Senin, 29 Januari 2018

Bioekologi Krustasea Planktonik

Bab I
Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Klasifikasi Sub Filum Krustasea

Hickman et al. (2001) menyusun klasifikasi sub filum krustasea. Klasifikasi yang lebih tinggi untuk krustasea adalah komplek dan berubah-ubah akibat penambahan data baru. Klasifikasi berikut berdasarkan pada beberapa sumber dan mengabaikan taksa yang lebih kecil :

Kelas Remipedia (ri-mi-pee’dee-a) (Latin : remipedes, kaki-dayung). Tanpa karapas; protopoda berruas satu; memiliki antena dan antenula biramus (bercabang dua); semua alat gerak pada tubuh adalah sama; alat gerak pada kepala besar dan raptorial (berfungsi menangkap mangsa); ruas maxiliped bersatu dengan kepala. Contoh : Speleonectes.

Kelas Cephalocarida (sef’a-lo-kar’i-da) (Yunani : kephale, kepala, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak). Tanpa karapas; protopoda bersegmen satu, filopodia (kaki seperti daun); antenula uniramus (tak bercabang), antena biramus; tidak ada mata majemuk; tidak ada alat gerak pada bagian perut (abdominal), maksiliped mirip dengan kaki toracik. Contoh : Hutchinsoniella.


Kelas Branchipoda ((bran’kee-op’o-da) (Yunani : branchia, insang, + pous, podos, kaki). Filopodia; karapas kadang ada kadang tidak ada; tanpa maksiliped; antenula menyusut; ada mata majemuk; tanpa alat gerak abdominal; maksila menyusut.

- Ordo Anostraca (an-os’tra-ka) (Yunani : an-, awalan yang berarti tanpa, + ostrakon, cangkang). Tanpa karapas, tanpa alat gerak abdominal; antena uniramus. Contoh Artemia, Branchinecta.

- Ordo Notostraca (no-tos’tra-ka)(Yunani : notos, punggung, + ostrakon, cangkang) : udang kecebong. Karapas membentuk perisai dada yang besar; memiliki alat gerak abdominal, yang menyusut ke arah belakang; antena menyusut. Contoh : Triops, Lepidurus.

- Ordo Cladocera (kla-dah’se-ra) (Yunani : klados, cabang, + keras, tanduk) : kutu air. Karapas terlipat, biasanya menutupi badan tetapi tidak menutupi kepala; antena biramus; memiliki alat gerak abdominal. Contoh : Daphnia, Leptodora.

- Ordo Conchostraca (kon-kos’tra-ka) (Yunani : konche, cangkang + ostrakon, cangkang). Udang remis. Karapas berkatup-dua (seperti bivalva atau kerang) yang menutupi seluruh tubuh; antena biramus; semua alat gerak badan sama. Contoh : Lynceus.


Kelas Maxillopoda (maks-i-lah’po-da) (Latin : maxilla, tulang rahang, + pous, podos, kaki). Biasanya memiliki somit (ruas tubuh) terdiri dari lima ruas cephalic (kepala), enam ruas thoracic (dada), dan empat abdominal ditambah satu telson (perpanjangan ruas terakhir tubuh ke arah belakang), tetapi menyusut; tidak ada alat gerak khas pada perut; mata nauplius memiliki struktur yang unik (mata maxillopoda); karapas ada atau tidak ada.

- Subkelas Ostracoda (os-trak’o-da) (Yunani : ostrakodes, bercangkang). Karapas berkatup dua yang menutupi seluruh tubuh; badan tidak beruas atau ruasnya tidak jelas; alat gerak badan tidak lebih dari dua pasang. Contoh : Cypris, Cypridina, Gigantocypris.

- Subkelas Mystacocarida (mis-tak’o-kar’i-da) (Yunani : mystax, kumis, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak) : udang berkumis. Tanpa karapas; tubuh berruas-sepuluh; telson dengan cabang ekor mirip-cakar; alat gerak kepala hampir mirip, tetapi antena dan mandibula (alat gerak mirip rahang) bercabang dua, alat gerak kepala lainnya tak bercabang; ruas tubuh kedua sampai kelima memiliki alat gerak pendek berruas-satu. Contoh : Derocheilocaris.

- Subkelas Copepoda (ko-pep’o-da) (Yunani : kope, dayung, + pous, podos, kaki) : kopepoda. Tanpa karapas; torak (dada) secara khas memiliki tujuh ruas di mana ruas pertama dan kadang-kadang ruas kedua bersatu dengan kepala membentuk cephalohorax; antenula uniramus; antena bi- atau uniramus;memilki empat sampai lima pasang kaki renang; bentuk parasitik seringkali sangat termodifikasi. Contoh : Cyclops, Diaptomus, Calanus, Ergasilus, Lernaea, Salmincola, Caligus.

- Subkelas Tantulocarida (tan’tu-lo-kar’i-da) (Latin : tantulus, sangat kecil, + caris, udang). Tidak ada alat gerak kepala yang dapat dikenali kecuali antena pada individu betina seksual; memilki stylet di tengah-tengah kepala yang kuat; enam ruas dada masing-masing dengan sepasang alat gerak; ruas abdominal ada enam; ekto parasit mirip-kopepoda kecil. Contoh : Basipodella, Deoterthron.

- Subkelas Branchiura (bran-ki-ur’a) (Yunani : branchia, insang, + ura, ekor) : kutu ikan. Badan oval; kepala dan sebagian besar badan ditutupi oleh karapas pipih, yang bersatu secara tidak sempurna dengan ruas dada pertama; thorax (dada) memiliki empat pasang alat gerak, biramus; abdomen (perut) tidak besegmen, berkeping-dua; mata majemuk; antena dan antenula menyusut; maksilula sering membentuk cakram penghisap. Contoh : Argulus, Chonopeltis.

- Subkelas Cirripedia (sir-i-ped’i-a) (Latin : cirrus, rambut keriting, + pes, pedis, kaki) : barnakel/teritip. Sesil (hidup menempel) atau parasit ketika dewasa; kepala mengecil dan abdomen menyusut; tidak ada mata majemuk berpasangan; ruas badan tidak jelas; biasanya hermafrodit; pada bentuk yang hidup bebas, karapas berubah menjadi mantel yang mensekresi lempengan berkapur; antenula berubah menjadi organ penempel kemudian menghilang. Contoh : Balanus,Policipes, Sacculina.


Kelas Malacostraca (mal-a-kos’tra-ka) (Yunani : malakos, lunak, + ostrakon, cangkang). Biasanya memiliki delapan ruas pada torak dan enam plus telson pada abdomen; semua ruas memiliki alat gerak; antenula seringkali biramus; alat gerak dada pertama sampai ketiga sering menjadi maksiliped (jadi, bergabung dengan atau menjadi bagian mulut); karapas menutupi kepala dan sebagian atau seluruh torak, kadang-kadang tidak ada; insang biasanya berupa thoracic epipod (tonjolan di samping dada yang berubah menjadi alat pernafasan).

- Ordo Isopoda (i-sop’o-da) (Yunani : isos, sama, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula biasanya uniramus, kadang-kadang menyusut;mata tidak bertangkai; insang terletak pada alat gerak abdominal; badan umumnya gepeng punggung-perut; alat gerak toracik kedua biasanya tidak berkembang menjadi alat pemegang. Contoh : Armadillidium, Caecidotea, Ligia, Porcellio.

- Ordo Amphipoda (am-fip’o-da) (Latin : amphis, pada kedua sisi, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula sering biramus; mata biasanya tanpa tangkai; insang terletak pada “thoracic coxae” (sendi pada pangkal kaki pertama di bagian dada); alat gerak kedua dan ketiga pada dada biasanya diadaptasikan untuk memegang; bentuk tubuhnya pipih secara bilateral (kanan-kiri). Contoh : Orchestia, Hyalella, Gammarus.

- Ordo Euphausiacea (yu-faws-i-a’si-a) (Yunani : eu, baik + phausi, bersinar terang, + Latin : acea, akhiran yang menyatakan berkaitan dengan) : udang kril. Karapas bersatu dengan semua ruas dada tetapi tidak semuanya menutupi insang; tanpa maksiliped; semua alat gerak dada memiliki eksopoda (kaki luar). Contoh : Meganyctiphanes.

- Ordo Decapoda (de-kap’o-da) (Yunani : deka, sepuluh + pous, podos, kaki) : udang, kepiting, lobster. Semua ruas dada bersatu dengan dan ditutupi oleh karapas;mata memiliki tangkai; tiga pasang alat gerak dada pertama berubah menjadi maksiliped. Contoh : Penaeus, Cancer, Pagurus, Grapsus, Homarus, Panulirus.

Fosil Ostracoda dan Kadar Oksigen Masa Silam

Boomer dan Whatley (1992) melaporkan bahwa ostracoda merupakan subkelas dari krustasea kecil yang menghuni sebagian besar lingkungan perairan; mereka telah dilaporkan dari jaman Kambrian sampai masa kini. Sifat-sifat biologi salah satu grup ostracoda laut, Platycopina (Triasik-Masa Kini), memungkinkan mereka untuk lebih sanggup bertahan terhadap penurunan kadar oksigen terlarut. Studi terhadap sejumlah seksi geologi menunjukkan bahwa subordo ini sering mendominasi interval stratigrafi yang kondisinya disaerobik (kekurangan oksigen). Dengan demikian, perubahan komposisi fauna pada jaman Jurasik Bawah di Mochras Borehole, Wales bisa ditafsirkan sebagai serangkaian perubahan lingkungan dengan kadar oksigen berfluktuasi.

Distribusi Kepiting Laut Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa rajungan tropis merupakan organisme berumur pendek bila dibandingkan dengan lobster batu, dan kebanyakan spesies mungkin bersifat tahunan. Meski beberapa genus, seperti Euphylax di Pasifik Timur, bersifat pelagis dan oseanis dalam hal distribusinya, sebagian besar bersifat neritik dan bahkan estuarin. Pada habitat-habitat ini mereka membentuk komponen penting biomas predator, yang memangsa banyak jenis invertebrata kecil dan ikan kecil. Jenis rajungan Indo-Pasifik barat yang penting adalah Neptunus pelagicus yang terdapat di seluruh kepulauan sebelah barat. Di Atlantik, rajungan biru dari genus Callinectes sapidus dari Atlantik barat merupakan basis perikanan kepiting utama di Karibia dan Teluk Meksiko; Callinectes latimanus (estuaria) dan Callinectes gladiator (paparan benua) merupakan spesies yang serupa dengan yang ada di Teluk Guinea.

Pengaruh Fase Bulan dan Pasang Surut Terhadap Kelimpahan Larva Penaeidae

Goswami dan Goswami (1992) mempelajari larva udang di Estuaria Mandovi, Goa, India, dengan tujuan menentukan waktu, fase bulan dan fase pasang-surut yang tepat untuk mengumpulkan benih udang tersebut dalam skala besar guna kebutuhan akuakultur. Larva dan post larva 8 spesies udang komersial penting ditemukan dalam sampel zooplankton dari permukaan dan dasar perairan. Mereka adalah, dalam urutan kelimpahan, Metapenaeus dobsoni (Miers), Metapenaeus affinis (H. Milne-Edwards), Metapenaeus monoceros (Fabricius), Parapeneopsis stylifera (H. Milne-Edwards), Penaeus merguiensis De Man, Penaeus indicus (H. Milne-Edwards), Penaeus monodon Fabricius dan Penaeus semisulcatus De Haan. Tahap mysis adalah dominan. Bagaimanapun, fase bulan, siklus harian dan naik-turunnya pasang-surut mempengaruhi keberadaan mereka. Lebih melimpahnya tahap protozoea dan misis terlihat dalam sampel yang diambil selama siang hari sedangkan post larva umum dijumpai pada malam hari. Kelimpahan larva udang penaeidae adalah lebih banyak selama bulan purnama dan pasang tinggi daripada selama periode bulan baru dan pasang rendah.

Bab II
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea


Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Udang Penaeus

Chen dan Lai (1993) meneliti pengaruh suhu dan salinitas terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia pada udang Penaeus japonicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen (O2 mg/gram/jam) dan laju ekskresi amonia-N (mikrogram/gram/jam) juvenil Penaeus japonicus Bate (berat 0,220 ± 0,051 gram) meningkat dengan meningkatnya suhu dalam kisaran 15 – 35 oC pada empat tingkat salinitas (15, 20, 25 dan 30 ppt). Konsumsi oksigen menurun dengan meningkatnya salinitas pada suhu 15 dan 25 oC; bagaimanapun, perbedaan konsumsi oksigen di antara berbagai perlakuan salinitas adalah tidak nyata pada suhu 35 oC. Ekskresi amonia nitrogen pada udang ini menurun secara jelas dengan meningkatnya salinitas pada semua suhu yang diuji. Hubungan antara konsumsi oksigen (OC), ekskresi amonia nitrogen (AE), suhu (T), salinitas (S) dan lama pemaparan (exposure time; t) adalah sebagai berikut :

OC = -0,0359 + 0,0235 T – 0,0024 S – 0,0043 t (r2 = 0,7464)
AE = 5,4183 + 2,2379 T – 1,2731 S – 0,2123 t (r2 = 0,7939)

Rasio O : N menunjukkan pergeseran pemanfaatan nutrisi dari metabolisme yang didominasi-protein ke metabolisme yang didominasi-lipida pada Penaeus japonicus, bila udang ini dikenai peningkatan salinitas sampai 30 ppt pada suhu 15 oC.

Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Lobster

Nakamura dan Kuramoto (1992) melaporkan bahwa lobster, Panulirus japonicus, telah diaklimasikan di dalam sebuah ruang perfusion (semacam akuarium, volume 25 x 40 x 30 cm3, suhu 20 ± 1 oC) selama sebulan. Data electrocardiogram (ECG) diperoleh dengan bantuan elektroda-elektroda yang ditanam dalam tubuh lobster. Rata-rata denyut jantung lobster adalah sekitar 100 denyut per menit selama musim semi dan musim panas atau sekitar 50 denyut per menit selama musim dingin. Pengaruh suhu rendah terhadap denyut jantung dipelajari secara in vivo. Untuk mendinginkan lobster sampai suhu 15 oC, air laut dingin (5 oC) dituangkan ke dalam akuarium. Laju pendinginan (0,1 – 1,0 oC/menit) tergantung pada volume air dingin dan diukur dengan termometer digital.

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada musim semi dan musim panas, laju denyut jantung berkurang sejalan dengan penurunan suhu akibat pendinginan (misal sampai 66 denyut per menit). Bagaimanapun, laju denyut jantung tidak jatuh di bawah 60 denyut per menit pada suhu 15 oC. Pada musim dingin, laju denyut jantung tidak mengikuti penurunan suhu di bawah 18 oC meskipun lajunya turun pada menit-menit awal. Sebagai contoh, laju denyut jantung 31 ± 5 denyut per menit terjadi pada suhu 18 – 16 oC. Korelasi antara laju denyut jantung dan suhu yang diperoleh berdasarkan 18 percobaan pada musim dingin menunjukkan bahwa denyut jantung menurun untuk suhu 21 – 19 oC dan meningkat untuk suhu 19 – 16 oC. Korelasi negatif menunjukkan bahwa lobster memiliki mekanisme yang mencegah penurunan laju denyut jantung yang bergantung pada penurunan suhu tubuh (Nakamura dan Kuramoto, 1992).

Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Zooplankton di Estuaria Tropis

Osore (1992) mempelajari hubungan antara suhu air dan kelimpahan zooplankton di Gazi Creek, sebuah sungai kecil berhutan bakau tropis di selatan Mombasa, Kenya. Stasiun-stasiun sampling terletak di mulut sungai (stasiun 1), sungai bagian dalam (stasiun 3), dan di tengah-tengah keduanya (stasiun 2). Sampling dilakukan dua kali sebulan, dimulai dari stasiun 1 terus ke stasiun 2 sampai stasiun 3. Sebuah jaring bermata jaring 335 mikron dihela di dekat permukaan air selama 5 menit dan sampel yang dikumpulkan diawetkan dengan formaldehid 5 %. Parameter-parameter hidrografi dicatat selama pengambilan sampel. Penelitian di Gazi Creek dilakukan untuk mensurvei komposisi zooplankton baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 22 taksa penting telah dipelajari untuk menentukan variasi musiman dalam hal kelimpahan dan distribusi zooplankton.

Osore (1992), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa populasi zooplankton paling tinggi pada bulan Maret (374 individu per m3). Kelimpahan ini perlahan-lahan menurun selama periode angin muson tenggara (Mei – September) hingga mencapai nilai terendah pada bulan Agustus (30 individu per m3). Kopepoda merupakan taksa yang paling melimpah (48,5 – 92,4 %) selama penelitian. Kelompok ini ditemukan di seluruh sungai kecil tersebut. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa mulut sungai kecil ini memiliki keragaman kopepoda yang lebih tinggi dibandingkan sungai bagian dalam. Berdasarkan Indeks Margalef, stasiun 1 memiliki nilai yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan stasiun 3. Suhu air permukaan menurun selama angin muson tenggara (28,0 sampai 25,5 oC) dan naik selama angin muson timur laut (29,0 sampai 35,5 oC). Kecenderungan dalam hal variasi suhu sangat bersesuaian dengan kelimpahan zooplankton, yang menunjukkan bahwa zooplankton hidup paling subur di perairan yang lebih hangat. Jumlah zooplankton yang banyak juga diamati sekitar bulan Mei (326 individu per m3) selama hujan panjang; mungkin karena banyaknya masukan zat hara. Secara umum, pH bulanan rata-rata hanya bervariasi sedikit, tetapi pH air bagian hulu selalu lebih rendah daripada pH di mulut sungai. Salinitas sangat konstan pada 35 ppt.

Pengaruh Suhu dan Letak Lintang Terhadap Keragaman Kopepoda Laut

Hernandez-Trujillo (1991) mempelajari komposisi spesies kopepoda laut dan kelimpahan setiap spesiesnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis kopepoda yang dikumpulkan di pesisir barat Baja California Sur selama beberapa bulan dalam periode tahun 1982 – 1984. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan keragaman kopepoda yang tinggi seringkali terletak di bagian selatan lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air sampai 29 oC. Sebaliknya, daerah dengan keragaman kopepoda yang rendah terletak di bagian utara dan tengah lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air di bawah 20 oC. Pada tahun 1983, spesies-spesies tropis mendominasi komunitas kopepoda di daerah ini. Kelimpahannya berkurang selama tahun 1984, tanpa ada spesies yang dominan.

Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Tangkap Udang Galah

Yamane (1992) mempelajari bagaimana suhu mempengaruhi jumlah tangkapan udang galah Jepang, Macrobrachium nipponenense, di daerah penangkapan udang tersebut yang terletak di basin selatan Danau Biwa, Jepang. Data yang digunakan dalam evaluasi adalah hasil tangkap oleh perangkap udang dalam waktu tiga tahun (8 Februari – 18 Desember 1987, 18 Maret – 24 Desember 1988 dan 18 Mei – 3 Desember 1990). Perangkap tanpa umpan diletakkan di dasar danau dengan jarak antar perangkap 2 meter pada kedalaman sekitar 2 meter. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah udang galah yang tertangkap dikendalikan oleh suhu air. Di daerah ini, suhu air tampaknya merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah tangkapan udang.

Bab III
Acartia : Ekologi, Telur Dan Kelangsungan Hidup


Acartia Sebagai Zooplankton Laut Dominan

Park et al. (1991) meneliti distribusi musiman zooplankton di Teluk Asan, Korea. Labidocera euschaeta, Sagitta crassa, Calanus sinicus dan Acartia omorii adalah jenis-jenis zooplankton dominan sepanjang tahun dengan persentase komposisi bervariasi musiman. Larva veliger bivalva (musim gugur), larva decapoda (musim semi dan panas) serta Paracalanus parvus dan Evadne tergestina (musim panas) mendominasi juga selama periode tertentu. Pola distribusi vertikal tergantung-waktu untuk satu taksa utama , Acartia omorii, menunjukkan perbedaan musiman, yakni menunjukkan kecenderungan migrasi vertikal normal pada musim dingin dan migrasi vertikal sebaliknya pada musim semi. Di lapisan permukaan laut kelimpahan pada siang hari adalah sama atau lebih sedikit dibandingkan kelimpahan pada malam hari secara umum.

Kedalaman Sedimen Habitat Telur-Istirahat Acartia

Vlitasalo (1992) melaporkan bahwa telur-istirahat Acartia (diduga Acartia bifilosa) pada kepadatan antara 65 dan 125 telur per cm2 ditemukan di dalam sedimen di lepas pantai selatan Finlandia dan mewakili pengamatan pertama telur calanoid dorman (tak aktif) di Laut Baltik. Kepadatan telur tertinggi ditemukan pada kedalaman sedimen antara 4 dan 8 cm. Persentase penetasan bervariasi antara 0 dan 90 % di berbagai lapisan sedimen dan pada berbagai suhu percobaan (13, 16 dan 19 °C). Beberapa naupli menetas dari telur yang diambil dari lapisan sedimen 9 sampai 10 cm di bawah lapisan permukaan sedimen sedangkan naupli lain menetas dari telur setelah disimpan selama 82 hari dalam kondisi geap pada suhu 3 °C. Cahaya tidak dibutuhkan untuk memicu penetasan; naupli dapat menetas dalam gelap bila telur dimasukkan kembali ke dalam air laut yang disaring. Bukti tak langsung menunjukkan bahwa puncak kelimpahan naupli Acartia spp. pada musim semi yang terlihat dalam data pemantauan dari tahun 1973 sampai 1984 adalah berasal dari telur bentik dan bukan dari pemijahan.

Penetasan, Produksi Telur dan Umur Acartia

Trujillo-Ortiz (1990) melakukan percobaan keberhasilan penetasan, produksi telur dan lama perkembangan kopepoda calanoid laut Acartia californiensis Trinast di bawah kondisi laboratorium pada suhu 17 ± 1 °C dan salinitas 35 ppt. Spesimen A. californiensis dikumpulkan di Estero de Punta Banda, Baja California, Mexico. Kopepoda ini memiliki rata-rata keberhasilan penetasan 96 % ± 32 simpangan baku selama periode percobaan. Rata-rata produksi telur bervariasi dari 24,75 ± 1,95 simpangan baku telur/betina/hari (n = 2 betina, t = 10 hari). Lama perkembangan adalah 17,75 hari dari telur sampai dewasa. Hasil penelitian menunjukkan kesamaan yang besar dengan hasil-hasil penelitian lain pada spesies yang sama di daerah pesisir Pasifik utara. A. californiensis terbukti merupakan spesies yang mudah dipelihara di laboratorium.

Pengaruh Oksigen Terhadap Penetasan, Daya Hidup Telur dan Embryo Acartia

Lutz et al. (1992) meneliti pengaruh konsentrasi oksigen yang rendah terhadap penetasan dan daya hidup telur kopepoda laut. Telur dari empat spesies kopepoda, Acartia tonsa, Labidocera aestiva, Tortanus discaudatus dan Centropages hamatus dipaparkan terhadap oksigen berkonsentrasi kurang dari 0,02 ml oksigen per liter. Ketika telur-telur tersebut kemudian dipaparkan terhadap oksgen berkonsentrasi normal, tingkat penetasan bervariasi antar sesies, yang menunjukkan variasi kemampuan telur untuk bertahan hidup pada kondisi konsentrasi oksigen rendah. Pengeraman telur pada konsentrasi oksigen rendah menyebabkan perkembangan embryo menjadi lebih lama.

Kelangsungan Hidup, Umur dan Mortalitas Acartia

Trujillo-Ortiz dan Arroyo-Ortega (1991), dengan tujuan menganalisis mortalitas dan umur harapan hidup kopepoda calanoida Acartia californiensis selama siklus hidupnya, melakukan penelitian di bawah kondisi laboratorium (suhu 17 ± 1 °C dan salinitas 35 ppt). Telur dari individu dewasa yang dikumpulkan di Estero de Punta Banda, Baja California, Mexico, dikultur hingga tahap dewasa. Mereka diberi pakan mikroalga Tetraselmis sp dan Isochrysis tahitiana. Selama perkembangan organisme, laju mortalias maksimum terjadi pada tahap-tahap nauplius. Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, rata-rata umur harapan hidup atau umur lebih lama bagi binatang hidup dalam populasi menunjukkan nilai-nilai tertinggi untuk tahap nauplius-I sampai nauplius-VI (3,98 hari ± 0,24 simpangan baku); nilai terendah diperoleh pada tahap-tahap kopepodid (2,26 hari ± 1,05 simpangan baku). Berdasarkan tabel spesifik-tahap hidup horizontal, selama sepuluh hari pertama umur organisme, kelangsungan hidup dan umur harapan hidup adalah 0,67 ± 0,24 simpangan baku dan 6,45 ± 0,82 simpangan baku, berturut-turut. Sebaliknya, nilai-nilai ini menurun sampai menjadi 0,183 ± 0,13 simpangan baku untuk kelangsungan hidup, dan 2,30 hari ± 1,32 simpangan baku untuk umur harapan hidup selama hari-hari akhir percobaan. Variasi mortalitas dan umur harapan hidup ungkin disebabkan perbedaan jenis akan dan variasi metabolisme organisme yang dipengaruhi tahap hidup.

Bab IV
Kebiasaan Makan Kopepoda Acartia

Acartia merupakan salah satu zooplankton laut dominan sepanjang tahun (Park, Choi dan Moon, 1991). Dominansi ini dipertahankan antara lain dengan memanfaatkan secara maksimal sumber daya makananannya. Untuk memanfaatkan sumberdaya makanannya yang sedikit atau tidak selalu ada, Acartia mengembangkan daya gerak untuk menangkap makanannya itu (Tiselius, 1992). Kopepoda ini makan pada siang (Wlodarczyk, Durbin dan Durbin, 1992), namun lebih aktif mencari makan pada malam hari (Rodriguez dan Durbin, 1992).

Daya gerak individu betina Acartia tonsa sebagai respon terhadap sebaran diatom Thalassiosira weissflogii telah dipelajari oleh Tiselius (1992) dengan menggunakan teknik digital dan rekaman video standar. Daya gerak, yang diukur sebagai perpindahan tiap 10 detik, berkurang setelah 24 jam kelaparan tetapi tak terpengaruh oleh 4 jam kelaparan; daya gerak meningkat untuk sementara setelah dipindahkan dari air laut yang penuh makanan ke air laut yang tidak ada makanannya. Bila makanan hanya ada di pertengahan atas akuarium, kopepoda ini menghabiskan sebagian besar waktunya di sana dan menghasilkan pelet tinja sebanyak seperti di akuarium dengan sebaran makanan homogen. Analisis video terinci menunjukkan bahwa frekuensi makan lebih tinggi dan frekuensi melompat lebih jarang di akuarium yang ada makanannya daripada di air laut yang tak ada makanannya. Kopepoda ini melakukan gerak naik vertikal dengan melompat berulang-ulang untuk mencapai lapisan air yang ada makanannya; dengan perilaku seperti ini mereka dapat bertahan di dalam lapisan-makanan yang tebalnya hanya 30 mm yang berada di tengah-tengah kolom air laut tanpa-makanan setebal 200 mm. Bahkan dengan lapisan-makanan yang tipis seperti ini, kopepoda tersebut selama periode 2 jam memproduksi pelet tinja sebanyak seperti pada akuarium dengan sebaran makanan homogen. Respon yang cepat terhadap makanan dan kemampuan yang tinggi untuk tetap ada di dalam lapisan air tertentu mungkin penting bagi kopepoda yang sumberdaya maanannya jarang.

Keragamaan perilaku makan individu Acartia hudsonica telah dipelajari oleh Rodriguez dan Durbin (1992). Mereka melakukan pengukuran fluorometrik untuk menentukan kandungan pigmen perut dan laju pengosongannya, yang merupakan dasar perhitungan laju makan dan volume makan harian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan perut (gut content) hampir selalu kurang dari 1,2 nano gram pigmen per kopepoda. Sekitar 45 % individu menunjukkan kadar pigmen agak tinggi (0,2 sampai 0,5 nano gram) baik pada siang maupun malam hari, tetapi persentase kopepoda dengan kadar pigmen lebih dari 0,5 nano gram meningkat dari 16 % pada siang hari menjadi 42 % pada malam hari.

Wlodarczyk, Durbin dan Durbin (1992) meneliti pengaruh suhu terhadap aktivitas makan Acartia dan ambang batas konsentrasi pakan di mana di bawah nilai konsentrasi ini aktivitas makan berhenti atau menurun drastis. Mereka menggunakan betina dewasa kopepoda laut Acartia hudsonica yang diberi makan diatom bersel satu Thalassiosira constricta (diamater 10,4 mikron bila dianggap bulat) pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC. Percobaan dilakukan selama siklus harian yang sama (pukul 05.00 sampai 10.00) dan berakhir menjelang tengah hari, saat itu laju makan relatif stabil, guna menstandarisasi pengaruh ritme makan harian. Ambang batas bawah aktivitas makan 280, 127, 282 dan 214 sel/ml berturut-turut pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC telah ditunjukkan oleh hasil analisis regresi bersegmen terhadap hubungan antara pigmen-pigmen lambung dan konsentrasi fitoplankton.

Selektivitas ukuran, laju pembersihan (atau kecepatan menghabiskan makanan dari lingkungan sekitar) dan laju penelanan makanan serta efisiensi asimilasi pada Acartia clausi dari Teluk Blanes Bay (Laut Catalan , NW Mediterranean) telah dievaluasi dalam percobaan grazing pada berbagai kosentrasi makanan. Acartia clausi mencapai koefisien grazing tertinggi untuk alga besar >70 µm (perpajjangan linier terpanjang). Dengan meningkatnya kadar zat hara, konsentrasi makanan efektif (Effective food concentration; EFC) membentuk kurva melengkung dengan nilai maksimum pada kadar zat hara intermediet. Sejalan dengan meningkatnya kadar makanan, laju pembersihan makanan oleh Acartia menunjukkan respon kurva-lengkung dengan kisaran modus yang sempit. Tidak ada aktivitas makan yang dapat dideteksi untuk A. clausi pada konsentrasi makanan < 0.1 mm3 per liter . Rata-rata laju penelanan makanan adalah 1.3 µg C per individu per hari. Konversi karbon yang ditelan menjadi jaringan adalah 30–80% ( Katechakis et al., 2004).

Kemampuan Acartia untuk menseleksi alga makanan yang beracun dan tak beracun menarik perhatian banyak peneliti. Peranan mesozooplankton grazer (pemakan) dalam perkembangan ledakan populasi alga satu-spesies telah sering diteliti dalam kerangka di mana grazer, yang bergantung pada kemampuannya untuk mengenali, menseleksi spesies beracun dan menaikkan tekanan grazing pada spesies tak-beracun. Barreiro (2006) menyajikan beberapa skenario ekologi di mana grazer bisa menseleksi berbagai galur (beracun dan tak beracun) dari spesies yang sama, yang hidup bersama-sama dengan kepadatan yang sama di lingkungan alami sebelum ledakan populasi dimulai. Acartia clausi diberi makan makanan tunggal dan campuran dari 2 galur dinoflagelata Alexandrium minutum, penghasil racun “paralytic shellfish poisoning” (PSP; keracunan kerang yang bersifat melumpuhkan). Satu galur menghasilkan racun PSP dalam jumlah besar dan yang lainya sedikit. Barreiro mengamati strategi makan dan memperkirakan respon kopepoda berdasarkan pada kemampuannya menseleksi makanan. Hasinya menunjukkan bahwa kopepoda memakan secara selektif galur-galur A. minutum. Disimpulkan bahwa kopepoda tidak menolak secara efektif galur beracun. Jadi, tekanan pemangsaan oleh grazer tampaknya bukan merupakan mekanisme penting yang mendorong dominasi galur beracun atas galur tak beracun sebelum terjadinya ledakan populasi.

Jeong et al. (2001) mengukur laju penelanan Acartia spp. terhadap dinoflagellate Amphidinium carterae yang beracun, laju penalanan Acartia spp. terhadap dinoflagelata Oxyrrhis marina (yang sebelumnya dikenyangkan kemudian dilaparkan). Grazing oleh Acartia spp. terhadap A. carterae tidak dapat dideteksi; jadi dinoflagelata ini tidak dimakan oleh Acartia . Laju penelanan Acartia spp. terhadap O. marina adalah sangat rendah (maksimum = 749 Oxyrrhis per pemangsa per hari) pada hari ke-0 (O. marina dilaparkan selama 0 sampai 1 hari setelah dikenyangkan dengan A. carterae), tetapi meningkat dengan meningkatnya selang lama waktu kelaparan. Laju penelanan maksimum adalah 4710 Oxyrrhis per pemangsa per hari pada hari ke-11 (O. marina dilaparkan selama 11 sampai 12 hari). Bukti ini menunjukkan bahwa grazing A. carterae oleh O. marina kadang-kadang dapat memindahkan karbon dari A. carterae ke Acartia spp., yang tidak dapat memakan A. carterae.

Bab V
Pemangsaan Terhadap Daphnia (Cladocera)


Perilaku Menjauhi Tepi Danau Untuk Menghindari Pemangsaan

Gliwicz and Rykowska (1992) melaporkan bahwa distribusi dua spesies Daphnia yang dominan di sebuah danau eutrofik, Danau Ros, menunjukkan perbedaan kelimpahan antara dekat-pantai dan jauh-pantai dengan penurunan dramatis ke arah dekat-pantai, yang menunjukkan kuatnya perilaku “menghindari pantai”. Bagaimanapun, lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih kecilnya kelompok individu kedua populasi yang ada di dekat pantai menunjukkan bahwa lebih rendahnya kepadatan populasi setiap spesies di dekat-pantai adalah lebih disebabkan oleh pengaruh langsung tingginya mortalitas individu yang berukuran lebih besar dan individu dalam kelompok besar karena mereka lebih rentan terhadap pemangsaan oleh ikan pantai, yang didominasi oleh juvenil ikan perch. Data hidroakustik dan data hasil tangkap trawl menunjukkan bahwa ikan perch muda berenang ke lepas pantai pada petang hari untuk memakan zooplankon pelagis, tetapi aktivitas makan mereka tidak seefisien pada malam hari ketika mereka mencapai kumpulan Daphnia paling jauh di tengah danau. Resiko pemangsaan yang tinggi di sekitar pantai danau bisa dianggap sebagai faktor terakhir di belakang evolusi perilaku menghindari pantai pada zooplankton.

Fluktuasi Aktivitas Pemangsaan Terhadap Daphnia

Rudstam et al. (1993) menganalisis data 14 tahun (1976 – 1989) mengenai ikan planktivora (pemakan plankton) dan zooplankton dari Danau Mendota, Wisconsin. Laju pemangsaan terhadap plankton berubah selama periode ini, terutama akibat fluktuasi ikan cisco (Coregonus artedi) kelas tahun 1977 yang mendominasi aktivitas pemangsaan plankton selama periode 10 tahun. Aktivitas pemangsaan terhadap plankton meningkat antara tahun 1977 dan 1978 akibat peningkatan biomas ikan kelas tahun tersebut dan penurunan biomasnya pada bulan Agustus 1987 setelah kejadian “summer kill” (kematian masal di musim panas) ikan cisco di danau ini. Kelas tahun ikan yellow perch (Perca flavescens) dan kelas tahun cisco lainnya menyumbangkan kurang dari 25 % total pemangsaan plankton selama tahun 1978 sampai 1987. Analisis rangkaian waktu menunjukkan bahwa fluktuasi 10 tahun laju pemangsaan plankton ini adalah berkaitan dengan perubahan spesies dan biomas Daphnia. Perubahan musiman dan antar-tahun dalam hal komposisi spesies Daphnia disebabkan oleh efek gabungan pemangsaan plankton, dinamika sumberdaya makanan, dan ekologi fisiologi dua spesies Daphnia. Tidak ada efek nyata peningkatan pemangsaan plankton terhadap biomas zooplankton total karena diimbangi oleh meningkatnya kelimpahan kopepoda cyclopoid sementara kopepoda calanoid tidak memberikan respon.

Pengaruh Ukuran Pemangsa Terhadap Laju Pemangsaan Dapnia

Butler and Burns (1993) meneliti pengaruh ketersediaan mangsa terhadap laju pemangsaan pada tungau air, Piona exigua, dengan tujuan untuk menentukan kisaran dampak pemangsa ini terhadap populasi spesies mangsanya. Piona exigua merupakan invertebrata pemangsa dominan di beberapa danau di New Zealand. Kedua peneliti mempelajari respon-respon fungsional Piona pada bebagai kondisi dan membandingkan hasil-hasilnya dengan menggunakan “analisis kurva paralel” dan sebuah metode pendugaan parameter-parameter kurva. Laju pemangsaan terhadap berbagai cladocera menunjukkan “ambang batas” ukuran mangsa di mana laju pemangsaan berubah mendadak. Nilai-nilai ambang batas ini adalah khas untuk setiap ukuran pemangsa. Piona betina, jantan dan nimfanya menunjukkan laju pemangsaan tertinggi terhadap Daphnia carinata, Ceriodaphnia dan Chydorus, berturut-turut.

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Populasi Daphnia

Irvine et al. (1991) meneliti pengaruh peniadaan tekanan pemangsaan oleh ikan terhadap Daphnia di danau dengan menggunakan karamba di Hoveton Great Broad, salah satu danau eutrofik dangkal di Norfolk Broadland di timur Inggris. Karamba dirancang sedemikian hingga fitoplankton bebas keluar masuk tetapi cladocera dan ikan tidak dapat. Populasi Daphnia di dalam karamba meningkat dan berlanjut sampai periode yang lebih lama pada musim panas dibandingkan dengan populasi yang ada di perairan terbuka di danau itu. Tidak ada penurunan mutu fitoplankton makanan akibat berlangsungnya musim panas dan akibat meningkatnya jumlah cyanophyta, terutama yang bersel kecil. Pengukuran laju makan pada Daphnia menunjukan bahwa laju makan, tetapi bukan efisiensi asimilasi, menurun dengan bertambahnya ukuran fraksi makanan. Analisa makanan pada ikan cyprnidae O+ (umur 0 tahun lebih) di danau menunjukkan bahwa ikan ini tetap memangsa zooplankton kecil, terutama Bosmina longirostris. Perkembangan musiman ikan muda adalah berhubungan dengan penurunan populasi Daphnia yang ada di danau dan mungkin disebaban oleh lebih besarnya kemampuan ikan O+ untuk memakan mangsa yang lebih besar.

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Migrasi Vertikal dan Pertumbuhan Daphnia

Dawidowicz and Loose (1992) mempelajari parameter-parameter sejarah hidup Daphnia magna yang ditumbuhkan secara individual di dalam tabung-tabung sepanjang 1 meter berarus mengalir dan berstratifikasi termal pada kondisi selalu banyak makanan (2,0 mg karbon/liter). Setiap individu bisa bermigrasi dengan bebas di dalam tabung dan kedalaman migrasi ini dicatat pada selang waktu yang teratur. Separuh tabung-tabung ini menerima air dari akuarium berisi ikan. Daphnia di dalam tabung tinggal di kedalaman selama siang hari dan naik ke permukaan pada malam hari, sehingga menunjukkan perilaku migrasi vertikal harian “normal”. Separuh tabung sisanya dipasok dengan air yang sama, tetapi tanpa ikan. Daphnia di dalam tabung ini tidak menunjukkan migrasi harian, tetapi tinggal di lapisan atas yang airnya hangat pada siang dan malam hari. Daphnia yang bermigrasi dalam tabung berisi air bekas ikan tumbuh pada laju (0,21/hari), hanya sepertiga dari laju pertumbuhan Daphnia penghuni tabung berisi air tanpa ikan (0,57/hari). Sebagian besar perbedaan antar perlakuan disebabkan oleh lebih rendahnya suhu yang dihadapi Daphnia yang bermigrasi. Bagaimanapun, percobaan tanpa stratifikasi termal menunjukkan bahwa keberadaan zat-zat kimia asal-ikan dalam air secara nyata menghambat pertumbuhan Daphnia.

Referensi :

Barreiro, A., Guisande, C., Frangópulos, M., González-Fernández, A., Muñoz, S., Pérez, D., Magadán, S., Maneiro, I. , Riveiro, I., and Iglesias, P. 2006. Feeding strategies of the copepod Acartia clausi on single and mixed diets of toxic and non-toxic strains of the dinoflagellate Alexandrium minutum .Marine Ecology Progress Series, Vol. 316, pp.115-125, ISSN: 0171-8630

Boomer, I and R. Whatley. 1992. Ostracoda and dysaerobia in the Lower Jurassic of Wales : The reconstruction of past oxygen levels. Palaeogeografy, Palaeoclimatology, Palaeoecology, vol. 99, no. 3 - 4, pp. 373 - 379

Butler, M.I. and C.W. Burns. 1993. Water Mite Predation On Planktonic Cladocera : Parallel Curve Analysis of Functional Responses. OIKOS, vol. 66, no. 1, pp. 5 – 16, ISSN 0030-1299

Chen, J.-C. and S.-H. Lai. 1993. Effects of Temperature and Salinity on Oxygen Consumption and Ammonia-N Excretion of Juvenile Penaeus japonicus Bate. Journal of Experimental in Marine Biology and Ecology, Vol. 165, No. 2, pp. 161 – 170

Dawidowicz, P. and C.J. Loose. 1992. Metabolic Costs During Predator-Induced Diel Vertical Migration of Daphnia. Limnology and Oceanography, vol. 37, no. 8, pp. 1589 – 1595, ISSN 0024-3590

Gliwicz, Z.M. and A. Rykowska. 1992. “Shore-Avoidance” in Zooplankton : A Predator-Induced Behavior or Predator-Induced Mortality ? Journal of Plankton Research, vol. 14, no. 9, pp. 1331 – 1342, ISSN 0142-7873

Goswami, S.C. and U. Goswami. 1992. Lunar, Diel and Tidal Variability in Penaeid Prawn Larval Abundance in The Mandovi Estuary, Goa. Indian Journal of Marine Sciences, vol. 21, no. 1, pp. 21 – 25, ISSN 0379-5136

Hernandez-Trujillo, S. 1991. Latitudinal Variation of Copepod Diversity on The West Coast of Baja California Sur, Mexico 1982 – 1984. Ciencias Marinas, Vol. 17, No. 4, pp. 83 - 103

Hickman, C.P., L.S. Roberts and A. Larson. 2001. Integrated Principles of Zoology. 11th ed. MacGraw-Hill Book Co. New York. 899 pp.

Irvine, K., J.T. Stansfield and B. Moss. 1991. The Use of Enclosures to Demonstrate The Enhancement of Daphnia Populations When Isolated From Fish Predation in A Shallow Eutrophic Lake. MEM.IST.ITAL.IDROBIOL., vol. 48.

Jeong, H.J., Kang, H, Shim, J.H., Park, J.K., Kim, J.S., Song, J. Y., and Choi, H.-J. 2001. Interactions among the toxic dinoflagellate Amphidinium carterae, the heterotrophic dinoflagellate Oxyrrhis marina, and the calanoid copepods Acartia spp. Marine Ecology Progress Series, Vol. 218, pp. 77-86. ISSN: 0171-8630

Katechakis, A., Stibor, H., Sommer, U. and Hansen, T. 2004. Feeding selectivities and food niche separation of Acartia clausi, Penilia avirostris (Crustacea) and Doliolum denticulatum (Thaliacea) in Blanes Bay (Catalan Sea, NW Mediterranean). Journal of Plankton Research 2004 26(6):589-603

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Lutz, R.V., N.H. Marcus and J.P. Chanton. 1992. Effects of Low Oxygen Concentrations on The Hatching and Viability of Eggs of Marine Calanoid Copepods. Marine Biology, vol. 114, no. 2, pp. 241 – 247

Nakamura, M. and T. Kuramoto. 1992. Effect of Cooling on The Heart Beat of The Japanese Spiny Lobster in Vivo. Zoological Sciences, Vol. 9, No. 6, p. 1216

Osore, M.K.W. 1992. A Note on The Zooplankton Distribution and Diversity in A Tropical Mangrove Creek System, Gazi, Kenya. Hydrobiologia, Vol. 247, No. 1 – 3, pp. 119 – 120

Park, C., K.-H. Choi and C.-H. Moon. 1991. Distribution of Zooplankton in Asan Bay, Korea, With Comments on Vertical Migration. Bulletin of Korean Fisheries Society, vol. 24, no. 6, pp. 472-482, ISSN 0374-8111

Rodriguez, V. & Durbin, E.G. 1992. Evaluation of synchrony of feeding behaviour in individual Acartia hudsonica (Copepoda, Calanoida). Marine Ecology Progress Series, Vol. 87, no. 1-2, pp. 7-13, ISSN 0171-8630

Rudstam, L.G., R.C. Lathrop and S.R. Carpenter. 1993. The Rise an Fall of A Dominant Planktivore : Direct and Indirect Effects on Zooplankton. Ecology, vol. 74, no. 2, pp. 303 – 319, ISSN 0012-9658

Tiselius, P. 1992. Behavior of Acartia tonsa in patchy food environments. Limnology and Oceanography, Vol. 37, no. 8, pp. 1640-1651, ISSN 0024-3590

Trujillo-Ortiz, A. 1990. Hatching Succes, Egg Production and Development Time of Acartia californiensis Trinast (Copepoda : Calanoida) Under Laboratory Conditions. Cienc. Mar., vol. 16, no. 1, pp. 1 – 22, ISSN 0185-3880.

Trujillo-Ortiz, A. and Arroyo-Ortega, J.E. 1991. Analysis of Mortality and Expectation of Life of Acartia californiensis Trinast (Calanoida - Copepoda) Under Laboratory Conditions. Cienc. Mar., vol. 17, no. 4, pp. 11 – 18, ISSN 0185-3880

Vlitasalo, M. 1992. Calanoid Resting Eggs in The Baltic Sea : Implications for The Population Dynamics of Acartia bifilosa (Copepoda). Marine Biology, vol. 114, no. 3, pp 397-405, ISSN 0025-3162

Wlodarczyk, E., Durbin, A.G. & Durbin, E.G. 1992. Effect of temperature on lower feeding thresholds, gut evacuation rate, dan diel feeding behavior in the copepod Acartia hudsonica. Marine Ecology Progress Series vol. 85, no. 1-2, pp. 93-106

Yamane, T. 1992. Relationship Between Changes in Water Temperature and Catch at Prawn Pot Fishing Grounds in The South Basin of Lake Biwa. Memoar of Faculty of Agricultural of Kinki University, No. 25, pp. 19 - 25

1 komentar:

  1. Kepada seluruh member setia BOLAVITA, jika Anda mengalami kendala saat mengakses situs BOLAVITA, silahkan akses melalui link alternatif kami dengan Link IP : http://159.89.197.59/

    Agen BOLAVITA menyediakan permainan yang sangat lengkap, berikut permainan yang disediakan:
    • Bola Tangkas (Tangkasnet, Tangkas88 dan Tangkas1)
    • Casino Online (WM Casino, Green Dragon dan SBOBET Casino)
    • Sabung Ayam (S128, SV388 dan Kungfu Chicken)
    • Taruhan Bola (SBOBET, MAXBET/ICB Bet dan 368 Bet)
    • Togel Online (KLIK4D dan ISIN4D)
    • Poker Online (POKERVITA)
    • Games Virtual / Slot Games (Joker dan Play1628)

    Bonus yang diberikan Agen BOLAVITA juga sangat banyak dan menguntungkan, baik member baru maupun member setia:
    📍 Bonus Welcome Back Rp 200.000
    📍 Bonus 10% untuk new member (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    📍 Bonus 5% Deposit Harian (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    📍 Bonus Deposit Harian 10% untuk permainan BOLA TANGKAS
    📍 Bonus Referral 7% + 2%
    📍 Bonus Rollingan 0.5% + 0.7%
    📍 Diskon Togel KLIK4D & ISIN4D up to 66%
    📍 Bonus Cashback 5% - 10%
    📍 Bonus Cashback Bola Tangkas 10%
    📍 Bonus Flash Deposit Setiap Jumat 10%
    📍 Bonus Extra BIG MATCH 20%
    📍 Bonus FREECHIPS Promo Lebaran Ketupat

    Daftar, main dan raih kemenangan Anda bersama kami di http://159.89.197.59/

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    LINE : cs_bolavita
    TELEGRAM : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    BalasHapus