Kamis, 10 Mei 2018

Bioekologi Udang Penaeidae


Daftar Isi


Bab I. Pakan Alami Penaeus

- Isi Perut Udang Penaeus indicus dan Penaeus merguiensis
- Pakan Alami Udang Penaeus esculentus dan Penaeus semisulcatus
- Pakan Alami Penaeus dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
- Kelangsungan Hidup Larva Penaeus orientalis Yang Diberi Pakan Alga Spirulina dan Chaetoceros
- Pakan Terbaik Bagi Udang Penaeus vannamei dan Penaues stylirostris

Bab II. Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

- Konsumsi Oksigen Metapenaeus monoceros Dalam Salinitas Yang Berbeda
- Ekologi, Pertumbuhan, Reproduksi dan Migrasi Metapenaeus mastersii
- Umur dan Pertumbuhan Metapenaeus monoceros
- Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Metapenaeus
- Biologi Reproduksi Metapenaeus dobsoni
- Merangsang Kematangan Ovari Metapenaeus ensis Dengan Progesteron
- Padat Penebaran dan Tingkat Pemberian Pakan Optimum Dalam Budidaya Udang Metapenaeus

Bab III. Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan

- Perangsangan Kematangan Ovari Penaeus vannamei Dengan Ekstrak Otak Lobster
- Hermaprodit Tak Normal Pada Udang Penaeus vannamei
- Budidaya Udang Penaeus vannamei Intensif Dalam Sistem Kolam Air Deras
- Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Yang Baik Bagi Pertumbuhan Penaeus vannamei
- Pengaruh Protein Hewani dan Nabati Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Penaeus vannamei

Bab IV. Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

- Tahap-Tahap dan Proses Ganti Kulit Krustasea
- Ganti Kulit Pada Udang Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus
- Konsentrasi Protein, Hormon Ecdysteroid dan Glukosa Dalam Darah Udang Selama Ganti Kulit
- Hubungan Molting dan Siklus Pemijahan Kepiting
- Perubahan Warna Cangkang Kepiting Akibat Molting
- Hormon Penghambat Molting

Bab V. Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae


Bab VI. Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

- Upaya Merangsang Kematangan Gonad Udang Windu Dengan Ablasi
- Perbaikan Prosedur Ablasi
- Pengaruh Ablasi Satu Tangkai Mata dan Dua Tangkai Mata Terhadap Molting dan Pertumbuhan
- Pengaruh Ablasi Unilateral dan Bilateral Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia
- Pengaruh Ablasi Terhadap Reproduksi, Biokimia dan Kelangsungan Hidup Larva Udang


Referensi

Bab I
Pakan Alami Penaeus


Isi Perut Udang Penaeus indicus dan Penaeus merguiensis

Pakan yang tidak tepat merupakan salah sebab kematian Penaeus. Informasi mengenai pakan alami udang dan karakteristik nutrisinya merupakan latar belakang yang penting dalam menyusun formula pakan buatan (Angsupanich et al., 1999).

Berangkat dari fakta bahwa ukuran udang budidaya paling besar hanya sepertiga dari ukuran udang laut liar, Hou dan Liang (1992) melakukan penelitian terhadap masalah ini. Mereka menyimpulkan bahwa pakan hidup dan segar mengandung sejenis enzim aktif yang memungkinkan udang bisa secara sempurna mengasimilasi zat-zat gizi yang ada di dalam pakan sehingga mempercepat pertumbuhannya.

Dalam habitat aslinya makanan Penaeus berupa organisme yang ada di dalam lingkungannya itu. Sebagai contoh, P. setiferus, merguiensis, indicus dan stylirostris yang menghuni perairan dekat pesisir memakan mikroorganisme bentik. (Longhurst and Pauly, 1987; Macnae, 1968). Demikian pula pakan alami P. indicus dan P. merguiensis di Teluk Tammalang, Thailand Selatan terdiri dari (berdasarkan frekuensi kejadian) 56-89 % bivalva, 44-83 % gastropoda, 16-71 % amfipoda, 4-29 % polikhaeta, 20-44 % foraminifera, 25-52 % jaringan tumbuhan dan 4-23 % diatom (Angsupanich et al., 1999).

Angsupanich et al.(1999) melaporkan bahwa Penaeus bersifat omnivora sampai kisaran tertentu meskipun beberapa spesies menunjukkan spesialisasi makanan. Dari penelitian terhadap 5 jenis penaeid Australia diusulkan agar udang penaeid digolongkan sebagai "pemakan detritus" atau "omnivora pemakan sisa-sisa mahluk hidup". Laporan lain menyebutkan bahwa P. indicus makan terutama krustasea seperti kopepoda, ostrakoda, amfipoda, dekapoda kecil dan larva-larvanya, sementara larva echinodermata, moluska, polikhaeta, juga hidroid, trematoda dan foraminifera kadang-kadang ditemukan dalam usus udang ini

Pakan Alami Udang Penaeus esculentus dan Penaeus semisulcatus

Wassenberg dan Hill (1987) melaporkan bahwa bivalva, gastropoda, ophiuroidea, krustasea dan polikhaeta merupakan makanan yang paling melimpah pada juvenil dan dewasa P. esculentus dan P. semisulcatus. Kedua peneliti ini juga menunjukkan bahwa perbedaan makanan udang disebabkan perbedaan ketersediaan makanan tertentu. P. esculentus lebih menyukai krustasea sebagai makanan daripada bivalva jika pilihan tersebut tersedia. Sedangkan juvenil spesies lainnya, P. japonicus, tampaknya merupakan karnivora oportunistik yang lebih menyukai makrobentos dan chironomid. Pada penelitian lain ditunjukkan bahwa P. setiferus dalam lingkungan mikronya lebih menyukai polikhaeta capitellidae daripada jenis makrobentos lainnya.

Pakan Alami Penaeus dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Larva P.monodon telah dipelihara dari zoea-1 (Z-1) sampai misis-3 (M-3) dengan menggunakan pakan dua jenis alga Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis chuii. Naupli Artemia ditambahkan pada kedua perlakuan untuk fase misis. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan berbeda nyata pada level 5 % selama hari kedua dan ketiga kultur, tetapi tidak berbeda nyata selama tahap misis dan akhir periode kultur 8-hari. Larva Z-3 dan M-3 yang diberi pakan C. calcitrans memiliki kandungan protein kasar lebih rendah tetapi lipidanya lebih tinggi daripada larva yag diberi T. chuii. Perbedaan kandungan karbohidrat terlihat pada larva M-3 (Tobias-Quinitio dan Villegas, 1982).

Berbagai spesies fitoplankton telah digunakan sebagai pakan dalam kultur larva penaeidae. Tobias-Quinitio dan Villegas (1982) melaporkan bahwa pertumbuhan larva P. setiferus dan P. aztecus lebih cepat dengan pakan Tetraselmis daripada dengan Skeletonema. Penggunaan diatom, Chaetoceros gracilis, sebagai pakan istimewa untuk P. stylirostris dan P.vannamei dari fase zoea sampai misis adalah efektif dalam memperoleh tingkat kelangsugan hidup 84,8 %. Genus fitoplankton lainnya seperti Isochrysis, Cylindrotheca, Phaeodactylum dan Nitzschia telah digunakan dalam kultur penaeidae. Beberapa jenis menghasilkan peningkatan kelangsugan hidup dan laju pertumbuhan larva, sedang jenis-jenis lainnya menyebabkan pertumbuhan yang baik tetapi tingkat kelangsungan hidupnya rendah, dan sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini mungkin disebabkan ukuran atau komposisi kimia sel alga.

Kelangsungan Hidup Larva Penaeus orientalis Yang Diberi Pakan Alga Spirulina dan Chaetoceros

Cao dan Xiang (1992) menggunakan Spirulina platensis sebagai satu-satunya pakan dalam kultur misis Penaeus orientalis. Chaetoceros muelleri dipakai sebagai pakan kontrol. Tingkat kelangsungan hidup larva udang yang diberi pakan S. platensis hanya 8,7 %, yang diberi pakan C. muelleri 28,7 % dan yang diberi pakan kedua jenis alga adalah 17,5 %. Kesimpulannya adalah bahwa S. platensis bukanlah pakan yang ideal bila digunakan sendirian untuk misis P. orientalis meskipun ia mengandung protein yang melimpah.

Pakan Terbaik Bagi Udang Penaeus vannamei dan Penaues stylirostris

Chamberlain dan Lawrence (1985) mempelajari pengaruh pemberian pakan berupa kerang, udang, cumi-cumi dan cacing serta campuran keempat jenis pakan terbebut terhadap pertumbuhan dan reproduksi Penaeus vannamei dan P. stylirostris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan campuran memberikan pengaruh paling baik, sedang cumi-cumi merupakan pakan tunggal terbaik, diikuti oleh udang, cacing dan kerang. Laju pertumbuhan udang yang diberi pakan campuran meningkat 4 - 7 kali lipat dibandingkan udang yang diberi pakan tunggal mana pun. Pemberian pakan campuran juga menyebabkan kematangan ovari dan pemijahan pada udang yang semula mendapat perlakuan tak produktif akibat pemberian pakan kerang saja.



Bab II
Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya


Konsumsi Oksigen Metapenaeus monoceros Dalam Salinitas Yang Berbeda

Rao (1958) mengamati konsumsi oksigen dalam hubungannya dengan salinitas medium pada populasi laut dan perairan payau udang Metapenaeus monoceros Fab. Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien regresi untuk konsumsi oksigen terhadap berat udang adalah tidak sama untuk media yang berbeda salinitasnya dan untuk kedua populasi. Pada kedua kelompok udang terjadi peningkatan konsumsi oksigen sejalan dengan penurunan salinitas medium di bawah salinitas habitatnya. Tetapi udang laut menunjukkan laju konsumsi oksigen yang lebih tinggi dalam medium 50 dan 25 % air laut dibandingkan dengan udang air payau. Sebaliknya, udang air payau menunjukkan laju konsumsi oksigen yang lebih tinggi dalam 100 % air laut dan dalam air keran. Diduga bahwa perbedaan-perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh (i) adaptasi osmotik, dan (ii) operasi mekanisme homeostatik metabolik dalam kaitannya dengan pengaturan osmotik.

Ekologi, Pertumbuhan, Reproduksi dan Migrasi Metapenaeus mastersii

Dall (1958) mempelajari ekologi, pertumbuhan dan tingkah laku Metapenaeus mastersii dari Sungai Brisbane. Tahap-tahap post larva lebih menyukai daerah hangat dan terlindung dengan hamparan alga melimpah dan salinitas di bawah 20 ‰. Kisaran toleransi salinitas untuk semua tahap perkembangan udang ini adalah dari hampir tawar sampai air laut, dan aktivitas menjadi minimum ketika suhu rata-rata turun menjadi 16 oC. Panjang karapas terbukti bisa menjadi alat ukur panjang total atau volume udang. Analisis distribusi frekuensi panjang tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengetahui laju pertumbuhan, namun menunjukkan migrasi ke arah hilir sejalan dengan pertumbuhan.

Berdasarkan laju pertumbuhan udang dalam tempat terkurung, umur saat matang kelamin diduga adalah 12 – 15 bulan dengan panjang karapas 16 mm untuk jantan dan 20 mm untuk betina (panjang total 76 dan 95 mm). Udang jantan kurang toleran terhadap salinitas rendah daripada udang betina, tetapi tidak bermigrasi terlalu jauh ke arah hilir. Fertilisasi terjadi di titik-titik jangkauan terjauh Sungai Brisbane, tetapi pemijahan berlangsung di luar daerah jangkauan sungai tersebut. Hubungan panjang-volume udang di atas panjang karapas 10 mm (panjang total 48 mm) tidak sesuai dengan kurva : volume = k x (panjang)3. Penyimpangan ini diduga disebabkan oleh karakteristik pertumbuhan selama musim dingin (Dall, 1958).

Umur dan Pertumbuhan Metapenaeus monoceros

Sudhakara Rao dan Krishnamoorthi (1990) menduga umur dan pertumbuhan Metapenaeus monoceros secara terpisah untuk jantan dan betina berdasarkan analisis frekuensi panjang, dengan menggunakan metode Ford-Walford dan von Bertalanfy. Panjang tak hingga (L∞) untuk udang jantan dan udang betina diduga adalah 178,4 mm dan 207,3 mm, berturut-turut. Nilai K diduga adalah 1,68 untuk jantan dan 1,62 untuk betina. Nilai t0 yang diduga dengan metode Gulland adalah 0,048 tahun dan 0,066 tahun untuk jantan dan betina, berturut-turut. Udang betina tumbuh lebih cepat dan mencapai panjang asimptotik tinggi dengan nilai K lebih rendah dibandingkan udang jantan. Panjang yang dicapai udang jantan dan betina berturut-turut adalah 95 mm dan 105 mm pada akhir 6 bulan, 142 mm dan 162 mm pada akhir 12 bulan serta 163 mm dan 187 mm pada akhir 18 bulan.

Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Metapenaeus

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa lebih dari 90 % produksi fitoplankton di estuaria tenggelam ke sedimen sebagai sel dan pelet tinja. Sedimen lapisan atas di dasar estuaria ini mengandung sangat banyak bahan organik. Metapenaeus yang memakan semata-mata material organik dalam sedimen tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat. Metapenaeus ensis di perairan Kuwait menunjukkan pertumbuhan yang berfluktuasi secara musiman. Pemijahan udang Metapenaeus ensis ini terjadi dalam dua gelombang per tahun; lama periode pemijahannya berbeda. Akibatnya, rekruitmen terjadi sebagai dua kohort, yang satu lebih kecil daripada yang lain.

Biologi Reproduksi Metapenaeus dobsoni

de Croos et al. (2011) mempelajari biologi reproduksi Metapenaeus dobsoni, spesies yang paling melimpah yang tertangkap pukat pantai di Sri Lanka, berdasarkan sampel yang dikumpulkan dari dua daerah penangkapan utama selama Januari 2009 sampai April 2010. Informasi ini penting untuk mengembangkan strategi manajemen sumber daya secara ilmiah, karena manajemen yang dilakukan saat ini hanya berdasarkan pengetahuan tradisional. Data yang diperoleh mencakup sex ratio, fekunditas, gonadosomatic index (% GSI), dan karakteristik morfometrik dalam kaitannya dengan kematangan gonad. Ukuran saat 50 % matang gonad (L 50 m) dan ukuran saat 50 % inseminasi (L 50 in) ditentukan untuk udang betina. Pada udang jantan, L 50 m ditentukan berdasarkan keberadaan spermatofor di dalam ampul terminal. Ditemukan adanya gametogenesis musiman yang serentak, dengan beberapa individu yang tidak serentak. Betina matang gonad ditemukan sepanjang tahun. GSI dan pengujian histologis menunjukkan musim pemijahan yang berkepanjangan pada Metapenaeus dobsoni, yang mencapai puncak pada bulan Agustus – Januari dan Maret. Sex ratio, yang didefinisikan sebagai perbandingan jumlah udang betina terhadap populasi total, meningkat secara stabil pada ukuran di atas 2,35 cm panjang karapas dan mencapai 100 % pada ukuran lebih dari 3,8 cm panjang karapas.

Merangsang Kematangan Ovari Metapenaeus ensis Dengan Progesteron

Yano (1985) merangsang kematangan ovari dan pemijahan pada udang Metapenaeus ensis dengan menggunakan hormon progesteron pada kondisi kultur tangki. Tahap perkembangan ovari yang lebih jauh, yaitu tahap III, IV dan V, terlihat setelah satu bulan pada udang yang disuntik progesteron (0,1 µg/gram berat badan) bila dibandingkan dengan udang kontrol yang diberi etanol murni 0,1 µg/gram berat badan yang hanya mengalami tahap perkembangan gonad awal, yaitu tahap II. Dua dari lima belas ekor udang betina yang disuntik progesteron memijah pada malam hari, 30 dan 31 hari setelah penyuntikan.

Padat Penebaran dan Tingkat Pemberian Pakan Optimum Dalam Budidaya Udang Metapenaeus

Maguire dan Leedow (1983) melakukan percobaan padat penebaran dalam 18 kurungan eksperimental yang ditempatkan pada sebuah kolam 0,11 hektar. Ketika padat penebaran meningkat dalam kisaran 6,1 - 21,2 udang/m2, pertumbuhan Metapenaeus macleayi berkurang sementara tingkat kelangsungan hidup tidak terpengaruh dan total panenan (biomas akhir) meningkat. Analisis ekonomi sederhana menunjukkan bahwa padat penebaran optimum untuk juvenil udang ini adalah 19,1 ekor/m2. Dalam percobaan yang sama, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan berupa pelet dengan kisaran tingkat pemberian pakan 0 – 12,5 % biomas udang per hari. Tingkat pemberian pakan optimum dari segi pertumbuhan adalah sekitar 5 % biomas per hari. Bagaimanapun, tingkat pemberian pakan optimum dari segi indeks pengembalian ekonomi adalah bervariasi tergantung pada biaya pakan.

Bab III
Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan


Perangsangan Kematangan Ovari Penaeus vannamei Dengan Ekstrak Otak Lobster

Yano dan Wyban (1992) melaporkan bahwa perangsangan kematangan ovari pada udang Penaeus vannamei, dengan menyuntikkan ekstrak otak dari lobster betina Homarus americanus, dengan ovarinya yang sedang berkembang, telah diteliti di bawah kondisi kultur tangki. Lima dari delapan betina yang disuntik esktrak otak menjadi matang gonad sedangkan hanya 2 dari 18 udang betina kontrol yang disuntik ganglion abdominal atau larutan garam menjadi matang gonad. Dua udang betina dengan tahap (Tingkat Kematangan Gonad) V telah ditemukan 17 hari setelah penyuntikkan ekstrak otak lobster. Ini menunjukkan bahwa kematangan ovari Penaeus vannamei di dalam tangki bisa dirangsang dan dipercepat dengan menyuntikkan esktrak otak dari betina spesies lain yang sedang matang gonad. Kematangan ovari bisa dirangsang oleh suatu hormon otak yang merangsang pelepasan “gonad-stimulating hormone” (GSH; hormon perangsang gonad) dari ganglion toracic. Jadi, “gonad-stimulating hormone-releasing hormone” (GSH-RH; hormon pelepas GSH) dinominasikan sebagai tipe hormon yang mungkin di dalam otak yang bertanggung jawab atas kematangan ovari pada udang ini.

Hermaprodit Tak Normal Pada Udang Penaeus vannamei

Farfante dan Robertson (1992) menemukan dua ekor udang Penaeus vannamei hermaprodit di antara sekelompok induk F4 di sebuah lokasi budidaya di Venezuela. Udang-udang ini merupakan penaeoid yang dilaporkan pertama kali memiliki thelycum, petasma, appendix masculina, ovari, testis dan lubang-lubang genital jantan maupun betina. Gonopore jantan dan betina adalah normal; thelyca mirip seperti pada betina normal; petasma dan appendix masculina berukuran lebih kecil dibandingkan normalnya dengan bentuk yang tidak khas; ovari dan testis mengalami banyak penyusutan, tetapi pengamatan histologis menunjukkan bahwa jaringan gonad tersebut secara khas adalah sama seperti pada udang normal. Tidak tampak adanya faktor-faktor yang merangsang pembentukan ciri seksual tak normal ini. Kejadian hermaprodit ini, mungkin berkaitan dengan kondisi selama budidaya udang tersebut di dalam wadah terkurung.

Budidaya Udang Penaeus vannamei Intensif Dalam Sistem Kolam Air Deras

Robertson et al. (1992) melakukan percobaan pertumbuhan udang Penaeus vannamei intensif selama 49 hari dalam kolam air deras seluas 70 m2 di dalam rumah kaca. Penaeus vannamei ditebarkan pada berat rata-rata 80 mg dan kepadatan 223 – 229 individu/m2). Udang tumbuh dengan laju rata-rata 0,94 sampai 1,19 gram/minggu. Mereka dipanen pada ukuran rata-rata 6,5 sampai 8,1 gram dengan produksi biomas mencapai 1,36 – 1,56 kg/m2 dan tingkat kelangsungan hidup berkisar dari 78 sampai 83 %. Ketika biomas meningkat, pengelolaan resirkulasi air dan pertukaran air lebih diintensifkan. Air laut diganti semula dengan laju 3 % per hari kemudian dinaikkan menjadi 400 % per hari selama minggu akhir penelitian. Walaupun percobaan ini dilakukan selama akhir musim semi di Texas ketika suhu air sekeliling pada pagi hari berkisar dari 18,3 sampai 28,3 oC, suhu dalam kolam air deras dipertahankan agar mencapai rata-rata suhu harian rendah 26,8 oC dan rata-rata suhu harian tinggi 29,8 oC. Udang yang dibudidayakan secara bersamaan dalam kolam luar-ruangan adalah lebih kecil (4,3 sampai 5,0 gram) dan pertumbuhannya lebih lambat (0,62 sampai 0,71 gram/minggu). Hasil yang diperoleh dalam percobaan ini menunjukkan bahwa juvenil yang lebih besar bisa diproduksi dan juga menunjukkan bahwa Penaeus vannamei bisa dibudidayakan dengan berhasil di dalam sistem intensif kolam air deras ini sampai ukuran yang bisa dipasarkan.

Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Yang Baik Bagi Pertumbuhan Penaeus vannamei

Robertson et al. (1993) melaporkan bahwa percobaan pertumbuhan intensif di kolam tanah menunjukkan bahwa pertumbuhan udang Penaeus vannamei meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi pemberian pakan dan memperkuat dugaan bahwa pemberian pakan pada siang hari menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pemberian pakan pada malam hari. Perbedaan pertumbuhan akibat frekuensi pemberian pakan adalah nyata, “instantaneous growth rate’ (IGR; laju pertumbuhan sesaat) meningkat dari 1,62 % sampai 1,66 % menjadi 1,71 % per hari ketika frekuensi pemberian pakan meningkat dari 1 sampai 2 menjadi 4 kali per 24 jam. Perbandingan nilai IGR antara udang yang diberi pakan pada malam hari (1,64 % per hari) dengan udang yang diberi pakan pada siang hari (1,68 % per hari) menunjukkan (P = 0,0633) bahwa pertumbuhan adalah lebih besar untuk udang yang diberi pakan pada siang hari dibandingkan udang yang diberi pakan pada malam hari. Tingkat kelangsungan hidup udang tidak berbeda nyata antar perlakuan frekuensi pemberian pakan, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan waktu pemberian pakan (siang atau malam) ; rata-rata tingkat kelangsungan hidupnya adalah 74,7 ± 6,1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penaeus vannamei yang dibudidayakan pada kondisi yang sama dengan kondisi percobaan ini sebaiknya diberi pakan sedikitnya 4 kali sehari, dan bahwa pemberian pakan pada siang hari adalah setidaknya sama baik dengan dan bahkan mungkin lebih disukai daripada pemberian pakan pada malam hari.

Pengaruh Protein Hewani dan Nabati Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Penaeus vannamei

Gong et al. (2012) melakukan sebuah percobaan selama delapan minggu untuk membandingkan penampilan dua galur genetika udang Penaeus vannamei, yaitu galur T dan galur G, yang diberi pakan dengan berbagai kadar dan sumber protein. Kedua galur berasal dari populasi yang sama tetapi telah mengalami seleksi genetik secara khusus selama lebih dari empat generasi. Galur T dikembangkan untuk memperoleh udang yang tumbuh cepat dan kebal terhadap penyakit virus sindrom Taura, sedang galur G dikembangkan untuk mendapatkan udang yang tumbuh cepat dan produksi tinggi pada kondisi padat penebaran tinggi. Lima perlakuan pakan diberikan : dua pakan komersial dan tiga pakan semi-murni (A, B dan C). Pakan semimurni diformulasikan agar memiliki kandungan energi tercerna yang sama. Pakan A mengandung 35 % protein kasar, yang dibuat dari tepung ikan laut (ikan 15% dan cumi-cumi 15%). Pakan C mengandung 35 % protein kasar tetapi protein asal-lautnya berkurang, yakni tepung ikan (11,5 %) dan tepung cumi-cumi (11,5 %). Pakan B mengandung protein kasar hanya 2 % tetapi kandungan protein asal-lautnya sama seperti pada pakan C. Dua jenis pakan udang komersial, yang mengandung protein 35 % dan 40 %, berfungsi sebagai pakan rujukan. Perlakuan pakan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Setiap tangki ditebari dengan 50 ekor udang yang diberi tanda (25 ekor galur T + 25 ekor galur G) dan 100 ekor udang tak bertanda, dengan berat awal rata-rata 10,4 gram pada kepadatan 107/m2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan secara nyata mempengaruhi pertumbuhan udang (P < 0,0001) tetapi tidak berinteraksi dengan galur udang. Udang yang diberi pakan A atau C tumbuh 25 % lebih cepat daripada udang yang diberi pakan B atau kedua jenis pakan komersial. Pakan A dan pakan C menghasilkan pertumbuhan yang sama (0,30 - 0,33 gram/hari) dan tingkat kelangsungan hidup yang sama (83 – 93 %) sampai mencapai ukuran panen 29 gram per udang; hal ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai yang menggantikan sebagian protein laut dalam pakan C dapat berfungsi sebagai sumber protein alternatif yang baik. Laju pertumbuhan dua galur udang adalah sama tanpa terpengaruh oleh sumber ataupun kadar protein pakan, tetapi kadar protein nabati dalam pakan tidak berinteraksi dengan galur udang bila diukur berdasarkan kelangsungan hidup : rata-rata kelangsungan hidup galur T lebih baik daripada galur G bila diberi pakan B, yakni pakan bernilai gizi rendah dengan kandungan protein 20 % dan tanpa protein nabati; tetapi hal ini tidak berlaku bila udang diberi pakan C, yang mengandung 35 % protein di mana 15 % di antaranya berasal dari protein nabati (kedelai). Analisis penanda mikrosatelit menunjukkan bahwa galur T dan galur G berkerabat sangat dekat dan berasal dari galur induk yang sama. Studi pendahuluan ini memberikan informasi yang bisa digunakan untuk studi lebih lanjut mengenai hubungan antara nutrisi pakan dan genetika serta untuk mengekplorasi potensi seleksi genetik guna meningkatkan efisiensi penggunaan protein nabati dalam budidaya udang (Gong et al., 2012).

Bab IV
Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting


Tahap-Tahap dan Proses Ganti Kulit Krustasea

Menurut Chan et al. (1988), dengan mengutip beberapa literatur, molting pada arthropoda mencakup tidak hanya proses ganti kulit, tetapi juga pembentukan kutikula/kulit baru, apolysis (pemisahan kutikula lama), pasca ganti kulit, dan pertumbuhan jaringan. Siklus dinamis ini bisa dibagi menjadi empat fase pada krustasea : (1) metecdysis (tahap A, B), periode segera setelah ecdysis; (2) anecdysis (tahap C), periode pertumbuhan jaringan dan penimbunan cadangan makanan; (3) proecdysis (tahap D), periode di mana terjadi perubahan-perubahan morfologis dan fisiologis secara aktif sebagai persiapan pergantian kulit dan (4) ecdysis (tahap E), pelepasan kutikula lama.

Beberapa metode telah digunakan untuk menentukan tahap molting pada krustasea. Metode-metode tersebut mencakup pengamatan histologis terhadap kulit, penentuan ukuran gastrolith (batu-perut) atau pereiopoda yang beregenerasi, dan penentuan perkembangan setae (struktur mirip rambut sikat) pada alat-gerak. Penentuan tahap molting berdasarkan kondisi setogenesis (pembentukan setae) pada alat gerak adalah cepat dan hanya menimbulkan luka kecil pada binatang, bahkan setelah sampling berulang. Setogenesis telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai kriteria untuk menentukan tahap molting pada sejumlah dekapoda, termasuk natantia, anomura dan macrura.

Ganti Kulit Pada Udang Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus

Robertson et al. (1987) menyatakan bahwa penentuan tahap molting mempunyai banyak penerapan dalam budidaya udang penaeidae sebagai prosedur rutin. Dengan menggunakan kriteria yang dikembangkan untuk berbagai jenis krustasea, sebuah metode cepat penentuan tahap molting telah diterapkan untuk udang dewasa Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus. Ciri yang paling berguna adalah derajat penarikan-kembali epidermis dari pangkal setae dan dari kutikula yang digabungkan dengan derajat perkembangan setae baru. Lama siklus molting Penaeus stylirostris adalah 11,5 ± 1,0 hari (N = 5) pada suhu 27 -29 oC. Tahap postmolt awal, postmolt akhir, intermolt, premolt awal dan premolt akhir mudah ditentukan. Untuk Penaeus stylirostris, lama postmolt adalah 27 % dari siklus; intermolt 17 % dan premolt 56 %. Panjang siklus molting Penaeus setiferus pada suhu 27 -29 oC. adalah 13,6 ± 1,0 hari (N = 21) dengan postmolt menempati 22 % dari siklus, intermolt 19 % dan premolt 59 %. Penaeus setiferus yang nukleus salah satu tangkai matanya disingkirkan mengalami siklus molting yang secara nyata lebih pendek daripada Penaeus setiferus utuh (11,7 ± 1,21 hari vs. 13,6 ± 1,02 hari, P < 0,05). Tidak ada perbedaan lama siklus molting antara jantan dan betina, baik yang nukleus tangkai matanya disingkirkan maupun yang tidak (P > 0,05).

Konsentrasi Protein, Hormon Ecdysteroid dan Glukosa Dalam Darah Udang Selama Ganti Kulit

Chan et al. (1988) mempelajari siklus molting pada juvenil Penaeus vannamei berdasarkan perubahan setae pleopod. Pola molting udang ini adalah diecdysis dengan periode intermolting yang relatif pendek (40 %) dan periode proecdysis yang lama (> 55 %). Konsentrasi total protein maupun ecdysteroid meningkat di dalam hemolimfa selama proecdysis, sedangkan konsentrasi glukosa hemolimfa adalah rendah pada tahap metecdysis dan proecdysis serta maksimal selama anecdysis. Sebagaimana ditunjukkan oleh SDS-PAGE, konsentrasi relatif dua polipeptida (32 kD; 175 kD) berubah selama siklus molting ini.

Chan et al. (1988) melakukan studi pustaka mengenai perangsangan molting dengan hormon. Molting bisa dirangsang pada krustasea dengan salah satu dari sekelompok hormon steroid yang disebut ecdysteroid. Konsentrasi hormon ini dalam hemolimfa selama siklus molting telah diukur pada beberapa dekapoda dengan menggunakan radioimuniesei. Pada kebanyakan kasus, konsentrasi ecdysteroid dalam hemolimfa meningkat tajam selama proecdysis; bagaimanapun, polanya bersifat spesifik-spesies. Parameter-parameter hemolimfa lain, seperti konsentrasi glukosa dan protein, juga mengalami perubahan bersiklus yang bersesuaian dengan tahap molting.

Hubungan Molting dan Siklus Pemijahan Kepiting

Kosuge (1993) mempelajari hubungan antara siklus molting dan siklus pemijahan pada kepiting ocypodidae penghuni-batu, Macrophthalmus boteltobagoe, di hamparan terumbu karang Horikawa, Pulau Okinawa, Jepang selatan. Sampling harian untuk mengumpulkan cangkang sisa molting dan kepiting betina dilakukan guna mempelajari siklus molting dan siklus pemijahan di alam. Kepiting betina dipelihara di laboratorium untuk mempelajari kombinasi antara kejadian molting dan pemijahan. Kebanyakan kepiting betina di populasi alam meletakan telur pada sekitar bulan baru, agar larvanya menetas sehari sebelum bulan purnama, dan molting beberapa hari setelah larva menetas. Di dalam wadah terkurung, bagaimanapun, terjadi pemijahan berurutan tanpa diselingi molting. Pada kepiting jantan dewasa, terjadi dua puncak molting per bulan, berlawanan dengan kepiting betina yang hanya menunjukkan satu puncak molting per bulan.

Perubahan Warna Cangkang Kepiting Akibat Molting

McGraw et al. (1992) melaporkan bahwa kepiting pantai Carcinus maenas menunjukkan satu kisaran warna karapas dari hijau, oranye sampai merah; kepiting bercangkang hijau menunjukkan beberapa perbedaan distribusi dengan kepiting bercangkang merah/oranye. Untuk menguji hipotesis bahwa perbedaan warna tersebut adalah berkaitan dengan molting (ganti kulit), sejumlah besar Carcinus telah dikumpulkan di daerah intertidal dan subtidal pada musim panas ketika molting paling banyak terjadi, dan tahap moltingnya ditentukan. Warna merah dan oranye ditemukan hanya pada kelas ukuran kepiting terbesar pada tahap intermoltng yang periodenya menjadi lebih lama, tetapi tidak hanya dijumpai pada kepiting-kepiting terbesar pada tahap anecdysis akhir. Kepiting merah dicirikan oleh lebih banyak epibion (organisme penempel) dan karapas kuat yang lebih tebal.

Hormon Penghambat Molting

Mattson dan Spaziani (1985), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa krustasea dan serangga mengalami pertumbuhan dengan secara periodik melepaskan cangkang/kulit dan pembentukan kembali rangka luar yang diikuti dengan pertumbuhan jaringan lunak. Pada serangga, sejenis neuropeptida otak (PTTH) merangsang kelenjar-kelenjar steroidogenic prothoracic untuk memproduksi precursor (bahan pokok) hormon molting, yaitu ecdyson . Pada krustasea dekapoda, organ-organ Y adalah sumber ecdyson yang kemudian diubah menjadi hormon molting yang secara biologis lebih aktif, yaitu 20-hidroksiekdison, dalam jaringan tepi.

Studi pencangkokan dan penyingkiran organ telah mengidentifikasi adanya sistem neuroendokrin pengendali molting pada krustasea yang melibatkan hormon yang diduga merupakan molt inhibiting hormone (MIH; hormon penghambat molting), yang dihasilkan oleh sekumpulan sel neurosekresi (organ X) di dalam ganglia tangkai mata dan disimpan di dalam axonal terminal (kelenjar sinus), yang menghambat organ Y. Dengan demikian pada dekapoda, penyingkiran tangkai mata menyebabkan peningkatan konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan molting prematur, sementara penyuntikan ekstrak tangkai mata, pencangkokan kelenjar sinus atau penyingkiran organ Y mengurangi konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan menghambat molting. Hasil-hasil tersebut berlawanan dengan PTTH pada sistem serangga. MIH secara langsung menghambat produksi ecdysteroid organ Y, proses molting dimulai lagi bila sekresi MIH berhenti atau berkurang.

Bab V
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae


Metode ablasi atau penghilangan tangkai mata dilakukan untuk merangsang produksi kuning telur udang betina. Operasi ini menghilangkan pusat neurohormon utama pada udang dan terutama menghilangkan sumber alami hormon penghambat kematangan gonad. Udang yang tangkai matanya diablasi akan berrespon terhadap operasi ini dengan melakukan perkembangan gonad secara cepat dan tak dapat dihentikan (Quackenbush, 1992).

Ablasi atau penghilangan tangkai mata pada udang mempercepat perkembangan gonad (Quackenbush, 1992). Selain itu ablasi juga merangsang ganti kulit dan pertumbuhan udang (Chakravarty, 1992). Hal ini menurut Koshio et al (1992) disebabkan oleh lebih efisiennya pemanfaatan energi. Pertumbuhan yang cepat akibat ablasi juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah makanan yang dicerna, efisiensi asimilasi dan konsumsi oksigen (Rosas et al., 1993).

Efek ablasi terhadap reproduksi udang akan lebih kuat bila kemudian udang dipelihara dengan menggunakan warna cahaya hijau (Honculada Primavera & Caballero, 1992). Pada percobaan dengan menggunakan warna cahaya hijau, ablasi meningkatkan jumlah total pemijahan, telur dan naupli sebanyak 14 sampai 17 kali dibandingkan bila udang dipelihara degan warna cahaya alami.

Selain mempengaruhi reproduksi, ablasi juga merangsang ganti kulit (molting) dan pertumbuhan udang. Menurut Chakravarty (1992) ablasi tangkai mata merangsang molting dan mempercepat pertumbuhan udang galah jantan Macrobrachium rosenbergii. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh 50 % individu untuk menyempurnakan molting tahap keempat adalah 114 hari pada udang yang tak diablasi (grup 1) , 72,5 hari pada udang yang diablasi satu tangkai matanya (grup 3), dan hanya 21 hari pada udang yang diablasi kedua tangkai matanya (grup 2). Laju pertumbuhannya adalah 9.,3 % pada grup 2, 26,4 % pada grup 3 dan 24 % pada grup 1. Mortalitas lebih tinggi pada grup 2 dibandingkan grup 3 atau pun grup 1. Tingginya mortalitas pada grup 2, yang kedua matanya diablasi, menunjukkan pentingnya penglihatan bagi kelangsungan hidup udang.

Okazaki dan Freeman pada tahun 1993 mempelajari pengaruh ablasi tangkai mata terhadap pertumbuhan otot udang pada tingkat seluler. Pengamatan mereka dilakukan pada larva dan dewasa udang rumput (Palaemonetes pugio). Penghilangan tangkai mata larva udang ini menyebabkan peningkatan molting yang berkisar 9-15 % dibandingkan larva tak diablasi yang hanya berkisar 7-10 %. Larva yang diablasi menunjukan “cell density” (kepadatan sel) pasca molting 12-25 % lebih rendah dibandingkan dengan larva yang tak diablasi. Lama siklus molting tidak berbeda antara larva percobaan dan kontrol. Ablasi tangkai mata pada udang dewasa menghasilkan peningkatan molting 6-13 % dibandingkan udang kontrol yang hanya 3-6 %. Udang dewasa tak bertangkai mata memiliki kepadatan sel pasca molting 12-26 % lebih rendah dan lama siklus molting 17-36 % lebih singkat dibandingkan udang tak diablasi. Udang dewasa yang kebih kecil menunjukkan perbedaan kepadatan sel setelah ablasi yang lebih tinggi daripada udang dewasa yang lebih besar.

Mengapa ablasi mendorong perumbuhan ? Koshio et al. (1992) melakukan penelitian pada lobster untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut mereka pertumbuhan yang cepat akibat ablasi tangkai mata juvenil lobster, Homarus americanus, bisa disebabkan oleh lebih efisiennya pemanfaatan energi seperti ditunjukkan oleh lebih rendahnya metabolisme makan, terutama efek kalorigenik makan dan lebih rendahnya ekskresi nitrogen dibandingkan pada lobster yang tidak diablasi. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan metabolisme standar antara juvenl lobster yang diablasi dan yang tidak diablasi. “Apparent digestibility” (daya cerna semu) bahan kering oleh lobster ablasi adalah lebih rendah daripada kontrol non ablasi bila diberi pakan berenergi rendah (rasio protein : energi tinggi) dan/atau pakan berkadar alfa-selulosa tinggi. Apparent digestibility untuk lipida menurun akibat ablasi tangkai mata, namun tidak ada pengaruh ablasi terhadap apparent digestibility untuk protein. Apparent digestibility untuk bahan kering dan energi menjadi lebih baik dengan meningkatnya kadar energi dalam pakan dan/atau menurunnya kadar alfa-selulsa pada lobster yang diablasi maupun yang tidak diablasi. Bagaimanapun, sementara apparent digestibility untuk protein dan lipida juga meningkat dengan meningkatnya kadar energi pakan pada lobster yang diablasi, pada lobster non ablasi apparent digestibility untuk protein relatif konstan dan apparent digestibility untuk lipida mencapai puncak ketika kadar energi dalam pakan sedang. Ketergantungan pemanfaatan energi terhadap protein mungkin lebh besar untuk lobster yang diablasi.

Pertumbuhan yang meningkat akibat ablasi juga disebabkan oleh meningkatnya metabolisme udang (Rosas et al., 1993). Ablasi meningkatkan jumlah makanan yang dicerna, efisiensi asimilasi dan konsumsi oksigen pada pink shrimp, Penaeus notialis . Hal ini tercermin dalam laju pertumbuhan yang dicapai. Ablasi tangkai mata udang betina meningkatkan lau respirasi dan penurunan tingkat metabolisme dibandingkan dengan udang yang tak diablasi. Peningkatan laju respirasi bisa berarti meningkatnya “physiological useful energy” (PUE; energi yang berguna secara fisiologis). Peningkatan energi ini selanjutnya akan mendorong pertumbuhan udang.

Bab VI
Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang


Upaya Merangsang Kematangan Gonad Udang Windu Dengan Ablasi

Singh (1987) melakukan percobaan pematangan ovari udang windu Penaeus monodon melalui ablasi tangkai mata di kolam air payau di daerah hilir Sundarban, Benggala Barat. Betina udang windu (bobot 100 gram atau lebih) yang belum matang gonad dan dibudidayakan dalam sebuah tambak (bhari) diablasi salah satu atau kedua tangkai matanya dan kemudian dipelihara bersama dengan udang jantan sehat matang gonad (bobot 80 gram atau lebih) pada jumlah yang sama di dalam karamba bambu (2,25 m x 2,25 m) di dalam tambak tersebut. Hewan uji diberi pakan dua kali sehari berupa cincangan daging udang penaeidae lain dan bivalva yang baru saja ditangkap dari lokasi tersebut. Kematangan gonad yang cepat dan diikuti oleh pemijahan terjadi dalam periode 10 – 21 hari setelah ablasi. Pelaksanaan ablasi sangat sesuai pada bulan-bulan musim kering Februari – Juli ketika penguapan air yang tinggi di perairan pantai dangkal mendorong peningkatan salinitas (26 – 32 ppt).

Perbaikan Prosedur Ablasi

Diarte-Plata et al. (2012) memperbaiki prosedur ablasi agar kurang menyakitkan untuk menghindari hilangnya hormon-hormon dari kelenjar sinus organ X pada udang galah Macrobrachium americanum dewasa. Tiga kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol dianalisis untuk menentukan tingkat stres yang diakibatkan oleh : (1) ablasi unilateral, (2) ablasi unilateral dan penutupan untuk memungkinkan penggumpalan, dan (3) penjahitan luka (ligation) pada pangkal tangkai mata. Setiap kelompok dibagi menjadi dua sub kelompok untuk menganalisis pengaruh perlakuan dengan dan tanpa xylocaine. Untuk udang jantan dan betina kelompok kontrol hanya dimanipulasi tetapi tidak diablasi. Trauma yang disebabkan oleh perlakuan pada Macrobrachium americanum tercermin oleh tingkah laku terkait rasa sakit, seperti menyabetkan ekor sebagai respon refleks untuk melarikan diri dan menggosok-gosokkan bagian tubuh yang sakit. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap lima jenis tingkah-laku. Empat jenis berkaitan langsung dengan rasa sakit dan ketidaknyamanan, yaitu tidak berlindung di tempat persembunyian, kehilangan orientasi, melompat mundur dan membungkuk. Jenis tingkah laku kelima, yaitu perilaku makan, berkaitan dengan gangguan hormon yang disebabkan oleh penyingkiran kelenjar sinus organ X. Variabel-variabel yang dipengaruhi secara langsung oleh perlakuan adalah pendarahan, penjahitan luka dan kondisi hormon. Perlakuan yang menimbulkan rangsangan negatif paling nyata adalah penjahitan luka.

Pada kelompok udang yang diberi perlakuan penjahitan luka, sebanyak 50 % lebih menunjukkan tingkah laku menyabetkan ekor, 90 % lebih menggosok-gosokkan anggota badannya, 50 % lebih mengalami disorientasi (kehilangan arah) dan 80 % lebih menunjukkan perilaku meloncat-mundur daripada udang dalam kelompok-kelompok lain. Ablasi tanpa penutupan luka untuk memungkinkan penggumpalan darah memberikan rangsangan negatif yang cukup nyata. Terakhir, perlakuan dengan rangsangan negatif paling kecil adalah perlakuan terhadap udang betina menggunakan obat bius dan ablasi dengan penutupan luka untuk memungkinkan penggumpalan darah. Sub kelompok ini menunjukkan hanya 20% lebih udang yang menyabetkan ekor dan 30% lebih udang yang menggosok-gosokkan badannya dibandingkan kelompok kontrol, dan hanya 30 % yang tidak bersembunyi. Udang-udang ini juga tidak menunjukkan gejala kehilangan-arah ataupun perilaku membungkuk (Diarte-Plata et al., 2012).

Pengaruh Ablasi Satu Tangkai Mata dan Dua Tangkai Mata Terhadap Molting dan Pertumbuhan

Venkitraman et al. (2004) melaporkan bahwa udang penaeidae Metapenaeus dobsoni dengan dua kisaran ukuran yang berbeda telah diablasi baik secara unilateral (salah satu tangkai mata) maupun bilateral (kedua tangkai mata) kemudian dipelajari secara individual. Udang unilateral mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang hampir sama seperti udang kontrol dalam kelompok ukuran 35 – 40 mm, tetapi mengkonsumsi makanan 57,8 % lebih banyak dibandingkan udang kontrol dalam kelompok ukuran yang lebih besar, 48 – 53 mm. Pertumbuhan dihitung berdasarkan perubahan panjang dan bobot badan; terlihat adanya variasi pertumbuhan yang nyata. Laju molting (ganti kulit) dan berat kering kulit sisa molting menunjukkan perbedaan yang nyata. Rata-rata periode intermolting meningkat dengan ablasi kedua. Berat kering kulit sisa molting pada setiap molting yang berturutan adalah menurun tanpa dipengaruhi oleh tingkat ablasi. Ablasi unilateral menghasilkan peningkatan berat kering sedangkan ablasi tangkai mata bilateral menghasilkan penurunan berat kering kulit sisa molting dan penurunan ini makin besar untuk setiap molting tahap berikutnya. Pada kelompok ukuran yang lebih besar, nilai “protein efficiency ration” (PER) adalah hampir sama dengan nilainya pada kelompok ukuran yang lebih kecil. Udang unilateral menunjukkan efisiensi konversi tertinggi. Laju produksi udang unilateral adalah 84 % lebih tinggi daripada kontrol sedangkan udang bilateral menunjukkan produksi negatif. Kecenderungan yang sama juga berlaku untuk efisiensi pertumbuhan neto.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ablasi tangkai mata unilateral dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi konversi. Ablasi tangkai mata harus sering dilakukan pada udang dewasa guna merangsang kematangan gonad. Untuk pertama kali, ablasi dilakukan dengan tujuan membandingkan pengaruh penyingkiran satu tangkai mata versus dua tangkai mata serta perubahan yang terjadi pada udang juvenil terutama dalam hal proses-proses fisiologis terkait pertumbuhan (Venkitraman et al., 2004).

Pengaruh Ablasi Unilateral dan Bilateral Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Nan et al. (1995) mempelajari pengaruh ablasi tangkai mata terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen pada udang windu Penaeus monodon selama periode 24 jam. Konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen adalah tinggi pada udang yang diablasi bilateral. Kedua variabel bernilai sedang pada udang yang diablasi unilateral, dan rendah pada udang utuh yang tak diablasi. Ablasi tangkai mata menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen, tetapi rasio O : N (berdasarkan atom) menurun, yang menunjukkan pergeseran dari metabolisme yang didominasi-lipida ke metabolisme yang didominasi-protein. Konsentrasi oksigen letal adalah rendah pada udang yang diablasi unilateral, nilainya sedang pada udang yang tak diablasi, dan tinggi pada udang yang diablasi bilateral. Waktu letal (lethal time) adalah paling lama pada udang yang tak diablasi, sedang pada udang yang diablasi unilateral dan paling singkat pada udang yang diablasi bilateral.

Pengaruh Ablasi Terhadap Reproduksi, Biokimia dan Kelangsungan Hidup Larva Udang

Palacios et al. (1999) menyimpulkan bahwa ablasi tangkai mata meningkatkan secara nyata hasil reproduktif udang Penaeidae, dan teknik ini banyak digunakan untuk memperoleh larva udang di hatchery komersial. Ablasi menyebabkan gangguan mekanisme endokrin pada udang pemijah, dan kualitas larva yang dihasilkan mungkin juga terpengaruh oleh percepatan kematangan gonad yang tak terkendali. Dalam penelitian ini, selama periode produksi di sebuah hatchery komersial, beberapa udang betina diablasi dengan memotong salah satu tangkai mata pada pangkalnya; udang yang tak diablasi dianalisis sebagai kontrol. Analisis mencakup penampilan reproduktif, karakteristik biokimia telur dan naupli, serta kelangsungan hidup larva. Selain itu, perubahan fisiologis jangka panjang yang mungkin terjadi pada udang pemijah dievaluasi dengan menggunakan pendekatan histologis dan biokimia. Jumlah udang betina pemijah atau tahap kematangan gonad udang pemijah juga dipertimbangkan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut Palacios et al. (1999) menyimpulkan bahwa udang yang diablasi lebih sering memijah (P < 0,01) dan memiliki indeks gonadosomatik yang lebih tinggi (P < 0,05) tetapi perolehan beratnya lebih rendah daripada udang kontrol yang tak diablasi (P < 0,05). Udang betina yang diablasi memiliki kadar hemosianin dalam limfa darah yang lebih rendah (P < 0,01) dan kadar glukosa dalam hepatopankreas yang lebih rendah (P < 0,05) tetapi kadar total karotenoid dalam hepatopankreasnya lebih tinggi (P < 0,05). Telur udang yang diablasi mengandung asilgliserida lebih banyak (P < 0,05). Ada beberapa perbedaan level biokimia dalam jaringan dan telur antara udang betina yang diablasi dan yang tak diablasi. Tak ada perbedaan dalam hal komposisi biokimia naupli ataupun tingkat kelangsungan hidup larva sampai memasuki tahap post larva 1 antara udang yang diablasi dan yang tak diablasi.

Referensi :



Angsupanich, S. S. Chiayvareesajja & A. Chandumpai. 1999. Stomach contents of the banana prawns (Penaeus indicus and P. merguiensis) in Tammalang Bay, Southern Thailand. Asian Fisheries Science vol. 12, pp. 257-265

Cao, S. and B. Xiang. 1992. Experimental studies on Spirulina platensis as food for mysis of Penaeus orientalis. MAR. SCI. Bul., Vol. 11, no. 1, pp. 28 - 31

Chakravarty, M.S. 1992. Effect of eyestalk ablation on moulting and growth in prawn Macrobrachium rosenbergii. Indian Journal of Marine Science, vol. 21, no. 4, pp. 287-289, ISSN 0379-5136.

Chamberlain, G.W. and A.L. Lawrence. 1985. Maturation, Reproduction, and Growth of Penaeus vannamei and P. stylirostris Fed Natural Diets. Journal of the World Mariculture Society. Vol. 12 Issue 1, Pages 207 - 224

Chan, S.-M., S.M. Rankin and L.L. Keeley. 1988. Characterization of The Molt Stages in Penaeus vannamei : Setogenesis and Hemolymph Levels of Total Protein, Ecdysteroids and Glucose. Biological Bulletin, Vol. 175, pp. 185 - 192

Dall, W. 1958. Observations on the Biology of the Greentail Prawn, Metapenaeus mastersii (Haswell) (Crustacea Decapoda: Penaeidae). Australian Journal of Marine and Freshwater Research, Vol. 9, No. 1, pp. 111 - 134

de Croos, M.D.S.T., S. Pálsson and R.M.G.N. Thilakarathna. 2011. Sex Ratios, Sexual Maturity, Fecundity, and Spawning Seasonality of Metapenaeus dobsoni off The Western Coastal Waters of Sri Lanka. Invertebrate Reproduction & Development, Vol. 55, Issue 2, pp. 110 – 123

Diarte-Plata, G., J.C. Sainz-Hernández, J.A. Aguiñaga-Cruz, J.A. Fierro-Coronado, A. Polanco-Torres and C. Puente-Palazuelos. 2012. Eyestalk Ablation Procedures to Minimize Pain in The Freshwater Prawn Macrobrachium americanum. Applied Animal Behaviour Science, Volume 140, Issues 3 - 4, pp. 172 – 178

Farfante, I.P. and L. Robertson. 1992. Hermaphroditism in The Penaeid Shrimp Penaeus vannamei (Crustacea : Decapoda : Penaeidae). Aquaculture, Vol. 103, No. 3 – 4, pp. 367 - 376

Gong,H., D. Jiang, F. Alig and A.L. Lawrence. 2012. Effects of Dietary Protein Level and Source on The Growth and Survival of Two Genetic Lines of Specific-Pathogen-Free Pacific White Shrimp, Penaeus vannamei. Aquaculture, Vol. 338 – 341, pp. 118 – 123

Honculada Primavera, J. & Caballero, R.M.V. 1992. Light color and ovarian maturation in unablated and ablated giant tiger prawn Penaeus monodon (Fabricius). Aquaculture, vol. 108, no. 3-4, pp. 247-256

Hou, W. and M. Liang (1992). Studies on the nutrients to influence prawns growth. Shandong Fish., no. 1, pp. 8 - 11

Koshio, S., Castell, J.D. dan O’Dor, R.K. 1992. The effect of different dietary energy levels in crab-protein-based diets on digestibility, oxygen consumption, and ammmonia excretion of bilaterally eyestalk-ablated and intact juvenil lobsters, Homarus americanus. Aquaculture, vol. 108, no. 3-4, pp. 285-297

Kosuge, T. 1993. Molting and Breeding Cycles of The Rock-Dwelling Ocypodid Crab Macrophthalmus boteltobagoe (Sakai, 1939) (Decapod, Brachyura). Crustaceana, Vol. 84, No. 1, pp. 56 - 65

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of tropical oceans. Academic Press, Inc. San Diego. 407 pp.

Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and frests in the Indo-west Pacific region. Adv. in Marine Biology, vol. 6, pp. 73-270

Maguire, G.B. and M.I. Leedow. 1983. A Study of The Optimum Stocking Density and Feed Rate for School Prawns Metapenaeus macleayi (Haswell) in Some Australian Brackish Water Farming Ponds. Aquaculture, Vol. 30, Issues 1 – 4, pp. 285 – 297

Mattson, M.P. and E. Spaziani. 1985. Characterization of Molt-Inhibiting Hormone (MIH) Action on Crustacean Y-Organ Segments and Dispersed Cells in Culture and a Bioassay for MIH Activity. The Journal of Experimental Zoology, Vol. 236, pp. 93 - 101

McGraw, I.J., M.J. Kaiser, E. Naylor and R.N. Hughes. 1992. Intraspecific Morphological Variation Related to The Moult-Cycle in Colour Forms of The Shore Crab Carcinus maenas. Journal of Zoology, Vol. 228, No. 2, pp. 351 – 359

Nan, F.-H., S.-S. Sheen, Y.-T. Cheng and S.-N. Chen. 1995. The Effects of Eyestalk Ablation on Oxygen Consumption and Ammonia-N Excretion of Juvenile Shrimp Penaeus monodon. Zoological Studies, Vol. 34, No. 4, pp. 265 – 269

Okazaki, R.K., & Freeman, J.A. 1993. Cell growth and cuticle expansion in eyestalk-ablated grass shrimp, Palaemonetes pugio Holthuis. Journal of Crustacean Biology, vol. 13, no. 1, pp. 125-133, ISSN 0278-0372

Palacios, E., D. Carrefio, M.C. Rodríguez-Jaramillo & I. S. Racotta. 1999. Effect of Eyestalk Ablation on Maturation, Larval Performance, and Biochemistry of White Pacific Shrimp, Penaeus vannamei, Broodstock. Journal of Applied Aquaculture, Vol. 9, Issue 3, pp. 1 - 23

Quackenbush, L.S. 1992. Yolk syntheasis in the marine shrimp, Penaeus vannamei. Comparative Bichemistry and Physiology, A, vol. 103 A, no. 4, pp 711-714

Rao, K.P. 1958. Oxygen Consumption as a Function of Size and Salinity in Metapenaeus monoceros Fab. From Marine and Brackish-Water Environments. Journal of Experimental Biology, Vol. 35, pp. 307 - 313

Robertson, L., T. Samocha, K. Gregg and A. Lawrence. 1992. Potencial de Engorda Postcriadero de Penaeus vannamei en un Sistema Intensivo Tipo “Raceway”. Ciencias Marinas, Vol. 18, No. 4, pp. 47 – 56

Robertson, L., A.L. Lawrence and F.L. Castille. 1993. Effect of Feeding Frequency and Feeding Time on Growth of Penaeus vannamei (Boone). Aquaculture and Fisheries Management, Vol. 24, No. 1, pp. 1 - 6

Robertson, L., W. Bray, J. Leung-Trujillo and A. Lawrence. 1987. Practical Molt Staging of Penaeus setiferus and Penaeus stylirostris. Journal of the World Aquaculture Society, Vol. 18, Issue 3, pp. 180 – 185

Rosas, C., Fernandez, I., Brito, R. & Diaz-Iglesia, E. 1993. The effect of eyestalk ablation on the energy balance of the pink shrimp, Penaeus notialis. Comparative Bichemistry and Physiology, A, vol. 104 A, no. 1, pp 183-187, ISSN 0300-9629

Sudhakara Rao, G. and B. Krishnamoorthi. 1990. Age and Growth of Metapenaeus monoceros (Fabricius) Along the Kakinada Coast. Journal of Marine Biology Association of India, Vol. 32, No. 1 – 2, pp. 154 – 161

Singh, H. 1987. Experiments on Induced Maturation and Spawning of Tiger Prawn (Penaeus monodon Fabricius) Through Eyestalk Ablation. CMFRI Bulletin-National Symposium on Research and Development in Marine Fisheries Sessions III & IV . Vol. 44, No. 2, pp. 355 – 358

Tobias-Quinitio, E. and C.T. Villegas. 1982. Growth, survival and macronutrient composition of Penaeus monodon Fabricius larvae fed with Chaetoceros calcitrans and Tetraselmis chuii. Aquaculture, vol. 29, no. 3-4, pp. 253-260

Venkitraman, P.R., K.V. Jayalakshmy, T. Balasubramanian, M. Nair and K.K.C. Nair. 2004. Effects of Eyestalk Ablation on Moulting and Growth of Penaeid Prawn Metapenaeus dobsoni (de Man). Indian Journal of Experimental Biology, vol. 42, No. 4, pp. 403 - 412

Wassenberg, T.J. and B.J. Hill. 1987. Natural diets of the tiger prawn Penaeus esculentus and P. semisulcatus. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, Vol. 38, pp. 169 - 182

Yano, I. 1985. Induced Ovarian Maturation and Spawning in Greasyback Shrimp, Metapenaeus ensis, by Progesterone. Aquaculture, Vol. 47, Issues 2 – 3, pp. 223 – 229

Yano, I. and J.A. Wyban. 1992. Induced Ovarian Maturation of Penaeus vannamei by Injection of Lobster Brain Extract. Bulletin National Research of Institute of Aquaculture, No. 21, pp. 1- 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar