Jumat, 04 Mei 2018

Hormon Pada Ikan dan Hewan Air


Daftar Isi

Bab I. Sejarah Endokrinologi

Bab II. Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon
- Transpor Hormon
- Mekanisme Kerja Hormon

Bab III. Hormon Avertebrata, Vertebrata, Pituitari dan Metamorfosis

- Konsep Umum dan Hormon Pada Avertebrata
- Hormon Pada Vertebrata
- Hormon Yang Dihasilkan Pituitari Teleostei
- Hormon Yang Terlibat Dalam Metamorfosis Ikan Sebelah

Bab IV. Hormon Pertumbuhan Ikan

- Fungsi Hormon Pertumbuhan Pada Ikan
- Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Pada Ikan
- Pengaruh Estradiol Dan Testosteron Terhadap Sekresi Hormon Pertumbuhan Ikan
- Growth Hormone Releasing Factor Pada Cyprinus carpio
- Kesulitan Pemanfaatan Hormon Pertumbuhan Dalam Akuakultur
- Mempersingkat Periode Pemijahan Ikan Dengan Menggunakan Hormon Pertumbuhan Sebagai Indikator

Bab V. Pengendalian Jantung Ikan Oleh Adrenalin

- Hubungan Denyut Jantung Ikan dan Adrenalin
- Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Trout Sebelum dan Setelah Migrasi
- Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Sidat

Referensi :



Bab I
Sejarah Endokrinologi

Tulisan Hippocrates dan Aristoteles pada tahun 460 – 322 berisi informasi mengenai pengendalian internal terhadap beberapa fungsi tubuh organisme. Aristoteles menjelaskan pengaruh pengebirian (kastrasi) pada burung dan manusia meskipun mekanisme yang terlibat dalam proses ini belum diketahui. Mekanisme tersebur baru dipahami 2.000 tahun kemudian. Pada 1775 Bordeau menyatakan bahwa testes membentuk suatu substansi yang berperanan dalam pembentukan darah dan mempengaruhi tubuh binatang. Pada 1849 Berthold mulai mengadakan penelitian pertama kali yang melibatkan pengebirian. Dengan mengebiri ayam jantan muda dan mencangkokkan testes, ia dapat mengidentifikasi testes cangkokan tesebut sebagai organ yang bertanggung jawab terhadap kenormalan tingkah laku seksual dan perkembangan organ-organ seksual sekunder. Ia juga menunjukkan bahwa terhentinya pertumbuhan jengger pada ayam yang dikebiri disebabkan oleh kekurangan substansi humoral yang diproduksi oleh testes.

Tahun yang patut dikenang dalam sejarah endokrinologi adalah 1899 karena ketika itu ahli kedokteran Perancis Brown-Sequard melaporkan bahwa ia telah meremajakan-diri pada usia 72 tahun dengan menyuntik diri sendiri cairan ekstrak testes anjing. Sekarang diketahui bahwa hal ini tidak mungkin; ia tampaknya berkelakar. Bagaimanapun, laporannya itu mendorong ahli-ahli lain untuk mengadakan penelitian. Pada tahun 1899 Von Mering dan Minkowski melaporkan penemuan bersejarahnya bahwa sejenis penyakit, yang kemudian dikenal sebagai diabetes melitus, dapat dialami oleh anjing setelah pankreasnya dihilangkan. Penemuan penting ini akhirnya membawa ke arah penemuan insulin dan dengan hormon ini orang dapat mengendalikan diabetes melitus pada manusia dan binatang.

Endokrinologi abad ke-20 mengawali kegiatannya dengan penelitian yang dilakukan oleh Bayliss dan Starling yang hasilnya diterbitkan pada tahun 1902. Mereka menemukan bahwa sejenis hormon, yaitu sekretin, dilepaskan oleh lendir dalam duodenum (usus 12 jari) setelah duodenum tersebut dilalui oleh makanan yang bersifat asam yang telah dilumatkan oleh lambung. Sekretin ditemukan beredar bersama darah masuk ke pankreas dan di sini menyebabkan cairan pankreas keluar menuju saluran pankreatik. Ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan bahwa sistem endokrin dapat mengintegrasikan fungsi-fungsi organ tubuh tanpa bantuan sistem saraf. Hal ini juga mengantarkan Bayliss dan Starling untuk memakai kata hormon bagi substansi yang baru ditemukannya itu, yakni sekretin.

Masa 25 tahun pertama dari abad ke-20 ini dicirikan oleh penemuan-penemuan yang menunjukkan bahwa organ endokrin tertentu mempengaruhi reaksi tertentu dengan substansi humoral tertentu sebagai mediatornya. Susbtansi humoral ini belum diketahui hingga masa 25 tahun kedua di mana identifikasi substansi humoral tersebut mulai dilakukan. Identifikasi ini, sudah tentu, bergantung kepada perkembangan teknik biokimia untuk mengekstraksi dan mengidentifikasinya.

Usaha mengidentifikasi dan mensintesis berbagai jenis hormon selama 35 tahun terakhir ini merupakan kisah yang menarik. Mungkin kemajuan paling besar terjadi pada tahun 1949 ketika Hench dan kawan-kawannya mengumumkan bahwa sejenis hormon dari adrenal cortex, kortison atau senyawa E, menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinis penyakit rheumatoid arthritis. Pernyataan ini mendorong industri farmasi berlomba-lomba mensintesis hormon tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan medis. Mikroorganisme dimanfaatkan untuk mempengaruhi perubahan enzimatis molekul-molekul steroid dengan tujuan memproduksi hormon kortison. Ubi rambat dari Meksiko merupakan bahan baku untuk mensintesis steroid yang mudah diubah menjadi progesteron dan kemudian progesteron ini diubah menjadi kortison dengan bantuan bakteri pengoksigenasi. Saat ini kortison tidak hanya mudah diperoleh dengan harga terjangkau, tetapi juga steroid-steroid lain, yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh binatang, telah dapat diproduksi dengan hasil kerja yang lebih baik dibandingkan substansi alami, hidrokortison (kortisol) atau kortikosteron.

Contoh lain perkembangan penting yang terjadi dalam bidang endokrinologi dan kedokteran adalah penemuan pada tahun 1953 oleh Simpson dan Tait yaitu bahwa steroid yang sebelumnya tak teridentifikasi yang ditemukan dalam ekstrak kelenjar adrenal ternyata adalah aldosteron. Penelitian tersebut berjalan lambat karena hormon ini hanya ada dalam jumlah beberapa mikrogram hinggga membutuhkan teknik yang lebih rumit untuk dapat menemukannya. Hormon ini bertanggung jawab terhadap proses pengaturan metabolisme elektrolit dan air.

Bab II
Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon

Transpor Hormon

Setelah diproduksi oleh suatu kelenjar, hormon-hormon protein biasanya disimpan di dalam kelenjar tersebut sampai saatnya diperlukan. Bila diperlukan, mereka kemudian disekresi ke dalam kapiler-kapiler yang akan membawa hormon tersebut ke organ sasaran. Hormon-hormon steroid tidak disimpan melainkan dilepaskan setelah diproduksi.

Sedikit, bila bukan banyak, hormon steroid beredar bersama darah sebagai hormon mati setelah dilepaskan dari organ endokrin pembentuknya. Plasma darah mengandung substansi pembawa protein bagi hormon-hormon steroid dan tiroksin. Susbtansi tersebut adalah thyroxin-binding globulin (TBG; globulin pengikat-tiroksin), corticosterol-binding globulin (CBG), juga disebut transcortin, yang mengikat adrenokortikosteroid dan progesteron, dan sex-hormone-binding globulin (SHBG), yang mengikat estradiol dan testosteron. Terikatnya hormon oleh protein plasma darah ini membatasi difusi hormon tersebut ke dalam jaringan, tetapi pada saat yang sama memperpanjang aktivitas hormon karena pengikatan tersebut melindunginya dari proses penguraian dan penyingkiran. Hormon dalam bentuk terikat seperti ini tidak dapat memasuki sel dan juga tidak dapat bekerja. Kehamilan meningkatkan konsentrasi yodium atau hormon tiroid yang terikat-protein (protein-bound iodine, PBI), tetapi laju metabolisme basal tetap sama seperti semula karena hormon ditahan di dalam darah dan hanya diberikan pada jumlah normal ke jaringan dalam keadaan bebas untuk merangsang metabolisme.

Hormon steroid seks terikat kuat oleh SHBG sehingga meningkatkan daya larut steroid di dalam medium darah yang cair. Steroid-terikat tersebut secara biologi tidak aktif tetapi ia dalam kondisi seimbang dengan sejumlah kecil steroid-bebas yang memasuki sel sasaran.

Tiroksin memiliki periode kerja yang lebih pendek di dalam tubuh ayam daripada di dalam tubuh mamalia, mungkin karena bangsa burung memiliki kemampuan rendah dalam mengikat tiroksin. Akibatnya, tiroksin dibuang melalui metabolisme dari tubuh burung lebih cepat dibandingkan dari tubuh mamalia yang memiliki protein plasma dengan kemampuan lebih besar dalam mengikat tiroksin.

Mekanisme Kerja Hormon

Dua kelas kimia hormon, steroid dan peptida, tampaknya memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Hormon tiroid dan steroid bermolekul kecil (berat molekul 300) sehingga dapat menyebar bebas ke dalam sebagian besar sel-sel tubuh; membran plasma tidak menjadi penghalang. Bertolak belakang dengan hormon steroid, hormon-hormon peptida memiliki molekul besar (berat molekul 10.000 atau lebih), dan karena ukurannya itu mereka tidak dapat menembus membran plasma. Untuk itu, hormon-hormon peptida menjalankan aksinya pada permukaan sel secara tidak langsung.

Meskipun semua sel terpapar hormon, hanya sedikit sel yang dapat menanggapi rangsangan hormon sehingga mereka disebut sel-sel sasaran. Sel sasaran dapat menanggapi rangsangan hormon karena mempunyai suatu daerah reseptor yang sangat khusus. Reseptor terletak di permukaan sel untuk hormon-hormon peptida, dan di dalam sitoplasma sel untuk hormon-hormon steroid.

Daerah reseptor khusus pada organ sasaran secara selektif “mengikat”, “menyerap’ atau “memerangkap” suatu hormon tertentu ke membran selnya sebagai langkah pertama dalam aksi hormon peptida, misalnya Luteinizing Hormone (LH).

Langkah kedua dalam aksi LH adalah perangsangan terhadap enzim adenil siklase di dalam membran sel untuk mengubah ATP menjadi adenosin monofosfat nukleotida, siklik 3,5-AMP, atau c-AMP. cAMP (messenger II) menyediakan energi untuk sintesis protein. Hormon-hormon ACTH, LH, FSH, TSH dan HCG beraksi melalui jalur AMP ini. cAMP mempengaruhi sintesis protein, dan protein perangsang menyebabkan mitokondria memproduksi suatu hormon (messenger III). Produksi steroid oleh adrenal cortex dan gonad diatur oleh cAMP. Penyuntikan cAMP memberikan pengaruh besar terhadap fungsi LH atau ACTH sampai beberapa derajat.

Bab III
Hormon Avertebrata, Vertebrata, Pituitari dan Metamorfosis

Konsep Umum dan Hormon Pada Avertebrata

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa hormon adalah pembawa pesan kimia yang disintesis oleh sel endokrin khusus dan sel-sel lain kemudian diangkut oleh darah menuju sel sasaran di mana mereka mempengaruhi fungsi sel dengan mengubah proses-proses biokimia tertentu. Spesifikasi respon dijamin oleh adanya reseptor protein pada atau di dalam sel sasaran yang hanya mengikat hormon-hormon tertentu. Pengaruh hormon sangat diperkuat di dalam sel sasaran melalui salah satu dari dua mekanisme dasar. Banyak jenis hormon, termasuk epinefrin, glukagon, vasopresin dan beberapa hormon dari pituitari anterior, menyebabkan produksi “pembawa pesan kedua”, seperti AMP siklik, yang menyampaikan-kembali pesan hormon dari reseptor permukaan ke mesin biokimia sel. Hormon-hormon steroid dan hormon-hormon tiroid bekerja melalui reseptor inti. Kompleks hormon-reseptor mengubah sintesis protein dengan merangsang atau menghambat transkripsi gen.

Menurut Hickman et al. (2001) kebanyakan hormon invertebrata merupakan produk dari sel neurosekretori. Sistem endokrin avertebrata yang dipahami paling baik adalah hormon pengendali molting (ganti kulit) dan metamorfosis pada serangga. Serangga juvenil tumbuh dengan melewati serangkaian proses ganti kulit di bawah kendali dua jenis hormon, pertama hormon ekdison yang mengatur ganti kulit sampai menjadi individu dewasa dan kedua hormon juvenil yang mempertahankan sifat-sifat juvenil. Ekdison dikendalikan oleh sejenis hormon neurosekretori (PTTH) dari otak.

Hormon Pada Vertebrata

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa sistem endokrin vertebrata diatur oleh hipotalamus. Pelepasan semua hormon pituitari anterior diatur terutama oleh produk-produk neurosekresi hipotalamus yang disebut “releasing hormone/hormon pelepas” (atau hormon penghambat pelepasan). Hipotalamus juga menghasilkan dua jenis hormon neurosekresi, yang disimpan di dalam dan dilepaskan dari lobus pituitari posterior. Pada mamalia, kedua hormon ini adalah oksitosin, yang merangsang produksi susu dan kontraksi uterus selama proses kelahiran; dan vasopresin (hormon antidiuretik) yang bertindak terhadap ginjal untuk menghambat produksi urin, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, dan meningkatkan rasa haus. Pada amfibi, reptil dan burung, vasotosin menggantikan vasopresin sebagai hormon pengatur keseimbangan air. Lobus pituitari anterior menghasilkan tujuh jenis hormon yang telah dikenal dengan baik. Empat di antaranya adalah hormon “tropic” yang mengatur kelenjar endokrin : hormon tirotropik (TSH), yang mengendalikan sekresi hormon-hormon tiroid; hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang pelepasan hormon-hormon steroid oleh korteks anak-ginjal; dan “follicle-stimulating hormone’ (FSH; hormon perangsang folikel) dan “luteinizing hormone’ (LH), yang beraksi terhadap ovari dan testes. Tiga jenis hormon yang bertindak langsung adalah (1) prolaktin, yang memainkan beberapa peranan beragam, termasuk merangsang produksi susu; (2) hormon pertumbuhan, yang mengendalikan pertumbuhan dan metabolisme tubuh; dan (3) hormon perangsang melanosit (MSH), yang mengatur penyebaran sel-sel melanosit pada vertebrata ektoterm.

Hickman et al. (2001) menambahkan bahwa pada banyak vertebrata, kelenjar pineal menghasilkan hormon melatonin yang dilepaskan sebagai respon terhadap kondisi gelap. Pada burung dan mamalia yang merupakan pemijah musiman, melatonin menyediakan informasi tentang panjang hari, dan dengan demikian secara tidak langsung mengatur aktivitas reproduksi musiman. Di dalam otak ada beberapa neuropeptida yang bertindak sebagai hormon, yaitu prostaglandin dan sitokin. Beberapa hormon memainkan peranan penting dalam mengatur aktivitas metabolik seluler. Dua hormon tiroid, yaitu triodotironin dan tiroksin, mengatur pertumbuhan, perkembangan sistem saraf dan metabolisme seluler. Metabolisme kalsium dikendalikan terutama oleh tiga jenis hormon : hormon paratiroid dari kelenjar paratiroid, hormon 1,25-dihidroksivitamin D yang merupakan turunan vitamin D, dan kalsitonin dari kelenjar tiroid. Hormon paratiroid dan 1,25-dihidroksivitamin D meningkatkan konsentrasi kalsium dalam plasma darah sedang kalsitonin menurunkannya.

Hormon-hormon steroid utama dari kortek adrenal adalah glukokortikoid, yang merangsang pembentukan glukosa dari sumber non glukosa (glukoneogenesis), dan mineralokortikoid, yang mengatur keseimbangan elektrolit darah. Medula adrenal merupakan sumber hormon epinefrin dan norepinefrin, yang mempunyai banyak pengaruh, di antaranya membantu sistem saraf simpatetik dalam respon darurat. Mereka juga meningkatkan subtrat energi di dalam darah untuk digunakan pada situasi darurat. Pankreas endokrin menghasilkan dua jenis hormon yang bekerja berlawanan (antagonistik) dalam mengatur metabolisme glukosa, yaitu insulin dan glukagon. Insulin dibutuhkan dalam proses pemanfaatan glukosa darah pada tingkat seluler serta penyerapan asam-asam amino di dalam otot; aksi glukagon berlawanan dengan insulin. Hormon yang ditemukan baru-baru ini adalah leptin, yang disekresi oleh jaringan lemak (adipose) dan memberi umpan balik bagi hipotalamus untuk mengatur keseimbangan energi dan pengambilan makanan (Hickman et al., 2001).

Hormon Yang Dihasilkan Pituitari Teleostei

Matty (1985) meringkaskan jenis dan fungsi hormon-hormon yang diproduksi oleh adenohipofisis pada ikan teleostei. Hormon pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan ikan secara linier dengan berbagai cara. Hormon ini merangsang nafsu makan, memperbaiki konversi pakan, meningkatkan sintesis protein, mengurangi kehilangan nitrogen, merangsang oksidasi dan memobilisasi lemak serta secara langsung atau pun tidak langsung mendorong sintesis dan pelepasan insulin. Hormon prolaktin memodifikasi pergerakan air dan natrium melewati insang, ginjal dan kandung kemih serta mempengaruhi kulit dan saluran pencernaan; prolaktin juga terlibat dalam metabolisme lipida dan penyimpanan lemak serta menurunkan kadar tiroksin dalam serum darah. Hormon tirotropin merupakan sejenis glikoprotein dan berfungsi mengatur fungsi kelenjar tiroid. Hormon adrenokortikotropin (ACTH) menyebabkan peningkatan kadar kortisol pada ikan trout dan respon ini sama seperti pada ACTH babi. “Melanophore Stimulating Hormone” (MSH) mengatur perubahan warna tubuh ikan teleostei. Hormon gonadotropin (GTH) ada yang kaya-karbohidrat dan ada yang miskin-karbohidrat; gonadotropion-kaya karbohidrat terlibat dalam proses-proses seperti steroidogenesis, spermiasi (pembentukan sperma), pematangan oosit (sel telur) dan ovulasi, sedangkan gonadotropin miskin-karbohidrat berkaitan dengan vitelogenesis (produksi kuning telur) meskipun gonadotropin kaya-karbohidat pada beberapa spesies ikan juga terlbat dalam vitelogenesis. Selain hormon-hormon tersebut kelenjar pituitari teleostei juga menghasilkan “Hypothalamic Release Hormone” (hormon pelepas hipotalamik), “Thyrotropin-Releasing Hormone” (TRH; hormon pelepas tirotropin) dan “Gonadotropin Releasing Hormone” (GRH; hormon pelepas gonadotropin).

Hormon Yang Terlibat Dalam Metamorfosis Ikan Sebelah

Jesus et al. (1992) melaporkan bahwa pada mamalia, tiroksin (T-4) dianggap sebagai prohormon yang diubah menjadi triodotironin (T-3) agar dapat memberikan pengaruh biologisnya. Tiroksin juga mengalami monodeiodinasi untuk menghasilkan kebalikan T-3 (rT-3) yang tak aktif. Selama metamorfosis ikan sebelah, kadar tiroksin dalam jaringan menunjukkan peningkatan dramatis sedangkan kadar T-3 hanya meningkat sedikit. Bagaimanapun, T-3 beberapa kali lebih potensial daripada T-4 dalam merangsang metamorfosis. Uji terhadap aktivitas 5- dan 5’- monodeiodinase telah dikembangkan. Laju 5- dan 5’- monodeiodinasi adalah rendah selama pro metamorfosis, tetap tinggi selama klimak metamorfosis, dan menurun saat pasca klimaks dan pada ikan juvenil. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa pengubahan T-4 dan T-3 meningkat selama metamorfosis. rT-3 semula dilaporkan tidak ada pada plasma darah ikan teleostei; bagaimanapun, tidak hanya rT-3 yang ada dalam homogenat badan utuh ikan sebelah pada semua tahap metamorfosis, tetapi juga konsentrasinya berubah hampir sejalan dengan perubahan konsentrasi T-4 dan T-3.

Bab IV
Hormon Pertumbuhan Ikan

Fungsi Hormon Pertumbuhan Pada Ikan

Yousefian dan Shirzad (2011) meringkaskan hasil-hasil penelitian mengenai fungsi hormon pertumbuhan pada ikan. Aksi-aksi biologis hormon pertumbuhan bersifat pleiotropic (mempengaruhi dua hal atau lebih yang tampaknya tidak berkaitan), termasuk perangsangan pertumbuhan, mobilisasi energi, perkembangan gonad, nafsu makan, perilaku sosial, osmoregulasi dan kontrol sistem kekebalan. Sistem pengaturan hormon pertumbuhan adalah kompleks serta mencakup banyak faktor endokrin dan lingkungan. Hormon pertumbuhan, yang merupakan kelompok hormon yang mencakup prolaktin, merangsang aklimasi terhadap air laut pada beberapa ikan teleostei, setidaknya melalui aksi faktor pertumbuhan mirip-insulin. Dalam epitel insang, perkembangan dan diferensiasi sel klorida tipe-air laut diatur oleh hormon pertumbuhan, IGF-I (faktor pertumbuhan mirip-insulin), dan kortisol. Hormon pertumbuhan pada ikan mempengaruhi beraneka ragam fungsi dan berperanan pada hampir semua proses fisiologis utama termasuk pengaturan ion dan metabolisme lipida, protein, karbohidrat serta keseimbangan osmotik, pertumbuhan tulang dan jaringan lunak, juga fungsi reproduksi dan kekebalan. Studi terbaru menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan mempengaruhi beberapa aspek perilaku, termasuk nafsu makan, perilaku mencari makan, agresi dan penghindaran dari pemangsa, yang selanjutnya memiliki dampak ekologis.

Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Pada Ikan

Deane dan Woo (2009) mengulas arti penting dan pengaturan hormon pertumbuhan ikan selama mengalami stres. Perubahan salinitas lingkungan menyebabkan stres osmoregulasi pada ikan, dan ketika terpapar terhadap salinitas yang makin meningkat, hormon pertumbuhan menjadi penting dalam mempertahankan fungsi hipoosmoregulasi. Pada penelitian terhadap ikan salmonidae, terlihat bahwa hormon pertumbuhan berperanan penting sebagai hormon pengadaptasi air laut. Pada penelitian terhadap ikan sparidae, telah teridentifikasi adanya korelasi nyata antara peningkatan hormon pertumbuhan dengan pertumbuhan dan pemaparan terhadap salinitas isoosmotik. Variasi suhu air terbukti mempengaruhi konsentrasi hormon pertumbuhan, dengan konsentrasi tertinggi terjadi selama bulan-bulan musim hangat dalam setahun, yang memperkuat dugaan bahwa hormon pertumbuhan berperanan penting selama proses aklimasi suhu, tetapi kaitan hal ini dengan pertumbuhan masih belum jelas. Bahan-bahan pencemar penting, termasuk xenoestrogen dan logam berat terbukti mempengaruhi mekanisme-mekanisme yang diperantarai oleh hormon pertumbuhan pada ikan, mungkin dengan cara mengganggu reseptor dan/atau transkripsi hormon pertumbuhan, sedangkan stres terkait aktivitas akuakultur seperti penanganan, kondisi berdesak-desakan dan stres nutrisi juga mempengaruhi konsentrasi hormon pertumbuhan.

Pengaruh Estradiol Dan Testosteron Terhadap Sekresi Hormon Pertumbuhan Ikan

Trudeau et al. (1992) meneliti pengaruh hormon testosteron dan estradiol terhadap konsentrasi hormon pertumbuhan dalam serum darah sepanjang siklus reproduksi musiman ikan mas koki betina. Pada ikan betina yang diberi cangkok kapsul kosong, terjadi variasi musiman konsentrasi hormon pertumbuhan dalam serum darah; konsentrasi maksimum hormon pertumbuhan adalah pada musim semi sedangkan konsentrasi minimumnya terjadi pada musim panas dan awal musim gugur. Pencangkokan kapsul berisi estradiol mendorong peningkatan konsentrasi hormon pertumbuhan sepanjang siklus reproduksi. Perlakuan estradiol meningkatkan sampai 4 kali lipat pelepasan hormon pertumbuhan yang dirangsang oleh “salmon gonadotropin releasing hormone” (sGnRH). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa estradiol, tetapi testosteron tidak, merangsang sekresi hormon pertumbuhan sepanjang siklus reproduksi ikan mas koki betina. Selain itu, sGnRH dan “thyrotropin releasing hormone” merangsang pelepasan hormon pertumbuhan pada ikan teleostei, dan respon perangsangan ini ditingkatkan oleh konsentrasi fisiologis estradiol.

Growth Hormone Releasing Factor Pada Cyprinus carpio

Vaughan et al. (1992) melaporkan bahwa sejenis peptida mirip-GRF (Growth Hormone Releasing Factor) telah diisolasi dari hipotalamus ikan mas, Cyprinus carpio, dengan ekstraksi asam, kromatografi filtrasi gel, kromatografi imunoafinitas yang menggunakan anti serum untuk melawan GRF tikus, dan proses ganda HPLC yang menggunakan kolom oktadesil. Berdasarkan degradasi Edman dan pemetaan peptida, GRF teleostei ini dinyatakan sebagai peptida 45-residu dengan struktur primer sebagai berikut : His-Ala-Asp-Gly-Met-Phe-Asn-Lys-Ala-Tyr-Arg-Lys-Ala-Leu-Gly-Gln-Leu-Ser-Ala-Arg-Lys-Tyr-Leu-His-Thr-Leu-Met-Ala-Lys-Arg-Val-Gly-Gly-Ser-Met-Ile-Glu-Asp-Asp-Asn-Glu-Pro-Leu-Ser. GRF ikan mas berkerabat dekat secara struktural dengan peptida-peptida super famili sekresi-glukagon, dan terutama dengan bahan pokok Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) mamalia dan bagian terminal-N dari GRF mamalia.

Kesulitan Pemanfaatan Hormon Pertumbuhan Dalam Akuakultur

Matty (1985) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan bisa digunakan sebagai agen pemacu pertumbuhan dalam kultur ikan. Permasalahannya adalah ada dua faktor utama yang menyulitkan penggunaannya. Pertama, kesulitan memperolehnya dalam jumlah cukup dan kedua, sebagai polipeptida bisa diduga bahwa hormon ini akan hancur oleh enzim pencernaan bila diberikan lewat mulut. Jadi penggunaannya dalam akuakultur terbatas. Bagaimanapun, kemungkinannya terletak pada sintesis molekul ini secara bioteknologi. Juga adalah mungkin untuk memberikan hormon ini lewat mulut karena ada petunjuk bahwa pertumbuhan ikan bisa dipacu setelah memberi materi lewat mulut. Mungkin bahwa molekul ini sebelum diserap hanya terurai sebagian, seperti halnya kasus pada hormon pertumbuhan binatang bovine; pecahan-pecahan molekul ini ketika dicerna masih mempertahankan sebagian aktivitas perangsangan pertumbuhan. Walaupun pemberian hormon pertumbuhan lewat mulut bersama makanan bisa diterapkan, saat ini cara yang tepat untuk merangsang pertumbuhan adalah dengan penyuntikan atau pencangkokan hormon. Penggunaan hormon pertumbuhan bovine dengan cara ini bisa digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ikan stok yang dipilih sebagai calon induk.

Mempersingkat Periode Pemijahan Ikan Dengan Menggunakan Hormon Pertumbuhan Sebagai Indikator

Zhong et al. (2010) melaporkan bahwa untuk mempersingkat periode pemijahan ikan transgenik yang tumbuh-cepat dan mengurangi beban kerja penyeleksian, telah dilakukan studi yang menggunakan metode penyeleksian baru untuk mendeteksi konsentrasi hormon pertumbuhan dalam serum darah ikan cyprinidae dengan kombinasi teknik ELISA dan antibodi monoklonal. Untuk menguji keefektivan metode baru ini, konsentrasi hormon pertumbuhan dalam serum darah dan laju pertumbuhan ikan karper transgenik dan ikan kontrol dibandingkan; pada saat yang sama metode PCR konvensional juga dilaksanakan untuk perbandingan. Pada generasi F-4, yang merupakan turunan dari ikan karper normal atau ikan transgenik yang tumbuh-cepat, konsentrasi hormon pertumbuhan dalam serum darah antara ikan karper transgenik dan ikan kontrol adalah berbeda nyata berdasarkan ELISA. Laju pertumbuhan ikan karper transgenik secara konsisten dan secara nyata lebih tinggi daripada ikan kontrol. Dibandingkan dengan metode penyeleksian PCR konvensional yang sering memberikan hasil positif palsu, metode penyeleksian baru ini yang menggunakan deteksi ELISA secara langsung dan efektif memilih ikan transgenik, sehingga sangat mengurangi periode pemijahan ikan transgenik.

Bab V
Pengendalian Jantung Ikan Oleh Adrenalin

Hubungan Denyut Jantung Ikan dan Adrenalin

Jantung ikan mempunyai reseptor yang berespon terhadap adrenalin yang ada di dalam darah. Kadar adrenalin di dalam darah meningkat ketika denyut jantung dipercepat (Smith, 1982). Bahkan menurut Keen et al. (1992) adrenalin meningkatkan kekuatan denyut jantung aktif pada ikan sampai tiga kali lipat. Dari hasil penelitian terhadap isolat jantung rainbow trout, Rytter dan Gesser (2007) menyimpulkan bahwa adrenalin dengan konsentrasi sekecil 0.5 µM sanggup meningkatkan kekuatan denyut jantung sebesar 68 sampai 97%. Konsumsi oksigen jantung juga meningkat sebesar 70%.

Matty (1985) menyatakan bahwa adrenalin dari ikan cucut anjing meningkatkan secara nyata amplitudo denyut jantung pada ikan ini, tetapi frekuensinya sedikit meningkat. Pada mamalia adrenalin meningkatkan kekuatan, amplitudo dan frekuensi denyut jantung dan menurunkan hambatan sirkulasi periferal dengan cara melebarkan pembuluh darah rangka. Tekanan darah dan output jantung juga meningkat cukup banyak.

Jantung dan pembuluh darah sekitarnya pada ikan siklostomata mengandung agak banyak adrenalin dan noradrenalin. Pada ikan Myxine glutinosa ada lebih banyak adrenalin dalam ventrikel dan lebih banyak noradrenalin dalam atrium sedang pada ikan lamprey (Lampetra fluviatilis) atriumnya mengandung hampir semua adrenalin. Alasan untuk hal ini tidak diketahui. Pada vertebrata tingkat tinggi dan juga pada elasmobranchii serta teleostei adrenalin dan noradrenalin merangsang jantung. Adrenalin terutama menigkatkan laju denyut jantung dan output jantung. Bagaimanapun, pengaruh ini sangat kecil atau tidak ada pada ikan siklostomata (Matty, 1985).

Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Trout Sebelum dan Setelah Migrasi

Menurut Pennec (1987) adrenalin merangsang isolat jantung trout (Salmo gardnerii) melalui mekanisme perangsangan beta adrenoreseptor. Pengaruh ini relatif lebih nyata pada musim dingin dibandingkan pada musim semi. Tetapi variasi musiman seperti ini tidak dijumpai pada ikan sidat. Reaktivitas intrinsik jantung ini tidak mengalami perubahan mendasar setelah dipindahkan dari air tawar ke air laut. Bagaimanapun, setelah pemindahan seperti ini, adrenalin merangsang peningkatan potensial membran istirahat (membrane resting potential) yang menguatkan dugaan bahwa adrenalin dapat meningkatkan aktivitas pompa Na/K dan/atau memodifikasi keseimbangan Ca/K serta dapat memperbaiki kondisi jantung selama “periode krisis” setelah pemindahan tersebut.

Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Sidat

Pennec dan Peyraud (1983) telah mempelajari efek adrenalin terhadap otot jantung ikan sidat selama musim dingin pada isolat jantung ikan sidat yang direndam. Mereka menyimpulkan bahwa adrenalin tidak efektif baik terhadap aktivitas perintis maupun potensial aksi aurikular tetapi meningkatkan secara nyata lama potensial aksi ventrikular, sehingga menyebabkan hilangnya sinkronisasi aurikel-ventrikel. Efek ini tidak dapat dibalik oleh propranolol tetapi bisa dibalik oleh fentolamin dan ditimbulkan oleh perangsangan α reseptor. Kedua peneliti juga menyimpukan bahwa klonidin memperkuat efek adrenalin tetapi juga mengurangi ritme jantung, mungkin melalui α2 adrenoreseptor.

Percobaan telah dilakukan pada isolat jantung sidat (Anguilla anguilla) yang direndam dan hasilnya menunjukkan bahwa jantung secara spontan melepaskan katekolamin (yakni. adrenalin, noradrenalin, dopamin) yang berarti bahwa mreka memainkan peranan dalam pengaturan jantung. Perangsangan cabang-cabang saraf vagus jantung secara nyata meningkatkan kadar katekolamin, sebagaimana yang terukur di dalam medium rendaman serta secara serentak meningkatkan laju jantung dan tekanan sistolik. Efek desmetilimipramin menunjukkan bahwa katekolamin dilepaskan dari ujung-ujung saraf dan tdak dari sel-sel endotelial (Pennec dan Le Bras, 1984).

Referensi :


Deane, E.E. and N.Y.S. Woo. 2009. Modulation of Fish Growth Hormone Levels by Salinity, Temperature, Pollutants and Aquaculture Related Stress : A Review. Reviews in Fish Biology and Fisheries. Vol. 19, Issue 1, pp. 97 - 120

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Jesus, E.G. de, M. Tagawa and T. Hirano. 1992. Changes in Monodeiodinase Activities During Flounder Metamorphosis. Zoology Sciences, vol. 9, no. 6, p. 1264

Keen, J.E., Farrell, A.P., Tibbits, G.F. & Brill, R.W. 1992. Cardiac physiology in tunas. 2. Effect of ryanodine, calcium, and adrenaline on force-frequency relationships in atrial strips from skipjack tuna, Katsuwonus pelamis. Canadian Journal of Zoology/Review of Canadian Zoology, vol. 70, no. 6, pp. 1211-1217

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press, Portland, USA. 267 pp.

Montpetit, C.J. and Perry, S.F. 2002. Adrenergic regulation of catecholamine secretion from trout (Oncorhynchus mykiss) chromaffin cells. Journal of Endocrinology , vol. 173, pp. 187–197

Mendonça, P.C., Genge, A.G., Deitch, E.J. and Gamperl, A.K. 2007. Mechanisms responsible for the enhanced pumping capacity of the in situ winter flounder heart (Pseudopleuronectes americanus). Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol , vol. 293, pp. 2112- 2119

Pennec, J.P. 1987. Effects of adrenaline on the isolated heart of the trout (Salmo gairdneri R.) before and after transfer from fresh water to sea water .Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Comparative Pharmacology Vol. 87, Issue 2, pp. 429-431

Pennec, J.P. and Le Bras, Y.M. 1984. Storage and release of catecholamines by nervous endings in the isolated heart of the eel (Anguilla anguilla L.). Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Comparative Pharmacology, Vol. 77, Issue 1 , pp. 167-171

Pennec, J.P. and Peyraud, C. 1983. Effects of adrenaline on isolated heart of the eel (Anguilla anguilla L.) during winter. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Comparative Pharmacology, Vol. 74, Issue 2, pp. 477-480

Rytter, D. and Gesser, H. 2007. The effect of adrenaline and high Ca2+ on the mechanical performance and oxygen consumption of the isolated perfused trout heart. Comparative Biochemistry and Physiology, Part A, vol.147, pp. 1083 -1089

Smith, L.S. 1982. Introduction to fish physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong.352 pp.

Trudeau, V.L., G.M. Somoza, C.S. Nahorniak and R.E. Peter. 1992. Interactions of Estradiol With Gonadotropin-Releasing Hormone and Thyrotropin-Releasing Hormone in The Control of Growth Hormone Secretion in The Goldfish. Neuroendocrinology, Vol. 54, No. 4, pp. 483 - 490

Vaughan, J.M., J. Rivier, J. Spiess, C. Peng, J.P. Chang, R.E. Peter and W. Vale. 1992. Isolation and Characterization of Hypothalamic Growth-Hormone Releasing Factor from Common Carp, Cyprinus carpio. Endocrinology, Vol. 54, No. 4, pp. 539 – 549

Yousefian, M. and E. Shirzad. 2011. The Review of the Effect of Growth Hormone on Immune System, Metabolism and Osmoregulation of Fish. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, Vol. 5, No. 5, pp. 467 - 475

Zhong, S., Y. Wang, Z. Chen, P. Lu, L. Liao and Z. Zhu. 2010. Shortening The Breeding Period of Transgenic Fish Using Growth Hormone Levels as An Indicator. Journal of Applied Ichthyology, Vol. 26, Issue 6, pp. 904 – 907.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar