Bab I
Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Air Permukaan Laut
Suhu permukaan laut tergantung pada jumlah radiasi matahari yang diterima permukaan tersebut dan menentukan jumlah panas yang diradiasikan kembali ke atmosfer : makin tinggi suhu suatu permukaan, makin banyak panas yang diradiasikan kembali. Panas juga dipindahkan melintasi permukaan laut oleh konduksi dan konveksi, dan oleh efek penguapan. Bila suhu permukaan laut lebih tinggi daripada suhu udara yang ada tepat di atasnya, maka panas akan dipindahkan dari laut ke udara. Secara umum permukaan laut lebih hangat daripada udara yang ada di atasnya, sehingga terjadi kehilangan panas neto dari laut melalui proses konduksi. Kehilangan panas ini relatif tidak penting dibandingkan total panas yang keluar-masuk samudra, dan pengaruhnya bisa diabaikan bila tidak ada proses konveksi oleh angin, yang bertiup membawa udara hangat dari lokasi tepat di atas permukaan laut. Penguapan (perpindahan air ke atmosfer sebagai uap) merupakan mekanisme utama di mana laut kehilangan panas - sekitar satu ordo besaran lebih besar daripada panas yang hilang melalui konduksi ditambah konveksi. Jumlah panas yang hilang melalui penguapan adalah sama dengan kalor laten penguapan dikali laju penguapan (Open University, 2004).
Hubungan Suhu Udara dan Suhu Air Laut
Michie et al. (1991) mengumpulkan data suhu air dan salinitas permukaan laut untuk 10 stasiun di Darwin Harbour Northern Territory, Australia, selama 4 tahun dan satu stasiun di Teluk Shoal selama 7 tahun. Salinitas meningkat ke arah hilir dan selama musim kering hingga bulan Oktober. Suhu air mengikuti pola suhu udara maksimum dan tidak pernah melebihi 10 oC lebih rendah dibandingkan suhu udara. Suhu air laut tertinggi dilaporkan untuk bulan Oktober – November dan terendah pada bulan Juni dan Juli.
Pengaruh Angin Terhadap Suhu Permukaan Laut
Wick et al. (1996) menganalisis hasil pengamatan dan dugaan respon perubahan suhu kulit permukaan laut yang luas terhadap perubahan kecepatan angin dan heat flux (keluar-masuknya panas) neto. Pengamatan terhadap perubahan suhu di Samudra Pasifik tropis dan Atlantik utara menunjukkan bahwa kecepatan angin mempengaruhi perubahan suhu melalui keluar-masuknya panas neto dan pengadukan turbulensi. Meningkatnya kecepatan angin secara khas meningkatkan keluar-masuknya panas neto, yang meningkatkan besarnya perubahan suhu. Pada saat yang sama, meningkatnya kecepatan angin menyebabkan peningkatan pengadukan, yang menurunkan besarnya perubahan suhu.
Hubungan Curah Hujan dan Suhu Permukaan Laut
Markham dan McLain (1977) melaporkan bahwa curah hujan di Ceara, Brazil, berhubungan dengan suhu permukaan laut di Samudra Atlantik selatan. Pengetahuan mengenai suhu permukaan laut memungkinkan untuk meramal curah hujan sebelum musim hujan dimulai. Mekanisme ini mungkin melibatkan fakta bahwa suhu laut mempengaruhi ketinggian pembalikan angin dan, dengan demikian, ketinggian lapisan udara lembab. Data ini juga menunjukkan keterkaitan antara suhu laut di bawah normal di Atlantik selatan dengan El Nino di Pasifik.
Pengaruh Turbulensi Terhadap Pertukaran Panas Antara Laut dan Udara
Veron et al. (2011) menyatakan bahwa pertukaran panas antara udara dan laut terutama dikendalikan oleh lapisan difusi molekular di dekat permukaan laut. Dengan perbedaan antara kinematic viscosity dan thermal diffusivity sebesar satu ordo besaran, sublapisan panas terletak di dalam analog momentumnya : sublapisan kental. Dengan demikian, laju pertukaran panas permukaan sangat dipengaruhi oleh kinematika dan dinamika permukaan; secara khusus, fenomena berskala kecil, seperti turbulensi dekat-permukaan, sangat berpotensi mempengaruhi keluar-masuknya panas melewati permukaan. Teori surface renewal (pembaharuan permukaan) telah dikembangkan untuk mengukur parameter-parameter perpindahan turbulen melewati sublapisan molekular. Teori ini berasumsi bahwa arus turbulen secara terus-menerus menggantikan massa air permukaan dengan sejumlah besar cairan, yang tidak dalam kondisi seimbang dengan atmosfer dan dengan demikian dapat memindahkan panas. Disimpulkan bahwa ada hubungan yang jelas antara pengukuran turbulensi permukaan secara langsung dan skala waktu pembaharuan permukaan rata-rata. Hubungan ini tidak ditentukan oleh mekanisme pembangkitan turbulensi. Diduga bahwa pengukuran turbulensi permukaan secara langsung bisa menghasilkan nilai dugaan yang lebih baik untuk keluar-masuknya panas antara udara dan laut.
Karakteristik Suhu Air di Laut Tropis
Menurut Longhurst dan Pauly (1987) siklus harian radiasi matahari menghangatkan dan mendinginkan lapisan atmosfer bagian bawah tepat di atas permukaan laut sebesar 4 – 5 oC di daerah tropis, tetapi bahkan pada saat kondisi laut tenang siklus harian suhu air tepat di bawah permukaan laut adalah jauh lebih kecil. Di daerah-daerah lintang tinggi terjadi perubahan suhu harian yang nyata : di Laut Baltik bagian atas, suhu seluruh kolom air setebal 10 meter mungkin berubah antara siang dan malam sebesar hampir 2,0 oC. Perubahan suhu harian sebesar ini bisa timbul di daerah tropis hanya bila terjadi upwelling massa air dingin di dekat pantai dangkal berpasir.
Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di laut tropis timbul perbedaan suhu yang tajam. Hanya 15 – 20 meter di bawah permukaan laut tropis di Teluk Guinea, atau di lepas pantai barat Amerika Tengah, air mulai menjadi lebih dingin dan pada kedalaman 40 meter terdapat air dingin yang suhunya sekitar 16 oC. Dengan demikian massa air permukaan laut tropis yang hangat merupakan lapisan yang sangat tipis di atas massa air samudra yang dingin. Kedua zona suhu ini dipisahkan di seluruh daerah tropis dan subtropis oleh sebuah diskontinyuitas panas yang tajam yang mirip dengan termoklin musim panas di daerah lintang tinggi. Turbulensi akibat-angin menyebabkan panas dari lapisan permukaan teraduk ke bawah hingga mencapai titik kritis di mana density gradient (perbedaan densitas air) cukup kuat untuk mencegah massa air permukaan tersebut turun ke bawah.
Telah dikenal tiga jenis air permukaan di daerah tropis : air permukaan tropis (suhu 25 – 28 oC, salinitas 33 – 34 ‰), air permukaan katulistiwa (20 – 28 oC, 34 – 35 ‰) dan air permukaan subtropis (19 – 28 oC, 35 – 36,5 ‰). Klasifikasi ini berarti bahwa air di atas termoklin tropis adalah hangat dan asin kecuali bila upwelling di sepanjang katulistiwa membawa massa air yang lebih dingin, atau bila air permukaan dari gyre subtropis samudra tengah utama mengalir ke daerah tropis sehingga menjadi lebih hangat dan diencerkan oleh hujan tropis, bahkan bisa mencapai kondisi sedemikian hingga massa air yang dibawa gyre tersebut tidak bisa dibedakan dari massa air permukaan tropis sekitarnya (Longhurst dan Pauly, 1987).
Kapasitas Panas Air dan Pengaruh Bahan-Bahan Terlarut
Cole (1994) menyatakan bahwa kapasitas panas air murni adalah sangat tinggi, sekitar 1,0 atau 4,187 joule/gram.oC pada suhu 14,5 oC. Air laut yang nengandung 35 gram garam per kg air, mempunyai kapasitas panas spesifik lebih rendah, yaitu 0,93 atau 3,902 joule/gram.oC. Air tawar dari danau dan sungai, dengan demikian, mempunyai kapasitas panas yang sedikit lebih kecil dari 1,0 karena mengandung bahan-bahan terlarut. Hal ini berarti bahwa diperlukan kalori yang lebih sedikit untuk memanaskan air danau daripada air suling dengan volume yang sama. Perbedaan kapasitas panas antara air danau dan sungai dengan air suling dapat diabaikan dalam banyak kasus, tetapi untuk perairan di padang pasir perbedaan ini menjadi besar akibat tingginya konsentrasi mineral di basin perairan yang tertutup. Kapasitas panas air tawar dari danau di padang pasir bisa turun menjadi 0,924 karena mengandung 70 gram garam per liter air.
Bab II
Suhu Air di Kolam Budidaya Ikan
Suhu Air di Kolam Ikan Daerah Tropis
Menurut Diana et al. (1997) dalam Egna dan Boyd (1997) akuakultur di daerah tropis umumnya dijalankan pada kondisi suhu yang dianggap lebih konstan daripada di daerah beriklim sedang. Bagaimanapun, kolam tropis mengalami penghangatan secara dramatis selama siang hari dan menjadi dingin pada malam hari, sehingga menimbulkan siklus harian. Juga, kebanyakan lokasi memiliki musim kering dan musim hujan, yang mungkin berbeda dengan di daerah-sedang akibat penutupan awan dan faktor-faktor lain. Fluktuasi harian membuatnya sulit untuk membandingkannya dengan daerah beriklim sedang, sehingga termometer maksimum-minimum merupakan alat yang sangat berguna untuk melakukan perbandingan ini. Di Rwanda, sebagai contoh, suhu air adalah paling dingin apalagi di daerah yang tinggi di atas permukaan laut, dengan nilai maksimum mingguan berkisar 22 - 30 oC dan minimum mingguan 22 - 25 oC. Indonesia, sebagai negara yang paling dekat dengan katulistiwa, memiliki suhu terhangat, dengan maksimum 30 - 41 oC dan minimum 21 - 28 oC. Letak lintang dan ketinggian tempat dengan demikian mempunyai dampak kuat terhadap kondisi suhu air, dan pada semua lokasi suhu air berubah dramatis dari siang ke malam, sering sebesar 10 oC selama satu hari. Kondisi suhu adalah cukup dingin di Rwanda yang dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi ikan mujaer, sementara kondisi suhu paling baik untuk pertumbuhan mujaer adalah di Indonesia dan Thailand.
Selain efek musiman, suhu air juga menunjukkan stratifikasi vertikal di kolam tropis dangkal. Pada kebanyakan kolam ini, massa air mengalami stratifikasi karena penghangatan lapisan permukaan selama siang hari dan terbatasnya angin. Sebagai contoh, suhu air kolam mengalami stratifikasi di Thailand pada pukul 14.00, dan stratifikasi ini hilang dari pukul 19.00 sampai 09.30 pagi berikutnya. Perbedaan maksimum (perbedaan antara suhu air lapisan atas dan lapisan dasar) terjadi pada pukul 14.00, dan perbedaan ini sering sebesar 3 - 5 oC. Stratifikasi sering hilang selama siang hari akibat hujan atau angin. Selama malam hari, stratifikasi lenyap akibat pendinginan air permukaan. Pola stratifikasi di Indonesia, Honduras dan Panama tampaknya serupa dengan di Thailand (Diana et al. ,1997, dalam Egna dan Boyd, 1997).
Sumber Alami Energi Panas di Kolam Ikan
Lamoureux et al. (2006) melaporkan bahwa sebuah model pengatur suhu dan panas kolam ("pond heat and temperature regulation" (PHATR)) telah dirancang untuk : (1) menduga suhu kolam tanah luar-ruangan untuk budidaya ikan dan (2) menentukan ukuran mekanisme transfer energi yang mempengaruhi perolehan atau kehilangan energi di kolam tersebut. Model ini memenuhi persamaan diferensial ordo pertama non-linier dengan menggunakan metode numeris Runge-Kutta ordo ke-4 dan berbagai data (data cuaca, karakteristik kolam dan laju aliran air). Data yang dihasilkan (dugaan suhu kolam) dibandingkan dengan data suhu kolam hasil pengukuran yang dikumpulkan dari kolam air hangat di Stasiun Pusat Penelitian Akuakultur, Louisiana State University Agricultural.
Berdasarkan hasil studi tersebut, Lamoureux et al. (2006) menyimpulkan bahwa model ini memberikan data suhu dugaan yang lebih tinggi 0,7 °C untuk kolam yang tak dipanasi dan 2,6 °C lebih tinggi untuk kolam yang dipanasi. Fluktuasi laju aliran air hangat yang digunakan untuk memanasi kolam diyakini bertanggung jawab atas lebih besarnya kesalahan dalam menduga suhu air kolam yang dipanasi. Secara rata-rata, dua vektor energi terpenting untuk kolam yang tak dipanasi adalah radiasi kolam gelombang panjang (39%) dan radiasi langit gelombang panjang (31%). Pada waktu-waktu tertentu, radiasi matahari bertanggung jawab atas sampai sebesar 49 % dari semua energi yang ditransfer ke kolam yang tak dipanasi. Untuk kolam yang dipanasi, secara rata-rata, mekanisme transfer energi yang penting adalah radiasi kolam gelombang panjang (25%), radiasi langit gelombang panjang (19%), air sumur-geotermal hangat (19%) dan air buangan (15%). Pada waktu-waktu tertentu, radiasi matahari bertanggung jawab atas sampai sebesar 50 % sedangkan air sumur hangat bertanggung jawab atas 60 % dari semua energi yang ditransfer ke kolam yang dipanasi.
Karakteristik Suhu Air Kolam Ikan
Yaodong et al. (2004) menyatakan bahwa suhu air memiliki dampak penting terhadap keamanan musim dingin bagi ikan-ikan daerah tropis dan subtropis yang daya tahan terhadap suhu dinginnya relatif lemah. Dalam makalah ini, perubahan karakteristik suhu air di kolam ikan dan model simulasinya di musim dingin di daerah Guangzhou diteliti berdasarkan data pengamatan suhu air di kolam ikan dan suhu udara di stasiun meterologi terdekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa amplitudo (selisih nilai maksimum dan minimum) harian suhu air di kolam ikan relatif kecil dan ada keterlambatan waktu antara saat suhu udara harian mencapai maksimum dengan saat suhu air mencapai maksimum. Ciri ini sangat jelas pada suhu tiap jam dan suhu rata-rata harian. Perubahan harian suhu air pada cuaca cerah adalah jauh lebih besar dibandingkan pada cuaca mendung. Amplitudo harian suhu air perlahan-lahan berkurang dan keterlambatan waktu menjadi makin jelas dengan bertambahnya kedalaman air.
Perubahan Musiman dan Harian Suhu Air Kolam Ikan
Young (1975) melaporkan bahwa perubahan musiman suhu air, termasuk periode suhu rendah maupun tinggi, penurunan maupun peningkatan suhu telah direkam di kolam daerah beriklim sedang dan kolam tropis. Selama setahun, kisaran antara suhu mingguan rata-rata terendah dan tertinggi adalah lebih besar di kolam daerah-sedang dibandingkan di kolam tropis. Kisaran antara suhu air mingguan rata-rata minimum dan maksimum selama bulan-bulan terhangat di kolam tropis adalah lebih besar dibandingkan suhu mingguan rata-rata pada bulan apa pun dalam setahun di kolam daerah-sedang. Rata-rata mingguan suhu air dan udara menunjukkan pola yang sama dengan fluktuasi suhu musiman; di kolam tropis suhu udara mingguan rata-rata selalu lebih kecil daripada suhu air minimum mingguan rata-rata; di kolam daerah-sedang nilai ini ada di bawah, di dalam atau di atas kisaran antara suhu air mingguan minimum rata-rata dan maksimum rata-rata dalam setahun. Di kedua jenis kolam tidak terjadi fluktuasi harian selama bulan-bulan dingin; kisaran fluktuasi di bulan-bulan yang hangat bervariasi menurut waktu dalam setahun, dan kisaran ini lebih besar selama bulan-bulan paling hangat di kolam tropis. Di kedua kolam, suhu terendah kadang-kadang terekam antara pukul 02.00 dan 10.00 sedangkan suhu tertinggi terekam antara pukul 12.00 dan 20.00.
Pendugaan Suhu Air Kolam Ikan Berdasarkan Suhu Udara
Shakir (2013) melaporkan bahwa sebuah model regresi logistik nonlinier dan linier sederhana sebagai simulasi suhu air permukaan berdasarkan suhu udara pada berbagai skala waktu telah disusun dengan memanfaatkan data suhu udara-air selama tahun 2005 - 2009. Parameter-parameter model linier maupun non linier diduga berdasarkan data seri-waktu 5 tahun suhu udara dan suhu air dengan menggunakan metode optimasi kuadrat terkecil. Variasi suhu air harian, mingguan dan bulanan diduga dengan sangat akurat oleh model regresi linier sederhana air-udara. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika suhu harian air-udara dirata-ratakan selama periode mingguan dan bulanan, korelasi antara suhu air hasil pengukuran dan hasil simulasi menjadi lebih baik. Metodologi yang dikembangkan di sini untuk melakukan simulasi suhu air permukaan di sebuah kolam kecil yang airnya dipasok-ulang berdasarkan suhu udara pada berbagai skala waktu dapat diterapkan untuk mengisi data suhu air yang kosong atau hilang atau yang tak terekam dan dapat membantu dalam menduga penguapan serta menganalisis pengaruh perubahan iklim terhadap suhu air kolam di daerah semi-kering di India.
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata
Pengaruh Intensifikasi Budidaya Terhadap Suhu Air Kolam Ikan
Augustyn (1995) menentukan pengaruh diversifikasi budidaya ikan mas dan dinamika kondisi atmosfer terhadap suhu dan kejernihan air kolam ikan. Peningkatan intensifikasi budidaya ikan mas menyebabkan penurunan
kerjenihan air dan dengan demikian menimbulkan gradien (perbedaan) suhu vertikal dalam kolom air; pada kolam dengan budidaya yang intensif, di awal bulan Mei, Secchi disk tidak terlihat pada kedalaman 30 cm dan suhu lapisan air dekat dasar kolam pada hari cerah dan tidak berangin adalah lebih rendah 1 °C (atau lebih) dibandingkan pada kolam tanpa ikan.
Bab III
Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Bakteri Nitrifikasi
Menurut Fdz-Polanco et al. (1994) aktivitas dan konsentrasi bakteri nitrifikasi tergantung pada konsentrasi amonia bebas spesifik (rasio NH3/biomas); rasio ini sendiri ditentukan oleh suhu, pH, konsentrasi amonia dan konsentrasi biomas penitrifikasi. Jadi, suhu merupakan parameter kunci dalam proses nitrifikasi yang menghasilkan dua efek berlawanan : aktivasi bakteri dan penghambatan amonia bebas. Untuk bakteri Nitrosomonas hanya terlihat efek aktivasi; aktivitasnya mencapai maksimum pada kisaran suhu 28 – 29 oC. Pada Nitrobacter, penghambatan amonia bebas lebih dominan daripada efek aktivasi untuk nilai lebih dari 1 mg N-NH3/mg VAS yang memungkinkan akumulasi nitrit 80 %; (VAS = Volatile Attached Solid; Padatan Melekat Mudah-Menguap); nilai ambang batas penghambatan ini untuk biofilm nitrifikasi diperoleh dengan mengukur laju spesifik pemanfaatan substrat per unit bomas melalui uji aktivitas. Pengetahuan tentang ambang batas ini dalam proses biofilm adalah penting guna mengendalikan akumulasi nitrit dalam reaktor biofilm nitrifikasi.
Interaksi Suhu-Substrat Sebagai Faktor Pembatas Bakteri Heterotrofik Laut
Pomeroy dan Wiebe (2001) menyatakan bahwa komunitas bakteri heterotrofik aktif terdapat di semua lingkungan laut, dan walaupun laju pertumbuhan atau respirasinya mungkin dibatasi oleh interaksi konsentrasi substrat yang rendah dengan suhu yang mendekati batas bawah untuk pertumbuhannya, namun suhu dan konsentrasi substrat jarang dianggap secara bersama-sama sebagai faktor pembatas. Selan itu, usaha mengevaluasi batas-batas metabolik untuk suhu dan konsentrasi substrat kadang-kadang menghasilkan kesimpulan yang membingungkan, karena, sementara kita dapat mengukur konsentrasi karbon organik terlarut di perairan alami, sebagian besar data suhu dan konsentrasi substrat tidak tersedia untuk bakteri heterotrofik. Meskipun ada keterbatasan prosedur seperti ini, adalah berguna untuk menganggap suhu dan konsentrasi substrat sebagai faktor pembatas potensial yang berinteraksi.
Di perairan estuaria dan perairan permukaan samudra daerah beriklim-sedang, di mana pertumbuhan bakteri sering berkurang pada musim dingin, pertumbuhan dan respirasi bisa ditingkatkan secara eksperimental dengan menaikkan suhu atau dengan meningkatkan konsentrasi substrat organik, yang menyediakan bukti tak langsung bahwa pembatasan tersebut adalah pengaruh suhu terhadap penyerapan substrat atau asimilasi. Percobaan dengan isolat bakteri juga menunjukkan interaksi suhu-substrat. Di perairan kutub yang dingin secara permanen, sebagian besar bakteri heterotrofik tampaknya hidup pada suhu jauh di bawah suhu optimal pertumbuhannya. Namun demikian, bakteri di perairan permukaan yang dingin secara permanen dapat mencapai laju aktivitas pada musim panas yang setinggi laju aktivitas bakteri di perairan beriklim-sedang. Dalam es laut, laju produksi bakteri sering sekali rendah, bahkan pada saat konsentrasi substrat, termasuk asam-asam amino bebas, jauh lebih tinggi daripada di air laut. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu es laut bakteri heterotrofik menurunkan kemampuannya dalam menyerap atau memanfaatkan substrat organik (Pomeroy dan Wiebe, 2001).
Seleksi Bakteri Oleh Suhu Air di Estuaria
Sieburth (1967) melakukan serangkaian pengamatan terhadap bakteri heterotrofik planktonik di estuaria daerah beriklim sedang, yakni Teluk Narragansett, Pulau Rhode, untuk menentukan apakah perubahan suhu air musiman adalah cukup untuk menseleksi tipe bakteri tersebut. Perubahan populasi bakteri dalam sampel semi-bulanan yang diperoleh selama dua periode satu-tahun dan satu perode setengah tahun telah dipelajari. Lebih dari 2500 isolat telah diuji sampai ke genus dan sekitar 600 isolat sampel telah diuji secara serentak dalam hal kisaran suhu-pertumbuhan. Laju pertumbuhan populasi bakteri alami bervariasi sesuai dengan suhu air, tetapi respon bakteri terhadap suhu air terlambat dua bulan. Pergeseran kisaran suhu pertumbuhan secara musiman ini menunjukkan bahwa populasi bakteri bisa berubah hanya dengan perbedaan suhu inkubasi yang kecil.
Semua tipe bakteri termal dapat diisolasi dan populasinya cenderung tampak bila dilakukan inkubasi-ulang pada suhu 0, 18 dan 36 oC setelah inokulasi-permukaan. Isolat bakteri mesofilik (pertumbuhan di atas suhu 10 oC dan mencapai optimum di atas suhu 30 oC) hanya diperoleh pada media kultur 36 oC ketika suhu air di atas 10 oC. Sejumlah isolat ini bersifat peka-dingin dan labil di bawah suhu 18 oC. Bakteri psikrofil obligat (pertumbuhan di bawah suhu 16 – 20 oC, optimum pada suhu 9 – 10 oC) hanya diperoleh pada media kultur 0 oC ketika suhu air di bawah 10 oC. Dua tipe bakteri termal lainnya diperoleh pada media kultur 0 oC dan 18 oC. Organisme yang tumbuh pada suhu 0 oC dan memiliki kisaran pertumbuhan yang lebar antara 10 oC dan 30 oC dianggap sebagai tipe psikrofil fakultatif sedangkan organisme yang juga tumbuh pada suhu 0 oC tetapi kisaran puncak optimumnya lebih sempit (yaitu sektar 18 – 20 oC digolongkan sebagai tipe psikrotoleran. Selain tipe-tipe termal utama ini, beberapa isolat dari beberapa kelompok taksonomik menunjukkan kecenderungan memiliki suhu optimum ganda. Seleksi musiman tipe termal oleh suhu air terjadi pada semua kelompok taksonomik. Tidak ada efek penghambatan atau peningkatan oleh suhu terhadap kelompok taksonomi mana pun (Sieburth, 1967).
Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Escherichia coli Dalam Air Danau
Sampson et al. (2006) melaporkan bahwa monitoring keberadaan bakteri Escherichia coli, indikator pencemaran tinja, dalam perairan yang menjadi tempat rekreasi merupakan masalah kesehatan publik yang harus diperhatikan. Walaupun Escherichia coli tidak menyebabkan penyakit pada manusia, namun keberadaan bakteri ini bisa menjadi indikator keberadaan mikroorganisme patogen lain. Banyak faktor yang bisa mengubah kelangsungan hidup Escherichia coli yang ada di luar usus binatang dan bisa mempengaruhi peluangnya untuk mengkoloni inang baru. Kelangsungan hidup bakteri di perairan rekreasi telah dihubungkan dengan suhu air, dan akhir-akhir ini juga dihubungkan dengan keberadaan pasir di pantai.
Sampson et al. (2006) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kelangsungan hidup isolat Escherichia coli di dalam air danau. Mikrokosmos air danau ditempatkan pada suhu 4, 10, 14 atau 25 oC selama sampai 36 hari, dan uji enzim-substrat (Colisure, IDEXX Corp.) digunakan untuk menentukan “most probable number” (MPN) Escherichia coli per 100 ml air. Jumlah Escherichia coli pada semua suhu berkurang selama percobaan. Penurunan ini paling menyolok pada suhu 14 oC dan paling kecil pada suhu 4 oC. Keberadaan pasir dalam mikrokosmos meningkatkan lama kelangsungan hidup Escherichia coli, tanpa terpengaruh suhu. Dari sudut pandang manajemen pantai, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Escherichia coli bisa bertahan hidup dalam lingkungan berair dingin lebih lama daripada dalam air hangat yang ditemukan pada akhir musim panas.
Pengaruh Suhu Air dan Salinitas Terhadap Keberadaan Vibrio dan Enterobakteri
Chaveza et al. (2005) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap keberadaan Vibrio cholerae, Escherichia coli dan Salmonella spp. yang berasosiasi dengan air dan sampel kerang oyster di dua laguna di pesisir Atlantik daerah Veracruz, Mexico, selama perode 1 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman salinitas secara musiman dan suhu yang hangat, di samping masukan zat hara, bisa mempengaruhi keberadaan Vibrio cholerae, tipe non-O1 dan O1. Kondisi yang ditemukan di Alvarado (suhu 31,12 oC, salinitas 6,27 promil, pH = 8,74) dan laguna La Mancha (suhu 31,38 oC, salinitas 24,18 promil, pH = 9,15) selama musim hujan tahun 2002 menguntungkan keberadaan Vibrio cholerae, penyebab enterotoksin (racun-perut), dalam oyster. Vibrio alginolyticus terdeteksi di dalam sampel air laguna Alvarado selama musim dingin. Escherichia coli dan Salmonella spp. telah ditemukan dalam sampel air dari laguna La Mancha (90 – 96.7 % dan 86,7 – 96,7 %) serta di laguna Alvarado (88,6 – 97,1 % dan 88,6 – 100 %. Keberadaan bakteri mungkin disebabkan oleh air limbah dari perkotaan, pertanian dan industri.
Bab IV
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska
Pengaruh Suhu Terhadap Laju Denyut Jantung Kerang di Pantai Tropis
Trueman dan Lowe (1971) mempelajari pengaruh suhu terhadap denyut jantung moluska bivalva, Isognomum alatus, di pantai tropis. Pengamatan terhadap denyut jantung kerang Isognomum pada kondisi alami dan kondisi laboratorium di daerah tropis menunjukkan tidak adanya pola yang teratur dalam hal variasi laju denyut jantung. Penutupan cangkang, yang terjadi pada selang yang tidak teratur, menyebabkan denyut jantung terhambat hampir secara total. Perubahan suhu air menyebabkan laju denyut jantung meningkat atau menurun dengan segera. Selama kerang terkena udara dan cangkangnya terbuka, laju denyut jantung tergantung pada suhu, bahkan ketika secara langsung terkena cahaya matahari tropis. Suhu air dan keterlindungan terhadap cahaya matahari memberikan efek yang sama terhadap laju denyut jantung; namun pada beberapa bivalva litoral di Inggris, keterlindungan terhadap cahaya tidak mempengaruhi laju denyut jantung.
Suhu Optimum Enzim Pencernaan Gastropoda
Banerjee dan Sur (1991) mempelajari perilaku beberapa enzim hidrolisis pada moluska gastropoda dalam kaitannya dengan suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu optimum amilase selulase, invertase, esterase serta enzim-enzim protease basa maupun asam pada tiga spesies moluska Laevicaulis alte, Pila globosa dan Pugilina cochlidium dari berbagai habitat berkisar dari 37 oC sampai 45 oC, kecuali untuk protease asam. Suhu optimum 55 oC juga ditemukan untuk enzim protease basa. Bagaimanapun, termostabilitas (stabilitas panas) paling tinggi, yaitu 70 oC, dilaporkan untuk enzim protease asam dalam kelenjar pencernaan Laevicaulis alte.
Toleransi Suhu dan Pengaruh Suhu Terhadap Respirasi Siput Amfibi
Freiburg dan Hazelwood (1977) melaporkan bahwa rata-rata konsumsi oksigen pada siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis menunjukkan peningkatan dengan naiknya suhu. Penyerapan oksigen pada suhu 35 oC berkurang dan mungkin menunjukkan stres respirasi yang lebih hebat pada suhu udara yang lebih tinggi. Suhu 10 – 35 oC dapat ditolerir dengan baik dan kecepatan respirasi pada siput Pomacea paludosa pra-test (baik di air maupun di udara) kembali normal setelah dibiarkan pada suhu normal selama 24 jam. Pada suhu 40 oC, Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis mati. Suhu maksimum yang dapat diterima adalah 35 oC (suhu letalnya 40 oC) untuk kedua spesies tersebut serta spesies-spesies lain. Suhu maksimum yang dapat ditolerir gastropoda adalah 38 oC untuk Physa virginiana, yang hidup di mata air panas; 35 oC (letal pada 43 oC) untuk Littorina littorea, 37 oC (letal pada 41 oC) untuk Australorbis glabratus, 31 oC untuk dua spesies siput limpet air tawar dan antara 40 – 45 oC untuk Pomacea urceus. Pomacea paludosa mampu hidup pada suhu rendah 5 oC. Kemampuan mentolerir kisaran suhu yang lebar serta kemampuan bernafas di udara maupun di air mempertinggi daya hidup siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis di perairan tawar mengalir maupun di kolam-kolam sementara yang sering kekeringan.
Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Respirasi Siput Lymnaea
Sidorov (2005) mempelajari pengaruh suhu terhadap perilaku respirasi dan aktivitas saraf respirasi pada siput pulmonata Lymnaea stagnalis. Ventilasi paru-paru pada siput Lymnaea stagnalis terhenti pada suhu rendah (di bawah 10 oC), peningkatan suhu meningkatkan laju ventilasi. Perubahan aktivitas kelistrikan pada saraf respirasi Lymnaea menyebabkan perubahan perilaku respirasi secara mencolok pada siput ini selama perubahan suhu.
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Laju Pertumbuhan dan Metamorfosis Gastropoda
Zimmerman dan Pechenik (1991), dalam empat percobaan, memelihara larva gastropoda Crepidula plana pada suhu 29, 25 dan 20 oC dengan salinitas 30 ppt; dan dalam dua percobaan lainnya pada salinitas antara 4 – 30 ppt dengan suhu 25 oC. Laju pertumbuhan cangkang dan diferensiasi morfologis serta laju kompetensi dicatat. Larva dianggap kompeten untuk bermetamorfosis bila mereka dapat dirangsang untuk bermetamorfosis ketika terkena kalium klorida (KCl) berkonsentrasi tinggi (20 mM di atas konsentrasi lingkungan). Laju kompetensi larva menjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi hanya dalam satu dari empat percobaan suhu secara konsisten meningkatkan laju pertumbuhan dan diferensiasi morfologis. Larva gastropoda membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjadi kompeten bila dipelihara pada salinitas yang lebih rendah. Larva yang kompeten juga tidak dapat dikenali berdasarkan panjang cangkangnya; banyak individu menjadi kompeten pada panjang cangkang 600 – 800 mikron, namun banyak individu lain yang belum kompeten meskipun panjang cangkangnya melebihi 1000 mikron. Pada suhu 29 oC banyak individu menjadi kompeten pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan individu yang dipelihara pada suhu yang lebih rendah.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Larva Siput
Lucas dan Costlow (1979) memelihara larva veliger siput Crepidula fornicata (L.) selama 12 hari pada suhu konstan 15°, 20°, 25°, 30° dan 35°C, serta pada 5 oC “daily cycles of equal periodicity” (COEP; siklus harian periodisitas setara) dalam kisaran suhu 15 sampai 20 oC, 20 sampai 25 oC, 25 sampai 30 oC dan 30 sampai 35 oC. COEP mencakup periode-periode suhu maksimum, suhu minimum yang setara (6 jam), serta peningkatan dan penurunan suhu secara seragam setiap periode 24 jam. Kelangsungan hidup adalah tinggi dan tidak dipengaruhi oleh suhu yang konstan maupun suhu yang bersiklus dari 15 sampai 30 oC. Pada suhu 35 oC dan COEP 30 sampai 35 oC, semua larva mati sebelum hari ke-6. Laju pertumbuhan cangkang meningkat secara tajam pada kisaran suhu 15 sampai 25 oC, dan laju pertumbuhan pada suhu yang bersiklus dalam kisaran ini terletak di tengah-tengah antara laju pertumbuhan pada suhu konstan yang bersesuaian. Larva yang dipelihara pada COEP 15 sampai 20 oC dan COEP 30 sampai 35 oC mengalami diskontinyu pada cangkangnya akibat penghambatan sekresi cangkang selama menghadapi periode suhu yang buruk.
Lucas dan Costlow (1979) menambahkan, berdasarkan pengamatan tersebut, bahwa beberapa kelompok larva veliger Crepidula fornicata selama 2 hari dikenai siklus suhu harian dengan periodisitas setara dan tidak setara dalam kisaran suhu 30 sampai 35 oC. “Cycles of unequal periodicity” (COUP; siklus dengan periodisitas tak setara) mencakup periode-periode suhu maksimum dan suhu minimum yang tak setara - yang bervariasi antara 3 dan 15 jam - serta peningkatan dan penurunan suhu secara tak seragam untuk setiap periode 24 jam). Larva veliger ini mengalami pertumbuhan cangkang namun berat jaringan tubuhnya berkurang, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan kandungan karbon per larva. Pertumbuhan cangkang paling kecil dan penyusutan jaringan tubuh paling besar terjadi pada siklus-siklus ini yang dikenai suhu tinggi dalam waktu lama. Larva yang selama beberapa hari dikenai COUP suhu 30 sampai 35 oC (15 jam pada suhu 30 oC, 3 jam peningkatan suhu, 3 jam pada suhu 35 oC dan 3 jam penurunan suhu) menjadi pulih dan pertumbuhannya normal kembali bila dipindahkan ke suhu konstan 30 oC, tetapi pertumbuhannya tertunda sebanding dengan lama hari dalam siklus suhu. Laju pertumbuhan cangkang veliger dalam siklus suhu menunjukkan efek suhu lingkungan yang bersifat segera, sedangkan perubahan kandungan karbon per larva mencerminkan pengaruh suhu terhadap metabolisme umum dan kelangsungan hidup.
Bab V
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Udang Penaeus
Chen dan Lai (1993) meneliti pengaruh suhu dan salinitas terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia pada udang Penaeus japonicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen (O2 mg/gram/jam) dan laju ekskresi amonia-N (mikrogram/gram/jam) juvenil Penaeus japonicus Bate (berat 0,220 ± 0,051 gram) meningkat dengan meningkatnya suhu dalam kisaran 15 – 35 oC pada empat tingkat salinitas (15, 20, 25 dan 30 ppt). Konsumsi oksigen menurun dengan meningkatnya salinitas pada suhu 15 dan 25 oC; bagaimanapun, perbedaan konsumsi oksigen di antara berbagai perlakuan salinitas adalah tidak nyata pada suhu 35 oC. Ekskresi amonia nitrogen pada udang ini menurun secara jelas dengan meningkatnya salinitas pada semua suhu yang diuji. Hubungan antara konsumsi oksigen (OC), ekskresi amonia nitrogen (AE), suhu (T), salinitas (S) dan lama pemaparan (exposure time; t) adalah sebagai berikut :
AE = 5,4183 + 2,2379 T – 1,2731 S – 0,2123 t (r2 = 0,7939)
Rasio O : N menunjukkan pergeseran pemanfaatan nutrisi dari metabolisme yang didominasi-protein ke metabolisme yang didominasi-lipida pada Penaeus japonicus, bila udang ini dikenai peningkatan salinitas sampai 30 ppt pada suhu 15 oC.
Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Lobster
Nakamura dan Kuramoto (1992) melaporkan bahwa lobster, Panulirus japonicus, telah diaklimasikan di dalam sebuah ruang perfusion (semacam akuarium, volume 25 x 40 x 30 cm3, suhu 20 ± 1 oC) selama sebulan. Data electrocardiogram (ECG) diperoleh dengan bantuan elektroda-elektroda yang ditanam dalam tubuh lobster. Rata-rata denyut jantung lobster adalah sekitar 100 denyut per menit selama musim semi dan musim panas atau sekitar 50 denyut per menit selama musim dingin. Pengaruh suhu rendah terhadap denyut jantung dipelajari secara in vivo. Untuk mendinginkan lobster sampai suhu 15 oC, air laut dingin (5 oC) dituangkan ke dalam akuarium. Laju pendinginan (0,1 – 1,0 oC/menit) tergantung pada volume air dingin dan diukur dengan termometer digital.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada musim semi dan musim panas, laju denyut jantung berkurang sejalan dengan penurunan suhu akibat pendinginan (misal sampai 66 denyut per menit). Bagaimanapun, laju denyut jantung tidak jatuh di bawah 60 denyut per menit pada suhu 15 oC. Pada musim dingin, laju denyut jantung tidak mengikuti penurunan suhu di bawah 18 oC meskipun lajunya turun pada menit-menit awal. Sebagai contoh, laju denyut jantung 31 ± 5 denyut per menit terjadi pada suhu 18 – 16 oC. Korelasi antara laju denyut jantung dan suhu yang diperoleh berdasarkan 18 percobaan pada musim dingin menunjukkan bahwa denyut jantung menurun untuk suhu 21 – 19 oC dan meningkat untuk suhu 19 – 16 oC. Korelasi negatif menunjukkan bahwa lobster memiliki mekanisme yang mencegah penurunan laju denyut jantung yang bergantung pada penurunan suhu tubuh (Nakamura dan Kuramoto, 1992).
Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Zooplankton di Estuaria Tropis
Osore (1992) mempelajari hubungan antara suhu air dan kelimpahan zooplankton di Gazi Creek, sebuah sungai kecil berhutan bakau tropis di selatan Mombasa, Kenya. Stasiun-stasiun sampling terletak di mulut sungai (stasiun 1), sungai bagian dalam (stasiun 3), dan di tengah-tengah keduanya (stasiun 2). Sampling dilakukan dua kali sebulan, dimulai dari stasiun 1 terus ke stasiun 2 sampai stasiun 3. Sebuah jaring bermata jaring 335 mikron dihela di dekat permukaan air selama 5 menit dan sampel yang dikumpulkan diawetkan dengan formaldehid 5 %. Parameter-parameter hidrografi dicatat selama pengambilan sampel. Penelitian di Gazi Creek dilakukan untuk mensurvei komposisi zooplankton baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 22 taksa penting telah dipelajari untuk menentukan variasi musiman dalam hal kelimpahan dan distribusi zooplankton.
Osore (1992), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa populasi zooplankton paling tinggi pada bulan Maret (374 individu per m3). Kelimpahan ini perlahan-lahan menurun selama periode angin muson tenggara (Mei – September) hingga mencapai nilai terendah pada bulan Agustus (30 individu per m3). Kopepoda merupakan taksa yang paling melimpah (48,5 – 92,4 %) selama penelitian. Kelompok ini ditemukan di seluruh sungai kecil tersebut. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa mulut sungai kecil ini memiliki keragaman kopepoda yang lebih tinggi dibandingkan sungai bagian dalam. Berdasarkan Indeks Margalef, stasiun 1 memiliki nilai yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan stasiun 3. Suhu air permukaan menurun selama angin muson tenggara (28,0 sampai 25,5 oC) dan naik selama angin muson timur laut (29,0 sampai 35,5 oC). Kecenderungan dalam hal variasi suhu sangat bersesuaian dengan kelimpahan zooplankton, yang menunjukkan bahwa zooplankton hidup paling subur di perairan yang lebih hangat. Jumlah zooplankton yang banyak juga diamati sekitar bulan Mei (326 individu per m3) selama hujan panjang; mungkin karena banyaknya masukan zat hara. Secara umum, pH bulanan rata-rata hanya bervariasi sedikit, tetapi pH air bagian hulu selalu lebih rendah daripada pH di mulut sungai. Salinitas sangat konstan pada 35 ppt.
Pengaruh Suhu dan Letak Lintang Terhadap Keragaman Kopepoda Laut
Hernandez-Trujillo (1991) mempelajari komposisi spesies kopepoda laut dan kelimpahan setiap spesiesnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis kopepoda yang dikumpulkan di pesisir barat Baja California Sur selama beberapa bulan dalam periode tahun 1982 – 1984. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan keragaman kopepoda yang tinggi seringkali terletak di bagian selatan lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air sampai 29 oC. Sebaliknya, daerah dengan keragaman kopepoda yang rendah terletak di bagian utara dan tengah lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air di bawah 20 oC. Pada tahun 1983, spesies-spesies tropis mendominasi komunitas kopepoda di daerah ini. Kelimpahannya berkurang selama tahun 1984, tanpa ada spesies yang dominan.
Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Tangkap Udang Galah
Yamane (1992) mempelajari bagaimana suhu mempengaruhi jumlah tangkapan udang galah Jepang, Macrobrachium nipponenense, di daerah penangkapan udang tersebut yang terletak di basin selatan Danau Biwa, Jepang. Data yang digunakan dalam evaluasi adalah hasil tangkap oleh perangkap udang dalam waktu tiga tahun (8 Februari – 18 Desember 1987, 18 Maret – 24 Desember 1988 dan 18 Mei – 3 Desember 1990). Perangkap tanpa umpan diletakkan di dasar danau dengan jarak antar perangkap 2 meter pada kedalaman sekitar 2 meter. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah udang galah yang tertangkap dikendalikan oleh suhu air. Di daerah ini, suhu air tampaknya merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah tangkapan udang.
Bab VI
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Brachionus
Walz et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan kualitas makanan terhadap parameter-parameter keseimbangan energi pada rotifera Brachionus angularis yang mencakup penelanan makanan, produksi, pertumbuhan dan mortalitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penelanan makanan meningkat menjadi optimum pada suhu 15 dan 20 oC dan menurun pada suhu 25 oC. Parameter-parameter lain yang diteliti meningkat secara kontinyu pada kisaran suhu 5 – 25 oC. Nilai-nilai Q10 laju produksi adalah lebih tinggi daripada nilai Q10 laju penelanan makanan. Suhu juga memodifikasi hubungan antara konsentrasi makanan dan parameter-parameter bioenergetika tersebut.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Makan Pada Udang
Wyban et al. (1995) mempelajari pengaruh suhu terhadap pertumbuhan, laju makan dan rasio konversi pakan (feed conversion ratio, FCR) pada udang juvenil Penaeus vannamei (Boone) dalam empat percobaan. Pada setiap percobaan (untuk percobaan 1 – 3), satu kelas umur udang dipelihara pada tiga suhu konstan (23, 27 dan 30 oC) dan suhu lingkungan sebagai kontrol (rata-rata 26,2 oC). Pada ketiga percobaan ini, ukuran rata-rata udang yang ditebarkan adalah 3,9, 10,8 dan 16,0 gram, berturut-turut. Pertumbuhan dan laju makan udang meningkat sejalan dengan peningkatan suhu pada setiap percobaan, tetapi peningkatan ini bervariasi di antara ketiga kelas ukuran udang sedemikian hingga pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan laju makan bersifat spesifik-ukuran. FCR udang kecil tidak berbeda untuk ketiga suhu yang diuji; FCR udang berukuran sedang dan besar bervariasi sesuai dengan suhu. Perbedaan respon pertumbuhan antar kelas ukuran menjadi dasar bagi percobaan ke empat, di mana dua kelas ukuran dipelihara pada tiga macam suhu.
Wyban et al. (1995), berdasarkan hasil penelitan tersebut, menunjukkan bahwa pertumbuhan dan laju makan berkaitan secara langsung dengan suhu dan bervariasi terbalik dengan ukuran. FCR terutama berkaitan dengan suhu, makin besar udang makin kecil efisiensi pakannya. Nilai koefisien suhu, terutama antara 23 dan 27 oC, menunjukkan bahwa pertumbuhan Penaeus vannamei sangat peka terhadap perubahan suhu yang kecil. Data ini juga menunjukkan bahwa suhu optima (suhu untuk pertumbuhan tercepat) adalah spesifik-ukuran dan menurun dengan meningkatnya ukuran udang. Untuk udang kecil (kurang dari 5 gram), suhu optima mungkin lebih dari 30 oC sedangkan untuk udang besar suhu optimumnya adalah sekitar 27 oC. Hasil penelitian ini tampaknya sesuai dengan distribusi Penaeus vannamei di lingkungan alaminya. Bagi petani Penaeus vannamei, data ini menunjukkan bahwa untuk semua ukuran udang penurunan pertumbuhan dan aktivitas makan akan terjadi bila suhu air kolam di bawah 23 oC, dan untuk udang besar hal tersebut terjadi bila suhu air kolam 30 oC atau lebih.
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Gastropoda
Petraitis (1992) mempelajari pengaruh suhu air dan ukuran tubuh terhadap laju grazing (aktivitas memakan tumbuhan) pada siput. Penelitian dilakukan dengan mengukur laju aktivitas gigi radular pada empat spesies gastropoda Australia. Spesies-spesies tersebut adalah Austrocochlea constricta, Bembicium nanum, Cellana tramoserica dan Nerita atramentosa. Penelitian di lakukan di Botany Bay di Cape Banks, New South Wales, Australia dari bulan September 1989 sampai Juni 1990. Hydrophone digunakan untuk mencatat parutan radular siput secara in situ (di lokasi asli). Nilai rata-rata yang berdasarkan semua pengamatan menunjukkan bahwa Cellana memiliki laju tercepat dengan nilai 80 parutan/menit, dan diikuti oleh Austrocochlea (71 parutan/menit), Bembicium (57) dan Nerita (39). Disimpulkan bahwa aktivitas makan yang lebih tinggi berhubungan dengan suhu air yang lebih hangat dan ukuran tubuh yang lebih kecil pada semua spesies yang diteliti kecuali Bembicium.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Konsumsi Pakan Pada Kerang Abalon
Britz et al. (1997) melaporkan bahwa petani komersial menggunakan pakan formula untuk mengetahui berapa jumlah ransum pakan yang harus diberikan untuk kerang abalon. Dua percobaan pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan ukuran abalon terhadap laju pertumbuhan dan indeks nutrisi abalon yang diberi pakan formula kering. Antara suhu 12 dan 20 oC laju pertumbuhan dan konsumsi pakan meningkat, “protein-efficiency ratio” (PER) menjadi lebih baik dan FCR (Food Consumption Ratio) tidak berbeda nyata. Bagaimanapun, antara suhu 20 dan 24 oC, pertumbuhan dan konsumsi pakan menurun tajam, dan PER serta FCR menjadi lebih buruk. Faktor kondisi abalon menurun dengan meningkatnya suhu. Disimpulkan bahwa suhu antara 12 dan 20 oC adalah optimal secara fisiologis untuk abalon Haliotis midae. Kisaran ini bersesuaian dengan kisaran suhu laut rata-rata di habitat alami abalon tersebut. Konsumsi pakan, yang dinyatakan sebagai persentase berat badan per hari, menurun dengan meningkatnya ukuran abalon.
Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan dan Pertumbuhan Gonad Bulu Babi
Siikavuopio et al. (2006) mempelajari pengaruh suhu air dan musim terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan gonad pada bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis. Binatang ini diuji pada enam suhu (4, 6, 8, 10, 12 dan 14 °C) pada musim panas (Juli – September) dan musim dingin (November – Januari). Bulu babi (rata-rata berat badan basah ± simpangan baku = 64,5 ± 3,4 gram) dipelihara secara individual dalam wadah persegi dan diberi pakan secara ad libitum pakan formula basah. Gonad Index (GI), Feed Intake (FI, pengambilan makanan), dan “feed conversion ratio” (FCR; rasio konversi pakan) diukur.
Berdasarkan hasil penelitian itu, Siikavuopio et al. (2006) menyimpulkan bahwa Indeks Gonad meningkat secara nyata untuk semua perlakuan selama percobaan musim panas, dan bulu babi yang dipelihara pada suhu 6 °C memiliki Indeks Gonad secara nyata lebih besar dibandingkan bulu babi yang dipelihara pada suhu 4 °C (P < 0,05). Tidak ada perbedaan nyata dalam hal Indeks Gonad antara bulu babi yang dipelihara pada suhu 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 °C, dan mereka memiliki Indeks Gonad yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan suhu rendah. Pada percobaan musim dingin, bulu babi yang dipelihara pada suhu 8 °C menunjukkan Indeks Gonad yang secara nyata lebih tinggi daripada perlakuan suhu-suhu lain. Feed Intake meningkat secara nyata dan linier sejalan dengan meningkatnya suhu baik pada musim panas maupun musim dingin. Feed Intake pada musim panas (P) dan musim dingin (D) meningkat dari 0,34 (P) dan 0,26 (D) (gram/bulu babi per hari) pada suhu 4 oC, menjadi 0,71 (P) dan 0,93 (D) (gram/bulu babi per hari) pada suhu 14 oC. Pada musim panas, bulu babi yang dipelihara pada suhu 12 oC memilki FCR yang secara nyata lebih rendah (3,3) dibandingkan dengan binatang yang dipelihara pada suhu 8 oC (FCR = 4,0). Situasi ini berlawanan dengan situasi pada musim dingin, di mana bulu babi menunjukkan FCR yang lebih rendah (3,7) pada suhu 8 oC dibandingkan bulu babi yang dipelihara pada suhu 12 oC (FCR = 6,0). Secara keseluruhan, hasil penelitan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan gonad optimum bulu babi hijau dewasa dicapai pada suhu yang lebih tinggi di musim panas dibandingkan pada musim dingin.
Bab VII
Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata
Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Brachionus
Hagiwara dan Hino (1988) dalam Ricci et al. (1989) melaporkan bahwa rotifera laut Brachionus plicatilis typicus telah dibudidayakan dalam gelas 500 ml agar memproduksi telur istirahat. Tetraselmis tetrathele digunakan sebagai pakan kultur. Segera setelah terbentuk, telur istirahat dipaparkan terhadap berbagai suhu (5 – 25 oC) dan berbagai rejim cahaya (24 jam terang : 0 jam gelap dan 0 jam terang : 24 jam gelap). Bila telur dipaparkan terhadap cahaya segera setelah terbentuk, telur menetas secara sporadis dalam waktu satu bulan. Tidak terjadi penetasan bila telur disimpan selama 6 bulan pada kondisi gelap, berapapun suhunya. Telur-telur ini menetas secara bersamaan setelah dipaparkan terhadap cahaya, sedangkan telur yang disimpan pada suhu 5 oC menunjukkan laju penetasan dua kali lipat (40 %) dibandingkan telur yang disimpan pada suhu 15 – 25 oC (24 %). Klon yang berasal dari telur istirahat kemudian dipelihara pada berbagai suhu dan rejim cahaya dan selanjutnya dipelihara sampai generasi ketiga. Inkubasi pada suhu 25 oC dalam kondisi ada cahaya (terang) menghasilkan betina mictic terbanyak (5,4 % dan 5,2 %) selama generasi ke-2 dan ke-3, berturut-turut. Produksi terendah (0 dan 1,5 %) diperoleh bila telur disimpan pada suhu 5 oC dalam kondisi gelap total selama enam bulan.
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Ukuran Telur Istirahat Pada Brachionus
Serrano et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap ukuran telur istirahat pada dua klon Brachionus plicatilis (rotifera). Klon dipilih berdasarkan perilakunya terhadap telur istirahat : satu klon mengeluarkan telur istirahat dari dalam tubuhnya sedangkan klon lain tetap menyimpan telur istirahat di dalam tubuh induk betina. Perbedaan ukuran telur istirahat antara kedua jenis klon tersebut adalah jelas walaupun perbedaan ini tidak sebesar perbedaan ukuran antara induk-induk betina. Efek interaksi suhu-salinitas terlihat dengan jelas. Hubungan terbalik antara ukuran dan suhu hanya berlaku pada suhu rendah. Pada suhu tinggi, ukuran telur bervariasi di sekitar nilai rata-rata; variasinya lebih besar bila dibandingkan variasi pada suhu sedang. Hal ini lebih jelas pada salinitas sedang yang dianggap sebagai paling dekat dengan optimum dalam percobaan ini. Pola variasi ini menunjukkan bahwa ukuran rata-rata telur istirahat adalah lebih besar daripada yang diharapkan, dalam kaitannya dengan suhu dan salinitas, ketika faktor-faktor ini mendekati batas-batas kisarannya yang umumnya ditemukan di alam, di mana mekanisme adaptasi dapat berevolusi. Ukuran telur istirahat adalah lebih besar pada kombinasi suhu-salinitas rendah-rendah dan tinggi-tinggi yang merupakan kombinasi paling umum di lingkungan beriklim sedang.
Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reproduksi Gastropoda
Takami (1992) mempelajari pertumbuhan dan jumlah anak pada siput Semisulcospira reiniana yang dipelihara selama 48 – 51 bulan pada tiga macam suhu di laboratorium. Anak baru lahir, yang diproduksi pada bulan Juli dan Agustus 1986, tumbuh hingga mencapai diameter cangkang rata-rata 8 – 9 mm pada umur 1 (bulan), 11 – 12 mm pada umur 2 (bulan), 12 – 13 mm pada umur 3 (bulan), dan 13 – 14 mm pada umur 4 (bulan). Kelahiran anak terjadi pada suhu 12 – 18 oC. Sejumlah besar anak, diperkirakan sebanyak 10 sampai 38 individu per betina selama sebulan, diproduksi pada suhu 20 – 28 oC. Pada kondisi suhu air tinggi, ukuran maksimum siput ini adalah kecil dan kelangsungan hidupnya rendah, tetapi produksi anaknya meningkat.
Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Oyster
Sarvesan et al. (1990) melaporkan bahwa pemijahan oyster Crassostrea madrasensis di Muttukadu Backwater, India, berlangsung dari Januari sampai November dengan puncaknya pada bulan Februari – Maret dan September – Oktober. Oyster betina adalah dominan selama beberapa bulan dalam setahun, sedangkan jumlah individu jantan melebihi betina pada bulan Agustus dan September 1986 serta Februari dan Mei 1987. Di antara empat stasiun yang menjadi lokasi penelitian penempelan benih oyster, Muttukadu Bridge menunjukkan penempelan benih oyster yang paling tinggi terutama pada bulan Oktober. Maksimum 109 benih oyster menempel pada sebuah tiang yang tertutup kapur di jembatan tersebut. Disimpulkan bahwa kematangan gonad dan pemijahan oyster serta penempelan benihnya berkorelasi dengan salinitas dan suhu.
Pengaruh Suhu Terhadap Kematangan Gonad dan Pemijahan Scallop
Sastry (1963) melaporkan bahwa kerang subspesies Aequipecten irradians concentricus dari Alligator Harbor, Florida, mencapai matang gonad menjelang akhir bulan Juli ketika suhu musim panas menjadi maksimum dan menyebabkan terjadinya pemijahan awal pada bulan Agustus ketika suhu mulai turun. Suhu musim dingin menurunkan perkembangan gonad kerang scallop Florida ini. Selama musim dingin, scallop dirangsang untuk matang gonad pada suhu 23 ± 1 oC dalam 26 hari. Scallop matang gonad yang dipelihara di laboratorium memijah sebagai respon terhadap peningkatan suhu selama bulan-bulan yang berbeda. Subspesies Aequipecten irradians irradians dari Massachusetts dan Aequipecten irradians concentricus dari Florida dan North Carolina menunjukkan perbedaan kebutuhan suhu untuk pematangan gonad dan pemijahan. Subspesies scallop dari utara Cape Hatteras bereproduksi pada suhu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan subspesies dari selatan. Pemijahan kedua subspesies ini tidak bertumpang tindih.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Reproduksi Cephalopoda
Forsythe dan Hanlon (1998) melaporkan bahwa kultur laboratorium 40 ekor Octopus bimaculoides dari April 1982 sampai Agustus 1983 selama satu siklus hidup penuh pada suhu 18 °C vs 23 °C menyediakan informasi tentang pertumbuhan, reproduksi dan umur gurita pantai ini. Pada suhu 18 oC, cephalopoda ini tumbuh dari ukuran saat menetas 0,07 gram menjadi rata-rata 619 gram dalam waktu 404 hari; individu terbesar berukuran 872 gram. Gurita yang dibudidayakan pada suhu 23 oC mencapai bobot tertinggi rata-ratanya 597 gram dalam waktu 370 hari; individu terbesar yang tumbuh pada suhu ini adalah 848 gram setelah 404 hari. Suhu tinggi mempercepat semua aspek biologi reproduksi dan memperpendek umur binatang ini sebesar 20 % (dari sekitar 16 bulan menjadi 13 bulan). Octopus bimaculoides merupakan spesies gurita dengan siklus hidup terlama dan telur berukuran besar serta anak-anaknya yang baru menetas bersifat bentik.
Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Serangga Air
Watanabe (1992) mempelajari pengaruh suhu terhadap penetasan telur serangga air, lalat sehari (mayfly). Telur lalat sehari (Potamanthus formosus) dipelihara pada suhu konstan di laboratorium. Persentase telur yang menetas adalah 34 – 53 % pada kisaran suhu 15 – 30 oC, tetapi persentase penetasan ini jatuh mendadak bila suhunya di bawah 15 oC (± 13 oC) menjadi hampir 0 %. Hubungan antara suhu dan lama perkembangan dijelaskan dengan baik oleh sebuah persamaan hiperbola. Batas suhu untuk perkembangan telur menurut perhitungan adalah 10,5 oC dengan persentase penetasan 50 %. Nilai hasil perhitungan jumlah derajat-hari efektif adalah 222,2 di atas 10,5 oC. Penerapan hasil penelitian ini untuk sungai alami menunjukkan bahwa telur harus diletakkan hingga akhir September agar bisa menetas ketika suhu air menurun menjadi 15 oC. Telur yang diletakkan pada akhir periode penetasan tidak akan menetas sebelum musim dingin, dan mungkin melewati musim dingin kemudian menetas pada musim semi.
Bab VIII
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air
Suhu Optimal Untuk Pertumbuhan Ikan
Swann (2000) menyatakan bahwa setelah oksigen, suhu air merupakan faktor tunggal yang paling mempengaruhi ikan. Ikan adalah binatang berdarah dingin dan suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu air mempengaruhi aktivitas, perilaku, makan, pertumbuhan dan reproduksi semua jenis ikan. Laju metabolik ikan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 oC. Berdasarkan suhu pertumbuhan optimalnya, ikan umumnya dikategorikan menjadi spesies perairan hangat, perairan sedang dan perairan dingin. Lele dan mujaer merupakan contoh spesies perairan hangat; kisaran suhu untuk pertumbuhannya adalah antara 75 – 90 oF. Suhu 85 oF untuk lele dan 87 oF untuk mujaer dianggap optmium. Ikan walleye dan yellow perch adalah contoh spesies perairan bersuhu sedang; kisaran suhu untuk pertumbuhan optimumnya adalah antara 60 dan 85 oF. Suhu pada batas atas kisaran ini dianggap paling baik untuk pertumbuhan maksimum bagi kebanyakan spesies ikan perairan sedang. Spesies perairan dingin mencakup semua spesies salmon dan trout. Spesies perairan dingin yang paling umum dibudidayakan di Midwest (negara-negara bagian Amerika Serikat sebelah utara) adalah rainbow trout, yang kisaran suhu optimal untuk pertumbuhannya 48 – 65 oF.
Meningkatkan Suhu Air Kolam Dengan Rumah Kaca Untuk Memacu Pertumbuhan Ikan
Talbot dan Battaglene (1991) dalam Hancock (1992) melaporkan hasil percobaan pemanasan pasif menggunakan kolam yang ditutupi kaca dan kolam yang tak ditutupi guna mengamati pengaruh peningkatan suhu air kolam terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bass Australia (Macquaria novemaculeata). Pada kolam yang ditutupi kaca, dengan kisaran suhu air 18 – 23 oC, larva ikan membutuhkan waktu 48 – 59 hari untuk mencapai metamorfosis dihitung dari saat menetas dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 51 – 23 %. Dalam kolam yang tidak ditutupi, dengan kisaran suhu air 9 – 24 oC, metamorfosis terjadi pada umur 88 – 118 hari dengan kelangsungan hidup rata-rata 14,7 – 11,3 %. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keuntungan ekonomis yang besar bisa diperoleh dengan memelihara larva ikan bass Australia secara ekstensif di dalam kolam rumah kaca, bukan dengan teknik hatchery intensif konvensional.
Pertumbuhan Ikan Mujaer Pada Berbagai Suhu
Shelton dan Popma (2006) dalam Lim dan Webster (2006), berdasarkan beberapa penelitian, menyatakan bahwa suhu air untuk pertumbuhan ikan mujaer yang optimal adalah antara 29 oC dan 31 oC. Secara umum ikan mujaer tidak tumbuh dengan baik di bawah suhu 16 oC. Bila ikan diberi pakan sampai kenyang, pertumbuhan pada suhu yang disukai adalah secara khas tiga kali lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada suhu 22 oC. Konsumsi makanan maksimum pada suhu 22 oC adalah hanya 50 sampai 60 % dibandingkan pada suhu 26 oC. Mujaer dilaporkan bisa mentolerir suhu sampai 40 oC, tetapi stres dan kematian menjadi masalah bila suhu melebihi 37 atau 38 oC. Sebaliknya, penanganan pada suhu rendah dapat juga menimbulkan trauma akibat-stres dan kematian bila suhu di bawah 17 atau 18 oC.
Perubahan Laju Pertumbuhan Ikan Berhubungan Dengan Perubahan Suhu Air
Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa pada ikan dan invertebrata, perubahan laju pertumbuhan musiman adalah berhubungan dengan kisaran perubahan suhu air antara musim panas dan musim dingin. Hubungan ini tampaknya dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya ketersediaan makanan, di mana faktor itu sendiri dikendalikan oleh suhu. Bagaimanapun, fakta bahwa perubahan laju pertumbuhan musiman bervariasi tergantung suhu di seluruh laut tropis maupun laut daerah beriklim sedang, untuk invertebrata maupun ikan, yang strategi sejarah hidupnya beraneka ragam, sangat mungkin menunjukkan bahwa suhu adalah penyebabnya. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa ikan tampaknya dapat melanjutkan pertumbuhannya di dalam kisaran perubahan suhu 10 oC, yang mirip dengan kisaran di mana sistem enzim biasanya akan berfungsi, meskipun pada laju yang tergantung-suhu.
Pengaruh Suhu Air Laut Terhadap Pertumbuhan Ikan Bass
Pawson (1992) melaporkan bahwa ikan sea bass (Dicentrarchus labrax L.) di sekitar Inggris hidup di hampir batas utara distribusi spesies ini, dan perubahan iklim mempengaruhi fluktuasi kelimpahan kelas-umur. Ada sebuah daerah pemijahan utama dan daerah pembesaran anak di sepanjang pantai Inggris pada English Channel tengah, di mana suhu musiman air pantai mengalami siklus hangat, dingin dan hangat lagi selama tahun 1980-an. Pola ini tercermin pada indeks-indeks kelimpahan juvenil ikan bass, dan laju pertumbuhannya juga berkaitan secara positif dengan suhu. Tampaknya iklim berpengaruh kuat terhadap rekruitmen juvenil bass pada perikanan English Channel, dan bahwa kelangsungan hidup serta pertumbuhannya lebih tergantung pada suhu dibandingkan pada kepadatan populasi.
Pertumbuhan Asellus Dipengaruhi Oleh Suhu dan Bobot Badan
Mladenova (1992) mempelajari pertumbuhan Asellus aquaticus pada suhu 1, 4, 10, 15, 20, 25 dan 30 oC di laboratorium. Pada semua suhu, laju pertumbuhan spesifik berkurang dengan meningkatnya bobot badan. Dalam kisaran toleransi suhu, pertumbuhan juvenil Asellus aquaticus sangat dipengaruhi oleh suhu. Dengan meningkatnya bobot badan, kisaran toleransi suhu menjadi lebih sempit. Parameter-parameter persamaan pertumbuhan sigmoid menunjukkan ketergantungan suhu yang teratur.
Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan, Aktivitas Makan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Bandeng
Villaluz dan Unggui (1984) meneliti pengaruh tiga perlakuan suhu terhadap aktivitas, makan, pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup ikan bandeng (Chanos chanos) muda. Suhu rendah (< 22,6 oC) dan kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 1 ppm) menyebabkan penurunan aktivitas, daya respon dan pengambilan makanan pada bandeng; sedangkan suhu tinggi (sampai 33 oC) memberikan pengaruh sebaliknya. Pertumbuhan dan perkembangan adalah paling cepat pada bandeng yang dipelihara dalam suhu tinggi (sekitar 29,5 oC). Ikan yang ditempatkan dalam suhu rendah (sekitar 20,7 oC) menunjukkan laju pertumbuhan paling kecil dan terhambat perkembangannya menjadi juvenil selama periode 30 bulan. Kelangsungan hidup tertinggi (sekitar 99,7 %) diperoleh pada bandeng yang dipelihara dalam suhu tinggi, tetapi tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan bandeng yang dipelihara dalam suhu normal (sekitar 97,7 %).
Pertumbuhan Ikan Demersal Tidak Dipengaruhi Suhu Air Dasar Laut
Ross dan Nelson (1992) mempelajari pengaruh suhu air di dasar laut terhadap laju pertumbuhan ikan sebelah ekor kuning Pleuronectes ferrugineus dan ikan haddock Melanogrammus aeglefinus di daerah Georges Bank di Samudra Atlantik barat-laut. Mereka menyimpulkan bahwa suhu berkorelasi tidak nyata dengan pertumbuhan kedua spesies ikan ataupun dengan pertumbuhan ikan kelompok umur 2 dan 3 tahun. Selain itu, bila korelasi tersebut bersifat nyata, suhu tidak selalu berhubungan dengan keragaman pertumbuhan individu dalam satu kelompok umur, bahkan selama periode ketika kelimpahan ikan tersebut rendah. Fluktuasi suhu tahunan selama periode penelitian tampaknya hanya memberikan pengaruh sedang terhadap laju pertumbuhan ikan sebelah maupun ikan haddock di Georges Bank.
Bab IX
Toleransi Ikan Mujaer (Cichlidae) Terhadap Suhu
Ikan genus Tilapia dan Sarotherodon merupakan ikan asli Afrika dan Israel, batas utara distribusi mereka. Mujaer asal tropis dengan jelas menunjukkan fisiologi ekologisnya, terutama dalam hal kesukaan suhu selama periode reproduksi (Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982).
Pada tahun-tahun terakhir ini, ikan mujaer telah disebarkan ke seluruh dunia yang suhunya cocok untuk pertumbuhan dan reproduksi mereka. Di banyak bagian dunia mujaer telah diperkenalkan untuk mengendalikan vegetasi, untuk dibudidayakan di kolam dan untuk pemancingan rekreasi. Ikan ini telah memantapkan keberadaannya di banyak danau di Florida, California dan Texas yang suhu musim dinginnya tidak menjadi pembatas. Mereka juga terdapat di daerah-daerah Amerika Serikat lain, di perairan yang dihangatkan sampai melebihi suhu lingkungan normal selama musim dingin oleh sumber air geotermal atau oleh pemanasan buatan dengan memanfaatkan instalasi pembangkit listrik. Beberapa mujaer memiliki potensi akuakultur yang baik karena pertumbuhannya yang cepat, kebiasaan makannya yang herbivora atau omnivora, efisiensi konversi pakannya yang tinggi, tingginya toleransi terhadap kualitas air yang rendah, kemudahan pemijahannya, kemudahan penanganannya, daya tahannya terhadap penyakit dan parasit serta penerimaan konsumen yang baik terhadap ikan ini (Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982).
Salah satu masalah budidaya mujaer di kolam adalah ketidakmampuannya, secara umum, untuk bertahan hidup pada suhu air 10 oC selama lebih dari beberapa hari. Pengaruh suhu terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan telah dipelajari. Hasil laporan penelitian toleransi panas pada mujaer menunjukkan variasi yang besar; masalah ini bersumber dari ketiadaan metode standar. Variasi hasil penelitian tersebut juga bisa disebabkan oleh perbedaan : 1) waktu aklimasi, 2) kualitas air seperti total oksigen terlarut (DO), total padatan terlarut dan salinitas, 3) umur, ukuran, jenis kelamin dan kesehatan ikan, serta 4) lama penurunan suhu (Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982).
Beberapa penelitian (lihat Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982) membuktikan bahwa toleransi terhadap suhu rendah pada mujaer dipengaruhi oleh aklimasi. S. aureus yang diaklimasikan terhadap suhu 28 oC selama dua minggu mulai mati pada suhu 11 oC sedangkan yang diaklimasikan terhadap suhu 18 oC (selama dua minggu) mulai mati hanya pada suhu 9 oC. Percobaan dengan menggunakan S. niloticus menunjukkan bahwa suhu yang disukai adalah 30 oC bila ikan diaklimasikan terhadap suhu antara 15 dan 30 oC. Kesukaan suhu yang lebih rendah, yakni 28 oC, dijumpai bila ikan diaklimaskan terhadap suhu 35 oC.
Menurut Badenhuizen (1967) ikan mujaer juvenil yang sebelumnya diaklimasikan terhadap berbagai suhu akan memilih kisaran suhu 27.0°C sampai 33.5°C, dengan nilai median suhu pilihan teoritis 28.5°C. Disimpulkan bahwa T. mossambica merupakan spesies termofilik (suka panas) yang bisa mati selama musim dingin.
Chervinski (1982) dalam Pullin and Lowe-McConnell (1982) menyatakan bahwa ikan mujaer menjadi tidak aktif pada suhu air di bawah 16 oC, yang merupakan suhu minimal untuk pertumbuhan normal. Reproduksi berlangsung pada suhu di atas 22 oC. Adaptasi mereka terhadap kisaran suhu lingkungan yang stabil membatasi distribusi alami mereka pada daerah-daerah tropis. Aktivitas dan kegiatan makan pada ikan menjadi berkurang pada suhu di bawah 20 oC dan kegiatan makan berhenti sama sekali pada suhu sekitar 16 oC. Walapun mujaer dapat bertahan selama pemaparan singkat (beberapa jam) terhadap suhu 7 sampai 10 oC, kematian dapat terjadi (pada beberapa spesies) pada suhu 12 oC setelah pemaparan yang lama.
Beberapa mujaer lebih toleran terhadap suhu rendah daripada galur lain. Tilapia sparrmanii adalah ikan yang kuat, dapat bertahan pada suhu yang jauh lebih rendah daripada yang bisa ditolerir oleh spesies lain. Toleransi suhu air terendah yang dilaporkan untuk spesies ini adalah 7 oC. Sedangkan T. rendalli dapat bertahan hidup pada suhu 11 oC (lihat Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982).
Di antara ikan pengeram-mulut, Sarotherodon aureus tampaknya paling tahan terhadap suhu rendah. Banyak peneliti (lihat Chervinski, 1982 dalam Pullin and Lowe-McConnell, 1982) melaporkan toleransi ikan ini terhadap suhu rendah. Pada suhu di bawah 10 oC, S. aureus menghentikan semua gerakannya, sedangkan pada suhu 6 - 7 oC ikan ini kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan posisi tubuh. Bagaimanapun, bila dipaparkan terhadap suhu rendah selama hanya beberapa jam ikan ini bisa pulih. Ikan S. aureus lokal di Israel dapat mentolerir suhu 8,0 – 8,5 oC. Ikan S. vulcani, yang diperkenalkan ke Israel dari Danau Rudolf, mati ada suhu 11 – 13 oC. Sebaliknya, ikan hasil persilangannya dengan S. aureus mempunyai batas toleransi suhu rendah 8,0 – 9,0 oC. Suhu 11 oC dilaporkan sebagai batas letal bawah bagi S. niloticus. Persilangan antara S. niloticus betina dan S. aureus jantan serta persilangan S. vulcani betina dan S. aureus jantan memiliki batas-batas toleransi suhu yang sama seperti pada S. aureus. Percobaan serupa menunjukkan bahwa S. aureus lebih toleran terhadap suhu rendah (6,7 oC) (kriteria, 50 % dari ikan kehilangan keseimbangan) daripada S. hornorum (10,0 oC) dan S. niloticus (7,8 oC). Persilangan antara S. niloticus betina dan S. aureus jantan serta persilangan S. hornorum betina dan S. aureus jantan adalah sama seperti pada S. aureus dalam hal toleransi suhu rendah.
Chervinski (1982) dalam Pullin and Lowe-McConnell (1982) meringkaskan hasil-hasil penelitian toleransi ikan mujaer, S. mossambicus, terhadap suhu rendah. Ikan S. mossambicus mati pada suhu antara 8 dan 10 oC . Suhu minimum di mana ikan berhenti makan adalah 15,6 oC dan kematian 100 % terjadi pada suhu 8,3 – 9,4 oC. Toleransi terhadap suhu yang lebih rendah (5,5 oC) telah dilaporkan untuk S. mossambicus di Hanoi, Vietnam. Salinitas mempengaruhi batas toleransi suhu rendah pada S. mossambicus. Ikan S. mossambicus mentolerir suhu 11 oC dalam salinitas 5 ‰ tetapi bila ada dalam air tawar ia tidak dapat bertahan hidup pada suhu tersebut. Diduga bahwa kemampuan S. mossambicus untuk bertahan terhadap suhu rendah adalah berhubungan dengan upaya mempertahankan konsentrasi natrium dan klorida yang tinggi di dalam plasma darah.
Bertolak belakang dengan batas-batas toleransi mereka terhadap suhu rendah, mujaer sangat toleran terhadap suhu air yang tinggi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak peneliti (lihat Chervinski, 1982 in Pullin and Lowe-McConnell, 1982). Ikan S. alcalicus grahami, yang hidup di mata air panas Danau Magadi, Kenya, mentolerir suhu sampai 42 oC. Daya tahan yang serupa terhadap suhu tinggi (sampai 42 oC) ditemukan pada S. shiranus chilwae. Ikan S. aureus menunjukkan sedikit kematian pada suhu 41 oC. Batas letal atas untuk S. niloticus juga telah ditentukan, yaitu 42 oC , sedangkan suhu letal median atas untuk S.mossambicus adalah 38,2 oC.
Mortalitas T. mossambica yang tinggi pernah terjadi di bendungan di Afrika Selatan, terutama di Highveld. Kemungkinan penyebab kematian tersebut adalah musim dingin sehingga mendorong diadakannya penelitian mengenai toleransi suhu dan kesukaan suhu pada spesies ini. Badenhuizen (1967) melaporkan beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa suhu letal median untuk T. mossambica adalah 9,9 oC minimum dan 38,2 oC maksimum. Juga melaporkan bahwa rata-rata suhu untuk T. mossambica dalam habitat alaminya adalah 25 oC, dengan kisaran suhu 21 – 27 oC.
Wilson et al. (2009) menciptakan model untuk menduga kelangsungan hidup mujaer berdasarkan pada “pengalaman panas” individual. Percobaan laboratorium telah dilakukan untuk menentukan lama kelangsungan hidup dua galur tilapia Oreochromis nilotica dan pesilangan O. nilotica × O. aureus, yang terdedah terhadap berbagai nilai suhu dengan tiga suhu minimum dan dua laju penurunan suhu. Tilapia umumnya mampu bertahan hidup pada suhu minimum konstan lebih dari 12 °C tetapi kelangsungan hidupnya dipengaruhi oleh laju penurunan suhu, rasio massa-panjang dan galur. Untuk setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1 °C, tilapia 2,76 kali lebih mampu bertahan hidup. Ikan yang dipaparkan terhadap penurunan suhu yang berlangsung cepat lebih tidak sanggup bertahan hidup daripada ikan yang dipaparkan terhadap penurunan suhu yang berlangsung lambat. Ikan yang lebih tegap (rasio massa-panjang lebih tinggi) lebih sanggup bertahan hidup, sedangkan galur memiliki efek minimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar