedaan ukuran molekul kurang dari 1 Angstrom; hal ini menyebabkan zeolit dikenal dengan nama saringan molekuler. Lubang mulut pori-pori zeolit juga bisa dikendalikan melalui pertukaran ion. Untuk natrium-A (LTA), mulut pori-pori berukuran sekitar 4 Angstrom memungkinkan CO2 tersingkir dari CH4. Untuk kalium-A dengan mulut lubang pori berukuran sekitar 3 Angstrom, H2O bisa disingkirkan dari alkohol dan alkana. Untuk kalsium-A dengan ukuran mulut pori-pori sekitar 4,7 Angstrom, n-alkana dapat menembus zeolit tetapi alkana yang bercabang tidak dapat menembusnya (Payra dan Dutta, 2003, dalam Auerbach et al., 2003).

Karakteristik Zeolit Alami dan Kemampuannya Dalam Menyingkirkan Amonia

Banyaknya penggunaan zeolit alami dalam pengelolaan lingkungan mendorong dilakukannya banyak penelitian baru terutama karena sifat-sfiatnya dan keberadaannya yang tersebar luas di seluruh dunia. Englert dan Rubio (2005) melakukan studi untuk mempelajari karakteristik sejenis zeolit alami asal Chili dan pemanfaatannya sebagai agen penyerap amonia dari larutan. Sampel batuan “tuff” yang kaya akan zeolit, yang terutama tersusun dari klinoptilolit dan modernit, mengandung partikel dengan diameter rata-rata 13 mikron, dengan kemampuan penyerapan luas permukaan spesifik 55 m2/gram (penyerapan metilen biru) dan 177 m2/gram (penyeraan nitrogen) (catatan : tuff adalah batuan ringan berpori yang terbentuk akibat konsolidasi abu vulkanik). Partikel-partikel zeolit ini memiliki muatan negatif pada kisaran pH yang lebar (dengan atau tanpa amonia) dan kapasitas pertukaran kation 1,02 meq NH4+ per gram. Penyingkiran amonia tampaknya berlangsung melalui proses pertukaran ion dengan kinetika yang cepat (laju konstan pada 0,3 per menit) pada nilai pH netral, dengan kapasitas penyingkiran sampai 0,68 NH4+ per gram. Model isoterm Langmuir menyediakan data keseimbangan yang sangat sesuai (R2 = 0,97). Hasil penelitian ini menunjukkan tingginya potensi zeolit alami asal Chili sebagai agen penyerap atau material pertukaran ion untuk pengolahan air limbah dan daur ulang pemakaian air.

Penggunaan Zeolit Untuk Menyingkirkan Amonia dan Menghilangkan Daya Racunnya

Menurut Burgess et al. (2004) amonia ditemukan dalam perairan laut termasuk dalam air sela-sela sedimen. Pada konsentrasi yang cukup tinggi, amonia dapat bersifat racun bagi spesies organisme air. Metode “toxicity identification evaluation” (TIE, evaluasi identifikasi daya racun) menyediakan alat bagi peneliti untuk mengidentifikasi racun dalam air. Ada beberapa metode untuk mengidentifikasi daya racun amonia seperti “volatilization” (pembentukan senyawa mudah-menguap) dan perubahan pH, penambahan Ulva lactuca, penguraian oleh mikroba, dan penambahan zeolit. Penambahan zeolit telah berhasil digunakan dalam sistem perairan tawar untuk mengurangi konsentrasi amonia dan daya racunnya selama beberapa dekade. Bagaimanapun, zeolit dalam sistem perairan laut kurang banyak dipakai karena ion-ion dalam air laut mengganggu kemampuan zeolit menjerap amonia. Tujuan studi ini adalah mengembangkan metode zeolit untuk menghilangkan amonia dari air laut. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti melakukan serangkaian studi kromatografi kolom terhadap zeolit guna menentukan kapasitas dan laju penyerapan serta untuk mengevaluasi pengaruh salinitas dan pH terhadap penyingkiran amonia. Peneliti juga mempelajari interaksi antara zeolit dengan beberapa logam beracun. Metode ini juga dievaluasi dengan mengukur daya racun amonia bagi dua spesies organisme laut : mysid Americamysis bahia dan amfipoda Ampelisca abdita.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Burgess et al. (2004) menyimpulkan bahwa kromatografi kolom terbukti efektif untuk menyingkirkan amonia dalam kisaran konsentrasi yang lebar di bawah beberapa kondisi percobaan. Sayangnya, "slurry method" (metode di mana partikel-partikel zeolit dimasukkan ke dalam air hingga membentuk suspensi) ini tidak konsisten dan memberikan hasil yang bervariasi dalam menghilangkan amonia dan tidak dapat disarankan. Logam-logam tembaga, timah hitam dan seng bisa disingkirkan oleh zeolit baik dengan metode slurry maupun kolom. Kolom zeolit berhasil menghilangkan daya racun amonia baik untuk mysid maupun amfipoda, sedangkan metode slurry kurang efektif. Studi ini menunjukkan bahwa kromatografi kolom zeolit merupakan cara yang berguna dalam melakukan TIE pada air laut untuk mengurangi konsentrasi amonia dan menentukan karakteristik daya racunnya.

Pengaruh Zeolit Terhadap Daya Racun Amonia Dalam Sedimen Perairan Tawar

Teknik untuk mengurangi daya racun amonia dalam sedimen perairan tawar telah diteliti oleh Besser et al. (1998) sebagai bagian dari proyek pengembangan prosedur TIE untuk semua sedimen. Meskipun amonia merupakan komponen alami dalam sedimen perairan tawar, polusi dapat menaikkkan konsentrasi amonia sampai ke tingkat yang beracun bagi invertebrata bentik, dan amonia juga dapat meningkatkan daya racun sedimen yang mengandung bahan pencemar yang lebih kekal. Peneliti menggunakan mineral zeolit alami, yaitu klinoptilolit, untuk mengurangi konsentrasi amonia dalam air pori-pori sedimen. Zeolit banyak digunakan untuk menghilangkan amonia dalam pengolahan air dan dalam prosedur TIE.

Besser et al. (1998) menyimpulkan bahwa penambahan butiran zeolit ke sedimen beramonia menurunkan konsentrasi amonia dalam air pori-pori dan mengurangi daya acun amonia bagi invertebrata. Pemberian 20% zeolit (v/v; volume per volume) mengurangi konsentrasi amonia dalam air pori-pori sebesar minimal 70% pada sedimen beramonia yang menjadi ciri khas sedimen perairan tawar yang tercemar. Pemberian zeolit menurunkan daya racun sedimen beramonia bagi tiga taksa invertebrata bentik (Hyalella azteca, Lumbriculus variegatus, dan Chironomus tentans), meskipun kepekaan mereka terhadap daya racun amonia sangat berbeda. Sebaliknya, pemberian zeolit tidak mengurangi daya racun akut sedimen yang banyak mengandung kadmium atau tembaga, atau menurunkan konsentrasi logam-logam ini dalam air pori-pori. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian zeolit, dalam uji daya racun dengan taksa yang peka seperti H. azteca, bisa menjadi teknik yang efektif untuk menurunkan secara selektif daya racun amonia dalam sedimen perairan tawar.

Menyingkirkan Amonia Dari Air Limbah Dengan Zeolit Alami

Booker et al. (1996) melaporkan bahwa proses penyerapan-cepat, yang memanfaatkan selektivitas zeolit Australia alami terhadap ion amonium, telah dikembangkan untuk menyingkirkan amonia dari air limbah. Tujuan studi ini adalah untuk memahami manfaat sumberdaya Australia alami tersebut sebagai alternatif yang efisien bagi metode penanganan limbah yang sudah ada. Pemahaman mengenai keseimbangan dan perilaku kinetika zeolit ini menimbulkan harapan akan kemampuan material ini sebagai media penyerapan.

Hasil-hasil studi yang menggembirakan mendorong dilakukannya pilot proyek uji coba, yang menunjukkan bahwa zeolit merupakan material yang sangat bagus sebagai media penyerapan untuk operasi kolom kontinyu. Proses penyerapan oleh zeolit terbukti efektif, pada skala pilot proyek, untuk menurunkan konsentrasi ion amonium dalam air limbah. Konsentrasi ion amonium yang semula berkisar dari 25 sampai 50 mg NH4-N/liter turun menjadi di bawah 1 mg NH4-N/liter. Pada kondisi operasi yang optimal, kapasitas penyerapan zeolit untuk kisaran konsentrasi amonium ini adalah sekitar 4,5 mg NH4-N/gram. Laju penanganan air limbah dengan kolom zeolit pilot proyek ini membuatnya sangat sesuai untuk melengkapi proses pengolahan limbah sekunder bervolume besar guna menghilangkan komponen amonia terlarut (Booker et al., 1996).

Penyingkiran Amonia Dari Perairan Tercemar Dengan Zeolit Klinoptilolit

Rahmani et al. (2004) menyatakan bahwa amonia nitrogen dibuang bersama air limbah perkotaan, industri dan pertanian, yang kemudian bercampur dengan sumberdaya perairan. Beberapa dampak negatif amonia mencakup peningkatan laju eutrofikasi danau, penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan yang menerima amonia tersebut serta terjadinya keracunan ikan. Batas maksimum konsentrasi amonia yang ditetapkan oleh Asosiasi Eropa untuk Air Minum adalah sekitar 0,5 mg/liter. Dengan demikian air mentah dengan konsentrasi amonia yang tinggi harus diolah sebelum diterima konsumen, dan air limbah harus ditangani sebelum dibuang ke perairan. Metode yang paling banyak digunakan untuk menyingkirkan amonia dari air limbah adalah “air stripping”, pertukaran ion, “breakpoint chlorination” dan nitrfikasi-denitrifikasi biologis. Metode pertukaran ion telah didemontsrasikan memberikan hasil yang sama dengan metode-metode lain baik dalam hal kinerja maupun biaya.

Klinoptilolit merupakan salah satu jenis zeolit alami yang biasa dipakai untuk menyingkirkan kation dan ion amonia dari larutan. Selain memiliki afinitas (daya ikat) terhadap ion amonia yang lebih besar dibandingkan media pertukaran lainnya, zeolit juga relatif murah bila dibandingkan dengan berbagai jenis material penyerap sintetis. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari penyingkiran amonia dari perairan tercemar dengan menggunakan zeolit alami. Pemakaian zeolit untuk mengolah air limbah yang mengandung 10 sampai 19 mg/liter ion NH4+ memberikan hasil yang efisien, sebanyak 93 sampai 98 % amonia bisa dihilangkan. Kapasitas pertukaran ion amonia tergantung pada keberadaan kation-kation lain dalam fase larutan dan pada konsentrasi amonia awal (Rahmani et al., 2004).

Rahmani et al. (2004) melaporkan bahwa berbagai senyawa amonia nitrogen dalam air limbah memberikan efek berbahaya bagi sumberdaya perairan. Pertukaran ion dengan zeolit merupakan salah satu metode untuk menyingkirkan amonia dari air limbah. Para peneliti melakukan studi dengan tujuan mempelajari efisiensi zeolit dalam menyingkirkan amonia dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Klinoptilolit diperoleh dari pertambangan Semnan di bagian utara Iran. Sampel zeolit digiling dan disaring dengan saringan standar Ameria Serikat nomor 20, 30 dan 40 kemudian dikondisikan dengan larutan amonia sulfat dan natrium klorida. Karakteristik sampel untuk penyingkiran amonia dan urutan selektivitas penyerapan berbagai kation ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kapasitas pertukaran ion untuk zeolit dalam sistem “batch” dan sistem kontinyu adalah 6,65 – 16 dan 16,31 sampai 19,5 mg NH4+/gram berat zeolit, berturut-turut. Pada studi ini urutan selektivitas zeolit terhadap kation adalah K+, NH4+, Na+, Ca2+ dan Mg2+ berturut-turut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa regenerasi tingkat tinggi (95 – 98 %) bisa dicapai dengan larutan NaCl. Berdasarkan hasil studi ini, klinoptilolit bisa efektif digunakan dalam pengolahan air limbah, baik dari aspek teknis maupun ekonomis.

Zeolit Klinoptilolit Untuk Menyingkirkan Amonia Dari Air Limbah

Cooney et al. (1999) mempelajari kemungkinan menyingkirkan amonia dari air limbah dengan menggunakan zeolit Australia alami atau klinoptilolit. Kapasitas pertukatan-amonium dan laju penyerapan adalah penting dalam menduga kelayakan zeolit untuk mengolah air limbah secara kontinyu. Studi laboratorium telah dilakukan dengan menggunakan larutan murni untuk mempelajari beberapa karakteristik kinetika dan keseimbangan pertukaran amonium pada zeolit ini. Percobaan keseimbangan biner menyediakan informasi mengenai karakteristik penyerapan zeolit dalam hal kapasitas amonia pada berbagai konsentrasi larutan. Selain itu, percobaan keseimbangan multi komponen juga telah dilakukan untuk menentukan efek persaingan berbagai kation terhadap kapasitas pertukaran amonium pada zeolit.

Percobaan-percobaan tersebut menunjukkan bahwa efisiensi penyingkiran amonium paling tinggi dicapai apabila titik-titik lokasi pertukaran zeolit diubah ke bentuk natrium. Studi laboratorium menunjukkan bahwa selektivitas zeolit terhadap ion amonium adalah lebih tinggi dibandingkan pada kation-kation lain yang biasanya ada di dalam air limbah (kalsium, magnesium dan kalium); dan seain itu studi laboratorium ini juga menyediakan informasi dasar mengenai rancangan serta operasi proses penanganan air limbah secara kontinyu (Cooney et al., 1999).

Perbandingan Efektivitas Metode Zeolit, Ulva lactuca dan Aerasi Dalam Menyingkirkan dan Mengurangi Daya Racun Amonia

Burgess et al. (2003) melakukan studi untuk membandingkan tiga metode mengurangi daya racun amonia, yaitu metode Ulva lactuca, zeolit dan metode aerasi. Metode “Toxicity Identification Evaluation” (TIE, evaluasi identifikasi daya racun) bisa digunakan untuk menentukan racun(-racun) spesifik, termasuk amonia, yang menyebabkan kasus keracunan di dalam sedimen laut. Ada dua teknik manipulasi TIE primer yang tersedia untuk menentukan karakteristik dan mengidentifikasi amonia di dalam sedimen laut, yaitu penambahan Ulva lactuca dan zeolit. Pada studi ini, para peneliti membandingkan efisiensi semua metode tersebut dalam (1) menyingkirkan NHx dan NH3 dari lapisan air di atas sedimen dan dari air di sela-sela sedimen, serta (2) mengurangi daya racun amonia terhadap amfipoda Ampelisca abdita dan mysid Americamysis bahia dengan menggunakan sedimen yang tercemar secara alami maupun yang tercema secara buatan. Juga dilakukan evaluasi pendahuluan pemanfaatan aerasi untuk menyingkirkan NHx dan NH3 selama pelaksanaan TIE sedimen laut.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, Burgess et al. (2003) menyimpulkan bahwa secara umum, metode penambahan Ulva lactuca dan zeolit memberikan hasil yang sama-sama memuaskan dalam menyingkirkan NHx dan NH3 baik dari sedimen yang tercemar secara buatan maupun dari sedimen yang tak dimanipulasi, baik dari lapisan air di atas sedimen maupun dari air di sela-sela sedimen. Daya racun amonia terhadap amfipoda berkurang dengan nilai yang hampir sama untuk kedua metode. Bagaimanapun, daya racun terhadap mysid paling efektif diturunkan oleh metode penambahan Ulva lactuca. Hal ini menunjukkan bahwa metode penurunan daya racun amonia berfungsi paling baik bila menggunakan spesies epibentik yang terpapar amonia di dalam kolom air. Aerasi menyingkirkan NHx dan NH3 dari air laut bila pH disesuaikan menjadi 10; bagaimanapun, sangat sedikit amonia yang dihilangkan pada nilai-nilai pH di sekitarnya (sekitar 8,0). Perbandingan ini menunjukkan bahwa metode penambahan Ulva lactuca dan zeolit merupakan alat TIE yang efektif untuk mengurangi konsentrasi dan daya racun amonia pada uji daya racun sedimen keseluruhan.

Zeolit-Perak Untuk Menyingkirkan Amonia dan Bakteri

Krishnani et al. (2012) melaporkan bahwa aktivitas antimikroba zeolit perak terhadap bakteri Escherichia coli, Vibrio harveyi, Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus telah dipelajari di dalam medium cair. Konsentrasi minimum yang dapat menimbulkan efek penghambatan zeolit pertukaan-ion perak terhadap Escherichia coli dan Vibrio harveyi adalah 40 µgram/ml, dan 50 – 60 µgram/ml untuk Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus. Diameter zona-zona penghambatan untuk Escherichia coli, Vibrio harveyi, Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus, berturut-turut, meningkat dari 0,5 menjadi 2,3 cm, dari 0,6 menjadi 2,4 cm, dari 0,3 menjadi 1,65 cm dan dari 0,3 menjadi 1,7 cm sejalan dengan meningkatnya konsentrasi zeolit pertukaan-ion perak dari 10 menjadi 400 mikrogram. Zeolit-perak menyingkirkan 20 – 37 % amonia dari larutan cair. Studi ini memperkuat dugaan bahwa zeolit pertukatan-ion perak dapat menimbulkan dampak terhadap penyebab penyakit dan penting dalam manajemen lingkungan pada budidaya udang.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, Krishnani et al. (2012) membuat kesimpulan sebagai berikut : (1) Zeolit pertukatan-ion perak telah berhasil disintesis dan ternyata memiliki aktivitas bakterisida (pembunuh bakteri). (2) Konsentrasi penghambatan minimum untuk Ag-zeolit berkisar antara 40 – 60 µgram/ml, tergantung jenis bakterinya. (3) Ag-zeolit dapat menyingkirkan amonia sebesar 20 – 37 %. (4) Ag-zeolit dapat dimanfaatkan sebagai material dengan harga murah dalam praktek akuakultur. (5) Ag-zeolit merupakan material yang berpotensi untuk mengatasi penyakit dan membantu mengelola aspek lingkungan dalam akuakultur.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

1 komentar: