Rabu, 09 Mei 2018

Pencemaran Perairan


Daftar Isi


Bab I. Pencemaran Perairan Pesisir

- Bahan Organik dan Limbah Industri Sebagai Polutan
- Limbah Pulp dan Kertas
- Limbah Industri Minyak
- Pencemaran Oleh Industri Pertambangan dan Industri Baja
- Komposisi Limbah Nuklir
- Efek Sinergis Antar Limbah
- Upaya Mengolah Limbah Sebelum Memasuki Perairan Pesisir

Bab II. Teknik Pencegahan dan Pemulihan Pencemaran Danau

- Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar
- Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau

Bab III. Upaya Mengatasi Eutrofikasi

- Pendekatan Ekologi Untuk Mengatasi Eutrofikasi
- Mengatasi Eutrofikasi Dengan Penutupan Sedimen dan Pengenceran Air
- Pengendapan Fosfor Menyebabkan Penundaan Eutrofikasi
- Efek Interaksi Ikan – Zat Hara Terhadap Eutrofikasi
- Manajemen Populasi Ikan Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Referensi

Bab I
Pencemaran Perairan Pesisir


Bahan Organik dan Limbah Industri Sebagai Polutan

Bahan organik meliputi satu kelompok besar yang secara kasar dibagi menjadi (1) bahan organik dapat-larut, yang mengalami oksidasi biologi dan cenderung menurunkan konsentrasi oksigen yang tersedia bagi organisme air, dan (2) bahan organik yang tidak mengalami oksidasi biologis dan merupakan penyebab khusus timbulnya bau, warna, buih, keracunan langsung, dan, mungkin, efek karsinogenik.

Seperti halnya kebanyakan bahan kimia lain, daya racun senyawa organik bervariasi, dan pengaruhnya terhadap lingkungan tergantung pada ketersediaan (kosentrasi)-nya. Di wilayah pesisir, di mana logam-logam trace elemen yang berasal dari alam maupun dari manusia dibawa air limpasan hingga berkumpul di sini; interaksi antara bahan organik dan logam-logam mungkin juga mempengaruhi daya racunnya. Dari 21 sumber pencemaran, sistem selokan perkotaan merupakan pembunuh utama ikan pada tahun 1971. Dari 74 ikan yang mati, kegiatan pertanian bertanggung jawab terhadap 1 juta, industri 4,6 juta, perkotaan 24,8 juta, transportasi 0,7 juta, lain-lain 7,3 juta dan tak diketahui 35,3 juta.

Industri kimia sangat luas dan secara umum dapat dipecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menghasilkan bahan kimia dasar seperti bahan kimia anorganik, asam, alkali dan garam. Kelompok kedua memproduksi bahan kimia intermediet seperti plastik, karet sintetis, lemak dan minyak. Kelompok ketiga memproduksi bahan kimia akhir seperti obat, kosmetik, sabun dan pestisida. Jelas bahwa setiap industri menghasilkan limbah cair beracun yang khas bagi industri tersebut atau juga bagi industri lainnya. Toksisitas suatu racun atau sekelompok racun sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Setiap industri menghasilkan limbah cair yang memiliki pengaruh potensial ataupun pengaruh nyata terhadap komunitas biota tertentu yang menerima limbah tersebut.

Limbah Pulp dan Kertas

Industri pulp dan kertas berpotensi dalam menyumbangkan berbagai bahan kimia ke daerah pesisir. Jenis dan jumlah racun bervariasi sesuai degan proses yang dialaminya. Selain limbah padat dan karbohidrat, yang dapat menurunkan konsentrasi oksigen sampai ke tingkat racun, logam-logam berat yang digunakan sebagai fungisida, asam dan basa yang dipakai untuk mengolah pulp (bubur kayu), klorin yang dipakai dalam proses pemutihan, serta bahan kimia lain ditemukan juga di dalam limbah industri ini. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa dari 1,9 trilyun galon air limbah yang dibuang setiap tahun oleh pabrik kertas, hanya 34 % yang diolah untuk mengurangi pengaruhnya terhadap perairan yang menerima limbah tersebut.

Limbah Industri Minyak

Industri minyak menghasilkan minyak dan padatan berlapis minyak. Selain itu, metode elektrik untuk menurunkan kadar garam secara kasar akan menghasilkan air limbah yang mengandung sulfida, padatan tersuspensi, fenol dan amonia – semua bahan ini umumnya terdapat pada suhu tinggi. Fraksionasi minyak kasar menghasilkan sulfida, klorida dan fenol. Proses pemecahan termal, proses hydrotreat (perlakuan dengan air), dan proses lain menghasilkan air limbah yang mengandung fenol, minyak, senyawa sulfur, amonia dan emulsi minyak yang stabil.

Pencemaran Oleh Industri Pertambangan dan Industri Baja

Tergantung pada jaraknya terhadap wilayah pesisir atau besarnya sungai yang mengalir melaluinya, penambangan permukaan tanah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pencemaran estuaria. Beberapa kegiatan memberi sumbangan yang lebih penting daripada kegiatan lainnya. Sebagai contoh, Bureau of Mines menduga bahwa selama periode tahun 1960 – 1963 lebih banyak limbah padat yang dihasilkan pada penambangan tembaga di Amerika Serikat daripada total material yang dihasilkan oleh berbagai jenis penambangan logam lainnya. Tipe pencemaran yang paling parah yang dihasilkan oleh penambangan permukaan tanah adalah buangan tambang asam. Hal ini paling sering terjadi pada industri batu bara di mana batu bara yang mengandung sulfur bercampur dengan air limpasan menghasilkan asam sulfat yang bersifat racun. Garam-garam logam tambang seperti seng , timah hitam, tembaga dan aluminium merupakan bentuk racun lain dan sangat berbahaya bagi biota air meskipun racun ini terdapat dalam jumlah kecil. Kategori lain meliputi debu besi berwarna kuning atau merah kotor yang berasal dari pertambangan logam atau batu bara.

Industri baja memperparah masalah air limbah; industri ini membuang limbah sebanyak 10.000 sampai 25.000 galon per menit. Limbah industri ini yang dihanyutkan air meliputi padatan tersuspensi, minyak, limbah panas, asam, larutan besi, bahan organik terlarut, logam dapat-larut, emulsi dan bahan kimia ampas batu bara.

Komposisi Limbah Nuklir

Racun yang secara aktual atau potensial berkaitan dengan operasi dan perawatan instalasi tenaga nuklir serta struktur menara pendingin meliputi : asam, akrolein, senyawa arsenik, amonia dan amin, boron, karbonat, klorin dan bromin, fenol berklorin dan/atau berfenil, kromat, sianurat dan sianida, senyawa hidrazin, hidroksida, logam dan garam-garam logam, nitrat dan nitrit, senyawa kalium, fosfat, silikat, sulfat, sulfida dan fluorida. Dampak klorin tidak boleh diperkirakan secara dugaan-kurang (under-estimation), terutama bila bahan ini ditemukan bersama-sama dengan senyawa amin dan senyawa lain yang dapat bereaksi membentuk senyawa turunan klorida yang berumur lebih panjang dan/atau lebih bersifat racun.

Efek Sinergis Antar Limbah

Kombinasi berbagai racun telah diuji pengaruhnya terhadap biota-biota pesisir, yang lebih banyak menghasilkan efek tambahan. Efek “sinergetik” (saling memperkuat) ini terlihat pada berbagai kombinasi logam-logam berat dan pada kombinasi tekanan-suhu-oksigen serta keracunan logam merkuri. Ada banyak efek sinergetik semacam ini, yang melibatkan kombinasi pestisida, deterjen, logam berat PCB, air limbah selokan dan limbah pabrik kertas, produk pabrik minyak, bahan radioaktif, limbah panas, serta kegiatan pengerukan-dan-penimbunan.

Upaya Mengolah Limbah Sebelum Memasuki Perairan Pesisir

Pembuangan DDT, PCB, herbisida dan limbah makanan sebenarnya merupakan masalah teknologis. Klorinolisis merupakan perlakuan kimia yang dilaporkan sangat berhasil dalam mengubah racun yang semula tak berharga menjadi karbon tetraklorida dalam jumlah besar dan memikiki nilai ekonomi tinggi.

Industri pulp dan kertas di Amerika Serikat memproduksi sekitar 60 juta ton per tahun. Biaya produksi yang dihitung berdasarkan air dan udara yang dipakai telah ditentukan melalui pendugaan, dan selama ini diusulkann untuk melakukan penghematan. Ada banyak cara untuk memanfaatkan limbah industri pulp dan kertas daripada membuang limbah tersebut ke wilayah pesisir atau perairan lainnya.

Informasi telah tersedia bagi administrator yang bertanggung jawab dalam mengontrol kualitas air. Yang menarik dalam manajemen pembuangn limbah air adalah publikasi yang dikeluarkan oleh Department of Army Corps of Engineer, yang memperkirakan keefektivan dan efek berbagai metode pembuangan limbah. Yang sangat membantu manajemen limbah di wilayah pesisir adalah publikasi yang dikeluarkan oleh National Academy of Sciences dan National Academy of Engineering. Ada laporan mengenai pembuangan limbah padat beracun yang menyediakan informasi tentang sejumlah masalah, mencakup cara yang tepat untuk menangani lumpur limbah dan pra-perlakuan untuk limbah padat beracun.

Meskipun teknologi daur ulang dan pengolahan limbah industri dan perkotaan akhir-akhir ini bertambah maju namun sangat sedikit pembuat keputusan yang menyadari atau berani menerapkan teknologi baru tersebut.

Pada tahun 1956 kota Miami mendirikan sebuah instalasi pengolah limbah yang mengolah 30 - 50 juta galon limbah per hari sebelum dibuang ke Teluk Biscayne Utara. Penelitan yang bertujuan mengetahui pengaruh biologis polusi limbah tersebut menunjukkan adanya perubahan penting yang membuktikan bahwa pengaruh limbah tersebut berkurang. Komunitas biologi dasar-lunak (lumpur) kurang terpengaruh oleh limbah ini daripada komunitas dasar-keras, di mana pengaruh limbah terhadap komunitas yang terakhir ini telah jauh berkurang.



Bab II
Teknik Pencegahan dan Pemulihan Pencemaran Danau


Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa saat ini ada banyak metode pemulihan danau. Pemilihan metode yang tepat merupakan salah satu masalah manajemen danau, masalah lainnya adalah penentuan kriteria pemilihan. Metode pemulihan danau dapat dikelompokkan menjadi dua kelas : (1) pengurangan beban masukan dari luar (misalnya pengolahan limbah cair), dan (2) perlakuan di dalam ekosistem danau (misalnya aerasi, penyingkiran lapisan atas sedimen dan lain-lain). Bagaimanapun, seringkali kedua macam metode ini harus dilakukan bersama-sama. Penerapan metode kelas ke-2 sering tidak membawa hasil bila tidak dibarengi dengan usaha pengurangan buangan limbah cair. Metode kelas ke-2 dapat dibagi lagi menjadi : (a) aerasi air, (b) pembalikan massa air hipolimnion, (c) pengendapan fosfor di dalam danau, (d) pengurangan konsentrasi biomas di dalam danau secara langsung, (e) aerasi sedimen, (f) penyingkiran sedimen, (g) penutupan sedimen dan (h) membiarkan air yang tak tercemar masuk ke dalam danau.

Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau

Jorgensen (1980) menjelaskan metode pemulihan danau dengan mencegah air tercemar memasuki perairan tersebut sehingga dapat mengurangi beban masukan bahan pencemar dari luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalirkan limbah ke ekosistem lain, misal ke laut, atau dengan menggunakan metode pengolahan limbah. Dari sudut pandang ekologis yang lebh global, cara pertama ini tidak menguntungkan karena pencemaran tidak dihilangkan melainkan hanya dipindahkan ke ekosistem lain di mana limbah tersebut kurang membahayakan keseimbangan ekologisnya. Bila limbah hanya mengandung sedikit bahan beracun, misalnya limbah domestik, cara tadi mungkin dapat dibenarkan karena ekosistem yang menerima limbah tersebut masih dapat mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Masuknya fosfor, sebagai contoh, ke ekosistem laut mungkin tidak berbahaya, tetapi sebelum memutuskan untuk membuang limbah berfosfor ke laut sebaiknya mempertimbangkan dulu dengan cermat semua dampak yang mungkin timbul.

Kerugian membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau adalah meningkatnya retention time (lama air tinggal di danau sebelum dialirkan keluar); hal ini bisa menyebabkan upaya pemulihan danau menjadi kurang berpengaruh. Selain itu, koordinasi pasokan air dan perencanaan pengelolaan air limbah tidak boleh dilupakan. Membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau berarti menutup sebuah sumber air mentah bagi danau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa membelokkan aliran limbah sehingga langsung masuk ke laut merupakan pilihan yang salah. Beberapa tahun setelah membuang limbah ke laut maka timbul pencemaran di laut meski danau masih bisa dimanfaatkan sebagai pemasok air (Jorgensen, 1980).

Bab III
Upaya Mengatasi Eutrofikasi


Pendekatan Ekologi Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Closs et al. (2004) menyatakan bahwa air danau yang jernih sering berubah warna menjadi coklat dan hanya sedikit cahaya yang bisa menembus dasar danau. Pada kondisi ini danau menunjukkan ciri-ciri terjadinya ledakan populasi alga : air danau tidak hanya berlumpur, tetapi juga berbau tak enak dan beracun bila diminum. Ledakan populasi alga terutama disebabkan oleh pasokan zat hara yang berlebihan. Alga membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk tumbuh. Pada banyak perairan, pasokan zat hara mungkin terbatas, apalagi bila daerah tangkapan airnya ditumbuhi hutan sehingga zat hara terikat kuat di dalam ekosistem darat.

Bagaimanapun, dalam sistem pertanian, petani sering menaburkan pupuk untuk menigkatkan hasil panen. Zat hara dalam pupuk yang tidak diserap tanaman pertanian akan tercuci dan masuk ke saluran air lokal. Binatang ternak, terutama sapi, bisa juga mendepositkan sejumlah besar urin dan tinja kaya-zat hara secara langsung ke sungai tempat mereka minum. Di daerah pedesaan, sisa-sisa tumbuhan dan tinja hewan peliharaan dihanyutkan oleh limpasan ar hujan dan masuk ke sungai sehingga menjadi sumber lain pasokan zat hara. Bila sungai-sungai tersebut masuk ke danau, zat hara yang terkandung di dalamnya akan tertimbun dan mengubah danau itu dari kondisi oligotrofik (zat hara sedikit, produktivitas rendah, air jernih) atau mesotrofik (zat hara agak banyak, produktivitas dan kejernihan air sedang) menjadi kondisi eutrofik (zat hara banyak, produktivitas primer tinggi, air keruh) (Closs et al., 2004).

Jika zat hara merupakan faktor kunci yang memicu ledakan populasi alga, maka strategi manajemen harus diarahkan untuk menghilangkannya. Zat hara yang masuk ke perairan dari satu titik (point source), misalnya mulut saluran pembuangan limbah, dapat dikendalikan dengan menghilangkan titik sumber itu. Sayangnya, zat hara seringkali masuk ke sistem perairan melalui sumber yang bersifat banyak-titik dan menyebar di seluruh daerah tangkapan air. Kontrol terhadap sumber pencemar seperti ini akan melibatkan manajemen daerah tangkapan air yang mencakup daerah daratan yang sangat luas. Tindakan manajemen ini meliputi penghijauan, pendidikan dan penghambatan proses pencucian zat hara dari tanah yang jenuh dengan pupuk; yang berarti bahwa pengendalian terhadap sumber zat hara yang bersifat banyak-titik ini akan memakan waktu puluhan tahun (Closs et al., 2004).

Mengatasi Eutrofikasi Dengan Penutupan Sedimen dan Pengenceran Air

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa eutrofikasi danau bisa dicegah dengan metode penutupan sedimen karena menghalangi pelepasan zat hara dari sedimen dasar danau ke dalam air. Penggunaan lembaran plastik, “fly ash” (abu terbang), pasir yang kaya besi, dan tanah liat bisa disarankan untuk mendukung metode ini. Penutupan sedimen dengan menggunakan tanah liat dilaporkan telah berhasil mengatasi eutrofikasi danau. Metode ini lebih murah daripada penyingkiran sedimen, tetapi ada kerugiannya, yaitu (1) peningkatan kualitas air bersifat sementara, dan (2) kondisi alami untuk fauna bentos berubah.

Jorgensen (1980) menambahkan bahwa selain penutupan sedimen, metode lain yang bisa diterapkan untuk memulihkan danau yang mengalami eutrofikasi adalah dengan membiarkan air yang tak tercemar memasuki danau. Dengan membiarkan air tak tercemar yang miskin zat hara masuk ke danau, maka air danau menjad encer dan sedimen tercuci keluar danau. Metode ini telah digunakan di Danau Snake, Wisconsin, dengan beberapa keberhasilan. Tumbuhan air Lemna lenyap seluruhnya dari danau, sementara konsentrasi zat hara tidak berkurang, mungkin karena pengaruh zat hara yang berpindah di dalam sedimen. Bagaimanapun, penelitan di laboratorium menunjukkan bahwa konsentrasi zat hara nantinya akan berkurang bila sedimen banyak yang tercuci keluar. Danau Green di Washington memberikan hasil yang lebih baik : konsentrasi zat hara berkurang, kejernihan air meningkat dan spesies alga hijau biru lenyap.

Pengendapan Fosfor Menyebabkan Penundaan Eutrofikasi

Tezuka (1992) menyatakan bahwa meskipun basin utama Danau Biwa, Jepang, perlahan-lahan mengalami eutrofikasi sejak awal abad ini, namun tingkat eutrofikasinya tidak begitu parah selama 24 tahun terakhir dari sudut pandang parameter-parameter fisika-kimia seperti kejernihan air, konsentrasi oksigen terlarut minimum di lapisan hipolimnion dan konsentrasi fosfor total dalam badan air. Padahal, beban fosfor eksternal di Danau Biwa cukup tinggi untuk menyebabkannya mengalami eutrofikasi secara cepat. Untuk mengetahui kontradiksi ini, telah dilakukan pengujian terhadap keseimbangan massa fosfor di Danau Biwa. Hasil penelitian menguatkan dugaan bahwa sedimentasi fosfor memainkan peranan menentukan dalam menunda eutrofikasi di danau ini.

Efek Interaksi Ikan – Zat Hara Terhadap Eutrofikasi

Lacroix dan Lescher-Moutoue (1991) melaporkan bahwa untuk menduga efek masing-masing dan efek interaksi beban zat hara dan kepadatan anak ikan cyprinidae terhadap eutrofikasi, percobaan in situ (di tempat) telah dilakukan selama musim panas di 30 kurungan (karamba) masing-masing bervolume 9,5 m3 di sebuah danau mesotrofik dangkal yang dicirikan oleh tingginya padat penebaran ikan dan sedikitnya spesies fitoplankton dan zooplankton. Di semua kurungan tanpa ikan, kejernihan air dengan cepat meningkat. Beban zat hara, sekalipun pada nilai tertnggi, tidak menyebabkan penurunan kualitas air apa pun secara nyata. Adanya ikan tampaknya merupakan prasyarat bagi kemunculan gejala-gejala eutrofikasi. Efek ikan dan efek interaksi ikan - zat hara sering sangat nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek interaksi antara kepadatan anak ikan cyprinidae dan beban zat hara bisa mempercepat eutrofikasi danau.

Manajemen Populasi Ikan Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Jagtman et al. (1988) dalam Densen et al. (1990) melaporkan bahwa eutrofikasi danau-danau dangkal (kedalaman 1 – 3 meter) di Belanda menyebabkan perubahan dramatis dalam hal struktur dan fungsi jaring-jaring makanan. Selama 25 tahun terakhir vegetasi tepi danau hilang akibat eutrofikasi. Bersamaan itu pula, habitat ikan pike (Esox lucius), yang merupakan predator penting, hilang. Akibatnya, ikan bream (Abramis brama) mencapai biomas yang sangat tinggi di kebanyakan danau-danau dangkal tersebut. Tampaknya bahwa berbagai upaya harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan danau. Manajemen stok ikan bisa menjadi penting dalam upaya pemulihan danau secara terpadu. Melimpahnya ikan bream, yang merupakan pemakan (zoo)plankton dan bentos, menyebabkan grazing (aktivitas memakan) alga oleh zooplankton menjadi rendah, dan air menjadi sangat keruh. Situasi ini bisa menghambat pemulihan danau meskipun masukan zat hara dari luar danau telah banyak dikurangi. Pengaturan terhadap populasi ikan bream dengan demikian berperan dalam mengatasi masalah eutrofikasi. Eksperimen biomanipulasi telah dimulai di danau-danau kecil di Belanda, yang diarahkan terutama untuk mengurangi populasi ikan bream dengan cara penangkapan dan memasukan ikan pemangsa. Manajemen stok ikan bersama dengan pengurangan beban zat hara dengan demikian bisa membantu mengatasi eutrofikasi dengan mengubah struktur jaring-jaring makanan yang menciptakan ekosistem yang lebih dikehendaki, yaitu ekosistem yang stabil dengan keanekaragaman yang tinggi.

Referensi :


Closs, G., B.J. Downes and A.J. Boulton. 2004. Freshwater Ecology : A Scientific Introduction. Blackwell Publishing. Oxford. 221 pp.

Jagtman, E., S.H. Hosper, M.-L. Meijer and E. van Donk. 1988. The Role of Fish Stock Management in The Control of Eutrophication in Shallow Lakes in The Netherlands in Densen, W.L.T. van, B. Steinmetz and R.H. Hughes. (Eds.). 1990. Management of Freshwater Fisheries. Pudoc, Wageningen. Netherlands. pp. 328 - 343

Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management. Pergamon Press. Oxford. 167 pp.

Lacroix, G. and F. Lescher-Moutoue. 1991. Interaction Effects of Nutrient Loading and Density of Young-of-The-Year Cyprinidae on Eutrophication in A Shallow Lake : An Experimental Mesocosm Study. Memorie dell' Istituto Italiano di Idrobiologia, Vol. 48, pp. 53 – 74

Lincer, J.L. and M.E. Haynes. 1976. The Ecological Impact of Synthetic Organic Compounds on Estuarine Ecosystems. USEPA, Washington. 354 pp.

Tezuka, Y. 1992. Recent Trend in The Eutrophication of The North Basin of Lake Biwa. Japan Journal of Limnology, Vol. 53, No. 2, pp. 139 - 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar