Daftar Isi
Bab I. Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia
- Keunggulan Protein Ikan Dibandingkan Sereal
- Kandungan Protein dan Nutrisi Lain Dalam Ikan
- Kandungan Protein dan Asam Amino Dalam Ikan
- Karotenoid dan Vitamin A Dalam Ikan Laut
- Ikan Sebagai Sumber Vitamin Bagi Manusia
- Kandungan Mineral dan Asam Lemak Pada Ikan Laut
- Ikan Laut Sebagai Sumber Yodin Bagi Konsumsi Manusia
Bab II. Perubahan Kadar Asam Amino Akibat Perubahan Salinitas Lingkungan
Bab III. Pemanfaatan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak dan Makanan Manusia
- Keunggulan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak
- Clupeoidea Tropis Sebagai Bahan Baku Utama Tepung Ikan
- Faktor-Faktor Penentu Mutu Tepung Ikan
- Memperbaiki Sifat-Sifat Fungsional Tepung Ikan
- Upaya Memanfaatkan Tepung Ikan Sebagai Makanan Manusia
- Uji Penerimaan Makanan Yang Diberi Tepung Ikan Untuk Konsumsi Manusia
Bab IV. Komposisi Kimia Minyak Ikan
- Komposisi Umum Minyak Ikan
- Kolesterol Sebagai Komponen Minyak Ikan
- Asam Lemak Dalam Minyak Ikan
- Komposisi Asam Lemak Dalam Minyak Ikan Cucut
- Komposisi Kimia Minyak Ikan Hasil Samping Pabrik Pengolahan Ikan
- EPA, DHA dan Yod Dalam Minyak Ikan Komersial
- Senyawa Hijau di Dalam Minyak Ikan Sardin
Bab V. Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut
- Peranan Squalen Dalam Fisiologi
- Squalen dan Kesehatan
- Kandungan Squalen dan Lipida Dalam Hati Ikan Cucut Laut-Dalam
Bab VI. Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air
- Konsumsi Ikan Laut Meningkatkan Resiko Terkena Kanker Tiroid
- Karsinogen (Senyawa Penyebab Kanker) Pada Ikan dan Kerang
- Produksi Senyawa Anti Kanker (Tolitoksin) Oleh Scytonema
- Efek Anti Tumor Dari Ekstrak Rumput Laut
- Kurilostatin, Senyawa Anti Tumor Dari Sepon Laut
- Isometakromin, Senyawa Anti Kanker Dari Sepon Laut-Dalam
Bab VII. Keracunan Makanan Akibat Mengkonsumsi Ikan Tengiri dan Tuna
- Asosiasi Ciguatoksin-Protein Dalam Daging Ikan Tengiri
- Ciguatoksin Ganda Dalam Daging Ikan Tengiri
- Keracunan Akibat Mengkonsumsi Ikan Tuna
Bab VIII. Pemanfaatan Limbah Ikan dan Udang
- Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Untuk Pakan Udang dan Melunakkan Daging
- Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Sebagai Flavouran
- Teknologi Hidrolisis Enzimatis Untuk Memanfaatkan Limbah Ikan Menjadi Bahan Flavour Makanan Laut
- Pemanfaatan Protein Dari Limbah Ikan Mujaer Dengan Enzim Alkalase
- Limbah Pengalengan Ikan Untuk Membuat Konsentrat Protein Ikan
- Pemanfaatan Limbah Organ Dalam Ikan Cucut Untuk Pakan Ikan
Referensi
Bab I
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia
Keunggulan Protein Ikan Dibandingkan Sereal
Menurut Sen (2005) arti penting ikan dan produk perikanan sebagai makanan manusia terletak terutama pada kandungan protein dan lipidanya. Protein ikan banyak mengandung asam amino esensial. Protein ikan kaya akan lisin. Telah diketahui bahwa lisin sedikit ada di dalam sebagian besar sereal, padi-padian, ubi-ubian, dan lain-lain, yang merupakan makanan pokok bagi banyak penduduk negara berkembang. Protein ikan sangat cocok untuk meningkatkan nilai biologis protein sereal. Berdasarkan analisis hasil berbagai survei epidemiologis mengenai konsumsi ikan dan resiko penyakit jantung koroner pada manusia, disimpulkan bahwa sedikit ikan dalam makanan (satu atau dua kali dalam seminggu) adalah sangat menguntungkan. Sebagai makanan, ikan merupakan sumber yang bagus untuk kalsium, fosfor, besi dan mikronutrien lain. Ikan juga merupakan sumber yang baik untuk vitamin A, D dan B kompleks terutama tiamin, ribolfavin, niasin dan vitamin B12.
Kandungan Protein dan Nutrisi Lain Dalam Ikan
Nash (2011) menyatakan bahwa ada perbedaan komposisi nutrisi secara kuantitatif antara berbagai kelompok ikan, juga antar anggota kelompok tersebut pada saat yang berbeda dalam setahun. Secara umum, spesies ikan air tawar dan air payau mengandung sekitar 14 sampai 25 % protein, sedangkan spesies laut mengandung 9 sampai 26 % protein. Spesies ikan air tawar biasanya mengandung lemak dengan persentase rendah (spesies ikan yang paling kurus hanya mengandung lemak kurang dari 2,5 %), sementara beberapa ikan laut mengandung lemak sebanyak sampai 20%. Dibandingkan dengan lemak binatang lain, minyak ikan mengandung lebih banyak komponen poli-takjenuh dan dengan demikian mengurangi penimbunan kolesterol dalam darah. Ikan dan kerang merupakan sumber yang baik untuk kalsium dan fosfor, apalagi bila krustasea dan ikan kecil, seperti udang dan kepiting bercangkang lunak, dikonsumsi secara utuh bersama dengan tulang atau cangkangnya. Besi dan tembaga juga menjadi penyumbang penting komposisi umum gizi ikan; selain itu,vitamin-vitamin B ditemukan dalam proporsi yang tinggi.
Kandungan Protein dan Asam Amino Dalam Ikan
Walford dan Wilber (1955) melaporkan bahwa ikan laut yang umum di India mengandung 9 % sampai 24 % protein. Protein ini 93 % bisa dicerna oleh manusia. Tepung ikan bermutu tinggi mengandung protein sebanyak 60 % dan kadar air relatif sedikit (10 %). Telur ikan, yang merupakan makanan lezat dan mahal bila dikemas seperti kaviar, dicirikan oleh tingginya kadar protein : 23 % sampai 29 %. Kadar rata-rata asam amino esensial, yang dinyatakan sebagai persen dari total protein, telah dilaporkan sebagai berikut : arginin 7,3 %, histidin 2,6 %, isoleusin 7,4 %, leusin 9,9 %, lisin 8,8 %, metionin 8,0 %, fenilalanin 4,8 %, treonin 5,7 %, triptofan 0,9 % dan valin 7,2 %.
Karotenoid dan Vitamin A Dalam Ikan Laut
Czeczuga (1973) mempelajari keberadaan berbagai jenis karotenoid dan vitamin A dalam tujuh spesies ikan dari daerah pesisir Laut Hitam dengan menggunakan kromatografi kolom dan lapisan-tipis. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan karotenoid-karotenoid berikut :
- Mugil auratus : β-carotene, canthaxanthin, lutein, zeaxanthin, astaxanthin ester dan astacene.
- Diplodus annularis : β-carotene, canthaxanthin, tunaxanthin, lutein, zeaxanthin dan astacene.
- Diplodus sargus : β-carotene, tunaxanthin, lutein, taraxanthin, zeaxanthin dan astaxanthin.
- Crenilabrus tinca : tunaxanthin, canthaxanthin, lutein, astaxanthin dan astacene.
- Blennius sphinx : β-carotene, X-carotene (?), lutein, tunaxanthin, taraxanthin dan astaxanthin.
- Blennius sanguinolentus : β-carotene, tunaxanthin dan astaxanthin (ester dan bebas).
- Gobius melanostomus : β-carotene dan astacene.
Beberapa fraksi tidak teridentifikasi. Vitamin A ditemukan pada semua spesies ikan yang diteliti.
Ikan Sebagai Sumber Vitamin Bagi Manusia
Kebanyakan spesies ikan miskin akan vitamin A, D dan E. Kandungan vitamin A dalam daging ikan dilaporkan bervariasi dari 0 sampai 300 IU/gram, sedang kandungan vitamin D-nya berkisar dari 0 sampai 17 IU/gram daging. Tetapi daging ikan sidat air tawar, ikan cucut anjing, ikan lentera, lizard fish (Saurida spp,) dan ikan lamprey sangat kaya akan vitamin A (500 . 9800 IU/gram jaringan); daging ikan sidat kaya akan vitamin D (4700 IU/100 gram). Bertolak belakang dengan daging ikan, minyak hati banyak spesies ikan sangat kaya akan vitamin A dan D. Minyak hati ini merupakan sumber utama vitamin-vitamin di atas bagi kesehatan dan nutrisi manusia sampai tahun-tahun belakangan ini ketika timbul persaingan kuat dengan vitamin sintetis. Sumber utama vitamin-vitamin ini adalah hati ikan cod, ikan sebelah dan tuna (Sen, 2005).
Kandungan Mineral dan Asam Lemak Pada Ikan Laut
Guner et al. (1998) melakukan analisis komposisi proksimat, kandungan beberapa mineral (seng, besi, kadmium, merkuri, timbal, nikel, tembaga) dan profil asam lemak pada beberapa spesies ikan konsumsi yang diperoleh dari Laut Hitam. Semua spesies ikan yang dianalisis banyak mengandung protein (14,1 . 25,1 %) dan lipida (7,4 . 18,4 %). Kadar air dan abu bervariasi dalam kisaran yang sempit. Kandungan mineral sangat bervariasi. Mikroelemen yang paling melimpah dalam ikan adalah seng dan besi, diikuti oleh tembaga, sedangkan elemen-elemen lainnya ada dalam jumlah di bawah tingkat toksik. Delapan jenis asam lemak (16: 0, 16:1, n-7, 18: 0, 18:1 n-9, 18: 2 n-6, 20:1 n-9, 20: 5 n-3, 22: 6 n-3) menyusun lebih dari 60 % kandungan asam lemak. Kandungan asam lemak jenuh berkisar dari 25,8 sampai 45,1 %. Ikan anchovy dan whiting fish mengandung hampir 35 % asam lemak poli-takjenuh. Persentase docosahexaenoic acid (DHA) melebihi persentase eicosapentaenoic acid (EPA) pada hampir semua spesies ikan yang diuji, dan kandungan aktual asam-asam lemak ini menunjukkan bahwa konsumsi filet ikan sprat, whiting, garfish, red mullet, shad dan sea bream disarankan untuk memenuhi kebutuhan harian 1 gram EPA+DHA. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perbedaan biologis antar spesies ikan bisa mempengaruhi komposisi gizi ikan tersebut.
Ikan Laut Sebagai Sumber Yodin Bagi Konsumsi Manusia
Hoetzel (1992) melaporkan hasil penelitiannya mengenai defisiensi yodin terutama pada masyarakat Jerman. Kekurangan yodin merupakan masalah dunia. Republik Federal Jerman merupakan negara yang penduduknya mengalami defisiensi yodin. Tindakan efektif untuk memperbaiki konsumsi yodin adalah menggunakan garam dapur beryodin dalam makanan. Bagaimanapun, kandungan unsur ini dalam garam dapur hanya 3 . 5 mg/kg. Konsumsi yodin oleh penduduk Jerman jauh di bawah yang disarankan oleh Deutsche Gesellschaft fuer Ernaehrung. Defisiensi ini berkisar antara 100 sampai 200 mikrogram yodin per hari. Dari semua bahan makanan yang tersedia, hanya ikan laut dan organisme laut lain yang benar-benar kaya akan yodin.
Bab II
Perubahan Kadar Asam Amino Akibat Perubahan Salinitas Lingkungan
Salinitas dalam lingkungan sekitar berpengaruh terhadap kadar asam amino di dalam tubuh biota air. Secara umum, kadar asam amino naik ketika salinitas naik. Tampaknya beberapa jenis asam amino berperanan dalam osmoregulasi.
Abbas et al. (1992) telah meneliti pengaruh salinitas laut terhadap kadar protein pada 15 spesies alga bentik dari Laut Bahrain. Kadar proteinnya agak rendah dan bervariasi dari 0,1 % (pada Laurencia papillosa) sampai 2,8 % (pada Ulva lactuca). Kadar protein yang lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain di Samudra Hindia mungkin disebabkan tingginya salinitas di perairan Teluk Arab (salinitas 40 – 60 ppt).
Liu dan Zhang (1992) ketika meneliti daya adaptasi Nitzschia palea terhadap salinitas menemukan fakta bahwa tidak ada variasi yang nyata dalam hal kadar protein sel yang tumbuh di media dengan berbagai konsentrasi NaCl. Namun, kadar asam amino total alga ini meningkat secara tajam dengan meningkatnya konsentrasi NaCl dari 0 menjadi 0,75 mol/liter di dalam media pertumbuhan. Kedua peneliti menyimpulkan bahwa karbohidrat dan asam amino bebas di dalam sel Nitzschia palea merupakan pengatur osmotik utama selama adaptasi terhadap perubahan salinitas eksternal.
Fernandes et al. (1993) mempelajari respon cyanobakteri pemfiksasi nitrogen terhadap salinitas dan stres osmotik. Mereka mengamati bahwa pada Anabaena torulosa (spesies air payau) dan Anabaena sp. galur L-31 (spesies air tawar) sintesis beberapa protein dihambat oleh stres salinitas. Salinitas dan stres osmotik merangsang banyak protein umum.
Komposisi asam amino bebas pada kerang Mya arenaria dalam hubungannya dengan salinitas medium telah dipelajari oleh Virkar dan Webb (1970). Mereka memindahkan Mya arenaria dari salinitas 20 promil ke medium dengan salinitas bertingkat (2 sampai 30 promil). Kromatografi pertukaran ion yang ditunjukkan oleh ekstrak otot hewan uji yang dipelihara selama lima hari menunjukkan bahwa perubahan kadar glisin dan alanin bertanggung jawab atas hubungan linier antara "ninhydrin-positive substance” (NPS) dan salinitas.
Hasil penelitian duPaul dan Webb (1970) menunjukkan bahwa akumulasi asam amino bebas dalam otot aduktor kerang Mya arenaria sebagai respon terhadap peningkatan salinitas tidak bersifat linier terhadap waktu. Sejalan dengan peningkatan salinitas, kadar alanin meningkat sedangkan aspartat menurun. Tingginya korelasi antara penurunan kadar asam aspartat dan peningkatan kadar alanin menunjukkan adanya hubungan langsung pembentukan alanin dari asam aspartat. Diduga bahwa asam aspartat mengalami dekarboksilasi membetuk alanin.
Kadar asam-asam amino (alanin, glisin, asam glutamat dan asam aspartat) meningkat pada Rangia cuneata (Elecypoda) ketika salinitas meningkat. Peningkatan kadar asam amino mengikuti suatu pola yang terjadi sebelum salinitas meningkat. Pola tersebut adalah alanin > glisin > asam glutamat > asam aspartat, tanpa memperhatikan lingkungan (Allen, 1961).
Komposisi asam amino bebas pada udang windu Penaeus monodon yang dipelihara dalam berbagai salinitas telah diteliti oleh Fang et al. (1992). Mereka membuktikan bahwa komposisi asam amino bebas di dalam hemolimfa udang windu yang telah diaklimasi terhadap salinitas 30 ppt adalah sama dengan komposisinya di dalam otot udang tersebut. Komposisi asam amino bebas dalam otot udang yang diaklimasi terhadap berbagai salinitas adalah sama satu dengan yang lain. Kadar asam amino, termasuk asam amino esensial, yang sangat tinggi di dalam hemolimfa udang yang diaklimasi terhadap salinitas 15 ppt menunjukkan bahwa asam-asam amino bebas tersebut lebih tersedia untuk diserap jaringan tubuh pada salinitas ini.
Ekskresi amonia-N oleh udang dewasa Marsupenaeus japonicus berkorelasi terbalik dengan salinitas medium pada kisaran 20 – 35 g/l. Hal serupa dijumpai pada juvenil Marsupenaeus japonicus, juvenil dan sub-dewasa Penaeus monodon dan Penaeus chinensis serta kepiting dewasa Carcinus maenas. Meningkatnya ekskresi amonia-N pada salinitas rendah bisa menunjukkan adanya penggunaan senyawa-senyawa bernitrogen untuk mempertahankan osmolalitas cairan tubuh ketika konsentrasi natrium dan kalium berkurang. Biasanya diasumsikan bahwa protein dari jaringan tubuh dan asam-asam amino bebas dari makanan yang ditelan dikatabolisasi selama organisme menghadapi salinitas rendah guna menyediakan energi dan ion-ion yang dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa salinitas rendah meningkatkan katabolisme asam-asam amino, baik dari protein tubuh, asam amino bebas ataupun yang dicerna/diserap dari makanan, yang kemudian bisa menyebabkan pertumbuhan negatif atau penurunan efisiensi produksi (Setiarto, 2004).
Hegab dan Hanke (1983) meneliti peranan asam-asam amino dalam osmoregulasi pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang bersifat stenohalin. Kadar dan kandungan asam-asam amino dominan telah ditentukan di dalam otot dan hati selama aklimasi ikan mas dari air tawar ke medium yang mengandung 1,5 % air laut dan selama aklimasi-kembali ke air tawar. Glisin dan histidin dengan jelas menunjukkan peningkatan kadar dan kandungannya di dalam otot selama periode aklimasi dan berkurang setelah ikan dipindahkan kembali ke air tawar. Taurin merupakan asam amino dominan di dalam otot dan hati. Perubahan kadar atau kandungannya selama aklimasi tidak sangat jelas dan, dengan demikian, diduga bahwa peranannya dalam osmoregulasi kurang penting dibandingkan pada ikan eurihalin. Kadar alanin dalam kedua organ meningkat ketika ikan ada di lingkungan berosmolalitas tinggi dan menurun ketika ikan dikembalikan ke air tawar. Peranan alanin dalam osmoregulasi tidak penting, terutama dalam jarigan otot. Kadar glutamat meningkat tajam hanya di dalam hati ketika ikan diaklimasikan ke medium yang mengandung 1,5 % air laut dan menurun lagi setelah ikan dikembalikan ke air tawar. Hal ini menunjukkan peranan metabolik organ hati dalam osmoregulasi.
Kadar asam-asam amino di dalam jaringan otot dan hati telah diukur oleh Assem dan Hanke (1983) pada ikan mujair (Sarotherodon mossambicus) selama beradaptasi terhadap air garam 2,7 %. Hasil penelitian menujukkan bahwa taurin adalah asam amino paling dominan di dalam otot dan hati, konsentrasinya meningkat tajam di dalam otot selama periode pengerutan sel (cell shrinkage), tetapi berkurang kembali selama aklimasi. Kadar glisin juga bertambah di dalam sel-sel otot selama proses aklimasi. Kadar asam-asam amino lain, seperti treonin, serin dan aspartat, juga meningkat tetapi tidak berperan banyak bagi tekanan osmotik di dalam sel. Alanin menunjukkan peningkatan di kedua jaringan, sedangkan glutamat bertambah terutama di dalam hati saja. Hal ini menunjukkan bahwa asam amino tersebut kurang berperanan dalam osmoregulasi.
Bab III
Pemanfaatan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak dan Makanan Manusia
Keunggulan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak
Walford dan Wilber (1955) menyatakan bahwa tepung ikan banyak mengandung protein dan hampir seluruhnya diubah menjadi pakan ternak. Apabila protein dalam tepung ikan diubah menjadi daging ayam, dendeng, atau telur, maka nilai estetikanya memang meningkat banyak, tetapi volume proteinnya menurun sebesar 90 %. Dengan demikian tampaknya dikehendaki untuk memasukkan tepung ikan secara langsung ke dalam menu makanan orang-orang yang sangat membutuhkan sekali protein. Mutu tepung ikan bervariasi tergantung spesies, lokasi penangkapan dan musim. Mutu ini juga banyak dipengaruhi oleh proses pengolahan; mutunya dirusak oleh panas di mana suhu pengeringan melebihi 100 oC.
Tidak diragukan bahwa ayam yang diberi pakan yang mengandung 2 % sampai 5 % tepung ikan atau “fish soluble” (larutan ikan), tumbuh lebih baik daripada ayam yang seluruh pakannya terbuat dari tumbuhan. Hal ini disebabkan adanya semua asam amino esensial dalam proporsi yang tepat dan adanya suatu “faktor pertumbuhan tak teridentifikasi” (faktor S). Faktor S juga ada di dalam biji-bijian seperti jagung dan gandum serta dalam bungkil minyak kedelai, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan tepung ikan. Binatang yang diberi pakan tepung ikan memerlukan lebih sedikit makanan lain. Demikianlah, penambahan tepung ikan sekitar 5 % ke dalam menu makanan ayam meningkatkan laju pertumbuhan ayam dalam tahun pertama sebesar kira-kira 7 %, dan menurunkan kebutuhan pakan sekitar 20 %. Dengan demikian adalah menguntungkan bagi peternak untuk menggunakan tepung ikan dalam pakan ternaknya. Tepung ikan digunakan secara luas di Eropa, Amerika Utara dan Jepang, namun sangat sedikit dimanfaatkan di Afrika dan Amerika Selatan. Sebagian besar tepung ikan yang diproduksi di Afrika diekspor ke luar negeri.
Clupeoidea Tropis Sebagai Bahan Baku Utama Tepung Ikan
Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa selama periode ekspansi perikanan antara tahun 1950 dan 1970, proporsi hasil tangkap perikanan dunia yang digunakan oleh industri produksi tepung ikan naik dari 10 % kurang menjadi lebih dari 35 %. Dari sekitar 5 juta ton tepung ikan yang memasuki pasaran internasional setiap tahun pada awal 1970-an, lebih dari 3 juta ton dibuat dari ikan clupeoidea tropis, dengan ikan hering dari daerah lintang-tinggi menyumbangkan kurang dari satu juta ton. Walaupun berkurangnya perikanan anchovy Peru sejak itu telah mengubah pola tersebut, tidak ada alasan untuk mengira bahwa kebutuhan akan tepung ikan, minyak dan larutan ikan (fish soluble) akan menurun karena keragaman dan produksi makanan manusia terus meningkat di seluruh dunia, juga tidak ada alasan untuk mengira bahwa produksi ikan clupeoidea tropis tidak dapat kembali ke situasi sebelum jatuhnya stok ikan di Peru.
Faktor-Faktor Penentu Mutu Tepung Ikan
Zaldivar (1991) mengulas secara ringkas karakteristik teknis tepung ikan yang bermutu tinggi. Faktor-faktor terpenting yang meningkatkan mutu tepung ikan adalah konsentrasi proteinnya yang tinggi, kadar air maksimal tepung ikan tidak lebih dari 10 % dan daya cerna minimal 90 %.
Memperbaiki Sifat-Sifat Fungsional Tepung Ikan
You dan Lee (1990) menguji sifat-siat fungsional protein tepung ikan yang ditangani dengan larutan basa. Rasio tepung ikan terhadap larutan NaOH 0,2 N sebagai pelarut ekstrak dengan nilai 1 : 10 menunjukkan hasil yang baik dalam hal jumlah protein tepung ikan yang diekstrak dan yang pulih. Pada pH 4,5 kelarutan protein yang ditangani dengan larutan basa menghasilkan nilai terendah. Hingga konsentrasi larutan protein yang ditangani dengan larutan basa mencapai 0,7 %, kapasitas pengemulsiannya menurun tajam. Kapasitas pengemulsian protein yang ditangani dengan larutan basa adalah lebih tinggi pada pH 9,0 dibandingkan pada pH 4,0 dan 7,0, dan juga jumlahnya lebih banyak dalam larutan NaCl 0,5 M daripada dalam 0,1 M. Hingga lama pemanasan protein tepung ikan yang diberi larutan basa mencapai 30 menit, kapasitas pengikatan lemaknya menunjukkan sedikit perubahan; setelah pemanasan lebih dari 60 menit, kapasitas pengikatan lemaknya menurun. Konsentrasi pembentukan gel dalam protein tepung ikan yang diberi larutan basa selama 15 menit atau kurang dari 20 % tetapi yang selama 30 dan 60 menit adalah 25 %. Bila lama pemanasan protein tepung ikan yang diberi larutan basa mencapai 20 menit maka kekentalan larutan protein yang diberi larutan basa akan menurun tajam.
Upaya Memanfaatkan Tepung Ikan Sebagai Makanan Manusia
Menurut Walford dan Wilber (1955) walaupun tepung ikan merupakan makanan istimewa bagi binatang ternak, yang bisa memperbaiki pertumbuhannya dan menurunkan biaya produksi, namun ia tidak dapat menyebabkan harga daging dan produk unggas di mana pun bisa dijangkau oleh orang-orang yang hidup dalam kondisi sangat melarat, yang terbiasa dengan protein hewani hanya dalam bentuk sari yang digunakan sebagai bumbu bagi bahan makanan pokok berkarbohidrat seperti nasi. Apa yang diperlukan oleh orang-orang seperti ini adalah makanan berprotein hewani dengan harga murah, dan dalam bentuk yang bisa disimpan baik tanpa memerlukan es. Persyaratan ini mengecualikan ikan segar, ikan kaleng, atau ikan “pickle” (ikan yang direndam dalam larutan bahan pengawet). Sebaliknya, tepung ikan bisa diproduksi dari ikan-ikan kerabat lemuru (ordo malacopterygii, seperti clupeidae) dengan harga rendah. Tepung ikan mungkin bisa diproduksi dengan harga jauh lebih murah di negara-negara lain. Mengapa tidak menggunakan tepung ikan secara langsung di dalam menu makanan manusia ? Setengah kilogram tepung ikan sama nilai gizinya dengan 3 kilogram ikan segar. Ikan-ikan kerabat lemuru, yang harganya murah, sangat melimpah di seluruh pesisir, termasuk Afrika dan Amerika Selatan, di mana kekurangan protein merupakan masalah yang parah dalam menu makanan manusia. Tepung ikan cukup awet dan mudah diangkut ke daerah-daerah pedalaman.
Uji Penerimaan Makanan Yang Diberi Tepung Ikan Untuk Konsumsi Manusia
Walford dan Wilber (1955) menyatakan bahwa pembuatan tepung ikan untuk pakan ternak merupakan proses yang kasar. Produk ini memiliki aroma ikan yang kuat yang mungkin bisa diterima di negara-negara yang masyarakatnya sudah terbiasa dengan bau tajam, tetapi tidak diterima di negara lain. FAO dalam percobaan dengan tepung ikan menemukan bahwa di Indonesia satu contoh tepung ikan yang tak berbau tidak diterima, sedang contoh lain yang aromanya sama dengan aroma produk ikan asin diterima dengan baik. Di Chili, FAO mensponsori serangkaian pengujian di mana tepung ikan ditambahkan ke dalam resep-resep masakan yang dihidangkan untuk beberapa orang. Semua hidangan tersebut tidak ada yang salah dalam hal penampilannya. Di antara 89 orang, 14 orang merasakan flavour abnormal, 14 orang mencium aroma abnormal, dan 20 orang melihat ketidak normalan tekstur pada hidangan-hidangan tersebut. Semua orang menerima hidangan-hidangan berikut yang diberi tepung ikan : sup sayuran, sup kentang, kentang goreng, kue lembaran bit, kacang, cocktail cracker dan kue kopi. Hanya 21 orang dari 89 orang tersebut yang tidak bisa menerima masakan-masakan yang diberi tepung ikan.
Walford dan Wilber (1955) menambahkan bahwa uji penerimaan roti dengan tepung ikan Afrika Selatan telah dilakukan selama 50 hari pada 140 anak sekolah dari keluarga miskin di Santiago. Anak-anak ini tidak menyadari percobaan tersebut. Setiap anak menerima jatah makan siang selama 5 hari setiap minggu berupa sepotong roti seberat 90 gram yang dibuat dari 9 bagian tepung putih dan 1 bagian tepung ikan. Selama 50 hari roti dengan tepung ikan itu dibagikan kepada anak-anak yang semuanya memakan roti tersebut tanpa komentar. Lebih lanjut, mereka tidak mengeluh berkenaan dengan masalah pencernaan yang bisa disebabkan oleh tepung ikan.
Berdasarkan hasil-hasil pengujian tersebut di atas, Walford dan Wilber (1955) menyimpulkan bahwa tepung ikan, yang merupakan produk murah, bisa diterima dalam menu makanan orang yang menderita kekurangan protein, yang tidak terbiasa memakan daging, produk unggas atau ikan dalam jumlah cukup, dan yang tidak pernah sanggup membeli makanan-makanan mewah seperti ini.
Bab IV
Komposisi Kimia Minyak Ikan
Komposisi Umum Minyak Ikan
Brody (1965) menyatakan bahwa minyak ikan pada dasarnya merupakan ester dari asam lemak dan gliserol. Komposisi umum minyak ikan adalah sebagai berikut : (a) minyak ikan mengandung sekitar 25 % asam lemak jenuh, dan kira-kira 75 % asam lemak poli-tak-jenuh, (b) berbagai jenis asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak ikan memiliki panjang rantai yang sangat bervariasi dan sebagian besar asam lemak tak jenuh ini adalah asam-asam C-16, C-18 dan C-20 serta C-22, (c) minyak ikan memiliki komposisi tak-tersabunkan (unsaponifiable) yang cukup bervariasi, (d) minyak hati ikan mengandung kolesterol dengan konsentrasi yang relatif tinggi, sedang minyak badan ikan hanya mengandung sedikit kolesterol, (e) secara umum struktur gliserida minyak ikan jauh lebih komplek dibandingkan struktur gliserida lemak tumbuhan dan lemak binatang darat karena minyak ikan mengandung asam-asam lemak yang sangat tak jenuh dan berantai panjang.
Kolesterol Sebagai Komponen Minyak Ikan
Menurut Brody (1965) kolesterol dan ester-esternya merupakan satu-satunya jenis senyawa sterol yang terdapat dalam minyak ikan. Beberapa contoh konsentrasi kolesterol dalam produk perikanan adalah sebagai berikut : minyak hati ikan sebelah, 7,0 %, minyak hati ikan cod Atlantik, 0,3 %, minyak telur ikan salmon, 3,0 %, minyak ikan pilchard (sejenis lemuru) komersial, 0,7 % dan minyak dari limbah udang, 19,0 %. Sebagai tambahan, tepung ikan yang dihasilkan di Nova Scotia mengandung kolesterol 6 – 10 pon per ton (sekitar 0,3 – 0,5 %).
Asam Lemak Dalam Minyak Ikan
Kebanyakan asam lemak dalam minyak ikan merupakan senyawa berantai-lurus normal dengan jumlah atom karbon genap. Asam isovalerat merupakan kekecualian dalam hal ini karena memiliki jumlah atom karbon ganjil dan juga rantainya bercabang. Struktur beberapa asam lemak yang sangat tak jenuh menyebabkannya menjadi tak stabil sehingga sulit untuk diisolasi dan dimurnikan. Di antara asam lemak jenuh yang paling dikenal yang ada dalam minyak ikan, asam palmitat (C16H32O2), asam stearat (C18H36O2) dan asam miristat (C14H28O2) banyak terdapat di dalam minyak ikan. Asam lignoserat (C24H48O2) hanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit sekali pada minyak beberapa jenis ikan lemuru dan hering (Brody, 1965).
Brody (1965) menambahkan bahwa di antara asam lemak tak jenuh yang paling dikenal yang ditemukan dalam semua minyak ikan, asam oleat (C18H34O2) terdapat sebagai komponen utama. Asam ini mempunyai satu ikatan rangkap. Asam clupanodonat, yang memiliki lima ikatan rangkap, juga ditemukan praktis dalam semua ikan sebagai komponen penting. Diyakini bahwa bau khas minyak ikan sebagian disebabkan oleh adanya asam-asam lemak yang sangat tak jenuh ini. Kenyataannya memang bila minyak ikan dihidrogenasi (sehingga asam lemak tak jenuh menjadi jenuh) maka minyak ikan kehilangan bau khas tersebut.
Komposisi Asam Lemak Dalam Minyak Ikan Cucut
Saify et al. (2000) mempelajari komposisi asam lemak dalam minyak ikan dari dua spesies ikan laut yang ditemukan di perairan pesisir Karachi (Pakistan), yaitu ikan cucut martil (Eusphyra blochii) dan ikan cucut Carcharhinus bleekeri. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi asam-asam lemak ini dilakukan dengan teknik “gas liquid chromatography” (GLC) dan gabungan TLC-GLC. Berbagai jenis pelarut digunakan untuk mengekstrak lipida dari jaringan ikan; di antara pelarut tersebut yang paling baik adalah larutan kloroform : mentanol (2 : 1; volume/volume). Ditemukan variasi yang besar antara minyak hati ikan kedua spesies tersebut. Kandungan lipida dalam hati ikan Eusphyra blochii adalah 66,19 % dan dalam hati Carcharhinus bleekeri sebesar 39,94 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk ikan Eusphyra blochii kandungan asam lemak jenuh dalam hati ikan ini berkisar dari 56 % sampai 70,12 %. Asam palmitat adalah dominan dengan kisaran konsentrasinya 36,63 sampai 46,97 % sedangkan konsentrasi asam stearat berkisar dari 9,34 sampai 17,49 %. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, monoenoic merupakan asam lemak utama. Kadar asam oleat adalah 11,10 sampai 26,45 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Polyunstaurated fatty acid (PUFA) berkisar dari 4,25 sampai 15,21 % di mana EPA sebanyak 0,41 sampai 1,65 % dan DHA 0,24 sampai 3,07 %. EPA dan DHA dilaporkan ditemukan juga pada ikan silver carp dan bighead carp dengan rasio yang sama (Saify et al., 2000).
Saify et al. (2000) melaporkan hasil pengamatannya mengenai komposisi asam lemak dalam minyak ikan cucut Carcharhinus bleekeri sebagai berikut. Di antara kelompok lipida, konsentrasi asam lemak jenuh berkisar dari 34,77 sampai 68,24 %. Asam palmitat dan asam stearat merupakan asam-asam lemak jenuh utama dengan kadar berkisar dari 33,50 sampai 56,46 % dan 7,99 sampai 11,55 %, berturut-turut. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, asam lemak monoenoic berkisar dari 4,35 sampai 41,21 % dengan asam oleat sebagai komponen utama yang kadarnya 0,30 sampai 27,05 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Asam lemak poli-tak-jenuh berkisar dari 1,08 sampai 7,38 %. Persentase komposisi EPA dan DHA berkisar dari 0,16 sampai 0,85 % dan 0,06 sampai 2,39 %, berturut-turut. Diasilgliserol tidak mengandung EPA sedangkan asam lemak bebas tidak mengandung EPA maupun DHA.
Komposisi Kimia Minyak Ikan Hasil Samping Pabrik Pengolahan Ikan
Dobrzañski et al (2002) melakukan studi untuk mengevaluasi sifat-sifat kimia minyak ikan yang berasal dari industri pengolahan ikan. Teknologi pengolahan minyak ikan yang dipakai industri ini dikembangkan oleh Sea Fisheries Institute di Gdynia dan Big-Fish Ltd. di Gniewino. Kandungan asam minyak ikan hasil industri ini adalah sebagai berikut : asam-asam lemak tak jenuh 82,72 %; asam-asam lemak poli-tak-jenuh 35,59 %; omega-3 sebesar 17,04 %; klor 0,23 %, kalsium 0,047 %. Unsur-unsur berikut juga ditemukan (dalam mg/kg) : magnesium 24,6; natrium 37,57; fosfor 51,8; seng 220; besi 15,33; aluminium 14,43; selenium 7,62. Produk minyak ikan ini juga mengandung 20 unsur lain dalam jumlah sangat kecil. Vitamin terdapat dalam kadar sebagai berikut (dalam IU/gram) : vitamin A 458, vitamin D3 240, vitamin E 1,21. Konsentrasi pestisida klorin organik, polychlorinated biphenyl (PCB) dan logam beracun (As, Cd, F, Hg, Pb) ada dalam kisaran yang diijinkan. Minyak ikan ini memenuhi kriteria umum untuk bahan makanan hewan. Bagaimanapun, penting untuk menentukan rasio gizi optimal.
EPA, DHA dan Yod Dalam Minyak Ikan Komersial
Badolato et al. (1991) melaporkan bahwa minyak ikan merupakan sumber alami paling penting untuk asam lemak poli-tak-jenuh, seperti omega-3-eicosapentaenoic (EPA) dan docosahexaenoic (DHA), yang berguna dalam mencegah dan mengobati penyakit jantung tertentu. Peningkatan penawaran kapsul suplemen minyak ikan mendorong kita untuk membuktikan mutunya. Untuk itu, 19 sampel suplemen minyak sardin, yang diimpor dari Inggris dan dikapsulkan di Brazil, serta 8 sampel minyak ikan sardin Brazilia (Sardinella brasiliensis), yang diekstrak di laboratorium, dianalisis kadar asam EPA dan DHA-nya, dari segi jumlah total asam lemak, dengan kromatografi gas pada kolom kapiler silika CARBOWAX 20 M yang disatukan. Pada semua sampel juga ditentukan nilai yodin (Wijs) dan indeks refraksinya pada suhu 40 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya satu sampel suplemen minyak ikan sardin yang sangat tidak sesuai dengan pola formula yang dicantumkan pabrik dan nilai yodinnya juga sangat rendah.
Senyawa Hijau di Dalam Minyak Ikan Sardin
Minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli tak jenuh (poly unsaturated) merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Selama penyimpanan, flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Wada dan Lindsay (1992) telah meneliti aroma hijau di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Kedua peneliti menemukan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan mengidentifikasikannya sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 20 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.
Bab V
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut
Peranan Squalen Dalam Fisiologi
Ahn dan Kim (1991) mengulas hasil-hasil studi mengenai peranan squalen dalam fisiologi. Squalen, sejenis senyawa triterpen asiklik, merupakan “precursor” (bahan awal) penting dalam biosintesis sterol yang menjadi komponen penting penyusun membran pada binatang dan tumbuhan. Squalen ini juga merupakan lipida yang dijumpai pada banyak minyak ikan dan tumbuhan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa squalen bisa dimanfaatkan dalam pengobatan luka lambung, rematik, hipertensi dan penyakit asal-bakteri. Telah dilaporkan bahwa aktivitas anti-jamur yang ditunjukkan oleh amphotericin B terhadap Saccharomyces cervisiae bisa ditingkatkan secara sinergis bila digabungkan dengan squalen. Penelitian lain menunjukkan bahwa lipida semi-murni yang diekstrak dari hati ikan cucut meningkatkan daya tahan inang terhadap infeksi bakteri.
Ahn dan Kim (1991) menambahkan bahwa penelitian-penelitian mengenai lipida serum dalam kaitannya dengan squalen membuktikan bahwa squalen dalam pakan dapat mempengaruhi konsentrasi squalen dalam serum darah manusia serta konsentrasi kolesterol dalam hati tikus. Telah ditunjukkan bahwa squalen pakan yang diserap tubuh menyumbangkan sampai beberapa kisaran kandungan squalen dalam jaringan lemak, secara efektif meningkatkan sintesis kolesterol total dan juga meningkatkan pembuangan kolesterol dalam bentuk asam-asam empedu pada tinja tikus. Bagaimanapun, ada laporan bahwa pemberian squalen lewat mulut menurunkan HDL-kolesterol dan meningkatkan nilai “thiobarbiturate reactive substance” (TBA) serta fosfolipid dalam serum darah dan hati tikus. Juga dilaporkan bahwa squalen meningkatkan secara nyata jumlah leukosit (sel darah putih) yang bersirkulasi serta mendorong penambahan berat relatif limfa dan timus pada tikus. Bagaimanapun, berat relatif hati sedikit berkurang.
Squalen dan Kesehatan
Narayan Bhilwade et al. (2010) melaporkan bahwa saat ini, peranan produk alami dalam menjaga kesehatan mendapat banyak perhatian, dan berbagai bahan fungsional telah dipelajari secara luas dalam hal kemampuannya mencegah banyak penyakit seperti penyakit “cardiovascular” (pembuluh jantung) dan kanker. Squalen merupakan salah satu contohnya. Produk alami ini tersebar di alam, baik pada tumbuhan maupun hewan, dan terutama dalam organ hati spesies ikan cucut tertentu (famili squalidae) sebagaimana ia diidentifikasi pertama kali sebagai substansi penyembuh dalam minyak hati ikan cucut. Sekarang telah diketahui bahwa squalen merupakan substansi fisiologis yang berfungsi pada tubuh binatang sebagai prekursor dalam biosintesis kolesterol. Sebenarnya, squalen telah lama digunakan sebagai sumber daya makanan fungsional yang menarik, sebagai pelengkap makanan atau bahkan obat karena memiliki sifat fisik yang unik serta banyak fungsi fisiologis seperti anti kanker dan anti “hiper-kolesterolemia” (konsentrasi kolesterol dalam darah yang tinggi). Sifat anti oksidan dan kemampuan squalen mengangkut oksigen menyebabkannya mampu mencegah penyakit kardiovaskuler.
Kandungan Squalen dan Lipida Dalam Hati Ikan Cucut Laut-Dalam
Deprez et al. (1990) melaporkan bahwa ikan hiu laut-dalam (terutama cucut anjing) merupakan hasil samping penting pada perikanan trawl yang bertujuan menangkap Hoplostethus atlanticus, sejenis ikan laut-dalam. Untuk menguji apakah hati ikan-ikan cucut ini bisa menjadi sumber squalen dan lipida komersial penting lainnya, sebanyak 16 ikan cucut dari 8 spesies dikumpulkan dari perairan Tasmania pada kedalaman 700 – 1.200 meter selama pelayaran penelitian S02/88 FRV Soela. Ikan hiu tersebut adalah Centroscyrnnus crepidater (longnose velvet dogfish), Centroscyrnnus owstoni (Owston's dogfish), Centroscyrnnus coelolepis (Portuguese dogfish), Deania calcea (shovelnose dogfish), Etmopterus baxteri (Baxter's dogfish), Etmopterus sp. nov. (ikan cucut anjing kerdil tanpa nama), Dalatias licha (kitefin atau seal shark) dan Centrophorus squarnosus (leafscale gulper shark). Konsentrasi squalen, triasillgliserol, diasilgliseril ether, asam lemak total, pristane dan lipida-lipida lain dianalisis dengan kromatografi gas kapiler dan deteksi ionisasi nyala api kromatografi lapisan tipis. Hati ikan cucut tersebut mengandung banyak squalen (15 – 69 % berdasarkan berat), kecual hati Centrophorus squarnosus (1 %), yang mengandung secara tak wajar banyak diasilgliseril ether (79 %). Konsentrasi triasillgliserol dan diasilgliseril ether di dalam hati berkisar dari 1 sampai 26 % dan dari 7 sampai 79 % berdasarkan berat, berturut-turut. C 19 isoprenoid alkane pristane merupakan komponen minor dalam semua sampel (0,01 – 0,56 % berdasarkan berat hati). Tiga jenis asam lemak ester yang banyak ditemukan dalam semua sampel adalah asam lemak palmitat (16 : 0), oleat [18 : 1 (n – 9)] dan eicosa-11-enoic [20: 1 (n - 9)]. Asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen minor. Data ini menunjukkan bahwa hati ikan cucut menyediakan hasil samping yang berharga dari perikanan trawl laut-dalam.
Bakes dan Nichols (1995) menganalisis minyak hati dari ikan cucut laut-dalam Somniosus pacificus, Centroscymnus plunketi, Centroscymnus crepidater, Etmopterus granulosus, Deania calcea dan Centrophorus scalpratus untuk mengetahui komposisi lipida, asam lemak dan squalen. Lipida-lipida utama pada semua spesies hiu ini adalah diasilgliseril eter dan triasilgliserol, sedangkan hidrokarbon utamanya adalah squalen. Lipida polar ditemukan dalam jumlah sangat sedikit. Asam-asam lemak mono-tak-jenuh (C 16 : 1, C 18 : 1, C 20 : 1, C 22 : 1 dan C 24 : 1) menyusun 62 – 84 % dari asam-asam lemak. Asam-asam lemak jenuh menyumbangkan 11 – 26 % dari total asam lemak, sedangkan asam-asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen yang relatif minor (1 – 13 %). Semua ikan hiu memiliki komposisi lipida yang berbeda, tetapi profil diol dan asam lemaknya sama. Tingginya kandungan squalen (50 – 82 % dari semua komponen minyak) dalam semua spesies ikan hiu, kecuali Centroscymnus plunketi dan Somniosus pacificus, menunjukkan bahwa minyak dari ikan-ikan cucut laut-dalam yang dikumpulkan di perairan Australia selatan cocok untuk kepentingan industri.
Bab VI
Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air
Konsumsi Ikan Laut Meningkatkan Resiko Terkena Kanker Tiroid
Glattre et al. (1993) menguji hipotesis yang menyatakan bahwa konsumsi makanan laut meningkatkan resiko kanker tiroid; pengujian dilakukan dengan metode studi kasus terkendali. Data dari National Health Screening Service (NHSS; Dinas Perlindungan Kesehatan Nasional) yang memuat informasi makanan sekitar 60.000 penduduk Norwegia dihubungkan dengan data kanker tiroid tahun 1955 – 1989 milik Cancer Registry (Pendataan Kanker). Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa orang yang secara teratur mengkonsumsi minyak ikan cod, hati ikan atau sandwich ikan memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker tiroid daripada orang yang mengkonsumsi tidak teratur atau tidak mengkonsumsinya, dan orang yang lebih banyak makan malam dengan ikan per minggu juga memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker tiroid.
Karsinogen (Senyawa Penyebab Kanker) Pada Ikan dan Kerang
Gesamp (1991) mengulas secara kritis literatur Eropa dan Amerika Utara mengenai kanker pada ikan dan kerang, serta menunjukkan bahwa walaupun ada banyak laporan “kanker” dan kerusakan jaringan “pra kanker” pada ikan dan kerang, ada cukup bukti bahwa akibat pemakaian terminologi yang tidak tepat, sebagian laporan tersebut adalah salah atau menyesatkan. Walaupun efek negatif terhadap individu ikan tidak dapat dibantah, ulasan ini mengidentifikasi bahwa tak ada alasan untuk menghubungkan kelangsungan hidup populasi ikan laut, pada tingkat lokal sekalipun, dengan adanya karsinogen di lingkungan laut. Dari sudut pandang kesehatan manusia, data konsumsi senyawa karsinogen potensial lewat ikan dan kerang laut memberikan sedikit alasan untuk mengkhawatirkan masalah ini; bagaimanapun, mungkin ada peningkatan resiko bagi konsumen yang banyak makan makanan laut dalam kasus di mana makanan laut yang ditelan tercemar secara tak normal oleh karsinogen (senyawa penyebab kanker), terutama PAH.
Produksi Senyawa Anti Kanker (Tolitoksin) Oleh Scytonema
Patterson dan Bolis (1992) meneliti “tolytoxin”, senyawa yang dihasilkan oleh cyanophyta dari genus Scytonema dan Tolypothrix serta menghambat pertumbuhan jamur berfilamen dan perbanyakan sel mamalia. Penelitian bertujuan mempelajari kemungkinan pemanfaatan tolitoksin sebagai obat anti kanker potensial dan sebagai sarana farmakologis. Tolitoksin dan senyawa-senyawa terkait dikenal secara kolektif sebagai scytophycin. Produksi tolitoksin dalam kultur cair telah diidentifikasi pada galur Scytonema ocellatum Yang menghasilkan relatif banyak toksin. Pertumbuhan dan hasil diduga melalui rancangan percobaan dimensi-tunggal dan matematika-statistika (Plackett-Burman). Tolitoksin dihasilkan oleh kultur yang tumbuh aktif dan ditimbun baik di dalam sel maupun pada media sekitarnya. Produksi tolitoksin ditentukan oleh komposisi garam-garam mineral dalam medium kultur dan oleh keberadaan sumber karbon organik dari luar. Penambahan karbohidrat ke dalam medium kultur menyebabkan penurunan pertumbuhan dan secara nyata mengurangi pembentukan tolitoksin.
Efek Anti Tumor Dari Ekstrak Rumput Laut
Cho et al. (1990) meneliti efek anti tumor “protein-polysaccharide fraction” (PPF; fraksi protein-polisakarida) yang diekstrak dari beberapa jenis rumput laut seperti tanduk rusa laut (Codium fragile) dan laver (Porphyra yezoensis) terhadap sel-sel sarcoma-180. Pada PPF yang diekstrak dari rumput-rumput laut ini, kadar polisakarida tanduk rusa laut dan laver adalah 62,26 % dan 65,78 %, berturut-turut. Polisakarida dengan kadar terbanyak yang ditemukan dalam rumput laut adalah fruktosa. Asam-asam amino utamanya adalah asam aspartat, asam glutamat, glisin dan sistein. Penghambatan pertumbuhan tumor padat menunjukkan nilai tertinggi 53,30 % bila 50 mg/kg tanduk rusa laut dberikan. Efek perpanjangan umur adalah 17,35 % pada 50 mg/kg laver. Mengenai efek aktivitas imunologis, bila 100 mg/kg tanduk rusa laut diberikan, maka jumlah sel darah putih yang bersirkulasi menunjukkan jumlah terbanyak 82,23 % tetapi jumlah sel darah putih ini bekurang jika waktunya diperpanjang. Jumlah sel nanah peritoneal total pada kelompok yang diberi tanduk rusa laut meningkat tajam dibandingkan kelompok kontrol. Analisis hematologis terhadap kelompok percobaan memberikan hasil yang sama dengan kelompok kontrol.
Kurilostatin, Senyawa Anti Tumor Dari Sepon Laut
Popov et al. (1991) mempelajari pengaruh kurilostatin terhadap sel tumor, limfosit, eritrosit dan juga liposoma lesitin-kolesterol. Kurilostatin merupakan sejenis alkaloid tak lazim dari sepon laut yang memiliki sifat anti tumor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa alkaloid ini memiliki potensi aktivitas sitostatik dalam hubungannya dengan sel tumor dan limfosit yang diaktifkan-mitogen tetapi tidak memperlihatkan aktivitas anti tumor secara in vivo. Telah nyata bahwa kurilostatin merangsang pelepasan kalsium bebas dari sel ini. Diduga bahwa sifat ini mendasari aksi sitostatiknya.
Isometakromin, Senyawa Anti Kanker Dari Sepon Laut-Dalam
McConnell et al. (1992) mengisolasi isometakromin, senyawa sesquiterpene-quinone baru yang secara struktural berhubungan dengan metakromin C, dan senyawa-senyawa ilimaquinone serta 5-epi-ilimaquinone, dari sejenis sepon perairan dalam yang terasuk famili Spongiidae kemudian menentukan strukturnya dengan metode spektral. Isometakromin menunjukkan sitotoksisitas (bersifat racun bagi sel) secara in vitro terhadap sel kanker paru-paru manusia line A 549 (IC-50 = 2,6 mikrogram/ml), tetapi tidak terhadap P 388 murine leukimia (IC-50 = 10 mikrogram/ml atau lebih), dan juga menunjukkan aktivitas anti mikroba.
Bab VII
Keracunan Makanan Akibat Mengkonsumsi Ikan Tengiri dan Tuna
Asosiasi Ciguatoksin-Protein Dalam Daging Ikan Tengiri
Hahn et al. (1992) meneliti asosiasi ciguatoksin-protein dalam otot rangka ikan tenggiri. Sampel jaringan otot rangka dari ikan tengiri (Scomberomorus commersoni) yang beracun dan tak beracun difraksionasi, sentrifugasi, presipitasi (NH4)2SO4 dan protein terlarutnya dikenai kromatografi Sephacryl S-200. Ciguatoksin hasil kromatografi dengan protein terlarut memiliki berat molekul antara 35.500 dan 59.500. Racun ini mengandung 1,4 % dari total sampel protein dan 15 % dari daya racun sampel total, dengan aktivitas spesifik meningkat 7,2 kali lipat. Perbandingan SDS-PAGE menunjukkan dua jalur protein di dalam kisaran berat molekul 37.400 dan 40.600 yang muncul di dalam fraksi protein terlarut beracun, tetapi tidak terdeteksi di dalam sampel kontrol (tak beracun). Penemuan ini menunjukkan adanya asosiasi antara ciguatoksin dengan sedikitnya satu protein terlarut monomer berberat molekul 37.000 sampai 40.600 di dalam otot rangka ikan Scomberomorus commersoni beracun.
Ciguatoksin Ganda Dalam Daging Ikan Tengiri
Lewis dan Setlin (1992) menyatakan bahwa kebanyakan kasus ciguatera (keracunan ikan) disebabkan mengkonsumsi daging ikan yang tercemar ciguatoksin-(ciguatoksin); bagaimanapun, daya racun daging ikan berciguatoksin menyulitkan upaya mengidentifikasi racun(-racun) ini. Dengan memanfaatkan teknik “high performance liquid chromatography” (HPLC), spektroskopi massa dan bioesei tikus, telah diketahui bahwa ciguatoksin-1 (MH+ m/z = 1112), ciguatoksin-2 dan ciguatoksin-3 merupakan racun-racun ciguatoksin utama yang ada dalam daging ikan ciguatera. Ciguatoksin-1, -2 dan -3 terdapat sebanyak 0.19, 0.09 dan 0.02 mikrogram/kg daging ikan, berturut-turut, pada ikan tengiri Scomberomorus commersoni; 0.08, 0.09 dan 0.07 mikrogram/kg daging ikan, berturut-turut, pada ikan Plectropomus spp.; dan 0.67, 0.61 dan 0.06 mikrogram/kg daging ikan, berturut-turut, pada ikan pari Pomadasys maculatus. Dua racun minor, yang mungkin dioksidasi lebih lanjut oleh analog-analog ciguatoksin-1 dan ciguatoksin-2, juga telah diidentifikasi. Keberadaan ciguatoksin ganda dalam daging ikan memiliki dampak penting bagi pendeteksian ikan ciguatera dan mungkin juga menjadi salah satu sebab bervariasinya gejala-gejala ciguatera.
Keracunan Akibat Mengkonsumsi Ikan Tuna
Lavon et al. (2008) mempelajari beberapa penelitian mengenai keracunan scombroidea. Mereka menyatakan bahwa laporan pertama kasus keracunan scombroidea diterbitkan tahun 1830 yang dialami lima pelaut yang mengkonsumsi ikan bonito, salah stau anggota famili Scombridae. Ikan-ikan non scombroidea (misal ikan layaran, salmon Australia, sardin berbintik) juga dilaporkan bekaitan dengan keracunan ikan scombroidea. Histamin berkonsentrasi tinggi ditemukan pada ikan penyebab keracunan ini; karena itu histamin diyakini merupakan agen penyebabnya. Histamin dibentuk dari histidin oleh enzim dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri di dalam daging-gelap ikan. Berbagai jenis bakteri telah diidentifkasi berkaitan dengan fenomena ini, di antaranya adalah Klebsiella pneumoniae, Proteus morganii, Serratia marcescens dan Enterobacter intermedium. Bakteri-bakteri tersebut merupakan flora normal pada ikan, tetapi keberadaan mereka biasanya disebabkan oleh kontaminasi dari orang yang menangani ikan. Pendinginan dan penanganan ikan secara tidak tepat bisa menimbulkan poduksi histamin secara besar-besaran oleh bakteri-bakteri tersebut.
Lavon et al. (2008) melaporkan bahwa keracunan akibat memakan ikan scombroidea merupakan penyakit akut yang diakibatkan oleh mengkonsumsi ikan yang banyak mengandung histamin. Penanganan ikan secara tidak tepat menyebabkan ikan tersebut tercemar bakteri. Enzim-enzim bakteri mengubah histidin menjadi histamin. Gejala keracunan berkembangan dengan cepat dan mirip dengan reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin E. Diagnosis seringkali keliru. Sering timbul komplikasi serius berupa kejang bronchus dan tekanan darah rendah. Pada kasus ini tuna merupakan ikan yang paling banyak dikonsumsi oleh korban keracunan. Gejala klinis berkembang dalam waktu 20 menit setelah mengkonsumsi tuna. Gejala klinis utama berupa ruam (pada wajah), kulit kemerah-merahan, gangguan perut dan sakit kepala. Keracunan ikan scombroidea mungkin terjadi pada orang yang menunjukkan gejala mirip alergi histamin yang berkaitan dengan konsumsi ikan (terutama tuna). Ikan scombroidea berdaging-gelap meliputi beberapa famili, terutama Scombridae dan Scomberesocidae yang mencakup tuna, tengiri, bonito dan cero. Keracunan scombroidea sering terbatas dan mudah disembuhkan dengan anti histamin. Keracunan scombroidea juga bisa disebabkan oleh konsumsi keju, namun hal ini sangat jarang.
Bab VIII
Pemanfaatan Limbah Ikan dan Udang
Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Untuk Pakan Udang dan Melunakkan Daging
Menurut Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) kepala udang menyumbangkan sekitar 40 – 50 % dari berat total udang dan merupakan limbah yang harus diatasi oleh industri pembekuan udang. Limbah udang telah dimanfaatkan untuk membuat tepung udang atau ekstrak udang yang dapat-larut yang dipakai dalam campuran pakan udang sehingga pakan tersebut mengandung 5 % protein. Hasilnya menunjukkan bahwa berat udang yang diberi pakan seperti ini adalah 1,2 – 1,4 kali berat udang yang diberi pakan sebelumnya. Selain itu, kalsium, kitin dan astaksantin yang terkandung dalam tepung udang juga bisa memperbaiki kekerasan cangkang dan warna udang budidaya.
Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) menambahkan bahwa enzim proteolitik dalam limbah udang adalah karboksi peptidase A dan B, tripsin, kimotripsin, katepsin dan kolagenase. Enzim-enzim proteolitik ini yang diekstrak dari kepala udang grass shrimp (udang windu) mampu melunakkan daging sama seperti pada papain atau bromelin. Bagaimanapun, pemanfaatan enzim proteolitik dari limbah udang untuk melunakkan daging adalah tidak ekonomis.
Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Sebagai Flavouran
Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) menyatakan bahwa cangkang dan kepala udang umumnya tidak dimanfaatkan oleh industri pembekuan udang. Komposisi perkiraan menunjukkan bahwa kandungan lemak dan abu lebih tinggi dalam kepala daripada dalam daging udang. Kandungan gula tereduksi juga lebih tinggi dalam kepala daripada dalam daging udang. Perbedaan kandungan lemak dan gula tereduksi mungkin mempengaruhi flavour yang dihasilkan dari kepala dan dari daging udang. Flavour dan senyawa mudah-menguap dalam kepala udang dapat diekstrak melalui proses enzimatik, pemekatan dan pengeringan dengan udara panas. Sebanyak 97 % padatan non cangkang dapat dilarutkan dan diperoleh kembali. Asam amino bebas ada sebanyak 9 – 12 % dengan taurin, arginin, glisin dan prolin paling banyak. Kadar asam nukleat adalah 0,6 % dengan IMP sebagai komponen utama. Komponen yang mudah-menguap yang diekstrak dari kepala udang tidak sama dengan komponen serupa yang diekstrak dari udang utuh.
Senyawa pirazin dan senyawa yang mengandung sulfur berpengaruh besar terhadap flavour udang yang telah dimasak. Kandungan alkil pirazin dan senyawa-senyawa lain yang mengandung nitrogen adalah lebih tinggi dalam ekstrak flavour yang telah dimasak daripada dalam ekstrak yang diberi perlakuan suhu-rendah tekanan-rendah. Lipoksigenase endogen tampaknya memegang peranan dalam pembentukan flavour udang. Analisis biaya menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah udang sebagai bahan flavouran adalah layak secara ekonomis.
Teknologi Hidrolisis Enzimatis Untuk Memanfaatkan Limbah Ikan Menjadi Bahan Flavour Makanan Laut
In (1989) dalam Voight dan Botta (1990) melaporkan bahwa teknologi telah dikembangkan untuk menghasilkan flavour makanan laut melalui hidrolisis enzimatis. Teknologi ini dapat diterapkan untuk berbagai jenis binatang laut segar maupun beku. Teknologi ini mampu mengoptimalkan hasil dan mutu organoleptik ekstrak flavor yang dihasilkan dari bahan mentah yang kurang dimanfaatkan, misalnya tulang ikan segar, kepala udang beku dan cangkang berbagai jenis kepiting yang merupakan limbah industri perikanan. Proses ini bisa dioptimalkan untuk setiap bahan tersebut. Hasil dan laju hidrolisis tergantung terutama pada kondisi bahan mentah yang sudah dimasak, beku atau segar.
Tujuan utama hidrolisis enzimatis adalah mencairkan protein agar cangkang atau tulang mudah dipisahkan sebelum pemekatan ekstrak sampai 50 – 60 % berat kering. Proses ini dapa mengekstrak sebagian besar materi flavour dan mempertahankan kesegarannya tanpa menimbulkan cita rasa yang tidak enak, seperti rasa pahit, rasa cangkang dan lain-lain. Produk yang dihasilkan berupa ekstrak alami dan dapat dipakai untuk banyak keperluan, seperti campuran kecap, sup, campuran keju, bumbu makanan laut. Ekstrak tersebut dapat juga dipakai sebagai komponen utama dalam resep-resep flavour makanan laut yang lebih komplek (In, 1989, dalam Voight dan Botta, 1990).
Pemanfaatan Protein Dari Limbah Ikan Mujaer Dengan Enzim Alkalase
Yu dan Tan (1992) membahas penggunaan enzim alkalase untuk memperoleh protein dari hasil samping dan kelebihan ikan. Enzim alkalase digunakan untuk menghidrolisis protein dari sisa-sisa ikan mujaer Oreochromis mossambicus. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi asam amino dalam hidrolisat adalah sama seperti pada ikan segar, dengan asam-asam amino esensial menyusun sekitar 50 % dari total asam amino yang ada.
Limbah Pengalengan Ikan Untuk Membuat Konsentrat Protein Ikan
Raghunath (1993) melaporkan bahwa limbah pengalengan tuna, yang terdiri dari daging merah tuna rebus, dihidrolisis dengan menggunakan cairan buah nanas sebagai sumber bromelin kasar. Kondisi optimum hidrolisis seperti yang dipantau dengan solubilisasi (kelarutan) padatan dan nitrogen adalah 0,008 unit enzim/mg protein substrat, pH 5 – 6 dan suhu 60 – 70 oC. Konsentrasi substrat tampaknya tidak berpengaruh terhadap kelarutan padatan. Keseimbangan material di bawah kondisi optimum hidrolisis menunjukkan bahwa padatan terlarut dan nitrogen terlarut meningkat sebesar 62,6 dan 92 %, berturut-turut, dibandingkan nilai-nilai awal dan bisa diperoleh kembali dengan kehilangan minimal.
Pemanfaatan Limbah Organ Dalam Ikan Cucut Untuk Pakan Ikan
Asgard dan Austreng (1985) menyatakan bahwa dalam produksi filet ikan cucut anjing Squalus acanthias, sekitar 50 % berat kotor ikan ini bisa diubah menjadi filet untuk konsumsi manusia dan 50 % sisanya - yang terutama berupa organ dalam - dibuang. Hanya sebagian kecil dari bagian yang dibuang ini digunakan dalam produksi tepung dan minyak ikan; bagian terbesarnya dibuang begitu saja. Karena budidaya ikan merupakan industri yang terus berkembang, sedangkan sisa-sisa tubuh ikan cucut banyak mengandung nutrisi, maka adalah menarik untuk mengevaluasi kemungkinan pemanfaatan organ-organ dalam ikan cucut sebagai bahan baku pakan ikan. Nilai gizi limbah ikan cucut sebagai pakan ikan tergantung terutama pada kandungan protein dan lemaknya. Dalam limbah segar, kandungan proteinnya kurang-lebih konstan, sedangkan kandungan lemaknya ditentukan oleh ukuran hati ikan cucut.
Asgard dan Austreng (1985) melaporkan bahwa dalam uji pemanfaatan organ dalam ikan cucut anjing Squalus acanthias sebagai pakan basah untuk ikan salmon dan rainbow trout, organ dalam tersebut dibagi menjadi dua kelompok : satu kelompok dibekukan dan kelompok lain diberi asam format 2,5 % (berat/berat). Pakan kontrol dibuat terutama dari ikan argentine (Argentina silus, Ascanius) yang merupakan hasil tangkap industri perikanan. Pada pakan eksperimental, baik yang dibuat dari limbah cucut beku maupun yang diberi asam format (silase), 47 % dari berat pakan basah, atau 30 % dari total nitrogen, dipasok oleh limbah ikan cucut.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terlihat adanya efek negatif dalam hal konsistensi pakan atau pun dalam hal peningkatan berat dan kesehatan ikan yang memakannya, juga tidak ada dampak negatif terhadap komposisi kimia dan sifat-sifat organoleptik semua kelompok pakan. “Apparent digestibility” (daya cerna yang tampak) untuk protein ikan cucut adalah setinggi nilai untuk protein dari ikan argentine dan tepung binder (perekat pakan), dan nilai ini paling tinggi untuk limbah ikan cucut yang diberi asam format. Dari total nitrogen yang terkandung dalam limbah ikan cucut, 20 – 30 % adalah urea nitrogen dan harus dikurangi bila membandingkan nilai protein limbah ikan cucut dengan limbah ikan lain.
Referensi :
Abbas, J.A. , Basson, P.W. and El-Din, A.Y. 1992. Protein content of benthic marine algae from Bahrain coastline. Indian Journal of Marine Science, Vol. 21, no. 1, pp. 62 – 63, ISSN 0379 - 5136
Ahn, Y.K. and J.H. Kim. 1991. Effects of Squalene on The Immune Responses in Mice (I): Humoral Immune Responses of Squalene. Archives of Pharmacal Research, Vol. 14, No. 4, pp. 370 - 378
Allen, K. 1961. The effect of salinity on the amino acid concentration in Rangia cuneata (Elecypoda). The Biological Bulletin, Vol. 121, pp. 419-424
Asgard, T. and E. Austreng. 1985. Dogfish Offal, Ensiled or Frozen, as Feed for Salmonids. Aquaculture, Vol. 49, pp. 289 - 305
Assem, H. and Hanke, W. 1983. The significance of the amino acids during osmotic adjustment in teleost fish—I. Changes in the euryhaline Sarotherodon mossambicus. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology, Vol. 74, Issue 3, pp. 531-536
Badolato, E.S.G., J.B. de Carvalho, M. Tavares and S. Aued-Pimentel. 1991. Determination of Eicosapentaenoic (EPA) and Docosahexaenoic (DHA) Acids in Brazilian Sardine (Sardinella brasiliensis) Oil and in Encapsulated Sardine Oil Supplements. Reviews of Institute of Adolfo Lutz, Vol. 1, No. 1 – 2, pp. 75 - 81
Bakes, M.J. and P.D. Nichols. 1995. Lipid, Fatty Acid and Squalene Composition of Liver Oil From Six Species of Deep-Sea Sharks Collected in Southern Australian Waters. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology, Vol. 110, Issue 1, pp. 267 – 275
Brody, J. 1965. Fishery By-Products Technology. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. 232 pp.
Cho, K.-J., Y.-S. Lee and B.-H. Ryu. 1990. Antitumor Effect and Immunology Activity of Seaweeds Toward Sarcoma-180. Bulletin of Korean Fisheries Societies, vol. 23, no. 5, pp. 345 - 352
Czeczuga, B. 1973. Carotenoids in Fish II. Carotenoids and Vitamin A in Some Fishes from The Coastal Region of The Black Sea. Hydrobiologia, Vol. 41, Issue 1, pp. 113 - 125
Deprez, P.P., J.K. Volkman and S.R. Davenport. 1990. Squalene Content and Neutral Lipids Composition of Livers from Deep-Sea Sharks Caught in Tasmanian Waters, Australian Journal of Marine and Freshwater Research, vol. 41, no. 3, pp. 375 - 387
Dobrzanski, Z., P. Bykowski, Z. Iwaniuk, Z. Usydus, H. Górecka and T. Trziszka. 2002. Evaluation of The Chemical Composition of Fish Oil: a By-Product From Fish Processing Plants. Bulletin of the Sea Fisheries Institute, Gdynia, Vol. 1, pp. 39 – 46
duPaul, W.D. and Webb, K.L. 1970. The effect of temperature of salinity-induced changes in the free amino acid pool of Mya arenaria. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 32, Issue 4, pp. 785-801
Fang, L.-S., Tang, C.-K., Lee, D.-L. and Chen, I.-M. 1992. Free amino acid composition in muscle and hemolymph of the prawn Penaeus monodon in different salinities. Nippon Suisan Gakkaishi/Bull. Jap. Soc. Sci. Fish., vol. 58, no. 6, pp. 1095 – 1102, ISSN 0021 – 5392
Fernandes, T.A.. Iyer, V., Kumar Apte, S. 1993. Differential responses of nitrogen-fixing cyanobacteria to salinity and osmotic stresses. Applied Environmental Microbiology, Vol. 59, no. 3, pp. 899 -904, ISSN 0099 – 2240
Gesamp. 1991. Review of Potentially Harmful Substances – Carcinogens. Report of Studies of Gesamp, no. 46. 56 pp.
Glattre, E., T. Haldorsen, J.P. Berg, I. Stensvold and K. Solvoll. 1993. Norwegian Case-Control Study Testing The Hypothesis That Seafood Increases The Risk of Thyroid Cancer. Cancer Causes Control, vol. 4, no. 1, pp. 11 – 16, ISSN 0957-5243
Güner, S.S., B. Dincer, N. Alemdag, A. Colak and M. Tüfekci. 1998. Proximate Composition and Selected Mineral Content of Commercially Important Fish Species from The Black Sea, Journal of the Science of Food and Agriculture, Vol. 78, Issue 3, pages 337– 342
Hahn, S.T., M.F. Capra and T.P. Walsh. 1992. Ciguatoxin-Protein Association in Skeletal Muscle of Spanish Mackerel (Scomberomorus commersoni). Toxicon, vol. 30, no. 8, pp. 843 – 852
Hegab, S.A. and Hanke, W. 1983. The significance of the amino acids during osmotic adjustment in teleost fish—II. Changes in the stenohaline cyprinus carpio Review Article. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology, Volume 74, Issue 3, pp. 537-543
Hoetzel, D. 1992. Aims and Measures of The Working Group Iodine Deficiency. Proceedings of The Food Science Advisory Board for German Fisheries. 35 Annual Meeting. pp. 11 - 34
In, T. 1989. Seafood Flavourants Produced by Enzymatic Hydrolysis in Voight, M.N. and J.R. Botta. (Eds.). 1990. Advances in Fisheries Technology and Biotechnology for Increased Profitability : Papers from The 34th Atlantic Fisheries Technological Conference and Seafood Biotechnology Workshop, August 27 to September 1, 1989, St. John's, NF, Canada, Volume 1989. Technomic Pub. Co., California. 566 pp.
Lavon, O., Y. Lurie and Y. Bentur. 2008. Scombroid Fish Poisoning in Israel, 2005–2007. IMAJ, vol. 10, pp. 789–792
Lewis, R.J. and M. Setlin. 1992. Multiple Ciguatoxins in The Flesh of Fish, Toxicon, vol. 30,no. 8, pp. 915 – 919
Liu, M. and Zhang,X. 1992. Adaptability of Nitzschia palea to salinity. Acta Hydrobiol. Sin. , vol. 16, no. 1, pp. 153 – 158
McConnell, O.J., R. Longley and M. Gunasekera. 1992. Isometachromin, A New Cytotoxic Sesquiterpenoid From A Deep Water Sponge of The Family Spongiidae. Experientia, vol. 48, no. 9, pp. 891 - 892
Narayan Bhilwade, H., N. Tatewaki, H. Nishida and T. Konishi. 2010. Squalene as Novel Food Factor, Current Pharmaceutical Biotechnology, Vol. 11, No. 8, pp. 875 - 880
Nash, C.E. 2011. The History of Aquaculture. Blackwell Publishing, Ltd. Iowa. 227 pp.
Pan, B.S. 1989. Recovery of Shrimp Waste for Flavourant in Voight, M.N. and J.R. Botta. (Eds.). 1990. Advances in Fisheries Technology and Biotechnology for Increased Profitability : Papers from The 34th Atlantic Fisheries Technological Conference and Seafood Biotechnology Workshop, August 27 to September 1, 1989, St. John's, NF, Canada, Volume 1989. Technomic Pub. Co., California. 566 pp.
Patterson, G.M.L.and C.M. Bolis. 1992. Production of Tolytoxin by Scytonema ocellatum. Journal of Phycology, vol. 28, no. 3 supplement, p. 14
Popov, A.M. T.N. Makar’eva and V.A. Stonik. 1991. Biological Activity of Kurilostatin – An Unusual Sea Sponge Alkaloid. Biophysics, vol. 36, no. 5, pp. 834 - 836
Raghunath, M.R. 1993. Enzymatic Protein Hydrolysate From Tuna Canning Wastes – Standardisation of Hydrolysis Parameters. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology of Kochi, vol. 30, no. 1, pp. 40 – 45
Saify, Z.S., S. Akhtar, S. Hassan, M. Arif. F. Ahmed and S. Siddiqui. 2000. A Study on Fatty Acid Composition of Fish Oil From Two Marine Fish, Eusphyra blochii And Carcharhinus bleekeri. Pakistan Journal of Pharmaceutical Science, Vol. 13, No. 2, pp. 5 - 12
Sen, D.P. 2005. Advances in Fish Processing Technology. Allied Publisher Pvt. Ltd. New Delhi, India. 823 pp.
Setiarto, A., Strassmann, C.A., Takashima, F. , Watanabe, S. and Yokota, M. 2004 . Short-term responses of adult kuruma shrimp Marsupenaeus japonicus (Bate) to environmental salinity : osmotic regulation, oxygen consumption and ammonia excretion. Aquaculture Research, Vol. 35, pp. 669 -677
Shumway, S.E., Gabbott, P.A. and Youngson , A. 1977. The effect of fluctuating salinity on the concentrations of free amino acids and ninhydrin-positive substances in the adductor muscles of eight species of bivalve molluscs. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, Vol. 29, Issue 2, pp. 131-150
Virkar, R.A. and Webb, K.L. 1970. Free amino acid composition of the soft-shell clam Mya arenaria in relation to salinity of the medium. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 32, Issue 4, pp. 775-783
Wada, S. and R.C. Lindsay. 1992. Occurence of The Green Aroma Compound, 1,5-Octadien-3-Hydroperoxide, in Stored Sardine Oil. Nippon Suisan Gakkaishi, Vol. 58, No. 6, p.1195
Walford, L.A. and C.C. Wilber .1955. The Sea as A Potential Source of Protein Food. Advances in Protein Chemistry, vol. 10, pp. 289 - 317
You, B.-J. and K.-H. Lee. 1990. Improving Functional Properties of Fish Meal Protein. Bulletin of Korean Fisheries Societies, Vol. 23, No. 5, pp. 401 - 406
Yu, S.Y. and L.K. Tan. 1992. Enzymic Solubilization of Proteins of Oreochromis mossambicus by Alkalase. Asean Food Journal, Vol. 7, No. 3, pp. 157 - 158
Zaldivar. 1991. Prime Fish Meal News. J. CHILE PESQ. No. 62, pp. 41 - 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar