Rabu, 14 Februari 2018

Bioekologi dan Sumberdaya Hayati Ikan Air Laut


Bab I
Ikan Laut


Distribusi dan Reproduksi Mugil cephalus

Belanak abu-abu (Mugil cephalus) merupakan salah satu ikan laut perairan hangat yang paling populer yang dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Juvenil spesies ini dikumpulkan dari perairan pesisir antara lintang 42o Lintang Utara dan 42o Lintang Selatan kemudian dibudidayakan di perairan tawar, payau atau laut. Ikan belanak bersifat euryhalin dan menghuni daerah pesisir. Ikan ini dianggap sumber penting protein hewani bagi penduduk sekitar Samudra Pasifik, Asia Tenggara, India, Laut Tengah, Eropa Timur dan banyak bagian Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Walaupun penelitian telah dilakukan terhadap perbanyakan buatan ikan belanak dalam kurungan, namun budidaya ikan belanak masih tergantung pada penangkapan juvenil dari laut. Larva ikan belanak produk laboratorium telah dipelihara sampai matang gonad kemudian ikan ini dirangsang untuk memijah. Hasilnya menunjukkan bahwa ikan belanak dapat didomestikasi, yakni bisa matang gonad dan bereproduksi pada kondisi budidaya (Lee dan Tamaru, 1988).

Ikan Belut Neenchelys dari Laut Banda

Satu spesimen tunggal ikan belut ophichthidae telah ditangkap dengan trawl dari Samudra Pasifik di lepas pantai Teluk Suruga, Jepang Tengah, selama perjalanan kapal R/V Tansei-Maru dari Ocean Research Institute, Universitas Tokyo pada tahun 1983. Ikan ini memiliki sirip ekor pendek tetapi ada jari-jari siripnya, sirip dada berkembang baik, dan sebuah lubang hidung mirip celah pada sisi kepala di atas bibir; semuanya merupakan ciri-ciri yang sesuai dengan ikan Neenchelys menurut McCosker (1977, 1982). Meskipun memiliki lebih banyak ruas tulang belakang (vertebrae) dan lubang-lubang indra di kepala daripada tipe Neenchelys daedalus McCosker, 1982, Machida dan Ohta (1993) mengidentifikasi ikan sample ini sebagai Neenchelys daedalus. Ini merupakan penemuan pertama ikan dari genus ini di Jepang, karena selama ini Neenchelys daedalus hanya dikenal dari Papua Nugini dan Laut Banda (Machida dan Ohta, 1993).

Asosiasi Ikan Demersal di Terumbu Karang Atlantik Tropis

Mengingat bahwa habitat terumbu karang, batu dan pasir di Atlantik barat relatif lebih luas dibandingkan Atlantik timur, maka komunitas ikan lutjanidae relatif lebih penting daripada di Teluk Guinea, namun mereka lebih seragam dibandingkan dengan komunitas ikan sciaenidae yang bersesuaian, yang secara regional lebih beraneka ragam daripada di Teluk Guinea. Di Campeche Bank, penelitian menunjukkan adanya tiga asosiasi spesies di mana pada ketiganya ikan lutjanidae, sparidae dan pomadasyidae terdapat bersama-sama; “spesies inti” pada ketiga kelompok ini adalah (1) Haemulon aurolineatum, Lagodon rhomboides dan Calamus bajonado, (2) Ocyurus chrysurus, Haemulon plumieri, Lutjanus synagris, Anisotremus virginicus, Lachinolamus maximus, Priacanthus arquatus, dan Aluter shoepferi, dan (3) Priacanthus arenatus, Sphaeroides spengleri, Diplectum formosum, Chaetodon ocellatus, dan Acanthostracion quadricornis. Dua asosiasi yang pertama terdapat di perairan yang lebih dangkal daripada asosiasi ketiga, namun tidak mudah untuk menentukan hal ini berdasarkan informasi yang terbatas tersebut; tampaknya ada kemiripan dengan komunitas yang ada di daerah subtropis Atlantik timur di lepas pantai Mauritania dan Senegal di mana habitat dasar perairan yang berpasir dan bersubstrat keras didominasi oleh ikan-ikan sparidae, lutjanidae dan genus-genus yang berasosiasi dengannya (Longhurst dan Pauly, 1987).

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) asosiasi ikan terumbu karang dan daerah berpasir di sekitar terumbu karang banyak terdapat di Atlantik barat : di pulau/karang dan pesisir Florida, Bahama, Antilles dan Cuba, dan pesisir Amerika dari Yucatan sampai Amerika timur. Seperti pada kasus karang hermatipik, tampaknya ada celah besar dalam hal distribusi mereka di paparan benua yang dipengaruhi oleh air buangan Sungai Amazon sedemikian hingga populasi yang berasosiasi dengan terumbu karang di pesisir Brazil di selatan Amazon adalah secara efektif terpisah, meskipun ikan Lutjanidae ditemukan di paparan benua yang dalam di Guyana. Bagaimanapun, survei trawl di paparan benua yang dalam di Amazonia pada kedalaman 40 – 80 meter menunjukkan keberadaan banyak spesies ikan karang (atau komunitas ikan lutjanidae) di dasar perairan yang didominasioleh sepon epibentik. Spesies-spesies ikan seperti Gymnothorax, Apogon, Epinephelus, Diplectrum, Serranus, Haemulon dan genus-genus lain telah ditemukan di sana dan hal ini menjadi bukti kuat bahwa tidak ada rintangan bagi distribusi ikan-ikan karang di antara Brazil dan Karibia, seperti yang terlihat pada kasus karang hermatipik.

Biologi Reproduksi Anemonfish, Amphiprion

Hirose (1995) mengulas literatur-literatur mengenai bioekologi ikan anemonfish, Amphiprion. Anemonfish merupakan “obligate symbiont” (simbion wajib) penghuni anemon laut besar dan tersebar terutama di terumbu karang Indo-Pasifik Barat. Anemonfish biasanya hidup dalam kelompok yang terdiri dari sepasang pemijah monogami dan beberapa juvenil. Sedikitnya 8 dari 28 spesies anemonfish bersifat hermaprodit protandri yang mengalami perubahan jenis kelamin dari jantan ke betina, dan ikan juvenilnya memiliki gonad ambisexual (berkelamin dua). Anemonfish jarang berpindah antara anemon laut, dan biasanya hidup dalam kelompok-kelompok terpisah. Pada kondisi seperti ini, protandri mungkin berfungsi menjamin perkawinan di dalam suatu kelompok terisolasi tanpa harus menunggu imigrasi ikan dewasa. Dua orang peneliti, Fricke dan Fricke, pada tahun 1977 mengeluarkan hipotesis sebagai berikut (1) karena keterbatasan ukuran individu anemon laut maka tidak lebih dari dua ikan anemonfish dewasa hidup bersama-sama; (2) Ketika pasangan kawin menghilang, posisi yang kosong ini sulit digantikan oleh ikan dari anemon laut lain; (3) bila ikan betina lenyap, ikan jantan mengubah jenis kelaminnya menjadi betina dan ikan juvenil segera menjadi jantan fungsional. Jadi, pembentukan pasangan baru selalu disertai oleh perubahan jenis kelamin atau diferensiasi seks pada suatu kelompok terisolasi.

Hirose (1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi anemon laut adalah tinggi di perairan laut beriklim-sedang di selatan Jepang dan ikan anemonefish (Amphiprion clarkii) tidak selalu hidup di dalam kelompok terisolasi. Pada gerombolan anemon laut di Miakejima, Jepang, ikan Amphiprion clarkii hidup di dalam kelompok yang mencakup lebih dari dua ikan dewasa bersama juvenil-juvenil. Pasangan Amphiprion clarkii di laut Uwa, sebelah barat pulau Shikoku, memantapkan teritorial (wilayah kekuasaan) yang berdampingan sedangkan ikan juvenil memiliki kisaran rumah di dekat tepian teritorial pasangan ikan dewasa. Pada kondisi seperti ini, ikan dewasa Amphiprion clarkii sering berpindah dari satu anemon ke anemon lainnya, dan perubahan jenis kelamin ikan tersebut jarang terjadi setelah pasangan kawin hilang.

Pola Pembentukan Pasangan Kawin Pada Ikan Anemon Amphiprion

Hirose (1995) melaporkan bahwa di pulau Sesoko, Jepang, stok ikan anemon telah diamati selama 2 tahun dalam suatu daerah seluas 350x150 meter di mana jumlah anemon laut inang jarang. Sekitar 40 % pasangan ikan anemon menjadi terpisah, terutama akibat serangan angin topan atau pengusiran. Ikan janda tetap tertinggal dan memperoleh pasangan kawin baru pada anemon laut yang sama, kecuali untuk satu kasus. Pasangan kawin baru ini merupakan ikan dewasa imigran untuk Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus, tetapi merupakan ikan juvenil penghuni lokal untuk Amphiprion perideraion. Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus berpindah dari satu anemon laut ke anemon laut lain dan kadang-kadang dilakukan dengan mengusir ikan berjenis kelamin sama berukuran lebih kecil, tetapi Amphiprion perideraion jarang berpindah. Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ini berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara juvenil terbesar pada kelompok pemijahan dengan panjang minimum ikan jantan pemijah. Perbedaan mobilitas ini juga berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara jantan pemijah dan panjang minimum betina pemijah. Pada Amphiprion perideraion kedua macam perbedaan ini kecil, sehingga pasangan dapat dibentuk dengan cepat oleh ikan-ikan penghuni lokal segera setelah pasangan kawin hilang. Sebaliknya, pada Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus, salah satu atau kedua macam perbedaan tersebut besar dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk pasangan setelah pasangan kawin hilang. Perbedaan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan, dan dengan demikian mempengaruhi komposisi ukuran anggota-anggota dalam kelompok pemijahan.

Setelah ikan jantan hilang, seringkali akibat serangan angin taufan, ikan-ikan janda/duda tetap tinggal dan memperoleh pasangan kawin baru pada anemon laut yang sama kecuali untuk satu kasus. Pasangan kawin baru ini selalu berupa ikan dewasa imigran pada Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii, tetapi berupa juvenil penghuni lokal pada Amphiprion perideraion. Beberapa ikan dewasa Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii, yang telah menjadi sendirian atau yang anemon lautnya terganggu, berpindah dan mengusir ikan berjenis kelamin sama yang lebih kecil lalu berpasangan dengan pasangan yang ditinggalkan ikan kecil tadi; beberapa ikan yang diusir ikan dewasa juga berpindah dan mengusir ikan lain yang lebih kecil lagi. Sebaliknya Amphiprion perideraion jarang berpindah dalam daerah yang sama, jadi perbedaan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan kawin pada anemonefish.

Bila salah satu pasangan kawin menghilang, perubahan jenis kelamin dan diferensiasi jenis kelamin pada ikan yang masih ada diyakni sebagai satu-satunya cara untuk membentuk pasangan baru, karena jarangnya distribusi anemon laut dan tingginya tekanan pemangsaan pada terumbu karang yang akan menghambat imigrasi ikan dewasa. Hanya pada populasi Amphiprion clarkii di daerah beriklim sedang, ikan dewasa berpindah dari satu anemon laut ke anemon laut lain dan membentuk pasangan baru. Mobilitas Amphiprion clarkii disebabkan oleh faktor lingkungan, tingginya kepadatan inang dan rendahnya tekanan pemangsaan di daerah yang beriklim sedang. Bagaimanapun, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus berpindah di antara aemon-anemon laut yang tersebar jarang di terumbu karang; perubahan dan diferensiasi jenis kelamin jarang terjadi pada ikan yang tetap tinggal setelah pasangan kawinnya hilang pada kedua spesies anemonefish ini. Di daerah yang sama, Amphiprion perideraion jarang berpindah; pasangan-pasangan baru terbentuk melalui perubahan dan diferensiasi jenis kelamin ikan yang tertinggal setelah pasangan kawinnya hilang.

Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ikan anemon ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara ikan rangking ke-3 (gamma) pada kelompok pemijahan dan panjang minimum ikan jantan pemijah. Pada pasangan anemonefish pemijah, ikan betina selalu lebih besar daripada ikan jantan. Ikan betina dominan mungkin menghambat pertumbuhan ikan-ikan subdominan dalam kelompoknya. Sebaliknya, ikan jantan seringkali menghilang setelah serbuan angin taufan. Untuk menjamin perkawinan setelah pasangan kawin hilang, ukuran tubuh ikan rangking ke-3 (gamma) mungkin penting bagi ikan betina. Bila ukuran tubuh individu gamma mendekati ukuran minimum ikan jantan pemijah, ikan betina segera memijah dengannya tanpa menunggu imigran atau mencari pasangan kawin lain. Perbedaan rata-rata terhadap ukuran minimum ikan jantan pemijah paling kecil pada individu gamma Amphiprion perideraion , yang juga menunjukan mobilitas terendah. Sebaliknya, Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii memiliki mobilitas tinggi dan individu-individu dalam kelompok pemijahan jauh lebih kecil daripada ukuran minimum ikan jantan pemijah. Dengan demikian, pada Amphiprion perideraion ikan betina pemijah bisa mentoleransi kehadiran individu-individu gamma yang paling siap menggantikan ikan jantan sebagai pejantan cadangan, karena imigrasi ikan dewasa tidak bisa diharapkan akibat rendahnya mobilitas mereka.

Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ini juga berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara jantan pemijah dan ukuran minimum ikan betina pemijah. Ikan betina pemijah seringkali hilang setelah serangan angin taufan. Bila ukuran tubuh ikan jantan mendekati ukuran minimum ikan betina pemijah, maka ikan jantan ini segera mengubah jenis kelaminnya sebagai betina agar bisa memijah setelah ikan betina lenyap, di mana ikan rangking ketiga (gamma) juga mendejati ukuran minimum ikan jantan pemijah. Situasi seperti ini terbatas hanya pada Amphiprion perideraion, yang menunjukkan mobilitas paling rendah. Pada Amphiprion clarkii ukuran ikan jantan rata-rata sedikit lebih besar daripada ukuran minimum ikan betina pemijah, tetapi individu gamma jauh lebih kecil daripada ukuran minimum ikan jantan pemijah, dan dengan demikian ikan jantan harus berpindah atau menunggu ikan imigran agar bisa memperoleh pasangan kawin baru setelah pasangan kawin sebelumnya hilang. Belum diketahui mengapa perbedaan rata-rata antara ikan jantan pemijah dan ukuran minimum ikan betina pemijah jauh lebih besar pada Amphiprion frenatus daripada Amphiprion clarkii, yang keduanya menunjukkan mobilitas lebih tinggi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mobilitas anemonefish sangat berbeda di antara ketiga spesies. Perbedan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan kawin, dan dengan demikian juga mempengaruhi komposisi ukuran suatu kelompok pemijahan pada anemonefish (Hirose, 1995).



Bab II
Oreochromis :
Reproduksi, Osmoregulasi, Pertumbuhan dan Dinamika Populasi


Peranan Tulang Rahang Atas Dalam Reproduksi Oreochromis

Behrends et al. (1993) melaporkan bahwa ikan tilapia biru, Oreochromis aureus (Steindachner) umur dua tahun telah dipelihara dalam lima buah hapa pemijahan (ukuran 1,2 m x 1,2 m x 2,7 m) dengan padat penebaran enam ikan jantan dan enam ikan betina per hapa. Pada saat ditebarkan, berat badan rata-rata ikan jantan dan betina adalah 415 dan 225 gram, berturut-turut. Selama percobaan 50 hari (Juli – Agustus), dari 30 ekor ikan betina diperoleh 62.900 benih (telur dan anak ikan yang masih berkantung) yang dihasilkan oleh 78 pemijahan. Pada perlakuan pembanding (kontrol), penyingkiran tulang maksila (rahang atas) pada ikan jantan sebelum ditebarkan tidak mempengaruhi produktivitas pembenihan. Bagaimanapun, penyingkiran tulang rahang atas pada ikan betina secara nyata mengurangi frekuensi pengulangan pemijahan dan jumlah telur dalam sekali pemijahan (P < 0,05). Penyingkiran tulang rahang atas juga mempengaruhi perolehan berat badan ikan induk. Diduga bahwa hal-hal tersebut disebabkan oleh penyingkiran tulang rahang atas dan yang kemudian merusak hierarki dominansi.

Air Budidaya Yang Kekurangan Kalsium Menyebabkan Pengeroposan Tulang Oreochromis niloticus

Takagi dan Yamada (1992) mempelajari pengaruh penyingkiran kalsium dari air budidaya atau baik dari makanan maupun dari air budidaya terhadap metabolisme tulang aselular pada ikan nila Oreochromis niloticus dengan metode histomorfometri tulang faringeal. Air budidaya yang kekurangan kalsium mengaktifkan sel-sel penyerap tulang dan menekan osteoblast, tanpa terpengaruh oleh penambahan kalsium dalam pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel-sel tulang aselular berubah untuk memindahkan kalsium dari tulang ke dalam cairan ekstraselular. Hal ini terjadi ketika ikan menghadapi kondisi stres akibat rendahnya kalsium, misalnya bila air di sekeliling ikan tersebut kekurangan kalsium. Penambahan kalsium dalam pakan tampaknya tidak cukup untuk metabolisme tulang secara normal pada tilapia.

