Sabtu, 26 Mei 2018

Teknologi Pengolahan Ikan


Daftar Isi



Bab I. Anggur Untuk Mengawetkan Produk Perikanan

- Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Buah Anggur
- Efek Antimikroba dan Antioksidan Biji Anggur Dalam Produk Perikanan
- Serat Anggur Menunda Oksidasi Lipida Dalam Daging Ikan Cincang
- Pemanfaatan Ampas Anggur Untuk Mengawetkan Ikan
- Minyak Esensial Dari Biji Anggur Untuk Memperbaiki Mutu Ikan Beku
- Menunda Oksidasi Lipida Selama Penyimpanan Ikan Beku Dengan Antioksidan Asal Anggur
- Peranan Ekstrak Anggur Dalam Mempertahankan Konsentrasi Antioksidan Endogen Yang Ada Dalam Daging Ikan Cincang dan Filet Ikan

Bab II. Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan

- Pemanfaatan Jahe-Jahean Sebagai Antioksidan
- Glutation Peroksidase, Antioksidan Dalam Otot dan Kulit Ikan
- Antioksidan Alami Mengurangi Kerusakan Lensa Mata Ikan Akibat Radiasi
- Keunggulan Cengkeh Sebagai Antioksidan Untuk Ikan Beku
- Asam Kafein Sebagai Antioksidan Untuk Produk Daging Ikan Cincang
- Ekstrak Alga Merah Menghambat Oksidasi Asam Linoleat dan Minyak Ikan
- Efek Antioksidan Yang Bersifat Saling Menguatkan Antara Tokoferol dan Askorbat

Bab III. Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

- Pengasinan Mengurangi Daya Racun Telur Ikan Buntal
- Garam Dapur Memperbaiki Mutu dan Daya Awet Udang Goreng
- Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Nitrogen Pada Filet Ikan
- Garam Untuk Mengendalikan Serangan Larva Lalat Pada Ikan Olahan
- Pengaruh Garam Dapur Terhadap Kekuatan Gel Surimi
- Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Protein Serabut Otot Ikan Asin

Bab IV. Pengawetan Ikan Dengan Es

- Teknik Pendinginan Produk Perikanan
- Kemunduran Mutu Ikan Akibat Kesalahan Prosedur Pengesan
- Pengaruh Penundaan Pengesan Terhadap Mutu Ikan Kaleng
- Rasio Terbaik Chilled Sea Water
- Perbedaan Umur Penyimpanan Dalam Es Akibat Perbedaan Spesies Ikan

Bab V. Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan

- Pendinginan Ikan
- Daya Awet Ikan Tengiri Selama Pengesan
- Pendugaan Daya Awet Ikan Yang Disimpan Dalam Es
- Pendugaan Lama Penyimpanan Ikan Dalam Es Berdasarkan Degradasi Nukleotida
- Keunggulan Es Kering Sebagai Pengawet Ikan Jangka Pendek
- Perubahan Komposisi Bakteri Selama Pendinginan


Referensi

Bab I
Anggur Untuk Mengawetkan Produk Perikanan


Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Buah Anggur

Choi et al. (1990) mempelajari aktivitas antimikroba “grapefruit seed extract” (GFSE, ekstrak biji buah anggur). Aktivitas antimikroba GFSE cukup kuat melawan bakteri-bakteri seperti Vibrio vulnificus, Vibrio fluvialis, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Serratia sp. Pertumbuhan galur-galur bakteri di atas dihambat oleh GFSE berkonsentrasi 50 ppm. Pertumbuhan Vibrio vulnificus sama sekali dihambat oleh penambahan 50 ppm GFSE ke medium zat hara dengan 3 % NaCl. Jumlah sel Vibrio vulnificus 5,2 x 105 pada awal percobaan di dalam 5 % susu skim yang mengandung GFSE berkonsentrasi 0, 10, 30, 50 dan 100 ppm berkurang menjadi 35, 48, 5,6 dan 9,6 x 103 setelah 120 jam, berturut-turut. Pertumbuhan Aspergillus parasiticus, Aspergillus versicolor, Penicillium funiculosum, Pyrenochaeta terrestris dan Trichoderma viride dihambat oleh GFSE pada konsentrasi 100, 50, 100, 10 dan 30 ppm, berturut-turut. Daya awet bahan makanan (dalam hal ini, mulkimchi) yang mengandung GFSE 50 dan 100 ppm adalah 20 hari lebih lama daripada kontrol selama penyimpanan pada suhu 5 oC dan 20 oC.

Efek Antimikroba dan Antioksidan Biji Anggur Dalam Produk Perikanan

Cho et al. (1990) meneliti aktivitas antimikroba dan antioksidan “grapefruit seed extract” (GFSE) untuk penanganan dan pengolahan produk perikanan. Keefektivan GFSE diuji terhadap ikan sardin, tengiri dan udang yang dibagi menjadi enam kelompok untuk setiap produk perikanan : kontrol (tanpa perlakuan) dan 5 sampel yang diberi GFSE. Sampel diinokulasi dengan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 oC dalam medium dextrosetryptone kemudian disiapkan untuk analisis mikrobiologis dan kimiawi serta uji organoleptik. Hasil analisis bakteriologis dengan GFSE (250 ppm) menunjukkan penurunan jumlah bakteri total dari 1,8 x 106 menjadi 2,0 x 104, dari 1,9 x 106 menjadi 1,8 x 104 dan 1,6 x 106 menjadi 2,7 x 103 untuk sardin, tengiri dan udang, berturut-turut. Efek antioksidan GFSE berkonsentrasi 500 ppm dalam produk perikanan adalah nyata. Hasil uji terhadap parameter-parameter organoleptik untuk sampel yang diberi berbagai konsentrasi GFSE menunjukkan pengaruh nyata GFSE terhadap penampilan, bau dan tekstur produk perikanan di mana GFSE berkonsentrasi 500 ppm memberikan nilai terbaik bila dibandingkan dengan setiap kontrol.

Serat Anggur Menunda Oksidasi Lipida Dalam Daging Ikan Cincang

Sánchez-Alonso et al. (2007) mempelajari pengaruh penambahan “grape anti-oxidant dietary fibre” (GADF, serat pangan antioksidan anggur) terhadap stabilitas lipida pada daging ikan cincang selama penyimpanan beku (6 bulan). Konsentrasi GADF 0 %, 2 % dan 4 % ditambahkan pada sampel daging ikan cincang. Analisis dilakukan segera setelah sampel disiapkan serta selama dan setelah penyimpanan pada suhu -20 °C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan serat anggur merah sangat menunda oksidasi lipida dalam cincangan daging ikan horse mackerel selama 3 bulan pertama penyimpanan beku.

Pemanfaatan Ampas Anggur Untuk Mengawetkan Ikan

Sánchez-Alonso et al. (2008) melaporkan bahwa “white grape antioxidant dietary fibre” (WGDF, serat pangan antioksidan anggur putih) telah diperoleh dari ampas anggur putih (Vitis vinifera, var. Airén) sisa pembuatan anggur. Kapasitas antioksidan WGDF ditentukan di dalam cincangan daging ikan selama penyimpanan beku. Konsentrasi WGDF 0 %, 2 % dan 4 % ditambahkan ke sampel daging ikan cincang. Analisis dilakukan segera setelah sampel disiapkan dan selama 6 bulan penyimpanan pada suhu -20 °C. Penambahan “white grape dietary fibre” (serat pangan anggur putih) menunda oksidasi lipida dalam cincangan daging ikan horse mackerel selama penyimpanan beku. Pengemasan hampa udara sampel dengan 2 % WGDF meningkatkan secara nyata sifat-sifat antioksidan WGDF.

Minyak Esensial Dari Biji Anggur Untuk Memperbaiki Mutu Ikan Beku

Erkan dan Bilen (2010) menguji efek minyak esensial dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan terhadap oksidasi lipida dan beberapa parameter kualitas ikan chub mackerel (Scomber japonicus) beku selama penyimpanan beku pada suhu -20 °C selama periode 11 bulan. Minyak esensial yang diuji berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai berikut: daun bay, thyme, rosemary, jeruk, biji black (sejenis kacang), sage, biji anggur dan biji rami. Rasa, bau, tekstur dan total penerimaan produk untuk sampel kontrol adalah tidak diterima setelah 6 bulan. Berdasarkan terutama pada data inderawi, daya awet ikan chub mackerel beku adalah 6 bulan untuk sampel yang ditangani dengan minyak thyme, rosemary, biji black, sage dan jeruk, serta 7 bulan untuk sampel yang ditangani dengan minyak daun bay, biji anggur dan biji rami. Selama 11 bulan proses penyimpanan ikan chub mackerel, nilai pH, “total volatile basic nitrogen (TVB-N)”, trimetilamin nitrogen (TMA-N), baik pada kontrol maupun sampel yang ditangani dengan minyak tumbuhan tersebut, tidak mencapai tingkat pembusukan. Nilai-nilai “thiobarbitüric acid (TBA)” dan “free fatty acid (FFA, asam lemak bebas) untuk semua perlakuan selalu di bawah nilai-nilai TBA dan FFA sampel kontrol selama periode penyimpanan 11 bulan. Lebih khusus, perlakuan dengan minyak thyme adalah efektif dalam menunda oksidasi lipida.

Menunda Oksidasi Lipida Selama Penyimpanan Ikan Beku Dengan Antioksidan Asal Anggur

Pazos et al. (2005) menyatakan bahwa ikan berlemak mengandung lipida tak jenuh yang menyebabkan kemunduran mutu ikan tersebut berkaitan dengan fenomena tengik. Selama penyimpanan dan pengolahan ikan berlemak, flavor tak enak dengan mudah dihasilkan oleh oksidasi asam lemak poli-tak-jenuh (PUFA). Di dalam tubuhnya, ikan berlemak mengandung sistem antioksidan yang menstabilkan tingginya kandungan lipida tak jenuh. Sistem antioksidan endogen ini mencakup senyawa-senyawa, yang dapat “memakan” radikal bebas, dan enzim-enzim, yang dapat menyingkirkan spesies oksigen reaktif seperti radikal superoksida, hidrogen peroksida dan lipida peroksida. Antioksidan utama yang bersifat lipofilik (suka-lemak) dalam tubuh ikan adalah α-tokoferol, ubiquinon dan karotenoid. Glutation dan askorbat merupakan senyawa hidrofil (suka-air) yang berpotensi sebagai antioksidan. Pada kondisi pasca kematian, antioksidan-antioksidan endogen ini dikonsumsi secara berurutan dan konsentrasinya berkurang sejalan dengan proses oksidasi. Beberapa polifenol alami efektif dalam mencegah tengik pada daging ikan. Di antara antioksidan ini, “oligomeric catechin” anggur (prosianidin) sangat efektif dalam menunda oksidasi lipida pada daging ikan cincang selama penyimpanan beku.

Peranan Ekstrak Anggur Dalam Mempertahankan Konsentrasi Antioksidan Endogen Yang Ada Dalam Daging Ikan Cincang dan Filet Ikan

Pazos et al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak fenol yang diperoleh dari hasil samping anggur (Vitis vinifera) dan fraksi prosianidin murni dari ekstrak fenol tersebut telah diteliti dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi antioksidan endogen dalam tubuh ikan berlemak selama penyimpanan beku. Antioksidan endogen yang diamati adalah α-tokoferol, ubiquinon-10 dan total glutation. Ekstrak fenol dan fraksi murni ditambahkan ke daging ikan dengan konsentrasi 0,01 % (berat/berat). Polifenol anggur dibandingkan dengan propil galat, sejenis antioksidan sintetis. Senyawa-senyawa eksogen ditambahkan ke daging cincang ikan αtenggiri (Scomber scombrus) dan filet ikan horse mackerel (Trachurus trachurus) sebelum dibekukan pada suhu -10 oC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa polifenol anggur dan propil galat menghambat penurunan konsentrasi α-tokoferol, ubiquinon-10 dan total glutation yang ada di dalam jaringan tubuh ikan. Polifenol anggur dan propil galat menunjukkan efisiensi yang sama dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi ubiquinon, baik pada ikan cincang maupun filet, dan dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi total glutation pada daging ikan cincang. Total glutation dalam filet ikan dipertahankan dengan lebih baik oleh propil galat daripada oleh polifenol anggur. Antioksidan endogen yang lebih efisien dipertahankan konsentrasinya oleh polifenol anggur dan propil galat adalah α-tokoferol. Penurunan konsentrasi α-tokoferol berkorelasi sangat kuat dengan evolusi oksidasi lipida. Proses oksidasi lipida terhambat, sementara konsentrasi α-tokoferol tidak berkurang sampai tingkat kritis.

Bab II
Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan


Pemanfaatan Jahe-Jahean Sebagai Antioksidan

Jitoe et al. (1992) menyatakan bahwa antioksidan, yang merupakan penghambat peroksida lipida, penting tidak hanya untuk mengawetkan makanan tetapi juga untuk mempertahankan sel-sel hidup dari kerusakan oksidatif. Meskipun industri makanan telah menggunakan antioksidan sintetis yang efektif, namun akhir-akhir ini konsumen lebih menyukai antioksidan alami daripada antioksidan sintetis dengan alasan senyawa alami lebih aman. Banyak peneliti telah menemukan berbagai tipe antioksidan di dalam berbagai jenis tumbuhan. Banyak peneliti tertarik pada jahe-jahean sebagai sumber baru antioksidan alami karena kebanyakan rizoma jahe telah lama dipakai sebagai bumbu di daerah-daerah tropis dan bumbu ini merupakan bahan aditif makanan alami yang telah mantap sebagai bagian makanan khas masyarakat. Rizoma dari salah satu spesies jahe terkenal, Zingiber officinale, telah lama diketahui memiliki potensi antioksidan, dan senyawa antioksidannya telah berhasil diisolasi. Di negara-negara tropis, banyak jenis jahe dibudidayakan dan dimanfaatkan tidak hanya sebagai obat tradisional tetapi juga sebagai bumbu.

Jitoe et al. (1992) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan meningkat dalam urutan Phaeomeria heyneana < Phaeomeria speciosa < Curcuma aeruginosa < Amomum kepulaga < Curcuma mangga < Zingiber cassumunar < Curcuma xanthorrhiza < Alpinia galanga < Curcuma domestica. Lebih khusus, aktivitas ekstrak Curcuma domestica, Alpinia galanga dan Curcuma xanthorrhiza lebih kuat daripada α-tokoferol. Ekstrak Curcuma aeruginosa, C.mangga, A. kepulaga dan Zingiber cassumunar menunjukkan aktivitas antioksidan tingkat sedang, yang sedikit lebih rendah daripada α-tokoferol. Perlu diperhatikan bahwa sebagian rizoma jahe-jahean tersebut mengandung sejumlah besar minyak esensial yang meningkatkan nilai peroksida.

Glutation Peroksidase, Antioksidan Dalam Otot dan Kulit Ikan

Nakano et al. (1992) mendeteksi aktivitas glutation peroksidase (GSH-Px) di dalam jaringan otot dan kulit dari beberapa spesies ikan. Glutation peroksidase otot menunjukkan pH optimum 8,0 untuk salmon dan 8,5 untuk ikan karper. Stabilitas enzim otot salmon meningkat dengan adanya glutation tereduksi (GSH), tetapi berkurang cukup banyak dengan adanya tert-butilhidroperoksida. Bila filet ikan salmon disimpan pada suhu -50 oC, aktivitas glutation peroksidase meningkat perlahan selama penyimpanan. Glutation peroksidase otot ikan menunjukkan potensi untuk mencegah pembusukan oskidatif dalam otot selama penyimpanan dan pengolahan.

Antioksidan Alami Mengurangi Kerusakan Lensa Mata Ikan Akibat Radiasi

Zigman et al. (1992) meneliti kemampuan beberapa antioksidan alami dalam melindungi F-aktin sel epitel lensa mata ikan dari kerusakan akibat sinar ultra violet. Antioksidan alami berkonsentrasi rendah ditambahkan ke media inkubasi (larutan Ringer elasmobranchii) di mana lensa mata ikan cucut anjing (Mustelus canis) disimpan dalam kondisi ada dan tidak ada radiasi dekat-UVA selama 14 jam. Pada radiasi 1,5 mW/cm2, lensa menerima energi sebesar 63 J/cm2 energi UV-A.

Keunggulan Cengkeh Sebagai Antioksidan Untuk Ikan Beku

Joseph et al. (1992) mempelajari karakteristik ikan cincangan yang disimpan beku dengan berbagai konsentrasi cengkeh, kayu manis dan lada. Cengkeh diketahui memiliki pengaruh antioksidan yang kuat. Sejalan dengan peningkatan konsentrasi rempah-rempah terjadi peningkatan stabilitas penyimpanan beku. Konsentrasi cengkeh dan lada yang lebih tinggi (0,2 %) tidak terasa dalam uji rasa. Tidak ada nilai-nilai TBA yang mantap dan sesuai yang diperoleh untuk sampel-sampel yang diberi kayu manis dan lada sedangkan cengkeh memberikan hasil yang baik.

Asam Kafein Sebagai Antioksidan Untuk Produk Daging Ikan Cincang

Sanchez-Alonso et al. (2011) mempelajari keefektivan antioksidan “caffeic acid” (asam kafein) yang ditambahkan pada cincangan daging ikan dengan atau tanpa serat gandum pangan. Serat gandum pangan menunjukkan efek prooksidan yang nyata pada cincangan daging ikan selama penyimpanan-dingin yang secara nyata dihambat dengan adanya 100 mg/kg caffeic acid. Pada sampel yang mengandung caffeic acid dan serat gandum pangan, oksidasi lipida sama sekali terhambat setelah 10 hari. Hasil yang diperoleh dari analisis profil tekstur menunjukkan bahwa penambahan serat gandum pangan dengan atau tanpa caffeic acid menurunkan parameter-parameter analisis profil tekstur. Caffeic acid tidak mengubah kapasitas pengikatan-air. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa caffeic acid bisa digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk olahan daging ikan cincang yang diberi serat gandum pangan.

Ekstrak Alga Merah Menghambat Oksidasi Asam Linoleat dan Minyak Ikan

Athukorala et al. (2003) mengevaluasi aktivitas antioksidan ekstrak sejenis alga merah laut (Grateloupia filicina) dalam asam linoleat dan minyak ikan. Stabilitas oksidatif minyak ini dievaluasi dengan percobaan “peroxide value” (PV), “2-thiobarbituric acid reactive substances” (TBARS), “conjugated diene” (CD) dan percobaan perolehan berat. Ekstrak alga ditambahkan ke dalam asam linoleat dan minyak ikan pada konsentrasi 0,01 %, 0,03 % dan 0,05 % kemudian hasilnya dibandingkan dengan data yang diperoleh dari antioksidan komersial seperti “butylated hydroxytoluene” (BHT), “butylated hydroxyanisol” (BHA) dan α-tokoferol pada konsentrasi 0,01 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak alga tersebut mampu menghambat oskidasi asam linoleat dan minyak ikan pada konsentrasi 0,05 %.

Efek Antioksidan Yang Bersifat Saling Menguatkan Antara Tokoferol dan Askorbat

Barstad et al. (2006) dalam Luten et al. (2006) mengevaluasi efek antioksidan α-tokoferol dan askorbat dalam sistem model yang berdasarkan liposoma yang dibuat dari fosfolipid sangat tak-jenuh asal-laut. Tingkat peroksidasi asam-asam lemak membran dipantau dalam “microplate spectrophotometer”. Liposoma adalah partikel bulat yang terbentuk dari sistem air-lipida lamelar. Liposoma tersusun dari dua lapisan membran lipida dengan air di tengahnya. Tokoferol merupakan penghambat yang efektif untuk oksidasi lipida. Senyawa ini dikenal sebagai antioksidan lipofilik (suka-lemak) yang paling penting dalam sel hidup. Askorbat merupakan antioksidan larut-air baik secara in vivo maupun in vitro. Askorbat dapat bertindak baik sebagai “pemakan” oksigen, sebagai chelator logam, maupun sebagai agen pereduksi. Bila ada logam (misal Fe3+), askorbat juga dapat bertindak sebagai prooksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoferol merupakan antioksidan yang efektif ketika bergabung dengan membran liposoma. Askorbat menunjukkan efek antioksidan bila didistribusikan dalam fase cair. Awal proses peroksidasi asam lemak tertunda lebih lama bila tokoferol dan askorbat digunakan bersama-sama daripada bila digunakan sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ada sinergi (efek saling menguatkan) antara α-tokoferol dan askorbat.

Bab III
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan


Pengasinan Mengurangi Daya Racun Telur Ikan Buntal

Hashimoto (1979) melaporkan bahwa ovari (telur) ikan buntal telah lama dimakan di Ishikawa Prefecture, Jepang. Telur ikan buntal asin, yang dinamakan fuguharago atau fukunoko, dijual secara komersial. Telur ikan ini diasin dan diacar bersama bekatul, dan biasanya tahan selama enam bulan sampai setahun bahkan kadang-kadang tiga atau empat tahun. Ternyata bahwa telur ikan buntal menjadi aman dimakan akibat proses pengasinan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1) sebagian racun dari ovari merembes keluar selama proses penggaraman dan daya racun ovari mencapai nilai rata-rata, karena ovari yang sangat beracun kehilangan sebagian racunnya dan racun ini mencemari ovari yang sebenarnya tidak beracun. 2) Selama proses pengasinan, terjadi pengenceran racun akibat difusi racun dari ovari ke bekatul. Lebih lanjut, sekitar setengah dari racun ini hilang pada saat proses pengawetan yang lama. 3) Produk akhirnya beracun lemah, meskipun tetrodotoksin masih ada dalam telur pada saat pemasaran. Karena penurunan daya racun bersesuaian dengan tingginya derajat keasinan, yang mencegah orang memakan produk ini secara berlebihan, telur ikan buntal asin relatif aman dimakan. Bagaimanapun,mungkin berbahaya untuk memakan telur asin ini bila dibuat dengan tidak benar atau bila dimakan segera setelah diasinkan atau diacar. Keracunan dilaporkan sebagai akibat memakan produk telur asin yang belum sempurna.

Garam Dapur Memperbaiki Mutu dan Daya Awet Udang Goreng

Joseph et al. (1993) melaporkan hasil penelitian karakteristik penyimpanan udang (Metapenaeus dobsoni) goreng dan kering siap-saji yang dikemas dalam kantung poliester/polyhthene dan disimpan pada suhu sekeliling (22 – 28 °C). Perlakuan dengan garam dapur (natrium klorida) dan asam sitrat sebelum penjemuran awal ternyata meningkatkan mutu maupun daya awet produk udang goreng akhir. Sementara udang goreng dan kering yang tidak diberi perlakuan menunjukkan lama penyimpanan 42 hari, sampel uji tetap dalam kondisi dapat diterima konsumen sampai selama 55 hari. Udang kering goreng tampaknya bisa menjadi produk siap-saji yang menjanjikan, terutama sesuai untuk pasar konsumen kota.

Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Nitrogen Pada Filet Ikan

Sankar and Solanki (1992) meneliti perubahan fraksi-fraksi nitrogen selama pengolahan ikan cucut dan ikan pari. Penurunan kadar air, nitrogen non-protein dan nitrogen protein terlarut setelah pengolahan dalam air asin jenuh pada suhu 27 – 30 °C berlangsung cepat pada 8 jam pertama kemudian diikuti dengan penurunan yang lebih lambat untuk filet cucut maupun pari. Penurunan ini sebanding dengan penyerapan garam.

Garam Untuk Mengendalikan Serangan Larva Lalat Pada Ikan Olahan

Basu et al. (1992) melaporkan bahwa serangan larva lalat blow fly tidak terjadi bila kadar air ikan olahan rendah. Kadar air kritis ini tergantung pada kadar garam ikan olahan tersebut. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik untuk memperoleh hubungan antara kadar air dan kadar garam pada ikan olahan. Serangan hama ini rendah bila kadar air berkisar antara 34,4 dan 52,4 % dan kadar garam antara 11,8 dan 22,4 %.

Pengaruh Garam Dapur Terhadap Kekuatan Gel Surimi

Wan et al. (1992) meneliti pengaruh kation-kation monovalen terhadap ikatan-silang myosin pada gel “suwari” yang dibuat dari ikan walleye pollack. Pasta ikan asin yang dibuat dari surimi walleye pollack (Theragra chalcogramma) dengan penambahan salah satu dari NaCl, KCl atau NH4Cl disimpan pada suhu 25 °C untuk menghasilkan gel suwari dan kemudian direbus pada suhu 90 °C (gel rebus). Kedua gel yang mengandung NaCl menunjukkan kekuatan gel tertinggi dan pembentukan rantai-rantai berat myosin ikatan-silang terbaik, diikuti oleh gel yang mengandun KCl. Pasta yang mengandung NH4Cl tidak membentuk gel suwari. Perbedaan pengaruh berbagai jenis garam terhadap sifat pembentukan gel ini disebabkan perbedaan reaktivitas transglutaminase dalam pasta terhadap protein surimi dalam setiap garam.

Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Protein Serabut Otot Ikan Asin

Tambo et al. (1992) merendam daging cincang ikan horse mackerel (Trachurus japonicus) dalam larutan NaCl 3 M selama berbagai periode pada suhu 4 °C , agar konsentrasi natrium klorida dalam daging bekisar 0,14 – 1,90 M. Daging olahan kemudian didehidrasi pada suhu 20, 30 dan 40 °C, dan perubahan aktivitas Ca-ATPase myofibrilar, konsentrasi garam serta rantai berat myosin dalam daging diteliti sebagai fungsi lama dehidrasi. Dengan meningkatnya konsentrasi garam dalam daging olahan bersama dengan meningkatnya suhu pada dehidrasi, maka Ca-ATPase myofibrilar dengan cepat menjadi tidak aktif. Sebaliknya, rantai berat myosin dalam daging olahan hanya menurun bersamaan dengan pembentukan polimernya ketika daging olahan yang mengandung 0,68 – 1,60 M NaCl didehidrasi pada suhu 30 °C. Hampir tidak ada perubahan yang terjadi selama dehidrasi daging olahan seperti ini pada suhu 20 atau 40 °C.

Bab IV
Pengawetan Ikan Dengan Es


Teknik Pendinginan Produk Perikanan

Medina et al (2009) menyatakan bahwa berbagai sistem pendinginan telah digunakan untuk melakukan proses “super-chilling/pendinginan super” (–4 °C sampai 0 °C) terhadap produk makanan laut; sistem ini terbukti efektif menghambat pertumbuhan bakteri dan memperpanjang umur produk ikan dingin. Bagaimanapun, super chilling terhadap daging bisa menyebabkan pembekuan-sebagian, yang bisa menimbulkan perubahan-perubahan negatif seperti “drip loss” (kehilangan air daging) dan penurunan "water holding capacity" (kapasitas menampung air); selain itu, aktivitas enzim bisa meningkat akibat meningkatnya konsentrasi materi terlarut di dalam air yang tak membeku dan memudahkan enzim memasuki substrat. Sistem pendinginan-air, seperti “refrigerated sea water” (RSW) dan “chilled sea water” (CSW) merupakan metode super chilling yang paling banyak dipakai untuk produk perikanan. Baik RSW maupun CSW diyakini dapat memperpanjang umur penyimpanan ikan dan kerang akibat penurunan suhu penyimpanan.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pendinginan-pembekuan merupakan strategi yang menguntungkan untuk menyediakan produk segar dengan kualitas tinggi. Pendinginan-pembekuan merupakan teknologi ganda yang melibatkan pembekuan dan penyimpanan beku (-30 °C atau lebih dingin lagi) diikuti dengan pencairan (thawing) dan kemudian dipasarkan pada suhu dingin. Teknik ini memberikan keuntungan logistik dan memungkinkan makanan dingin mencapai pasar yang jauh di mana produk dapat dikapalkan dalam kondisi sangat beku dan kemudian dicairkan ketika mencapai daerah tujuan sebelum dipajang di pasar.

Bagaimanapun, pembusukan ikan terbukti tidak hanya tergantung pada pembekuan dan kondisi penyimpanan beku (misal waktu dan suhu) tetapi juga pada kondisi pendinginan dan pencairan (waktu dan suhu). Teknik pendinginan yang lebih baru melibatkan penyimpanan produk perikanan pada suhu di bawah nol dengan menambahkan garam dan senyawa lain ke dalam campuran es-air. Teknik ini disebut “slurry ice system” (sistem suspensi es; suspensi = campuran air dan partikel tak larut yang melayang-layang dalam air tersebut) , “water-binary system” (sistem air kembar) atau “two-phases aqueous secondary refrigerant” (pendingin sekunder cair dua fase), disebut demikian karena dua fase yang berbeda, yaitu cair (air) dan padat (es), terdapat bersama-sama.

Dibandingkan dengan teknik pemberian serpihan es tradisional, “slurry ice system” menunjukkan banyak kelebihan yang dapat diringkas sebagai berikut (Medina et al., 2009) :

- Suhu penyimpanan di bawah nol memperlambat reaksi kimia dan reaksi enzimatik yang terlibat dalam pembusukan makanan
- Laju pertukaran panas adalah sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan pada teknik pemberian serpihan es tradisional, sehingga pendinginan lebih cepat
- Permukaan luar produk diselubungi (oleh lapisan es) dengan sempurna sehingga pendinginan lebih efisien serta mencegah dehidrasi
- Mengalirnya suspensi es di atas permukaan produk memberikan efek mencuci permukaan produk tersebut, sehingga mengurangi jumlah mikroba dan menghambat masuknya mikroorganisme ke dalam daging
- Bentuknya yang bulat dan kecilnya ukuran kristal es memperkecil kerusakan fisik pada struktur seluler ikan
- Sifat suspensi es yang mengalir memungkinkan pertukaran berjalan terus-menerus sehingga penanganan dan distribusi produk akan lebih hiegenis
- Slurry ice system merupakan teknik yang serbaguna yang dapat digabungkan dengan bahan kimia pengawet lain, yang memiliki sifat antioksidan, antimikrobial atau antimelanosik.

Sayangnya, ada dua kelemahan slurry ice system bila diterapkan pada produk perikanan. Pertama, suhu tidak boleh turun agar pembekuan sebagian tidak terjadi; bila tidak, maka kualitas inderawi (mata ikan berkabut, warna menjadi pucat, dll) akan merosot. Kedua, dibutuhkan investasi awal untuk membeli generator dan peralatan lainnya; bagaimanapun, biaya seperti ini pasti ditemui bila menginginkan produk yang bermutu sesuai harapan.

Kemunduran Mutu Ikan Akibat Kesalahan Prosedur Pengesan

Botta dan Bonnell (1989) melaporkan bahwa untuk menentukan sebab-sebab penurunan mutu ikan cod Atlantik (Gadus morhua) segar, sebuah studi terkendali yang melibatkan 2.750 ikan cod yang ditangkap di wilayah North Atlantic Fishing Organization (NAFO) 2 J dan 3 K selama bulan Februari, Maret dan April 1983, dilakukan di bawah kondisi komersial. Mutu sampel diduga oleh pegawai pemeriksa Department of Fisheries and Ocean (DFO) yang terlatih dan berpengalaman dengan menggunakan standar penentuan mutu. Secara umum, mutu ikan cod ketika pertama kali dimuatkan ke kapal adalah sangat baik, tetapi ketika muatan dibongkar di darat mutunya jauh berkurang. Berbagai prosedur penanganan bertanggung jawab atas besarnya penurunan mutu. Prosedur-prosedur ini mencakup : a) penundaan lebih dari satu jam antara waktu ketika cod dimuatkan ke kapal dan ketika dieskan; b) penyimpanan ikan cod dalam es lebih dari enam hari; c) pengesan ikan cod dilakukan di dalam wadah terbuka yang terbuat dari papan, bukannya dalam kotak tertutup; dan d) penangkapan lebih dari 5 ton pada setiap saat.

Pengaruh Penundaan Pengesan Terhadap Mutu Ikan Kaleng

Jeyasekaran dan Saralaya (1991) mempelajari pengaruh penyimpanan dalam air laut dingin ikan white sardin (Kowala coval) terhadap mutu produk kalengannya. Mutu ikan white sardin kaleng bisa diperbaiki dengan mengawetkan ikan segera setelah ditangkap di dalam air laut dingin sebelum dikalengkan. Penundaan pengesan menyebabkan banyak kemunduran mutu dan mempersingkat lama penyimpanan produk kaleng tersebut. Ternyata bahwa ikan yang mengalami penundaan pengesan ditolak setelah enam hari dan ikan yang segera dies dan yang dimasukkan air laut dingin diterima sampai sembilan dan sebelas hari, berturut-turut, untuk dikalengkan.

Rasio Terbaik Chilled Sea Water

Pizardi dan Quevedo (1989) melakukan studi terhadap sistem CSW (Chilled Sea Water; Air Laut Dingin) untuk mengawetkan ikan hake di atas kapal. Ikan hake ditangkap dengan trawl dan spesies Peru (Merluccius gayi peruanus) adalah khas karena teksturnya sangat lembut. Akibatnya, produk olahan ikan ini yang dibuat di darat mengalami penurunan hasil dan mutu. Karena itu perlu mendinginkan ikan ini di atas kapal guna meminimkan penurunan mutu dan kerugian ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio terbaik ikan : es : air laut adalah 1 : 1 : 1.

Perbedaan Umur Penyimpanan Dalam Es Akibat Perbedaan Spesies Ikan

Poole et al. (1990) melakukan percobaan pengesan ikan karang dari Wilayah Utara Australia untuk mengetahui “umur penyimpanan” (storage live) ikan-ikan tersebut di dalam es. Umur penyimpanan ikan-ikan yang diperoleh dari perikanan lepas-pantai dan dekat-pantai dibandingkan. Spesies yang terlibat dalam uji coba ini adalah Pristipomoides multidens, Pristipomoides typus, Lutjanus erythropterus, Lutjanus sebae, Lutjanus carponotus, Lutjanus johnii, Lethrinus fraenatus, Zabidius novemaculatus dan Epinephelus spp. Setiap ikan menunjukkan pola kemunduran mutu selama penyimpanan dalam es yang berbeda-beda antar spesies, kemungkinan besar disebabkan perbedaan sistem enzim dalam daging ikan yang khas untuk setiap spesies. Hal ini berarti bahwa metode penangkapan, penanganan dan pengolahan akan mempengaruhi spesies ikan individual dengan cara yang berbeda-beda dan kisaran yang berbeda pula.

Bab V
Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan


C 073 Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan

Arsip Cofa No. C 071

Pendinginan Ikan

Sen (2005) menyatakan bahwa pendinginan ikan merupakan suatu proses di mana suhu ikan diturunkan sampai mendekati tetapi tidak di bawah titik beku air (yaitu 0 °C). Perlakuan ini menunda proses biokimia maupun bakteriologis di dalam ikan sehingga memperpanjang lama penyimpanan ikan dan produk ikan. Proses biokimia dan bakteriologis dalam produk pendinginan hanya terhambat dan tidak berhenti akibat penurunan suhu. Selama suhu dingin dipertahankan, penurunan kualitas ikan tetap lambat. Kualitas produk pendinginan tergantung terutama pada kualitas awal ikan, metode dan lama pendinginan serta efisiensi penyimpanan. Tujuan utama pendinginan adalah memaksimumkan peluang pengawetan nutrisi alami dan sifat-sifat fungsional ikan. Ikan bisa didinginkan dengan es atau dengan pendingin homogen seperti udara dingin atau cairan dingin (air tawar, air garam atau air laut). Es digunakan dalam bentuk hancuran es atau serpihan es. Air tawar dingin dipakai untuk pendinginan tingkat ringan. Untuk mencapai suhu 0 °C sampai 1 °C, digunakan air laut dingin atau air garam dingin.

Daya Awet Ikan Tengiri Selama Pengesan

Jhaveri et al. (1982) memantau pola pembusukan ikan tengiri Atlantik (Scomber scombrus L.) yang disimpan dalam es dengan menentukan kadar trimetilamin (TMA), “total aerobic plate count” dan kadar histamin. Akumulasi hipoksantin dipakai sebagai indeks kesegaran, dipadukan dengan evaluasi inderawi terhadap ikan segar. Hasil-hasil pengujian menunjukkan bahwa ikan tengiri tetap segar di dalam es selama penyimpanan sampai 9 hari, setelah itu akumulasi bakteri, TMA dan histamin berlangsung dengan cepat. Kadar hipoksantin meningkat antara periode penyimpanan 0 – 10 hari dan tampaknya bertambah dengan laju sedikit lebih lambat hingga hari ke-16, kemudian berkurang.

Pendugaan Daya Awet Ikan Yang Disimpan Dalam Es

Kyrana et al. (1997) melaporkan bahwa ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) telah disimpan dalam es yang sedang meleleh (0 °C) selama periode 24 hari sejak saat panen. Pendugaan inderawi terhadap ikan mentah utuh dan daging ikan matang dilakukan pada selang waktu yang teratur. Ikan yang organ dalamnya tidak dibuang diberi nilai tingkat kesegaran EC; E untuk ikan yang disimpan sampai 3 hari, nilai A untuk 7 hari berikutnya, dan nilai B untuk 4 hari kemudian serta nilai C (tidak layak) untuk hari-hari setelahnya. Nilai inderawi untuk flavor filet ikan matang menurun secara linier sejalan dengan bertambahnya periode penyimpanan : flavor khas segar ada selama 2 – 4 hari, yang berkurang menjadi agak hilang setelah 10 – 12 hari. Bau tak enak tercium pada penyimpanan 13 – 15 hari dan pada hari ke 18 sampai 19 daging ikan menjadi tidak enak dimakan. Kecuali mungkin untuk hipoksantin, tak satupun senyawa kimia yang dipelajari bisa menjadi indikator perubahan. Perubahan pH, trimetilamin dan “total volatile base” selama paruh pertama periode penyimpanan daging ikan adalah tidak nyata. Pembusukan lipida daging ikan, yang diduga berdasarkan kandungan asam lemak bebas dan nilai “thiobarbituric acid”, tampaknya tidak menjadi masalah yang serius selama ikan masih awet.

Pendugaan Lama Penyimpanan Ikan Dalam Es Berdasarkan Degradasi Nukleotida

Spinelli (1967) mempelajari perjalanan dan laju penguraian nukleotida di dalam otot ikan halibut berbagai ukuran yang disimpan dalam es. Ia juga menentukan distribusi nukleotida dan hipoksantin. Defosforilasi ATP dan deaminasi AMP berjalan sangat cepat pada ikan halibut post-mortem, tetapi defosforilasi IMP agak lambat. Sekitar 2,0 mikroM IMP per gram ditemukan pada ikan halibut yang disimpan dalam es selama 21 hari; 0,5 mikroM IMP per gram ditemukan pada beberapa halibut setelah 41 hari. Laju defosforilasi IMP dan akumulasi hipoksantin bervariasi antar ikan, tetapi tidak berkorelasi dengan ukuran ikan. Baik nukleotida maupun hipoksantin menunjukkan distribusi yang seragam di seluruh otot ikan halibut. Penelitian ini menunjukkan bahwa penentuan nukleotida dan hipoksantin bisa digunakan untuk menduga lama penyimpanan ikan halibut dalam es, tetapi tidak akurat selama 2,5 minggu pertama penyimpanan.

Keunggulan Es Kering Sebagai Pengawet Ikan Jangka Pendek

Jeyasekaran et al. (2004) melaporkan bahwa ikan emperor bream (Lethrinus miniatus) yang disimpan dalam kombinasi es kering dan es air pada tingkat optimum 20 % dan 50 % ternyata masih dalam kondisi bagus sampai 24 jam tanpa pemberian es ulang. Beban bakteri total berkisar dari 104 sampai 107 cfu/g, sedangkan total bakteri psikrofil dari 102 sampai 104 cfu/g. Total laktat ada dalam level 101 sampai 102 cfu/g. Produsen H2S terdeteksi hanya pada jam ke-6 dengan beban 102 cfu/g. Total coliform dan total bakteri anaerob pereduksi sulfit tidak menunjukkan kecenderungan yang konsisten. TVB-N meningkat dari 11,5 sampai 21,1 mg %, sedangkan TMA-N naik dari 1,3 sampai 2,7 mg % pada sampel yang disimpan dalam kombinasi es kering dan es air. TVB-N dan TMA-N pada sampel yang disimpan dalam es air saja adalah tinggi. Hipoksantin bervariasi dari 5,1 sampai 8,2 mg/100 g.

Perubahan Komposisi Bakteri Selama Pendinginan

Sen (2005) mengulas laporan-laporan penelitian mengenai perubahan komposisi flora bakteri selama pedinginan ikan. Selama penyimpanan dingin, komposisi genus mikroorganisme yang berhubungan dengan ikan mengalami perubahan besar. Proporsi bakteri mesofil (mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu sedang) yang semula dominan perlahan-lahan berkurang sementara bakteri psikrofil (bakteri yang tumbuh baik pada suhu hampir beku) meningkat. Pada kasus ikan lemuru dan tengiri India, mulanya genus Moraxella, Acinetobacter dan Vibrio menyusun 50 – 70 % dari total mikroflora, sedangkan Pseudomonas hanya 20 %. Pseudomonas yang bersifat psikrofil kemudian menjadi dominan dan menyumbangkan 75 – 80 % dari total flora pada saat pembusukan di dalam es. Pola perubahan seperti ini adalah sama dengan yang diamati pada ikan cod dari perairan dingin dan beriklim sedang (Laut Utara). Flora awal ikan cod North Sea terutama terdiri dari Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Coryneforms dan Micrococcus spp. Komposisi flora ini mengalami perubahan nyata selama penyimpanan dalam es dan, apapun jenis flora awal pada ikan, kelompok Pseudomonas dan Achromobacter meningkat dengan mantap selama tahap-tahap awal pada saat kelompok-kelompok lainnya berkurang, dan kemudian setelah pengesan selama sekitar 15 hari, ketika ikan memasuki tahap awal pembusukan, kelompok Pseudomonas muncul sebagai bakteri dominan yang menyumbangkan 80 – 90 % flora. Pseudomonas mempunyai waktu generasi (dan juga “lag period” (periode ketertinggalan) pertumbuhan) yang paling singkat pada kisaran suhu 0 – 5 °C dan mampu memanfaatkan komponen nitrogen-non-protein yang ada dalam cairan otot ikan sebagai substansi pertumbuhan, sehingga dapat tumbuh dengan cepat melampaui bakteri-bakteri lain yang ada dan menjadi dominan dalam populasi yang meningkat sampai 108 bakteri per cm persegi.

Sen (2005), berdasarkan hasil-hasil beberapa penelitian, menyatakan bahwa kelompok Aeromonas merupakan pembusuk paling penting pada ikan rohu (Labeo rohita). Hal ini berlawanan dengan hasil pengamatan bahwa Pseudomonas adalah pembusuk utama pada ikan laut yang disimpan dalam es. Dua laporan lain menyebutkan bahwa proporsi Pseudomonas meningkat dengan mantap selama pengesan ikan mas dan mujaer (Oreochromis mossambica) hasil budidaya hingga bakteri ini mencapai 50 – 70 persen dari total flora pada saat pembusukan. Cukup aneh bahwa meskipun Pseudomonas mencapai posisi dominan pada saat ikan ditolak secara oranoleptik, peneliti tidak mencium bau busuk atau bau menyengat yang biasanya terjadi pada kasus pembusukan ikan laut.



Referensi :


Athukorala, Y., K.-W. Lee, F. Shahidi, M.S. Heu, H.-T. Kim, J.-S. Lee and Y.-J. Jeon. 2003. Antioxidant Efficacy of Extracts of An Edible Red Alga (Grateloupia filicina) in Linoleic Acid and Fish Oil. Journal of Food Lipids. Vol. 10, Issue 4, pp. 313 – 327

Barstad, H., A.C. Alvik and E. Lavaas. 2006. Antioxidant Synergy Effect Between a-Tocopherol and Ascorbate on The Autoxidation of Liposomes in Luten, J.B., C. Jacobson, K. Bekaert , A. Saebo and J. Oehlenschlager (Eds.). 2006. Seafood Research From Fish to Dish: Quality, Safety and Processing of Wild and Farmed Fish. Wageningen Academic Publishers. Wageningen, Netherlands. 567 pp.

Basu, S., S.S. Gupta and A.K.K. Nair. 1992. Control of Blow Fly Larvae Infestation in Cured Fish. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 82 - 83

Botta, J.R. and G. Bonnell. 1989. Causes of Reduced Quality of Fresh Atlantic Cod (Gadus morhua) Caught by Otter Trawl. Proceedings of The 1988 World Symposium on Fishing Gear and Fishing Vessel Design, pp. 340 – 344

Cho, S.-H., J.-W. Seo, J.-D. Choi and I.S. Joo. 1990. Antimicrobial and Antioxidant Activity of Grapefruit Seed Extract on Fishery Products. Bulletin of Korean Fisheries Society., Vol. 23, No. 4, pp. 289 - 296

Choi, J.-D., J.-W. Seo and S.-H. Cho. 1990. Studies on The Antimicrobial Activity of Grapefruit Seed Extract. Bulletin of Korean Fisheries Society., Vol. 23, No. 4, pp. 297 - 302

Erkan, N. and G. Bilen. 2010. Effect of Essential Oils Treatment on The Frozen Storage Stability of Chub Mackerel Fillets. Journal für Verbraucherschutz und Lebensmittelsicherheit, Vol. 5, Issue 1, pp. 101 - 110

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Jeyasekaran, G. and K.V. Saralaya. 1991. Effect of Chilled Seawater Storage of White Sardin (Kowala coval) on Its Canned Product Quality. Journal of Food Science Technology, vol. 28, no. 1, pp. 23 – 26

Jeyasekaran, G., P. Ganesan, R.J. Shakila, K. Maheswari and D. Sukumar. 2004. Dry Ice As A Novel Chilling Medium Along With Water Ice For Short-Term Preservation of Fish Emperor Breams, Lethrinus (Lethrinus miniatus). Innovative Food Science & Emerging Technologies, Vol. 5, Issue 4, pp. 485 – 493

Jhaveri, S. N., S.-S. Leu and S.M. Constantinides. 1982. Atlantic Mackerel (Scomber scombrus, L.) : Shelf Life in Ice. Journal of Food Science, vol. 47, issue 6, pp. 1808 – 1810

Jitoe, A., T. Masuda, I.G.P. Tengah, D.N. Suprapta, I.W. Gars and N. Nakatani. 1992. Antioxidant Activity of Tropical Ginger Extracts and Analysis of The Contained Curcuminoids. Journal of Agricultural and Food Chemistry, Vol. 40, pp. 1337 - 1340

Joseph, A.C., P.V. Prabhu and V.N. Namblar. 1993. Storage Characteristics of Ready to Serve Fried Thelly Prawns (Metapenaeus dobsoni) at Ambient Temperature. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology of Kochi, vol. 30, no. 1, pp. 31 – 34

Joseph, J., C. George and P.A. Perigreen. 1992. Effect of Spices on Improving The Stability of Frozen Stored Fish Mince. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 30 - 34

Kyrana, V. R., V.P. Lougovois and D.S. Valsamis. 1997. Assessment of Shelf-Life of Maricultured Gilthead Sea Bream (Sparus aurata) Stored in Ice. International Journal of Food Science & Technology, Vol. 32, issue 4, pp. 339 – 347

Medina, I., Gallardo, J. M. and Aubourg, S. P. (2009), Quality Preservation in Chilled and Frozen Fish Products by Employment of Slurry Ice and Natural Antioxidants. International Journal of Food Science & Technology, vol. 44, issue 8, pp. 1467 – 1479

Nakano, T., M. Sato and M. Takeuchi. 1992. Glutathione Peroxidase of Fish. Journal of Food Science, Vol. 57, No. 5, pp.1116 – 1119

Pazos, M., M.J. González, J.M. Gallardo, J.L. Torres and I. Medina. 2005. Preservation of The Endogenous Antioxidant System of Fish Muscle by Grape Polyphenols During Frozen Storage. European Food Research and Technology, Vol. 220, Issue 5 - 6, pp. 514 - 519

Pizardi, C.A. and S. Quevedo. 1989. CSW System For The Preservation of Hake Onboard Fishing Vessels. Proceedings of The 1988 World Symposium on Fishing Gear and Fishing Vessel Design, pp. 337 – 349

Poole, S., D. William and C. Knight. 1990. The Iced Storage Lives of Selected Commercial Inshore and Offshore Reef Fish From Northern Territory Waters. Fisheries Report of Department Primary Industry and Fisheries (Northern Territory), no. 23, 47 pp.

Sánchez-Alonso, I., A. Jiménez-Escrig, F. Saura-Calixto and A.J. Borderías. 2007. Effect of Grape Antioxidant Dietary Fibre on The Prevention of Lipid Oxidation in Minced Fish : Evaluation by Different Methodologies. Food Chemistry, Vol. 101, Issue 1, pp. 372 – 378

Sánchez-Alonso, I., A. Jiménez-Escrig, F. Saura-Calixto and A.J. Borderías. 2008. Antioxidant Protection of White Grape Pomace on Restructured Fish Products During Frozen Storage. LWT - Food Science and Technology, Vol. 41, Issue 1, pp. 42 – 50

Sánchez-Alonso, I., M. Careche, P. Moreno, M.J. González and I. Medina. 2011. Testing Caffeic Acid as a Natural Antioxidant in Functional Fish-Fibre Restructured Products. Food Science and Technology, Vol. 44, Issue 4, pp. 1149 – 1155

Sankar, T.V. and K.K. Solanki. 1992. Changes in Nitrogen Fractions in The Fillets of Elasmobranchs During Salting. Fisheries Technology of Societies of Fisheries Technology (India), vol. 29, no. 1, pp. 45 - 47

Sen, D.P. 2005. Advances in Fish Processing Technology.Allied Publisher Pvt. Ltd. New Delhi, India. 823 pp.

Spinelli, J. 1967. Degradation of Nucleotides in Ice-Stored Halibut. Journal of Food Science, Vol. 32, issue 1, pp. 38 – 41

Tambo, T., N. Yamada and N. Kitada. 1992. Change in Myofibrillar Protein of Cured Horse Mackerel Meat Induced By Dehydration. Bulletin of Japan Societies of Sciences and Fisheries, vol. 58, no. 4, pp. 685 – 691

Wan, J., J. Miura and N. Seki. 1992. Effect of Monovalent Cations on Cross-linking of Myosin in “Suwari” Gels From Walleye Pollack. Bulletin of Japan Societies of Sciences and Fisheries, vol. 58, no. 3, pp. 583 – 590

Zigman, S., N.S. Rafferty and F. Sooudi. 1992. Natural Antioxidants Reduce Near-UV Induced Opacification and Filamentous Actin Damage in Dogfish (Mustelus canis) Lenses. Biological Bulletin of Marine Biology Laboratorium of Woods Hole, Vol. 183, No. 2, pp. 372 - 373

Tidak ada komentar:

Posting Komentar