Senin, 14 Mei 2018

Makanan Buatan Untuk Ikan


Daftar Isi


Bab I. Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

- Hubungan Ukuran Makanan dan Laju Pengosongan Lambung Ikan
- Pengaruh Ukuran Makanan Terhadap Sekresi HCl dan Pepsin Oleh Lambung Ikan
- Perilaku Makan Ikan Terhadap Partikel Makanan Yang Berbeda Ukuran
- Pengaruh Keterbatasan Jumlah Pakan Terhadap Fisiologi Ikan
- Pengaruh Kesegaran Makanan Terhadap Kelangsungan Hidup Anak Ikan Sebelah
- Pengaruh Pakan Yang Dimasak Terhadap Pertumbuhan Ikan

Bab II. Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

- Penggunaan Produk Kedelai Untuk Pakan Ikan
- Tepung Kedelai Sebagai Pengganti Tepung Ikan
- Nilai Gizi Protein Kedelai Bagi Juvenil Udang Galah
- Daya Cerna Kasein, Gelatin, Tepung Ikan, Bakteri dan Kedelai Bagi Ikan Sidat
- Gelatinized Ratio Kanji Yang Baik Untuk Pertumbuhan Ikan
- Pengaruh Tepung Kanji Kentang Terhadap Enzim Pencernaan dan Pertumbuhan Ikan Mas
- Kelayakan Protein Dalam Ragi Sebagai Pakan Ikan

Bab III. Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

- Pengaruh Pakan Yang Mengandung Tepung Ikan dan Tepung Cumi-Cumi Terhadap Mutu Telur dan Larva Ikan Yang Dihasilkan
- Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Hal Pengaruhnya Terhadap Mutu Telur Ikan Yang Dihasilkan
- Tepung Cumi-Cumi Untuk Memperbaiki Reproduksi dan Mutu Telur Ikan
- Pengaruh Tepung Ikan, Tepung Cumi-Cumi dan Tepung Udang Krill Dalam Pakan Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan
- Tepung Cumi-Cumi Merangsang Pertumbuhan Juvenil Udang Windu

Bab IV. Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

- Keunggulan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan
- Kelemahan Penggunaan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan
- Alternatif Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Bab V. Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)

- Pakan Buatan Pengganti Pakan Alami Nener
- Tepung Daun Singkong, Kentang dan Kangkung Sebagai Pengganti Tepung Ikan
- Upaya Memanfaatkan Daun Eceng Gondok Untuk Pakan Nener
- Tepung Kacang Sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Bandeng
- Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Buatan
- Mortalitas dan Pertumbuhan Bandeng Muda Yang Diberi Pakan Pelet Trout dan Pelet Kelinci

Bab VI. Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

- Keuntungan Alginat Sebagai Binder dan Sumbernya
- Natrium Alginat Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan
- Pengaruh Binder Dari Alginat dan Guar Gum Terhadap Pertumbuhan Ikan dan Daya Cerna Pakan
- Karakteristik Binder Dalam Pelet Pakan Udang
- Rumput Laut Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Gabus
- Pengaruh Jenis Binder Terhadap Pertumbuhan Juvenil Udang Palaemonidae

Bab VII. Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus


Referensi

Bab I
Pakan Ikan :
Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan


Hubungan Ukuran Makanan dan Laju Pengosongan Lambung Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa salah satu penduga umum bagi laju pengolahan makanan oleh saluran pencernaan adalah waktu yang diperlukan oleh lambung untuk menjadi kosong setelah makan. Walaupun waktu pengosongan lambung diukur dengan banyak ragam metode dan dipengaruhi oleh banyak macam faktor, beberapa generalisasi bisa berlaku umum. Pertama, laju pengosongan (dan pencernaan) lambung sering bersifat eksponensial, hanya sedikit yang mendekati garis lurus (laju pengosongan lambung bersifat konstan). Kedua, makanan berukuran besar dicerna lebih cepat daripada makanan berukuran kecil sebagai perbandingan terhadap ukurannya – misal, makanan yang berukuran tiga kali lebih besar membutuhkan waktu hanya dua kali lebih lama untuk dicerna. Ketiga, suhu merupakan pengendali yang sangat kuat terhadap laju pengosongan lambung. Makanan berlemak tinggi dicerna paling lambat, dan pengosongan lambung tahap akhir bisa tertunda oleh adanya bahan-bahan tak tercerna seperti rangka luar krustasea (kitin). Jarak antar waktu makan yang lebih lama biasanya berarti bahwa makanan yang lebih besar akan ditelan bila tersedia cukup makanan, namun ikan sockeye salmon tidak akan memakan makanan berukuran maksimal di bawah suhu 10 oC atau di atas 20 oC. Berbeda dengan salmonidae, ukuran makanan maupun jarak antar waktu makan pada sunfish tampaknya tidak mempengaruhi laju pencernaan lambung.

Pengaruh Ukuran Makanan Terhadap Sekresi HCl dan Pepsin Oleh Lambung Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa produksi asam lambung sebanding dengan ukuran makanan maupun suhu. Pembesaran lambung tampaknya merupakan perangsang untuk memulai sekresi lambung. Ikan tak berlambung tidak menghasilkan HCl maupun pepsin. Pengasaman isi lambung bervariasi sesuai dengan tipe dan jumlah makanan. Karena kebanyakan bahan makanan memiliki aksi buffer, maka lebih banyak HCl yang diperlukan bagi makanan yang lebih besar. Dalam hal makanan padat seperti ikan mangsa, pH optimum yang diperlukan mungkin hanya dicapai pada lapisan terluar makanan tersebut.

Perilaku Makan Ikan Terhadap Partikel Makanan Yang Berbeda Ukuran

Vilenkin dan Berezkina (1992) melaporkan bahwa spesimen tunggal ikan Puntius arulius diberi secara acak partikel makanan berukuran sama atau berbeda dengan selang waktu 2 menit selama 3 jam. Ketika ikan diberi pakan homogen berukuran partikel kecil atau sedang, mereka mula-mula memakan setiap partikel makanan tetapi kemudian mengkonsumsi secara bergantian dengan penolakan. Ketika disediakan partikel makanan besar atau campuran partikel makanan dengan berbagai ukuran, penolakan tampak pada awal percobaan. Lama makan tanpa penolakan dan laju makan (mg/menit) berkurang dengan meningkatnya berat partikel makanan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi makanan sebanyak 5 % dari berat badan adalah minimum bila ikan diberi partikel makanan berukuran sedang, dan selalu lebih lama bila ikan diberi partikel makanan dengan ukuran berbeda-beda.

Pengaruh Keterbatasan Jumlah Pakan Terhadap Fisiologi Ikan

Farbridge et al. (1992) memberi pakan sampai kenyang 4 kali sehari untuk ikan pra dewasa rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, dengan macam perlakuan 5 hari (5 H), 3 hari (3 H) atau 1 hari (1 H) dalam seminggu selama 42 hari (periode perlakuan) dan kemudian diberi pakan sampai kenyang 4 kali sehari, 5 hari dalam seminggu, selama 56 hari (periode pasca perlakuan). Selama periode perlakuan, kelompok 1 H dan 3 H menunjukkan penurunan pertumbuhan (berat badan basah), peningkatan kompensasi konsumsi pakan pada hari-hari pemberian pakan, perubahan rasio pakan : perolehan berat, pengurangan jaringan lemak dalam usus dan berat basah hati, peningkatan kadar air daging, penurunan kadar lipida dalam daging dan hati, penurunan konsentrasi hormon tiroksin T4, tiroksin T3, hormon pertumbuhan (hanya pada kelompok 1 H) dalam plasma darah, serta penurunan aktivitas 5’-monodeiodinase hepatik (konversi T4 hati). Selama periode pasca perlakuan, kelompok 1 H dan/atau 3 H menunjukkan – sebagai kompensasi atas kelaparan yang telah dialaminya selama periode perlakuan – peningkatan laju pengambilan makanan dan penimbunan jaringan lemak pada usus, kadar lipida daging dan hati, kadar air daging dan berat basah hati.

Pengaruh Kesegaran Makanan Terhadap Kelangsungan Hidup Anak Ikan Sebelah

Baynes dan Howell (1993) melaporkan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup juvenil ikan sebelah, Solea solea, yang diberi pakan semata-mata berupa kerang hijau Mytilus edulis segar atau yang dipanasi dan dibekukan (disimpan), telah dibandingkan. Juga dilakukan pengujian terhadap efek penambahan pakan berupa kerang segar sebanyak satu dan dua kali seminggu untuk anak ikan yang diberi pakan kerang yang disimpan. Selama 9 minggu percobaan, kelangsungan hidup anak ikan yang diberi pakan kerang segar adalah melebihi 90 %.

Sebaliknya, kelangsungan hidup anak ikan yang diberi pakan kerang yang disimpan adalah kurang dari 3 %. Pemberian tambahan pakan berupa kerang segar dua kali seminggu meningkatkan kelangsungan hidup sampai mencapai tingkat yang sama dengan anak ikan yang diberi kerang segar saja, walaupun laju pertumbuhannya secara nyata lebih rendah. Mortalitas anak ikan yang diberi pakan kerang yang disimpan adalah berkaitan dengan kejadian penyakit “black patch necrosis” (BPN; nekrosis bercak hitam). Ikan yang diberi pakan kerang segar tidak mengembangkan gejala-gejala penyakit ini meskipun berdekatan dengan ikan yang sakit dan tidak ada tanda-tanda awal penyakit untuk mencegah penularannya. Ikan tidak diberi substrat pasir, yang sering dianggap perlu untuk pertumbuhan ikan sebelah. Diduga bahwa kombinasi nutrisi yang cukup dan kebersihan tangki diperlukan guna mencegah kejadian BPN dan bahwa penyediaan substrat pasir bukanlah syarat mutlak bagi keberhasilan budidaya anak ikan sebelah ini.

Pengaruh Pakan Yang Dimasak Terhadap Pertumbuhan Ikan

Gomes dan Kaushik (1990) menyatakan bahwa peningkatan kadar energi tercerna (digestibility energy) bisa memperbaiki penampilan pertumbuhan dan efisiensi retensi protein pada ikan rainbow trout. Percobaan pertumbuhan dan daya cerna telah dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penambahan triticale (sejenis hibrida antara gandum x rye, varietas heksaploid) sebagai sumber potensial energi tercerna bagi rainbow trout. Telah dibuat empat jenis pakan dengan berbagai kadar triticale alami (0 – 30 % bahan kering) dan 2 jenis pakan lain dengan triticale yang diberi perlakuan pemasakan pendahuluan sebanyak 20 dan 30 % bahan kering. Semua pakan mengandung protein berkadar sama (protein kasar 43 % bahan kering) dan kadar energi sama (energi kotor 20 kJ/gram bahan kering). Daya cerna bahan kering, kanji dan energi dipengaruhi oleh kadar dan kealamian triticale. Pemasakan (15 menit, 110 oC) memperbaiki daya cerna gizi pakan yang mengandung triticale. Penampilan pertumbuhan dan efisiensi retensi gizi adalah lebih tinggi pada ikan yang diberi pakan yang mengandung triticale yang dimasak pendahuluan dibandingkan pada ikan yang diberi pakan yang mengandung triticale alami pada jumlah yang setara. Triticale tampaknya berpotensi sebagai bahan pakan ikan guna memperbaiki daya cerna kanji.

Bab II
Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan


Penggunaan Produk Kedelai Untuk Pakan Ikan

Lovell (1991) dalam Akiyama and Tan (1991) memberikan ulasan mengenai kebutuhan gizi binatang air, yang menjadi sumber makanan manusia, juga membahas efisiensi produk kedelai dalam memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Tepung kedelai memiliki profil asam amino yang paling sesuai bagi ikan di antara banyak jenis pakan nabati komersial; ia lezat bagi kebanyakan spesies dan tersedia di pasaran dunia dengan harga yang biasanya jauh lebih murah daripada tepung ikan. Dengan penambahan energi, mineral dan mungkin metionin serta lisin secukupnya, tepung kedelai komersial bisa menggantikan sebagian besar tepung ikan dalam pakan beberapa spesies ikan.

Tepung Kedelai Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Akiyama (1991) dalam Akiyama dan Tan (1991) menyatakan bahwa tepung kedelai tampaknya sangat mudah dicerna oleh udang laut terutama protein dan asam-asam aminonya. Ada sedikit perbedaan daya cerna tepung kedelai oleh tiga spesies udang laut : Penaeus vannamei, Penaeus monodon dan Penaeus japonicus. Fraksi karbohidrat dari tepung kedelai tampaknya menurunkan daya cerna bahan kering total. Beberapa penelitian telah berhasil mengganti tepung ikan dan tepung udang dengan tepung kedelai. Bila mengganti tepung binatang laut ini dengan tepung kedelai, orang harus mempertimbangkan tidak hanya protein tetapi juga energi, asam-asam lemak, mineral dan zat-zat gizi lain yang ada dalam tepung binatang laut tetapi tidak terkandung dalam tepung kedelai. Pengolahan tepung kedelai lebih lanjut mungkin bisa meningkatkan nilai gizinya bagi udang laut. Ada sedikit keraguan bahwa tepung kedelai bisa menggantikan sejumlah besar tepung binatang laut dalam mempertahankan produksi udang, meskipun semua zat gizi yang dibutuhkan tersedia.

Nilai Gizi Protein Kedelai Bagi Juvenil Udang Galah

Koshio et al. (1992) melakukan percobaan pemberian pakan untuk mengevaluasi nilai gizi protein kedelai bagi juvenil udang air tawar Macrobrachium rosenbergii (berat awal rata-rata 0,1 gram) dibandingkan dengan pekatan protein kepiting. Kadar protein pakan yang diuji berkisar dari 30 sampai 55 % dengan selang sekitar 7 % dan kadar energi pakan dipertahankan konstan (4,3 kcal/gram) dengan menyesuaikan kadar karbohidrat (α-kanji dan dekstrin). Walaupun perolehan berat untuk kelompok pakan pekatan protein kepiting tampaknya lebih tinggi daripada kelompok pakan protein kedelai pada setiap kadar protein, tidak ada perbedaan yang nyata secara statistik antara kedua kelompok pakan tersebut, kecuali untuk udang yang diberi pakan yang mengandung kadar protein tertinggi kedua (sekitar 47 %). Pada kelompok pakan protein kedelai, efisiensi konversi pakan dan rasio efisiensi protein cenderung lebih baik daripada kelompok pakan pekatan protein kepiting dalam setiap kadar protein kecuali untuk udang yang diberi pakan berkadar protein tertinggi kedua (sekitar 47 %).

Daya Cerna Kasein, Gelatin, Tepung Ikan, Bakteri dan Kedelai Bagi Ikan Sidat

Schmitz et al. (1984) menentukan daya cerna protein kasar dan bahan organik yang terkandung dalam kasein, gelatin, tepung ikan, protein bakteri, pekatan protein kedelai dan tepung kedelai bagi ikan sidat Anguilla anguilla. Pada ikan sidat seberat antara 170 dan 230 gram, daya cerna protein kasar dan bahan organik telah ditentukan untuk pakan yang dimasukkan ke dalam lambungnya dengan dibungkus kapsul gelatin. Nilai-nilai daya cernanya diperoleh setelah mengumpulkan tinja ikan tersebut yang dimulai pada hari ketiga sesudah ikan memakan satu jenis pakan tertentu. Daya cerna protein kasar dan bahan organik, berturut-turut, adalah sebagai berikut : kasein 0,99 dan 0,98; gelatin 0,94 dan 0,94, tepung ikan 0,94 dan 0,87, protein bakteri 0,89 dan 0,88, pekatan protein kedelai 0,96 dan 0,76, tepung kedelai 0,94 dan 0,68. Tampaknya bahwa daya cerna bahan organik non protein membatasi penggunaan produk-produk kedelai.

Gelatinized Ratio Kanji Yang Baik Untuk Pertumbuhan Ikan

Takeuchi et al. (1992) melakukan percobaan untuk meneliti ketersediaan kanji bergelatin (α-) dan kanji mentah (β-) sebagai sumber energi dalam pakan juvenil ikan stripped jack Pseudocaranx dentex dan ikan ekor kuning Seriola quinqueradiata. Kedua jenis ikan ini diberi makanan tiga macam pakan yang mengandung 10 % kanji - α atau kanji – β, dan campuran kedua kanji masing-masing 5 %. Gelatinized ratio (GR) ketiga jenis pakan ini adalah 100 %, 16,6 % dan 50 %, berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GR pakan untuk kedua jenis ikan ini sebaiknya di atas 50 % guna memperoleh pertumbuhan ikan yang lebih baik.

Pengaruh Tepung Kanji Kentang Terhadap Enzim Pencernaan dan Pertumbuhan Ikan Mas

Kawai dan Ikeda (1972), dengan tujuan meneliti respon enzim-enzim pencernaan terhadap perubahan pakan, memberi makan ikan mas muda (Cyprinus carpio) dengan pakan yang mengandung berbagai konsentrasi protein dan karbohidrat selama 75 hari. Tepung ikan digunakan sebagai sumber protein dan kanji kentang sebagai sumber karbohidrat. Aktivitas maltase, amilase dan protease usus menunjukkan adaptasi terhadap perubahan pakan dalam waktu seminggu, dan ketiga

enzim ini menunjukkan aktivitas yang secara umum tinggi pada kelompok ikan yang diberi pakan mengandung 40 – 60 % kanji selama periode percobaan. Laju pertumbuhan yang rendah ditemukan hanya pada kelompok ikan yang menerima pakan berkanji tinggi (90 % kanji) dan perbedaan yang jelas tidak terlihat di antara ketiga kelompok lainnya (20, 40 dan 60 % kanji dalam pakan). Bila empat jenis karbohidrat (maltosa, sukrosa, laktosa dan kanji) digunakan sebagai sumber karbohidrat, aktivitas maltase dan amilase dalam usus setelah 10 hari pemberian pakan adalah tinggi pada ikan mas yang makanannya mengandung kanji atau laktosa. Aktivitas protease usus pada ikan mas muda dengan jelas menunjukkan adaptasi terhadap konsentrasi tepung ikan di dalam pakan apabila konsentrasi kanji di dalam pakan dibuat konstan. Laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi tepung ikan di dalam pakan.

Kelayakan Protein Dalam Ragi Sebagai Pakan Ikan

Rumsey et al. (1992) memberi makanan kepada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan pakan yang mengandung ekstrak asam nukleat ragi berkonsentrasi 0,6 %, 1,6 %, 2,5 % dan 4,1 % yang bersesuaian dengan konsentrasi ragi Saccharomyces cerevisiae 7,5 %, 20 %, 30 % dan 50 % sementara kelompok ikan lain diberi pakan yang mengandung pelengkap berupa purin bebas (adenin, guanin, xantin dan hipoxantin) dan bersifat isonitrogen (kandungan nitrogen sama) dalam dua penelitian yang berlangsung selama 12 minggu. Ikan yang diberi pakan ekstrak ragi dengan kadar makin tinggi menunjukkan penambahan peningkatan pertumbuhan dan “retention” (penyimpanan) nitrogen. Tidak terlihat adanya efek negatif terhadap pengambilan makanan. Bila ikan diberi pakan dengan pelengkap purin bebas, adenin terlihat menjadi penghambat potensial bagi pengambilan makanan dan pertumbuhan. Bila dilengkapi dengan jenis-jenis purin yang lain maka tidak ada efek negatif terhadap pengambilan makanan dan pertumbuhan, dan penyimpanan nitrogen di dalam daging ikan secara nyata tertekan, yang menunjukkan tidak adanya efek penghematan nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arti penting gizi adenin bebas dalam pakan versus adenin yang terikat asam nukleat dalam ragi atau asam nukleat ragi merupakan pertimbangan penting dalam mengevaluasi kelayakan protein sel tunggal (ragi) dalam penyusunan formula pakan ikan.

Bab III
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang


Pengaruh Pakan Yang Mengandung Tepung Ikan dan Tepung Cumi-Cumi Terhadap Mutu Telur dan Larva Ikan Yang Dihasilkan

Watanabe et al. (1984b) melakukan percobaan pemberian pakan berjangka relatif lama untuk membandingkan mutu gizi sumber protein antara tepung ikan white fish dan tepung cumi-cumi dan meneliti kadar protein optimum dalam pakan induk ikan red sea bream (Pagrus major) untuk reproduksinya. Persentase telur yang mengapung, total penetasan dan larva normal yang diperoleh tidak berbeda menyolok di antara telur yang diproduksi induk yang menerima berturut-turut berbagai pakan dengan berbagai kadar protein kecuali yang diperoleh dari induk ikan yang diberi pakan mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada induk yang diberi pakan kontrol yang mengandung tepung white fish (protein kasar 45 %) jumlah rata-rata telur yang diproduksi selama periode percobaan adalah 2.051.000 butir per ikan, dan 61,8 % dari telur-telur ini ditemukan terapung (telur normal terapung di permukaan air, sedangkan telur tak normal tenggelam di dasar tangki). Sementara untuk telur yang diproduksi oleh induk yang menerima pakan tepung cumi-cumi, proporsi telur terapung paling tinggi (83,5 %) di antara kelompok-kelompok percobaan. Selain itu, persentase larva normal yang bisa menjadi ikan benih meningkat tajam dari 24,2 % menjadi 79,5 % dengan mengganti tepung ikan white fish dengan tepung cumi-cumi sebagai sumber protein. Jadi makin kuat bukti bahwa tepung cumi-cumi lebih unggul daripada tepung ikan white fish sebagai sumber protein dalam pakan bagi induk ikan red sea bream. Kadar protein optimum tidak bisa ditentukan dengan jelas dalam percobaan ini, tetapi diperkirakan sekitar 45 % berdasarkan hasil-hasil penelitian ini dan penelitian terdahulu.

Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Hal Pengaruhnya Terhadap Mutu Telur Ikan Yang Dihasilkan

Wanabe et al. (1984a) melakukan percobaan pemberian pakan untuk memastikan hubungan antara mutu pakan dan pemijahan atau mutu telur yang dihasilkan induk ikan red sea bream yang diberi berbagai pakan dengan berbagai mutu yang berbeda. Pada induk yang diberi pakan tepung daging ikan white fish, jumlah rata-rata telur yang diproduksi selama periode percobaan sekitar 2 bulan adalah 1.005.000 butir per ikan, dan 80,9 % dari telur-telur ini mengapung (normal). Pada kelompok yang diberi pakan berprotein rendah tanpa tambahan fosfor, nilai ini lebih rendah dibandingkan kontrol. Jumlah telur yang diproduksi ikan betina yang diberi pakan kekurangan EFA (essential fatty acid; asam lemak esensial) bisa disamakan dengan pada kontrol, tetapi proporsi telur yang mengapung adalah paling rendah, lebih dari 75 % telur yang dihasilkan tenggelam. Kedua nilai ini tertinggi pada kelompok yang menerima pakan mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein, yang menghasilkan produktivitas tinggi larva hidup sebagai ikan benih. Induk betina yang menerima, berturut-turut, pakan berprotein rendah, pakan kekurangan fosfor dan pakan kekurangan EFA memproduksi telur dengan daya tetas secara nyata rendah dan selain itu larva yang menetas menunjukkan tubuh yang cacat dan jumlah atau posisi butiran minyak dalam kuning telur tidak normal. Jadi penelitian ini menunjukkan bahwa reproduksi ikan red sea bream sangat dipengaruhi oleh mutu gizi pakan induk dan bahwa tepung cumi-cumi lebih unggul dibandingkan tepung ikan white fish sebagai sumber protein dalam pakan induk red sea bream.

Tepung Cumi-Cumi Untuk Memperbaiki Reproduksi dan Mutu Telur Ikan

Watanabe et al. (1991) menyatakan bahwa dalam serangkaian penelitian mengenai nutrisi ikan induk red sea bream Pagrus major, disimpulkan bahwa pemijahan dan mutu telur sangat ditingkatkan oleh pemberian pakan yang mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein atau mengandung udang krill mentah-beku tak lama sebelum pemijahan atau selama pemijahan. Penambahan beta-karoten dan canthaxanthin atau ekstrak minyak krill yang mengandung astaksantin ke dalam pakan ikan juga memperbaiki mutu telur. Peranan udang krill mentah-beku yang meningkatkan reproduksi ikan red sea bream mungkin disebabkan adanya pigmen karotenoid di dalam krill. Produktivitas larva hidup dari total telur yang dihasilkan oleh seekor ikan betina adalah berkisar antara 24 sampai 39 % pada induk yang diberi pakan kontrol yang mengandung tepung ikan white fish dalam rangkaian percobaan yang berlangsung selama 8 tahun ini. Daya hidup larva ikan meningkat menjadi 70 – 90 % bila tepung ikan white fish diganti dengan tepung cumi-cumi, dan menjadi 68 – 80 % dengan memberi pakan berupa udang krill mentah-beku.

Salah satu perbedaan kimiawi utama antara tepung ikan white fish dan tepung cumi-cumi adalah tingginya kadar kalsium dan fosfor pada tepung ikan white fish, yang berasal terutama dari trikalsium fosfat (hidroksiapatit) di dalam tulang. Diduga bahwa trikalsium fosfat dalam jumlah banyak memberikan dampak negatif terhadap reproduksi ikan red sea bream. Penambahan sejumlah besar alfa-tokoferol ke dalam pakan induk ikan juga terbukti efektif dalam memperbaiki pemijahan dan mutu telur.

Pengaruh Tepung Ikan, Tepung Cumi-Cumi dan Tepung Udang Krill Dalam Pakan Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan

Watanabe et al. (1991) memberi makanan kepada induk ikan red seabream dengan berbagai jenis pakan yang berbeda-beda mutu gizinya selama 26 hari atau kurang sebelum pemijahan untuk menentukan komponen-komponen efektif dalam tepung cumi-cumi dan udang krill mentah yang mempengaruhi mutu telur ikan yang dihasilkan. Persentase telur terapung (normal) adalah paling rendah pada kelompok kontrol yang menerima pakan tepung ikan white fish, dan ditingkatkan oleh penambahan 200 mg DL-alfa-tokoferil asetat. Persentase ini juga meningkat secara efektif bila tepung ikan white fish sebagai sumber protein diganti dengan tepung cumi-cumi utuh atau yang lemaknya telah dikurangi. Pemberian pakan kepada induk ikan dengan udang krill mentah-beku setelah sebelumnya diberi pakan kontrol menyebabkan peningkatan persentase telur terapung dan larva normal. Hasil yang sama baiknya juga diperoleh bila minyak hati cumi-cumi dalam pakan kontrol diganti dengan 2,5 % lipida polar krill atau 2,5 % lipida non polar krill.

Bagaimanapun, tepung udang krill yang telah dikurangi lemaknya ataupun fraksi tepung cumi-cumi yang larut-lemak tidak memberikan efek positif bagi mutu telur. Dengan demikian keunggulan tepung cumi-cumi dibandingkan dengan tepung ikan white fish sebagai sumber protein bagi induk ikan seabream telah dapat dibuktikan lagi. Komponen-komponen efektif dalam udang krill mentah, yang membantu reproduksi ikan seabream, diduga adalah fraksi lipida polar dan non polar. Selain itu, vitamin E juga terbukti memberikan efisiensi yang sama dalam memperbaiki mutu telur ikan.

Tepung Cumi-Cumi Merangsang Pertumbuhan Juvenil Udang Windu

Cruz-Suarez dan Ricque. (1992) memelihara tiga kelompok udang windu Penaeus monodon di Tahiti pada tangki dalam-ruangan dan pada bagian kolam yang dibatasi jaring tanpa-dasar. Udang diberi pakan kontrol atau pakan modifikasi yang bersifat isoenergi (kandungan energi sama) dan isonitrogen (kandungan nitrogen sama) yang diberi tambahan 10 % tepung cumi-cumi sebagai pengganti pekatan protein ikan. Di kolam ini, kelompok udang lainnya tidak diberi pakan. Mortalitas tidak berbeda nyata antar kelompok kecuali untuk udang yang tidak diberi pakan. Pertumbuhan secara nyata dipengaruhi baik oleh penambahan tepung cumi-cumi maupun oleh kondisi pemeliharaan. Udang yang dipelihara dalam kolam tumbuh secara nyata lebih cepat dan memiliki rasio konversi yang lebih baik daripada udang yang dipelihara dalam tangki. Peningkatan pertumbuhan yang disebabkan oleh tepung cumi-cumi adalah 44,5 % dan 34,6 % dalam kolam dan tangki, berturut-turut. Udang yang tidak diberi pakan di kolam tidak tumbuh tetapi tidak kehilangan bobot badannya, mungkin karena mereka memakan pakan alami. Hasil-hasil ini menunjukkan adanya efek perangsangan pertumbuhan pada tepung cumi-cumi dan membuktikan bahwa efek tersebut ada bahkan pada kondisi di mana pakan alami tersedia

Bab IV
Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex


Keunggulan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan

Meskipun hidupnya di dalam lumpur kotor yang tercemar limbah domestik, di parit dan selokan pembuangan limbah rumah tangga dan rawa-rawa (Simms, tanpa tahun; Anonymous-1, tanpa tahun), namun Tubifex terkenal di kalangan pembudidaya benih ikan. Di alam liar cacing ini merupakan makanan kesukaan banyak jenis binatang air (Anonymous-2, tanpa tahun; Anonymous-3, 2008; Selman, tanpa tahun). Demikian pula, Tubifex sering diberikan sebagai pakan alami di kolam pemeliharaan benih ikan. Tubifex bisa diberikan dalam keadaan hidup maupun mati karena cacing ini bisa disimpan beberapa hari di dalam refrigerator (Anonymous-3, 2008).

Banyak peneliti yang melaporkan keunggulan Tubifex sebagai makanan ikan, dibandingkan pakan buatan maupun jenis-jenis pakan alami lainnya. Chumaidi dan Priyadi (2006), misalnya, melaporkan bahwa pemberian pakan hidup Tubifex sp. meningkatkan laju pertumbuhan harian benih botia paling tinggi dibanding pemberian kutu air (Moina sp.) dan nauplii Artemia sp. Hasil penelitian Evangelista et al. (1990) menunjukkan bahwa larva lele memanfaatkan organisne hidup lebih efisien daripada pakan buatan. Larva yang diberi pakan Tubifex memiliki laju pertumbuhan paling tinggi. Mereka menyimpukan bahwa Tubifex merupakan makanan istimewa dan berpotensi menggantikan Artemia dalam pemeliharaan larva lele. Simms (tanpa tahun), yang mengamati pemberian Tubifex pada benih ikan salmon, menyatakan bahwa benih ikan yang diberi pakan Tubifex memiliki darah dan tulang yang lebih baik daripada benih ikan yang diberi pakan buatan.

Kelemahan Penggunaan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan

Ada kekhawatiran bahwa pemberian Tubifex ke kolam ikan mengandung resiko masuknya bakteri yang tak dikehendaki (Simms, tanpa tahun). Resiko ini sangat kecil, dan sejauh ini tidak ada laporan mengenai kejadian serius berkaitan dengan hal tersebut (Anonymous-3, 2008). Hal senada diungkapkan oleh Anonymous-2 (tanpa tahun) Bagaimanapun, penggunaan cacing Tubifex sebagai pakan memiliki dampak negatif. Walaupun organisme ini disukai banyak spesies ikan, namun ia bisa mencemari media air budidaya akibat cairan dan sisa-sisa tubuh yang tak termakan (Anonymous-1, tanpa tahun). Di samping pasokannya yang tidak kontinyu, kelemahan utama penggunaan cacing Tubifex sebagai pakan ikan adalah harganya yang mahal (Simms, tanpa tahun).

Faktor harga tersebut mendorong usaha-usaha pencarian pakan buatan yang bisa menggantikan Tubifex. Pakan buatan ini harus banyak mengandung protein karena Tubifex kaya akan jenis gizi ini (Anonymous-3, 2008). Selain itu perlu dipertimbangkan fakta bahwa banyak spesies ikan yang tidak tertarik pada makanan buatan yang tidak bergerak dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan makanan yang diam seperti ini (Anonymous-1, tanpa tahun).


Alternatif Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Beberapa peneliti mempelajari kemungkinan penggunaan pakan buatan sebagai pengganti cacing Tubifex. Sebagai contoh, Ronyai (1992) melakukan penelitian yang memberi kesimpulan bahwa pemberian cacing Tubifex untuk pakan larva ikan Acipenser bisa dihentikan dan selanjutnya diganti dengan pakan buatan. Hasil penelitian Suryanti, dkk. (2006) menunjukkan bahwa benih ikan botia ukuran 1½ inci dapat memanfaatkan pakan buatan sebagai pengganti cacing Tubifex. Hal ini sejalan dengan perkembangan aktivitas enzim pencernaannya.

Subandyah (2009) meneliti pengaruh penggantian Tubifex dengan kombinasi pakan alami dan buatan terhadap pertumbuhan ikan tilan merah (Mastacembelus erythrotaenia). Pakan buatan yang digunakan mengandung protein sebanyak 40%. Ia menyimpulkan bahwa kombinasi pakan yang masih layak untuk pemeliharaan ikan hias ini adalah 50% cacing tubifex + 50% pelet.

Bódis, Kucska dan Bercsényi (2007) bahkan membuktikan bahwa Tubifex bisa digantikan seluruhnya dengan pakan buatan asal dilakukan secara bertahap. Dengan obyek penelitian ikan pikeperch (Sander lucioperca), mereka memberi pakan buatan yang persentasenya makin meningkat hingga mencapai 100% pada hari ke-12. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan pikeperch yang diberi kombinasi Tubifex dan pakan buatan (yang persentasenya makin meningkat) pada penelitian mereka adalah cukup tinggi, yakni 74 – 82 %.

Bagaimanapun, pakan buatan tidak bisa menggantikan secara total cacing Tubifex (Ronyai, 1992). Anonymous-3 (2008) menyatakan bahwa pakan hidup harus selalu disediakan. Walaupun pakan buatan bisa menjadi pengganti, namun tak akan pernah menjadi “basic diet” (menu dasar). Kadang-kadang ikan, terutama ikan laut, secara sistematis menolak untuk memakan pakan buatan.

Bab V
Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)


Pakan Buatan Pengganti Pakan Alami Nener

Borlongan et al. (2000) melakukan penelitian dengan tujuan mengembangkan pakan bergizi seimbang dengan biaya produksi efektif sebagai makanan bagi larva ikan bandeng (Chanos chanos). Dua jenis pakan larva (pakan A dan pakan B) diformulasikan dan dibuat agar mengandung 45 % protein dan 10 % lipida. Beberapa bentuk pakan larva yang telah diuji adalah “microbound (ikatan-mikro)”/bukan pelet (kering-beku), ikatan-mikro/pelet (kering-oven) dan ikatan-mikro/serpihan (kering-drum) dan dievaluasi dalam hal ukuran partikel pakan, daya apung, stabilitas air dan penerimaan (acceptability) pakan. Teknik pembuatan yang menghasilkan pakan dengan ukuran partikel, daya apung dan stabilitas terbaik kemudian diterapkan untuk membuat pakan ikatan-mikro (menggunakan karaginan-K sebagai pengikat) yang selanjutnya dijadikan serpihan dengan menggunakan drum pengering. Pakan tersebut digunakan dalam serangkaian eksperimen pemberian pakan yang bertujuan menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng yang dipelihara dengan berbagai skema pemberian pakan.

Dalam eksperimen di atas larva bandeng diberi pakan buatan saja atau kombinasi pakan buatan dan pakan hidup. Nener dalam perlakuan kontrol dipelihara dengan pakan hidup seperti Brachionus plicatilis dan naupli Artemia. Larva terlihat menelan pakan, yang menunjukkan bahwa pakan tersebut cocok secara fisik dan menarik bagi larva bandeng. Secara keseluruhan hasil percobaan pemberian pakan ini menunjukkan bahwa pakan buatan dapat diberikan kepada larva ikan bandeng sebagai kombinasi dengan rotifera Brachionus mulai hari ke dua atau ke delapan, dan dapat diberikan sebagai pakan tunggal (tanpa pakan hidup) mulai hari ke-15. Hasil penelitian ini akan dapat mengurangi ketergantungan larva bandeng terhadap pakan hidup dan memberikan keuntungan ekonomis yang nyata dalam bentuk penyederhanaan prosedur hatchery bandeng.

Tepung Daun Singkong, Kentang dan Kangkung Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Borlongan dan Coloso (1994) mempelajari kemungkinan menggantikan sebagian protein tepung ikan dengan protein tepung daun dalam pakan ikan bandeng, Chanos chanos. Lima pakan isokalori/berkalori-sama (375 kcal/100 gram pakan) telah diformulasikan agar mengandung tepung daun yang bersifat isonitrogen (protein 40 %) dan isolipid (10 %). Daun yang dipakai adalah daun kangkung (Ipomea reptans), kentang manis (Ipomea batata), ipil-ipil (Leucaena leucocephala) dan singkong (Manihot esculenta), atau kombinasi daun kangkung, kentang manis dan singkong. Pakan kontrol mengandung tepung ikan dan tepung kedelai sebagai sumber protein sedangkan pakan uji mengandung tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung daun yang menggantikan 15 % protein tepung ikan. Sumber-sumber protein ini digabungkan hingga memberikan pola asam amino esensial yang optimal pada pakan. Setiap pakan diberikan kepada tiga kelompok ikan (sekitar 0,3 gram) yang dipelihara pada salinitas 20 ppt dan suhu 29 °C dalam sistem resirkulasi selama 12 minggu. Pertumbuhan, rasio konversi pakan (“Feed Conversion Ratio”, FCR), rasio efisiensi protein (“Protein Efficiency Ratio”, PER) dan kelangsungan hidup ikan yang diberi berbagai jenis pakan tidak berbeda nyata dibandingkan ikan kontrol. Bagaimanapun, ikan yang diberi pakan yang mengandung tepung daun singkong menunjukkan nilai-bilai terbaik untuk pertumbuhan, FCR, PER dan kelangsungan hidup. Data ini memperkuat dugaan bahwa tepung berbagai jenis daun ini bisa digunakan untuk menggantikan sebagian tepung ikan dalam pakan juvenil ikan bandeng bila kebutuhan asam-asam amino esensialnya terpenuhi.

Upaya Memanfaatkan Daun Eceng Gondok Untuk Pakan Nener

Santiago et al. (1984) mempelajari pengaruh pakan buatan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng di perairan tawar. Nener bandeng liar (Chanos chanos), berat rata-rata 15 mg, dipelihara dalam air tawar selama 5 minggu dengan empat jenis pakan buatan kering. Moina atau campuran daun eceng gondok digunakan sebagai pakan. Nener yang diberi pakan buatan mencapai tingkat kelangsungan hidup rata-rata 83 – 95 % dan perolehan berat rata-rata 0,16 – 0,18 gram. Nener yang diberi pakan Moina dan campuran daun eceng gondok memiliki pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang jauh lebih rendah. Empat jenis pakan kering yang mengandung 40 % protein kasar tampaknya cukup bagi nener. Penggantian sampai 5 % protein kasar dengan tepung kedelai dan/atau tepung daun ipil-ipil (Leucaena leucocephala) tidak mempengaruhi pertumbuhan, tetapi pakan yang mengandung tepung daun ipil-ipil memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sedikit lebih rendah.

Tepung Kacang Sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Bandeng

Borlongan et al. (2003) melakukan uji coba pemberian pakan selama 12 minggu untuk mengevaluasi penggunaan tepung kacang (Pisum sativum) sebagai sumber protein untuk juvenil ikan bandeng. Pakan praktis yang isonitrogen (30 % protein kasar) dan isokalori (16,5 kJ/gram) telah diformulasikan. Pakan kontrol mengandung tepung ikan, tepung kedelai, tepung daging dan tulang serta tepung kopra sebagai sumber protein utama. Tepung kacang secara bertahap menggantikan 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % dan 30 % total protein. Pakan komersial juga diuji sebagai kontrol tambahan. Pakan eksperimen diberikan dengan tiga ulangan kepada kelompok-kelompok juvenil ikan bandeng (berat awal rata-rata 0,42 plus minus 0,01 gram) sebanyak 10 % berat badan per hari.

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa penampilan pertumbuhan (dinyatakan sebagai persentase perolehan berat dan SGR), kelangsungan hidup, rasio konversi pakan (FCR) dan rasio efisiensi protein (PER) bandeng yang diberi pakan, yang proteinnya diganti dengan tepung kacang sampai 10 %, adalah tidak berbeda nyata (P > 0,05) bila dibandingkan ikan yang diberi pakan kontrol. Penggantian dengan tepung kacang sebanyak 15 % atau lebih menyebabkan bandeng yang memakannya menunjukkan respon pertumbuhan yang secara nyata lebih rendah daripada bandeng yang memakan pakan kontrol tanpa tambahan tepung kacang sedikitpun. Namun demikian, terlihat bahwa ikan bandeng yang memakan pakan yang sampai 20 % total proteinnya diganti dengan tepung kacang menunjukkan laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan yang lebih baik daripada pakan komersial kontrol. Komposisi tubuh ikan secara total (protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ekstrak bebas-nitrogen dan kadar abu) pada bandeng yang diberi berbagai jenis pakan uji adalah tidak berbeda nyata. Koefisien “apparent digestibility” (daya cerna yang terlihat) untuk tepung kacang dan pakan eksperimen bandeng juga ditentukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tepung kacang merupakan sumber protein yang dapat diterima dan dapat menggantikan sampai 20 % total protein pakan dalam pakan ikan bandeng.

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Buatan

Alava dan Lim (1988) melaporkan bahwa larva ikan bandeng (Chanos chanos) yang diperoleh dari alam telah ditebarkan, masing-masing 200 ekor, dalam 18 tangki fiberglas berisi 30 liter air laut tersaring dan teraerasi. Nener ini diberi makanan enam jenis pakan kering buatan yang mengandung protein kasar rata-rata 40,8 %. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan. Larva bandeng mencapai berat badan rata-rata 0,173 – 0,202 gram, panjang total rata-rata 29 – 31 mm, nilai efisiensi pakan rata-rata 0,94 – 1,16, dan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 92 – 98 %. Respon nener bandeng yang sangat serupa terhadap enam jenis pakan menunjukkan bahwa keenam jenis pakan tersebut mengandung nutrisi esensial yang dibutuhkan oleh ikan yang tumbuh-cepat. Tepung kedelai bisa menggantikan tepung gluten jagung; tepung tulang dan daging dapat menggantikan tepung kepala udang sampai 8 % dari protein kasar.

Mortalitas dan Pertumbuhan Bandeng Muda Yang Diberi Pakan Pelet Trout dan Pelet Kelinci

Sembrano-Timbol (1974) melaporkan bahwa ikan bandeng tahap pra-fingerling, fingerling dan juvenil telah ditangkap dari perairan Oahu (Hawaii) dan dipelihara dalam tangki dengan berbagai jenis pakan pelet untuk menentukan mortalitas dan pertumbuhan relatif serta kelayakan pemeliharaan buatan secara total. Hasil pengumpulan ikan bandeng dari alam menunjukkan bahwa bandeng muda terdapat secara lokal di perairan pantai yang dangkal. Bandeng dikelompokkan menjadi 3 kelompok ukuran (< 7, 7 – 11, > 11 gram). Mereka dimasukkan ke dalam tangki identik berisi air laut yang mengalir dengan debit 10 liter/menit.

Dalam dua percobaan pemberian pakan, satu kelompok ikan diberi pakan pelet ikan trout berprotein tinggi (berbasis tepung ikan), kelompok lain diberi pakan berupa pelet kelinci berprotein rendah (berbasis tumbuhan alfalfa) yang harganya seperempat lebih murah dibandingkan yang pertama. Ikan bandeng yang diberi pakan pelet trout menunjukkan perolehan berat yang lebih tinggi. Juga, mortalitas lebih rendah pada ikan bandeng yang diberi pelet trout (rata-rata 8 % dibandingkan 16 % untuk pelet kelinci). Ikan yang bertahan hidup menunjukkan perolehan berat rata-rata 27 % (untuk kelompok yang diberi pelet trout) dan 11 % (untuk kelompok yang diberi pelet kelinci) dalam 8 minggu. Penyakit dan pengaruh suhu dipertimbangkan. Disimpulkan bahwa pelet ikan trout secara nutrisi lebih unggul daripada pelet kelinci pada kondisi percobaan.

Bab VI
Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan


Keuntungan Alginat Sebagai Binder dan Sumbernya

Menurut Igbinosun dan Roberts (1988) salah satu keuntungan binder (perekat pelet pakan ikan) adalah memperlambat proses penguraian pelet pakan di dalam air. Hal ini berarti mencegah kehilangan nutrien dan mencegah pembusukan pakan yang bisa menyebabkan kondisi yang buruk, misalnya penurunan konsentrasi oksigen di dalam air kolam. Binder yang digunakan dalam produksi komersial sebagian besar pakan ikan dapat dibagi menjadi dua kelompok : (1) binder bernutrisi seperti molase (tetes gula) bit, kanji dan gluten gandum, dll. (2) binder tak bernutrisi seperti bentonit, gypsum, natrium alginat, karboksil metil selulosa (carboxyl methyl cellulose; CMC). Alginat merupakan polisakarida bergelatin yang ada dalam dinding sel kebanyakan alga tingkat rendah (phaeophyceae). Asam alginat diekstrak secara komersial dari rumput laut terutama kelp raksasa (Macrocystis pyrifera), Laminaria digitata dan Ascophyllum nodosum.

Natrium Alginat Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan

Igbinosun dan Roberts (1988) melaporkan bahwa pelet pakan A, B, C dan D yang mengandung, berturut-turut, 4 %, 3 %, 2 % dan 1 % natrium alginat telah diuji dalam hal stabilitas air yang mencakup lama terapung, laju tenggelam dan “crumbling rate” (laju di mana pakan yang menggumpal menjadi tidak menggumpal, yang dihitung setelah pelet mencapai dasar tangki). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun semua pelet memiliki lama terapung nol, namun pelet kelompok D membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tenggelam. Pelet A dan B tenggelam pada laju yang sama. “Crumbling rate” setelah pelet mencapai dasar tangki cenderung berkurang sejalan dengan berkurangnya kadar binder. Ketika pakan kemudian diberikan kepada empat kelompok anak Tilapia selama tujuh minggu, hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan, efisiensi konversi pakan dan rasio efisiensi protein mengikuti kecenderungan C > D > B > A. Dengan demikian disimpulkan bahwa kadar binder alginat 2 % adalah sangat optimum untuk pakan ikan terutama pakan mujaer.

Pengaruh Binder Dari Alginat dan Guar Gum Terhadap Pertumbuhan Ikan dan Daya Cerna Pakan

Storebakken (1985) menyatakan bahwa binder atau perekat berguna dalam mengurangi limbah dari pakan ikan yang lembab dan basah. Alginat dan “guar gum” umum digunakan dalam pakan ikan salmonidae di Norwegia, dan banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa kedua jenis binder ini menguntungkan untuk dimanfaatkan dalam pakan ikan. Alginat adalah garam dari asam alginat, yang merupakan polimer asam a-1,-4-L-guluronic acid dan ß-1,4-D-mannuronic acid. Asam alginat diekstrak dari rumput laut. Garam asam alginat dari ion-ion monovalen seperti Na+, K+ dan NH4+ bersifat larut dalam air, sedangkan garam dari ion-ion trivalen tidak larut dalam air (kecuali garam dari Mg2+). Baik gugus -OH maupun –COOH pada molekul ini bersiat aktif dalam pengikatan, sehingga memiliki sifat mengental dan membentuk gel. Guar gum merupakan getah dari biji sejenis kacang India (Cyamoposis tetragonolobus), bersifat larut dalam air dan merupakan polimer ß-1,4-D-mannose dan ß-1,4-D-galactose dengan beberapa rantai samping a-1,6. Gugus –OH bertanggung jawab atas kekentalan, yang membuat guar gum berguna sebagai pengental. Binder-binder ini diketahui menurunkan daya cerna pada ikan rainbow trout.

Storebakken (1985) melaporkan bahwa alginat dan “guar gum” telah dicampurkan dengan berbagai konsentrasi ke dalam pakan kering, pakan lembab dan pakan basah ikan rainbow trout (Salmo gairdneri Richardson). Kedua jenis perekat ini menurunkan daya cerna protein dan lemak. Mereka juga mengurangi volume pengambilan makanan dan meningkatkan kadar air tinja ikan. Guar gum memperlambat jalannya makanan melewati saluran pencernaan ikan. Guar gum berkonsentrasi tinggi menurunkan pertumbuhan dan kadar bahan kering serta lemak dalam ikan. Kadar protein, rasio kalsium/fosfor dalam tulang, faktor kondisi, berat organ dalam rongga perut dan berat hati, serta mortalitas tidak dipengaruhi oleh binder-binder ini.

Karakteristik Binder Dalam Pelet Pakan Udang

Dominy dan Lim (1991) dalam Akiyama dan Tan (1991) mempelajari binder dalam pelet pakan udang. Binder yang diuji menunjukkan dua karakteristik yang berbeda, yaitu bentuk struktural dan sifat lengket. Binder yang ideal seharusnya memiliki kedua sifat tersebut. Kedua sifat ini terlihat pada pelet-pelet udang komersial Asia yang diuji. Ada banyak prosedur untuk menentukan stabilitas air pada pelet, dan penafsiran yang benar terhadap hasil penelitian ini sering penting dalam menentukan perkembangan di masa depan bagi penggunaan binder secara tepat. Yang juga penting adalah kondisi pengolahan yang layak bagi formula pakan dan binder agar diperoleh pelet yang stabil dalam air. Bahan-bahan baku yang dipergunakan, terutama tepung kedelai, dan kadarnya dalam formula pakan, merupakan dua pertimbangan yang sangat penting dalam membuat pakan udang yang stabil dalam air. Hal-hal yang juga harus diperhatikan adalah kandungan zat gizi dalam binder, jumlah yang ditambahkan ke formula pakan, dan harganya. Hal yang harus mendapat perhatian lebih lanjut dalam memproduksi pakan udang adalah tipe alat pengolahan dan parameter-parameter yang dapat dicapai dengan peralatan yang ada.

Rumput Laut Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Gabus

Hashim dan Mat Saat (1992) mengevaluasi empat jenis rumput laut lokal (Ulva spp., Sargassum spp., Polycavernosa spp. dan Gracilaria spp.) serta karaginan sebagai binder/perekat dalam pakan pelet untuk anak ikan gabus (Channa striatus) selama periode 8 minggu. Lima pakan isonitrogen (berkadar nitogen sama) telah disiapkan dan mengandung setiap jenis binder sebanyak 5 % ditambah tepung gandum 5 %. Pakan kontrol mengandung 10 % tepung gandum. Pakan berbasis karaginan memiliki stabilitas dalam air terbaik sedangkan pakan kontrol yang hanya mengandung tepung gandum memiliki kestabilan terburuk setelah 60 menit. Laju pertumbuhan dan nilai efisiensi pakan terbaik ditemukan pada ikan yang diberi pakan karaginan-tepung gandum. Di antara jenis-jenis rumput laut yang diuji, tepung Ulva spp. memiliki kestabilan air terbaik dan memberikan laju pertumbuhan relatif dan nilai efisiensi pakan tertinggi. Kelangsungan hidup anak ikan tertinggi ditemukan untuk kelompok yang diberi pakan berbasis karaginan sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah pada kelompok yang diberi pakan tepung Sargassum spp.

Pengaruh Jenis Binder Terhadap Pertumbuhan Juvenil Udang Palaemonidae

Palma et al. (2008) melakukan penelitian untuk membandingkan pengaruh penggunaan dua jenis binder yang tidak memiliki nilai nutrisi, yaitu lignosol dan agar-agar, serta metode perekatan, yaitu “microbinding” (perekatan mikro) dan “microcoating” (penyelubungan mikro), terhadap pertumbuhan juvenil udang Palaemonetes varians dan udang kolam batu Palaemon elegans. Udang diberi satu jenis pakan dasar yang hanya berbeda dalam hal tipe perekat dan metode perekatan (pakan A, lignosol dengan metode microbinding; pakan B, agar-agar dengan metode mirobinding, dan pakan C, lignosol dengan metode microcoating) selama periode 45 hari. Pada akhir percobaan ditemukan perbedaan nyata dalam hal berat basah akhir antara udang yang diberi pakan A dan pakan C serta antara udang yang diberi pakan B dan C (P < 0,001), tetapi tidak ada perbedaan nyata antara pakan A dan pakan B (P > 0,05). Hasil tersebut berlaku untuk kedua spesies udang. Perbedaan nyata ditemukan antara kemiringan garis regresi ketiga pakan yang diuji untuk Palaemonetes varians (F3.411 = 3,41; P < 0,04), dan untuk Palaemon elegans (F3.411 = 10,51; P < 0,0003). Palaemon elegans tumbuh lebih cepat daripada Palaemonetes varians dan pada akhir percobaan perbedaan nyata ditemukan antara kedua spesies dalam hal berat basah akhir (F3.842 = 48,17, P < 0,0001). Parameter-parameter pertumbuhan, perolehan berat, koefisien pertumbuhan satuan-suhu (“thermal-unit growth coefficient”, TGC), dan tingkat konversi pakan selalu lebih tinggi untuk Palaemon elegans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lignosol ataupun agar-agar bisa ditambahkan ke dalam pakan dengan metode microbinding.

Bab VII
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus


Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Bachionus

Pertumbuhan larva dan kelangsungan hidup larva ikan laut dalam produksi benih masal dipengaruhi oleh nilai nutrisi pakan hidup seperti rotifera dan Artemia (Matsumoto et al., 2009). Pakan hidup merupakan mata rantai penting yang menghubungkan nutrisi endogenous (dari dalam) dan aktivitas mencari makan eksogenus (dari luar) pada hewan air yang dibudidaya. Pakan hidup penting dalam pemeliharaan larva ikan, krustasea dan moluska hingga hewan-hewan ini dapat mencerna pakan buatan. Alga seperti Chlorella mudah dibudidayakan sebagai pakan Brachionus. Kadar asam-asam lemak esensial dalam pakan hidup merupakan faktor penting yang harus diperhatikan (Hertrampf and Piedad-Pascual, 2003).

Makin banyak perhatian diberikan pada penyediaan mikroalga untuk mempertahankan sifat-sifat yang konstan selama periode yang panjang. Tujuannya adalah untuk menjamin tercukupinya persediaan asam-asam lemak esensial (dan nutrisi-nutrisi penting lain) bagi larva moluska dan krustasea serta bagi zooplankton yang digunakan sebagai pakan hidup untuk memberi makan pertama larva ikan (Seychelles et al., 2009). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan metode efektif guna memperkaya pakan hidup dengan asam lemak esensial dan vitamin (Matsumoto et al., 2009).

Brachionus plicatilis sering digunakan sebagai pakan pertama kali bagi larva ikan laut budidaya. Sejak rotifera ini diperkenalkan sebagai pakan hidup, metode kultur masal rotifera telah dikembangkan. Setelah metode kultur masal ini berhasil dikembangkan maka produksi larva ikan menjadi mudah. Sebaliknya, timbul beberapa masalah larva ikan berkaitan dengan rotifera. Banyak di antara masalah ini disebabkan oleh ketidak cocokan kandungan nutrisi rotifera, misalnya kematian masal, malpigmentasi (salah-pigmentasi) dan cacat tubuh. Masalah lainnya disebabkan oleh ketidakstabilan kultur rotifera. Sebegitu jauh, masalah nutrisi tersebut sudah bisa diatasi dan beberapa di antaranya dilakukan dengan mengembangkan pakan yang diperkaya untuk rotifera. Asam n-3 highly unsaturated fatty acid (HUFA; asam lemak sangat tak-jenuh) yang mencakup eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) adalah penting bagi kesehatan dan aktivitas larva ikan, dan dengan demikian studi tentang pengayaan rotifera difokuskan pada n-3 HUFA, terutama EPA dan DHA (Kotani et al. 2009).

Sebagai pakan hidup, Brachionus dikultur agar mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh larva ikan. Kandungan nutrisi rotifera ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain salinitas. Frolov et al. (1991) meneliti pengaruh salinitas rendah dan tinggi terhadap konsentrasi total protein, lipida, karbohidrat, glikogen, asam amino bebas dan asam amino pada Brachionus plicatilis. Kadar protein, karbohidrat dan glikogen menurun bersamaan dengan meningkatnya kadar asam amino bebas yang sejalan dengan meningkatnya salinitas dari 0.5 ke 28%. Salinitas memberikan pengaruh paling jelas terhadap konsentrasi asam-asam amino bebas seperti glisin, alanin, prolin, arginin dan asam glutamat. Perubahan konsentrasi asam amino protein tidak teramati. Pada salinitas kurang dari 17%. dan lebih dari 17%, kadar lipida berkurang. Secara proporsional pengaruh ini lebih besar pada salinitas tinggi.

Selain faktor lingkungan, komposisi kimia Brachionus juga dipengaruhi oleh jenis dan komposisi kimia makanannya. Akan tetapi para peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda-beda mengenai pengaruh tersebut.

Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Scott dan Baynes (1978) rotifera diberi pakan empat spesies alga bersel-satu (Dunaliella tertiolecta, Pavlova lutheri, Phaeodactylum tricornutum dan Isochrysis galbana) pada satu kisaran suhu. Pengukuran dilakukan terhadap laju pertumbuhan, bobot dan kadar total protein, karbohidrat dan lipida. Perbedaan besar ditemukan pada bobot dan komposisi biokimia rotifera sebagai akibat aktivitas makan dan kelaparan. Hanya ada perbedaan kecil yang disebabkan jenis alga yang digunakan sebagai pakan.

Salah satu mikroalga yang umum untuk makanan rotifera Brachionus plicatilis adalah Isochrysis galbana. Ada beberapa galur mikroalga ini yang tersedia. Karena galur mikroalga bisa memiliki komposisi dan karakteristik pertumbuhan yang berbeda, Sayegh et al (2007) mempelajari apakah perbedaan pertumbuhan dan perbedaan biokimia dalam galur I. galbana menyebabkan perbedaan sifat-sifat biokimia B. plicatilis. Empat galur I. galbana dan satu galur flagelata Nanochloropsis telah ditumbuhkan pada kondisi standar. Laju pertumbuhan, volume, produksi, dan komposisi sel (berat kering, karbohidrat, protein, lipida) ditentukan. Perbedaan nyata terjadi antara galur-galur dalam semua karakteristik ini (2 sampai 3 kali lipat), tetapi tidak ada pola yang jelas bahwa suatu galur adalah paling unggul. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk beberapa pengukuran, perbedaan galur secara nyata lebih besar daripada perbedaan antar spesies. Galur-galur ini kemudian dijadikan pakan rotifera, dan sejumlah parameter diukur: laju pertumbuhan, laju reproduksi, sifat-sifat fekunditas, sejumlah laju perkembangan, dan komposisi (berat kering, karbohidrat, protein, lipida). Tidak ada efek nyata dalam hal pengaruh galur mangsa terhadap beberapa karakteristik, tetapi tidak ada yang dramatis (jarang lebih dari 10% dan kadang-kadang sampai 30%), yang menunjukkan bahwa pembudidaya tidak perlu terlalu memperhatikan galur I. galbana yang mana yang digunakan sebagai pakan. Bagaimanapun, kami menunjukkan adanya sedikit perbedaan, yang disebabkan oleh perbedaan galur mangsa dan menyarankan agar untuk mencapai produktivitas maksimum perbedaan-perbedaan ini harusnya dipertimbangkan.

Menurut Hertrampf dan Piedad-Pascual ( 2003) komposisi kimia pakan hidup berbeda tergantung spesies, kultur, dan tipe makanan yang diberikan. Sebagai contoh , kadar air, protein kasar, lipida kasar dan abu kasar pada Brachionus plicatilis yang diberi makan ragi roti berturut-turut adalah 90,7; 67,0; 19,4 dan 7,5 % berat kering. Nilai-nilai tersebut pada Brachionus yang diberi pakan Chlorella adalah 86,9; 60,3; 29,8 dan 5,3. Secara umum, rotifera mempunyai profil asam lemak sama seperti alga makanannya. Kualitas nutrisi rotifera bisa ditingkatkan dengan memberinya makanan yang mengandung asam-asam lemak esensial, vitamin C dan lain-lain.

Frolov et al. (1991) mempelajari pengaruh komposisi biokimia berbagai jenis pakan terhadap kadar protein, lipida dan karbohidrat, komposisi protein dan asam lemak serta perubahan komposisi-komposisi ini selama periode kultur sekunder (48 jam) pada rotifera yang diberi pakan alga Monochrysis lutheri (rotifera semula diberi pakan ragi roti, Saccharomyces cerevisiae). Ada korelasi positif antara kadar protein dan lipida rotifera dengan kadar senyawa-senyawa ini dalam pakan. Tidak ada korelasi untuk karbohidrat. Perubahan paling nyata dan paling kecil terjadi pada kadar lipida dan protein, berturut-turut. Tidak ada korelasi antara komposisi asam amino pada rotifera dan pada pakan. Kadar total asam amino dalam protein dan komposisi asam aminonya adalah tetap. Konsentrasi diasilgliserol, monoasilgliserol dan asam lemak bebas dalam lipida rotifera tidak tergantung pada kadar senyawa-senyawa ini dalam lipida pakan, dan agak konstan. Para peneliti menemukan korelasi positif antara kadar triasilgliserol dan sterol ester dalam rotifera dan dalam makanannya. Sebagian besar perubahan yang nyata terjadi pada kadar triasilgliserol. Secara keseluruhan, komposisi asam lemak rotifera adalah sama dengan komposisi asam lemak makanannya. Makin besar derajat ketidak-jenuhan asam lemak lipida netral, maka makin besar variasi dalam fraksi ini bila dibandingkan dengan lipida polar.

Selanjutnya Frolov et al. (1991) melaporkan bahwa perubahan komposisi biokimia umum dimulai dengan peningkatan kadar lipida setelah 1 jam makan. Kadar lipida mencapai maksimum setelah sekitar 6 jam makan, dan kemudian berkurang. Kadar karbohidrat mulai berkurang setelah 6 jam makan dan mencapai minimum setelah sekitar 24 jam makan, kemudian naik dan menjadi stabil. Kadar fosfolipid menurun sedikit setelah 12 jam makan, sedangkan kadar triasilgliserol meningkat setelah 6 jam dan peningkatannya melebihi fosfolipid. Perubahan kadar sterol dan sterol ester terjadi setelah 12 jam makan dan hilang sama sekali setelah sekitar 36 jam. Perubahan komposisi asam lemak lipida dimulai dengan perubahan pada lipida polar (setelah 1 jam). Perubahan komposisi asam lemak terjadi antara 6 dan 12 jam makan dan praktis berhenti setelah 24–36 jam.

Reitan et al. (1997) meneliti pengaruh kandungan nutrisi alga terhadap komposisi biokimia Brachionus yang memakannya. Mereka menggunakan mikroalga sebagai makanan dalam produksi rotifera Brachionus plicatilis dengan tujuan memindahkan nutrien esensial dari alga ke pakan hidup. Selain itu, alga diberikan secara langsung kepada larva ikan bersama dengan pakan hidup (Brachionus). Dalam hal ini, alga bertindak baik sebagai pakan larva ikan maupun pakan hidup rotifera. Alga di dalam tangki larva cenderung memodifikasi dan menstabilkan mutu nutrisi rotifera selama periode sebelum mereka dikonsumsi oleh larva ikan. Kandungan lipida dan komposisi asam lemak rotifera mencerminkan komposisi makanan alga, dan spesies alga yang digunakan bisa menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan kandungan asam lemak (terutama DHA, 22:6n-3, docosahexaenoic acid, dan EPA, 20:5n-3, eicosapentaenoic acid).

Karena alga dan konsentrasinya merupakan faktor penting dalam kultur masal rotifera, Kennari et al. (2008) melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh dua tipe alga, Chlorella sp. dan Scenedesmus obliquus, terhadap komposisi asam lemak rotifera air tawar, Brachionus calyciflorus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar HUFA pada rotifera yang diberi makan Chlorella sp. (3.32%) relatif lebih banyak dari pada yang diberi makan S. obliquus (2.65%). Ada hubungan antara meningkatnya konsentrasi alga dengan peningkatan kadar relatif HUFA dan penurunan kadar asam lemak mono-tak-jenuh.

Wacker and Weithoff ( 2009) menguji kaitan ekofisiologis penting antara flagelata miksotrofik Chlamydomonas acidophila dan konsumennya, rotifera Elosa worallii, Cephalodella sp. dan Brachionus sericus, dengan membandingkan profil asam lemaknya. Flaglelata miksotropik ditumbuhkan pada kondisi autotropik ekslusif dengan cahaya, pada kondisi heterotropik eksklusif dengan sumber karbon organik (glukosa) tanpa cahaya, atau dalam kondisi gelap ditambah sumber karbon organik (=miksotrofik). Walaupun PUFA dengan lebih dari 18 atom karbon tidak terdeteksi pada C. acidophila, ditemukan eicosatetraenoic (ETA, 20:4n-3) dan eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n-3) dalam jumlah besar pada tiga rotifer konsumen. Perbedaan-perbedaan yang bersifat spesifik-spesies dalam hal profil asam lemak berkaitan dengan ETA, EPA dan precursor (bahan pokok) ALA ditemukan pada Brachionus yang diberi pakan bersifat heterotrofik yang mengandung lebih sedikit EPA. Karena di alam cara asimilasi karbon pada organisme-organisme miksotrofik berbeda, dan komposisi asam lemaknya bervariasi tergantung pada cara asimilasi karbon, ketersediaan ALA mungkin penting bagi konsumen mereka. Kekurangan pasokan pakan precursor ini untuk sintesis ETA dan EPA dapat menghalangi kemampuan konsumen dalam mengatur kadar ETA dan EPA.

Rotifera (Brachionus plicatilis Müller) telah dibudidayakan dengan pakan monokultur fitoplankton (Dunaliella tertiolecta, Tetraselmis suecica, Nannochloropsis sp., Phaeodactylum tricornutum), nanoplankton alami dan ragi roti. Komposisi biokimia rotifera yang dipanen pada fase eksponensial, stasioner and fase mati telah ditentukan. Kadar air berkurang pada semua sampel fase pertumbuhan stasioner. Kadar abu adalah paling tinggi pada fase mati. Lipida dan karbohidrat terlihat menurun antara fase eksponensial dan fase kematian. Kadar protein meningkat pada fase stasioner. Laju pertumbuhan, “doubling time” (waktu penggandaan), kadar lipida, karbohidrat dan protein rotifera yang diberi pakan Phaeodactylum tricornutum dan Nannochloropsis sp. menunjukkan bahwa monokultur tersebut adalah pakan yang paling sesuai untuk rotifera. Rotifera yang diberi pakan alga-alga ini diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi larva ikan (Caric et. al, 1993).

Upaya memperbaiki kandungan nutrisi rotifera juga dilakukan dengan memberinya pakan berupa bakteri penghasil asam lemak EPA. Bakteri antartika, galur ACAM 456, diketahui memproduksi eicosapentaenoic acid (20:5n - 3, EPA). Bakteri ini pada konsentrasi awal 107, 108 dan 109 sel per ml, digunakan sebagai pakan rotifera Brachionus plicatilis. Pada 6 dan 24 jam, rotifera disingkirkan, dipanen dan diekstrak untuk analisis komposisi asam lemak, yang kemudian dibandingkan dengan rotifera yang ditumbuhkan pada ragi roti. Penyerapan EPA, bersama dengan penanda asam lemak bakterial (i13:0, i15:0 and 14:0), dibuktikan pada semua konsentrasi pakan bakterial yang diuji. Penyerapan paling tinggi terjadi bila rotifera ditumbuhkan dalam medium yang semua mengandung 109 bakteri per ml. Setelah 24 jam makan, kadar EPA mencapai 9.4% dari asam lemak total dari rotifera pakan (6.7 nanogram EPA per rotifer). ACAM 456, galur bakteri dengan kemampuan memproduksi EPA, dengan demikian merupakan alternatif pakan yang kaya gizi bagi rotifera Brachionus plicatilis pada kondisi pakan yang mungkin bisa diterapkan pada banyak budidaya laut (Nichols, et al. 1996).

Kultur rotifera Brachionus plicatilis (200 ind./ml, 0.5 µg berat kering/individu) yang diberi pakan permulaan berupa ragi dan minyak ikan capelin (10:1 bobot/bobot) diberi pakan yang berbeda dan dipanen setelah 24 jam. Komposisi asam lemak rotifera dipengaruhi oleh komposisi makanannya. Kadar tertinggi HUFA n-3 (38%) dan HUFA 22:6 n-3 (19%) diperoleh setelah rotifera diberi pakan tepung cumi. Hubungan positif ditemukan antara HUFA n-3 dalam pakan yang diperkaya dan dalam rotifera (P < 0.05, uji-t). Kelaparan selama 49 jam tidak mengubah komposisi asam lemak rotifera (Rainuzzo et al., 1989).

Sebuah sistem kultur kontinyu intensif otomatis, yang bedasarkan pada prinsip “chemostat”, untuk memproduksi dua galur rotifera Brachionus plicatilis (tipe L dan S) telah diteliti oleh James and Abu-Rezeq (1989). Dengan menggunakan tangki fiberglas berkapasitas 1 meter kubik, adalah mungkin untuk mencapai produksi rata-rata 308.75 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe S dan 186.71 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe L dalam sistem kultur ini. Rotifera diberi pakan isolat mikroalga lokal Nannochloropsis galur MFD-2 yang diproduksi dengan menggunakan chemostat alga. Ragi roti digunakan sebagai pakan suplemen. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas rotifera dalam sistem kultur kontinyu agak lebih tinggi daripada dalam sistem kultur konvensional. Selain itu, komposisi asam lemak n-3 pada rotifera dalam sistem kultur ini menunjukkan bahwa rotifera-rotifera ini mengandung cukup banyak asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh larva ikan laut dan tidak membutuhkan pengayaan nutrisi lebih lanjut (James and Abu-Rezeq, 1989). Namun demikian sebagian besar peneliti menekankan pentingnya pengayaan nutrisi pada Brachionus sebelum rotifera ini diberikan kepada larva ikan. Beberapa jenis nutrisi yang ada di dalam air tidak dapat diserap atau dimakan secara langsung oleh Brachionus sedangkan mikroalga dapat menyerapnya secara langsung dari air. Mikroalga bisa diperkaya dengan nutrisi semacam ini dan bila Brachionus memakan mikroalga tersebut maka nutrisinya bisa diserap oleh tubuh rotifera ini.

“Nutritional enrichment” (pengayaan nutrien) untuk rotifera adalah penting dalam menstabilkan produksi larva ikan. Kotani et al. (2010) mempelajari pengaruh pakan bernutrien normal dan bernutrien overdosis terhadap komposisi nutrien rotifera. Populasi rotifera dalam dua sistem kultur diperkaya dengan empat kondisi, yang sesuai dengan dua tingkat pakan, dan dua periode pengayaan : 0.25 g/L selama 8 jam (normal), 0.25 g/L selama 24 jam (pengayaan yang lama), 0.75 g/L selama 8 jam (pengayaan overdosis), and 0.75 g/L selama 24 jam (pengayaan lama + overdosis). Ketika populasi rotifera kultur-kelompok diperkaya, pengayaan yang lama dan pengayaan overdosis tidak menyebabkan kadar asam lemak berbeda dari normal. Pengayaan overdosis adalah yang paling efektif di antara semua kondisi pengayaan jika menggunakan populasi rotifera kultur-kontinyu. Pada kedua metode kultur, kandungan DHA untuk kondisi pengayaan lama + overdosis adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan untuk kondisi pengayaan normal dan ini menghasilkan peningkatan rasio DHA/EPA dua sampai tiga kali. Dengan demikian, adalah mungkin untuk mengubah komposisi asam lemak rotifera dengan mengubah metode pengayaan.

Sebaliknya, tidak dapat disangkal bahwa asam lemak yang berlebihan berpengaruh negatif terhadap larva ikan. Lebih lanjut, meskipun studi ini difokuskan pada kadar asam lemak, adalah mungkin bahwa jenis-jenis nutrien lain menunjukkan kecenderungan yang sama, misalnya untuk protein atau vitamin. Adalah penting untuk memperbaiki komposisi pakan yang diperkaya. Pada pemeliharaan larva ikan, nilai nutrisi pakan hidup pada tahap larva adalah penting bagi pertumbuhan dan kesehatan larva (Kotani et al. 2009).

del Castillo e al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya kandungan gizi rotifera Brachionus plicatilis yang diberi pakan sel kering-beku thraustochytrid tropis Schizochytrium mangrovei (Isolat IAo-1). Rotifera dilaparkan selama 24 jam kemudian diberi pakan sel S. mangrovei pada konsentrasi 200, 300, 400, 500, 600 dan 700 mg per liter. Pengayaan dilakukan pada dua periode (jangka-pendek = 5 jam; jangka-panjang = 10 jam) untuk menentukan waktu optimum yang dibutuhkan untuk pengayaan maksimum rotifera. Ada peningkatan yang nyata dalam hal kadar lipida total, arachidonic acid (AA) dan DHA pada rotifera setelah makan S. mangrovei kering-beku yang menunjukkan keberhasilan penyerapan zat-zat gizi ini ke dalam komposisi biokimia rotifera. Sebaliknya, docosapentaenoic acid (DPA) tidak berubah nyata dalam rotifera yang diperkaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua faktor, konsentrasi makanan dan periode pengayaan, berpengaruh nyata terhadap kadar lipida, AA dan DHA rotifera. Penyerapan lipida, AA dan DHA meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi makanan kecuali untuk rotifera yang diberi pakan dengan konsentrasi tertinggi 700 mg per liter selama 10 jam. Selain itu, kadar lipida dan AA pada rotifera yang diperkaya adalah secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-pendek sementara kadar DHA secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-panjang. Jadi, disimpulkan bahwa konsentrasi pakan 700 mg per liter pada periode pengayaan 5 jam adalah optimum untuk pengayaan AA dan DHA rotifera. Skema strategis penggabungan jumlah produk dan lama pengayaan yang tepat untuk meningkatkan kadar DHA rotifera akan menjamin secara efektif produksi rotifera bergizi-superior dengan biaya minimal. Hal ini pada akhirnya akan menyukseskan pemeliharaan larva ikan laut di hatchery.

Seychelles et al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya Brachionus plicatilis dengan PUFA. Peneliti menggunakan empat spesies mikroalga [Isochrysis galbana (T-ISO), Chaetoceros muelleri (CHGRA), Pavlova lutheri (MONO), dan Nannochloropsis sp.] baik sebagai kultur segar maupun dalam bentuk pekatan-beku untuk memperkaya rotifera. Rotifera mempunyai konsentrasi asam lemak yang relatif sama bila diberi makan pekatan-beku atau mikroalga segar. Konsentrasi 20:4n-6, 22:6n-3, dan 20:5n-3 pada B. plicatilis dan pada mikroalga pakan berkorelasi linier. Asam lemak 20:4n-6 adalah yang paling siap diasimilasi : konsentrasinya dalam rotifera mencapai setengah konsentrasi dalam mikroalga pakan. Disimpukan bahwa keempat spesies mikroalga baik bentuk segar maupun bentuk pekatan-beku dapat digunakan untuk memperkaya kadar PUFA pada rotifera. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk menguji apakah asimilasinya berbeda bila rotifera diperkaya dengan mikroalga mono- atau multispesies.

Kotani et al. (2009) memperkaya populasi Brachionus dengan Nannochloropsis oculata atau pakan komersial yang diperkaya. Bila diperkaya dengan N. oculata maka 24 jam kemudian arachidonic acid (ARA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) diperoleh dalam jumlah lebih tinggi. Hasil yang sama diperoleh bila menggunakan pakan (komersial) yang diperkaya, bahkan DHA juga meningkat.

Setelah pengayaan nutrisi dengan menggunakan N. oculata dan pakan komersial yang diperkaya, rotifera dari tangki pemanenan kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sebanyak 1.5–2 kali dibandingkan rotifera dari batch culture pada 48 jam setelah inokulasi. Pada percobaan yang dilakukan Tomoda et al., rotifera dari kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sekitar 1.5 kali dibandingkan rotifera dari batch culture dalam fase logaritmik akhir (Kotani et al. 2009).

Beberapa kondisi pengayaan (tipe dan konsentrasi minyak dalam medium kultur dan waktu pengayaan) telah diuji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap komposisi lipida dan asam lemak rotifera (Brachionus plicatilis). Rotifera yang diberi pakan pendahuluan berupa ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) diberi pakan yang diperkaya dengan emulsi lipida yang mengandung campuran triasilgliserol (TAG) atau metil ester (ME) pada tiga konsentrasi yang berbeda. Rotifera disampling setelah pengayaan 0 (rotifera yang makan ragi), 3, 6, 12 dan 24 jam. Pada setiap konsentrasi dan waktu yang diuji, kadar lipida tertinggi diperoleh bila menggunakan TAG. Meskipun ada perbedaan komposisi asam lemak jenuh dan mono-tak-jenuh antara emulsi pengayaan, rotifera cenderung mempertahankan kadar asam-asam lemak ini tanpa dipengaruhi oleh periode dan konsentrasi minyak pengayaan. Peningkatan periode pengayaan, bukannya jumlah minyak yang ada dalam medium, lebih efektif dalam menaikkan kadar asam lemak n-3 sangat-tak-jenuh (n - 3 HUFA) pada rotifera. Rotifera menunjukkan lebih banyak mengikat eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n - 3) daripada docosahexaenoic acid (DHA, 22:6n - 3), tanpa memperhatikan rasio antara kedua asam lemak ini dalam emulsi. Penggunaan ME sebagai sumber pengayaan menyebabkan mortalitas betina pembawa-telur lebih besar daripada bila menggunakan TAG (Rodríguez et al., 1996).

Sebuah metode praktis untuk memperkaya rotifera dengan seng telah diteliti oleh Matsumoto et al. (2009). Perubahan konsentrasi mineral lain ketika seng ditambahkan ke dalam tangki pengayaan-rotifera juga dipelajari. Komposisi mineral rotifera dan Chlorella setelah pengayaan seng menunjukkan bahwa penambahan seng secara langsung ke media kultur adalah tidak efektif karena rotifera tidak dapat menimbun secara efisien seng yang berasal dari air. Kemampuan Chlorella untuk menyerap seng asal-air adalah jauh lebih besar daripada kemampuan rotifera, dan dengan demikian, seng mula-mula ditimbun di dalam Chlorella, yang kemudian dimakan rotifera. Konsentrasi seng maksimum pada rotifera adalah 585.0 µg per gram (berat kering) ketika rotifera diperkaya dengan seng saja. Konsentrasi seng ini bisa disamakan dengan konsentrasi yang ditemukan pada zooplankton alami. Pada rotifera yang secara bersamaan diperkaya dengan seng dan asam-asam amino n-3 HUFA, konsentrasi seng meningkat, tetapi konsenrasi n-3 HUFA tidak. Jadi, secara terpisah dilakukan pengayaan dengan seng dan asam-asam lemak. Konsentrasi seng pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang diperkaya-seng adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang tidak diperkaya. Setelah pengayaan seng, rotifera diperkaya dengan asam-asam lemak, dan hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi DHA serta n-3 HUFA pada rotifera adalah lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya setelah pengayaan secara bersamaan dengan seng dan asam-asam lemak. Dengan memperhatikan konsentrasi mineral-mineral lain dalam rotifera setelah pengayaan seng, konsentrasi mangan cenderung menurun ketika konsentrasi seng naik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengayaan rotifera dengan seng dapat dilakukan dengan menggunakan mikroalga yang telah menimbun seng, dan pengayaan rotifera dengan asam-asam lemak juga bisa dicapai setelah pengayaan seng dan sebelum memberi makan larva. Metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkaya zooplankton dengan mineral-mineral lain.

Referensi :


Akiyama, D.M. 1991. Soybean Meal Utilization by Marine Shrimp in Akiyama, D.M. and R.K.H. Tan. (Eds.). 1991. Proceedings of The Aquaculture Feed Processing and Nutrition -Workshop, Thailand and Indonesia. American Soybean Association, Singapore. pp. 207 – 225

Alava, V.R. and C. Lim. 1988. Artificial Diets for Milkfish, Chanos chanos (Forsskal), Fry Reared in Seawater. Aquaculture, Vol. 71, no. 4, pp. 339 – 346

Bódis , M. , B. Kucska and M. Bercsényi.2007. The effect of different diets on the growth and mortality of juvenile pikeperch (Sander lucioperca) in the transition from live food to formulated feed. Journal Aquaculture International Vol 15 no. 1 : 83-90. http://www.springerlink.com/index/C10270NK77704M26.pdf

Baynes, S.M. and B.R. Howell. 1993. Observations on The Growth, Survival and Disease Resistance of Juvenile Common Sole, Solea solea (L.) Fed Mytilus edulis L. Aquaculture and Fisheries Management, Vol. 24, No. 1, pp. 95 – 100

Borlongan, I.G., P.S. Eusebio and T. Welsh. 2003. Potential of Feed Pea (Pisum sativum) Meal As A Protein Source in Practical Diets For Milkfish (Chanos chanos Forsskal). Aquaculture, Vol. 225, no. 1 – 4, pp. 89 - 98

Borlongan, I.G. and R.M. Coloso. 1994. Leaf Meals As Protein Sources in Diets For Milkfish Chanos chanos (Forsskal), pp. 63 – 67. In : Fish Nutrition Research in Asia : Proceedings of The Fifth Asian Fish Nutrition Workshop, Udorn Thani, Thailand, January 1993. Asian Fisheries Society, Special Publication 9, Manila, Philippines.

Borlongan, I.G., C.L. Marte and J.N. Nocillado. 2000. Development of Larval Diets for Milkfish (Chanos chanos). Journal of Applied Ichthyology, Vol. 16, No. 2, pp. 68 – 72

Caric, M., Sanko-Njire, J. and Skaramuca, B. 1993. Dietary effects of different feeds on the biochemical composition of the rotifer (Brachionus plicatilis Müller). Aquaculture, Volume 110, Issue 2, 1 March 1993, Pages 141-150

Chumaidi dan A. Priyadi.2006. Pendederan benih Botia (Chromobotia macracanthus Bleeker) dengan Pemberian Berbagai pakan Hidup. www.faperta.ugm.ac.id\bidang_pakan_ikan.htm

Cruz-Suarez, L.E. and D. Ricque. 1992. Effect of Squid Meal on Growth of Penaeus monodon Juveniles Reared in Pond Pens and Tanks. Aquaculture, Vol. 106, No. 3 – 4, pp. 293 - 299

del Castillo, C.E., Gapasin, R.S. and Leaño, E. M. 2009. Enrichment potential of HUFA-rich thraustochytrid Schizochytrium mangrovei for the rotifer Brachionus plicatilis. Aquaculture, Vol. 293, Issues 1-2, 1 August 2009, pp. 57-61

Dominy, W.G. and C. Lim. 1991. Performance of Binders in Pelleted Shrimp Diets in D.M. Akiyama and R.K.H. Tan. (Eds.). 1991. Proceedings of The Aquaculture Feed Processing And Nutrition Workshop, Thailand and Indonesia, September 19 – 25, 1991. American Soybean Singapore. pp. 149 – 157

Evangelista, A.D., N. R. Fortes and C. B. Santiago. 1990. Comparison of Some Live Organisms and Artificial Diet as Feed for Asian Catfish Clarias macrocephalus (Günther) larvae. http://www.wiley.com/journal/118651623/abstract.htm

Farbridge, K.J., P.A. Flett and J.F. Leatherland. 1992. Temporal Effects of Restricted Diet and Compensatory Increased Dietary Intake on Thyroid Function, Plasma Growth Hormone Levels and Tissue Lipid Reserves of Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, Vol. 104, No. 1 – 2, pp. 157 - 174

Frolov, A.V., Pankov, S.L., Geradze, K.N. and Pankova, S.A. 1991. Influence of salinity on the biochemical composition of the rotifer Brachionus plicatilis (Muller) : aspects of adaptation. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology, Volume 99, Issue 4, Pages 541-550

Frolov, A.V., Pankov, S.L., Geradze, K.N., Pankova, S.A. and Spektorova, L.V. 1991. Influence of the biochemical composition of food on the biochemical composition of the rotifer Brachionus plicatilis . Aquaculture. Volume 97, Issues 2-3, 15 September 1991, Pages 181-202

Gomes, E.F. and S.J. Kaushik. 1990. Potential Use of Triticale in Diets for Rainbow Trout : Effects of Dietary Levels and Incidence of Cooking. Annual of Zootechnology, Vol. 39, No. 1, pp. 63 - 73

Hashim, R. and N.A. Mat Saat. 1992. The Utilization of Seaweed Meals as Binding Agents in Pelleted Feeds for Snakehead (Channa striatus) Fry and Their Effects on Growth. Aquaculture, Vol. 108, no. 3 – 4, pp. 299 – 308

Hertrampf, J.W. and Piedad-Pascual. F. 2003. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, Netherland. 624 pp

Igbinosun, J.E. and O.O. Roberts. 1988. Sodium Alginate as A Binder in Fish Feeds and Its Effects On The Nutritive Quality of Tilapia Diets. Nigerian Institute for Oceanography and Marine Research, Technical Paper No. 42, 16 pp.

James, C.M. and Abu-Rezeq, T.S. 1989. An intensive chemostat culture system for the production of rotifers for aquaculturestar. Aquaculture, volume 81, Issues 3-4, 15 October 1989, Pages 291-301

Kawai, S. and S. Ikeda. 1972. Studies on Digestive Enzymes of Fishes – II. Effect of Dietary Change on The Activities of Digestive Enzymes in Carp Intestine. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, Vol. 38, No. 3, pp. 265 - 270

Kennari, A. A., Ahmadifard, N., Seyfabadi, J. and Kapourchali, M. F. 2008. Comparison of Growth and Fatty Acids Composition of Freshwater Rotifer, Brachionus calyciflorus Pallas, Fed with Two Types of Microalgae at Different Concentrations. Journal of the World Aquaculture Society, vol. 39, pp. 235–242

Koshio, S., A. Kanazawa and S.-I. Teshima. 1992. Nutritional Evaluation of Dietary Soybean Protein for Juvenile Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii. Bulletin of The Japanese Societies of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 5, pp. 966 – 970

Kotani, T., Genka, T., Fushimi, H., Hayashi, M., Dierckens, K. and Sorgeloos, P. 2009. Effect of cultivation methods on nutritional enrichment of euryhaline rotifer Brachionus plicatilis. Fisheries Sciences, vol. 75, pp. 975–984

Kotani, T., Genka, T., Tanabe, M., Miyashima, A., Fushimi, H. and Hayashi, M. 2010. Effect of Nutritional Enrichment Method on Fatty Acid Contents of Rotifer Brachionus plicatilis. Journal of the World Aquaculture Society, vol. 41, pp. 884–892.

Lovell, R.T. 1991. Use of Soybean Products in Diets for Aquaculture Species : Revised in Akiyama, D.M. and R.K.H. Tan. (Eds.). 1991. Proceedings of The Aquaculture Feed Processing and Nutrition Workshop, Thailand and Indonesia. American Soybean Association, Singapore. pp. 173 – 187

Matsumoto, S., Satoh, S. , Kotani, T. and Fushimi, H. 2009. Examination of a practical method for zinc enrichment of euryhaline rotifers (Brachionus plicatilis). Aquaculture, Volume 286, Issues 1-2, 7 January 2009, Pages 113-120

Nichols, D.S., Hart, P., Nichols, P.D. and McMeekin, T.A. 1996. Enrichment of the rotifer Brachionus plicatilis fed an Antarctic bacterium containing polyunsaturated fatty acids. Aquaculture, Volume 147, Issues 1-2, 20 November 1996, Pages 115-125

Palma, J., D.P. Bureau and J.P. Andrade. 2008. Effects of Binder Type and Binder Addition on The Growth of Juvenile Palaemonetes varians and Palaemon elegans (Crustacea : Palaemonidae). Aquaculture International, Vol. 16, Issue 5, pp. 427 - 436

Rainuzzo, J.R., Olsen, Y. and Rosenlund, G. 1989. The effect of enrichment diets on the fatty acid composition of the rotifer Brachionus plicatilis. Aquaculture, Volume 79, Issues 1-4, Pages 157-161

Reitan, K.I., Rainuzzo, J.R., Øie, G. and Olsen, Y. 1997. A review of the nutritional effects of algae in marine fish larvae. Aquaculture, Volume 155, Issues 1-4, 20 September 1997, Pages 207-221

Rodríguez, C., Pérez, J.A., Izquierdo, M.S., Cejas, J.R., Bolaños, A. and Lorenzo, A. 1996. Improvement of the nutritional value of rotifers by varying the type and concentration of oil and the enrichment period. Aquaculture; Vol. 147, Issues 1-2; pp. 93-105

Ronyai, A. 1992. The possibility of partial substitution of Tubifex by salmon starter feed in nursing of sterlet x Siberian sturgeon (Acipenser rutinus L. x Acipenser baeri Brandt) hybrid fry. HALASZAT, no. 2, pp. 87-90

Santiago, C.B., M. Banes-Aldaba and E.T. Songalia. 1984. Effect of Artificial Diets on Growth And Survival of Milkfish Fry in Fresh Water. Aquaculture, Vol. 34, no. 3 – 4, pp. 247 – 252

Sayegh, F.A.Q, Radi, N. and Montagnes, D.J.S. 2007. Do strain differences in microalgae alter their relative quality as a food for the rotifer Brachionus plicatilis ? Aquaculture, Volume 273, Issue 4, 20 December 2007, Pages 665-678

Scott, A.P. and Baynes, S.M. 1978. Effect of algal diet and temperature on the biochemical composition of the rotifer, Brachionus plicatilis . Aquaculture, Volume 14, Issue 3, pp. 247-260

Sembrano-Timbol, A. 1974. Observations on The Growth of Young Bangus, Chanos chanos (Forsskal) on Two Types of Pelleted Food. Philippine Journal of Science, Vol. 103, no. 4, pp. 199 - 206

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Schmitz, O., E. Greuel and E. Pfeffer. 1984. Digestibility of Crude Protein and Organic Matter of Potential Sources of Dietary Protein For Eels (Anguilla anguilla L.). Aquaculture, Vol. 41, pp. 21 - 30

Seychelles, L., Audet, C., Tremblay, R., Fournier, R. and Pernet, F. 2009. Essential fatty acid enrichment of cultured rotifers (Brachionus plicatilis, Müller) using frozen-concentrated microalgae. Aquaculture Nutrition, vol. 15, pp. 431–439

Storebakken, T. 1985. Binders in Fish Feeds : I. Effect of Alginate and Guar Gum on Growth, Digestibility, Feed Intake and Passage Through The Gastrointestinal Tract of Rainbow Trout. Aquaculture, Vol. 47, pp. 11 - 26

Subandyah, S. 2009. Pengaruh Substitusi Pakan Alami (Tubifex) Dan Buatan terhadap Pertumbuhan Ikan Tilan Lurik Merah (Mastacembelus erythrotaenia Bleeker, 1850). Jurnal Iktiologi Indonesia, vol. 3 (2) 2003 : 67-72. http://digilib.biologi.lipi.go.id/view.html?idm=42179

Suryanti, Y. , A. Priyadi dan I. W.Subamia. .2006. Penentuan Saat Pemberian Pakan Buatan yang Tepat Berdasarkan Pedrkembangan Aktivitas Enzim Pencernaan pada Benih Botia (Botia macracantha). http://www.faperta.ugm.ac.id:\bidang_pakan_ikan.htm

Takeuchi, T., T. Arakawa, Y. Shiina, S. Satoh, K. Imaizumi, S. Sekiya and T. Watanabe. 1992. Effect of Dietary α- and β-Starch on Growth of Juvenile Stripped Jack and Yellowtail. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 4, pp. 701 – 705

Vilenkin, B.Y. and E.V. Berezkina. 1992. Dependence of The Feeding Rate in Puntius arulius (Pisces, Cyprinidae) on The Size of Food Particles. Zoologicheskii Zhurnal , Vol. 71, No. 8, pp. 59 - 68

Wacker, A. and Weithoff, G. 2009. Carbon assimilation mode in mixotrophs and the fatty acid composition of their rotifer consumers. Freshwater Biology, vol. 54, pp. 2189–2199

Watanabe, T., T. Arakawa, C. Kitajima and S. Fujita. 1984a. Effect of Nutritional Quality of Broodstock Diets On Reproduction of Red Sea Bream. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, Vol. 50, No. 3, pp. 495 - 501

Watanabe, T., A. Itoh, C. Kitajima and S. Fujita. 1984b. Effect of Dietary Protein Levels On Reproduction of Red Sea Bream. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, Vol. 50, No. 6, pp. 1015 – 1022

Watanabe, T., M.-J. Lee, J. Mizutani, T. Yamada, S. Satoh, T. Takeuchi, N. Yoshida, T. Kitada and T. Arakawa. 1991. Effective Components in Cuttlefish Meal and Raw Krill for Improvement of Quality of Red Seabream Pagrus major Eggs. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 57, No. 4, pp. 681 - 694

Tidak ada komentar:

Posting Komentar