Keterlibatan Autoantigen Sperma Dalam Fertilisasi Sel Telur Ikan Nila

Mochida et al. (1992) melaporkan bahwa dalam testis ikan nila Oreochromis niloticus, beberapa jenis protein spesifik muncul pada membran plasma sperma selama spermiogenesis (pembentukan sperma). Protein-protein ini dikenal sebagai autoantigen yang terisolir dari sistem kekebalan ikan oleh penghalang darah-testis, dan mungkin memiliki fungsi-fungsi spesifik selama dan setelah spermiogenesis. Untuk meneliti apakah autoantigen permukaan sperma terlibat dalam fertilisasi, kesuburan sperma yang diselubungi dengan autoantibodi anti-sperma telah diuji pada ikan nila. Lebih lanjut, pemurnian-sebagian terhadap autoantigen sperma telah dilakukan dalam penelitian ini. Autoantibodi anti-sperma telah diisolasi dari serum darah ikan nila jantan yang diimunisasi dengan sperma allogenik yang diemulsikan dengan larutan Freund lengkap. Telur yang baru saja dipijahkan diinseminasi dengan sperma yang telah bereaksi dengan autoantibodi di dalam plasma seminal buatan. Kesuburan sperma yang diselubungi autoantibodi ini jauh lebih rendah daripada kesuburan sperma yang diselubungi antibodi nonspesifik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu jenis autoantigen yang berperanan penting dalam fertilisasi pada ikan nila. Lebih lanjut, protein-protein membran pada sperma telah dilarutkan dengan deterjen non ionik, yakni octylthioglucoside. Ekstrak ini dimasukkan ke dalam kolom afinitas dengan menggunakan anti-sperma autoantibodi-Sepharose 4 B, dan autoantigennya disingkirkan dengan larutan urea 8 M. Fraksi hasil penyingkiran ini dianalisis dengan elektroforesis gel SDS-poliakrilamida. Di bawah kondisi tereduksi, fraksi ini menunjukkan jalur-jalur polipeptida mayor yang berpusat pada 80 kDa serta beberapa jalur minor. Melalui analisis “immunoblotting” (pembentukan bintik zat kekebalan) dengan autoantibodi, empat jalur utama yang memuat jalur-jalur 80 kDa didentifikasi sebagai autoantigen.

Osmoregulasi Pada Larva Oreochromis mossambicus Yang Baru Menetas

Ayson et al. (1992) melaporkan bahwa larva ikan mujair Oreochromis mossambicus yang baru menetas tetap hidup meski dipindahkan langsung dari air tawar ke air laut (salinitas 33 ppt); larva umur 2 hari atau lebih bisa mentolerir perpindahan langsung dari air tawar ke air laut bersalinitas 25 ppt. Karena organ-organ osmoregulasi utama ikan dewasa masih belum berkembang pada larva tahap awal, sel klorida dalam membran kantung kuning telur diamati dengan menggunakan “daspei”, zat wana spesifik untuk sel yang kaya akan mitokondria. Perubahan ukuran dan jumlah sel klorida sampai kuning telur habis diserap diamati setelah larva yang baru menetas dipindahkan dari air tawar ke air laut. Sel prolaktin dan sel hormon pertumbuhan dalam pituitari larva juga diamati dengan imunositokemistri. Setelah dipindahkan ke air laut, ukuran sel klorida meningkat secara nyata 2 sampai 4 kali lipat dibandingkan pada larva air tawar. Ukuran rata-rata sel prolaktin dan luas pituitari yang mengandung sel tersebut secara nyata lebih besar pada larva air tawar dibandingkan pada larva air laut. Ukuran sel hormon pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh perpindahan larva ke air laut. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan keterlibatan sel klorida dalam membran kuning telur dan sel prolaktin pituitari dalam osmoregulasi larva Oreochromis mossambicus yang masih berkantung kuning telur.

Merangsang Pertumbuhan Ikan Mujaer Kecil Dengan Menyingkirkan Ikan-Ikan Besar

Sampath dan Ramasunder (1992) mempelajari pengaruh hierarki ukuran terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan ikan mujaer (Oreochromis mossambicus). Ikan ini, yang dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan berat badan (kecil 4,68 gram, menengah 9,281 gram, dan besar 16,399 gram) dipelihara secara terpisah dan secara bersama-sama. Bila dipelihara secara terpisah dalam akuarium individual, kelas ikan kecil menunjukkan nilai maksimum laju makan dan pertumbuhan, diikuti oleh kelas menengah dan besar. Bagaimanapun, bila dipelihara bersama-sama, kelas kecil menunjukkan nilai minimum; nilai tersebut berkurang 52 % dibandingkan dua kelas lainnya. Laju pertumbuhan kelas menengah dan kelas besar tidak terpengaruh dalam pemeliharaan secara bersama-sama tersebut. Ikan kelas kecil bila dipelihara kembali secara terpisah setelah dipelihara bersama-sama dapat mengimbangi kehilangan pertumbuhannya yang terjadi selama pemeliharaan secara bersama-sama, dan mereka bisa mencapai laju pertumbuhan aslinya. Penyingkiran ikan-ikan besar secara berkala dari populasi terbukti dapat mendorong produksi dalam budidaya Oreochromis mossambicus.

Dinamika Populasi Ikan Mujair dan Nila di Dua Bendungan

Amarasinghe dan de Silva (1992) mempelajari dinamika populasi dua spesies ikan cichlidae, ikan mujair Oreochromis mossambicus dan ikan nila Oreochromis niloticus di dua bendungan (Minneriya dan Kaudulla) di Sri Lanka dengan metode berdasar panjang. Panjang total asimptotik dan konstanta pertumbuhan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus telah digunakan untuk menduga laju mortalitas dan laju eksploitasi. Penampilan pertumbuhan Oreochromis mossambicus di kedua bendungan lebih baik daripada Oreochromis mossambicus di berbagai daerah geografi lain. Virtual Population Analysis berstruktur-panjang menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan mendekati konstan selama stok direkruitmen, yang menunjukkan bahwa pengaruh selektivitas jaring insang terhadap sampel tangkapan adalah kecil. Analisis hasil-per-rekruit relatif yang digabungkan dengan peluang tertangkap menunjukkan bahwa hasil tangkap Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus di bendungan Minneriya bisa ditingkatkan dengan meningkatkan ukuran saat pertama tertangkap. Di Kaudulla, peningkatan laju eksploitasi Oreochromis mossambicus berpengaruh negatif terhadap stok Oreochromis niloticus. Juga, peningkatan ukuran saat pertama tertangkap pada Oreochromis niloticus untuk mengoptimalkan hasil akan menyebabkan stok Oreochromis mossambicus kurang terkeploitasi.

Bab III
Ikan Kembung (Rastrelliger) :
Distribusi, Migrasi, Pemijahan, Makanan dan Pertumbuhan


Biologi dan Alat Tangkap Ikan Kembung

Carpenter et al. (1997) menyatakan bahwa Rastrelliger kanagurta umumnya berukuran panjang cagak sekitar 25 cm, maksimum panjang cagak sampai 35 cm; ikan ini bersifat epipelagis dan neritik, sering terlihat di dekat terumbu karang. Ia memakan larva udang dan ikan. Rastrelliger kanagurta ditangkap terutama dengan purse seine, jaring insang dan “stake trap” (perangkap yang dipancang).

Pengaruh Arus Laut Terhadap Migrasi Rastrelliger di Laut Jawa

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa Rastrelliger melakukan migrasi yang luas dan hal ini melibatkan pergerakan gerombolan-gerombolan besar dengan jumlah sampai beberapa juta ikan. Secara musiman, migrasi Rastrelliger membawa sumberdaya perikanan yang sangat penting bagi beberapa daerah pesisir tropis seperti pantai barat India. Migrasi ini tampaknya berkaitan dengan siklus oseanografi meskipun pola migrasinya belum dapat dipahami sepenuhnya. Demikianlah, di Laut Jawa telah diketahui bahwa pada saat terjadi arus balik yang bersamaan dengan permulaan angin muson timur-laut, stok Rastrelliger (beserta stok ikan layang, Decapterus) bergerak ke arah barat bersama-sama dengan arus air dan stok ikan ini hilang dari perikanan; setelah beberapa minggu berselang, stok yang berbeda memasuki perikanan Laut Jawa dari arah timur. Ketika arus muson berbalik lagi pada akhir musim, dua stok ikan memasuki Laut Jawa dari arah barat, satu tampaknya dari Samudra Hindia dan yang lain dari Laut Cina Selatan. Di lepas pantai barat India, Rastrelliger kanagurta bergerak ke arah pantai bersamaan dengan angin muson timur-laut, dan perikanan di tempat ini berdasarkan pada fakta tersebut.

Distribusi dan Makanan Rastrelliger

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ikan kembung (Rastrelliger) Indo-Pasifik barat merupakan komoditas perikanan yang sangat penting serta merupakan anggota ekosistem pelagis yang penting di paparan benua daerah tersebut. Rastrelliger terdapat di seluruh Indo-Pasifik barat dari Selat Mozambik sampai Laut Merah, di sebagian besar kepulauan Polinesia dari Queensland sampai Hawaii, dan ke arah utara sampai Taiwan dan Filipina. Di dalam daerah ini terdapat tiga spesies : Rastrelliger kanagurta menempati seluruh daerah, Rastrelliger brachysoma memiliki daerah distribusi yang terpusat di Selat Sunda dan meluas dari Laut Andaman sampai Fiji, sedangkan dari Teluk Thailand sampai Filipina terdapat spesies ketiga, Rastrelliger neglectus. Ketiga spesies bisa dibedakan terutama bedasarkan proporsi alometrik. Rastrelliger brachysoma tubuhnya relatif lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan spesies-spesies lain, Rastrelliger neglectus memiliki tubuh paling panjang dan paling sempit.

Bila dua spesies tersebut di atas terdapat bersama-sama, Rastrelliger kanagurta hidup di lepas pantai di mana ia memakan makroplankton sedikitnya 32 %, sedangkan Rastrelliger brachysoma hidup di zona neritik dan memanfaatkan partikel makanan yang lebih kecil daripada yang dimakan speseis lain. Sebenarnya, Rastrelliger, seperti kerabatnya yang lain, adalah pemakan selektif dan analisis isi perut ikan ini di seluruh daerah distribusinya menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan banyak jenis makanan; isi perutnya dipenuhi dengan material alga mikroskopik berwarna hijau bersama dengan kopepoda dan plankton kecil lain, termasuk medusa serta makroplankton seperti udang penaeidae pelagis dan larva serta juvenil ikan. Meskipun mungkin ada perkembangan dari pemakan mikro ke pemakan makro sejalan dengan pertumbuhannya, ikan kembung dewasa tampaknya bukan merupakan predator pemakan ikan seperti halnya ikan tenggiri dari daerah lintang-tinggi (Scomber). Selain itu ada beberapa bukti bahwa hanya ikan kembung besar yang benar-benar dapat melakukan penyaringan terhadap diatom yang mengalami ledakan populasi alga sehingga isi perut ikan kembung ini penuh dengan material tumbuhan.

Pemijahan, Makanan dan Migrasi Rastrelliger neglectus

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa adalah mengejutkan bila pendaratan ikan yang paling penting dari Teluk Thailand terdiri dari Rastrelliger neglectus, bukannya ikan demersal, dan mencapai hampir 120.000 ton pada tahun 1966. Perikanan ini jatuh pada tahun 1968, tetapi stok yang besar muncul kembali di Teluk ini pada tahun 1970 dan setelah itu kembali menyumbangkan hampir sepertiga dari total ikan yang didaratkan dari Teluk Thailand. Stok Teluk Thailand memijah di daerah yang relatif terbatas sepanjang pesisir barat; dalam daerah ini ada dua puncak pemijahan yaitu Februari – Maret (mayor) dan Juli – September (minor). Seperti banyak ikan pelagis di daerah tropis, pemijahan terjadi hanya pada permulaan malam hari, pemijahan final tampaknya sangat cepat selama permulaan malam. Makanan larva ikan terutama terdiri dari krustasea planktonik yang sangat kecil, sedangkan ikan dewasa dapat memanfaatkan baik zooplankton maupun fitoplankton. Migrasi ikan dewasa antara daerah pencarian makan di Inner Gulf (Teluk Dalam) dan daerah pemijahan di sepanjang pesisir barat telah dibuktikan melalui percobaan tagging (penandaan), namun percobaan tagging multi-lokasi menunjukkan banyaknya pertukaran individu ikan di seluruh bagian barat teluk tersebut.

Makanan dan Kebiasan Makan Ikan Kembung Rastrelliger canagurta

Bhimachar dan George (1952) melakukan studi mengenai makanan dan kebiasaan makan ikan kembung Rastrelliger canagurta berdasarkan pengujian periodik isi perut ikan kembung dan plankton di perairan pesisir dekat Calicut (India) selama tahun 1949 dan 1950. Ikan kembung ini memakan terutama organisme plankton. Makanan utamanya adalah kopepoda, kladocera, larva dan dewasa decapoda, peridinia dan diatom. Post larva bivalva, telur dan larva ikan, larva cacing polikhaeta, naupli cirripedia, appendicularia dan pteropoda merupakan elemen-elemen minor makanan ikan kembung. Tak ada perbedaan besar antara makanan ikan kembung muda dan dewasa. Komposisi makanan bervariasi dari musim ke musim tergantung pada fluktuasi berbagai jenis plankton. Ada hubungan erat antara komponen makanan dan organisme planktonik di daerah dekat pantai. Bentuk-bentuk yang tidak-dapat dimakan seperti salpa, medusa (ubur-ubur), ctenophora, chaetognatha, noctiluca dan larva stomatopoda dihindari oleh ikan kembung dan sampai beberapa kisaran ikan ini menunjukkan sifat selektif dalam hal makan. Aktivitas makan berlangsung sepanjang tahun meskipun intensitasnya bervariasi dari musim ke musim. Tidak ada periode puasa yang jelas. Aktivitas makan adalah rendah selama periode pra-pemijahan dan pemijahan. Aktivitas makan agak tinggi pada kelompok ukuran 16 sampai 20 cm. Aktivitas makan mencapai maksimum selama periode September sampai Desember ketika plankton yang dapat dimakan melimpah.

Hubungan Tingkat Kematangan Gonad dan Aktivitas Makan Ikan Kembung

Noble (1962) meneliti makanan dan kebiasaan makan ikan kembung Rastrelliger kanagurta di Karwar, India, dari bulan April 1960 sampai Maret 1961. Arti penting relatif berbagai elemen makanan ditentukan dengan “number method” (metode jumlah). Ikan kembung memakan plankton. Kopepoda dan diatom membentuk komponen makanan utama. Dinoflagelata dan cladocera merupakan makanan penting berikutnya. Larva bivalva, gastropoda dan decapoda, naupli cirripedia, larva cypris, Lucifer, mysids, appendicularia dan telur ikan membentuk elemen minor. Trichodesmium erythraeum, Noctiluca miliaris dan chaetognatha sebagai makanan ikan kembung tampaknya bisa diabaikan. Jumlah dan kualitas makanan ikan kembung ini bervariasi sejalan dengan variasi elemen planktonik di daerah dekat-pantai. Intensitas makan dalam rentang waktu setahun adalah berbeda-beda. Ikan kembung terlihat makan banyak ketika belum dewasa (Tingkat Kematangan Gonad tahap I). Ketika ia mulai mengalami matang gonad (TKG II) aktivitas makan juga meningkat dan pada TKG III aktivitas makan sangat intensif. Kemudian pada TKG IV, aktivitas makan berkurang dan pada tahap kematangan gonad selanjutnya (TKG V) aktivitas makannya rendah.

Laju Pertumbuhan Rastrelliger kanagurta

George dan Banerji (1964), berdasarkan laporan berbagai penelitian, menyatakan bahwa panjang total ikan kembung Rastrelliger kanagurta mencapai 12 – 15 cm pada akhir tahun pertama dan 21 – 23 cm pada akhir tahun kedua. Laju pertumbuhannya adalah sedikit lebih dari 1 cm per bulan selama tahun pertama. Ikan kembung sepanjang sekitar 14 cm mungkin berumur 1 tahun. Mereka memijah setelah berumur 3 tahun penuh. Ikan pemijah diwakili oleh kelompok ukuran 23,0 cm atau lebih dan mungkin terdiri dari lebih dari satu kelompok umur.

Bab IV
Tuna dan Ikan Mirip-Tuna


Sumberdaya Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Majkowski (2005) dalam FAO Fisheries Department (2005) menyatakan bahwa sub ordo Scombroidei biasanya merujuk pada ikan tuna dan spesies mirip-tuna. Sub ordo ini mencakup tuna, billfish dan spesies-spesies mirip-tuna lainnya. Beberapa anggotanya merupakan ikan terbesar dan tercepat di laut. Tuna (Thunnini) mencakup spesies paling ekonomis penting karena arti penting ekonomis globalnya dan perdagangan internasional yang intensif untuk tujuan pengalengan dan sashimi (ikan mentah yang dianggap lezat di Jepang dan di makin banyak negara lain). Pada kenyataannya, anatomi beberapa spesies tuna tampaknya sesuai untuk pengalengan. Tuna diklasifikasikan menjadi empat genus (Thunnus, Euthynnus, Katsuwonus, Auxis ditambah Allothunnus) dengan lima belas spesies. Dari genus Thunnus, tuna ekonomis utama adalah albakor (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna sirip biru Atlantik (Thunnus thynnus), tuna sirip biru Pasifik (Thunnus orientalis), tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan spesies tuna pasar utama ketujuh. Mereka semua bersifat oseanik, sanggup melakukan pergerakan atau migrasi panjang dan menyumbangkan satu atau dua stok di setiap samudra. Kekecualiannya adalah tuna sirip biru Atlantik dan Pasifik yang penyebarannya terbatas. Tuna sirip biru selatan menyumbangkan stok tunggal yang besar di Samudra Atlantik, Hindia dan Pasifik.

Majkowski (2005) dalam FAO Fisheries Department (2005) menambahkan bahwa tuna yang bukan spesies pasar utama adalah lebih bersifat neritik (hidup di dalam massa air di atas paparan benua); mereka mencakup tuna ekor panjang, tuna sirip hitam (Thunnus atlanticus), cakalang hitam (Euthynnus lineatus), kawakawa (Euthynnus affinis), tuna kecil (Euthynnus alleteratus), tuna peluru (Auxis rochei) dan tuna frigat (Auxis thazard). Billfish (Istiophoridae) terdiri dari marlin (Makaira spp.), ikan layaran (Istiophorus spp.), ikan tombak (Tetrapturus spp.) dan ikan pedang (Xiphias gladius, hanya satu spesies dalam genus ini). Kecuali dua spesies (ikan tombak Mediterania dan ikan tombak sisik bundar), semua billfish mempunyai daerah distribusi geografis yang sangat luas, tetapi tidak semua spesies terdapat di semua samudra. Billfish terutama tertangkap oleh longline (rawai) sebagai hasil samping penangkapan ikan pedang yang ditangkap di daerah-daerah tertentu menggunakan rawai atau harpun. Billfish juga merupakan target olah raga memancing, di mana mereka sangat berharga. Mereka semua merupakan makanan laut yang istimewa. Spesies mirip-tuna lainnya yang penting adalah tuna ramping (Allothunnus fallai), butterfly kingfish (Gasterochisma melampus), wahoo (Acanthocybium solandri), bonito (Cybiosarda, Orcynopsis dan Sarda) serta kelompok ikan tengiri (Scomberomorus spp.). Ikan-ikan tersebut memilki potensi besar terutama di negara-negara berkembang di mana perikanan rakyat dan perikanan rekreasi sekarang menangkap mereka.

Distribusi Ikan Scombroidei

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sumber daya ikan scombroidei di laut tropis mencakup beberapa spesies dari tiga famili : ikan pedang (Xiphias) dari famili Xiphidae, ikan layaran dan marlin (Makaira, Istiophorus dan Tetrapturus) dari famili Istiophoridae, dan tuna (Euthynnus, Katsuwonus, Thunnus) dari famili Scombridae. Sebelas spesies tuna, ikan pedang, ikan layaran dan marlin mendominasi komponen ikan predator besar dalam ekosistem samudra, juga mendominasi hasil tangkapan komersial dari laut tropis terbuka; beberapa spesies dari kelompok ini adalah jarang atau bersifat lokal. Selain itu dua belas spesies lain, yang merupakan ikan kecil mirip-tuna dan banyak di antaranya dikenal sebagai bonito, juga terdapat di daerah yang sama, namun sebagian di antaranya lebih penting dalam ekosistem paparan benua daripada dalam eksosistem samudra terbuka; ikan-ikan tersebut adalah dari genus Sarda (bonito), Auxis (frigate tuna) dan Orcynopsis dari Atlantik tropis, Gymnosarda dari Samudra Hindia, dan Cybiosarda dari wilayah Australia utara. Ikan pedang (Xiphias gladias (bukan gladius ?)), ikan layaran (Istiophorus platypterus) dan marlin biru (Makaira nigricans) adalah, seperti tuna sirip-kuning dan cakalang, merupakan spesies penghuni perairan permukaan tropis di seluruh dunia; seperti pada tuna , juga ada perbedaan distribusi spesifiknya. Mungkin yang paling penting adalah bahwa ikan layaran lebih cenderung terdapat dalam jumlah lebih besar di dekat daratan daripada di samudra terbuka.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa di samping spesies-spesies scombroidei oseanik yang tersebar luas, beberapa spesies terbatas pada satu basin samudra saja, atau bahkan daerah yang lebih sempit. Tongkol (Thunnus tonggol) dan kawakawa (Euthynnus affinis) melimpah di Indo-Pasifik barat, jarang di Pasifik timur dan tidak ada di Atlantik; ikan black skipjack (Euthynnus lineatus) hanya terdapat di Pasifik timur di mana ia sangat umum. Marlin bergaris (Tetrapturus audax) dan marlin putih (Tetrapturus albidus) hanya terdapat di Samudra Indo-Pasifik dan Atlantik, berturut-turut; marlin hitam (Makaira indica) tersebar luas di Indo-Pasifik tetapi hanya kadang-kadang ada di Atlantik. Semua spesies melakukan migrasi musiman dan ontogenetik; beberapa di antaranya ditemukan di seluruh samudra : ikan menjelajah daerah antara tempat pemijahan dan tempat mencari makan hampir sepanjang hidupnya. Ekologi dan migrasi tuna dikendalikan oleh kondisi oseanografi perairan permukaan samudra; suhu, kejernihan air dan keberadaan front (pertemuan dua massa air yang berbeda) samudra dan lain-lain merupakan faktor-faktor fisik utama yang menentukan distribusi ikan-ikan tersebut, sedangkan interaksi antara faktor-faktor fisik oseanografi dan produksi organisme nekton yang merupakan makanan ikan scombroidei besar menentukan keberadaan daerah pencarian makanan ikan tersebut.

Xiphias gladius Memijah di Laut Hitam ?

Gordina dan Bagnyukova (1992) membahas secara ringkas dua butir telur ikan yang dikumpulkan di Laut Hitam dan telah didentifikasi sebagai telur Xiphias gladius. Penemuan ini memberikan bukti tambahan dalam mendukung pendapat bahwa ikan ini kemungkinan memijah di Laut Hitam.

Kedalaman dan Suhu Air Habitat Makaira nigricans

Block et al. (1992) melaporkan bahwa pemancar akustik multiplex telah digunakan untuk memantau kedalaman, kecepatan renang, suhu tubuh dan suhu air yang disukai ikan blue marlin, Makaira nigricans, di dekat Kepulauan Hawai pada bulan Juli dan Agustus 1989. Blue marlin yang diteliti berbobot antara 60 sampai 220 kg dan ditelusuri jejaknya selama 1 sampai 5 hari. Semua ikan ini bergerak menjauhi titik penangkapan dan diikuti sampai 253 km dari pulau Hawai. Marlin biru yang ditelusuri ini tetap ada pada kolom air bagian atas setebal 200 m, menghabiskan setengah waktunya dalam lapisan atas 10 m, dan jarang berani ada di bawah termoklin. Pada air dekat-permukaan suhunya adalah hangat secara seragam (25 sampai 27 °C). Suhu air paling rendah, 17 °C, dijumpai pada lapisan terdalam yang pernah dilaporkan (209 m). Perubahan kedalaman yang terjadi dengan cepat dan aktivitas di bawah 10 m biasanya berlangsung kurang dari 60 menit. Suhu otot adalah sama dengan suhu air kecuali ada satu nilai suhu otot 2 °C lebih tinggi yang diamati pada awal penelusuran satu individual.

Bab V
Kakap dan Kerapu :
Habitat, Distribusi, Reproduksi dan Kandungan Racun


Kakap dan Kerapu Sebagai Komponen Penting Komunitas Ikan Demersal


Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sumberdaya ikan demersal di perairan dengan dasar berbatu, baik di estuaria maupun di lepas pantai ketiga samudra tropis, didominasi oleh tiga famili ikan besar mirip-bass, yang biasanya dikenal sebagai kakap dan kerapu, yang banyak di antaranya mencapai ukuran sangat besar dan berwarna cerah. Secara khas mulut mereka besar dan mangsanya terutama berupa spesies ikan lain. Serranidae mempunyai banyak genus (misal Liopoma, Epinephelus, Mycteroperca, Paralabrax, Plectropomus, Serranus) dan lebih dari 300 spesies; Lutjanidae mempunyai 23 genus (misal Caesio, Lutjanus, Ocyurus) dan lebih dari 200 spesies yang beberapa di antaranya mengandung racun ciguatera; Lethrinidae memiliki 2 genus (Lethrinus, Neolethrinus) dan sekitar 20 spesies.

Lutjanus Sebagai Ikan Demersal Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) mengulas beberapa laporan mengenai komunitas ikan di Indo-Pasifik dengan dasar perairan yang keras. Di Tebing Kenya Utara, yang merupakan wilayah paparan benua terluas di garis pantai Afrika Timur, hasil survei menunjukkan bahwa fauna ikan ekonomis di atas kedalaman termoklin didominasi oleh 14 spesies ikan dari famili yang sama : Lutjanus rivulatus, Lutjanus bohar dan Lethrinus crocineus yang masing-masingnya menyumbangkan biomas lebih dari 10 %; di bawah termoklin, fauna spesies Lutjanus, Epinephelus dan Lethrinus memberikan ruang bagi fauna ikan-ikan kecil, yang disebut “fauna ikan pink”, dengan Cheimerius nufar, Pristipomoides microlepis, Polysteganus caeruleopunctatus dan Argyrops spinifer menjadi spesies yang paling melimpah. Ke arah selatan, tebing-tebing sekitar Pulau Pemba dan Tebing Malindi, yang jauh lebih sempit daripada Tebing Kenya Utara, memiliki lebih sedikit fauna Lutjanidae besar dan jauh lebih banyak ikan-ikan kecil non ekonomis. Lebih ke arah selatan lagi, di Tebing St. Lazarus di lepas pantai Mozambique, Lutjanus bohar mendominasi komunitas ikan kakap-kerapu penghuni tebing berbatu yang khas.

Habitat dan Distribusi Kakap dan Kerapu

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di perairan tropis Indo-Pasifik pada dasar keras berpasir ditemukan fauna ikan mirip-bream (Nemipterus, Pomadasys, dll.), bersama dengan ikan kakap dan kerapu (Lutjanus, Epinephelus, dll.), yang berkembang paling baik pada tebing-tebing berbatu dan berkarang. Di Laut Cina Selatan telah dilakukan survei trawl pada daerah antara Sungai Rajang dan Kepulauan Natuna Besar, Indonesia. Di daerah ini, dengan dasar berpasir pada kedalaman 60 – 90 meter dan air dasar perairan yang hangat, ditemukan kumpulan ikan lutjanid di mana Lutjanidae membentuk 49 % biomas, diikuti oleh Priacanthus (10,2 %), Pentapodidae (8,3 %), carangidae (7,1 %) dan triglidae (2,6 %). Juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit ikan Parapristipoma, Saurida, sciaenidae, nemipteridae. Ikan kakap yang utama adalah Lutjanus sebae, Lutjanus lineolatus, Lutjanus lutjanus, Lutjanus vitta dan Lutjanus gibbus. Spesies yang berasosiasi mencakup Nemipterus bathybus, Nemipterus personii, Nemipterus nematophorus, Epinephelus hata, Epinephelus diacanthus, Epinephelus areolatus, Upeneus bensasi, Psettodes erumei dan Argyrops spinifer. Kerapu besar (misal Epinephelus aeneus) merupakan ikhtiofagus (pemakan ikan) yang terkamuflase di dasar perairan; ia berbaring menunggu di tempat persembunyian sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan sedikit gerakan maju ia mencaplok mangsanya.

Keberadaan Epinephelus dan Kerabat-Kerabatnya di Teluk Meksiko

Bullock dan Smith (1991) mengumpulkan 16 spesies ikan serranidae (Centropristis ocyurus, Centropristis striata, Diplectrum formosum, Epinephelus flavolimbatus, Epinephelus morio, Epinephelus niveatus, Holanthias martinicensis, Hypoplectrus unicolo, Mycteroperca microlepis, Mycteroperca phenax, Serraniculus pumilio, Serranus notospilus, Serranus phoebe, Serranus subligarius, Rypticus bistrispinus dan Rypticus maculatus) selama Proyek Hourglass. Centropristis ocyurus (n = 982) dan Diplectrum formosum (n = 616) adalah spesies yang paling banyak dikumpulkan. Melimpahnya ikan-ikan ini dalam sampel penelitian tersebut antara lain disebabkan oleh kesukaannya terhadap dasar perairan berelief rendah, yang disampling lebih efisien oleh alat tangkap trawl. Pengamatan oleh penyelam SCUBA menunjukkan bahwa beberapa spesies lain (misal Serranus subligarius), meskipun sedikit terwakili dalam sampel trawl, sangat banyak dijumpai di terumbu karang berbatu. Penangkapan Epinephelus mystacinus dan Gonioplectrus hispanus merupakan laporan pertama keberadaan spesies-spesies ikan ini di Teluk Meksiko timur.

Sejarah Hidup dan Reproduksi Ikan Kakap Lates calcarifer

Menurut Almendras et al. (1988) kakap Lates calcarifer merupakan ikan konsumsi penting di perarian tropis dan semi tropis. Sejarah hidupnya yang lain dari biasanya membuat ikan kakap menjadi sasaran penelitian fisiologi reproduksi. Pengamatan terhadap ikan kakap liar di dalam habitat alaminya menunjukkan bahwa larva ikan ini tetap tinggal di perairan pesisir hingga mereka mencapai panjang 5 mm; mereka kemudian memasuki rawa-rawa pesisir di mana mereka tetap di sini hingga berumur 6 bulan dan sepanjang 20 cm. Ketika rawa-rawa tempat pembesarannya mulai mengering, ikan kakap ini menuju ke daerah pesisir dan estuaria di mana mereka ditemukan pada umur sekitar 1 tahun. Selama tahun kedua dan ketiga, banyak - tetapi tidak semua – ikan kakap berenang ke perairan tawar di darat. Beberapa ikan yang berumur 3 tahun dan banyak yang berumur 4 tahun melakukan migrasi tahunan dari perairan darat menuju perairan pesisir untuk memijah. Ikan kakap juga mengalami pembalikan jenis kelamin (sex reversal) dari jantan ke betina. Metode histologi digunakan untuk menunjukkan bahwa peralihan dari jantan ke betina dimulai dalam gonad ketika testes matang untuk terakhir kalinya dan sempurna tak lama setelah pemijahan. Secara umum, kakap pertama kali matang gonad sebagai ikan jantan pada umur 3 tahun dan menjadi betina pada umur 4 atau 5 tahun.

Perilaku Reproduksi, Telur dan Larva Lutjanus

Hamamoto et al. (1992) mengamati perilaku reproduksi dan sejarah hidup awal ikan kakap berbintik putih, Lutjanus stellatus Akazaki, berdasarkan pengamatan di akuarium. Pemijahan terjadi di antara seekor betina dan 2 -12 ikan jantan pada jam-jam pertama setiap sore sejak pertengahan Mei sampai pertengahan Juni 1984. Enam pola tingkah laku mudah dibedakan dalam urutan pemijahan : a) bergerombol; b) mencari-cari; c) menyungkur; d) berenang cepat ke arah permukaan; e) memijah; dan f) pasca memijah. Spesies ini dianggap sebagai pemijah kelompok. Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat, transparan, mengapung dan tak berpigmen. Telur tersebut berdiameter 0,80 – 0,85 mm, dan mengandung sebuah butiran minyak yang berdiameter 0,16 – 0,17 mm. Penetasan berlangsung 30 jam setelah pembuahan. Segera setelah menetas, larva memiliki panjang total 2,48 – 2,56 mm dan mempunyai kuning telur besar berbentuk elips. Sebuah butiran minyak terletak pada ujung depan kuning telur ini.

Racun Pada Kakap dan Kerapu

Hashimoto (1979) melaporkan adanya ciguatoksin dan racun mirip-ciguatoksin pada ikan kakap merah, Lutjanus bohar, dan kerapu, Epinephelus fuscoguttatus. Lutjanus bohar paling sering menyebabkan kasus keracunan ciguatera di Pasifik sedangkan kasus keracunan akibat Epinephelus fuscoguttatus kurang sering. Ikan-ikan ciguaterik ini menghuni terumbu karang yang telah berkembang di daerah tropis dan sub tropis. Pada ikan-ikan ini juga ditemukan racun lain yang larut-air dan menyebabkan muntah yang hebat bila diberikan lewat mulut atau disuntikkan di bawah-kulit pada kucing. Racun penyebab muntah ini dinamakan ciguaterin. Ciguaterin tidak beracun bagi tikus dan manusia. Racun ini kadang-kadang ditemukan di dalam otot tetapi hampr selalu dijumpai dengan kadar tinggi di dalam hati ikan ciguaterik khas : Lutjanus bohar dan Epinephelus fuscoguttatus. Ciguaterin cepat rusak selama penyimpanan, bahkan bila dibekukan.

Bab VI
Habitat, Makanan dan Pertumbuhan Stolephorus


Keragaman Spesies, Habitat dan Makanan Stolephorus

Longhurst dan Pauly (1987), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa ikan engaulidae kecil yang paling penting bagi perikanan tropis mungkin adalah ikan teri Stolephorus, yang diperkirakan ada 19 – 20 spesies di daerah Laut Cina Selatan dan Filipina. Misalnya Stolephorus amboiensis yang mendominasi perikanan umpan tuna di beberapa daerah di Pasifik barat. Kebanyakan Stolephorus adalah ikan pesisir yang menggerombol; namun Stolephorus punctifer merupakan spesies oseanik stenohalin yang ditemukan pada jarak lebih dari 500 km dari pantai. Ada kemungkinan terjadinya migrasi antar-pulau tetapi diduga tidak ada gerakan antar-daerah utama. Beberapa spesies (Stolephorus commersoni, Stolephorus indicus) merupakan ikan penghuni paparan benua yang hanya sekali-sekali memasuki perairan payau. Spesies lainnya (Stolephorus bataviensis, Stolephorus heterolobus) lebih terbatas di pesisir dan zona neritik (zona perairan dangkal di sekitar benua sampai tepi paparan benua), sementara spesies lain (Stolephorus tri, Stolephorus macrops) paling melimpah di dekat mulut sungai dan sering memasuki perairan payau. Sebagian spesies (Stolephorus indicus, Stolephorus batavius) memakan terutama zooplankton, sedang spesies lainnya (Stolephorus heterolobus) bersifat lebih selektif dan dapat juga mengkonsumsi fitoplankton. Ada korelasi positif antara kelimpahan zooplankton di Selat Singapura dan kelimpahan Stolephorus, yang membentuk bagian penting biomas ikan pelagis.

Pertumbuhan Stolephorus nelsoni

Hoedt (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari sejarah pertumbuhan ikan teri Australia tropis, Stolephorus nelsoni. Penelitian menghasilkan empat kurva pertumbuhan, yang pertama berasal dari peningkatan pertumbuhan sagital otolit dan sisanya berasal dari analisis terpisah terhadap data frekuensi panjang yang dikumpulkan pada tahun 1984, 1988 dan 1989. Nilai-nilai hasil perhitungan untuk konstanta K dan L∞ adalah 2,16 dan 105 mm yang diperoleh dari kurva pertumbuhan berdasarkan otolit. Hal ini sesuai dengan nilai rata-rata K = 2,1 dan L∞ = 97,3 mm yang diperoleh dari data frekuensi panjang. Dari hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa pertambahan otolit menyediakan cara yang berguna untuk menduga pertumbuhan harian Stolephorus nelsoni dewasa.

Pertumbuhan dan Komposisi Umur Hasil Tangkap Stolephorus heterolobus

Wright et al. (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari pertumbuhan serta komposisi panjang dan umur ikan teri jawa, Stolephorus heterolobus, yang didaratkan di Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Total 12.320 ekor Stolephorus heterolobus telah dikumpulkan dari program sampling reguler antara bulan November 1983 dan Juni 1985. Pertambahan harian sagital otolit digunakan untuk mempelajari pertumbuhan dan komposisi umur stok ikan ini. Ikan tahap post larva, juvenil dan dewasa didaratkan oleh perikanan teri ini, namun hanya juvenil berumur lebih dari 120 hari yang diseleksi sepenuhnya oleh alat tangkap. Tahap juvenil, ditemukan dalam hampir semua sampling bulanan, yang menunjukkan bahwa rekruitmen stok berlangsung terus-menerus. Selain itu, juvenil membentuk mayoritas hasil tangkapan ikan teri baik dari segi jumlah (64 %) maupun biomas (52 %). Ikan dewasa dalam jumlah cukup banyak ditemukan hanya dalam 7 dari 21 sampel bulanan. Mortalitas total, yang diduga dari data frekuensi panjang dikonversi umur, adalah tinggi namun sama dengan yang dilaporkan untuk stok-stok ikan lain yang dieksploitasi.

Perbedaan Kondisi Lingkungan Menyebabkan Perbedaan Laju Pertumbuhan

Milton et al. (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari otolit spesies ikan umpan tuna utama di Kepulauan Solomon dan Maldives. Jumlah pertambahan otolit dihubungkan dengan panjang pada semua spesies. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk meyakinkan bahwa pertambahan otolit terjadi setiap hari. Kurva pertumbuhan untuk setiap spesies disusun berdasarkan jumlah pertambahan otolit. Untuk spesies Stolephorus, kurva pertumbuhan ini tidak konsisten dengan kurva pertumbuhan yang dibuat berdasarkan analisis frekuensi panjang. Pertambahan pertumbuhan spesies ikan Spratelloides delicatulus sebelumnya telah diyakinkan terjadi setiap hari. Pertumbuhan spesies ikan ini dan spesies Spratelloides lainnya adalah cepat dan ikan ini hidup tidak lebih dari 5 bulan. Ada kecocokan yang tinggi antara kurva pertumbuhan hasil analisis frekuensi panjang dengan kurva pertumbuhan hasil penentuan umur harian untuk spesies ini. Pertumbuhan bervariasi antar lokasi dan antar negara serta antar spesis ikan umpan tuna. Bagaimanapun, perbedaan ini tidak berkaitan dengan intensitas penangkapan ikan umpan tersebut, tetapi mungkin mencerminkan perbedaan kondisi lingkungan setiap lokasi.

Laju Petumbuhan Stolephorus di Daerah Fishing Ground dan Bukan Fishing Ground

Tiroba et al (1989) dalam Blaber and Copland (1990) melaporkan bahwa ikan teri engraulidae (Stolephorus heterolobus dan Stolephorus devisi) merupakan spesies-spesies dominan dalam perikanan umpan tuna di kepulauan Solomon. Ikan sprat, Spratelloides delicatulus, juga menyumbangkan bagian penting dalam hasil tangkap ikan umpan tuna. Data frekuensi panjang dikumpulkan setiap bulan antara Maret 1987 dan Mei 1989 dari dua daerah yang intensitas perikanan umpan tunanya tinggi serta daerah bukan lokasi perikanan umpan tuna di Kepulauan Solomon. Nilai panjang asimptot (L∞) dan koefisien pertumbuhan dihitung dengan program ELEFAN I, kurva hasil tangkap yang dikonversi ke panjang disusun menggunakan program ELEFAN II. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua spesies ikan teri dieksploitasi oleh perikanan umpan tuna dengan intensitas kecil sampai sedang di kedua lokasi perikanan. Ikan sprat mengalami mortalitas yang agak lebih tinggi. Laju pertumbuhan kedua spesies ikan teri adalah lebih tinggi di lokasi perikanan umpan tuna daripada di daerah bukan lokasi perikanan. Nilai-nilai K dan L∞ relatif konstan antar tahun di semua lokasi.

Bab VII
Bioekologi dan Perikanan Tengiri


Beberapa Daerah Distribusi Scomber di Atlantik dan Afrika Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di paparan benua Atlantik tropis bagian timur, pada kedalaman 200 – 300 meter terdapat ikan Scomber yang ditemukan bersama ikan Chlorophthalmus, Peristedion, Bembrops dan Antigonia. Scomber japonicus, bersama dengan Trachurus trachurus dan Boops boops, juga dijumpai di perairan di bawah termoklin di Teluk Guinea; mereka merupakan spesies pelagis arus perbatasan timur yang khas. Di lepas pantai Somalia dan Oman, Scomber hidup bersama dengan Sardinella longiceps, Etrumeus teres, Trachurus dan Decapterus.

Perubahan Komposisi Makanan Tengiri Akibat Perubahan Musim

Stovbun (1992) dalam Gritsenko (1992) melaporkan bahwa ikan tengiri Pasifik, Scomber japonicus, termasuk ikan pemakan plankton dan ikan lain. Ikan ini mencari makan terutama di sebelah utara garis 40 oLU dari bulan Juli sampai Oktober-November di massa air subarktik, di daerah dengan konsentrasi plankton tinggi. Pada pedriode ini makanan utama mereka adalah krustasea. Ketika ikan menimbun lemak dan ketika konsentrasi zooplankton berkurang pada musim dingin, intensitas makan berkurang. Selama perode tersebut ikan tengiri menjadi bersifat eurifagus (makan banyak jenis mangsa) yang memakan berbagai organisme termasuk ikan dan plankton berkalori rendah.

Adakah Hubungan Antara Suhu Permukaan Laut Dengan Kelimpahan Tengiri ?

Narain et al. (1991) dalam Sudarsan and Somvanshi (1991) mempelajari hubungan antara data tangkapan ikan (dikumpulkan oleh Survei Perikanan India) dan suhu permukaan laut yang berasal dari data digital NOAA-AVHRR serta peta MCSST 100 km. Hasil tangkapan ikan terbanyak ternyata berkaitan dengan suatu gradien suhu yang jelas yang tampak pada gambar SST (sea surface temperature; suhu permukaan laut) yakni di lepas pantai Bombai, dan hasil tangkapan yang lebih sedikit berkaitan dengan suhu hampir-seragam yang terlihat di lepas pantai Goa dan hasil tangkapan paling sedikit adalah berhubungan dengan suhu hangat-seragam di lepas pantai Cochin. Ada korelasi (r2 = 0,49) antara hasil tangkapan ikan tuna dengan suhu permukaan laut, tetapi hampir tidak ada korelasi seperti ini dalam kasus ikan tengiri.

Sifat Fototaksis Ikan Tengiri

Nomura and Yamazuki (1977) menyatakan bahwa ikan tengiri menunjukkan sifat fototaksis (tertarik cahaya) yang lemah bila dibandingkan sardin. Mereka lebih tertarik pada umpan. Oleh karena itu, nelayan "pole and line" menggunakan lampu bersama-sama dengan umpan untuk menangkap ikan ini. Tengiri menjadi aktif pada kondisi terang dengan membentuk gerombolan tetapi pada kondisi gelap mereka malas bergerak dan tidak menggerombol. Pengamatan tingkah laku tengiri dalam hubungannya dengan cahaya menunjukkan bahwa gerombolan ini memberikan reaksi lemah terhadap lampu fluoresensi maupun lampu pijar. Melalui alat “fish finder” (pencari ikan) diketahui bahwa ikan tengiri tersebar di permukaan laut sampai kedalaman 20 meter di bawah lampu pijar, dan tersebar pada kedalaman 3 sampai 30 meter di bawah lampu fluoresensi. Mereka lebih tertarik pada lampu fluoresensi berwarna biru-putih daripada warna hijau.

Faktor-Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Hasil Tangkap Tengiri

Ramana et al. (1991) mempelajari distribusi vertikal dan bulanan suhu, salinitas, konsentrasi oksigen terlarut dan beberapa parameter air laut lain di delapan stasiun di di lepas pantai Manjeswar, Laut Arab . Secara umum, perairan lepas pantai Manjeswar pada kedalaman sampai 50 meter adalah kurang-lebih isotermal (sama-suhu) selama bulan Januari, Februari dan Desember. Pada bulan Mei, September dan Oktober, perbedaan suhu vertikal pada kolom air sedalam 50 meter adalah agak tinggi. Penelitian ini menunjukkan adanya puncak termoklin pada kedalaman antara 10 dan 15 meter selama bulan September. Peningkatan salinitas yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman adalah jelas selama periode Maret sampai November, yang mungkin disebabkan oleh adanya stratifikasi salinitas pada bulan-bulan ini. Kondisi yang hampir isohalin (sama-salinitas) timbul bersama dengan munculnya lapisan massa air panas yang teraduk selama Januari, Februari dan Desember, yang mungkin disebabkan oleh kuatnya angin hingga mengakibatkan pengadukan massa air. Dari semua parameter oseanografi, suhu dan salinitas air tampaknya memberikan efek langsung terhadap perikanan sardin dan tengiri pelagis d daerah ini. Penyimpangan suhu dan salinitas air dari nilai-nilai optimum tampaknya menyebabkan rendahnya hasil tangkap ikan sardin dan tengiri. Curah hujan, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan kejernihan air memberikan efek tak langsung terhadap perikanan sardine dan tengiri pelagis.

Perikanan dan Musim Pemijahan Tengiri di India

Yohannan dan Balasubramanian (1991) melaporkan bahwa setelah perikanan tengiri di Calicut, India, memberikan hasil tangkapan yang relatif tinggi pada tahun 1980 – 1981, produksinya mencapai nilai terendah pada tahun 1983 – 1984. Hasil tangkap meningkat pada masa-masa berikutnya. Rekruitmen sumber daya perikanan ini hampir sempurna pada bulan September. Sumber rekruitmen utama di Calicut berasal dari pemijahan di bulan Juni dan Agustus. Curah hujan tahunan yang tinggi menguntungkan bagi perikanan ini, tetapi curah hujan dan hasil tangkap pada bulan September menunjukkan hubungan terbalik. Hasil tangkap pada tahun 1970 – 1971 jauh di atas tingkat keseimbangan. Besarnya stok pemijahan pada periode April – Juni menunjukkan hubungan langsung dengan total tangkapan pada musim tersebut. Secara umum perikanan tengiri di Calicut menunjukkan penurunan. Ada petunjuk bahwa tekanan penangkapan saat ini terhadap populasi tengiri melebihi optimum.

Gopakumar et al. (1991) melaporkan bahwa hasil tangkapan tahunan ikan tengiri yang didaratkan selama tahun 1977-1986 di Vizhinjam, India, rata-ata adalah 191,5 ton. Musim penangkapan tengiri berkisar dari bulan Oktober sampai Mei dengan puncaknya pada bulan April – Mei. Drift net (jaring hanyut) menghasilkan 63 % dari total tangkapan ikan ini. Sebanyak 20 % lainnya ditangkap dengan “hook and line” (pancing). Mekanisasi kapal tradisional meningkatkan hasil tangkapan. Ukuran ikan yang ditangkap berkisar antara 50 dan 290 mm. Puncak pemijahan adalah sekali selama bulan April – Mei dan sekali lagi selama September sampai Oktober.

Referensi :

Almendras, J.M., C. Duenas, J. Nacario, N.M. Sherwood and L.W. Crim. 1988. Sustained Hormone Release. III. Use of Gonadotropin Releasing Hormone Analogue to Induce Multiple Spawnings in Sea Bass, Lates calcarifer. Aquaculture, Vol. 74, pp. 97 - 111

Amarasinghe, U.S. and S.S. de Silva. 1992. Population Dynamics of Oreochromis mossambicus and O. niloticus (Cichlidae) in Two Reservoirs in Sri Lanka. Asian Fisheries Science. Vol. 5, No. 1, pp. 37 – 61

Ayson, F.G., T. Kaneko, S. Hasegawa and T. Hirano. 1992. Influence of Environmental Salinity on Chloride, Prolactin and Growth Hormone Cells in Oreochromis mossambicus Yolk-Sac Larvae. Zoological Science, Vol. 9, No. 6, p. 1257

Behrends, L.L., J.B. Kingsley and A.H. Price III. 1993. Hatchery Production of Blue Tilapia, Oreochromis aureus (Steindachner), in Small Suspended Hapa Nets. Broodstock Management and Eggs and Larval Quality, pp. 237 - 243

Bhimachar, B.S. and P.C. George. 1952. Observations on The Food And Feeding of The Indian Mackerel, Rastrelliger canagurta (Cuvier), Proceedings: Plant Sciences, Vol. 36, No. 3, pp. 105 – 118

Block, B.A., D.T. Booth and F.G. Carey. 1992. Depth and Temperature of The Blue Marlin, Makaira nigricans, Observed by Acoustic Telemetry. Marine Biology, Vol. 114, no. 2, pp. 175 - 183

Bullock, L.H. and G.B. Smith. 1991. Seabasses (Pisces : Serranidae). Memoar of Hourglass Cruises. Florida Marine Research Institute, Department of Natural Resources, St. Petersburg, Florida, USA, vol. 8, no. 2, 243 pp. ISSN 0085-0683

Carpenter, K.E., F. Krupp, D.A. Jones and U. Zajonz. 1997. The Living Marine Resources of Kuwait, Eastern Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, and The United Arab Emirates. FAO, Rome. 329 pp.

George, K.C. and S.K. Banerji. 1964. Age and Growth Studies on The Indian Mackerel Rastrelliger kanagurta (Cuvier) With Special Reference to Length-Frequency Data Collected at Cochin. Indian Journal of Fisheries , Vol. 11 A, No. 2, pp. 621 – 638

Gopakumar, G., N.G. Pillai and T.A. Omana. 1991. The Fishery Characteristics and Biology of Mackerel at Vizhinjam. J. MAR.BIOL. ASSOC. INDIA, vol. 33, no. 1-2, pp. 107 – 114, ISSN 0025-3146

Gordina, A.D. and T.I. Bagnyukova. 1992. On The Spawning Ground of The Swordfish Xiphias gladius in The Black Sea. Journal of Ichthyology, vol. 32, no. 4, p. 166

Hamamoto, S., S. Kumagai, K. Nosaka, S. Manabe, A. Kasuga and Y. Iwatsuki. 1992. Reproductive Behavior, Eggs and Larvae of a Lutjanid Fish, Lutjanus stellatus, Observed in An Aquarium. Japan Journal of Ichthyology, vol. 39, no. 3, pp. 219 - 228

Hashimoto, Y. 1979. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. 369 pp.

Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company. New York. 675 pp.

Hoedt, F.E. 1989. Growth of The Tropical Anchovy, Stolephorus nelsoni, in Northern Australia dalam Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop, Honiara, Solomon Island, 11-13 December 1989, pp. 147 – 149, ISBN 1-86320-011-8

Lee, C.-S. and C.S. Tamaru. 1988. Advances and Future Prospects of Controlled Maturation and Spawning of Grey Mullet (Mugil cephalus L.) in Captivity. Aquaculture, Vol. 74, pp. 63 – 73

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

Majkowski, J. 2005. Tuna and Tuna-Like Species in FAO Fisheries Department. 2005. Review of the State of World Marine Fishery Resources, Technical Paper 457. FAO UN. Rome. 235 pp.

Milton, D.A., S.J.M. Blaber, N.J.F. Rawlinson, A. Hafiz and G. Tiroba. 1989. Age and Growth of Major Baitfish Species in Solomon Islands and Maldives dalam Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop, Honiara, Solomon Island, 11-13 December 1989, pp. 134 – 140, ISBN 1-86320-011-8

Mochida, K. S. Adachi, K. Yamauchi and H. Takahashi. 1992. Sperm Surface Autoantigen Involved in Fertilization in The Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Zoological Science, Vol. 9, No. 6, p. 1197

Narain, A., R.M. Dwivedi, B. Kumari, N. Chaturvedi, H.U. Solanki, P.C. Mankodi, D. Sudarsan et al. 1991. Relationship Between Sea-Surface Temperature (SST) and Fish Catch Data : A Feasibility Study dalam Sudarsan, D. and V.S. Somvanshi (eds.). 1991. Proceedings of The National Workshop on Fishery Resources Data and The Fishing Industry, 14-15 October, 1988, Fishery Survey of India, Bombay, pp. 19 – 26.

Noble, A. 1962. Food and Feeding Habits of the Indian Mackerel, Rastrelliger kanagurta (Cuvier) at Karwar. Indian Journal of Fisheries , Vol. 9A, No. 2, pp. 701 - 713

Nomura, M. and T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques, vol. 1. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. 206 pp.

Ramana, T.V., D.E. Nathaniel and M.P.M. Reddy. 1991. Distribution of Some Oceanographic Factors in The Arabian Sea Off Manjeswar and Their Possible Effect on Oilsardine and Mackerel Fisferies in The Area, J. MAR.BIOL. ASSOC. INDIA, vol. 33, no. 1-2, pp. 9 – 18, ISSN 0025-3146

Sampath, K. and K. Ramasunder. 1992. Experimental Studies on Food Consumption and Growth in Oreochromis mossambicus : Effect of Size Hierarchy. Journal of Aquaculture in Tropic, Vol. 7, No. 2, pp. 219 – 224

Stovbun, G.G. 1992. Food Habits of The Pacific Mackerel Population During The Feeding and Wintering Periods dalam Gritsenko, O.F. (ed.). 1992. Living Resources of The Pacific Ocean. Vniro, Moskva, pp. 67 – 77

Takagi, Y. and J. Yamada. 1992. Effects of Calcium Deprivation on The Metabolism of Acellular Bone in Tilapia, Oreochromis niloticus. Comparative Biochemistry and Physiology, Vol. 102 A, No. 3, pp. 481 - 485

Tiroba, G., N.J.F. Rawlinson, P.V.Nichols and J.L. Leqata. 1989. Length-Frekuensi Analysis of Major Baitfish Species in Solomon Islands dalam Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop, Honiara, Solomon Island, 11-13 December 1989, pp. 114 – 133, ISBN 1-86320-011-8

Wright, P.J., N.G. Willoughby and A.J. Edwards. 1989. Growth, Size and Age Composition of Stolephorus heterolobus in North Central Java dalam Blaber, S.J.M. and J.W. Copland (eds.). 1990. Tuna Baitfish in The Indo-Pacific Region. Proceedings of A Workshop, Honiara, Solomon Island, 11-13 December 1989, pp. 141 – 146, ISBN 1-86320-011-8

Yohannan, T.M. and K.K. Balasubramanian. 1991. Mackerel Fishery on The Calicut Area and Its Fluctuations During The Seasons From 1980-81 to 1985-86. J. MAR.BIOL. ASSOC. INDIA, vol. 33, no. 1-2, pp. 246 – 254, ISSN 0025-3146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar