Rabu, 02 Mei 2018

Interaksi Antara Faktor Kimia Perairan dan Ikan


Daftar Isi


Bab I. Peran Kalium Bagi Kolam, Udang dan Ikan

- Peran Kalium Bagi Kolam Ikan
- Pengaruh Kalium Dalam Air Terhadap Kebutuhan Kalium Pakan Pada Udang
- Pengaruh Penambahan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Penaeus di Perairan Darat Asin
- Peran Kalium Dalam Pemanfaatan Air Bawah-Tanah Untuk Budidaya Kakap
- Kebutuhan Kalium Pada Anak Ikan Lele

Bab II. Kesadahan Air : Pengendalian dan Pengaruhnya Terhadap Ikan

- Hubungan Kesadahan dan Alkalinitas
- Kesadahan Air Untuk Pertumbuhan Ikan Optimum
- Menurunkan Kesadahan Air dengan Zeolit dan Lumut Sphagnum
- Penyebab Rendahnya Kesadahan Air Di Daerah Pesisir
- Gipsum Untuk Meningkatkan Kesadahan Air Kolam Ikan
- Hubungan Kesadahan Air, Pengapuran dan Produksi Ikan
- Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Formalin Bagi Telur dan Larva Ikan
- Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Pestisida Bayluscide
- Pengaruh Kesadahan Terhadap Pertumbuhan dan Kerusakan Insang Ikan

Bab III. Alkalinitas Perairan dan Pengaruhnya Terhadap Ikan Budidaya

- Arti Penting Alkalinitas Bagi Budidaya Ikan
- Kehilangan Alkalinitas Akibat Nitrifikasi Pupuk di Kolam
- Keefektivan Kalsium Karbonat Dalam Meningkatkan Alkalinitas Air Laut Ozonasi
- Pengaruh Alkalinitas Terhadap Produksi Ikan Budidaya
- Pengaruh Alkalinitas Air Kolam Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan

Bab IV. Karbon Dioksida Dalam Perairan dan Pengaruhnya Bagi Biota Air

- Bentuk-Bentuk Karbon Dioksida Dalam Perairan
- Pengaruh Pengapuran Terhadap Ketersediaan Karbon Dioksida Dalam Air
- Sumber Karbon Bagi Plankton Danau Setelah Karbon Dioksida Habis
- Daya Racun dan Fluktuasi Konsentrasi Karbon Dioksida
- Penyingkiran CO2 Dengan Kalsium Hidroksida dan Pengaruhnya Bagi Ikan
- Pengaruh Karbon Dioksida Terhadap Pertumbuhan Diatom
- Pengaruh CO2 Terhadap Pertumbuhan Tanaman Air

Bab V. Interaksi Antara Aktivitas Budidaya Ikan dan Kualitas Air

- Karakteristik Fisika dan Kimia Air Mempengaruhi Budidaya Ikan
- Pengelolaan Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan
- Pengaruh Intensifikasi Budidaya Ikan Terhadap Kualitas Air
- Manajemen Budidaya Ikan Mempengaruhi Kualitas Air
- Pengaruh Kualitas Air Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan
- Pengaruh Pakan Berkadar Energi Tinggi Terhadap Kualitas Air Dan Eutrofikasi
- Pengaruh Padat Penebaran Udang Windu Terhadap Kualitas Air Kolam
- Kualitas Air Buangan Kolam Budidaya Ikan

Referensi

Bab I
Peran Kalium Bagi Kolam, Udang dan Ikan


Peran Kalium Bagi Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa pupuk kalium sangat mudah larut dan ion K+ dilepaskan ketika pupuk larut. Ion-ion kalium tidak diserap oleh tumbuhan tetapi tetap ada dalam larutan atau berperanan dalam reaksi pertukaran ion dengan sedimen. Siklus geokimia untuk kalium di kolam agak tidak penting bila dibandingkan dengan siklus fosfor dan nitrogen. Konsentrasi kalium dalam perairan alami biasanya berkisar antara 0,5 dan 10 mg per liter. Kalium biasanya tidak penting dalam pemupukan kolam.

Pengaruh Kalium Dalam Air Terhadap Kebutuhan Kalium Pakan Pada Udang

Zhu et al. (2006) mempelajari pengaruh konsentrasi kalium dalam air laut terhadap kebutuhan kalium pakan pada udang Litopenaeus vannamei; penelitian dilakukan dengan air laut buatan bersalinitas 30 ‰. Konsentrasi kalium dalam air yang diuji adalah 332, 156 dan 104 mg per liter. Kandungan kalium dalam pakan eksperimental berbasis kasein-gelatin adalah 1,09 %, 1,53 %, 2,49 % dan 3,46 %, berturut-turut. Percobaan pemberian pakan berlangsung selama 56 hari. Pertumbuhan, aktivitas makan, “nutrient retention” (aktivitas mempertahankan nutrisi), dan efisiensi konversi pakan pada udang tersebut secara nyata dipengaruhi oleh konsentrasi kalium dalam air laut (P < 0,05), tetapi kandungan kalium dalam pakan memberikan sedikit pengaruh. Berat badan akhir, laju pertumbuhan spesifik, rasio efisiensi protein dan efisiensi konversi pakan pada udang yang terkena konsentrasi kalium dalam air 104 mg/liter adalah, berturut-turut, lebih dari 37 %, 26 %, 25 % dan 27,5 % lebih rendah dibandingkan pada udang yang terkena kalium berkosentrasi lebih tinggi (P < 0,05). Tidak ada efek interaksi yang nyata antara konsentrasi kalium air laut dengan kandungan kalium dalam pakan. Baik konsentrasi kalium dalam air laut maupun kandungan kalium dalam pakan tidak mempengaruhi kandungan kalium dalam tubuh udang. Hal ini menunjukkan bahwa Litopenaeus vannamei kurang mampu mengasimilasi kalium dari makanan secara efisien pada salinitas 30 ‰, dan bahwa penambahan kalium dalam pakan memberikan sedikit pengaruh terhadap pertumbuhan udang ketika konsentrasi kalium dalam air sekelilingnya adalah cukup.

Pengaruh Penambahan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Penaeus di Perairan Darat Asin

Prangnell dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa udang “western king”, Penaeus latisulcatus, merupakan spesies kandidat untuk dibudidayakan dalam perairan darat yang asin (inland saline water). Kelangsungan hidup, pertumbuhan, faktor kondisi, osmo- dan iono-regulasi udang ini telah dipelajari dengan memeliharanya di dalam perairan darat yang asin dan diperkaya dengan kalium selama 202 hari. Udang PL 40 ditebarkan dalam tangki 250 liter dengan tiga jenis media : air dari perairan darat yang asin dengan penambahan kalium sampai 80 % (DA 80) dari konsentrasinya dalam air laut, 100 % (DA 100) dari konsentrasi kalium dalam air laut, dan media berupa air laut (AL).

Berdasarkan percobaan tersebut, Prangnell dan Fotedar (2006) menyimpulkan bahwa kelangsungan hidupnya adalah 53 % dalam AD 80, 64 % dalam AD 100 dan 68 % dalam AL. Rata-rata berat, panjang total, panjang karapas, faktor kondisi dan interval ganti kulit pada udang ini adalah secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) dalam AL daripada dalam AD 100 dan AD 80. Laju pertumbuhan spesifik udang ini dalam air laut secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) daripada dalam AD 80. Tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) dalam hal kapasitas osmoregulasi di antara semua media kultur. Konsentrasi Na+, K+, Ca2+ dan S dalam serum darah dipengaruhi oleh konsentrasinya di dalam media kultur. Ca2+ adalah satu-satunya kation utama yang mengalami hiper-regulasi dan cenderung ditimbun, sedangkan Mg2+ dipertahankan pada konsentrasi yang jauh lebih rendah di dalam serum darah daripada di dalam media kultur. Kandungan air dalam hepatopankreas, otot ekor dan rangka-luar serta indeks organosomatik meningkat dari AD 80 ke AD 100 ke air laut (AL). Lebih rendahnya laju pertumbuhan dan faktor kondisi udang yang dipelihara dalam air perairan darat asin yang diperkaya dengan kalium menunjukkan adanya faktor pembatas lain selain konsentrasi kalium. Udang western king adalah regulator yang lebih baik untuk kation bervalensi-dua daripada kation bervalensi-satu, dan kebutuhan energi yang lebih banyak untuk meregulasi ion-ion dalam air perairan darat yang asin mungkin menjadi penyebab utama laju pertumbuhan yang lebih rendah.

Peran Kalium Dalam Pemanfaatan Air Bawah-Tanah Untuk Budidaya Kakap

Partridge dan Lymbery (2008) melaporkan bahwa dunia internasional sangat tertarik untuk memanfaatkan sumber air bawah-tanah yang asin di daratan untuk budidaya ikan laut (marikultur); bagaimanapun, kekurangan kalium merupakan faktor yang bisa membatasi pemanfaatan tersebut. Untuk itu dilakukan studi pengaruh penambahan kalium (sebanyak antara 25 dan 100 % dari jumlah kalium yang ada dalam air laut bersalinitas setara) terhadap pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan respon fisiologis ikan kakap (Lates calcarifer) pada salinitas hiperosmotik (45 ppt), hampir-isoosmotik (15 ppt) dan hipoosmotik (5 ppt). Kalium berkonsentrasi setara 25 % tidak diuji pada salinitas 45 ppt karena menyebabkan kematian ikan kakap pada penelitian terdahulu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara dalam kalium berkonsentrasi setara 50 % pada salinitas 45 ppt tetap hidup selama 4 minggu tetapi kehilangan berat badan; sedangkan ikan yang dipelihara dalam kalium berkonsentrasi setara 75 % dan 100 % tetap hidup dan beratnya bertambah. Homeostasis kalium plasma darah pada ikan ini dipertahankan oleh mekanisme buffering dari otot rangka. Bahwa ikan-ikan ini menunjukkan dehidrasi otot, peningkatan aktivitas (Na+–K+) ATPase dalam insang, ginjal dan usus serta peningkatan konsentrasi natrium dan klorida dalam darah menunjukkan bahwa mereka mengalami stres osmotik. Pada salinitas 15 ppt, semua perlakuan konsentrasi kalium menghasilkan laju pertumbuhan yang sama. Buffering kalium plasma darah juga terjadi pada perlakuan konsentrasi kalium 25 dan 50 % tetapi tampaknya dalam kondisi kesetimbangan. Ikan kakap pada salinitas 5 ppt menunjukkan pertumbuhan yang sama untuk semua perlakuan konsentrasi kalium. Pada salinitas ini, tidak terjadi buffering kalium plasma dari otot; dan pada perlakuan konsentrasi kalium 25 % tampak bahwa konsentrasi kalium darah secara nyata lebih rendah dibandingkan semua perlakuan kalium tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup maupun aktivitas (Na+–K+) ATPase. Data in menunjukkan bahwa secara proporsional lebih banyak kalium yang dibutuhkan pada salinitas hiperosmotik dibandingkan pada salinitas iso- dan hipo-osmotik, dan juga menunjukkan bahwa ikan kakap mempunyai kebutuhan yang lebih sedikit akan kalium daripada spesies ikan lain yang telah dipelajari dalam studi budidaya di air bawah-tanah asin di darat (Partridge dan Lymbery, 2008).

Kebutuhan Kalium Pada Anak Ikan Lele

Wilson dan El Naggar (1992) selama 8 minggu melakukan studi pemberian pakan untuk menentukan kebutuhan kalium pada juvenil ikan lele channel catfish, Ictalurus puntatus. Enam jenis pakan dengan kandungan kalium berkisar dari 0,01 sampai 0,49 % diberikan dengan tiga kali ulangan pada ikan lele (rata-rata berat awal 16,6 gram) dalam akuarium arus-mengalir dan suhu air 26,7 ± 1,1 °C. Air budidaya mengandung 4 mg/liter kalium. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal perolehan berat ikan ataupun efisiensi pakan di antara kelompok-kelompok percobaan. Tidak ada hubungan dosis-respon antara kandungan kalium dalam pakan dan kandungan kalium dalam tubuh ikan utuh, yang menunjukkan bahwa ikan lele ini tidak membutuhkan kalium dari pakan bila dipelihara dalam air yang mengandung kalium 4 mg/liter atau lebih. Bagaimanapun, bila data ini digunakan untuk menghitung keseimbangan kalium dalam seluruh tubuh ikan untuk setiap kelompok percobaan maka jelas bahwa ikan lele membutuhkan kalium yang dapat dipenuhi oleh kalium dalam pakan atau kalium yang diserap ikan dari air budidaya. Analisis regresi linear terhadap kandungan kalium dalam pakan vs nilai-nilai keseimbangan kalium dalam seluruh tubuh menunjukkan kebutuhan kalium sebesar 0,26 %. Kebutuhan sebesar ini adalah sama dengan kebutuhan kalium pada tikus, ayam dan babi muda.

Bab II
Kesadahan Air : Pengendalian dan Pengaruhnya Terhadap Ikan


Hubungan Kesadahan dan Alkalinitas

Boyd (1982) menyatakan bahwa istilah kesadahan total menunjukkan konsentrasi ion-ion logam bervalensi dua dalam air, yang dinyatakan sebagai ekuivalen kalsium karbonat dengan satuan miligram per liter. Kesadahan total biasanya berhubungan dengan alkalinitas total karena anion dari alkalinitas dan kation dari kesadahan biasanya berasal dari larutan mineral karbonat. Ada korelasi positif yang tinggi antara alkalinitas total dan kesadahan total dalam air kolam di daerah, misalnya, Alabama, AS. Di perairan daerah kering, pemekatan ion akibat penguapan bisa menyebabkan pengendapan ion-ion yang bertanggung jawab atas alkalinitas, sehingga kesadahan total mungkin agak lebih besar daripada alkalinitas total. Sepanjang dataran pesisir, air mata-air (air bawah tanah) kadang mempunyai alkalinitas tinggi dan kesadahan rendah; air kolam yang terisi oleh air dari mata air seperti ini mungkin juga memiliki alkalinitas tinggi dan kesadahan rendah.

Kesadahan Air Untuk Pertumbuhan Ikan Optimum

Swann (2000) menyatakan bahwa kesadahan air terutama mengukur kalsium dan magnesium, tetapi ion-ion lain seperti ion aluminium, besi, mangan, strontium, seng dan hidrogen juga tercakup. Bila tingkat kesadahan sama dengan gabungan alkalinitas karbonat dan bikarbonat, ia disebut kesadahan karbonat. Nilai kesadahan yang lebih besar daripada jumlah alkalinitas karbonat dan bikarbonat disebut kesadahan non karbonat. Nilai kesadahan sedikitnya 20 ppm harus dipertahankan untuk pertumbuhan optimum organisme akuatik. Nilai kesadahan yang rendah bisa dinaikkan dengan menambahkan kapur pertanian.

Menurunkan Kesadahan Air dengan Zeolit dan Lumut Sphagnum

Cole (1994) menyatakan bahwa agen penurun kesadahan air yang bekerja berdasarkan pertukaran ion bisa dibuat secara sederhana dari gambut yang berasal dari lumut Sphagnum. Ketika air merembes melalui gambut ini, kalsium diserap dan material tumbuhan tersebut pada saat yang sama menghasilkan ion hidrogen sehingga terbentuk asam sulfat. Inilah sebabnya mengapa rawa-rawa Sphagnum mempertahankan keasaman yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa Sphagnum hidup menyerap kation dengan laju yang berbeda; ion trivalen dan bivalen jauh lebih mudah diserap daripada monovalen. Sphagnum mati tetap melanjutkan aksinya sebagai penukar ion. Aksi lumut ini sama dengan aksi damar dan zeolit komersial yang digunakan dalam deionisasi air. Zeolit terbuat dari satu golongan besar aluminium silikat alami yang mengandung air. Mereka menunjukkan efek penyaringan molekular dan memiliki sifat-sifat pertukaran basa yang membuat material ini berguna dalam proses penurunan kesadahan air. Demikian pula, sistem komplek pori-pori sangat kecil di dalam dinding sel Sphagnum bisa diadaptasikan untuk dapat berperanan seperti ini. Telah diketahui bahwa ion-ion logam yang melekat pada permukaan gambut kadang-kadang mencapai lebih dari 100 kali dibandingkan jumlahnya yang ada di dalam air.

Penyebab Rendahnya Kesadahan Air Di Daerah Pesisir

Boyd (1982) menyatakan bahwa air sumur di daerah dataran pesisir sering memiliki alkalinitas tinggi dan kesadahan kalsium rendah. Material geologis di dalam air bawah-tanah di daerah seperti ini sering mengandung banyak natrium. Air dengan nilai kesadahan total dan nilai alkalinitas total yang serupa merembes hingga mencapai “water table” (lapisan batuan kedap air) jauh di dalam tanah. Bila air ini bersentuhan dengan material geologis air bawah-tanah tersebut, maka kalsium dan magnesium yang semula ada di dalam air ditukar dengan natrium dalam material geologis itu. Hal ini menyebabkan air tanah menjadi kurang sadah secara alami.

Gipsum Untuk Meningkatkan Kesadahan Air Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) nilai kesadahan total bisa ditingkatkan dengan memberikan gipsum. Gipsum pertanian adalah 80 % murni dan mengandung sekitar 18,6 % kalsium. Jadi, setiap kilogram gipsum pertanian setara dengan 0,186 kg kalsium, atau 0,186 x (100 : 40) = 0,467 kg CaCO3 (kesadahan dinyatakan sebagai CaCO3). Untuk menaikkan kesadahan total 1 meter kubik air sebesar 1 mg/liter maka diperlukan 1 mg/l CaCO3 : 0,467 kg CaCO3 per kg = 2,14 kg gipsum pertanian. Pemberian gipsum tidak akan meningkatkan alkalinitas total.

Hubungan Kesadahan Air, Pengapuran dan Produksi Ikan

Boyd (1982), dengan mengutip beberapa hasil penelitian, melaporkan bahwa umumnya ada respon positif terhadap pemberian kapur pada kolam yang airnya memiliki kesadahan antara 10 – 20 mg/liter, tetapi respon ini tidak menyolok pada kolam yang kesadahan totalnya di bawah 10 mg/liter. Secara umum, makin jauh nilai kesadahan total di bawah 20 mg/liter, makin besar respon kolam terhadap pemupukan. Agar berespon maksimum terhadap pemupukan, kolam ikan yang kesadahan totalnya kurang dari 20 mg/liter sebaiknya dikapur. Bagaimanapun, bila kesadahan totalnya 12 – 15 mg/liter, peningkatan produksi ikan setelah pengapuran mungkin tidak lebih dari 20 – 25 %, dan bahkan peningkatan produksi ikan yang lebih kecil lagi bisa dihasilkan dari pengapuran kolam yang kesadahan totalnya 15 – 20 mg/liter. Pemberian kapur mungkin percuma dan membuang biaya bila dilakukan di perairan yang kesadahan totalnya hampir 20 mg/liter.

Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Formalin Bagi Telur dan Larva Ikan

Meinelt dan Stueber (1992) mempelajari pengaruh kesadahan air terhadap daya racun formalin bagi telur dan embryo ikan. Uji embryo-larva telah dilakukan untuk ikan Brachydanio rerio selama 144 jam dengan konsentrasi formalin 37 %. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis air uji : air pertama 17,3 odH (308,8 mg CaCO3/liter) dan air kedua 3,5 odH (62,5 mg CaCO3/liter). Telah dibuktikan bahwa daya racun formalin meningkat dengan menurunnya kesadahan air.

Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Pestisida Bayluscide

Tchounwou et al. (1992) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap daya racun bayluscide dalam membasmi mirasidia (tahap larva) Schistosoma mansoni. Hasil uji menunjukkan bahwa suhu, pH, kesadahan dan salinitas air berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup mirasidia dan bahwa kemampuan bayluscide dalam membunuh mirasidia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. Secara ringkas, bahan kimia ini lebih efektif dalam membunuh mirasidia Schistosoma mansoni di dalam air yang bersuhu lebih tinggi, pH lebih rendah, kesadahan lebih rendah dan kadar garam lebih rendah (air tawar).

Pengaruh Kesadahan Terhadap Pertumbuhan dan Kerusakan Insang Ikan

Zhang dan Li (1992) mempelajari pengaruh pH rendah dan kesadahan terhadap tingkat kelangsungan hidup embryo, anak ikan dan ikan muda serta perubahan patologis insang ikan. Di dalam air sadah, perkembangan embryo ikan Misgurnus anguillicaudatus tertunda pada pH rendah dan pertumbuhan anak ikan juga terhambat pada pH kurang dari atau sama dengan 5,5. Di dalam air yang kurang sadah, tingkat kelangsungan hidup anak ikan dan ikan muda Ctenopharyngodon idellus terpengaruh pada pH kurang dari atau sama dengan 4,5. Aksi toksikologis terhadap ikan diperkuat akibat efek sinergis (efek saling menguatkan) antara pH rendah dan aluminium. Perubahan patologis yang mencakup peningkatan jumlah lendir, pembengkakan dan pelepasan epitel lamelar insang, hiperplasia (kondisi tertahannya perkembangan di mana organ atau bagiannya tumbuh kerdil) dan penggabungan jaringan insang telah diamati.

Bab III
Alkalinitas Perairan dan Pengaruhnya Terhadap Ikan Budidaya


Arti Penting Alkalinitas Bagi Budidaya Ikan

Menurut Swann (2000) alkalinitas adalah kemampuan air untuk menetralkan asam tanpa meningkatkan pH. Parameter ini mengukur basa, yaitu bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3-) dan, dalam kasus yang jarang, hidroksida (OH-). Akalinitas total adalah jumlah alkalinitas karbonat dan bikarbonat. Beberapa perairan mungkin hanya memiliki alkalinitas bikarbonat dan tidak mempunyai alkalinitas karbonat. Sistem buffer karbonat adalah penting bagi petani ikan, apapun metode produksi yang digunakan. Dalam produksi kolam, di mana fotosintesis merupakan sumber oksigen alami yang utama, karbonat dan bikarbonat merupakan area penyimpanan bagi kelebihan karbon dioksida. Dengan menyimpan karbon dioksida dalam sistem buffer ini, ia tidak akan menjadi faktor pembatas yang dapat mengurangi tingkat fotosintesis dan kemudian menurunkan produksi oksigen. Juga, dengan menyimpan karbon dioksida, sistem buffer ini mencegah terjadinya fluktuasi pH harian yang besar. Tanpa sistem buffer, karbon dioksida bebas akan membentuk banyak sekali asam lemah (asam karbonat) yang berpotensi menurunkan pH malam hari menjadi 4,5.

Selama periode puncak fotosintesis, sebagian besar karbon dioksida bebas akan dikonsumsi oleh fitoplankton dan, akibatnya, menyebabkan pH naik di atas 10. Padahal, ikan tumbuh dalam kisaran pH yang sempit dan pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan membahayakan ikan. Dalam sistem resirkulasi di mana fotosintesis secara praktis tidak ada, kapasitas buffer yang baik dapat mencegah pembentukan karbon dioksida yang berlebihan dan penurunan pH yang membahayakan. Disarankan agar petani ikan mempertahankan nilai alkalinitas total setidaknya 20 ppm untuk produksi ikan lele. Alkalinitas yang lebih tinggi, setidaknya 80 – 100 ppm, disarankan untuk kolam pemeliharaan ikan striped bass hibrida. Untuk pasokan air yang secara alami alkalinitasnya rendah, kapur pertanian bisa ditambahkan guna meningkatkan kapasitas buffering air tersebut.

Kehilangan Alkalinitas Akibat Nitrifikasi Pupuk di Kolam

Boyd (1982) menyatakan bahwa istilah alkalinitas total menunjukkan konsentrasi total basa-basa di dalam air yang dinyatakan dalam ekuivalen kalsium karbonat dengan satuan miligram per liter. Di sebagian besar perairan, bikarbonat, karbonat atau keduanya merupakan basa-basa yang dominan. Nitrifikasi terhadap pupuk amonium akan menghasilkan ion nitrogen; ion ini dapat merusak alkalinitas air kolam ikan. Setiap miligram pupuk amonium sulfat, atau (NH4)2SO4, bisa merusak 1,52 mg alkalinitas; 1 miligram nitrogen dari senyawa ini bisa merusak 7,17 mg alkalinitas. Setiap miligram pupuk monoamonium fosfat, atau NH4H2PO4, bisa merusak 0,87 mg alkalinitas; dengan kata lain, 1 mg nitrogen dari material ini bisa merusak 7,13 mg alkalinitas. Untuk urea, setiap miligram pupuk ini dapat merusak 1,67 mg alkalinitas, atau 1 mg N dari urea dapat menetralkan 3,58 mg alkalinitas. Di kolam, alkalinitas yang hilang secara aktual per satuan pupuk amonium adalah lebih kecil daripada yang hilang secara potensial.

Keefektivan Kalsium Karbonat Dalam Meningkatkan Alkalinitas Air Laut Ozonasi

Whangchai et al. (2004) meneliti strategi untuk menambahkan dan mengendalikan kehilangan alkalinitas selama oksidasi amonia dalam sistem ozonasi. Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan teknologi ozonasi guna menghancurkan metabolit beracun yang ada dalam kolam pembesaran udang. Kehilangan alkalinitas dan profil pH diteliti dalam sistem model ozonasi yang berisi air laut buatan dan amonia. Material-material tambahan seperti kapur berbasis kalsium karbonat, kapur terhidrat dan natrium bikarbonat dievaluasi dalam hal kemampuan kompensasi alkalinitasnya. Pada beberapa percobaan, pemberian material-material tambahan ini selama ozonasi digabungkan dengan perlakuan-perlakuan lain seperti rekarbonasi (pemberian CO2 dari luar).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapur berbasis kalsium karbonat tidak efektif lagi sebagai material penambah alkalinitas ketika ozonasi diterapkan untuk air laut yang mengandung amonia. Walaupun rekarbonasi memperbaiki keefektivan CaCO3 sebagai material penambah alkalinitas, pemberian bahan tersebut ke kolam ozonasi pembesaran udang yang luas adalah tidak praktis. Material yang efektif sebagai penambah alkalinitas untuk air laut ozonasi yang mengandung amonia adalah material yang lebih mudah larut, berupa kapur terhidrat dan natrium bikarbonat yang sangat murni dengan dosis yang tepat. Penggunaan natrium bikarbonat dan kapur terhidrat memungkinkan strategi pengendalian alkalinitas yang lebih tepat untuk kolam ozonasi “in situ” (di tempat yang bersangkutan) bagi pembesaran udang; bagaimanapun, dalam hal pemberian kapur terhidrat, masalah over dosis harus dipertimbangkan.

Pengaruh Alkalinitas Terhadap Produksi Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh alkalinitas terhadap budidaya ikan. Perairan alami yang mengandung 40 mg/liter atau lebih alkalinitas total dianggap lebih subur daripada perairan beralkalinitas lebih rendah. Tingginya kesuburan perairan beralkalinitas tinggi tidak disebabkan secara langsung oleh alkalinitas, tetapi lebih disebabkan oleh fosfor dan zat-zat hara lain yang konsentrasinya meningkat sejalan dengan meningkatnya alkalinitas total. Telah ditunjukkan bahwa ada hubungan antara alkalinitas total dengan produksi ikan yellow pikeperch (Stizostedion vitereum) dalam kolam yang tak dipupuk; produksi ikan ini naik sejalan dengan naiknya alkalinitas total sampai nilai 80 mg/liter dan setelah nilai ini produksi ikan tersebut turun.

Dalam penelitian lain disimpulkan bahwa ada korelasi positif yang relatif tinggi (r = 0,67) antara alkalinitas total dan “standing crop” (panenan tetap) ikan di kolam yang tak dipupuk. Di kolam ikan yang dipupuk nilai alkalinitas total dalam kisaran 20 – 120 mg/liter memberikan sedikit pengaruh terhadap produksi ikan. Bagaimanapun, dalam kolam yang dipupuk yang mengandung alkalinitas total 0 – 20 mg/liter, produksi ikan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya alkalinitas. Dengan demikian, diinginkan agar nilai alkalinitas total melebihi 20 mg/liter untuk kolam yang dipupuk. Sebagai tambahan, kolam dengan alkalinitas total 200 – 300 mg/liter telah berhasil digunakan untuk membudidayakan ikan. Bagaimanapun, kadang-kadang terjadi kekurangan karbon dioksida dalam danau dengan konsentrasi kalsium karbonat tinggi di dalam lumpur atau pada daerah tangkapan air danau tersebut, hingga menyebabkan produktivitas rendah.

Pengaruh Alkalinitas Air Kolam Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan

Rojas et al. (2004) menyatakan bahwa hubungan antara alkalinitas dan variabel-variabel kimia lain memainkan peranan penting dalam produktivitas global ekosistem perairan karena mereka mempengaruhi proses-proses kimia dan fisiologis vital. Prosedur pengapuran, yang mengubah alkalinitas air, mendorong terjadinya reorganisasi biologis, yang sering menyebabkan biota memberikan respon menguntungkan dalam jangka pendek. Demikianlah, pertumbuhan larva ikan curimbata (Prochilodus lineatus Valenciennes, 1836, Characiformes, Prochilodontidae) dan variabel-variabel limnologi telah dipelajari di kolam dengan berbagai nilai alkalinitas air. Percobaan dilakukan selama periode 60 hari dan mencakup tiga perlakuan : A – tanpa koreksi terhadap alkalinitas alami; B – dengan koreksi alkalinitas mingguan 30 mg CaCO3/liter; C – dengan koreksi alkalinitas mingguan 60 mg CaCO3/liter, masing-masing dengan dua ulangan. Variabel-variabel berikut dipantau : nilai-nilai maksimum dan minimum suhu udara dan air, alkalinitas, kesadahan, kalsium, pH, konduktivitas (daya hantar listrik), konsentrasi oksigen terlarut, padatan terlarut, kejernihan air, amonia, nitrit, nitrat, total fosfor, fosfat terlarut, klorofil-a dan berat fraksi organik zooplankton. Pertumbuhan ikan dalam panjang total dan berat kering ditentukan, juga hubungan antara berat kering dan panjang total larva pada perlakuan-perlakuan yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa pemeliharaan larva ikan curimbata pada nilai alkalinitas rata-rata 34,67 ± 3,75 mg CaCO3 (perlakuan B), yang menyediakan kalsium dengan konsentrasi rata-rata 4,68 ± 0,97 mg Ca2+ per liter, disarankan agar dapat mendorong pertumbuhan larva yang lebih baik dengan kondisi limnologis yang lebih baik pula.

Bab IV
Karbon Dioksida Dalam Perairan dan Pengaruhnya Bagi Biota Air


Bentuk-Bentuk Karbon Dioksida Dalam Perairan

Menurut Cole (1994), di kebanyakan perairan alami gas karbon dioksida ada bersama dengan logam alkali atau logam alkali tanah dan bergabung dengan mereka membentuk bikarbonat dan karbonat. Ada tiga bentuk karbon dioksida dalam air : (1) bentuk setengah-terikat, yang diwakili oleh ion bikarbonat, (2) bentuk terikat, yang diwakili oleh mono karbonat, dan (3) bentuk gas terlarut bebas. Selain itu juga ada bentuk terhidrat, yaitu asam karbonat. Di perairan alami yang logam alkali tanah atau logam alkalinya sangat sedikit, bentuk bikarbonat relatif sedikit. Sebaliknya, bila logam-logam tersebut melimpah, maka ada kemungkinan terbentuknya banyak bikarbonat. Pada kasus-kasus lain, setelah karbon dioksida diserap ia memasuki reaksi-reaksi kimia yang menyebabkan konsentrasi totalnya, dalam bentuk apapun, jauh melebihi nilai kejenuhan untuk gas tersebut.

Pengaruh Pengapuran Terhadap Ketersediaan Karbon Dioksida Dalam Air

Boyd (1982) menyatakan karena pengaruhnya terhadap alkalinitas, pengapuran meningkatkan ketersediaan karbon bagi fotosintesis. Difusi karbon dioksida dari atmosfer biasanya mencegah karbon dioksida dalam membatasi produktivitas fitoplankton di danau. Hal ini diyakini tidak berlaku di kolam ikan yang alkalinitasnya relatif rendah. Bahan kapur bereaksi dengan karbon dioksida ketika dimasukkan ke dalam air, dan kelarutannya sampai derajat yang tinggi dikendalikan oleh konsentrasi karbon dioksida. Pengapuran akan bersaing dengan tumbuhan memperebutkan karbon dioksida dan mungkin menurunkan laju fotosintesis. Selain mengambil karbon dioksida dari air, kelebihan kapur yang mengendap ke dasar kolam akan bereaksi dengan karbon dioksida yang berdifusi dari atmosfer. Efek keseluruhannya adalah meningkatnya konsentrasi total ketersediaan karbon dioksida dalam beberapa minggu setelah pengapuran. Bahan kapur menjebak karbon dioksida yang bila tidak demikian akan hilang ke atmosfer.

Sumber Karbon Bagi Plankton Danau Setelah Karbon Dioksida Habis

Cole (1994) mengulas hasil penelitian yang dilakukan di danau Star Lake di Vermont; pasokan karbon anorganik total di danau ini sangat rendah. Danau ini mengalami siklus karbon harian yang jelas di mana konsentrasinya naik dan turun. Karbon dioksida bebas, yang muncul pada pagi hari dan sebagian besar merupakan produk respirasi malam hari, banyak dikonsumsi oleh populasi alga pada siang hari, dan konsentrasi bikarbonat juga jatuh. Diduga bahwa di danau Star Lake yang kapasitas buffernya lemah setelah penyerapan karbon dioksida di pagi hari, ada sumber lain yang memasok karbon bagi bakteri dan fitoplankton sehingga bisa mempertahankan laju produksi yang cukup tinggi selama sisa siang harinya. Sumber lain pemasok karbon tersebut adalah pelepasan senyawa-senyawa organik yang diproduksi selama pagi hari oleh alga dan makrofita bentik.

Daya Racun dan Fluktuasi Konsentrasi Karbon Dioksida

Boyd (1982) menyatakan bahwa karbon dioksida tampaknya tidak beracun bagi ikan; sebagian besar spesies ikan tetap hidup di dalam air yang mengandung karbon dioksida sampai 60 mg/liter, asalkan oksigen terlarut melimpah. Bila konsentrasi oksigen terlarut rendah, keberadaan karbon dioksida dalam jumlah cukup akan merintangi penyerapan oksigen oleh ikan. Sayangnya, konsentrasi karbon dioksida biasanya sangat tinggi ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah. Hal ini disebabkan karbon dioksida dilepaskan dalam respirasi dan dimanfaatkan dalam fotosintesis. Ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah, fotosintesis tidak berlangsung cepat. Dengan demikian.konsentrasi karbon dioksida naik karena karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi tidak diserap oleh fitoplankton dan tidak diasimilasi menjadi bahan organik. Karena ada hubungan antara karbon dioksida dengan respirasi dan fotosintesis, konsentrasi karbon dioksida biasanya naik selama malam hari dan turun selama siang hari. Karbon dioksida dengan konsentrasi sangat tinggi terdapat di dalam kolam setelah kematian masal fitoplankton, setelah hilangnya stratifikasi suhu, dan selama cuaca berawan.

Penyingkiran CO2 Dengan Kalsium Hidroksida dan Pengaruhnya Bagi Ikan

Menurut Boyd (1982) karbon dioksida berkonsentrasi tinggi sering dijumpai di kolam ikan ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah. Karena karbon dioksida berkonsentrasi tinggi menyulitkan penyerapan oksigen oleh ikan, maka kadang-kadang dikehendaki untuk menyingkirkan CO2 ketika konsentrasinya melebihi 10 – 15 mg/liter. Penyingkiran karbon dioksida bisa dilakukan oleh kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Jumlah kalsium hidroksida yang diperlukan secara teoritis untuk menyingkirkan 1 mg/liter karbon dioksida adalah 0,84 mg/liter. Sebuah penelitian telah dilakukan dengan memasukkan ke dalam perairan yang mengandung karbon dioksida sejumlah 0, 0.84, 1.26 dan 1.68 mg/liter kalsium hidroksida untuk setiap miligram per liter karbon dioksida. Nilai-nilai ini bersesuaian dengan 0, 100, 150 dan 200 % jumlah kapur terhidrat yang secara teoritis diperlukan untuk menyingkirkan karbon dioksida dengan sempurna. Persentase aktual penyingkiran karbon dioksida secara kasar adalah 50 % lebih sedikit daripada yang diharapkan dari perhitungan. Ketidak sesuaian ini diduga disebabkan kalsium hidroksida tidak melarut dengan sempurna, dan sebagian bahan kimia ini tampaknya mengendap ke dasar perairan tanpa bereaksi dengan karbon dioksida. Pemakaian kapur terhidrat untuk menyingkirkan karbon dioksida tidak akan membahayakan ikan atau organisme lain karena pH tidak akan melebihi 8,4 kecuali bila kapur yang ditambahkan berlebihan. Semua pengaruh positif pemberian kapur terhidrat dalam perairan yang kehabisan oksigen tak diragukan disebabkan oleh penyingkiran karbon dioksida, bukan disebabkan oleh penurunan COD dan BOD.

Pengaruh Karbon Dioksida Terhadap Pertumbuhan Diatom

Riebesell (1993) melaporkan bahwa pasokan karbon anorganik terlarut tidak dianggap membatasi produktivitas primer samudra, karena konsentrasinya di dalam air laut melebihi makronurient lain seperti nitrat dan fosfat sebesar 2 dan 3 ordo besaran, berturut-turut. Tetapi belum diketahui mengenai produksi baru di samudra dan sebagian besar aliran karbon vertikal yang diperantarai oleh beberapa genus diatom yang mampu memanfaatkan komponen karbon anorganik terlarut selain karbon dioksida. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa pada kondisi nutrien dan cahaya yang optimal, laju pertumbuhan diatom dibatasi oleh pasokan karbon dioksida. Peningkatan tekanan karbon dioksida di perairan permukaan sebesar dua kali lipat dari 180 menjadi 355 ppm dengan demikian dapat mendorong produktivitas laut.

Pengaruh CO2 Terhadap Pertumbuhan Tanaman Air

Titus (1992) melaporkan bahwa Vallisneria americana, sejenis tumbuhan yang hidupnya tenggelam di dalam air, telah ditumbuhkan selama beberapa minggu di dalam rumah kaca untuk mempelajari perbedaan kemampuan tiga jenis sedimen dalam mendukung pertumbuhan sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi karbon dioksida pada pH rendah. Tumbuhan air ini menimbun biomas 21 – 24 kali lebih banyak pada konsentrasi karbon dioksida lingkungan 10 x dibandingkan pada konsentrasi oksigen lingkungan normal di semua sedimen. Baik pada konsentrasi karbon dioksida normal maupun 10 x, makrofita yang tumbuh pada sedimen yang berasal dari danau asam menimbun biomas sekitar 81 %, dan yang ditumbuhkan pada sedimen dari danau oligotrofik menimbun sekitar 47 % bila dibandingkan biomas makrofita yang tumbuh pada sedimen danau alkalin (bersifat basa). Meskipun karbon dioksida dan sedimen berpengaruh terhadap penimbunan biomas, namun tidak ada interaksi yang nyata (dengan menggunakan data yang diubah ke log) antara efek karbon dioksida dan efek sedimen, yang menunjukkan bahwa semua sedimen memungkinkan respon pertumbuhan yang sama secara proporsional terhadap peningkatan konsentrasi karbon dioksida. Vegetasi yang tumbuh pada sedimen yang kurang subur menunjukkan alokasi yang lebih besar untuk pertumbuhan horizontal daripada pertumbuhan vertikal dengan memproduksi lebih banyak stolon (batang horizontal) bila dibandingan dengan tinggi tumbuhan daripada makrofita yang tumbuh pada sedimen danau alkalin yang relatif subur.

Bab V
Interaksi Antara Aktivitas Budidaya Ikan dan Kualitas Air


Karakteristik Fisika dan Kimia Air Mempengaruhi Budidaya Ikan

Air, sebagai media budidaya ikan, bersifat unik dalam beberapa hal. Air merupakan salah satu dari sedikit material yang bersifat cair pada suhu kamar; material lainnya adalah air raksa dan beberapa jenis hidrokarbon. Air memiliki viskositas (kekentalan) dan tegangan permukaan sangat tinggi, lebih tinggi dari pada semua cairan lain selain air raksa. Tegangan permukaan ini sangat membatasi difusi gas keluar-masuk air. Air memiliki panas spesifik yang tinggi, yang membuat wujudnya tetap tidak berubah meski suhu mengalami perubahan besar. Pengukuran energi didasarkan pada panas spesifik ini : dibutuhkan 1 kalori energi untuk meningkatan suhu 1 gram air sebesar 1 °C.

Terakhir dan terpenting, air memiliki hubungan unik antara suhu dan densitas, karena air murni dalam wujud cair mencapai densitas maksimum pada suhu 3,94 °C. Densitas air menurun pada suhu yang lebih rendah. Pada kebanyakan zat cair, densitas meningkat sejalan dengan penurunan suhu dan mencapai maksimum dalam wujud padat. Karena air tidak mengikuti pola ini, maka es mengapung di atas air dan mencegah kolom air dari pembekuan total pada kondisi dingin (Diana et al., 1997, dalam Egna dan Boyd, 1997)

Diana et al. (1997) dalam Egna dan Boyd (1997) menyatakan bahwa berbagai bahan kimia terlarut di dalam air, sebagai mana suhu dan sifat-sifat fisik lain, dan semuanya bergabung membentuk apa yang disebut kualitas air. Untuk sistem akuakultur, perubahan karakteristik air yang meningkatkan produksi panen akuatik akan dianggap meningkatkan kualitas air. Definisi ini penting dalam akuakultur, karena pemanfaatan perairan untuk menumbuhkan organisme air pada kepadatan tinggi sering menyebabkan karakteristik kimia, berdasarkan standar lingkungan, dianggap menurunkan kualitas air. Kecuali bila perubahan-perubahan ini menurunkan produksi akuatik, keamanan atau nilai organisme sasaran, mereka tidak dianggap menurunkan kualitas air untuk tujuan akuakultur.

Karakterisktik kualitas air yang baik mungkin berbeda untuk spesies organisme yang berbeda. Karakteristik perairan yang bisa mendorong peningkatan produksi ikan mujaer mungkin berbahaya bagi spesies lain seperti ikan rainbow trout. Spesies ini sering dipilih untuk akuakultur karena toleransinya yang tinggi terhadap kualitas air yang buruk. Dengan demikian, kualitas air harus dilihat dari sudut pandang spesies yang dibudidayakan.

Pengelolaan Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan

Dalam pengelolaan kualitas air, kita mengatur kondisi lingkungan sedemikian hingga kondisi tersebut ada dalam kisaran yang sesuai bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Dalam badan perairan alami, ikan terdapat dengan kepadatan yang relatif rendah di dalam perairan yang sangat luas. Dalam perikanan alami, perlu mencegah aktivitas manusia yang merugikan kualitas air dan produksi ikan. Air limbah bisa menyebabkan eutrofikasi sehingga ikan mati atau spesies dominan berubah. Serangan gulma air bisa merugikan perikanan. Limpasan air dari lahan pertanian mungkin mengandung bahan-bahan kimia yang beracun bagi ikan. Baru-baru ini, hujan asam yang disebabkan meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara, mengasamkan perairan alami dan menurunkan produksi ikan di daerah-daerah tertentu. Badan perairan alami biasanya memiliki fungsi multiguna dan pengelolaan kualitas air biasanya lebih diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekologis secara keseluruhan daripada diarahkan untuk memperbaiki perikanan saja (Boyd, 1982).

Di perairan yang digunakan untuk budidaya ikan, produksi ditingkatkan dengan menggunakan pupuk, pakan ikan, atau kadang-kadang keduanya. Di perairan di mana pupuk digunakan, pengelolaan kualitas air biasanya melibatkan manipulasi keluar-masuknya zat hara untuk meningkatkan produksi plankton agar ikan tumbuh lebih cepat. Beberapa perairan terlalu asam dan harus diberi kapur sebelum pupuk digunakan. Air kolam mungkin terlalu keruh sehingga pemasukan cahaya tidak cukup untuk meningkatkan fotosintesis, walaupun pupuk tersedia dalam jumlah cukup. Laju pertukaran air mungkin terlau cepat sehingga zat hara pupuk terbawa hanyut dari kolam sebelum zat hara tersebut memberikan pengaruhnya bagi peningkatan produksi plankton.

Boyd (1982) menyarankan agar jenis dan tingkat pemakaian pupuk di kolam budidaya ikan harus tepat. Sebagai contoh, bila hanya fosfor yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan plankton, maka adalah suatu pemborosan bila menggunakan pupuk yang mengandung nitrogen, fosfor dan kalium. Kelebihan pemakaian zat hara dalam pupuk akan menyebabkan plankton menjadi sangat melimpah sehingga kadar oksiegn terlarut akan menjadi masalah. Pemakaian pupuk yang tidak cukup akan menyebabkan rendahnya kekeruhan sehingga cahaya menembus sampai ke dasar perairan yang mengakibatkan gulma air merajalela.

Pengaruh Intensifikasi Budidaya Ikan Terhadap Kualitas Air

Intensifikasi budidaya ikan melalui penebaran ikan dalam jumlah besar dan penggunaan pakan yang banyak bisa menimbulkan permasalahan kualitas air yang parah (Boyd, 1982). Walaupun ikan memakan sebagian besar pakan yang diberikan, tetapi banyak pakan yang ditelan ini dieksresikan ke dalam air sebagai sisa metabolik. Sisa metabolisme ini mengandung karbon dioksida, amonia, fosfor dan zat-zat hara lain yang merangsang produksi plankton. Amonia merupakan racun yang bersfat langsung bagi ikan, dan sebagian amonia ini berfungsi sebagai substrat bagi produksi nitrit yang juga sangat beracun. Karbon dioksida dalam konsentrasi tinggi mengganggu pemanfaatan oksigen terlarut. Jadi, ketika laju makan meningkat maka kelimpahan plankton dan konsentrasi metabolit racun tertentu meningkat.

Plankton berkepadatan tinggi dalam kolam menyebabkan parahnya ketidakseimbangan keluar-masuknya oksigen terlarut, yang bisa menyebabkan ikan tumbuh lambat atau bahkan mati. Banyak masalah kualitas air lainnya kadang-kadang terjadi pada budidaya ikan intensif, tetapi masalah-masalah yang biasanya paling penting adalah produksi planton yang berlebihan, konsentrasi oskigen terlarut yang rendah dan masalah metabolit beracun. Perhatian yang cermat terhadap masalah kualitas air mutlak diperlukan dalam budidaya ikan intensif. Berapapun besarnya perhatian terhadap pembangunan kolam, penebaran ikan, pemberian pakan serta pengendalian penyakit dan parasit, semuanya tidak akan berguna bila sejumlah besar ikan mati sebelum dipanen akibat habisnya oksigen terlarut atau akibat masalah-masalah kualitas air lainnya (Boyd, 1982).

Manajemen Budidaya Ikan Mempengaruhi Kualitas Air

Kualitas air dalam kolam ikan merupakan faktor utama yang menentukan produksi ikan. Kualitas air sangat dipengaruhi oleh praktek managemen kolam, seperti padat penebaran ikan, strategi pemupukan dan pemberian pakan tambahan. Kualitas air bisa dimanipulasi untuk mengatasi keterbatasan produksi kolam, baik secara kimia maupun fisik seperti aerasi, pemupukan, pengapuran atau pertukaran air. Manipulasi kualitas air kolam merupakan alat manajemen utama dalam produksi ikan mujaer semi-intensif dan bisa menjadi sangat penting dalam produksi ikan intensif.

Karakteristik air sangat membatasi produksi ikan dan bisa diubah sampai beberapa derajat dengan cara praktek-praktek akuakultur. Beberapa karakteristik air, seperti konsentrasi mineral terlarut, pH, alkalinitas dan kesadahan sangat dipengaruhi oleh sumber air dan tanah serta sifat-sifat geologis dan iklim daerah aliran sungai yang melingkupi lokasi budidaya ikan. Ikan mujaer tumbuh paling baik ketika suhu relatif hangat dan laju produksi primer perairan tinggi. Kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan perairan dan daerah aliran sungai tersebut bisa mempengaruhi kualitas air. Harus diingat bahwa praktek-praktek akuakultur itu sendiri mempengaruhi kualitas air (Diana et al.,1997, dalam Egna dan Boyd, 1997)

Pengaruh Kualitas Air Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan

Gehrke (1991) dalam Hancock (1992) pada sebuah workshop biologi ikan di Australia mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan larva ikan pada kondisi pemeliharaan ekstensif, dengan perhatian utama ditujukan pada kualitas air. Gehrke menyimpulkan bahwa pertumbuhan larva ikan bisa diperbaiki dengan meningkatkan surplus energi, atau dengan meningkatkan efisiensi konversi energi menjadi pertambahan bobot badan (pertumbuhan). Dalam fasilitas pemeliharaan ekstensif, pertambahan energi untuk pertumbuhan dapat diperoleh dengan meminimalkan konsumsi energi metabolik. Di sini perlu ditekankan bahwa pengelolaan kualitas air yang baik akan dapat mengurangi konsumsi energi metabolik (aktivitas) lava ikan.

Pengaruh Pakan Berkadar Energi Tinggi Terhadap Kualitas Air Dan Eutrofikasi

Pengaruh pakan berkadar energi tinggi terhadap kualitas air kolam ikan telah dipelajari oleh Bohl et al. (1992). Mereka mengamati intensitas eutrofikasi dalam air buangan kolam budidaya ikan salmon (Salmo trutta) yang diberi pakan dengan berbagai kandungan energi berbeda-beda. Penelitian hidrokimia (fosfat, nitrat, amonia, oksigen) membuktikan bahwa pakan berkadar energi tinggi adalah lebih baik dibandingkan pakan berkadar energi rendah dalam hal pencegahan eutrofikasi.

Pengaruh Padat Penebaran Udang Windu Terhadap Kualitas Air Kolam

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa enam belas kolam fiberglas berdiameter 3,5 meter dan tinggi 1,2 meter dengan dasar sedimen telah digunakan sebagai model kolam budidaya udang windu (Penaeus monodon) untuk meneliti pengaruh empat tingkat padat penebaran (5, 15, 25 dan 40 udang per m2) terhadap kualitas air. Berdasarkan hasil penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dan konsentrasi pigmen alga dipengaruhi oleh padat penebaran (P < 0,001), namun efek terkait-padat penebaran terhadap kualitas air tidak menjelaskan penurunan pertumbuhan udang akibat meningkatnya padat penebaran. Kepadatan populasi makrobentos, tetapi tidak berlaku untuk meiobentos, dalam lapisan sedimen pada setiap kolam menurun dengan meningkatnya padat penebaran.

Kualitas Air Buangan Kolam Budidaya Ikan

Di Amerika Serikat, air buangan dari kolam ikan dianggap oleh Environmental Protection Agency sebagai sumber potensial pencemaran. Badan in telah mengembangkan nilai-nilai batas air buangan uji coba untuk sistem budidaya ikan kolam asli. Batasan utama adalah bahwa konsentrasi sesaat maksimum padatan yang dapat-mengendap di dalam air buangan tidak boleh melebihi 3,3 ml/liter. Padatan yang dapat-mengendap menyatakan volume material yang mengendap dari air selama 1 jam ketika air tersebut ditampung dalam kerucut Imhoff (Boyd, 1982)..

Boyd mengumpulkan data mengenai kualitas air buangan selama pemanenan ikan channel catfish dari delapan kolam di Universitas Auburn, Alabama. Air kolam dikeluarkan melalui pipa pengeluaran yang memanjang melewati dasar dari titik-titik terdalam di kolam. Pemanenan ikan melibatkan dua fase. Pada fase pengeringan, sekitar 95 % air dikeluarkan dan saluran pengeluaran ditutup. Selama fase penjaringan, ikan ditangkap dengan sebuah jaring besar. Saluran pengeluaran dibuka kembali satu sampai tiga kali selama fase penjaringan untuk menurunkan lebih lanjut tinggi air sehingga memudahkan penangkapan ikan.

Konsentrasi semua bahan pencemar potensial relatif rendah selama fase pengeringan, dan yang paling penting, nilai bahan yang dapat-mengendap selalu di bawah 3,3 ml/liter di kedelapan kolam. Bagaimanapun, selama fase penjaringan, aktivitas pekerja dalam mengoperasikan jaring dan ulah ikan yang ketakutan menyebabkan partikel-partikel sedimen yang halus teraduk di dalam air yang bervolume sedikit itu. Hasilnya adalah peningkatan secara tajam konsentrasi semua variabel yang bisa diukur selain nitrat. Hampir semua nilai bahan yang dapat-mengendap melebihi 3,3 ml/liter selama fase penjaringan. Jelas bahwa bahan pencemar bisa banyak dikurangi dengan tidak mengeluarkan air kolam setelah penjaringan dimulai.

Arti penting kolam ikan sebagai sumber pencemar tidak diketahui. Bahkan air yang dikeluarkan selama fase pengeringan dalam rangka pemanenan ikan memiliki konsentrasi bahan yang dapat-mengendap, BOD, COD, total fosfor dan total amonia nitrogen yang lebih tinggi daripada sungai-sungai kecil di sekitar Auburn, Alabama. Bagaimanapun, pengaruh pencemaran akibat air buangan kolam ikan bervariasi sesuai dengan volume air yang dikeluarkan dari kolam dan kecepatan arus serta karakteristik air sungai yang menerima air buangan kolam tersebut (Boyd, 1982).

Referensi :


Allan, G.L. and G.B. Maguire. 1992. Effects of Stocking Density on Production of Penaeus monodon Fabricius in Model Farming Ponds. Aquaculture, Vol. 107, No. 1, pp. 49 - 66

Bohl, M., B. Ott and H. Ferling. 1992. Different Pollution Intensities in Salmon Pond Effluents by Differen Energy Content of Fish Feeds. Fisch. Teichwirt, Vol. 43, No. 6, pp. 205 - 211

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Cole, G.A. 1994. Textbook of Limnology. Waveland Press, Inc. Illinois. 412 pp.

Diana, J.S., J.P. Szyper, T.R. Batterson, C.E. Boyd and R.H. Piedrahita. 1997. Water Quality in Ponds in Egna, H.S. and C.E. Boyd. 1997. Dynamics of Pond Aquaculture. CRC Press, Washington, 480 pp.

Gehrke, P.C. 1991. Implications of Water Quality for Larval Fish Metabolism, Activity and Growth in Extensive Rearing Conditions in Hancock, D.A. 1992. Australian Society for Fish Biology Workshop. Larval Biology, Hobart, 20 August 1991. Australian Government Publication Service, Canberra, pp. 84 – 87

Meinelt, T. and A. Stueber. 1992. Subcronic Fish Toxicity of Formalin Baths on Eggs and Fry in Dependence of Water Hardness. Fisch. Teichwirt, Vol. 43, no. 8, pp. 294 - 295

Partridge, G.J. and A.J. Lymbery. 2008. The Effect of Salinity on The Requirement for Potassium by Barramundi (Lates calcarifer) in Saline Groundwater. Aquaculture, Volume 278, Issues 1 – 4, pp. 164 – 170

Prangnell, D.I. and R. Fotedar. 2006. The Growth and Survival of Western King Prawns, Penaeus latisulcatus Kishinouye, in Potassium-Fortified Inland Saline Water. Aquaculture, Vol. 259, Issues 1 – 4, pp. 234 – 242

Riebesell, U., D.A. Wolf-Gladrow and V. Smetacek. 1993. Carbon Dioxide Limitation of Marine Phytoplankton Growth Rates. Nature, Vol. 361, no. 6409, pp. 249 – 251

Rojas, N.E.T., O. Rocha, C.S.R. Mainardes Pinto and A.L. da Silva. 2004. Influence of Different Levels of Pond Water Alkalinity on The Growth of Prochilodus lineatus Larvae. Boletim do Instituto de Pesca Sao Paulo [Bol. Inst. Pesca Sao Paulo], Vol. 30, no. 2, pp. 99 - 108

Swann, L.D. 2000. A Fish Farmer's Guide to Understanding Water Quality – Part 2. IIlinois-Indiana Sea Grant Program, Purdue University. 8 pp.

Tchounwou, P.B., A.J. Englande, Jr. and E.A. Malek. 1992. The Influence of Selected Environmental Parameters on The Toxicity of Bayluscide to Schistosoma mansoni Miracidia. Archives of Environmental Contamination and Toxicology, Vol. 23, No. 2, pp. 223 – 229

Titus, J.E. 1992. Submersed Macrophyte Growth at Low pH. 2. CO2 x Sediment Interactions. Oecologia, Vol. 92, no. 3, pp. 391 - 398

Whangchai, N., V.P. Migo, C.G. Alfafara, H.K. Young, N. Nomura and M. Matsumura. 2004. Strategies for Alkalinity and pH Control for Ozonated Shrimp Pond Water. Aquacultural Engineering, Vol. 30, Issues 1 – 2, pp. 1 – 13

Wilson, R.P. and G. El Naggar. 1992. Potassium Requirement of Fingerling Channel catfish, Ictalurus puntatus. Aquaculture, Vol. 108, Issues 1 – 2, pp. 169 – 175

Zhang, F. and X. Li. 1992. Studies on The Effects of Low pH on Embryonic Development, Growth of The Fry and The Damage of Gills of Fishes. Acta Hydrobiol. Sin., Vol. 16, No. 1, pp. 175 - 182



Zhu, C.-B., S.-L. Dong, F. Wang and H.-H. Zhang. 2006. Effects of Seawater Potassium Concentration on The Dietary Potassium Requirement of Litopenaeus vannamei. Aquaculture, Vol. 258, Issues 1 – 4, pp. 543 – 550

Tidak ada komentar:

Posting Komentar