Minggu, 11 Februari 2018

Bioekologi dan Sumberdaya Hayati Ikan Air Tawar


Bab I
Ikan Kowan (Ctenopharyngodon idellus) :
Biologi dan Pengaruhnya Terhadap Ekologi Perairan


Perbandingan Komunitas Bakteri Usus Pada Ikan Kowan Dari Dua Habitat Yang Berbeda

Jiajia et al. (2012) melaporkan bahwa bakteri dalam usus vertebrata membentuk hubungan yang erat dengan inangnya. Kondisi ekternal dan internal inang, termasuk habitatnya, mempengaruhi komunitas bakteri usus. Sebaliknya, komunitas bakteri usus dapat mempengaruhi inang, terutama dalam hal daya tahan terhadap penyakit. Ketidak seimbangan komposisi komunitas bakteri usus dianggap merupakan faktor utama yang mempengaruhi kerentanan ikan inang terhadap penyakit. Timbulnya penyakit ikan mungkin sebagian disebabkan oleh perubahan populasi bakteri usus, yang diakibatkan oleh banyak faktor, termasuk makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup inangnya. Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan komunitas bakteri usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam budidaya dan danau. Dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi 66 unit bakteri yang secara taksonomi berbeda. Tidak ada korelasi yang nyata antara keragaman genetik ikan kowan dengan komunitas bakteri ususnya. Cetobacterium tampaknya lebih sering ditemukan di dalam usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam.

Pengaruh Introduksi Ikan Kowan Terhadap Habitat Asli

Boyd (1982) menyatakan bahwa ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) efektif dalam membasmi tumbuhan air sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pengendali biologis terhadap gulma air. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa upaya memperkenalkan binatang dari luar (atau “introduksi”) sering menimbulkan bahaya ekologis. Banyak ilmuwan khawatir bila ikan kowan memberikan dampak tak diinginkan terhadap ikan asli dan populasi alami. Semula tidak ada laporan bahwa ikan kowan berhasil melakukan reproduksi alami di Amerika Serikat, meskipun ikan ini sudah tersebar luas di 35 negara bagian dan di sejumlah sistem sungai. Namun kemudian banyak bukti yang menunjukkan bahwa ikan kowan telah dapat bereproduksi secara alami di Sungai Mississippi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa ikan kowan menurunkan produksi spesies budidaya primer, namun peneliti lain melaporkan tidak ada penurunan seperti ini. Ikan kowan mengurangi vegetasi yang tumbuh di garis pantai perairan, dan lama penangkapan ikan pantai menjadi lebih dari dua kali. Bagaimanapun, masih belum cukup data untuk mengevaluasi pengaruh potensial ikan kowan terhadap habitat asli di mana makrofita air sering merupakan komponen ekosistem yang dikehendaki.

Dampak Ikan Kowan Terhadap Ekologi Danau

Mitzner (1978) melaporkan bahwa introduksi ikan kowan di Danau Red Haw, Iowa, menyebabkan penurunan kelimpahan makrofita air dari 2.438 gram/m2 pada tahun 1973 menjadi 211 gram/m2 pada tahun 1976, dengan spesies tumbuhan air Potamogeton, Elodea, Ceratophyllum, dan Najas semuanya dikendalikan secara efektif oleh ikan kowan. Selama tahun 1974 – 1976 nilai rata-rata nitrit, nitrat, biological oxygen demand dan kekeruhan menunjukkan penurunan secara nyata, sedangkan alkalinitas meningkat tajam dari rata-rata 115 mg/liter pada tahun 1974 menjadi 132 mg/liter pada tahun 1976. Konsentrasi rata-rata fosfat organik dan anorganik perlahan-lahan meningkat selama penelitian, tetapi tidak berbeda nyata. Rata-rata produksi primer hampir sama untuk tahun 1974 – 1975 yaitu sekitar 2 gram karbon/m2/hari, tetapi menurun secara nyata menjadi 1,35 gram karbon/m2/hari pada tahun 1976. Pertumbuhan ikan kowan meningkat tajam dari bobot rata-rata 380 gram pada bulan Juli 1973 menjadi 6.847 gram pada bulan Oktober 1976. Kondisi badan berkisar dari 1,05 – 2,02 dengan rata-rata kondisi lebih dari 1,37 pada Oktober dan 1,25 – 1,30 pada Januari – Februari. Ikan kowan mengkonsumsi semua kelompok tumbuhan utama di danau dengan kesukaan terbesar pada Najas dan Potamogeton.

Mitzner (1978) menambahkan bahwa pergerakan, perilaku dan aktivitas yang diamati dengan telemetri ultrasonik menunjukkan bahwa ikan kowan menghuni semua bagian danau, tetapi secara keseluruhan yang lebih disukai adalah bagian yang dangkal. Sebagian besar waktunya dihabiskan ikan kowan dengan berdiam di dekat hamparan tumbuhan air. Aktivitas pada malam maupun siang hari adalah sama. Penurunan biomas vegetasi sebesar 91 % dalam empat tahun meningkatkan peluang pemancing untuk memancing ikan dari pantai. Selama penelitian, popularitas pemancingan pantai ini meningkat 241 % dengan tingkat keberhasilan pemancingan lebih dari 0,70 ikan per jam.

Ikan Kowan Untuk Membasmi Tumbuhan Air dan Larva Nyamuk

Mamedniyazov (1990) berpendapat bahwa rejim hidrologis bendungan-bendungan di Turkmenistan sangat menguntungkan bagi tumbuhan bawah-air, dan sebagian besar bendungan tersebut mengalami pertumbuhan vegetasi yang sangat berlebihan akibat kedangkalannya. Contoh yang jelas adalah bendungan Kutlinskoye dan Vostochnoye yang selama tahun-tahun pertama keberadaannya dipenuhi oleh vegetasi bawah-air sampai 70 % dan 100 %, berturut-turut. Padahal makrofita air memainkan peranan penting dalam siklus hidup larva nyamuk Anopheles pulcherrimus. Dinamika populasi Anopheles pulcherrimus biasanya paralel dengan variasi pertumbuhan vegetasi air. Pada September 1970, juvenil ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) ditebarkan di bendungan-bendungan ini. Beberapa bulan kemudian, pertumbuhan vegetasi air yang berlebihan berhenti sama sekali. Hal ini selanjutnya menyebabkan hilangnya larva Anopheles pulcherrimus.

Kesukaan Ikan Kowan Terhadap Tumbuhan di Perairan Menggenang dan Mengalir

Pine et al. (1989) melaporkan bahwa ikan kowan triploid, Ctenopharyngodon idellus, ditebarkan bersama tiga spesies tumbuhan air (Potamogeton pectinatus, Myriophyllum spicatum, dan Potamogeton nodosus) di dalam kanal dengan air menggenang dan mengalir pada musim dingin, semi dan panas. Konsumsi tumbuhan oleh ikan kowan triploid pada musim dingin adalah rendah tetapi meningkat tajam pada musim semi dan panas. Berdasarkan panjang tunas tumbuhan, untuk perairan menggenang pada musim semi kesukaan ikan kowan triploid adalah Potamogeton pectinatus = Potamogeton nodosus, Potamogeton nodosus = Myriophyllum spicatum, Potamogeton pectinatus > Myriophyllum spicatum; untuk perairan mengalir Potamogeton pectinatus = Myriophyllum spicatum = Potamogeton nodosus. Semua tumbuhan dari ketiga spesies ini menghasilkan tunas yang lebih panjang di dalam kanal berair mengalir daripada di dalam kanal berair menggenang. Perbedaan panjang tunas mungkin bisa mengubah laju konsumsi dan kesukaan ikan kowan triploid.

Kondisi air mengalir juga memberikan efek yang bervariasi terhadap kandungan nutrisi dalam tumbuhan, seperti ditunjukkan oleh analisa proksimat bahan kering dan persen lemak, abu, protein, serat kasar, ekstrak nitrogen bebas dan serat deterjen asam. Kadar abu secara konsisten lebih tinggi pada ketiga spesies tumbuhan di kanal berair mengalir. Hal ini mencerminkan respon morfologis tumbuhan terhadap air mengalir. Tak satupun variabel analisis proksimat tumbuhan yang berkorelasi secara statistik dengan kesukaan ikan terhadap tumbuhan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kemudahan-diperoleh dan kemudahan-dikunyah adalah lebih penting daripada kualitas nutrisi tumbuhan dalam menentukan kesukaan ikan kowan terhadap tumbuhan. Konsumsi alga oleh ikan kowan triploid, bagaimanapun, menyulitkan untuk menentukan korelasi antara faktor nutrisi dan konsumsi tumbuhan air berpembuluh (Pine et al., 1989).

Bab II
Budidaya Belut :
Reproduksi, Makanan, Pertumbuhan dan Ekskresi


Perkembangan Gonad Belut

Saowakoon et al. (2001) mempelajari biologi reproduksi belut rawa, Fluta alba, di kampus Fisheries Department, Rajamangala Institute of Technology, Surin, Thailand, dari Oktober 1999 sampai September 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antar jenis kelamin tidak dapat diamati. Rasio jenis kelamin antara belut betina dan jantan adalah 3,12 : 1. Gonosomatic Index (GSI) selama musim pemijahan adalah tinggi pada bulan April sampai Juni dan paling tinggi untuk belut jantan maupun betina pada bulan Mei. Koefisien nilai kondisi (K) untuk belut betina adalah tertinggi pada bulan Mei dan untuk belut jantan pada bulan Juni.

Pemijahan Buatan dan Perkembangan Embryo – Larva Belut

Guan et al. (1996) melakukan pemijahan buatan pada belut Monopterus albus (Zuiew) selama musim pemijahan ikan ini. Berbagai dosis luteinizing-hormone-releasing-hormone analogue (LHRH-A) diuji untuk merangsang ovulasi induk betina. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal derajat-jam dan tingkat fertilisasi di antara ketiga dosis yang diuji (0,1; 0,2 dan 0,3 mikrogram LHRH-A per gram ikan). Larutan fertilisasi 0,3 % NaCl menghasilkan tingkat fertilisasi yang secara nyata lebih tinggi daripada ketiga nilai konsentrasi larutan lain (0,5 % NaCl, 0,65 % NaCl dan air). Lama fertilisasi yang berkisar dari 5 sampai 20 menit tidak menghasilkan perbedaan nyata dalam hal tingkat fertilisasi. Perkembangan embryo dan larva Monopterus albus diamati. Waktu penetasan telur Monopterus albus adalah sekitar 140 jam dalam kisaran suhu air 28 – 30 oC. Penggunaan Tubifex spp. sebagai pakan pertama untuk larva belut memberikan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada dua jenis pakan lain, yaitu zooplankton dan pakan buatan.

Pengaruh Vitamin A, C, D dan E Dalam Pakan Terhadap Gonad, Kekebalan dan Tulang Belut Sawah

Tan et al. (2007) melakukan penelitian dengan tujuan menentukan pengaruh vitamin A, D3, E, dan C dalam pakan terhadap perkembangan gonad, peroksidasi lipida dan respon kekebalan pada belut sawah Monopterus albus umur setahun. Percobaan pemberian pakan selama 6 minggu dirancang berdasarkan rancangan ortogonal L16(45) di mana diberikan empat vitamin, masing-masing dengan empat tingkat pemberian. Enam belas pakan dicampur dengan berbagai kadar vitamin dan diberikan secara acak kepada 16 kelompok ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemberian vitamin E dalam pakan meningkatkan secara nyata (P = 0,05) gonadosomatic index dan menurunkan konsentrasi malondialdehyde dalam serum darah belut sawah. Peningkatan pemberian vitamin A dan C juga menunjukkan efek yang sama, tetapi perbedaannya tidak nyata secara statistik. Konsentrasi imunoglobulin M dalam serum darah meningkat secara nyata (P = 0,01) ketika pemberian vitamin C dalam pakan meningkat. Konsentrasi kalsium dalam tulang menunjukkan peningkatan secara nyata (P = 0,05) sejalan dengan peningkatan pemberian vitamin D3 dan A, tetapi konsentrasi fosfor tulang tidak terpengaruh oleh kadar vitamin dalam pakan.

Pengaruh Kadar Protein Dalam Pakan Terhadap Gonad dan Hormon Reproduksi Belut

Yuan et al. (2011) meneliti pengaruh rendahnya kadar protein pakan dalam makanan isokalori (berkalori sama) terhadap pembalikan jenis kelamin belut Monopterus albus dengan mengevaluasi konsentrasi estradiol dan testosteron, gonadosomatic index (GSI), rasio jenis kelamin dan struktur gonad pada berbagai tingkat jaringan. Ikan (berat awal rata-rata 9,50 ± 1,50 gram; jumlah belut 3 ekor per kelompok) diberi pakan sampai kenyang dengan lima jenis pakan praktis yang mengandung protein kasar sebanyak 100, 150, 200, 250 atau 400 gram per kg selama 15 bulan. Konsentrasi estradiol dan testosteron dalam serum darah ditentukan dengan radioimunoesei. Konsentrasi estradiol dan GSI meningkat secara nyata sedangkan konsentrasi testosteron menurun sejalan dengan peningkatan kadar protein pakan. Belut yang diberi protein 400 gram per kg pakan memiliki konsentrasi estradiol dan nilai GSI yang secara nyata lebih tinggi daripada belut yang diberi pakan berprotein rendah.

Konsentrasi testosteron pada belut yang diberi protein 100 gram per kg pakan secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada ikan yang kadar protein pakannya lebih tinggi dari nilai tersebut. Pergeseran rasio jenis kelamin ke arah jantan dan intersex (peralihan jenis kelamin) terlihat ketika kadar protein pakannya berkurang. Dengan demikian, kadar protein pakan yang rendah bisa merangsang perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan pada Monopterus albus. Penelitian ini menyediakan informasi penting bagi keberhasilan pengelolaan reproduksi dan mungkin bisa dimanfaatkan untuk budidaya spesies ikan ini (Yuan et al., 2011).

Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan Belut

Saowakoon et al. (2002) mempelajari pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan belut rawa (Fluta alba) di dalam tangki beton bundar di Fisheries Department, Rajamangala Institute of Technology Surin, Thailand dari Juli sampai November 2000. Rancangan percobaan yang dipakai adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Tiga tangki bundar ditebari belut sebanyak 30, 42 dan 54 ikan/tangki yang setara dengan 50, 70 dan 90 ikan per meter persegi, berturut-turut. Panjang awal belut adalah 30,50 cm dengan berat 15,01 gram. Belut diberi pakan berupa keong apel emas (Pomacea canaliculata) selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam hal panjang akhir, berat akhir, laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate; SGR) dan laju pertumbuhan relatif (relative growth rate; RGR), dengan nilai 38,40; 37,97 dan 37,82 cm; 42,66; 41,56 dan 41,20 gram, 0,5803; 0,5675; 0,5609 persen dan 0,0390; 0,031 dan 0,0364 cm berturut-turut dalam semua tangki (P > 0,05). Tingkat kelangsungan hidupnya adalah 96,66; 95,23 dan 94,44 persen berturut-turut yang tidak berbeda nyata.

Kadar Protein dan Energi Dalam Pakan Merupakan Faktor Penting Penentu Pertumbuhan Belut

Qing et al. (2000) menggunakan metode rancangan ortogonal L9(34) untuk menyusun formula kombinasi sembilan pakan guna mengetahui kebutuhan protein, lemak, mineral dan energi umum pada belut Monopterus albus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein dan energi merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan Monopterus albus. Pesentase optimum protein, lemak, mineral dan karbohidrat adalah 35,7 %, 3 – 4 %, 3 % dan 24 – 33 %, berturut-turut.

Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Makan dan Ekskresi Belut

Zhou dan Qin (2007) melakukan percobaan dalam-ruangan untuk mempelajari pengaruh berbagai salinitas (0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 gram/liter) terhadap ritme makan dan lama ekskresi tinja pada belut Monopterus albus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap ritme makan Monopterus albus, tetapi proporsi konsumsi makanan Monopterus albus secara nyata berbeda (P < 0,01) antar waktu dalam sehari. Monopterus albus hanya mempunyai satu puncak konsumsi makanan selama satu hari, sedangkan ekskresi tinjanya bervariasi sesuai dengan salinitas. Ada tiga gugus tinja yang diekskresikan pada salinitas 0, 2, 8, 10 dan 12 gram per liter, namun ada empat dan lima gugus tinja pada salinitas 4 dan 6 gram per liter, berturut-turut. Pada salinitas yang berbeda, waktu ekskresi tinja adalah berbeda secara nyata (P < 0,01); misal, untuk kelompok kontrol, waktu ekskresi tiga gugus tinja pertama adalah terlambat 4 – 25 jam bila dibandingkan pada kelompok-kelompok lain. Hasil penelitian ini menyediakan basis teori untuk pengelolaan pemberian pakan belut dan pengendalian kualitas air dalam budidaya Monopterus albus di perairan basa-asin dan di kolam yang dasarnya tanah.

Bab III
Budidaya Ikan Gurami :
Padat Penebaran, Pakan, Penyakit dan Analisis Ekonomi


Gurami, Ikan Air Tawar Terbaik Untuk Akuakultur

Bhimachar et al. (1944) menyatakan bahwa Osphronemus gorami (Lacépède), yang dikenal sebagai gurami, adalah ikan asli Kepulauan Melayu (Indonesia). Karena ukurannya yang besar, dagingnya yang lezat dan tak bertulang serta mudah dikembangbiakkan, ia dianggap sebagai ikan air tawar terbaik untuk budidaya ikan. Ikan tersebut baru-baru ini diperkenalkan ke Eropa, Australia, Filipina, India dan Srilanka. Ia bersifat herbivora, bukan predator dan mudah dikembangbiakkan sehingga cocok untuk dibudidayakan di kolam. Di India, ikan tersebut baru-baru ini diperkenalkan ke beberapa bagian wilayah Madras, Bombay dan Mysore; di tempat-tempat tersebut ikan ini mengaklimasikan-diri sendiri dan berkembang biak dengan baik.

Padat Penebaran Terbaik Untuk Kultur Ikan Gurami

Hossein et al. (2010) menyatakan bahwa ikan gurami (Osphronemus goramy) sangat penting di Asia Tenggara untuk akuakultur dan budidaya ikan terpadu, dan di Iran ia merupakan ikan hias penting. Untuk mengetahui padat penebaran terbaik dalam kultur ikan ini, dilakukan penelitian dengan empat perlakuan 9, 14, 19 dan 24 individu per tangki (270,56; 420,87; 571,19 and 721,50 individu per m3, berturut-turut). Faktor-faktor pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, homogenitas dalam kelompok kultur ikan, faktor-faktor terkait-stres (jumlah sel darah merah, kadar glukosa dan total protein dalam darah ikan) serta kolesterol ditentukan pada ikan-ikan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata (P < 0,05) dalam hal SGR (specific growth rate; laju pertumbuhan spesifik), FCR (rasio konversi pakan), DGI dan parameter-parameter darah ikan. Tetapi ada perbedaan nyata dalam hal tingkat kelangsungan hidup (P < 0,05). Dengan memperhatikan pertumbuhan, perubahan kelangsungan hidup dan parameter-parameter darah, maka perlakuan pertama dengan 270,56 individu per m3 adalah kondisi terbaik untuk budidaya gurami.

Kadar Protein dan Energi Terbaik Dalam Pakan Bagi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Gurami

Sema et al. (2003) memberi makan ikan gurami (Osphronemus goramy) dengan pakan yang mengandung 3 macam kadar protein (30, 35 dan 40 %) dan tiga macam kadar energi (275, 300 dan 325 kcal energi tercerna/100 gram pakan) hingga kenyang dua kali sehari selama 8 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada efek interaksi antara kadar protein dan energi terhadap pertumbuhan ikan (P > 0,05). Kadar protein memberikan efek yang lebih kuat terhadap pertumbuhan daripada kadar energi. Ikan yang pakannya mengandung 35 dan 40 % protein menunjukkan nilai-nilai yang secara nyata lebih baik untuk rata-rata berat akhir, perolehan berat, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan dan efisiensi pakan, dari pada ikan yang pakannya mengandung 30 % protein (P < 0,05). Ikan yang pakannya mengandung 325 kcal energi tercerna per 100 gram pakan menunjukkan nilai tertinggi untuk rata-rata berat akhir, perolehan berat dan laju pertumbuhan spesifik (P < 0,05), dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain. Dengan demikian, pakan yang mengandung 35 % protein dan 325 kcal energi tercerna/ 100 gram pakan adalah sesuai untuk ikan dengan berat rata-rata 14,5 gram. Setelah 8 minggu, ikan gurami memiliki rata-rata berat akhir 38,35 ± 0,87 gram, laju petumbuhan spesifik 1,74 ± 0,04 % per hari, rasio konversi pakan 1,32 ± 0,06, efisiensi pakan 0,76 ± 0,03 dan kelangsungan hidup 100 %.

Gejala-Gejala Penyakit Sirip-Busuk (Fin-Rot) Pada Anak Ikan Gurami

Khan (1939) melaporkan bahwa pada November 1938 kematian hebat terjadi pada anak ikan gurami (Osphromenus gourämy Lacépède) ketika mereka diangkut melalui kanal dari Madras Fisheries Farm ke kota Kurnool, India, yang berjarak 17 mil. Anak-anak ikan tersebut sebelum diangkut telah dikondisikan selama satu atau dua hari di dalam kotak kawat dan kemudian dimasukkan ke dalam air dan dipuasakan. Pada semua anak ikan yang mati terlihat bahwa sirip ekornya robek dan epidermis dari sirip ekor tersebut perlahan-lahan terkikis sehingga tulang jari-jari sirip ekornya terbuka. Pada beberapa kasus, sirip punggung dan sirip dubur juga terpengaruh. Anak ikan yang sakit berenang di dekat permukaan air di dalam wadah, kehilangan keseimbangan karena sirip ekornya robek sampai ke pangkal, tubuh anak ikan terbalik dan akhirnya mati; ikan yang mati ini tenggelam ke dasar wadah. Gejala-gejala penyakit ini mirip dengan yang terjadi pada anak ikan rainbow trout ketika diserang penyakit sirip-busuk.

Penyebab dan Pengobatan Penyakit Sirip-Busuk Pada Anak Ikan Gurami

Khan (1939) melakukan studi terhadap penyakit sirip-busuk, sejenis penyakit akibat bakteri pada sirip ikan, dengan cara menginokulasi anak ikan rainbow trout sehat dengan penyakit dari anak ikan gurami (Osphromenus gourämy Lacépède) yang sakit. Anak ikan rainbouw trout yang terinfeksi penyakit menjadi mati dalam 70 – 118 jam setelah inokulasi dan 50 sampai 55 jam setelah terlihatnya gejala luar pertama penyakit tersebut. Preparat dari ikan gurami yang sakit dan anak rainbow trout yang terinfeksi menunjukan organisme penyebab penyakit yang benar-benar sama, yang berupa bakteri berbentuk batang, dengan jumlah besar dalam jaringan yang terinfeksi. Kondisi berdesakan, air yang kotor dan berlumpur memperparah penyakit. Perendaman di dalam larutan tembaga sulfat (1 – 20.000) selama 10 sampai 15 menit ternyata bisa menyembuhkan anak ikan yang terserang penyakit tahap awal. Adalah tidak mungkin untuk menyembuhkan ikan yang terserang penyakit tahap lanjut, dan semua ikan yang sakit separah ini harus dibinasakan sebelum menerapkan tindakan kontrol apapun. Anak ikan yang merupakan spesies asli India seperti ikan Rohu (Labeo rohita H.B.) and Morakha (Cirrhina mrigala H.B.) ternyata kebal terhadap penyakit sirip-busuk ini.

Analisis Ekonomi Budidaya Gurami di Kolam dan Karamba

Chatchaipun et al. (2009) mempelajari sistem kultur gurami berbasis kolam dan kurungan/karamba di provinsi Uthai Thani, Thailand. Analisis ekonomi didasarkan pada data yang dikumpulkan dari 8 pedagang dan 214 petani ikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kultur ikan gurami dicirikan oleh periode kultur yang lama yang menyebabkan tingginya biaya "opportunity cost" rata-rata (57,62 dan 83,58 % dari biaya total, untuk budidaya berbasis kolam dan kurungan, berturut-turut). Budidaya ikan gurami menguntungkan hanya bila "opportunity cost" untuk tenaga kerja tidak diperhitungkan. Analisis efisiensi ekonomi menunjukkan bahwa ada lima kategori input yang menentukan hasil budidaya berbasis kolam, dan bahwa tingkat input tersebut tidak optimal. Pertukaran air harus dilakukan lebih sering, dan jumlah pakan serta padat penebaran sebaiknya ditingkatkan. Demikian pula, belanja antibiotik dan jumlah kapur yang diberikan ke kolam harus ditambah. Untuk kultur berbasis kurungan, hanya empat jenis input yang berpengaruh penting terhadap hasil budidaya. Meskipun jumlah pakan buatan, sayuran dan antibiotik sebaiknya ditambah, namun padat penebaran sebaiknya dikurangi. Sebagian besar hasil penelitian ini sesuai dengan data ilmiah mengenai parameter-parameter kualitas tanah dan air serta praktek petani ikan. Bagaimanapun, peningkatan penggunaan antibiotik tidak disarankan mengingat keamanan makanan, meskipun pemakaiannya bisa meningkatkan hasil produksi ikan.

Bab IV
Ikan Air Tawar


Bioekologi Ikan Amia

Hegner (1946) menjelaskan bioekologi ikan Amia sebagai berikut. Ikan Amia atau bowfin (“sirip melengkung”) atau freshwater dogfish termasuk fosil hidup. Sirip ekor bundar dan panjang sirip punggung separuh panjang badan. Moncong pendek, kepala ditutupi oleh semacam topi baja bertulang yang keras. Ikan jantan memiliki sebuah bercak hitam dengan tepian oranye pada pangkal ekor. Bowfin mencapai panjang 75 cm dan berat sekitar 6 kg. Memiliki rahang yang kuat dengan gigi tajam. Kebuasannya menyebabkan ia pantas dijuluki “serigala air tawar”. Seperti halnya ikan gar, gelembung renang digunakan untuk bernafas, oleh karena itu bowfin sekali-kali muncul ke permukaan air untuk mengambil udara. Ia sanggup hidup di dalam air yang sangat kotor, atau dalam lumpur sekalipun, karena ikan ini dapat hidup lama tanpa ,menggunakan insangnya. Anak ikan bowfin merupakan umpan yang bagus untuk ikan pickerel dan ikan karnivora lainnya karena dapat hidup berjam-jam meskipun tengkoraknya ditembus kait pancing.

Bowfin hidup di Amerika Serikat bagian timur dan tengah, di danau dan perairan tenang, terutama di tempat-tempat yang berumput. Nama-nama lokal diberikan kepadanya sesuai dengan perilaku ikan ini, seperti mudfish (ikan lumpur), freshwater dogfish dan grindlefish. Kebiasaan ikan bowfin beranak sungguh aneh; yang jantan membersihkan suatu daerah melingkar di antara rerumputan untuk sarangnya. Telur-telur diletakkan di sini dan menjadi melekat pada dasar. Kemudian ikan jantan menjaga telur, juga anak-anaknya yang masih kecil hingga mereka sepanjang kurang lebih 10 cm. Bowfin bukanlah hidangan yang amat lezat, namun enak dimakan jika diasapi. Di Luisiana ikan bowfin kering digunakan untuk membuat baso ikan dan jambalaya. Memancing ikan bowfin merupakan olah raga yang menyenangkan; sebagai umpan bisa digunakan kodok atau ikan minnow (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Pengisap (Sapu-Sapu)

Menurut Hegner (1946) hari-hari yang paling menyenangkan dalam kehidupan banyak anak kecil adalah pada awal musim semi ketika ikan sucker (ikan pengisap/sapu-sapu) naik ke anak sungai untuk bertelur. Pada waktu itu mereka dapat ditangkap dengan kait berumpan cacing tanah atau perangkap dengan jerat kawat. Ketika itu pula para nelayan yang serakah dapat merasa puas karena mudah menangkap ikan dalam jumlah cukup banyak. Ikan pengisap, dinamai demikian karena bibirnya tebal, berdaging dan dapat ditonjolkan serta digunakan untuk menghisap makanan dari dasar perairan. Ada sekitar 17 spesies ikan pengisap, beberapa hidup di Asia, sisanya di Amerika Utara. Mereka semua hidup di sungai dan danau. Common Sucker adalah salah satu jenis ikan pengisap yang paling umum dijumpai dan tersebar luas di Amerika Serikat. Panjangnya mencapai hampir 60 cm dengan berat 2,5 kg. Dagingnya enak tetapi sulit dimakan karena banyak sekali tulangnya. Setiap tahun sekitar 2,5 juta kg ikan ini ditangkap dan dipasarkan di Amerika Serikat. Anggota-anggota lain famili ikan pengisap adalah ikan stone roller, red horse, black sucker dan buffalo fish. Red horse mencapai berat 2,5 atau 3 kg dan merupakan ikan terbesar yang dapat ditangkap oleh anak kecil (Hegner, 1946).

Ikan Mas

Hegner (1946) menyatakan bahwa jika binatang dipindahkan dari satu negara ke negara lain, kadang-kadang ia mati di tempat baru tersebut. Namun ada pula yang tetap hidup, misalnya ikan mas. Daerah asalnya adalah Asia, dan sebuah keterangan tentang pemeliharaan ikan mas telah ditulis oleh orang Cina pada awal abad ketiga. Dari Asia, ikan mas dimasukkan ke Eropa dan pada tahun 1877 diperkenalkan ke Amerika Serikat oleh Biro Perikanan Amerika Serikat. Dengan segera hampir setiap danau dan sungai yang sesuai di negara tersebut dihuni oleh ikan mas. Hidupnya ulet, bahkan dapat hidup di sungai dan kolam yang berlumpur di mana ikan-ikan lain tidak dapat hidup.

Rata-rata badan ikan mas dewasa seberat 2,5 sampai 5 kilogram, tetapi ada yang bisa mencapai 15 kg atau lebih. Seekor ikan mas seberat 2 atau 2,5 kg sanggup bertelur sebanyak 400.000 sampai 500.000 butir. Ikan mas makan rumput dan seledri liar yang juga dimakan itik, sehingga ikan ini dituduh menurunkan populasi unggas tersebut. Ikan mas juga suka mengaduk-aduk lumpur dan membuat air menjadi keruh sehingga tidak sesuai bagi ikan lain. Dagingnya kasar dan tanpa aroma, namun dimanfaatkan secara luas sebagai makanan. Rata-rata lebih dari 12,5 juta kg daging ikan ini dikapalkan untuk dipasarkan dari Central State setiap tahun. Setiap tahun United States Bureau of Fisheries menebarkan jutaan benih ikan mas ke sungai-sungai dan kolam (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Lele dan Kerabat-Kerabatnya

Alat peraba yang panjang dan ramping, atau kumis, menjulur dari depan kepala ikan lele dan kerabat-kerabatnya, hal ini mengillhami nama catfish untuk famili ikan ini. Lebih dari seribu spesies ikan lele telah dikenal, di antaranya 30 spesies hidup di perairan tawar Amerika Serikat, meskipun tak satu pun yang terdapat di daerah sebelah barat Rocky Mountain sehingga mereka didatangkan ke sana. Beberapa spesies ikan lele yang besar adalah blue catfish, yang mencapai berat 75 kilogram, channel catfish dan mud catfish, atau yellow cat.

Ikan common bullhead atau horned pout adalah semacam ikan lele kerdil yang panjang maksimumnya hanya 18 inci. Kulitnya tak bersisik, mata kecil, sirip atas dekat ekor tak berjari-jari dan dikenal sebagai “adipose fin” (sirip lemak), yang mengandung lemak. Duri pertama pada sirip punggung dan sirip dada berupa sebuah duri tajam yang beracun dan bisa menyebabkan luka yang menyakitkan.

Ikan bullhead menyukai kolam dan sungai berarus tenang yang dasarnya berlumpur sebagai tempat hidup. Makanan dicari dengan bantuan sungut yang peka sementara ikan ini meluncur pelan-pelan sepanjang dasar perairan. Semua hewan yang berukuran kecil, yang masih hidup atau sudah mati, ditelan oleh mulutnya yang lebar tanpa memperdulikan sudah berapa lama mangsanya itu mati. Ikan bullhead bertampag jelek dan mengerikan, sehingga dilukiskan oleh Thoreau, seorang ahli zoologi seabagai ”seekor pengembara yang haus darah dan suka marah, dan senantiasa bersiap-siap menyerang tetangga terdekatnya”. Ikan ini merupakan binatang malam dan hidup di perairan kotor di mana ikan-ikan lainnya tidak dapat hidup di situ; sekali-kali ia muncul ke permukaan perairan untuk menelan udara agar masuk ke dalam gelembung renangnya yang besar.

Mahluk seram seperti ini rupanya juga menunjukkan kecemasan terhadap nasib anak-anaknya yang jumlahnya agak sedikit. Induk jantan merawat telur dan anak-anaknya, kadang-kadang memasukkan meeka ke dalam mulut, mungkin dengan maksud membersihkan mereka, meskipun tak seorang pun yang tahu berapa banyak anak yang tertelan. Seperti ikan mas, bullhead sangat ulet hidupnya dan mampu hidup di luar air untuk waktu yang lama asalkan insangnya selalu lembab. Mereka dapat ditangkap dengan hampir semua umpan, malah begitu rakus hingga menelan kait. Secara umum ikan lele merupakan bahan makanan yang disukai dan menjadi komoditi dagang yang penting (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Stickleback

Kebiasaan membangun sarang dan seringnya bertengkar menempatkan ikan stickleback sebagai ikan yang sangat menarik. Ikan brook stickleback mendiami anak-anak sungai yang dingin dan jernih di Amerika Serikat, dari sebelah barat New York sampai ke Kansas dan ke arah utara. Panjang badan ikan ini hanya 2,5 inci. Menjelang musim berkembang biak, ikan jantan membangun sebuah sarang yang ditempatkan di antara batang-batang tumbuhan air yang direkatkan dengan benang-benang seperti sutera mirip benang sarang laba-laba. Benang ini dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar yang hanya ada pada ikan jantan. Sarang memiliki dua lubang sehingga aliran air dapat memasukinya. Sesudah sarang disiapkan, ikan jantan mengajak ikan betina untuk masuk ke dalamnya. Ikan stickleback jantan kemudian menjaga sarang tersebut setelah telur diletakkan dan anak-anaknya menetas.

Brook stickleback tergolong ikan aktif dan serakah. Makannya berupa binatang lain yang berukuran kecil, terutama anak ikan lain. Rahangnya keras dengan gigi-gigi tajam. Pada punggungnya terdapat lima duri kuat dan runcing yang dapat ditegakkan bila ada bahaya serta dapat dibiarkan tetap berdiri dengan semacam kunci yang ada pada pangkal duri. Duri dan gigi tersebut, ditambah dengan kebiasaan bertengkar membuat ikan ini menjadi salah satu jago berkelahi terbaik di antara seluruh binatang air yang seukuran dengannya. Mereka akan menyerang ikan yang lebih besar dan mempreteli sirip-siripnya. Pada musim semi ikan-ikan stickleback jantan saling berkelahi satu sama lain, kadang-kadang sampai salah satu fihak mati terbunuh.

Fighting fish (ikan cupang) dari Siam (Thailand) mirip dengan stickleback dalam hal kemampuannya berkelahi. Mereka dipelihara untuk aduan dan diletakkan di dalam mangkuk gelas. Jika dua ekor ikan ini ditempatkan dalam satu wadah, mereka akan saling menyerang dengan duri dan gigi hingga salah satu di antaranya kalah (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Whitefish

Whitefish terdapat di seluruh daerah Great Lake. Mulut ikan ini terdapat di sisi bawah tubuhnya. Krustasea, moluska dan binatang-binatang lain yang menjadi mangsanya dicarinya di dasar perairan. Selama musim dingin mereka menyukai perairan yang dalam, namun pada musim semi mereka berpindah ke bagian perairan yang dangkal untuk mencari larva serangga yang saat itu melimpah. Selanjutnya ikan ini bermigrasi ke perairan dangkal lagi pada musim gugur untuk bertelur. Telur-telur diletakan di atas sarang batu. Di antara telur tersebut banyak yang tertimbun lumpur atau dimangsa oleh mud puppy (sejenis salamander), ikan yellow perch dan udang crayfish sehingga sangat sedikit telur yang berhasil berkembang menjadi ikan dewasa. Oleh sebab itu pemerintah setiap tahun mengumpulkan, memelihara dan menebarkan jutaan benih ikan ini. Whitefish ditangkap di perairan dalam dengan jaring insang, yang menjerat ikan tepat di belakang tutup insang. Berat rata-rata ikan ini sekitar 2 kg, tetapi mungkin ada yang seberat 10 kg. Ikan penghuni Great Lake ini digemari oleh penduduk pedalaman sebagai makanan (Hegner, 1946).

Referensi :

Bhimachar, B.S., A. David and B. Muniappa. 1944. Observations on The Acclimatisation, Nesting Habits and Early Development of Osphronemus gorami (Lacépède). Proceedings of the Indian Academy of Sciences - Section B, Vol. 20, Issue 3, pp. 88 - 101

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam-Oxford-New York. 316 pp.

Chatchaipun, S., C. Niyomthai, S. Isvilanonda and U. Na-Nakorn. 2009. Small Scale Aquaculture : A Case Study on Giant Gouramy (Osphronemus gouramy) Culture in Uthai Thani Province, Thailand. Kasetsart University Fisheries Research Bulletin, Vol. 33, No. 3, pp. 32 - 35

Guan, R., L. Zhou, G. Cui and X. Feng. 1996, Studies on The Artificial Propagation of Monopterus albus (Zuiew). Aquaculture Research, Vol. 27, Issue 8, pp. 587 – 596.

Hegner, R. 1946. Parade of The Animal Kingdom. Macmillan Company. New York. 675 pp.

Hossein, E.M., M.R. Imanpour and M.N. Adlou. 2010. Effects of Stocking Density on Growth Factors, Survival and Blood and Tissue Parameters, in Giant Gouramy (Osphronemus goramy (Lacepede, 1801)). Journal of Fisheries, Vol. 4, pp. 97 – 105

Jiajia, N., Y. Yuhe, Z. Tanglin and G. Lei. 2012. Comparison of Intestinal Bacterial Communities in Grass Carp, Ctenopharyngodon idellus, From Two Different Habitats. Chinese Journal of Oceanology and Limnology, Vol. 30, No. 5, pp. 757 – 765

Khan, H. 1939. Study in Diseases of Fish: Fin-Rot—A Bacterial Disease of Fins of Fish. Proceedings of the Indian Academy of Sciences - Section B, Vol. 10, Issue 6, pp. 369 - 376

Mamedniyazov, O. 1990. A Realistic Approach to Overgrowth of Water Bodies in Turkmenia. Hydrobiological Journal, Vol. 26, No. 1, pp. 111 - 115

Mitzner, L. 1978. Evaluation of Biological Control of Nuisance Aquatic Vegetation by Grass Carp. Transactions of the American Fisheries Society, Vol. 107, Issue 1, pp. 135 – 145

Pine, R.T., L.W.J. Anderson and S.S.O. Hung. 1989. Effects of Static Versus Flowing Water on Aquatic Plant Preferences of Triploid Grass Carp. Transactions of the American Fisheries Society, Vol. 118, Issue 3, pp.336 – 344

Saowakoon, S., H. Saowakoon and K. Jindapol. 2001. Some Biological Aspects and Gonad Development of Swamp Eel (Fluta alba). Proceedings of the 18th Annual Conference of Rajamangala Institute of Technology: Vol. 2 Agriculture, Rajamangala Institute of Technology. Pathum Thani Campus, Pathum Thani (Thailand), p. 387

Saowakoon, S., H. Saowakoon, P. Wangpen and A. Padoongpoj. 2002. Effects of Stocking Density on The Growth of Swamp Eel (Fluta alba) in Circular Concrete Tank. Proceedings of 19th Rajamangala University of Technology Conference: Vol. 2 Agriculture, Rajamangala Institute of Technology, Pathum Thani (Thailand), pp. 284 - 292

Sema, S., D. Yuthayong and N. Khongkum. 2003. Effect of Different Protein and Energy Levels on Growth of Young Giant Gourami (Osphronemus goramy Lacepede). Proceedings of 41st Kasetsart University Annual Conference, 3 - 7 February, 2003, pp. 426 - 434

Tan, Q., R. He, S. Xie, C. Xie and S. Zhang. 2007. Effect of Dietary Supplementation of Vitamins A, D3, E, and C on Yearling Rice Field Eel, Monopterus albus : Serum Indices, Gonad Development, and Metabolism of Calcium and Phosphorus. Journal of the World Aquaculture Society, Vol. 38, Issue 1, pp. 146 – 153.

Qing, Y.D., C. Fang, L.D. Xia and L.B. Tao. 2000. Requirements of Nutrients and Optimum Energy-Protein Ratio in The Diet for Monopterus albus. Journal of Fisheries of China, Vol. 24, No. 3, pp. 259 – 262

Yuan, H., S. Gong, Z. Chu, G. Zhang, Y. Yuan, W. Gong. and J. Yan. 2011. Effects of Low Dietary Protein Level on Serum Oestradiol, Testosterone and Sex Reversal in Rice Field Eel, Monopterus albus (Zuiew). Aquaculture Research, Vol. 42, Issue 12, pp. 1752 – 1763.

Zhou W.Z. and Qin P. 2007. Effects of Salinity on Feeding Rhythm and Feces Excretion Time of Monopterus albus. Ying Yong Sheng Tai Xue Bao, Vol. 18, No. 5, pp. 1171 -1174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar