Minggu, 06 Mei 2018

Pemijahan Buatan


Daftar Isi


Bab I. Reproduksi dan Endokrinologi

- Definisi Hormon dan Endokrinologi
- Hubungan Sistem Endokrin dan Sistem Saraf
- Hubungan Genetika dan Endokrinologi
- Upaya Merangsang Pemijahan Gonad Bandeng Dengan Hormon
- Hormon Untuk Mengubah Jenis Kelamin Individu
- Pembalikan Jenis Kelamin Ikan Dengan Hormon Reproduksi
- Pengaruh Hormon Terhadap Ciri Seks Sekunder Ikan

Bab II. Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Invertebrata

- Pengaruh Kelaparan Terhadap Reproduksi Cumi-Cumi Idiosepius
- Pengaruh Keterbatasan Makanan dan Jenis Makanan Terhadap Reproduksi Nyamuk
- Pengaruh Parasit Terhadap Reproduksi Bulu Babi
- Pengaruh Cahaya, Salinitas dan Suhu Terhadap Pemijahan Amfipoda
- Pengaruh Lingkungan Terhadap Keberhasilan Pemijahan Pada Kopepoda

Bab III. Pemijahan Buatan Pada Ikan

- Merangsang Pemijahan Bandeng Dengan Hormon
- Kesulitan Yang Dihadapi Dalam Merangsang Kematangan Gonad Bandeng Dengan Hormon
- Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap
- Pelet Yang Mampu Melepaskan Hormon Gonadotropin Terus-Menerus
- Pemijahan Buatan Pada Ikan Belanak
- Upaya Merangsang Pemijahan Ikan Belanak Dengan Hormon dan Manipulasi Faktor Lingkungan
- Merangsang Pemijahan Lele Dengan Pituitari Non Ikan
- Hormon Terbaik Untuk Pijah Rangsang
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemijahan Buatan
- Luas Area Budidaya Mempengaruhi Keberhasilan Pijah Rangsang Bandeng
- Pengaruh Suhu Terhadap Pemijahan Buatan Pada Sidat
- Stres Penanganan Mengganggu Pijah Rangsang
- Merangsang Kematangan Gonad Ikan Bandeng Muda

Bab IV. Prosedur Penyuntikan Pituitari dan Pemijahan Buatan Pada Ikan Karper

- Sejarah Teknik Pemijahan Buatan Pada ikan Dengan Hipofisasi

Bab V. Merangsang Pemijahan Ikan Dengan LHRH (Luteinising Hormone Releasing Hormone)

- Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A
- Pemijahan Buatan Dengan Hormon LHRH
- Kombinasi LHRH dan Antagonis Dopamin Untuk Pemijahan Ikan Buatan
- Cangkok Hormon LHRH Untuk Merangsang Pemijahan Bandeng
- Merangsang Pelepasan Gonadotropin Dengan LHRH Pada Ikan Mas
- Variasi Kepekaan Gonad Ikan Terhadap LHRH
- Pengaruh Pemberian LHRHa Terhadap Konsentrasi Gonadotropin
- Cangkok LHRHa Meningkatkan Konsentrasi Hormon Gonadotropin Dalam Jangka Panjang

Referensi :



Bab I
Reproduksi dan Endokrinologi

Fisilogi reproduksi dan endokrinologi berkembang pesat dalam lapangan ilmu fisiologi hewan ternak. Dari segi fisiologi, tujuan utama industri ternak adalah mengembangkan ternak yang dapat tumbuh dan bereproduksi dengan cepat dan secara ekonomis menguntungkan. Karena proses pertumbuhan sebagian besar dikendalikan oleh endokrin (hormon) dan proses reproduksi juga terutama dikendalikan oleh endokrin, maka kedua bidang fisiologi ini menjadi makin penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan reproduksi ternak. Kita selayaknya memperhatikan perkembangan peternakan karena berperanan penting bagi kesehatan dan ekonomi umat manusia. Perlu diketahui bahwa hanya di negara-negara yang peternakannya maju orang dapat mencapai taraf hidup yang tinggi. Untuk mempertahankan dan memperbaiki taraf hidup ini, kita harus terus-menerus berusaha meningkatkan efisiensi produksi ternak. Keterkaitan dan ketergantungan manusia pada ternak berlangsung sejak awal sejarah peradaban ketika hewan tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber makanan dan untuk perlindungan saja, tetapi juga sebagai pengangkut beban. Meski peranannya yang terakhir ini telah digantikan oleh mesin, namun akibat bertambahnya populasi manusia, kebutuhan manusia akan makanan hewani makin meningkat.

Definisi Hormon dan Endokrinologi

Endokrinologi merupakan cabang ilmu fisiologi yang berkembang pesat sama seperti biokimia. Ia benar-bernar merupakan ilmu abad ke-20, karena sebagian besar penemuan-penemuan penting dalam endokrinolgi terjadi pada abad ke-20, dan ilmu baru ini mendorong perkembangan ilmu kedokteran. Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh organisme yang hasil sekresinya langsung masuk ke dalam aliran darah; jadi berlawanan dengan kelenjar eksokrin yang hasil sekresinya dibuang keluar melalui suatu saluran. Salah satu organ tubuh, yakni pankreas, mempunyai baik bagian endokrin maupun eksokrin. Bagian endokrin berupa pulau-pulau Langerhans yang memproduksi dua jenis hasil sekresi (hormon), yaitu glukagon dan insulin. Selain itu pankreas memiliki bagian eksokrin berupa sel-sel acinar (sel-sel berbentuk sepeti kantung kecil) yang mensekresi getah pankreas. Substansi-substansi yang disekresi kelenjar endokrin dinamai hormon dan berkaitan dengan penyelarasan kimiawi seluruh tubuh organisme. Endokrinologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan integrasi kimiawi seluruh tubuh organisme. Integrasi adalah kata kunci dan ini merupakan fungsi sistem saraf. Ada keterkaitan erat antara sistem saraf dan sistem hormon.

“Hormone” adalah kata Yunani yang berarti “saya menggerakkan atau merangsang”, kata ini pertama kali dipakai oleh Bayliss dan Starling pada tahun 1902. Hormon adalah zat kimia yang dihasilkan di dalam satu bagian tubuh (bagian tertentu) yang berdifusi atau diangkut ke bagian lain di mana ia mempengaruhi aktivitasnya dan cenderung mengintegrasikan bagian-bagian tubuh organisme tersebut. Perlu ditekankan bahwa hormon mengatur (menurunkan atau meningkatkan) laju proses-proses tertentu tetapi tidak memberikan energi bagi proses tersebut juga tidak merangsang terjadinya reaksi metabolik. Namun, hormon mempengaruhi reaksi yang sedang berlangsung yang biasanya melibatkan enzim. Kelebihan hormon berakibat merugikan tubuh sama seperti bila kekurangan, karena kelebihan hormon menyebabkan reaksi yang dipengaruhinya menjadi berlangsung melebihi normal. Definisi hormon yang diusulkan Starling sekarang dapat diperluas agar mencakup hormon-hormon lokal lain atau “parahormon” . Zat kimia “messenger” (utusan) atau pengatur ini yang tidak termasuk hormon dalam pengertian terbatas adalah (1) prostalglandin, terdapat di dalam berbagai jenis jaringan, yang walaupun berperanan penting namun pengaruhnya hanya bersifat lokal terhadap reproduksi, (2) erythropoietin, dilepaskan oleh ginjal anoksik dan merangsang agar sumsum tulang memproduksi sel-sel darah merah, dan (3) histamin, diproduksi oeh jaringan yang terluka dan bekerja secara lokal terhadap jaringan di sekitarnya.

Hubungan Sistem Endokrin dan Sistem Saraf

Sistem saraf mulanya dianggap sebagai satu-satunya sistem koordinasi, tetapi dengan perkembangan pengetahuan mengenai sistem endokrin, yang bergantung kepada mediator humoral, sistem endokrin sekarang ditempatkan sejajar dengan sistem saraf sebagai sistem yang mengkoordinasi tubuh organisme. Memang sebenarnya kedua sistem pengendalian tersebut bekerja bersama-sama di dalam tubuh. Sebagai contoh, sistem saraf bisa berfungsi sebagai pembawa impuls menuju ke hipotalamus; kemudian sistem endokrin (hipofisa) melepaskan substansi humoral untuk menyempurnakan refleks tersebut. Dalam sistem saraf, sinyal-sinyal yang menjalar ke seluruh tubuh adalah sama, tanpa memperhatikan efeknya, tetapi lintasan yang dilalui sinyal tersebut mempengaruhi hasil akhir. Pada sistem endokrin, lintasan yang dilalui mediator humoral selalu sama, yakni pembuluh darah, tetapi jenis mediator humoral tersebut menentukan hasil akhir. Substansi humoral ini menjalar agak lambat di dalam tubuh karena laju penjalaran ini ditentukan oleh laju peredaran darah.

Beberapa ahli mengumpamakan sistem endokrin sebagai sistem komunikasi tubuh “tanpa kabel”, sedangkan sistem saraf dinamakan sistem “berkabel”. Tanpa memperhatikan perumpamaan ini, penting untuk diingat bahwa kedua sistem komunikasi ini bekerja sama mengkoordinasi tubuh dan bergantung satu sama lain untuk mengatur keseimbangan tubuh (homeostasi).

Ovulasi (pelepasan sel telur dari indung telur) pada kelinci merupakan proses fisiologi yang melibatkan sistem saraf maupun sistem endokrin agar proses tersebut berjalan sempurna. Rangsangan fisik pada dinding rahim selama bersenggama menyebabkan impuls rangsang menjalar ke serabut saraf tulang belakang, kemudian ke hipotalamus. Di sini sejenis substansi humoral, yang melepaskan hormon, mengalir melalui saluran hipofiseal portal menuju ke pituitari anterior (adenohipofisis) di mana hormon luteinizing dilepaskan. Luteinizing hormon kemudian dibawa melalui sistem peredaran darah menuju ke ovari di mana folikel ovari yang telah masak dirangsang agar pecah – sehingga terjadi ovulasi.

Hubungan Genetika dan Endokrinologi


Sifat-sifat genetika suatu individu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, terutama reproduksi. Dengan makin diketahuinya mekanisme biokimia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetika, kita tahu bahwa sifat-sifat fenotip individu semata-mata ditentukan oleh kode-kode biokimia ini di dalam DNA setiap gen. Dulu ada anggapan bahwa penggabungan kromosom-kromosom heterologus menentukan sifat-sifat fenotip individu anak. Sekarang kita tahu bahwa molekul-molekul nukleotida penyusun gen merupakan kumpulan DNA yang rumit yang mampu mengatur perkembangan individu anak secara ketat. Dalam hal ini, DNA menentukan fungsi dan laju fungsi suatu organ endokrin. Ini berarti bahwa jumlah dan jenis hormon yang dihasilkan ditentukan oleh kode-kode genetik. Akibatnya, kesalahan dalam menyusun kode genetik menyebabkan penyimpangan fungsi organ endokrin yang bisa menimbulkan kelainan genetik. Hal ini menyebabkan produksi hormon yang berlebihan, atau sedikit, atau produksi hormon yang tak normal.

Upaya Merangsang Pemijahan Gonad Bandeng Dengan Hormon

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya-upaya yang pertama kali dilakukan untuk merangsang kematangan gonad pada juvenil ikan bandeng tidak berhasil. Ikan yang belum matang gonad atau induk bandeng liar dengan gonad telah menyusut tidak berespon terhadap gonadotropin (GtH) atau berbagai kombinasi GtH dan steroid. Teknik mutakhir yang melibatkan pemberian secara kronis testosteron saja atau dikombinasikan dengan analog luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH-A) efektif untuk merangsang agar gonad berkembang sangat cepat pada ikan rainbow trout yang belum matang gonad (Crim dan Evans, 1983; Magri et al., 1985). Mekanisme di belakang perangsangan kecepatan perkembangan ini tampaknya merupakan aksi umpan balik positif testosteron terhadap sekresi GtH pituitari. Sejumlah studi menunjukkan bahwa testosteron atau androgen lain yang dapat-diaromatisasi merangsang penimbunan GtH pituitari (Crim dan Peter, 1978; Crim dan Evans, 1979, 1982, 1983; Crim et al., 1981). Dengan adanya aktivitas LHRH-A dalam melepaskan GtH, konseetrasi GtH yang bersirkulasi meningkat, yang selanjutnya merangsang gonad (Peter, 1983).

Marte et al. (1988) menambahkan bahwa strategi ini telah berhasil diterapkan untuk merangsang perkembangan gonad pada bandeng yang dipelihara dalam tangki di Hawaii. Pemberian secara kronis cairan 17alfa-metiltestoseron (MT) dalam bentuk kapsul silastik bersama-sama dengan pelet kolesterol LHRH-A merupakan cara efektif untuk meningkatkan persentase ikan bandeng yang matang gonad.

Hormon Untuk Mengubah Jenis Kelamin Individu

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983) mengulas laporan-laporan mengenai pengubahan jenis kelamin organisme dengan hormon. Pembetinaan sebagai hasil pemberian hormon estrogen kepada embryo jantan telah berhasil dilakukan pada ayam dan burung quail; bagaimanapun, pembalikan jenis kelamin ini seringkali bersifat sementara. Pemberian berbagai jenis androgen menghasilkan efek penjantanan sederhana atau efek penjantanan dan pembetinaan. Testosteron dan ester-esternya beraksi serupa dengan hormon alami yang diproduksi oleh gonad jantan embryo yang menjantankan genital duct tetapi tidak mempengaruhi gonad betina. Beberapa androgen seperti androstenedione, androstanedione, androstenediol dan trans-hydroandrosterone menjantankan genital duct indidivu betina tetapi membetinakan gonad dan genital duct individu jantan. Banyak studi menunjukkan bahwa (1) gonad jantan yang menjadi betina dapat mensekresi suatu hormon yang serupa dengan hormon pembalik jenis kelamin, (2) sekresi gonad embryo dari medula mempunyai efek yang sama seperti hormon steroid, dan (3) gonad burung tak berdiferensiasi mensintesis dan mensekresi steroid. Pembalikan jenis kelamin somatik telah dapat dilakukan pada testes kiri embryonik kultur yang diberi androgen atau estrogen eksogen. Diduga bahwa hal ini disebabkan ketiadaan steroidogenesis selama periode tak berdiferensiasi yang diperlukan bagi perkembangan testis.

Demikian pula, pemberian androgen kepada beberapa spesies reptil memberikan berbagai hasil. Pemberian estrogen kepada kadal hijau, Lacerta viridis, menghasilkan efek penghambatan sebagian atau sepenuhnya terhadap perkembangan testis pada beberapa individu untuk memproduksi ovotestis dan penghambatan sepenuhnya untuk memproduksi ovari pada individu lainnya. Pada amfibi cukup banyak penelitian yang melibatkan pembalikan jenis kelamin yang dirangsang dengan hormon menunjukkan bahwa pemberian estrogen dan androgen eksogen menyebabkan pembetinaan fungsional pada urodela dan penjantanan pada anura ranidae, berturut-turut. Bagaimanapun, aksi paradoks perlakuan steroid telah dilaporkan pada beberapa spesies (Hunter dan Donaldson, 1983, dalam Hoar et al. , 1983).

Pembalikan Jenis Kelamin Ikan Dengan Hormon Reproduksi

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa pada ikan teleostei, seperti pada amfibi, steroid seks dapat mempengaruhi proses diferensiasi seks. Pembalikan jenis kelamin fungsional telah berhasil dilakukan pada sedikitnya 15 spesies. Bagaimanapun spesies-spesies ini pada dasarnya merupakan teleostei gonochoris yang tergolong dalam sejumlah kecil famili. Penelitian telah dilakukan mengenai pengaruh androgen dan estrogen terhadap ikan elasmobranchia, terutama Scyliorhinus caniculata. Ternyata bahwa baik estrogen maupun androgen mempengaruhi diferensiasi genital duct; bagaimanapun, hanya estrogen yang mempengaruhi gonad dalam spesies ini yang menghasilkan ovotestes.

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983), berdasarkan beberapa penelitian, menambahkan bahwa sejumlah kecil spesies hermaprodit yang diberi perlakuan dengan steroid untuk memanipulasi pembalikan seks alami memberikan respon yang bertolak belakang. Penyuntikan tunggal 2 mg testosteron telah dilakukan untuk meniru pembalikan seks pada beberapa spesies ikan wrasse hermaprodit protogini (Labridae). Disimpulkan bahwa secara umum androgen merangsang pembalikan seks yang cepat matang gonad pada spesies protogini, tetapi bukti ini saja tidak cukup untuk mendukung model perangsang-steroid. Telah dilaporkan bahwa dua dari tiga ikan kerapu, Epinephelus tauvina, yang juga hermaprodit protogini, yang diberi makan 80 mg metiltestosteron selama 30 hari memulai pembalikan jenis kelamin. Demikian pula, 25 ikan yang diberi 1 mg metiltestosteron/kg pakan 3 kali seminggu selama satu periode 2 bulan mengalami pembalikan jenis kelamin.

Pengaruh Hormon Terhadap Ciri Seks Sekunder Ikan

Yamamoto (1969) dalam Hoar et al. (1969) menyatakan bahwa ciri seks sekunder ikan digolongkan menjadi dua kategori : (1) ciri-ciri sementara yang biasanya muncul hanya selama musim pemijahan seperti pewarnaan perkawinan, organ mutiara dan ovipositor ikan bitterling; (2) organ permanen yang dikembangkan dengan sempurna ketika permulaan kematangan seksual seperti gonopodium pada ikan cyprinodont vivipar dan tonjolan-tonjolan papila pada sirip dubur ikan jantan dan urogenital papila pada ikan medaka betina, Oryzias. Ciri seks sekunder ada yang bersifat positif-jantan dan ada yang positif-betina. Yang pertama adalah ciri yang khas bagi jantan atau lebih berkembang pada ikan jantan daripada ikan betina. Yang terakhir adalah sebaliknya.

Menurut Yamamoto (1969) dalam Hoar et al. (1969) kebanyakan ciri seks sekunder pada ikan bersifat positif-jantan. Telah ditunjukkan pada ikan minnow, Phoxinus laevis, bahwa warna perkawinan bergantung pada hormon testikular. Hal ini telah dibuktikan pada ikan stickleback, Gasterosteus pungitius dan Gasterosteus aculeatus, juga pada ikan bitterling dan ikan gapi serta medaka. Organ mutiara pada ikan mas koki, Carassius auratus, dikendalikan oleh hormon testikular. Sementara pengebirian (kastrasi) menyebabkan hilangnya ciri positif-jantan ini, ovariotomy (penyingkiran ovarium) tidak berpengaruh. Hal ini berarti bahwa ketiadaan ciri seks sekunder positif-jantan pada ikan betina tidak disebabkan oleh aksi penghambatan ovari.

Sebaliknya, pada ikan ganoid, Amia calva, pola hitam abu-abu (yang bersifat positif-jantan) tidak ada pada ikan betina karena aksi penghambatan oleh ovari; ovariotomy menyebabkan pola warna ini timbul. Ikan jantan swordtail dan platyfish memiliki susunan rumit rangka pendukung yang mencakup tiga duri haemal pada tulang vertebrae ekor; rangka ini diperlukan untuk mendukung fungsi gonopodium. Pada betina, tiga duri haemal ini tidak ada sehingga meluaskan ruangan yang diperlukan ikan betina hamil untuk menampung embryonya. Telah dilaporkan bahwa ikan swordtail mandul mengembangkan tiga duri haemal seperti pada individu jantan, yang menunjukkan bahwa duri-duri ini tidak ada pada betina akibat aksi penghambatan oleh ovari. Pada ikan platy, a-estradiol benzoat merangsang pelenyapan satu atau dua duri haemal pada ikan jantan sedangkan metiltestosteron merangsang penggabungan unsur-unsur tulang basal (mesonost dan baseost) pada betina, yang normalnya terpisah (Yamamoto, 1969, dalam Hoar et al., 1969).

Bab II
Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Invertebrata

Pengaruh Kelaparan Terhadap Reproduksi Cumi-Cumi Idiosepius

Lewis and Choat (1993) meneliti biologi reproduksi cumi-cumi tropis Idiosepius pygmaeus pada individu liar dan individu di akuarium. Spesies ini menghasilkan kelompok-kelompok telur ganda lebih dari 80 % dari kisaran bobot individu dewasa, yang menunjukkan adanya koordinasi antara pertumbuhan sel-sel reproduktif dan pertumbuhan sel-sel tubuh. Produk reprodukif adalah konsisten dalam satu individu tetapi bervariasi antar individu. Sintesis dan pematangan oosit (sel telur) terjadi terus-menerus setelah individu mencapai kematangan seksual. Kematian tidak berhubungan dengan kepayahan akibat bereproduksi. Di bawah kondisi kekurangan makanan, individu dalam kurungan meletakkan lebih sedikit telur tetapi mempertahankan ukuran telur dan periodisitas peletakan telur. Stres akibat kelaparan tidak berpengaruh terhadap lama peletakan telur ataupun bobot saat mati. Penelitian ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa “terminal spawning” (pemijahan yang diakhiri dengan kematian) tidak umum di antara cephalopoda.

Pengaruh Keterbatasan Makanan dan Jenis Makanan Terhadap Reproduksi Nyamuk

Jones (1993) memelihara larva nyamuk Toxorhynchites splendens (Wiedemann) di dalam air tawar dan memberinya makan berupa larva Culex quinquefasciatus Say atau larva Aedes aegypti (L.) secara ad libitum. Pemberian makanan berupa larva Culex quinquefasciatus ada yang secara ad libitum (sekenyangnya), ada yang dibatasi dua mangsa per hari selama periode perkembangan 1-10 hari, dua mangsa per hari selama 10 hari pada periode pupa (kepompong), dan dua mangsa per hari selama periode pupa. Laju reproduksi nyamuk dewasa yang dihasilkan dibandingkan di antara semua perlakuan. Laju reproduksi yang lebih tinggi secara nyata berkorelasi dengan bobot badan yang lebih berat saat memasuki tahap pupa, tetapi bobot badan saat pupa tergantung pada laju penelanan makanan hanya selama fase akhir. Nyamuk dewasa dari larva yang memakan Aedes aegypti secara ad libitum meletakkan lebih sedikit telur daripada nyamuk yang memakan larva Culex quinquefasciatus secara ad libitum selama periode perkambangan fase keempat. Laju produksi telur harian adalah lebih tinggi pada semua kelompok yang memperoleh mangsa secara ad libitum pada fase keempat dibandingkan pada kelompok yang menerima dua mangsa per hari selama fase keempat.

Pengaruh Parasit Terhadap Reproduksi Bulu Babi

Hagen (1992) melaporkan bahwa populasi bulu babi hijau (Strongylocentrotus droebachiensis), di Vestfjorden, Norwegia utara, terinfeksi oleh nematoda endoparasit, Echinomermella matsi, pada tahun 1987. Keberadaan Echinomermella matsi meningkat dari 5,5 % pada tahun 1983 menjadi 65,4 % pada tahun 1991 di lokasi penelitian di Godoeystraumen. Bulu babi yang terinfeksi memiliki indeks gonad rata-rata lebih rendah daripada bulu babi yang tidak terinfeksi, dan dua per tiga bulu babi yang terinfeksi mengalami penyusutan gonad sedemikian hingga jenis kelaminnya tidak diketahui. Kepadatan rata-rata populasi Strongylocentrotus droebachiensis di Godoeystraumen tampaknya tidak berubah, tetapi rata-rata diameter cangkangnya menurun sebesar 14,6 %, dari 36,4 mm pada tahun 1983 menjadi 31,1 mm pada tahun 1991. Akibat perubahan ini maka kapasitas reproduksi populasi bulu babi tampaknya berkurang kira-kira 58 %.

Pengaruh Cahaya, Salinitas dan Suhu Terhadap Pemijahan Amfipoda

Morritt and Stevenson (1993) melaporkan bahwa siklus pemijahan alami kutu pantai Orchestia gammarellus menunjukkan adanya betina yang mengandung telur di dalam populasi lapangan antara bulan April dan September; spesis ini berhenti memijah selama musim dingin (Oktober – Maret). Jumlah betina lebih banyak daripada jumlah jantan selama musim pemijahan. Binatang yang dikumpulkan dari lapangan perlahan-lahan menjadi lebih mudah untuk dibawa ke kondisi pemijahan dibandingkan binatang yang dikumpulkan pada bulan berikutnya pada akhir musim pemijahan alami. Ada fase pemulihan pada akhir musim pemijahan alami, tetapi rentang waktunya bisa dikurangi dengan meningkatkan suhu sekeliling binatang tersebut. Permulaan reproduksi ataupun fekunditas betina tidak dipengaruhi oleh panjang hari (percobaan dengan kondisi siang/terang 14 jam dan malam/gelap 10 jam memberikan hasil yang sama dengan kondisi siang 24 jam dan malam 0 jam). Salinitas tidak memberikan pengaruh yang mantap terhadap permulaan pemijahan atau fekunditas betina, walaupun laju perkembangan embryo pasti menjadi lebih lambat pada salinitas tertinggi (100 % air laut). Faktor lingkungan yang penting bagi pengendalian reproduksi Orchestia gammarellus adalah suhu. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan amfipoda ini memulai reproduksi lebih cepat (dalam kisaran 15 – 22 oC). Awal pemijahan di lapangan terjadi bila suhu udara maksimum mencapai 10 oC.

Pengaruh Lingkungan Terhadap Keberhasilan Pemijahan Pada Kopepoda

Ianora et al. (1992) melaporkan bahwa dibutuhkan waktu 2 – 3 bulan agar laju reproduksi yang tinggi menghasilkan kelimpahan populasi yang tinggi pada kopepoda planktonik Centropages typicus, dengan produksi tertinggi pada saat kelimpahan betina relatif rendah dan produksi rendah pada saat kelimpahan tinggi di perairan Teluk Naples. Mortalitas telur pada saat itu tinggi. Kecenderungan musiman dalam hal persentase keberhasilan pemijahan tidak bersesuaian dengan fluktuasi musiman intensitas pemijahan, dan tidak berhubungan dengan variasi faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan konsentrasi klorofil-a. Teknik pewarnaan fluorosensi menunjukkan bahwa telur yang tidak menetas dulunya telah dibuahi dan bahwa pada kebanyakan kasus perkembangan berjalan sampai ke tahap lanjut sebelum embryo mati. Penyebab tingginya mortalitas telur adalah tidak pasti, tetapi mungkin tidak hanya disebabkan oleh ketidaksuburan akibat kegagalan perkawinan-ulang.

Bab III
Pemijahan Buatan Pada Ikan

Merangsang Pemijahan Bandeng Dengan Hormon

Marte et al. (1988) mengulas laporan beberapa peneliti mengenai perangsangan pemijahan pada ikan, khususnya bandeng (Chanos chanos). Upaya-upaya yang pertama kali dilakukan untuk merangsang kematangan gonad pada juvenil bandeng tidak berhasil. Ikan yang belum matang gonad atau induk bandeng liar dengan gonad telah menyusut tidak memberikan respon terhadap hormon gonadotropin (GtH) atau berbagai kombinasi GtH dan steroid. Teknik mutakhir yang melibatkan pemberian secara kronis testosteron saja atau dikombinasikan dengan analog “luteinizing hormone-releasing hormone” (LHRH-A) efektif untuk merangsang agar gonad berkembang sangat cepat pada ikan rainbow trout yang belum matang gonad. Mekanisme di belakang perangsangan kecepatan perkembangan ini tampaknya merupakan aksi umpan balik positif testosteron terhadap sekresi GtH pituitari. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tesosteron atau androgen lain yang dapat-diaromatisasi merangsang penimbunan GtH pituiatri. Dengan adanya aktivitas LHRH-A dalam melepaskan GtH, konsentrasi GtH yang bersirkulasi bersama darah meningkat, yang selanjutnya merangsang gonad. Strategi ini telah berhasil diterapkan untuk merangsang perkembangan gonad pada bandeng yang dipelihara dalam tangki di Hawaii. Pemberian secara kronis cairan 17 alfa-metiltestosteron (MT) dalam bentuk kapsul silastik bersama-sama dengan pelet kolesterol LHRH-A merupakan cara efektif untuk meningkatkan persentase ikan bandeng yang matang gonad.

Kesulitan Yang Dihadapi Dalam Merangsang Kematangan Gonad Bandeng Dengan Hormon

Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985) menyatakan bahwa ikan bandeng di dalam kolam dengan sebab yang tidak diketahui umumnya hidup tanpa melalui siklus reproduksi dan pemijahan sebagaimana yang seharusnya terjadi di alam. Fenomena ini sangat sering dialami ikan-ikan yang dibudidayakan. Faktor-faktor lingkungan yang biasanya menjadi perantara bagi aktivitas reproduksi ikan tidak dijumpai di dalam kondisi budidaya. Perlakuan-perlakuan hormonal telah diterapkan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang menghambat produksi gamet dan pemijahan ikan budidaya.

Menurut Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985), praktek yang umum untuk merangsang kematangan gonad pada ikan adalah dengan melakukan serangkaian penyuntikan hormon seperti yang telah berhasil diterapkan pada ikan sidat Jepang. Preparat hormon biasanya mengandung bahan kimia yang dikehendaki yang dilarutkan dalam suatu cairan (misal larutan garam normal, larutan garam fosfat bufer,dll) yang secara osmotik sesuai dengan lingkungan internal ikan penerima hormon. Bagaimanapun, bila larutan hormon seperti ini disuntikkan biasanya menghilang dengan cepat di dalam tubuh ikan dan hanya terdapat dalam jumlah tinggi bersama darah selama periode yang singkat. Agar konsentrasi hormon yang dikehendaki yang beredar bersama darah tetap tinggi maka dilakukan serangkain penyuntikan. Prosedur ini agak tidak efisien karena memakan banyak waktu dan sudah pasti meningkatkan stres pada ikan sebab makin banyak penyuntikan berarti ikan makin sering dipegang. Faktor stres ini dilaporkan menjadi salah satu faktor penghambat siklus reproduksi normal pada ikan. Tampaknya peningkatan stres bisa mengurangi keberhasilan perlakuan hormonal tersebut. Ini terutama terjadi pada ikan bandeng yang sangat peka terhadap tangan-tangan manusia yang memegangnya. Sebagai contoh, oosit dari induk bandeng liar mengalami kegagalan fungsinya bila mereka tidak diberi suntikan hormon (misalnya campuran homogen pituitari ikan karper, campuran homogen pituitari ikan salmon atau human chorionic gonadotropin) dalam beberapa jam setelah penangkapan. Demikian pula, dalam waktu 2 – 3 hari setelah dimasukkan ke dalam kolam peliharaan maka ikan akan menyerap kembali spermanya. Yang lebih parah lagi, ikan bandeng liar biasanya mati bila diberi lebih dari 3 kali suntikan. Sebagian masalah ini bisa diatasi dengan menggunakan ikan hasil budidaya meskipun banyak masalah lain yang belum teratasi. Jelasnya, prosedur yang dapat memberikan hormon yang dikehendaki dengan konsentrasi di dalam darah sesuai dengan kebutuhan dan meminimumkan stres akibat penanganan akan sangat bermanfaat.

Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap

Almendras et al. (1988) melaporkan bahwa dua analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), (D-Ala6, Pro9-ethylamide) GnRH mamalia dan (D-Arg6, Pro9-ethylamide) GnRH salmon, digunakan untuk merangsang pemijahan ikan kakap. Penyuntikan tunggal GnRH merangsang sekali pemijahan, tetapi penyuntikan berulang (2 – 4 kali) yang berselang 24 jam menghasilkan satu sampai empat kali pemijahan pada individu-individu betina. Hal yang lebih menarik adalah ikan kakap yang memijah sampai lima kali setelah tubuhnya ditanami sebuah pompa osmotik yang melepaskan GnRH selama 14 hari. Metode lain yang lebih murah tetapi sama efektifnya adalah pencangkokan GnRH dalam pelet dengan suatu matriks kolesterol-selulosa. Pemijahan berulang pada seekor ikan betina dihasilkan hanya oleh dua pelet yang dicangkokkan bersamaan; satu individu ikan melepaskan sampai 7 juta butir telur dengan tingkat penetasan dan kesuburan yang baik. Ikan kakap kembali matang gonad lagi pada musim yang sama dan memijah berkali-kali pada bulan Juni maupun September bila dirangsang dengan GnRH dalam bentuk pelet. Perangsangan pemijahan berulang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata bila dilakukan pada saat fase bulan baru maupun pada fase perempatan bulan pertama. Terakhir, individu jantan sanggup membuahi telur dari satu ikan betina selama sedikitnya empat kali pemijahan berturut-turut. Sebagai kesimpulan, pelet, pompa dan penyuntikan berulang menyebabkan ikan kakap memijah berkali-kali, tetapi pelet lebih dapat diandalkan, lebih murah dan lebih aman bagi ikan.

Pelet Yang Mampu Melepaskan Hormon Gonadotropin Terus-Menerus

Sherwood et al. (1988) menjelaskan sebuah metode mengenai cara menanam analog hormon pelepas hormon gonadotropin (GnRH-A) ke dalam pelet yang terbuat dari berbagai matriks agar dapat melepaskan hormon ini terus-menerus dengan laju yang berbeda-beda. Pelet yang mengandung GnRH-A dimasukkan ke dalam ruang penyiram in vitro kemudian pelepasan analog GnRH ini diukur melalui radioimunoesei yang menggunakan suatu antiserum khusus dari analog hormon tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matriks yang mengandung selulosa 25, 50, 75 atau 100 % yang dikombinasikan dengan kolesterol mampu melepaskan GnRH-A dengan laju pelepasan awal pada 1 jam pertama sebanyak 19 – 40 % dari total analog GnRH yang terkandung dalam pelet tersebut; lebih dari 90 % analog dilepaskan setelah 24 jam. Sebaliknya, pelepasan GnRH-A dari sebuah pelet yang terbuat dari selulosa 5 % dan kolesterol atau 100 % kolesterol hanya 5 – 6 % dari jumlah total analog setelah 1 jam dengan total pelepasan sebanyak 18 – 21 % setelah 24 jam dan 36 – 38 % setelah 25 hari. Diyakini bahwa pelet yang tak beracun dan murah ini sesuai untuk budidaya ikan. Pelet kolesterol-selulosa dengan kandungan selulosa 25 – 100 % sangat berguna bagi ikan dewasa yang membutuhkan rangsangan cepat GnRH-A untuk mematangkan telur tahap akhir dan memijahkannya. Pelet kolesterol 95 atau 100 % mungkin paling sesuai untuk melepaskan hormon secara terus-menerus bagi ikan yang membutuhkan waktu beberapa hari untuk mematangkan ovari tahap akhir atau bagi ikan yang memijah selama beberapa hari berturut-turut.

Pemijahan Buatan Pada Ikan Belanak

Alvarez-Lajonchere et al. (1991) melakukan percobaan pemijahan buatan dan pemeliharaan larva pada ikan belanak Mugil liza pada akhir musim pemijahan alami 1987/1988 di Tunas de Zaza, di mana tahap juvenil spesies ikan mugilidae dipelihara untuk pertama kalinya di Kuba. Semua ikan betina yang diamati memiliki oosit (sel telur) yang menyusut. Dari 18 ekor yang dipilih, empat (22,2 %) mati selama perlakuan hormon. Dari empat belas ekor yang bertahan hidup setelah perlakuan, pemijahan alami atau pembuahan buatan terjadi pada tujuh ekor di antaranya (50 %). Hasil pemijahan terbaik diperoleh dengan 60 – 90 mg/kg pituitari belanak dalam 3 – 4 dosis parsial (selang waktu 24 jam). Telur dari seekor betina dengan tingkat fertilisasi tertinggi (60 %) dierami pada suhu 24 °C, yang menghasilkan 90 % kelangsungan hidup telur terbuahi pada saat menetas. Percobaan pemeliharaan menunjukkan bahwa larva ikan yang dihasilkan siap menerima makanan luar pada hari ke 3 – 4 dan bahwa tahap post larva berakhir 40 hari setelah menetas; juga bahwa tangki terpal tidak cukup, dan bahwa penggunaan organisme pakan peralihan antara rotifera dan Artemia bisa memperoleh hasil yang lebih baik. Pada akhir siklus pemeliharaan (49 hari), 220 juvenil dipanen dalam satu dari empat perlakuan yang diberikan (kelangsungan hidup 0,20 %).

Upaya Merangsang Pemijahan Ikan Belanak Dengan Hormon dan Manipulasi Faktor Lingkungan

Menurut Lee dan Tamaru (1988) ikan belanak abu-abu (Mugil cephalus L.) merupakan spesies yang dibudidayakan secara luas. Teknik pemijahan buatan untuk spesies ini, bagaimanapun, belum dikembangkan. Di antara teknik perangsangan pemijahan yang saat ini tersedia, larutan homogen pituitari ikan karper ditambah Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan larutan homogen pituitari ikan karper ditambah analog hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH) adalah yang paling memberi harapan. Perlakuan yang terakhir ini disarankan. Kematangan gonad ikan belanak jantan telah berhasil dirangsang sepanjang tahun dengan menggunakan 17-alfa –metiltestosteron yang diberikan lewat mulut, penyuntikan atau pencangkokan. Terapi hormon praktis untuk mengendalikan kematangan gonad ikan belanak betina masih diteliti.

Lee dan Tamaru (1988) menambahkan bahwa kematangan gonad pada ikan belanak jantan dan betina telah dapat dirangsang di luar musim pemijahan dengan manipulasi parameter-parameter lingkungan seperti fotoperiode dan suhu atau dengan penyuntikan “gonadotropin serum kuda betina hamil” (Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin; PMSG). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penurunan suhu air diperlukan, bagaimanapun, untuk menyempurnakan vitelogenesis. Cara lain yang tersedia adalah mengendalikan kematangan testikular tanpa menggunakan manipulasi lingkungan. Spermatogenesis dapat dirangsang secara efektif kapan pun dengan memanfaatkan androgen yang bisa digunakan dengan berbagai cara (yakni lewat mulut, penyuntikan atau pencangkokan). Saat ini, pengendalian kematangan gonad ikan betina masih memerlukan faktor pemicu lingkungan untuk menyempurnakannya.

Merangsang Pemijahan Lele Dengan Pituitari Non Ikan

Fagbenro et al. (1992) meneliti ovulasi dan pemijahan buatan pada ikan lele, Clarias isheriensis, dengan menggunakan ekstrak pituitari dari sumber non ikan. Ekstrak pituitari aseton-kering diperoleh dari kodok Bufo regularis, kodok Afrika Rana adspersa dan ayam Gallus domesticus. Ekstrak pituitari tersebut dievaluasi dengan tujuan mencari alternatif agen perangsang selain pituitari ikan untuk memijahkan Clarias isheriensis. Dosis tunggal 4 mg ekstrak pituitari kering per kg ikan betina disuntikkan secara intraperitoneal (lewat perut), dan ternyata berhasil merangsang ovulasi dan pemijahan pada semua perlakuan; tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) dalam hal persentase pembuahan telur. Semua ekstrak pituitari efektif dalam merangsang ovulasi dan pemijahan Clarias isheriensis dan, dengan demikian, dapat digunakan sebagai sumber alternatif hormon-hormon pituitari.

Hormon Terbaik Untuk Pijah Rangsang

Caroisfeld (1988) dalam Hernandez (1989) mempelajari fisiologi reproduksi dan pemijahan buatan pada ikan dalam kaitannya dengan budidaya Colossoma. Berbagai teknik hormonal dan intevensi lingkungan saat ini tersedia untuk merangsang vitelogenesis, spermiogenesis, pematangan gonad akhir, spermiasi, ovulasi dan pemijahan pada ikan budidaya. Perlu dicatat bahwa hormon yang paling berhasil untuk merangsang reproduksi ikan adalah ekstrak pituitari dan analog LHRH.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemijahan Buatan

Marte et al. (1988) menyatakan bahwa keberhasilan pijah rangsang pada ikan bandeng dipengaruhi oleh sejarah reproduksi ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan yang akan pertama kali matang gonad memberikan respon yang lebih kuat terhadap hormon reproduksi daripada ikan yang sudah pernah memijah. Pijah rangsang lebih berhasil pada suhu air laut yang lebih rendah (22 – 26 °C) dibandingkan pada suhu yang lebih tinggi (26 – 32 °C). Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan-kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya.

Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu bahwa ikan bandeng yang diberi perlakuan kronis metil testosteron + LHRH-A memiliki laju pematangan gonad yang tinggi, hasil penelitian yang dilakukan Marte et al. (1988) menunjukkan sedikit kemajuan pada ikan yang diberi testosteron atau testosteron + GnRH-A. Pada beberapa percobaan, ikan diduga matang gonad secara spontan karena ikan yang telah matang gonad dengan persentase tinggi diperoleh baik dari kelompok yang diberi pelakuan maupun kelompok kontrol 9 – 12 minggu sejak pencangkokan. Di Hawaii, laju pematangan gonad ikan yang diberi hormon adalah rendah dalam bulan April dan memuncak hanya pada Juli. Perbedaan hasil-hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sejarah reproduki ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan di Hawaii diduga merupakan ikan yang baru pertama kali matang gonad sedangkan ikan dalam penelitian ini adalah induk yang sudah pernah memijah. Suhu air laut lebih rendah di daerah Hawaii (22 – 26 oC) daripada suhu air dalam fasilitas yang dipakai dalam penelitian ini (26 – 32 oC).

Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya. Di Hawaii, musim pemijahan bandeng adalah pada bulan Juli dan percobaan untuk merangsang kematangan gonad dimulai pada bulan Januari, 6 bulan sebelum musim pemijahan. Jumlah ikan telah matang-gonad pada kelompok yang diberi hormon pada awalnya rendah tetapi meningkat ketika mendekati puncak musim pemijahan. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari, 3 bulan sebelum puncak musim pemijahan bandeng. Bisa diharapkan bahwa pematangan gonad dimulai pada saat ini dan pemberian hormon berpengaruh sedikit terhadap peningkatan laju pematangan gonad yang sudah tinggi itu (Marte et al., 1988).

Luas Area Budidaya Mempengaruhi Keberhasilan Pijah Rangsang Bandeng

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marte et al. (1988) dengan ikan bandeng yang dipelihara dalam berbagai ukuran jaring apung, bandeng mencapai pertumbuhan normal tetapi tidak pernah matang gonad di dalam jaring apung berdiameter kurang dari 6 meter (28,3 m2). Fasilitas pemeliharaan lain di mana bandeng dilaporkan matang gonad paling tidak berdiameter 6 meter atau lebih. Mungkin keterbatasan ruang yang luasnya kurang dari 28 m2 tidak menyediakan cukup area renang bagi bandeng yang sangat aktif. “Stres kronis” akibat keterbatasan ruang ini mungkin menghambat daya respon sumbu pituitari-gonad pada ikan yang dipelihara dalam jaring apung kecil. Selain itu, bandeng yang dipelihara dalam jaring apung mungkin masih memiliki sifat sebagai ikan liar dan lebih peka terhadap stres penangkapan dan stres penanganan daripada bandeng yang dipelihara dalam tangki. Hal ini sebagian bisa menjadi sebab respon negatif ikan dalam beberapa percobaan.

Pengaruh Suhu Terhadap Pemijahan Buatan Pada Sidat

Satoh et al.(1992) merangsang pemijahan ikan sidat Jepang (Anguilla japonica). Sekali seminggu, ikan sidat betina katadromus diberi gonadotropin komersial, DES-Na dan vitamin E dengan total 6 kali, dan kemudian diberi kelenjar pituitari ikan kering-aseton beberapa kali selama periode yang singkat namun sesuai. Sidat jantan katadromus disuntik dengan gonadotropin komersial dan vitamin E sebanyak lebih dari 5 kali. Kemudian mereka dipelihara pada suhu air 18 – 20 °C, namun pemijahan tidak terjadi. Ketika suhu air dinaikkan menjadi 21 – 22 °C, perilaku pemijahan terlihat pada malam hari dan pemijahan berlangsung pada awal pagi. Telur yang dibuahi pada pemijahan ini menetas dengan normal.

Stres Penanganan Mengganggu Pijah Rangsang

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya merangsang kematangan gonad tahap dini pada bandeng yang belum matang gonad berumur 5 atau 6 tahun memberikan hasil negatif. Ikan umur 6 tahun yang pernah memijah juga tetap menyusut gonadnya. Selama percobaan pemijahan buatan, pemindahan ikan bandeng dari satu jaring apung ke jaring apung lain dalam rangka perawatan jaring apung tersebut, mungkin cukup menggangu fungsi pituitari atau gonad. Efek negatif stres penanganan ini diduga kuat menjadi penyebab kegagalan bandeng tidak-matang gonad dalam berrespon terhadap pemberian gonadotropin dan steroid pada percobaan-percobaan pendahuluan. Pada penelitian tersebut, ikan dipelihara dalam jaring apung berdiameter 3 m dan ditangani secara berulang. Ikan dari stok yang sama dengan yang digunakan dalam percobaan perangsangan hormonal, dipelihara dalam jaring apung berdiameter 10 m dan sama sekali tak diganggu, menjadi matang gonad dan memijah selama periode ketika percobaan perangsangan dengan hormon dilakukan. Demikian pula, ikan yang dibiarkan dalam jaring apung berdiameter 10 m dan ikan berumur 6 tahun yang pernah memijah mulai melakukan pemijahan pada bulan April. Total 31 pemijahan diperoleh dari stok ini sejak 10 April sampai Oktober.

Merangsang Kematangan Gonad Ikan Bandeng Muda

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya untuk merangsang kematangan gonad tahap dini pada bandeng belum-matang gonad umur 5 atau 6 tahun memberikan hasil negatif. Ikan umur 6 tahun yang pernah memijah juga tetap menyusut gonadnya. Bandeng umur 5 dan 6 tahun dipelihara dalam jaring apung berdiameter 5 meter dan dibiarkan tak diganggu kecuali ketika perawatan jaring yang kadang-kadang dilakukan hingga mereka dipindahkan ke jaring apung berdiameter 6 meter pada awal percobaan. Ikan yang pernah memijah juga dipindah dari jaring apung berdiameter 10 meter hanya selama perlakuan awal. Pemindahan ini mungkin cukup mengganggu fungsi pituitari atau gonad. Efek negatif stres penanganan ini diduga kuat menjadi penyebab kegagalan bandeng tidak-matang gonad dalam berespon terhadap pemberian gonadotropin dan steroid pada percobaan-percobaan terdahulu (Lacanilao et al., 1985). Dalam studi ini, ikan dipelihara dalam jaring apung berdiameter 3 meter dan ditangani secara berulang. Ikan dari stok yang sama dengan yang digunakan dalam percobaan perangsangan hormonal, dipelihara dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan sama sekali tak diganggu, matang gonad dan memijah selama periode ketika percobaan perangsangan dengan hormon dilakukan (Lacanilao dan Marte, 1980; Marte dan Lacanilao, 1986). Demikian pula, ikan yang dibiarkan dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan ikan umur 6 tahun yang pernah memijah mulai melakukan pemijahan pada bulan April. Total 31 pemijahan diperoleh dari stok ini sejak 10 April sampai Oktober.

Bab IV
Prosedur Penyuntikan Pituitari dan Pemijahan Buatan Pada Ikan Karper

Prosedur untuk memperoleh gamet (sel telur dan sel sperma) ikan karper India diuraikan di bawah ini :

(1) Induk jantan dan betina ditangkap dengan jaring kantong dari kolam, lalu dipiih sesuai dengan kebutuhan, selanjutnya dimasukkan ke dalam jaring apung mini bermata-halus yang diapungkan di dalam kolam. Masing-masing ikan ditimbang untuk menentukan dosis kelenjar pituitari kasar yang diperlukan. Induk diisolasi beberapa jam sebelum pemijahan agar ikan-ikan tersebut bisa membuang habis semua fesesnya sehingga tidak mengotori gamet.

(2) Ikan donor (yaitu ikan yang menyediakan kelenjar pituitari untuk penyuntikan) dikumpulkan dan ditimbang. Jumlah (atau berat) ikan donor yang diperlukan ditentukan oleh berat ikan induk, sebagai dasar dalam menentukan jumlah “dosis” yang dibutuhkan untuk mematangkan gonad ikan induk. Satu dosis adalah berat kelenjar pituitari seekor ikan lain yang sama dengan berat kelenjar pituitari seekor induk, atau gabungan kelenjar-kelenjar pituitari dari beberapa ekor ikan lain sehingga berat total semua ikan donor tersebut sama dengan berat seekor ikan induk. Donor yang diperlukan adalah 2 dosis per induk betina dan 0,5 dosis per induk jantan.


(3) Suntikan pertama terhadap induk betina dilakukan 12 jam sebelum telur dikeluarkan. Kelenjar pituitari dengan berat cukup diambil dari donor yang baru dibunuh untuk menyediakan 0,5 dosis per betina. Kelenjar ini dimasukkan ke dalam alat penghomogen yang terbuat dari gelas kemudian dilumatkan dengan menggunakan alu gelas. Larutan garam 0,7 N ditambahkan sampai mencapai volume yang dibutuhkan – biasanya 1 ml per penyuntikan. Hormon chorionic gonadotropin mamalia bisa ditambahkan ke dalam gerusan pituitari kasar ini. Larutan tersebut kemudian segera disuntikkan ke otot dinding tubuh di belakang sirip dada ikan induk. Induk yang telah disuntik ini kemudian dilepaskan ke jaring apung.

(4) Penyuntikan kedua dilakukan 6 jam setelah penyuntikan pertama sebanyak 1,5 dosis per induk betina. Penyuntikan terhadap ikan jantan dilakukan pada saat ini dengan dosis 0,5 per induk jantan.

Sejarah Teknik Pemijahan Buatan Pada ikan Dengan Hipofisasi

Matty (1985) menjelaskan sejarah praktek pijah rangsang dengan hormon pada ikan. Teknik ini berawal pada tahun 1934 ketika kelenjar pituitari ikan Brazil disuntikkan untuk merangsang ovulasi. Adalah seorang ahli endokrinologi terkenal, B.A. Houssay, yang pada tahun 1930 menyuntik beberapa ikan vivipar (melahirkan anak) kecil dengan kelenjar pituitari, yang baru diambil dari spesies ikan lain, dan menyebabkan kelahiran prematur. Penemuan baru ini menarik perhatian R. von Ihering, direktur budidaya ikan di Ceara, Brazil. Selama bertahun-tahun masalah utama budidaya ikan di Brazil adalah bagaimana ikan agar memijah dalam tempat terkurung; bahkan bila ikan tersebut ditangkap ketika hampir matang gonad, ikan ini jarang secara sempurna mengalami ovulasi atau matang gonad. Pada tahun 1934, von Ihering mengembangkan teknik yang berhasil untuk merangsang ovulasi dengan menggunakan pituitari ikan. Proses ini sekarang kadang-kadang dikenal sebagai hipofisasi.

Selama periode ini, Rusia berupaya merangsang ikan sturgeon terkurung agar matang gonad dan memijah dengan bantuan hormon mamalia tetapi upaya ini tidak berhasil hingga tahun 1937 ketika N.L. Gerbil’skii dapat memperoleh telur dan sperma matang dari sejumlah besar ikan sturgeon, Acipenser stellatus, yang telah disuntik secara intraperitoneal (lewat-perut) dengan satu atau pituitari segar dari ikan spesies yang sama. Ini merupakan penemuan yang menguntungkan karena pada saat itu stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga air dan bendungan-bendungan terus dibangun di sungai-sungai jalur migrasi pemijahan ikan sturgeon ke hulu sehingga mencegah sturgeon mencapai daerah ovulasinya. Dengan teknik hipofisasi, ikan sturgeon bisa dipijahkan di dekat muara sungai. Saat ini Rusia memperoleh semua telur ikan sturgeonnya untuk pembudidayaan dari ikan yang disuntik pituitari (Matty, 1985).

Matty (1985) menambahkan bahwa pada awal tahun 1950-an, pijah rangsang ikan karper di Cina dan India mulai dipraktekan secara luas. Di Cina ikan black carp, Mylopharyngodon piceus, dan ikan big head, Aristichthys nobilis, pertama kali dirangsang untuk memijah dengan penyuntikan pituitari, kemudian ikan mola, Hypophthalmichthys molitrix, dan terakhir ikan kowan, Ctenopharyngodon idellus. Di India jenis-jenis ikan karper utama seperti catla, Catla catla, rohu, Labeo rohita, dan mrigal, Cirrhinus mrigala, telah dipijahkan secara intensif dengan bantuan hormon pituitari.



Bab V
Merangsang Pemijahan Ikan Dengan LHRH (Luteinising Hormone Releasing Hormone)

Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A

Marte et al. (1988) telah melakukan sembilan percobaan untuk meneliti pengaruh pemberian secara kronis (menahun) hormon testosteron dan analog hormon pelepas gonadotropin tehadap kematangan pertama kali ikan bandeng umur 4 – 6 tahun dan pematangan kembali ikan umur 6 sampai lebih dari 9 tahun yang gonadnya telah menyusut/telah dikeluarkan isinya.

Pencangkokan hormon testosteron (T) atau T yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone-releasing hormone analogue (LHRH-A) tidak banyak berpengaruh terhadap laju pematangan gonad ikan bandeng umur 4 tahun. Persentase ikan matang gonad adalah rendah dan sama dengan kontrol pada percobaan 1 (T, 31 – 35 %; kontrol, 35 %) dan percobaan 3 (T, 13 %; T plus LHRH-A, 28 %; kontrol, 22,2 %). Kebanyakan ikan umur 4 tahun yang matang gonad adalah jantan; betina matang gonad hanya diperoleh dari kelompok yang dicangkoki T pada percobaan 1. Pada percobaan 3, betina matang gonad yang dicangkoki T dapat menahan telur-telur yang berkuning telur, sedangkan ikan betina kontrol yang matang gonad tidak dapat, hal ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin meningkatkan vitelogenesis dan mempertahankan kesatuan oosit vitelogenik. Ikan betina umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki, sekitar setengah ukuran ikan betina lebih tua yang pertama kali matang gonad, dirangsang untuk memijah. Hal ini merupakan masus pertama pematangan dan pemijahan bandeng umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki (Marte et al., 1988).

Marte et al., (1988) menambahnkan bahwa seperti pada percobaan 1 dan 3, persentase ikan dengan gonad telah dikeluarkan isinya yang matang kembali pada percobaan 7 dan 8 serupa dengan yang dicangkoki-T dan kontrol. Sebaliknya, ikan umur 4 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 2 dan 4, ikan umur 5 dan 6 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 5 dan 6, serta ikan umur 6 tahun dengan gonad telah dikeluarkan isinya pada percobaan 9 tetap tidak matang gonad atau gonadnya menyusut semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil percobaan ini mencakup umur dan sejarah reproduktif ikan, waktu pencangkokan hormon, kondisi percobaan dan pemeliharaan, serta stres.

Pemijahan Buatan Dengan Hormon LHRH

Nandeesha et al. (1990) menyatakan bahwa sejumlah penelitian telah dilakukan pada spesies mamalia yang memperlihatkan kontrol neuroendokrin terhadap sekresi hormon-hormon gonad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangsangan sekresi gonadotropin endogen lebih mungkin dilakukan daripada penggunaan gonadotropin eksogen seperti ekstrak pituitari atau HCG. Luteinising Hormone Releasing Hormone (LHRH) mampu melepaskan Luteinising Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari kelenjar pituitari. Laporan penelitian yang dilakukan di Cina mengenai keberhasilan analog LHRH mamalia (D-Ala6, Pro9NEt) dalam merangsang pemijahan ikan karper telah menarik perhatian dunia terhadap penggunaan LHRH untuk memijahkan berbagai spesies ikan. Meski beberapa spesies ikan telah dilaporkan hanya berespon terhadap LHRH analog, penelitian mendetail tentang metodologi pemijahan ikan karper dengan LHRH analog di Cina menunjukkan bahwa petani ikan biasanya menggabungkan analog ini dengan pituitari atau HCG untuk memperoleh keberhasilan yang dikehendaki.

Kombinasi LHRH dan Antagonis Dopamin Untuk Pemijahan Ikan Buatan

Menurut Nandeesha et al. (1990) kemajuan besar dalam penelitian pemijahan ikan adalah penemuan dopamin yang beraksi sebagai faktor penghambat sintesis gonadotropin. Penelitian mendetail mengenai alasan kegagalan pemijahan ikan bila hanya menggunakan LHRH saja dengan jelas menunjukkan bahwa dopamin mempengaruhi aksi LHRH terhadap sekresi gonadotropin. Jadi, penghambatan aksi dopamin dengan agen-agen antagonis seperti pimozide akan mendorong aksi LHRH sehingga pemijahan bisa berhasil. Serangkaian penelitian di Cina yang dibiayai oleh IDRC dan dilakukan oleh Dr. R.E. Peter dari Kanada dan Dr. H.R. Lin dari Cina membuktikan bahwa kombinasi LHRH analog dengan antagonis dopamin dapat efektif menggantikan fungsi pituitari ikan dalam merangsang pemijahan ikan karper. Kedua ilmuwan ini menamakan teknik baru pemijahan tersebut “Linpe Method”.

Cangkok Hormon LHRH Untuk Merangsang Pemijahan Bandeng

Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985) melaporkan bahwa baru-baru ini ada beberapa metode yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyuntikan hormon yang berulang-ulang. Teknik baru ini menggunakan pelet hormon yang melepaskan sejumlah tertentu “pesan” kimia selama periode yang panjang. Satu contoh khas pelet yang mampu melepaskan hormon sedikit demi sedikit adalah pelet yang berisi hormon pelepas-hormon luteinizing atau luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) dalam bentuk matriks kolesterol. Pelet ini dibuat untuk mengendalikan pelepasan senyawa neuropeptida tersebut ke dalam tubuh binatang.

Struktur molekul LHRH telah diketahui sehingga kita dapat memproduksi secara sintetis LHRH analog yang beberapa kali sampai ratusan kali lebih kuat daripada neuropeptida alami. LHRH analog (LHRH-A) ini dibentuk menjadi pelet dan telah berhasil digunakan untuk memperpanjang periode pemijahan ikan salmon Atlantik dan ikan rainbow trout. Ketika bandeng diberi pelet kolesterol LHRH-A seperti ini, kematangan gonad dengan persentase lebih tinggi dilaporkan berhasil dicapai pada ikan tersebut dan kematangan gonad ini terjadi kira-kira sebulan sebelum masa musim reproduksi normalnya (Lee et al., 1985, dalam Lee dan Liao, 1985).

Merangsang Pelepasan Gonadotropin Dengan LHRH Pada Ikan Mas

Menurut Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983) LHRH sintetis dapat merangsang pelepasan GtH (gonadotropin hormon) dari pituitari teleostei. Telah ditemukan bukti langsung yang pertama untuk hal ini : penyuntikan LHRH secara intravena pada ikan mas, Cyprinus carpio, menyebabkan peningkatan secara tajam konsentrasi GtH dalam plasma darah dalam waktu 2 – 6 menit setelah penyuntikan. Dengan LHRH dosis rendah (250 nanogram/kg), mula-mula konsentrasi GtH plasma meningkat kemudian kembali normal dalam waktu sekitar 10 menit. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi hormon ini terus berlangsung sedikitnya selama 25 menit pada ikan yang diberi dosis tinggi (1 mikrogram/kg). Dua kali penyuntikan LHRH (3 mikrogram/kg) dengan selang waktu 3 jam menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH plasma selama sedikitnya 12 jam. Kepekaan tertinggi terhadap LHRH selama siklus reproduksi ikan mas adalah dari musim pemijahan musim semi sampai musin panas, dan bahwa kepekaan minimal adalah pada musim dingin di mana kegiatan seksual ikan tidak aktif. Sayangnya, ovulasi buatan pada ikan mas dengan penyuntikan LHRH masih gagal.

Variasi Kepekaan Gonad Ikan Terhadap LHRH

Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983), berdasarkan laporan peneliti-peneliti lain, menyatakan bahwa perlakuan terhadap ikan salmon Atlantik atau rainbow trout yang belum matang gonad dengan steroid estrogen mendorong pituitari memproduksi GtH. Hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH) menyebabkan pelepasan GtH dengan laju tergantung-dosis dari pituitari secara in vitro pada ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid. Bagaimanapun, pituitari ikan yang tidak diberi perlakuan tidak melepaskan GtH setelah disuntik LHRH. Dalam kaitannya dengan respon in vivo terhadap LHRH, rainbow trout matang gonad (namun belum memijah) lebih peka terhadap LHRH dibandingkan ikan pada TKG (Tingkat Kematangan Gonad) lain. Penyuntikan tunggal LHRH menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH yang tergantung-dosis, peningkatan ini tetap bertahan selama sedikitnya 6 jam, pada rainbow trout (Salmo truta) jantan yang matang gonad (sedang mengalami spermiasi). Senyawa analog LHRH buatan yang menghambat pelepasan LH pada mamalia (analog LHRH penghambat atau “inhibitory LHRH analogue”/i-LHRHa) juga menghambat pelepasan GtH yang dirangsang secara in vivo oleh LHRH pada ikan brown trout jantan dewasa. Bagaimanapun, senyawa-senyawa analog LHRH yang sangat aktif tidaklah lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang peningkatan konsentrasi GtH plasma. Dengan menggunakan pituitari dari ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid secara in vitro, telah ditemukan fakta bahwa senyawa analog LHRH paling aktif yang sedikit lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang pelepasan GtH hanyalah des-Gly10[D-Ala6]LHRH etilamida; i-LHRHa juga efektif secara in vitro.

Pengaruh Pemberian LHRHa Terhadap Konsentrasi Gonadotropin

Crim et al. (1988) melakukan penelitian dengan menggunakan ikan bioesei berupa ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang; hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan secara in vivo dengan LHRH analog asal mamalia berhasil merangsang pelepasan hormon gonadotropin (GtH). Setelah penyuntikan-sekali LHRH analog (LHRHa) secara intraperitoneal, baik LHRHa maupun GtH dengan cepat meningkat di dalam plasma darah dan tetap tinggi selama beberapa jam. Meskipun konsentrasi LHRHa dalam plasma darah turun sampai ke tingkat yang tak dapat dideteksi setelah 11 jam, namun konsentrasi GtH dalam plasma darah, yang mulai menurun setelah 7,5 jam, tetap lebih besar daripada nilai kontrol selama kira-kira 2 hari. Ikan trout yang kembali diberi LHRHa setelah kira-kira 47 jam mengalami peningkatan konsentrasi GtH dalam plasma darah secara cepat, yang menunjukkan bahwa pituitari tetap mempertahankan kepekaannya terhadap pemberian LHRHa selanjutnya. Berlawanan dengan peningkatan dalam waktu relatif singkat konsentrasi GtH plasma setelah pemberian LHRHa melalui penyuntikkan-sekali, peningkatan konsentrasi GtH yang lebih lama yang berlangsung selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu telah terbukti terjadi setelah pencangkokan hormon secara intramuskular atau intraperitoneal pada ikan trout dengan sebuah pelet LHRHa kolesterol. Penelitian lebih lanjut terhadap pelet campuran selulosa/kolesterol menunjukkan bahwa semua pelet kolesterol dengan adanya selulosa meningkatkan laju pelepasan LHRHa secara in vivo, terutama bila dibandingkan dengan pelet kolesterol murni (100 %) yang mengandung coklat mentega sebagai agen perekat. Disimpulkan bahwa pelepasan LHRHa secara cepat (dalam waktu singkat) dapat dicapai dengan menggunakan pelet selulosa/kolesterol, sedangkan pelepasan LHRHa dalam waktu panjang dapat dicapai dengan menggunakan pelet kolesterol murni.

Cangkok LHRHa Meningkatkan Konsentrasi Hormon Gonadotropin Dalam Jangka Panjang

Crim et al. (1988) melaporkan bahwa LHRH analog dari mamalia, (D-Ala6, Pro9-NHEt)LHRH, merupakan hormon yang berpotensi merangsang pelepasan GtH pada ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang. Penyuntikan-sekali cairan yang mengandung 20 mikrogram/kg LHRHa menyebabkan peningkatan konsentrasi LHRHa sampai ke level yang dapat dideteksi di dalam plasma darah yang belangsung beberapa jam, dan mempunyai pengaruh berjangka relatif singkat terhadap profil GtH plasma yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam dengan konsentrasi tertinggi GtH plasma terjadi selama beberapa jam pertama, yakni kira-kira 5 jam setelah perlakuan. Pemberian LHRHa melalui pencangkokan pelet kolesterol memperpanjang periode di mana hormon peptida ini bekerja terhadap ikan dan memungkinkan konsentrasi GtH plasma tetap tinggi dalam tubuh ikan selama lebih dari 48 jam, bahkan selama beberapa minggu tergantung pada jenis pelet selulosa/kolesterol yang dipakai. Pelet kolesterol murni, terutama yang mengandung agen perekat berupa mentega coklat, relatif lambat dalam melepaskan LHRHa sehingga memungkinkan pelepasan LHRHa dalam jangka panjang (berminggu-minggu). Dalam hal ini metode pencangkokan intraperitoneal maupun intramuskular sama-sama efektif. Sulit untuk menentukan dosis LHRHa yang tepat dalam cangkokan kolesterol bagi ikan-ikan dengan ukuran dan spesies yang berbeda; data terdahulu memperkuat dugaan bahwa untuk merangsang pemijahan ikan sea bass dengan berat badan 1 sampai 5 kg, dosis ambang LHRHa dalam sebuah pelet kolesterol kira-kira adalah 25 – 125 mikrogram hormon per pelet.

Referensi :


Almendras, J.M., C. Duenas, J. Nacario, N.M. Sherwood and L.W. Crim. 1988. Sustained Hormone Release. III. Use of Gonadotropin Releasing Hormone Analogue to Induce Multiple Spawnings in Sea Bass, Lates calcarifer. Aquaculture, Vol. 74, pp. 97 - 111

Alvarez-Lajonchere, L., O.G. Hernandez Molejon and L. Perez-Sanchez. 1991. Production of Juvenile of The Mullet Mugil liza Valenciennes, 1836, by Controlled Reproduction in Cuba. Ciencias Marinas, vol.17, no. 2, pp. 47 – 56, ISSN 0185-3880

Caroisfeld, J. 1988. Reproductive Physiology and Induced Breeding of Fish as Related to The Culture of Colossoma in Hernandez R., A. (ed.). 1989. Cultivo De Colossoma . Rede Regional Entidades y Centros De Acuicultura De America Latina, Bogota (Colombia), pp. 37 - 73

Crim, L.W. , N.M. Sherwood and C.E. Wilson. 1988. Sustained Hormone Release. II. Effectiveness of LHRH Analogue (LHRHa) Administration by Either Single Time Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin Levels in a Bioassay Model Fish, The Juvenile Rainbow Trout. Aquaculture, Vol. 74, pp. 87 - 95

Fagbenro, O.A., A.A. Salami and D.H.J. Sydenham. 1992. Induced Ovulaion and Spawning in The Catfish, Clarias isheriensis, Using Pituitary Extracts From Non-Piscine Sources. Journal of Applied Aquaculture, vol. 1, no. 4, pp. 15 – 20, ISSN 1045-4438

Hagen, N.T. 1992. Macroparasitic Epizootic Disease : A Potential Mechanism for The Termination of Sea Urchin Outbreaks in Northern Norway ? Marine Biology, vol. 114, no. 3, pp. 469 – 478, ISSN 0025-3162

Hunter, G.A. and E.M. Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Application to Fish Culture in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology IX B. Academic Press. New York. 477 pp.

Ianora, A., M.G. Mazzocchi and R. Grottoli. 1992. Seasonal Fluctuations in Fecundity and Hatchinh Suces in The Planktonic Copepod Centropages typicus. Journal of Plankton Researches, vol. 14, no. 11, pp. 1483 - 1494

Jones, C.J. 1993. Larval Growth Rates and Adult Reproduction of Toxorhynchites splendens (Diptera : Culicidae) With Restricted Dietary Intake. Envronmental Entomology, vol. 22, no. 1, pp. 174 - 182

Lee, C.-S., C.S. Tamaru and L.W. Crim. 1985. Preparation of Luteinizing Hormone-Releasing Hormone Cholesterol Pellet and Its Implantation in The Milkfish (Chanos chanos Forsskal) in C.S. Lee and I.C. Liao (Eds.). 1985. Reproduction and Culture of Milkfish. Oceanic Institute, Hawaii and Tungkang Marine Laboratory, Taiwan, pp. 215 – 226

Lee, C.-S. and C.S. Tamaru. 1988. Advances and Future Prospects of Controlled Maturation and Spawning of Grey Mullet (Mugil cephalus L.) in Captivity. Aquaculture, Vol. 74, pp. 63 - 73

Lewis, A.R. and J.H. Choat. 1993. Spawning Mode and Reproductive Output of The Tropical Cephalopod Idiosepius pygmaeus. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, vol. 50, no. 1, pp. 20 – 28, ISSN 0706-652X

McDonald, L.E. 1989. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Lea & Febriger, Philadelphia.

Marte, C.L., L.W. Crim and N.M. Sherwood. 1988. Induced Gonadal Maturation and Rematuration in Milkfish : Limited Succes with Chronic Administration of Testosterone and Gonadotropin-Releasing Hormone Analogues (GnRH-A).

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. 267 pp

Morritt, D. and T.D.I. Stevenson. 1993. Factors Influencing Breeding Initation in The Beachflea Orchestia gammarellus (Pallas) (Crustacea : Amphipoda). Journal of Experimental in Marine Biology and Ecology, vol. 165, no. 2, pp. 191 - 208

Nandeesha, M.C., S.K. Das, D.E. Nathaniel and A.T.J. Varghese. 1990. Project Report on Breeding of Carps with Ovaprim In India. Special Publication No. 4, Asian Fisheries Society, Indian Branch, College of Fisheries, Mangalore, India. 41 pp.

Peter, R.E. 1983. The Brain and Neurohormones in Teleost Reproduction in W.S. Hoar, D.J. Randall and F.M. Donaldson (Eds.). 1983. Fish Physiology. Vol. IX, Academic Press, New York. pp. 97 - 136

Satoh, H., K. Yamamori and T. Hibiya. 1992. Induced Spawning of The Japanese Eel. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries, vol. 58, no. 5, pp. 825 – 832

Sherwood, N.M., L.W. Crim, J.Carolsfed and S.M. Walters. 1988. Sustained Hormone Release. I. Characteristics of In Vitro Release of Gonadotropin-Releasing Hormone Analogue (GnRH-A) from Pellets. Aquaculture, Vol. 74, pp. 75 – 86

Withler, FC. 1980. Chilled and Cryogenic Storage of Gametes of Thai and Catfish. Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 948. 15 pp.

Yamamoto, T. 1969. Sex Differentiation in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. Fish Physiology. Volume III. Academic Press. New York. 485 pp.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar