Sabtu, 27 Januari 2018

Oksigen Terlarut di Dalam Air dan Konsumsinya Oleh Hewan Akuatik

Bab I
Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan


Fluktuasi Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Laws (2000) menyatakan bahwa perairan dangkal yang teraduk sampai ke dasar sepanjang waktu tampaknya tidak menghadapi masalah kekurangan oksigen musiman. Bila terjadi cukup pengadukan kolom air dan pertukaan gas dengan atmosfer, konsentrasi oksigen dalam perairan seperti ini mungkin tetap hampir jenuh sepanjang waktu. Bila angin berhenti bertiup, bagaimanapun, sehingga pertukaran oksigen dengan atmosfer berjalan lamban, maka konsentrasi oksigen dalam perairan dangkal yang sangat subur bisa jatuh sampai hampir nol dalam waktu beberapa hari atau bahkan beberapa jam. Konsentrasi oksigen terendah terjadi pada malam hari, ketika tidak ada produksi oksigen oleh fotosintesis.

Basin barat yang dangkal di Danau Erie, dengan kedalaman rata-rata hanya sekitar 7,4 meter menyediakan contoh yang baik mengenai sistem perairan subur dan dangkal yang bisa mengalami masalah kekurangan oksigen secara serius setelah beberapa hari ketika cuaca tenang. Kolam budidaya ikan, yang secara khas kedalamannya hanya sekitar 1,0 meter dan menerima sejumlah besar masukan bahan organik dari luar dalam bentuk pakan, memberikan contoh lain mengenai kasus yang lebih parah di mana aktivitas pernafasan organisme di dalam kolam ikan tersebut bisa menghabiskan oksigen dalam waktu beberapa jam pada malam yang tenang (Laws, 2000).

Difusi Oksigen Secara Alami di Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa sulit untuk meramalkan laju perpindahan oksigen dalam kolam karena konsentrasi oksigen terlarut terus-menerus berubah. Pada awal pagi, konsentrasi oksigen terlarut mungkin di bawah titik jenuh, tetapi kemudian pada siang hari kondisi lewat-jenuh (supersaturasi) bisa tercapai akibat fotosintesis. Dengan demikian, oksigen berdifusi ke dalam perairan pada awal pagi dan kemudian keluar dari perairan pada siang hari. Demikian pula, pada awal malam perairan mungkin menjadi lewat jenuh oleh oksigen, tetapi setelah beberapa jam respirasi biota kolam menyebabkannya menjadi tidak jenuh dan terjadi perubahan arah perpindahan neto oksigen. Bila air kolam pada kondisi 50 % kejenuhan saat senja, difusi akan menambahkan 1,69 mg/liter oksigen selama semalam. Konsentrasi oksigen dalam air tersebut mungkin tidak akan meningkat seperti ini karena sebagian oksigen yang masuk akan digunakan untuk respirasi. Dalam kolam yang mulanya jenuh saat senja, akan diperoleh 0,44 mg/liter selama semalam. Perolehan ini disebabkan proses respirasi akan menyebabkan kekurangan oksigen sepanjang malam meskipun perairan tersebut mulanya jenuh. Kehilangan oksigen dari perairan yang semula jenuh oleh gas ini meningkat dengan meningkatnya kejenuhan awal. Telah dilaporkan terjadinya kehilangan oksigen lewat difusi dalam semalam sebesar 3,19 mg/liter pada kolam-kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Besar nilai ini meningkat dengan meningkatnya kejenuhan awal dan kecepatan angin.

Ketersediaan Oksigen Dalam Air dan Dampaknya Bagi Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa ada sedikit oksigen dalam air dibandingkan dalam udara, pada kondisi terbaik sekalipun. Udara mengandung sekitar 20 % oksigen dan sisanya terutama adalah nitrogen serta sejumlah kecil gas-gas lembam (argon, helium). Satu liter air pada suhu 15 oC mengandung hanya sekitar 7 ml (= 10 mg) oksigen dan sekitar dua kali lipat untuk gas-gas lembam karena oksigen tidak terlalu dapat larut dalam air dan bahkan nitrogen lebih tidak dapat larut.

Rendahnya jumlah oksigen dalam air membawa beberapa akibat. Pertama, ikan (dan binatang air lain) harus memompa sejumlah besar air melalui permukaan respirasinya untuk mendapatkan oksigen dalam jumlah yang cukup atau harus membatasi laju metabolismenya sampai ke tingkat yang relatif rendah. Tidak hanya dibutuhkan volume yang besar, air juga 800 kali lebih padat daripada udara sehingga diperlukan banyak energi untuk memompanya. Kedua, ketika ikan mengambil O2 dari air dalam jumlah relatif besar, tekanan parsialnya menurun sebanding dengan fraksi dari O2 total yang diambil itu. Dalam udara, sebagai contoh, pengambilan 5 ml O2 dari satu liter udara berarti mengambil 5/200 oksigen, yang menyebabkan tekanan parsialnya berubah dari 150 menjadi 146 mmHg. Dalam air, pengambilan 5 ml O2 berarti menghilangkan 5/7 dari total gas, sehingga tekanan parsialnya menjadi 43 mmHg. Ikan dengan demikian cepat kehilangan gradien difusi yang diperlukan untuk memindahkan O2 ke dalam darahnya segera setelah mereka mengambil sangat banyak oksigen dari air. Jadi hemoglobin ikan biasanya bekerja pada tekanan parsial yang lebih rendah (memiliki daya ikat terhadap oksigen lebih tinggi) daripada hemoglobin vertebrata yang bernafas dengan udara. Selain itu, ikan tidak bisa memiliki permukaan respirasi yang ekstra luas karena akan menimbulkan masalah osmoregulasi.

Smith (1982) menambahkan bahwa ketersediaan oksigen yang relatif rendah dalam air diturunkan lebih lanjut akibat kondisi alami maupun kegiatan manusia. Kelarutan oksigen dalam air menurun ketika suhu naik dan, sudah tentu, menjadi nol saat mendidih. Kelarutan juga menurun akibat adanya garam, sehingga air laut normal mengandung oksigen sekitar 20 % lebih rendah daripada air tawar pada suhu yang sama. Jadi laut tropis akan menjadi tempat yang sulit untuk bernafas. Banyak jenis polutan akibat kegiatan manusia dan polutan alami juga membutuhkan oksigen, kadang-kadang sampai menyebabkan oksigen dalam air habis sama sekali. Alternatif evolusi untuk bertahan hidup dalam rawa-rawa tropis, di sini tingginya suhu air dan cepatnya pembusukan tumbuhan sering menyebabkan kondisi anoksik (tanpa oksigen), adalah bernafas dengan udara - dan sejumlah ikan melakukan hal ini. Ikan mas koki yang mencaplok-caplok di permukaan air dalam botol ikan yang terlalu kecil menunjukkan upaya yang sama – melepaskan diri dari kondisi tekanan parsial yang rendah – dan upaya memperoleh sedikit udara dengan memanfaatkan lapisan tipis air jenuh-udara di permukaan atau mungkin benar-benar bernafas dengan sedikit udara.

Hubungan Fitoplankton dan Distribusi Oksigen di Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa meskipun sejumlah besar oksigen diproduksi di permukaan perairan, namun akibat stratifikasi termal maka oksigen ini tidak dapat bercampur dengan massa air yang ada di lapisan yang lebih dalam. Konsentrasi oksigen yang tinggi di permukaan perairan mendorong difusi oksigen ke atmosfer, tetapi laju fotosintesis biasanya melebihi laju difusi sehingga permukaan perairan sangat jenuh dengan oksigen terlarut. Pengaruh neto interaksi antara cahaya dan kelimpahan fitoplankton adalah penurunan cepat konsentrasi oksigen terlarut sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman di mana oksigen terlarut 0 mg/liter akan bervariasi sesuai dengan kelimpahan plankton, pengadukan oleh angin dan ukuran kolam, tetapi biasanya kedalaman ini adalah antara 0,5 dan 2 meter.

Perubahan Harian Konsentrasi Oksigen Terlarut di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982), karena pengaruh respirasi dan fotosintesis dan rendahnya laju difusi, maka konsentrasi oksigen terlarut terus-menerus berubah selama periode 24 jam. Konsentrasi oksigen terlarut biasanya paling rendah menjelang fajar, meningkat selama jam-jam siang kemudian memuncak selama sore hari, dan akhirnya menurun lagi selama malam hari. Konsentrasi tertinggi oksigen terlarut pada sore hari biasanya ditemukan pada kolam-kolam dengan kelimpahan plankton tertinggi. Bagaimanapun, air kolam seperti ini juga memiliki laju respirasi yang tinggi, sehingga mereka pun mengalami nilai terendah konsentrasi oskigen terlarut yakni pada awal pagi hari. Kolam yang digunakan untuk membudidayakan ikan channel catfish secara komersial biasanya mempunyai konsentrasi oksigen terlarut melebihi 15 mg/liter pada sore hari dan di bawah 3 mg/liter pada saat fajar.

Boyd (1982) menambahkan bahwa cuaca berawan berpengaruh buruk terhadap pola harian konsentrasi oksigen terlarut. Pada hari yang berawan, fotosintesis tidak berlangsung secepat pada hari yang cerah atau berawan sebagian. Dengan demikian, konsentrasi oksigen terlarut saat sore setelah hari berawan tidak setinggi konsentrasi saat sore setelah hari yang cerah. Hal ini berarti bahwa konsentrasi oksigen terlarut akan berkurang lebih tajam selama malam hari setelah hari berawan daripada setelah hari cerah. Hari-hari berawan yang terjadi berturut-turut bisa menyebabkan kekurangan oksigen terlarut pada kolam dengan plankton melimpah.

Hubungan Kesuburan Danau dengan Variasi Konsentrasi Oksigen Terlarut

Prusik et al. (1989) mempelajari variasi musiman konsentrasi oksigen terlarut di 8 danau dimiktik (danau yang mengalami dua kali pengadukan massa air dalam setahun) di Mazurian Ladeland (Polandia ?). Danau-danau ini berbeda dalam hal derajat kesuburan dan kerusakan ekosistem. Disimpulkan bahwa variasi musiman kondisi oksigen merupakan salah satu faktor dasar yang menyebabkan perbedaan kondisi lingkungan danau. Perbedaan konsentrasi oksigen terlarut ini di lapisan epilimnion (lapisan atas danau yang suhunya relatif sama) dan di bawah lapisan air ini sangat berhubungan dengan kesuburan danau. Variasi terkecil dalam hal konsentrasi oksigen terlarut di lapisan epilimnion terlihat pada danau-danau yang paling tidak subur.

Hubungan Fluktuasi Konsumsi Oksigen Pada Lele Dengan Fluktuasi Konsentrasi Oksigen Terlarut.

Ghosh et al. (1990) melaporkan bahwa ritme yang jelas telah diamati pada penyerapan oksigen bimodal (dua puncak) pada ikan lele siluroid penafas-udara, Clarias batrachus. Penyerapan oksigen total mencapai titik-titik maksimum (222,3 ± 20,25 m/O2/kg/jam) selama fajar (pukul 04 – 06), sedangkan penyerapan oksigen minimum (63,68 ± 5,14 m/O2/kg/jam) dilaporkan pada saat-saat tengah hari (pukul 12 – 14). Tampaknya bahwa fluktuasi metabolisme Clarias batrachus yang beritme ini berhubungan dengan fluktuasi harian konsentrasi oksigen telarut dan karbon dioksida bebas di rawa, tempat ikan lele ini biasa hidup.

Bab II
Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos


Pengaruh Kekurangan Oksigen Jangka Pendek Terhadap Ikan

Seager et al. (2000) melakukan percobaan laboratorium untuk mempelajari pengaruh lama dan frekuensi pemaparan terhadap daya racun rendahnya konsentrasi oksigen terlarut jangka-pendek bagi ikan. Untuk penelitian lama pemaparan, ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss [Walbaum]) dan roach (Rutilus rutilus L.) dipaparkan terhadap satu kisaran konsentrasi oksigen terlarut selama 1, 6 atau 24 jam. Untuk penelitian frekuensi pemaparan, ikan brown trout (Salmo trutta L.) dipaparkan selama 24 jam terhadap konsentrasi oksigen terlarut 4,0 dan 5,5 mg/liter dengan frekuensi satu atau dua kali seminggu selama periode 75 hari.

Seager et al. (2000) menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, bahwa selama waktu tertentu, ada kisaran sempit ambang batas konsentrasi di mana di atas ambang ini tidak terjadi kematian tetapi di bawah ambang tersebut mortalitas menjadi tinggi dan cepat. Kisaran ambang batas konsentrasi ini meningkat dengan meningkatnya lama pemaparan. Ikan roach dapat bertahan hidup pada konsentrasi oksigen yang lebih rendah dibandingkan ikan trout. Pengamatan terhadap hewan uji setelah pemaparan menunjukkan tidak ada efek pasca pemaparan yang nyata, meskipun pada konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah. Untuk penelitian frekuensi pemaparan yang dilakukan di sini, konsentrasi oksigen terlarut, bukannya frekuensi pemaparan, merupakan faktor penting yang berpengaruh bagi ikan. Tidak terlihat adanya efek nyata terhadap laju pertumbuhan tetapi ada perbedaan nyata dalam hal kadar hemoglobin, jumlah sel darah (hematocrit) dan berat organ. Hasil-hasil penelitian ini memiliki implikasi penting dalam penentuan standar kualitas lingkungan yang bertujuan sebagai kontrol terhadap polusi sungai.

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terlarut Terhadap Perikanan Trout di Danau

Weithman dan Haas (1984) melaporkan bahwa Danau Taneycomo, sebuah bendungan pembangkit listrik tenaga air seluas 700 hektar, di Taney County, Missouri barat daya, mendapat pasokan air hipolimnetik dingin dari bendungan di daerah hulunya. Perikanan trout (Salmo gairdneri) dengan model tebar-tumbuh-tangkap telah berjalan mantap di Danau Taneycomo, tetapi keberhasilan perikanan ini berkurang pada setiap musim gugur ketika masa air yang miskin oksigen memasuki danau tersebut. Perikanan ini diteliti secara mendetail dari bulan Juni 1978 sampai Mei 1980. Selama periode ini, rata-rata laju penangkapan ikan trout adalah 0,55 ikan/jam, dan dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut, jumlah ikan yang tersedia untuk ditangkap, laju pemasukan air dari bendungan di bagian hulu, pengalaman pemancing dan suhu air. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebesar 1 mg/liter, antara 6,0 dan 2,4 mg/liter, menurunkan laju penangkapan sebesar 0,1 ikan/jam. Selama musim gugur, perubahan laju penangkapan sebesar 0,1 ikan/jam bisa menyebabkan perubahan 20.000 jam pemancingan di Danau Taneycomo. Perkiraan kerugian ekonomi tahunan bagi perekonomian daerah Taney County akibat rendahnya konsentrasi oksigen terlarut adalah $ 358.000 (kisaran, $ 267.000 - $ 432.000).

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Yang Rendah Terhadap Jaring-Jaring Makanan di Estuaria

Breitburg et al. (1997) menjelaskan bahwa studi ekologi, termasuk studi tentang eutrofikasi pesisir, memberikan penekanan yang bervariasi antara proses level-spesies vs level-ekosistem. Variasi respon spesies terhadap gangguan lingkungan fisik adalah penting dalam menentukan kapan proses level-spesies atau level-populasi akan berdampak kuat bagi organisasi ekologis. Breitburg et al. (1997) melakukan eksperimen laboratorium skala-mesokosmos dan skala-kecil untuk menentukan bagaimana konsentrasi oksigen yang rendah mempengaruhi laju pemangsaan pada zooplankton, larva ikan dan jaring-jaring makanan larva pemangsa yang khas di daerah mesohalin di Teluk Chesapeake. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan dasar Teluk Chesapeake berkurang selama musim panas hingga mencapai level yang secara fisiologis bisa menimbulkan stres atau bersifat letal (mematikan) bagi binatang yang mengandalkan respirasi aerobik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh rendahnya konsentrasi oksigen terhadap interaksi makan-memakan adalah bervariasi antar pasangan spesies dalam jaring-jaring makanan yang dipelajari. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah namun nonletal meningkatkan secara tajam laju pemangsaan terhadap larva ikan (terutama ikan gobi Gobiosoma bosc) oleh ubur-ubur sea nettle (scyphomedusa Chrysaora quinquecirrha) tetapi menurunkan laju pemangsaan oleh juvenil ikan striped bass (Morone saxatilis). Pemangsaan oleh predator tunggal, yaitu sea nettle, meningkat terhadap larva ikan, menurun terhadap telur ikan (Anchoa mitchilli), dan secara nyata meningkat tetapi tidak besar terhadap kopepoda (terutama Acartia tonsa) pada konsentrasi oksigen terlarut rendah. Perubahan interaksi predator-mangsa mencerminkan variasi antar spesies dalam hal toleransi fisiologisnya terhadap oksigen rendah dan pengaruh konsentrasi oksigen rendah terhadap perilaku meloloskan diri pada mangsa, serta terhadap aktivitas renang dan perilaku makan predator. Karena variasi pengaruh terhadap interaksi makan-memakan, konsentrasi oksigen terlarut yang rendah berpotensi menjadi penyebab utama perubahan peranan berbagai jalur lintasan energi di Teluk Chesapeake dan pada sistem estuaria lainnya (Breitburg et al., 1997).

Pengaruh Kekurangan Oksigen Yang Parah Terhadap Makrobentos Laut

Powilleit dan Kube (1999) mendeteksi kekurangan oksigen yang parah di bagian-bagian dangkal Teluk Pomerania (Laut Baltik selatan) untuk pertama kalinya pada bulan Juli/Agustus 1994. Kombinasi kondisi meteorologis dan hidrografi yang tak wajar bersama dengan beban zat hara yang umumnya tinggi di daerah pesisir ini diyakini menyebabkan hipoksia/anoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal/nol) yang luas. Pengaruh kejadian ini terhadap makrobentos dipelajari dengan membandingkan struktur komunitas sebelum dan setelah musim panas 1994 di empat lokasi yang derajat kekurangan oksigennya berbeda-beda. Perubahan struktur komunitas makrobentos yang terlihat di tiga lokasi adalah disebabkan terutama oleh hipoksia/anoksia pada musim panas 1994. Pemulihan makrobentos setelah kekurangan oskigen tidak mengikuti pola suksesi yang umumnya berlaku setelah ada gangguan lingkungan, yang dicirikan oleh rekruitmen masal spesies oportunistik dengan laju pergantian spesies yang cepat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di stasiun 2, lokasi yang menerima dampak paling parah, jumlah spesies, kelimpahan total dan biomas total makrobentos menurun tajam setelah kejadian kekurangan oksigen, dan rekolonisasi masih belum sempurna meskipun sudah dua tahun. Stasiun 1 dan 3, yang menerima dampak sedang, menunjukkan pemulihan yang hampir sempurna dalam hal komposisi dan kelimpahan spesies dalam waktu dua tahun, tetapi biomasnya masih rendah. Sementara terjadi rekolonisasi di stasiun 1 dan 3 oleh individu juvenil dan dewasa dari daerah pesisir di dekatnya yang tidak terkena dampak, suksesi di stasiun 2 didominasi oleh kolonisasi post larva (dari pemencaran planktonik). Stasiun 4 tidak dipengaruhi oleh kekurangan oksigen dan struktur komunitasnya hanya mengalami variasi kecil. Derajat pemulihan amfipoda yang secara umum sangat rendah di tiga stasiun yang terkena dampak dan bahkan pemulihan oligochaeta (Tubificoides (Peloscolex) benedeni dan Heterochaeta (Tubifex) costata) di stasiun 2 merupakan bukti lebih lanjut mengenai parahnya kekurangan oksigen dalam sedimen Teluk Pomerania (Powilleit dan Kube, 1999).



Bab III
Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi


Peningkatan Konsumsi Oksigen Setelah Makan

Menurut Smith (1982), setelah menelan makanan konsumsi oksigen ikan meningkat tajam tanpa ada peningkatan aktivitas. Kejadian-kejadian yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ini disebut “specific dynamic action” (SDA). Bisa langsung diduga bahwa peningkatan konsumsi energi berhubungan dengan sintesis enzim, lendir dan cairan pencernan lain yang diperlukan untuk mencerna makanan, tetapi hal ini tidak benar. Enzim telah ada di dalam sel sebelum ikan makan dan hanya dilepaskan selama pencernaan. Ukuran SDA berhubungan dengan jumlah protein di dalam makanan dan dengan persentase makanan yang digunakan untuk energi, bukannya untuk pertumbuhan. Protein yang dipakai untuk energi harus dibuang gugus aminonya (-NH2) dan kemudian diekskresikan sebagai amonia (NH3), kedua proses ini memerlukan masukan energi. Jadi peningkatan konsumsi oksigen akan diikuti oleh peningkatan ekskresi amonia.

Pengaruh Kadar Protein dan Jumlah Pakan Terhadap Konsumsi Oksigen Setelah Makan

Chakraborty et al. (1992) mengukur laju konsumsi oksigen yang digunakan untuk “specific dynamic action” (SDA) pada ikan mas, Cyprinus carpio, (63,6 – 84,0 gram) yang diberi pakan yang mengandung protein 20, 35 dan 50 % sebanyak 0,40 sampai 1,00 % (dari berat badan ikan) pada suhu 28 oC. Setelah makan, nilai SDA maupun rata-rata nilai maksimum konsumsi oksigen meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar protein pakan dan jumlah pakan. Lama SDA tidak berkaitan secara nyata dengan kadar protein pakan tetapi meningkat secara nyata sejalan dengan peningkatan jumlah pakan. Koefisien SDA adalah 8,99, 13,51 dan 15,94 % untuk kadar protein pakan 20, 35 dan 50 %, yang menunjukkan adanya kaitan langsung dengan kadar protein pakan. Koefisien SDA tidak terpengaruh oleh jumlah pakan. Model SDA yang dihasilkan dari penelitian seperti ini adalah sangat penting bagi pembudidaya ikan karena kebutuhan oksigen pasca-makan dalam budidaya ikan intensif dapat diduga berdasarkan kadar protein dan jumlah pakan.

Konsumsi Oksigen Pada Ikan Yang Kenyang dan Yang Lapar

Johnston dan Battram (1993) mempelajari energetika aktivitas makan pada ikan-ikan demersal yang pola hidupnya sama di Antartika (Notothenia neglecta), Laut Utara (Myoxocephalus scorpius) dan Samudra Hindia (Cirrhitichys bleekeri). Secara umum, laju metabolik individu yang sedang berpuasa adalah berkorelasi positif dengan suhu adaptasi : nilai-nilai untuk standar seekor ikan 100 gram (mg oksigen per jam) adalah 3,3 untuk Notothenia neglecta pada suhu sekitar 0 oC, 2,7 untuk ikan Myoxocephalus scorpius yang teraklimatisasi musim dingin pada suhu 5 oC, 4,3 untuk Myoxocephalus scorpius yang teraklimatisasi musim panas pada suhu 15 oC, dan 7,0 untuk Cirrhitichys bleekeri ada suhu 25 oC. Pada semua spesis, setelah setiap kali kenyang makan, konsumsi oksigen meningkat mencapai maksimum dengan nilai 2 – 3,5 kali nilai pada saat puasa/lapar. Nilai maksimum konsumsi oksigen setelah makan adalah beberapa kali lipat lebih besar pada ikan perairan hangat dibandingkan pada ikan perairan dingin. Setelah mengendalikan pengaruh berat badan dan penyerapan energi dengan analisis kovarian, lama peningkatan laju metabolik, yang merujuk pada “specific dynamic action” (SDA), adalah 3 – 4 kali lebih besar pada ikan perairan hangat dibandingkan pada ikan perairan dingin, yang berkisar dari 57 jam untuk ikan Cirrhitichys bleekeri sampai 208 jam untuk Notothenia neglecta.

Pengaruh Kelaparan, Aktivitas dan Bobot Badan Ikan Terhadap Konsumsi Oksigen

Boyd (1982), dengan mengutip hasil-hasil penelitian lain, menyatakan bahwa oksigen dikonsumsi lebih cepat oleh ikan channel catfish yang baru makan daripada oleh ikan yang tidak makan. Sebagai contoh, nilai konsumsi oksigen pada suhu 28 oC dalam perairan yang mengandung 7 mg/liter oksigen terlarut adalah : segera setelah makan, 520 mg/kg per jam; 1 jam setelah makan, 680 mg/kg per jam; dipuasakan semalam, 380 mg/kg per jam; dipuasakan 3 hari, 290 mg/kg per jam; dipuasakan 9 hari, 290 mg/kg per jam. Lele juga mengkonsumsi lebih banyak oksigen pada saat konsentrasi oksigen terlarut tinggi dibandingkan pada saat konsentrasi oksigen terlarut rendah. Pada konsentrasi oksigen 1 dan 2 mg/liter, ikan yang lapar mengkonsumsi oksigen sebanyak yang dikonsumsi ikan yang telah makan. Dilaporkan bahwa nilai-nilai Q10 (yakni, peningkatan konsumsi oksigen akibat peningkatan suhu 10 oC) adalah 1,9 dan 2,3 untuk ikan channel catfish yang telah makan dan yang lapar, berturut-turut. Ikan kecil mengkonsumsi lebih banyak oksigen per satuan beratnya daripada ikan besar. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa ikan lele kurus mengkonsumsi lebih sedikit oksigen daripada lele gemuk.

Boyd (1982), berdasarkan laporan penelitian lain, menambahkan bahwa laju konsumsi oksigen untuk ikan yang sedang beristirahat pada suhu 26 – 35 oC adalah sebagai berikut : 53 – 195 mg O2/kg ikan per jam untuk bluegill, 100 – 119 mg/kg per jam untuk ikan largemouth bass (Micropterus salmoides), dan 83 – 171 mg/kg per jam untuk channel catfish. Ikan bluegill kecil (< 15 gram) memanfaatkan lebih banyak oksigen daripada bluegill besar (30 – 50 gram), tetapi tidak ada perbedaan nyata dalam hal konsumsi oksigen akibat perbedaan ukuran pada ikan largemouth bass (5 – 80 gram) dan channel catfish (20 – 105 gram). Sayangnya, semua largemouth bass dan channel catfish (yang diamati) berukuran agak kecil; ikan yang lebih besar mungkin mengkonsumsi lebih banyak oksigen. Ketiga spesies ini semuanya mengkonsumsi agak lebih banyak oksigen ketika konsentrasi oksigen rendah daripada ketika perairan jenuh dengan oksigen terlarut. Juga dilaporkan bahwa ikan berukuran cukup besar dari ketiga spesies tersebut menggunakan oksigen dengan laju yang kira-kira sama pada suhu 25 dan 35 oC.

Pengaruh Berat Badan Terhadap Konsumsi Oksigen Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa perubahan berat badan menyebabkan tingkat konsumsi oksigen mengalami perubahan lebih kecil tetapi lebih mudah diramalkan. Walaupun konsumsi oksigen total meningkat dengan bertambahnya ukuran ikan, konsumsi oksigen per satuan berat menurun, sebagaimana laju pertumbuhan. Kedua penurunan ini merupakan ciri khas banyak jenis binatang, berdarah panas (homeotherm) atau pun berdarah dingin (poikilotherm), hidup di air atau di darat.

Pengaruh Berat Badan dan Pertumbuhan Benih Ikan Sidat Terhadap Konsumsi Oksigen

Gallagher et al. (1984) mempelajari konsumsi oksigen dan produksi amonia pada elver (benih ikan sidat) yang laju pertumbuhannya berbeda-beda. Persamaan allometrik yang menjelaskan hubungan antara konsumsi oksigen dan berat badan elver adalah y = 0,638 x0,525, dengan y adalah konsumsi oksigen (mg/jam) dan x adalah berat badan elver (gram). Persamaan allometrik spesifik berat untuk hubungan antara ekskresi amonia dan berat badan adalah y/x = 0,0129 x0,465. Elver yang tumbuh lambat memiliki laju respirasi yang lebih tinggi (0,737 mg oksigen per jam per gram) daripada nilai yang diharapkan untuk ukuran elver tersebut.

Bab IV
Hubungan Tingkat Aktivitas Dengan Konsumsi Oksigen Pada Hewan Air


Pengaruh Aktivitas Terhadap Kebutuhan Oksigen

Seperti organisme lain, ikan membutuhkan oksigen untuk aktivitas metaboliknya (Satyanarayana, 2008). Jumlah oksigen yang dikonsumsi ikan dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, ukuran tubuh, laju makan, dan suhu (Swann, 2007).

Smith (1982) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas berarti peningkatan kebutuhan oksigen, yang melibatkan respon sistem pernafasan dan sistem peredaran darah untuk meningkatkan ketersediaan oksigen. Smith memberi contoh konsumsi oksigen ikan sockeye salmon yang berenang aktif pada suhu 15 oC bisa naik 10 kali lipat dibandingkan konsumsi oksigen ikan yang sedang beristirahat. Hal senada diungkapkan oleh Heath (1987) : bila ikan dipaksa berenang pada kecepatan maksimum, konsumsi oksigen bisa meningkat delapan sampai sepuluh kali atau lebih dibandingkan ikan yang diam.

Tingkat Aktivitas Ketika Konsentrasi Oksigen Terlarut Sangat Rendah

Vaquer-Sunyer dan Duarte (2008) meneliti ambang batas nilai konsentrasi oksigen terendah yang bisa ditolerir oleh 50 % populasi organisme laut (Lethal Concentration 50). Nilai ambang batas tersebut adalah rendah pada cacing polikhaeta, echinodermata serta knidaria; dan yang paling rendah adalah pada gastropoda. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kelompok-kelompok hewan tersebut kurang aktif bergerak sehingga membutuhkan lebih sedikit oksigen dan bisa mentolerir konsentrasi oksigen yang lebih rendah. Demikian pula, udang peliang Calocaris macandreae (Thalassinidea) yang kurang aktif bisa bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut serendah 0.085 mg O2/liter sementara ikan cod (Gadus morhua) yang lebih aktif hanya mampu mentolerir 10.2 mg O2/liter.

Penelitian Vaquer-Sunyer dan Duarte (2008) juga membuktikan bahwa tingkat aktivitas organisme mempengaruhi nilai “Lethal Time 50” (waktu yang dibutuhkan agar 50 % populasi organisme mati pada konsentrasi oksigen tertentu). Nilai LT 50 untuk ikan sebelah Platichthys flesus adalah 23 menit sedang untuk bivalva Astarte borealis pada suhu di bawah 20°C adalah 32 minggu. Ikan yang lebih aktif lebih cepat menghabiskan oksigen daripada bivalva yang “malas” bergerak.

Aktivitas, baik aktivitas tubuh (misalnya berpindah tempat) maupun aktivitas fisiologis (misalnya metabolisme dan denyut jantung), membutuhkan energi yang diperoleh melalui konsumsi oksigen. Untuk mengimbangi kosumsi oksigen yang rendah mahluk hidup melakukan penghematan energi : echinodermata mengurangi aktivitas geraknya, krustasea, moluska dan polikhaeta mengurangi aktivitas mencari makan, knidaria mengurangi laju metabolisme dan beberapa krustasea mengurangi denyut jantung (Vaquer-Sunyer dan Duarte, 2008).

Upaya Meningkatkan Kebutuhan Oksigen Pada Saat Aktivitas Tinggi

Smith (1982) mengemukakan beberapa mekanisme yang dilakukan ikan untuk meningkatkan kebutuhan oksigen pada saat berenang aktif. Beberapa ikan seperti salmon, tuna dan menhaden menahan mulutnya agar terbuka sebagian selama berenang. Walaupun cara ini meningkatkan hambatan air dan upaya renang, namun membantu penyerapan oksigen oleh insang yang dibutuhkan untuk aktivitas renang tersebut .

Beberapa penyesuaian kecil terhadap aktivitas juga dilakukan ikan namun tidak sepenuhnya bisa dijelaskan. “Transfer factor”, yang didefinisikan sebagai penyerapan oksigen dibagi dengan gradien (rasio perbedaan konsentrasi) oksigen antara air dan darah pada insang, meningkat sampai 5 kali lipat selama berenang. Mekanisme perubahan ini mungkin mencakup peningkatan luas permukaan insang, penurunan jarak difusi antara air dan darah, serta perubahan laju reaksi kimia bagi pertukaran oksigen dan karbon dioksida (Smith, 1982).

Pengaruh Aktivitas Terhadap Konsumsi Oksigen di Dalam Sel dan Darah Ikan

Pengaruh aktivitas terhadap kosumsi oksigen telah diteliti pada tingkat seluler. Organela di dalam sel yang berhubungan dengan konsumsi oksigen adalah mitokondria. Moyes et al. (1992) mempelajari laju konsumsi oksigen pada mitokondria ikan yang aktif (tuna) dan ikan yang kurang aktif (ikan mas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen tertinggi pada mitokondria otot jantung adalah dua kali lebih besar pada tuna (Katsuwonus pelamis) dibandingkan pada ikan mas (Cyprinus carpio).

Jumlah eritrosit pada sampel-sampel ikan yang diteliti oleh Siakepere (1984) bersesuaian dengan aktivitas ikan. Jumlah eritrosit berhubungan dengan kapasitas pengangkutan oksigen. Ikan yang aktif membutuhkan banyak oksigen sehingga jumlah eritrositnya lebih banyak.

Pengaruh Aktivitas Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Kepiting

Dari sudut pandang fisiologi, Dayakar et al. (1992) mempelajari pengaruh tingkat aktivitas terhadap konsumsi oksigen pada kepiting. Kepiting Ocypodis platytarsis lebih aktif dan agresif daripada Oziotelphusa senex senex. Laju konsumsi oksigen oleh tubuh binatang dan jaringan serta aktivitas enzim-enzim oksidatif dengan jelas menunjukkan bahwa Ocypodis platytarsis lebih bergantung pada metabolsime aerobik dibandingkan Oziotelphusa senex senex. Adaptasi metabolik ini disesuaikan dengan kondisi hidrologis dan faktor-faktor lingkungan lain dalam habitat kepiting tersebut. Jadi, hewan-hewan yang aktif membutuhkan lebih banyak oksigen.

Peningkatan Aktivitas Ikan Tidak Selalu Berarti Peningkatan Konsumsi Oksigen

Bagaimanapun, pada kondisi tertentu aktivitas ikan tidak selalu berarti peningkatan konsumsi oksigen. Meningkatnya aktivitas organisme pada saat konsumsi oksigen berkurang telah diamati oleh Sloman et al. (2006). Mereka meneliti respon fisiologis dan respon perilaku terhadap hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah nilai normal) pada dua kelompok ukuran ikan oskar (Astronotus ocellatus). Ketika timbul hipoksia ikan mengurangi laju konsumsi oksigen; suatu fenomena yang dikenal sebagai “efek Bohr”. Bila hipoksia terjadi di habitat tanpa ada tempat perlindungan (misal tumbuhan air), ikan besar dan ikan kecil menunjukkan perilaku yang berbeda. Ikan besar mengurangi tingkat aktivitasnya (kecuali perilaku menyerang ikan lain) untuk menekan laju metabolisme sedangkan ikan kecil meningkatkan aktivitasnya dengan tujuan mencari daerah yang kaya-oksigen.



Bab V
Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia


Pengaruh Ketersediaan Oksigen dan Aktivitas Renang Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Ikan

Ketersediaan oksigen bisa membatasi metabolisme, bahkan ketika air jenuh dengan udara. Pada suhu di atas 15 °C, aktivitas ikan dibatasi oleh konsentrasi oksigen karena ikan sockeye salmon berenang dengan pola yang bisa dipertahankan pada kecepatan yang cukup jauh melebihi kecepatan ketika berenang dalam air yag superjenuh dengan oksigen. Pada suhu kurang dari 15 °C, suhu diduga menjadi pembatas – artinya, reaksi molekular yang menghasilkan energi tidak berlangsung cukup cepat sekalipun oksigen tersedia cukup. Suhu dan konsentrasi oksigen diduga menentukan batas atas untuk kebanyakan ikan lain tetapi hubungan ini belum dipelajari secara rinci untuk spesies lain selain sockeye salmon.

Aktivitas sebegitu jauh merupakan faktor tunggal terbesar yang mempengaruhi konsumsi oksigen. Hubungan antara keceparan renang dan konsumsi oksigen merupakan hubungan eksponensial sederhana dengan bentuk yang bisa disamakan seperti bentuk kurva kekuatan-aktivitas untuk peralatan pendorong-air, baik biologis atau mekanis. Tingkat konsumsi oksigen untuk tingkat kekuatan yang melebihi ‘aktif’ tidak dapat diukur, tetapi bisa ditentukan dengan cara ekstrapolasi (yakni perpanjangan kurva) dari bagian kurva sebelah kiri. Sebenarnya, hutang oksigen akan muncul karena sistem pengiriman oksigen tidak bisa bekerja pada tingkat sedemikian tinggi tersebut. Kemiringan kurva kekuatan ini menurun pada suhu yang lebih tinggi untuk sockeye salmon dan pasti berbeda untuk spesis ikan yang berbeda (Smith, 1982).

Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Menurut Smith (1982), setelah menelan makanan konsumsi oksigen ikan meningkat tajam tanpa ada peningkatan aktivitas. Kejadian-kejadian yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ini disebut “specific dynamic action” (SDA). Bisa langsung diduga bahwa peningkatan konsumsi energi berhubungan dengan sintesis enzim, lendir dan cairan pencernan lain yang diperlukan untuk mencerna makanan, tetapi hal ini tidak benar. Enzim telah ada di dalam sel sebelum ikan makan dan hanya dilepaskan selama pencernaan. Ukuran SDA berhubungan dengan jumlah protein di dalam makanan dan dengan persentase makanan yang digunakan untuk energi, bukannya untuk pertumbuhan. Protein yang dipakai untuk energi harus dibuang gugus aminonya (-NH2) dan kemudian diekskresikan sebagai amonia (NH3), kedua proses ini memerlukan masukan energi. Jadi peningkatan konsumsi oksigen akan diikuti oleh peningkatan ekskresi amonia.

Pengaruh Kecepatan Renang dan Konsentrasi Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan Lele

Menurut Sukumaran dan Kutty (1977) selain tingkat aktivitas eksternal, faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen adalah konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam medium di sekitarnya, suhu, salinitas, tingkat kelaparan, derajat aklimasi, pH, musim, dll. Dalam sebuah penelitian, ikan Tilapia mossambica dipaparkan terhadap berbagai konsentrasi oksigen terlarut dan dipaksa berenang selama beberapa jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tilapia mossambica menggunakan energi anaerobik yang cukup besar pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal), dengan memanfaatkan lebih banyak protein selama kondisi hipoksia dan selama latihan jangka panjang. Disimpulkan bahwa produksi amonia anaerobik terjadi selama ikan melakukan aktivitas yang dipaksakan dan pada kondisi hipoksia.

Sukumaran dan Kutty (1977) melaporkan bahwa konsumsi oksigen, ekskresi amonia dan kuosien amonia (ammonia quotient, AQ, yaitu perbandingan volume NH3/volume O2) pada ikan lele, Mystus armatus, yang diaklimasikan terhadap dan diuji pada air tawar bersuhu 30 oC, telah ditentukan dengan mengamati kecepatan renang dan konsentrasi oksigen di medium sekitarnya. Pada kondisi normoksia (konsentrasi oksigen terlarut normal) ikan mempertahankan nilai AQ di sekitar 0,12, sedangkan pada saat konsentrasi oksigen terlarut rendah (kurang dari 2 ppm) nilai AQ meningkat tajam sampai 0,3 yang menunjukkan peningkatan metabolisme protein pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal). Mystus armatus yang dilatih berenang terus-menerus selama 5 jam dengan kecepatan bervariasi memanfatkan lebih banyak protein selama fase latihan terakhir. Peningkatan pemakaian protein mungkin berguna dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dan konsentrasi ion natrium dalam tubuh ikan. Setelah metabolisme Mystus armatus kembali pulih dari kondisi hipoksia, konsumsi oksigen meningkat tajam melebihi pada periode prahipoksia, yang menunjukkan bahwa oksigen sedang ditimbun di dalam tubuh ikan yang mengalami hipoksia.

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan

Penelitian oleh Sukumaran dan Kutty (1977) menunjukkan bahwa meningkatnya ekskresi amonia pada ikan lele adalah sejalan dengan menurunnya konsumsi oksigen selama kondisi hipoksik. Nilai kuosien ammonia (AQ) pada ikan Tilapia mossambica selama fase aerobik cenderung konstan pada nilai sekitar 0,2 tetapi meningkat sampai 1,0 pada konsentrasi oksigen rendah. Kenaikan AQ dengan jelas menunjukkan pelepasan ekstra amonia secara anaerobik. Sesuai dengan pernyataan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino dimanfaatkan sebagai sumber energi anaerobik dalam otot putih ikan karper. Namun, penelitian lain menyimpulkan bahwa adenilat merupakan satu-satunya sumber energi potensial amonia anaerobik.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya penurunan konsumsi oksigen dan peningkatan nilai AQ seperti yang diamati pada ikan Tilapia mossambica dan Rhinomugil corsula selama kondisi hipoksik. Peningkatan nilai AQ pada kondisi hipoksik pertama kali diamati pada Tilapia mossambica dan kemudian pada spesies lain yakni Rhinomugil corsula, Barbus sarana dan ikan mas koki. Peningkatan nilai AQ ini menunjukkan terjadinya peningkatan relatif degradasi protein.

Adalah mungkin bahwa peningkatan relatif produksi amonia selama kondisi anaerobik membantu mencegah terjadinya asidosis. Telah diketahui bahwa produksi metabolik dan pelepasan amonia ke dalam darah lebih besar daripada laju ekskresi ditambah detoksifikasi amonia pada ikan rainbow trout. Juga telah diketahui bahwa pada mamalia, amonia urin meningkat selama asidosis. Yang juga menarik untuk diperhatikan di sini adalah bahwa pada mamalia aktivitas renal glutaminase dipertinggi oleh asidosis. Dalam jaringan saraf mamalia, peningkatan konsentrasi amonia merangsang peningkatan glikolisis. Penelitian menunjukkan bahwa pada mamalia amonia yang terjebak dan terikat pelan-pelan dilepaskan dari sel-sel otot dan otak pada laju yang sesuai dengan aktivitas siklus ornitin selama sintesis urea di dalam hati. Pada ikan adalah mungkin bahwa amomia non-ionik diekskresi melalui difusi pasif mengikuti gradien (perbedaan) konsentrasi menembus permukaan insang dari darah ke air, dan bahwa aktivitas glutaminase dan glutamin acid dehidrogenase adalah tinggi pada insang ikan; bagaimanapun, sumber amonia dapat dikesampingkan atau sebaliknya diperhatikan. Pertukaran ion NH4+ degan Na+ pada insang ikan mas koki dan sidat (Anguilla anguilla) telah diamati oleh beberapa peneliti. Jadi ekskresi amonia juga membantu mempertahankan konsentrasi ion natrium.

Kutty (1972) menjelaskan nilai energi NH4 yang diekskresi oleh ikan Tilapia mossambica pada kondisi hipoksia dan selama aktivitas yang dipaksakan dengan asumsi bahwa amonia merupakan satu-satunya produk akhir metabolisme protein dan bahwa substrat untuk metabolisme protein seluruhnya berupa protein dan bukan senyawa perantara. Dengan asumsi di atas, Kutty menghitung nilai AQ maksimum anaerobik sebesar 0,335 untuk protein. Perhitungan ini juga didasarkan pada nilai dari energitika mamalia, tetapi disesuaikan untuk sistem ikan. Meskipun asumsinya lebar, AQ dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari metabolisme. Nilai rutin 0,24 menunjukkan bahwa sumber energi utama untuk ikan Tilapia mossambica adalah protein. Dibandingkan dengan nilai rutin 0,12 pada ikan lele Mystus armatus, maka ikan lele ini memanfaatkan lebih sedikit protein dalam metabolisme rutinnya. Peranan protein, bagaimanapun, dibatasi oleh asumsi yang dipakai. Sebagai contoh, Kutty juga menunjukkan bahwa deaminasi akhir mungkin bertanggung jawab atas sebagian besar amonia yang dihasilkan, dalam hal ini energi relatif yang diperoleh dari protein jauh lebih sedikit. Tetapi tipe ekskresi NH3 ini pada Tilapia mossambica tidak teramati selama aktivitas yang dipaksakan dan adalah mungkin bahwa amonia yang dihasilkan dalam percobaan ini menunjukkan energi yang sepenuhnya berasal dari metabolisme protein. Bagaimanapun, produksi anaerobik amonia dapat berlangsung terutama dalam kasus di mana nilai AQ lebih tinggi daripada nilai maksimum aerobik 0,335.

Driedzic dan Hochachka (1974) tidak menemukan adanya peningkatan NH4+ yang cukup besar dalam otot putih ikan karper setelah mengalami stres hipoksia, tetapi mereka menemukan adanya peningkatan asam amino nitrogen yang cukup besar di dalam otot. Mereka juga menyatakan bahwa amonia anaerobik diproduksi dari sumber adenilat dalam otot putih ikan karper pada kondisi hipoksia dan nasib NH4+ yang diproduksi belum diketahui. Dalam penelitian ini nilai AQ hipoksia sebesar 0,28 menunjukkan bahwa produksi dan/atau pelepasan amonia anerobik dapat diabaikan, seperti pada perhitungan yang berdasarkan energitika mamalia. Tetapi ada peningkatan ekskresi amonia yang menyolok pada konsentrasi oksigen yang rendah dan pelepasan amonia ekstra bisa berasal dari produksi amonia anerobik atau dari amonia yang terjebak dan/atau terikat dalam sel-sel otot dan darah.

Pengaruh Rendahnya Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Ekskresi Amonia

Regnault (1993) melaporkan bahwa kepiting Cancer pagurus dalam kondisi istirahat telah dipaparkan terhadap hipoksia yang parah (tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr) selama 5 jam pada suhu 15 °C. Laju ekskresi amonia diukur pada kepiting yang diberi makan teratur dan kepiting yang dilaparkan. Penurunan laju ekskresi amonia sebesar 50 % dan 60 % terlihat pada tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr, berturut-turut, pada kepiting yang diberi makan teratur. Penurunan ini tercapai sepenuhnya dalam 1 jam pertama. Pada kepiting yang dilaparkan 2-minggu, laju ekskresi amonia normoksik berkurang sebesar 40 % sebagai akibat kelaparan. Penurunan laju ekskresi lebih lanjut terjadi pada kedua kondisi hipoksia di atas (40 dan 15 Torr) tetapi efek hipoksia tampaknya dipengaruhi oleh efek kelaparan primer.

Referensi :

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 318 pp.

Breitburg, D.L., T. Loher, C.A. Pacey and A. Gerstein. 1997. Varying Effects of Low Dissolved Oxygen on Trophic Interactions in an Estuarine Food Web. Ecological Monographs, Vol. 67, pp. 489 - 507

Chakraborty, S.C., L.G. Ross dan B. Ross. 1992. Specific Dynamic Action and Feeding Metabolism in Common Carp, Cyprinus carpio L. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 103 A, No. 4, pp. 809 - 815

Dayakar, Y., Rao, G.S.S.P. and Rao, K.V.R. 1992. A comparative study on selected oxidative enzyme systems in two species of brachyurans inhabiting different habitats. MAHASAGAR, Vol. 25, no. 1, pp. 39 – 44, ISSN 0542-0938

Gallagher, M.L., E. Kane and J. Courtney. 1984. Differences in Oxygen Consumption and Ammonia Production Among American Elvers (Anguilla rostrata). Aquaculture, Vol. 40, pp. 183 - 187

Ghosh, T.K., G.K. Kunwar and J.S.D. Munshi. 1990. Diurnal Variation in The Bimodal Oxygen Uptake in an Air-Breathing Catfish, Clarias batrachus. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 1, pp. 56 - 59

Heath, A.G. 1987. Water pollution and fish physiology. CRC Press, Inc. Florida. 245 pp.

Johnston, I.A. and J. Battram. 1993. Feeding Energetics and Metabolism in Demersal Fish Species From Antartic, Temperate and Tropical Environments. Marine Biology, Vol. 115, No. 1, pp. 7 - 14

Laws, E.A. 2000. Aquatic Pollution : An Introductory Text. 3rd ed. John Wiley & Sons. New York. 639 pp

Moyes, C.D., Mathieu-Costello, O.A., Brill, R.W. and Hochachka, P.W. 1992. Mitochondrial metabolism of cardiac and skeletal muscles from a fast (Katsuwonus pelamis) and a slow (Cyprinus carpio) fish. Canadian Journal of Zoology, Vol. 70, no. 6, pp. 1246 – 1253

Powilleit, M. and J. Kube. 1999. Effects of Severe Oxygen Depletion on Macrobenthos in The Pomeranian Bay (Southern Baltic Sea): A Case Study in A Shallow, Sublittoral Habitat Characterised by Low Species Richness. Journal of Sea Research, Vol. 42, Issue 3, pp. 221 - 234

Prusik, S. , B. Zdanowski and A. Hutorowicz. 1989. Seasonal Changes of The Environmental Conditions in Dimictic Lakes Differing as to The Trophic State. Roczniki Nauk Rolniczych. Seria H Rybactwo, Vol. 102, No. 2, pp. 41 – 76

Regnault, M. 1993. Effect of A Severe Hypoxia on Some Aspects of Nitrogen Metabolism in The Crab Cancer pagurus. MAR. BEHAV. PHYSIOL., Vol. 22, No. 2, pp. 131 - 140

Satyanarayana, S.K.V. and coauthors. 2008. Manage Book 25 C : Sustainable Fisheries Development. Block-II : Sustainable Open Water Fisheries Development. National Institute of Agricultural Extension Management (MANAGE). Andhra Pradesh. India. 197 pp.

Seager, J., I. Milne, M. Mallett and I. Sims. 2000. Effects of Short-term Oxygen Depletion on Fish. Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 19, Issue 12, pp. 2937 - 2942

Siakepere, O.K., 1984. Haematolgoical characteristics of Clarias ischerensis (sydenham). Journal of Fish Biology, Vol. 27, pp. 259-263.

Sloman, K.A., Wood, C.M., Scott, G.R., Wood, S., Kajimura, M., Johannsson, O.E., Almeida-Val, V.M.F. and Val, A.L. 2006. Tribute to R. G. Boutilier : The effect of size on the physiological and behavioural responses of oscar, Astronotus ocellatus, to hypoxia. Journal of Experimental Biology, Vol. 209, no. 7, p. 1197, ISSN 0022-0949

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Sukumaran, N. and M.N. Kutty. 1977. Oxygen Consumption and Ammonia Excretion in The Catfish Mystus armatus, With Special Reference to Swimming Speed and Ambient Oxygen. Proceedings Indian Academy of Science, Vol. 86 B, No. 3, pp. 195 – 206

Swann, L.D. 2007. A Fish Farmer's Guide to Understanding Water Quality - Part 2. 5M Enterprises Ltd.

Vaquer-Sunyer, R. and Duarte, C.M. 2008. Thresholds of hypoxia for marine biodiversity. Proceedings of the National Academy of Sciences. ISSN 0027-8424. Vol. 105, issue 40, p. 15452

Weithman, A.S. and M.A. Haas. 1984. Effects of Dissolved-Oxygen Depletion on the Rainbow Trout Fishery in Lake Taneycomo, Missouri. Transactions of The American Fisheries Society, Vol. 113, Issue 2, pp. 109 - 124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar