Minggu, 04 Februari 2018

Hutan Mangrove : Pertumbuhan, Distribusi dan Kerusakan


Bab I
Fungsi Ekologis Hutan Bakau


Menurut Macnae (1968), mangrove adalah pepohonan atau semak-semak yang tumbuh di antara garis pasang purnama dan garis di atas muka laut rata-rata. Mereka tumbuh mengelilingi laut tropis, terutama pada pantai-pantai yang terlindung, dan menjalar sampai ke muara sungai di mana air asin masih bisa masuk. Hutan mangrove yang paling lebat dan paling subur ditemukan di sebagian Asia Tenggara, Malaya, Sumatra dan sebagian Kalimantan di mana curah hujan tinggi dan tidak musiman, tetapi mereka terdapat sebagai semak belukar di pantai-pantai yang tandus. Dalam hutan ini hidup berbagai macam hewan, sebagian dari darat tetapi kebanyakan dari laut. Di antara binatang darat adalah kelelawar buah yang menjadikan pohon mangrove sebagai tempat bertengger, burung pemakan serangga dan ikan serta berbagai jenis serangga. Binatang laut diwakili oleh kepiting dan moluska yang hidup menetap di hutan mangrove, dan udang serta ikan yang masuk ke hutan ini untuk mencari makan ketika air pasang.

Rawa mangrove merupakan jalan masuk dari laut ke darat. Nenek moyang siput pulmonata hidup di rawa mangrove sebelum beradaptasi menjadi hewan darat. Jalan ini juga dilalui oleh kepiting darat serta beberapa jenis ikan. Tetapi rawa mangrove sulit dilalui oleh hewan darat untuk mencoba hidup di laut. Mangrove juga merupakan jalan masuk dari laut ke perairan tawar seperti yang ditempuh oleh siput neritidae, serta merupakan jalan masuk dari perairan tawar ke laut seperti yang dibuktikan oleh banyaknya larva serangga yang mencoba hidup di laut (Macnae, 1968).

Bab II
Sedimen Terbaik Bagi Pertumbuhan Bakau


Sedimen sebagai media hidup bakau sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Sedimen yang terbaik bagi pertumbuhan bakau adalah sedimen yang menyediakan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh vegetasi tersebut agar dapat tumbuh dengan subur. Untuk itu sedimen tersebut harus mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan bakau. Jenis substrat dan lokasinya juga menentukan apakah sedimen tersebut baik bagi pertumbuhan bakau atau tidak.

Ketersediaan Zat Hara Dalam Sedimen Mangrove

Hutan bakau mendominasi garis pantai di daerah tropis dan subtropis. Seperti komunitas tumbuhan lainnya, ketersediaan zat hara merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi struktur dan produktivitas hutan bakau. Banyak tanah hutan bakau memiliki ketersediaan zat hara yang sangat rendah, namun ketersediaan zat hara sangat bervariasi antar- dan dalam-hutan bakau. Efisiensi penggunaan nitrogen dan efisiensi penyerapan zat hara dalam hutan bakau dilaporkan memiliki nilai tertinggi di antara tumbuhan angiosperma. Berbagai interaksi faktor-faktor biotik dan abiotik mempengaruhi ketersediaan zat hara bagi pohon bakau, dan tumbuhan bakau mampu memanfaatkan zat hara yang tersedia. Nitrogen dan fosfor merupakan zat-zat hara yang paling mungkin membatasi pertumbuhan bakau. Amonium merupakan bentuk primer nitrogen di dalam tanah hutan bakau; hal ini sebagian disebabkan oleh kondisi tanah yang anoksik (tanpa oksigen), dan pertumbuhan pohon didukung terutama oleh penyerapan amonium. “Nutrient enrichment” (melimpahnya zat-zat hara) merupakan ancaman utama bagi ekosistem laut. Walaupun hutan bakau dapat melindungi lingkungan laut dari polusi zat hara asal-darat, namun “nutrient enrichment” bisa berdampak negatif bagi hutan bakau; selain itu kemampuannya menampung zat hara mungkin terbatas (Reef et al., 2010).

Fosfor dan Nitrogen Untuk Pertumbuhan Mangrove

Bahwa fosfor merupakan faktor pembatas pertumbuhan bakau diperkuat oleh Feller et al. (1999). Dalam sebuah percobaan faktorial, Feller et al. (1999) memberi pupuk 48 pohon bakau merah Rhizophora mangle di Twin Cays, Belize, Amerika Tengah. Hasil awal menunjukkan bahwa defisiensi fosfor (P) merupakan faktor utama yang membatasi produktivitas primer. Pohon bakau yang diberi pupuk fosfor memperlihatkan penurunan yang nyata dalam hal efisiensi penggunaan fosfor dan efisiensi penyerapan fosfor, tetapi terjadi peningkatan secara nyata dalam hal efisiensi penggunan nitrogen dan efisiensi penyerapan nitrogen pada daunnya dibandingkan dengan pohon bakau kontrol dan pohon bakau yang diberi pupuk nitrogen. Dengan demikian, untuk dapat mendukung pertumbuhan bakau maka sedimen harus mengandung cukup fosfor dan nitrogen.

Karateristik Kimiawi Sedimen Hutan Bakau

Kisaran beberapa parameter kimia sedimen yang baik bagi hutan bakau ditunjukkan oleh hasil penelitian Castañeda-Moya et al. (2006). Mereka mengevaluasi sifat-sifat struktural dan pola zonasi hutan bakau di lingkungan kering antara Oktober 2000 dan Agustus 2001 di Teluk Fonseca, Honduras. Penelitian dilakukan pada tiga zona : tepi, peralihan dan semak-belukar. Dalam penelitian ini mereka memperoleh hasil sebagai berikut. Konsentrasi sulfida dalam air di pori-pori sedimen secara normal lebih kecil dari pada tingkat yang bisa dideteksi (kurang dari 0.03 mM) dan rata-rata nilai redoks berkisar dari 163.4 ± 9.9 sampai -42.4 ± 15.8 mv, yang menunjukkan bahwa kondisinya agak tereduksi pada semua zona. Rata-rata konsentrasi NOx - dan PO4 3- dalam air pori-pori sedimen adalah tidak berbeda nyata antar zona dan berkisar dari 3.3 ± 0.5 sampai 4.5 ± 0.4 µM serta dari 0.05 ± 0.02 sampai 0.18 ± 0.04 µM, berturut-turut. Konsentrasi nitrogen tanah adalah 1 – 3 mg per gram di semua zona, dan rata-rata rasio nitrogen:fosfor atomik adalah kurang dari 20 (kisaran: 12.9 – 14.9), yang menunjukkan bahwa tanahnya subur.

Sifat-Sifat Tanah Mempengaruhi Struktur dan Produktivitas Hutan Bakau

Chen dan Twilley (1999) telah mempelajari luas dasar (basal area) dan produktivitas rawa hutan bakau dalam hubungannya dengan sifat-sifat tanah di mulut estuari Everglades, Shark River Slough (Rawa Sungai Hiu), Florida, Amerika Serikat. Luas dasar hutan bakau berkurang dari 40.4 m2 per ha dan 39.7 m2 per ha di dua stasiun (yang terletak 1.8 km dan 4.1 km dari mulut estuari) menjadi 20.7 m2 per ha dan 19.6 m2 per ha di dua stasiun lain (yang terletak 9.9 km dan 18.2 km dari mulut estuari), berturut-turut. Perbedaan luas dasar di empat lokasi ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan selama sekitar 34 tahun sejak rawa bakau ini dirusak badai Donna. Produktivitas kayu adalah lebih tinggi di estuari hilir (10.7 Mg per ha per tahun dan 12.0 Mg per ha per tahun) daripada di estuari hulu (3.2 Mg per ha per tahun dan 4.2 Mg per ha per tahun). Salinitas air pori-pori sedimen pada keempat stasiun selama sampling tahun 1994 dan 1995 berkisar dari 1.6 g per kg sampai 33.5 g per kg, sedangkan konsentrasi sulfida umumnya kurang dari 0.15 mM di semua lokasi. Nilai-nilai tanah ini menunjukkan bahwa stres abiotik tidak berhubungan dengan berkurangnya struktur hutan sepanjang hulu-hilir estuari. Konsentrasi nitrogen (N) dan fosfor (P) adalah paling mungkin berkaitan dengan pola perkembangan hutan dan dengan kesuburan tertinggi di mulut estuari sebagaimana ditunjukkan oleh lebih tingginya konsentrasi amonium terekstraksi, total P tanah, dan ketersediaan P, disamping tingginya laju produksi amonium. Lokasi-lokasi yang lebih subur di estuari bagian hilir didominasi oleh Laguncularia racemosa, sedangkan lokasi-lokasi yang kurang subur di estuari bagian tengah dan bagian hulu didominasi oleh Rhizophora mangle. Laju mineralisasi N relatif per unit total N adalah lebih tinggi di estuari bagian hilir dan berkorelasi positif dengan konsentrasi ketersediaan P, yang menunjukkan pentingnya laju “turnover” dan interaksi zat hara terhadap kesuburan tanah. Konsentrasi P terikat-Ca per volume tanah di estuari bagian hilir adalah 40 kali lebih tinggi daripada di estuari bagian hulu, dan sejalan dengan peningkatan residu P di estuari bagian hulu, yang menunjukkan adanya pergeseran dari P mineral ke P organik sepanjang hulu-hilir estuari. Pemasukan mineral ke mulut estuari Shark River dari Teluk Meksiko (bukannya pemasukan dari darat) tampaknya mengendalikan pola struktur dan produktivitas hutan bakau.

Ernest Dominic Savio dan S. John William dari Department of Biology and Fisheries Science, Republic of Maldives, menyatakan bahwa perairan hutan bakau sangat subur karena adanya “trace element” seperti besi, mangan, molibdenum, dan lain-lain. Kesuburan ini menjamin tingginya produksi primer hutan bakau. Vegetasi yang kaya di hutan bakau disebabkan oleh tingginya kadar zat-zat hara baik di dalam air maupun di dalam sedimen hutan bakau. Zat-zat hara tersebut dibawa masuk ke hutan bakau bersama masuknya air tawar dari sungai. Hal senada diungkapkan oleh Junk dan Furch (1993). Tam dan Wong (1993) menambahkan bahwa sedimen hutan bakau beraksi sebagai perangkap yang efisien bagi zat-zat hara (terutama fosfor) dan logam berat.

Tumbuhan bakau bisa memanfaatkan logam berat dan polutan organik dari air limbah yang memasuki sistem estuari. Kemampuan ini dimungkinkan karena kondisi sedimen hutan bakau yang teroksidasi dan tereduksi, terjadinya banjir periodik akibat keluar-masuknya air pasang, serta tingginya konsentrasi tanah liat dan bahan organik. Zhang et al. (2010) mempelajari efisiensi penyerapan zat-zat hara dan logam berat dari air limbah oleh tumbuhan bakau Sonneratia apetala Buch-Ham. Logam-logam berat dalam penelitian ini adalah tembaga, timah hitam, kadmium dan seng. Ada korelasi yang sangat linier antara biomas tumbuhan Sonneratia apetala dengan konsentrasi zat hara dan logam berat. Spesies Sonneratia apetala Buch-Ham memiliki selektivitas tersendiri untuk menyerap logam-logam berat yang tak terpengaruh oleh konsentrasi awal logam berat, dan lebih efektif dalam menyingkirkan zat-zat hara daripada logam-logam berat. Zhang dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa rawa hutan bakau yang ditumbuhi spesies Sonneratia apetala Buch-Ham memiliki kemampuan besar untuk menyingkirkan zat-zat hara dan logam berat dari daerah pesisir.

Respons tumbuhan bakau terhadap zat hara dalam sedimen menunjukkan keseimbangan persaingan relatif. Laguncularia racemosa mendominasi sedimen yang subur dengan salinitas rendah pada tahap-tahap awal perkembangan hutan bakau, tetapi kelimpahannya kemudian menurun sejalan dengan waktu sementara kelimpahan A. germinans meningkat. Dominansi R. mangle dibatasi pada daerah-daerah dengan ketersediaan zat hara sedikit dan salinitas rendah. Avicennia germinans mendominasi daerah bersalinitas lebih tinggi, di mana pengaruh kekurangan persediaan zat hara tertutup oleh toleransi individu spesies tersebut terhadap garam (Chen and Twilley, 1998).

Tipe Substrat Mempengaruhi Pertumbuhan Pohon Bakau

Selain harus mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan tumbuhan bakau, tipe substrat juga mempengaruhi pertumbuhannya. Bohorques dan Prada (1987) mempelajari sedimen yang terbaik bagi pertumbuhan pohon bakau Rhizophora mangle. Mereka menanam 403 benih tumbuhan bakau merah di sebuah nursery ground (daerah pembesaran) dengan menggunakan lima macam substrat. Substrat-substrat tersebut adalah pasir dan bahan organik , pecahan karang, pasir halus, pasir dan tanah hitam serta lumpur berkarbonat. Pengamatan terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan dilakukan selama 240 hari. Hasil terbaik ditemukan pada kelompok substrat berpasir (tingkat kelangsungan hidup 88 %; laju pertumbuhan 23,13 cm dan produksi daun 5,17). Konsentrasi natrium dan magnesium yang tinggi tampaknya menjadi faktor pembatas.

Di beberapa daerah yang berbatu kapur atau berterumbu karang di dekat zona pasang surut, sedimen yang diendapkan oleh air di dalam hutan bakau membentuk “marl”. Marl in merupakan endapan yang terdiri dari tanah liat dan kapur yang baik sekali untuk pupuk (Macnae, 1968).

Sedimen yang mengandung kapur sangat baik bagi pertumbuhan bakau. Keberadaan cangkang atau sisa-sisa mahluk hidup lain yang berkapur di dalam tanah penting bagi kelayakan perkembangan tumbuhan bakau, terutama di daerah bersalinitas tinggi. Ion kalsium tampaknya mengurangi atau mencegah kerusakan yang disebabkan oleh kelebihan ion natrium, karena kalsium mengurangi kadar natrium internal tumbuhan bakau (Macnae, 1968).

Pengaruh Aluvium Terhadap Hutan Bakau

Macnae (1968) menambahkan bahwa kualitas tanah dalam rawa hutan bakau tergantung pada sumber aluviumnya. Sedimen dibawa masuk ke hutan bakau oleh sungai. Sungai yang menampung air dari daerah berkuarsa mengangkut aluvium berkualitas rendah. Sungai yang mengalr dari daerah granit tua juga membawa lempung berkualitas rendah. Sungai dari daerah bertanah vulkanik baru atau agak baru menghasilkan aluvium berkualitas tinggi. Pengaruh kualitas aluvium ini terlihat jelas di, sebagai contoh, Jawa dan Queensland. Di Jawa, Sungai Brantas menerima air dari gunung-gunung vulkanik Jawa Timur dan menghasilkan aluvium yang sangat subur. Di Queensland, Sungai Barron dan Johnstone berasal dari daerah yang kaya akan tanah vulkanik tersier yang mendukung hutan bakau yang lebat dan luas. Sebaliknya, daerah marmer dan batu kapur di pulau Madura di lepas pantai utara Jawa Timur menghasilkan aluvium yang miskin. Sedimen yang miskin juga ditemukan di Afrika, sebuah benua yang tanahnya telah lama tercuci; serta di daerah kuarsa di sebagian besar pesisir Queensland yang menghasilkan tanah gersang dan tumbuhan bakau yang sedikit. Zat-zat hara jarang ditemukan di tanah-tanah seperti ini.

Macnae (1968) menjelaskan bahwa aluvium yang diendapkan di daerah estuaria atau hutan bakau itu sendiri tidak subur. Sedimen yang sangat baru diendapkan tidak ditumbuhi oleh bakau. Proses-proses biologi diperlukan sebelum aluvium ini bisa ditumbuhi pohon bakau. Proses-proses tersebut melibatkan semua organisme seperti bakteri, alga hijau biru, diatom dan alga hijau. Yang paling penting di antara organisme ini adalah bakteri nitrifikasi dan bakteri pereduksi sulfat. Alga hijau biru mengubah tanah menjadi habitat yang sesuai bagi alga hijau. Aksi alga hijau biru dan bakteri di dalam sedimen hutan bakau mengubah amonia menjadi nitrat dan melepaskan fosfat yang terikat. Tinja binatang-binatang yang hidup di hutan bakau merupakan komponen penting lapisan permukaan tanah dan menjadi sumber nitrat, fosfat serta zat-zat hara lain.

Bahan-bahan organik yang terperangkap di dalam sedimen hutan bakau belum bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan itu. Beberapa proses biokimia mengubah bahan organik tersebut menjadi material anorganik yang bisa diserap oleh tumbuhan bakau. Oksidasi endapan bahan organik, regenerasi zat-zat hara anorganik dan pada beberapa kasus, transformasi bahan-bahan organik tersebut, umumnya dilakukan oleh mikrobiota yang hidup dalam sedimen hutan bakau (Fenchel & Blackburn, 1979).

Pengaruh Lokasi Sedimen Terhadap Tumbuhan Bakau

Di samping ketersediaan zat-zat hara dan tipe substrat, lokasi sedimen berpengaruh terhadap tumbuhan bakau. Krumholz et al.(2010) menanam benih pohon bakau dengan dilindungi karang atau pipa. Tingkat kelangsungan hidup untuk teknik ini, yang sangat tergantung pada kesehatan anakan dan kondisi lokal (tipe sedimen, keterlindungan terhadap gelombang, dll.), adalah lebih tinggi daripada yang ditanam dengan cara tradisional (tanpa perlindungan) di lokasi yang sama. Laju pertumbuhan bisa dibandingkan dengan tumbuhan bakau yang ditanam di tempat pembesaran bakau yang terlindung (sheltered nursery). Tumbuhan bakau yang ditanam dengan teknik ini tampaknya memiliki tingkat kesuksesan tertinggi pada kondisi mid-intertidal sampai semi subtidal, yang lokasinya terendam sedikitnya sekali sehari, tetapi tumbuhan bakau tersebut tidak terendam sepenuhnya selama lebih dari beberapa jam setiap kalinya.

Bab III
Dampak Tambak Terhadap Kerusakan Hutan Bakau


Pembukaan Tambak Dengan Membabat Hutan Bakau

Menurut Macnae (1968), di banyak tempat di Asia Tenggara, terutama Jawa, Sumatera selatan, Filipina dan Taiwan budidaya udang dan ikan dalam tambak air payau yang dibuat setelah membabat hutan bakau telah sangat lama dilakukan, bahkan di Jawa sudah berabad-abad. Dalam pembuatan tambak ini, hutan bakau ditebang sama sekali kecuali bagian yang mengarah ke laut. Hal ini diperlukan terutama sebagai pelindung terhadap aksi merusak yang ditimbulkan laut dan juga karena di sebagian besar daerah yang dimanfaatkan untuk tambak pengendapan masih berjalan dengan cepat dan keberadaan tumbuhan bakau di bagian yang mengarah ke laut ini memungkinkan penyediaan benih bakau secara terus-menerus untuk mengkolonisasi tebing lumpur yang baru muncul. Lokasi tambak bervariasi dari beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer dari laut. Tambak paling jauh dari laut cendeung kurang asin daripada yang terletak di belakang hutan bakau. Tebing antara, yang lebih dikenal sebagai pematang, sering ditanami tumbuhan bakau atau tumbuhan lain yang berguna, biasanya spesies tumbuhan yang bisa mentolerir garam. Hal ini membantu menstabilkan tebing.

Kerusakan Lingkungan Akibat Tambak

Lee (1993) menyatakan bahwa walaupun tambak budidaya telah lama dikenal di Asia Tenggara, namun mereka masih ditangani secara tradisional dengan sedikit pemupukan, intensifikasi dan miskin teknologi. Kesadaran saat ini mengenai arti penting konservasi ekosistem hutan bakau mengharuskan adanya strategi pengelolaan yang menggabungkan eksploitasi tradisional dengan konservasi hewan liar. Studi kasus di sebuah tambak di Hong Kong membeberkan konflik-konflik apa yang mungkin muncul bila tambak dikelola secara bersamaan untuk tujuan budidaya akuakultur dan sekaligus konservasi hewan liar. Laju sedimentasi meningkat akibat dikendalikannya pertukaran air di tambak, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan ketinggian substrat dan perubahan tipe serta luas penutupan (oleh) tumbuhan. Tambak pasang surut juga mendukung fauna yang berbeda, dan umumnya kurang beragam, dibandingkan fauna di daerah non tambak, mungkin karena kondisi fisik berfluktuasi lebih besar di daerah tambak. Pengelolaan ketinggian air untuk budidaya udang dan ikan juga menimbulkan konflik dengan burung air di tambak tersebut.

Mana Yang Lebih Baik : Mempertahankan Hutan Bakau Atau Mengubahnya Menjadi Tambak Udang ?

Primavera (1995) menyatakan bahwa sekitar 50 % kerusakan hutan bakau di Filipina disebabkan oleh pembukaan tambak air payau. Penyempitan luas hutan bakau dari 450.000 hektar pada tahun 1920 menjadi 132.500 hektar pada tahun 1990 disertai oleh perluasan tambak budidaya sebesar 223.000 hektar pada tahun 1990. Perkembangan tambak ikan di negara ini disebabkan oleh dukungan besar-besaran dari pemerintah pada tahun 1950-an dan 1960-an yang diikuti oleh demam udang pada tahun 1980-an. Produksi tambak air payau meningkat dari 15.900 metrik ton senilai 7,6 juta peso pada tahun 1938 menjadi 267.000 metrik ton senilai 6,5 milyar peso pada tahun 1990. Sebaliknya, diperkirakan lebih dari $ 11.000 per hektar per tahun bisa dihasilkan oleh hutan bakau yang tak dikelola dan yang dikelola sehingga hutan bakau lebih ekonomis daripada sistem budidaya tambak yang paling menguntungkan sekalipun. Lenyapnya sistem hutan bakau beserta fungsi-fungsinya merupakan akibat paling penting dari budidaya tambak air payau di Filipina. Selain itu, budidaya udang intensif disertai dengan dampak ekologis dan sosial ekonomi lain seperti polusi perairan pesisir dan penurunan hasil panen makanan domestik. Disarankan untuk membuat undang-undang baru, melaksanakan peraturan yang sudah ada, konservasi hutan bakau yang masih ada, rehabilitasi besar-besaran terhadap area hutan bakau yang terancam rusak serta mempromosikan penangkapan ikan dan budidaya perikanan yang berwawasan lingkungan.

Untung-Rugi Konversi Hutan Bakau Menjadi Tambak

Weinstock (1994) melaporkan bahwa konversi hutan bakau untuk tambak ikan dan udang telah berlangsung di Sulawesi Selatan, Indonesia, selama lebih dari setengah abad. Di beberapa wilayah tampaknya semua hutan bakau telah habis ditebang dan dampaknya terhadap lingkungan telah muncul, termasuk banjir dan erosi pantai. Satu kelompok masyarakat mengalami dampak lingkungan negatif walaupun pada saat yang sama pendapatan mereka meningkat melalui pengembangan sistem agroforestri hutan bakau. Penanaman secara monokultur Rhizophora mucronata (Lam.) di sepanjang pesisir telah mengurangi erosi dan banjir, melindungi tambak ikan dan udang yang ada di darat. Pemanenan pohon bakau secara terkendali memberikan pendapatan yang cukup besar melalui penjualan kayu bakar.

Weinstock (1994) menambahkan bahwa penebangan hutan bakau untuk area tambak yang dimulai tahun 1930-an membuat beberapa desa di Kabupaten Sinjai, di pesisir tenggara Sulawesi Selatan, mengalami siklus perkembangan tambak secara penuh. Hal ini mencakup penggundulan hutan bakau sampai hampir total guna perluasan tambak sampai ke tepi laut; tambak-tambak tersebut kemudian hancur akibat terjangan gelombang dan angin secara langsung; siklus diakhiri dengan munculnya kembali hutan bakau di sepanjang pantai melalui aksi rehabilitasi oleh masyarakat. Hutan bakau yang baru ini bagi masyarakat Kabupaten Sinjai bukan hanya untuk perlindungan lingkungan tetapi juga sebagai hutan produksi, yang mampu menghasilkan kayu bakar senilai dua milyar rupiah (US $ 1.000) per hektar dari pohon berumur 7 tahun. Berdasarkan rotasi tujuh tahun, bisa diperoleh penghasilan bersih sekitar $ 140 per tahun per hektar, belum termasuk nilai ekonomi yang diberikan hutan bakau melalui perlindungan tambak dari erosi. Penduduk yang menanami lahan pasang surut dengan pohon bakau dan mengambil kayunya untuk dijual tidak dikenai pajak tanah. Sebaliknya, pengembangan tambak membutuhkan banyak tenaga kerja dan modal selama bertahun-tahun, selain itu pemilik tambak harus membayar pajak tanah tahunan.

Pengembangan Tambak Udang Tanpa Merusak Hutan Bakau

Rasowo (1990) dalam Jaccarini and Martens (1992) melaporkan bahwa budidaya kolam untuk udang air payau baru-baru ini banyak menarik minat di Kenya. Daerah hutan bakau merupakan zona sasaran untuk pembangunan tambak-tambak ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan peranan ekologis unik yang dimainkan hutan bakau, maka ada kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan pengubahan rawa hutan bakau menjadi tambak budidaya. Untuk mengembangkan tambak budidaya tanpa merusak hutan bakau, disarankan untuk melakukan pergeseran dari sistem kolam pasang surut ke kolam pompa guna mengubah budidaya dari lahan hutan bakau ke lahan yang lebih tinggi. Budidaya laut yang “bersahabat” dengan hutan bakau di antaranya adalah “pen culture” (budidaya menggunakan pagar), kurungan dan rakit.

Bab IV
Distribusi Vegetasi, Penyebaran Benih dan Kerusakan Daun Pohon Bakau


Struktur dan Distribusi Spesies Tumbuhan Bakau

Azariah et al. (1992) mempelajari struktur dan distribusi spesies di hutan bakau Coringa, Delta Godavari, Andhra Pradesh, India. Komunitas hutan bakau ini terdiri dari 13 spesies tumbuhan bakau dan tumbuhan lain. Tiga tumbuhan bakau dominan berikut, Avicennia marina, Excoecaria agallocha dan Sonneratia apetala ditemukan di tebing kanal utama Sungai Godavari yang melintasi hutan. Daerah di belakang jalur yang ditumbuhi Acanthus ilicifolius dan Myriostachya wightiana biasanya dikoloni oleh Excoecaria agallocha dan Avicennia marina. Zona ini disebut zona Avicennia dan Excoecaria. Di dekat zona ini, spesies seperti Aegiceras corniculatum dan A. officinalis merupakan spesies yang umum. Di hamparan tanah liat tumbuh Suaeda maritima. Di daerah yang tinggi, sehingga terhindar dari air pasang selama periode pasang purnama, spesies seperti Myriostachya wightiana dan Acanthus tumbuh di kedua tebing kanal. Analisis keragaman spesies menunjukkan dengan pasti kecenderungan distribusi tumbuhan bakau dari mulut estuaria ke perairan darat. Kadar gas pencemar seperti sulfur dioksida (SO2), oksida-oksida nitrogen (NOx), amonia (NH3) dan partikel tersuspensi ada di dalam batas-batas legal.

Hubungan Sifat Tanah Hutan Mangrove dan Vegetasinya

Macnae (1968) menyatakan bahwa banyak literatur yang membahas hubungan antara sifat tanah hutan bakau dan vegetasi yang tumbuh di dalamnya. Pada transek dari daerah mangrove yang menghadap laut sampai ke hutan gambut yang telah berkembang penuh, ada peralihan dari tanah mineral yang hampir murni di daerah avicennia yang mengarah ke laut, sampai tanah busuk (dengan kandungan bahan humus sampai 65 %) yang mendukung asosiasi yang terdiri dari Nypa fructicans, Avicennia officinalis, Acanthus ilicifolius, Sonneratia caseolaris, Acrostichum sp. dan dengan Bruguiera sexangula sebagai pohon dominan, dan akhirnya sampai ke tanah gambut dengan kandungan bahan organik sekitar 95 %. Yang terakhir ini hanya terdapat di daerah tepat di atas garis air tinggi. Bruguiera gymnorhyza bisa dominan di hutan bakau bila tanahnya berat dan basah; dan di tanah seperti ini mungkin terdapat pohon-pohon tua Rhizophora apiculata, Xylocarpus moluccensis Roem. serta Intsia bijuga (Colebr.) O. Kunz. yang tumbuh baik; tumbuhan perambat dan juga berbagai epifit umum terdapat. Avicennia officinalis L. adalah umum, kadang-kadang melimpah pada kondisi ini di Asia Tenggara dari Delta Indus sampai New Guinea (Papua). Di Afrika Timur, Avicennia marina meluas sampai ke daerah seperti ini.

Macnae (1968) menambahkan bahwa pada garis yang dicapai oleh pasang purnama normal, Xylocarpus granatum dan Lumnitzera littorea Voight membentuk pohon besar; Bruguiera parviflora W & A serta Bruguiera cylindrica mungkin membentuk tegakan padat sedangkan Bruguiera sexangula Poir. mungkin hidup bersama dengan Bruguiera cylindrica; Avicennia lanata Ridl. juga menjadi ciri khas daerah ini di pantai timur Semenanjung Malaka dan di pulau Singapura. Di sini hampir selalu ada paku-pakuan yang tumbuh di bagian bawah, Acrostichum speciosum Wild. yang pendek tumbuh di bawah naungan tumbuhan lain, sedangkan Acrostichum aureum yang lebih tinggi tumbuh di luar naungan di mana ia bisa tegak setinggi 3 meter. Bila tanahnya tidak kokoh, Rhizophora apiculata akan tumbuh dominan.


Macnae (1968), berdasarkan studi literatur, menambahkan bahwa di hutan bakau yang tanahnya kokoh dengan tebing-tebing kapur dan permukaannya sangat tidak rata, kadang-kadang tumbuh subur pohon Bruguiera gymnorhiza, Lumnitzera littorea, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Ficus microcarpa L.f., Terminalia catappa L. dan Barringtonia racemosa. Di bawahnya tumbuh semak Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth. dan Acrostichum sp. Variasi dari asosiasi ini berkembang di tanah yang kokoh dengan permukaan tidak rata. Lapisan pohon ini terdiri dari Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Ficus retusa, Intsia bijuga dengan Nypa di jurang berlumpur. Di bawahnya tumbuh semak Derris heterophylla (Willd.) Back. dan Acrostichum sp. Variasi lain ditemukan di tanah yang agak kokoh dengan lapisan pohon yang meliputi Bruguiera sexangula, Dolichandrone spathacea (L.f) K. Schum., Barringtonia racemosa, Terminalia catappa, Ficus microcarpa, Lagerstroemia speciosa Pers., Corypha utan Lam. dan sepanjang teluk tumbuh Xylocarpus granatum serta Oncosperma filamentosum Bl. Tumbuh rapat di bawahnya adalah Acanthus ilicifolius L., Derris heterophylla, Acrostichum sp. dan Crinum sp. Semua asosiasi tumbuhan bakau ini tampaknya ditentukan oleh sifat tanah dan, selain itu, menunjukkan peningkatan ketergantungan terhadap air tawar.

Penyebaran Benih Pohon Bakau Dari Udara

Lahiri (1991) melaporkan upaya menyebarkan benih pohon bakau (Avicennia dan Sonneratia) dari udara selama bulan Agustus - September 1989. Di hamparan lumpur di Sundarbans (Benggala Barat) telah diperoleh tingkat keberhasilan 50 %. Pada tahun berikutnya upaya serupa dengan benih yang lebih baik memberikan hasil yang lebih memuaskan. Metode ini membuka peluang untuk melakukan penghutanan skala besar di daerah-daerah gundul dalam waktu yang singkat.

Kerusakan Daun Pohon Bakau Akibat Herbivora

Kathiresan (1992) mengamati aktivitas herbivora pemakan daun tumbuhan bakau di hutan mangrove Pichavaram, India Tenggara. Aktivitas tersebut terlihat pada 10 spesies pohon bakau. Herbivora merusak sekitar 1 sampai 12 % luas daun. Api-api (Avicennia sp.) mengalami kerusakan parah; Ceriops decandra, Excoecaria agallocha dan Rhizophora lamarckii menerima pengaruh paling kecil oleh aktivitas makan-daun ini. Kerusakan daun menunjukkan korelasi negatif dengan kadar tanin dalam daun.

Zonasi Hutan Bakau

Macnae (1968) menjelaskan zonasi hutan bakau di daerah Indo Pasifik barat. Tiga skema telah diusulkan untuk menggambarkan zonasi mangrove, dua di antaranya mendasarkan zonasi pada sifat-sifat fisik lingkungan sedangkan skema ketiga, yang lebih praktis, memberi nama zona berdasarkan genus dominan yang tumbuh pada masing-masing zona.

1. Watson (1928) yang memelopori studi mangrove Malaysia mengemukakan lima kelas berdasarkan frekuensi perendaman air pasang :

a. Spesies yang tumbuh di daerah yang terendam oleh segala jenis pasang : secara normal tidak ada spesies yang dapat tumbuh pada kondisi semacam ini, kecuali Rhizophora mucronata.
b. Spesies yang hidup di daerah yang terendam oleh pasang medium : spesies-spesies dari genus Avicennia, Avicennia alba, Avicennia marina ( = Avicennia intermedia) dan Sonneratia griffithii, serta penghuni tepian sungai, Rhizophora mucronata.
c. Spesies yang tumbuh di daerah yang digenangi oleh air pasang normal : kebanyakan mangrove tumbuh subur pada kondisi seperti ini tetapi Rhizophora cenderung mendominasi.
d. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya digenangi oleh air pasang purnama : daerah-daerah semacam ini agak terlalu kering bagi Rhizophora tapi cocok untuk Bruguiera gymnorhiza dan B. cylindrica.
e. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya terendam oleh air pasang equinoktial atau air pasang yang tak normal lainnya : Bruguiera gymnorhiza dominan tetapi Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatus masih bisa hidup.

2. De Haan (1931) memasukkan salinitas air tanah sebagai faktor pengendali distribusi dan ketergenangan oleh air pasang sebagai faktor tambahan.

A. Zona berair payau sampai asin dengan salinitas pada saat pasang sebesar 10 – 30 ‰.
1. Daerah yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari sebulan.
2. Daerah yang tergenang pasang 10 – 19 kali per bulan.
3. Daerah yang terendam pasang 9 kali atau kurang dalam sebulan.
4. Daerah yang terendam air pasang hanya beberapa hari dalam satu tahun.

B. Zona berair tawar sampai payau dengan salinitas antara 0 – 10 ‰.
1. Daerah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut.
2. Daerah yang secara musiman terendam air pasang.

Jelas bahwa zona A-1 dan A-4 sama dengan kelas (a) dan (e) pada zonasi menurut Watson; zona A-2 bertumpang tindih dengan kelas Watson (b) dan (c) sedangkan zona A-3 bertumpang tindih dengan (c) dan (d). Zona B-1 mencakup baik asosiasi barringtonia asiatica maupun asosiasi nypa, dan zona B-2 meliputi daerah gambut dan hutan rawa lainnya serta daerah yang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus.

3. Walter dan Steiner (1936) yang mempelajari mangal (hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang) di Tanga, Afrika Timur, memberi nama zona berdasarkan tumbuhan dominan. Pemikiran mereka diikuti oleh Macnae dan Kalk (1962) serta dikembangkan dan diperluas oleh Macnae (1966) agar dapat diterapkan untuk berbagai daerah mangrove. Mereka membedakan beberapa zona sebagai berikut.

1. Daerah yang mengarah ke daratan.
2. Zona semak-semak ceriop.
3. Zona hutan bruguiera.
4. Zona hutan rhizophora.
5. Zona avicennia yang mengarah ke laut.
6. Zona sonneratia.

Tiga zona pertama bisa mengalami modifikasi, dan zona terakhir tidak terdapat pada semua pantai karena ia terbatas di daerah pantai yang hangat.

A. Daerah yang mengarah ke daratan (landward fringe)

Zona ini paling bervariasi dari semua zona mangal. Komponen utama tanah yang ditempatinya bisa berupa pasir atau lumpur; mereka bisa hidup di daerah yang sangat kering maupun daerah yang sering terendam air; tanahnya bisa subur bila berasal dari batu vulkanik muda; atau miskin (gersang) bila berasal dari batu granit atau kuarsa tua; tanahnya juga mungkin berkapur, yang berasal dari batuan kapur, atau bergambut yang kaya materi organik. Salinitas air tanah bisa tinggi bisa rendah. Semuanya menghasilkan sifat-sifat yang bervariasi. Pada daerah ini dapat ditemukan asosiasi barringtonia dan asosiasi nypa.

a. Asosiasi barringtonia
Asosiasi ini didominasi oleh spesies Barringtonia yang tumbuh dalam dua tipe lingkungan yang berbeda.
i. Asosiasi Barringtonia asiatica. Asosiasi dengan Barringtonia asiatica ( = Barringtonia speciosa) sebagai spesies dominan atau spesies yang sangat menyolok terletak di belakang asosiasi pes-caprae pada pantai berpasir. Asosiasi ini seringkali terdiri dari beberapa jenis pohon yang bisa hidup di ekoton mangal, misalnya Terminalia catappa, Thespesia populnea dan Pandanus tectorius.
ii. Asosiasi Barringtonia racemos. Asosiasi ini tampaknya mencapai perkembangan maksimum di sepanjang pantai bagian timur Afrika, antara Kenya dan Natal, serta sebagian daerah selatan Jawa. Di Afrika bagian Timur ia cenderung menempati tanah yang sangat kering sekali di belakang dan di bagian atas mangal. Jadi asosiasi ini setara dengan asosiasi nypa yang banyak tumbuh di Asia Tenggara.

b. Asosiasi nypa
Asosiasi ini merupakan salah satu asosiasi yang paling penting, dan dilihat dari udara ia tampak paling menyolok di antara seluruh mangal yang ada di daerah Indo-Malaysia dan Asia Tenggara. Ia menempati daerah yang luas, seringkali sangat luas, di bagian tanah yang digenangi oleh air pasang purnama. Ciri yang menarik dari daerah yang ditempati oleh asosiasi ini adalah banyaknya gundukan tanah tinggi (sampai setinggi 3 meter) bekas tanah galian liang kepiting Thalassina anomala dan hal ini berpengaruh positif terhadap asosiasi nypa tersebut.

Dalam asosiasi ini pohon Heritiera littoralis, pohon Xylocarpus granatus, Xylocarpus moluccensis, Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorhiza atau Lumnitzera littorea tumbuh subur di tempat yang lebih tinggi sedangkan pohon Rhizophora apiculata hanya sebagian hidup di tempat yang lebih rendah. Juga sering dijumpai Excoecaria agallocha, Bruguiera cylindrica dan Sonneratia caseolaris. Hibiscus tiliaceus dan spesies dari genus Pandanus juga tumbuh di daerah di mana air hampir tawar.

B. Zona semak ceriops

Ceriops tagal terdapat mulai dari perbatasan Mozambik-Natal meluas sampai sepanjang pantai timur Afrika dan Madagaskar melalui India dan Srilangka terus ke Taiwan (Formosa) di sebalah utara dan Queensland dan Kaledonia Baru di sebelah selatan. Ia merupakan mangrove yang jarang mencapai dimensi pohon, mereka lebih sering berupa perdu dengan tinggi antara 1 – 6 meter.

Di daerah-daerah Malaysia dan Indonesia yang kadang-kadang basah, zona ceriops tidak tampak menyolok. Di sini Ceriops tumbuh di dalam hutan bruguiera atau, seperti di Sabah dan semenanjung Thailand, tumbuh bersama dengan Rhizophora spp. Di mana mereka membentuk hutan perawan yang sangat lebat. Di bawah kondisi semacam ini Ceriops tagal mencapai dimensi pohon hingga setinggi 10 meter dengan diameter pangkal batang 20 cm. Tumbuhan lain yang paling banyak ditemukan di zona semak ceriops yang ada di Australia adalah Bruguiera exaristata. Juga dijumpai pohon Avicennia marina, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis: Scyphiphora hydrophyllacea tumbuh di zona ini sepanjang terusan Hinchinbrook. Di Afrika bagian timur hanya Avicennia marina dan Bruguiera gymnorhiza yang hidup berasosiasi dengan zona ini.


C. Zona hutan bruguiera

Watson memperkenalkan tiga tipe hutan bruguiera, yang didominasi berturut-turut oleh Bruguiera cylindrica, Bruguiera parviflora dan Bruguiera gymnorhyza. Hutan Bruguiera cylindrica sering tumbuh di tanah lempung biru yang keras dengan lapisan humus tipis dan berpermukaan kering serta tanpa ada teluk.

Bruguiera parviflora merupakan spesies oportunis (bisa hidup di mana saja) tetapi kurang dikenal oleh para perimba karena kayunya kurang bagus dibandingkan kayu spesies lain. Di Australia dan Myanmar spesies ini juga bersifat oportunis dan tumbuh subur dengan batang tinggi di daerah yang mulanya telah digunduli. Di Malaysia ia juga sering tumbuh di daerah yang pepohonannya telah ditebang habis, dan ia mungkin menjadi pohon pengasuh kumpulan benih Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. dan pohon lain yang lebih berharga.

Watson menganggap hutan Bruguiera gymnorhiza sebagai “tahap akhir perkembangan hutan litoral dan awal transisi ke arah pembentukan hutan darat”. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya sedikit regenerasi yang terjadi di bawah pohon-pohon ini dan adanya suksesi deposit humus serta kenyataan bahwa aktivitas Thalassina anomala perlahan-lahan mengangkat permukaan tanah hingga mencapai tinggi di atas jangkauan pasang-surut. Pada tahap ini Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus microcarpa, Pandanus spp. dan Daemonorops leptopus dan lain-lain tumbuh di hutan ini. Dengan demikian menurut Watson hutan Bruguiera gymnorhiza merupakan transisi ke bentuk hutan subur yang mengarah ke daratan.

Di Cilacap, yang terletak di bagian selatan Jawa, de Haan (1931) juga mengemukakan tiga macam hutan Bruguiera, yaitu asosiasi Bruguiera gymnorhiza yang berkembang di zona A-2 – A-3, asosiasi Bruguiera cylindrica dan asosiasi Xylocarpus – Heritiera yang keduanya tumbuh di zona A-3 – A-4.

D. Zona hutan rhizophora

Biasanya orang membayangkan rawa mangrove sebagai hutan spesies Rhizophora dengan akar-akar tunjang melengkung yang membuatnya sulit dilalui. Ada tiga spesies Rhizophora yang ada di dalam mangal Indo-Pasifik Barat di mana mereka tumbuh bercampur aduk. Rhizophora mucronata adalah spesies yang paling banyak ditemui dan tersebar paling luas dari Malaysia sampai New Guinea, terus ke Kepulauan Ryu-Kyu dan Afrika. Rhizophora stylosa terdapat mulai dari Malaysia sampai Queensland; Rhizophora apiculata menyebar dari Malaysia ke seluruh Asia Tenggara terus ke India dan Sri Langka serta ke sebelah utara Queensland. Rhizophora apiculata lebih toleran terhadap air tawar daripada spesies Rhizophora lainnya.

E. Zona Avicennia yang mengarah ke laut

Hampir di sepanjang pantai di mana tumbuh mangrove sebagian besar zona pohon-pohon yang mengarah ke laut tersusun dari satu atau lebih spesies Avicennia.

Watson (1928) menunjukkan bahwa di Malaysia Avicennia alba dan Avicennia marina ( = Avicennia intermedia) menempati sektor yang berbeda dalam zona ini. Setelah mengamati beberapa mangal di Malaysia dan Asia Tenggara, Macnae menerima dan menyetujui pendapat Watson ini, tapi ada kesulitan ! Biasanya dua spesies ini mudah dibedakan – Avicennia alba berdaun runcing dan sisi daun sebaliknya berwarna agak putih sehingga mudah dibedakan dari Avicennia marina yang ujung daunnya tumpul dan sisi bawah daun berwarna kekuningan. Bagaimanapun, mereka tumbuh bercampur aduk. Menurut Ridley (1930) Avicennia intermedia merupakan hibrid antara Avicennia alba dan Avicennia officinalis; tetapi hal ini tidak benar. Moldenke (1958) berpendapat bahwa hibridisasi bisa terjadi karena spesies-spesies dari genus ini tumbuh bersama-sama.

Avicennia marina memiliki penyebaran sangat luas, ia merupakan satu-satunya wakil dari genus ini yang tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik-Barat.

F. Zona Sonneratia

Di Asia Tenggara Sonneratia griffithii dan/atau Sonneratia alba, sedangkan di Australia hanya Sonneratia alba, sementara di India dari Bombay sampai Myanmar Sonneratia apetala bisa tumbuh pada daerah yang mengarah ke laut, yakni di depan zona Avicennia.

Menurut De Haan, di Cilacap ada asosiasi avicennia-sonneratia yang berkembang pada zona A-1, yang tumbuh di atas tanah muda yang tidak kompak.

Sonneratia tampaknya lebih menyukai kondisi yang lebih hangat daripada kebanyakan tumbuhan lainnya – ia tidak dijumpai di daerah sebelah selatan Inhambane pada pantai Mozambik, juga tidak terdapat di sebelah selatan Innisfail di Queensland.

Asosiasi Tumbuhan Pantai Laut

Macnae (1968), dengan mengutip Schimper (1891), memperkenalkan empat macam asosiasi tumbuhan pantai laut :

a. Mangal – hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang, dan mencakup beberapa spesies pohon serta herba tak berkayu.

b. Asosiasi Nypa – terdapat di daerah yang mengarah ke darat dan bagian hulu dari mangal, didominasi oleh tumbuhan palma berrizoma, Nypa fruticans, juga ditemukan beberapa jenis pohon terisolasi terutama Heritiera littoralis dan Excoecaria agallocha, beberapa jenis perdu, liana (tumbuhan menjalar) serta resam terutama Acrostichum aureum.

c. Asosiasi Barringtonia - didominasi oleh Barringtonia asiatica bila asosiasi ini terdapat di belakang asosiasi pes-caprae, atau didominasi oleh Barringtonia racemosa dan/atau Heritiera sp. bila asosiasi ini terdapat di belakang mangal. Semua jenis pohon ini lebih menyukai tanah yang relatif sangat kering.

d. Asosiasi Pes-caprae – didominasi oleh Ipomoea pes-caprae, biasanya ditemukan juga Canavallia sp., Sophora sp. (terutama Sophora tomentosa), Scaevola sp. (dua yang terakhir merupakan semak). Di sini tumbuh pula sederetan pohon Casuarina equisetifolia serta Cocos nucifera.

Dari asosiasi-asosiasi ini, asosiasi pes-caprae dan barringtonia asiatica selalu terdapat di daerah supralitoral dan umumnya menjadi ciri pantai berpasir. Mangal ditemukan di daerah litoral dan tidak pernah meluas sampai di atas garis pasang tinggi. Asosiasi nypa dan barringtonia asiatica bertumpang-tindih dan terdapat di antara garis pasang tinggi dan pasang normal, dan mungkin meluas sampai di atas garis pasang tinggi. Kedua asosiasi ini merupakan petunjuk adanya pengaruh air tawar yang kuat, tetapi asosiasi nypa cenderung menempati tanah yang sering terendam air. Asoasiasi barringtonia racemosa terdapat di tanah yang relatif sangat kering yang menunjukkan ketergenangan musiman (Macnae, 1968).

Macnae (1968) menjelaskan lebih lanjut bahwa tiga asosiasi yang pertama di atas hanya terdapat di pantai-pantai yang terlindung; asosiasi keempat menjadi ciri khas pantai yang terbuka terhadap gempuran ombak. Anggota-anggota asosiasi pes-caprae seringkali berguna sebagai penahan bukit pasir. Selain asosiasi-asosiasi tersebut masih ada asosiasi ke-5 dan ke-6, yaitu :

e. Asosiasi Cymodocea - didominasi oleh satu atau lebih spesies Cymodocea yang bercampur dengan spesies Diplanthera, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia dan Zostera. Asosiasi ini menempati daerah dari garis muka laut rata-rata ke bawah, pada pantai terlindung atau pada kolam berbatu pada pantai terbuka.

f. Asosiasi Saltwort – didominasi oleh semak atau perdu dari spesies Artrocnenum yang bersifat perenial (tumbuh terus-menerus) dan spesies Salicornia yang bersifat tahunan.

Biologi dan Genetika Tumbuhan Pantai, Leymus

Ahokas (1992) melaporkan bahwa Leymus arenarius (L.) Hoechst, yang umumnya dianggap sebagai spesies pantai laut, telah dipelajari di 10 lokasi tepi jalan Finlandia Selatan. Pemencaran benih bisa terjadi dengan bantuan kendaraan lalu lintas, dan dalam jarak pendek dengan bantuan mesin pemindah vegetasi pinggir jalan. Nilai pH tanah melebihi 9 dan hal ini disebabkan oleh pemberian garam pencair-es sebanyak 8.000 sampai 18.000 kg/km pada tahun-tahun terakhir ini. Pola protein endosperma berbeda dalam 9 dari 10 populasi terpisah yang telah diuji. Variasi dalam-tumbuhan adalah lebih rendah (38%), yang menunjukkan rendahnya heterozigositas dan tingginya penyerbukan-sendiri.

Referensi :

Ahokas, H. 1992. Endospermal Protein Diversity, As Revealed by Electrophoresis and Ig Binding on Blotted Membranes, in Leymus arenarius From Non-Littoral, Roadside Niche. Annales Botanici Fennici, vol. 29, no. 4, pp. 295 – 304

Azariah, J., H. Azariah, S. Gunasekaran and V. Selvam. 1992. Structure and Species Distribution in Coringa Mangrove Forest, Godavari Delta, Andhra Pradesh, India. Hydrobiologia, vol. 247, no. 1 – 3, pp. 11 - 16

Bohorquez, C.A. and Prada , M.C. 1987. Slembra en vivero de propagulos de Rhizophora mangle, L 1773 en isla Pavitos, Archipielago de Nuestra Senora del Rosario. Bol. Fac. Biol. Mar. Univ. Bogota Jorge Tadeo Lozano, no. 7, pp. 3 – 7

Castañeda-Moya, E. , Rivera-Monroy, V.H. and Twilley, R.R. 2006. Mangrove zonation in the dry life zone of the Gulf of Fonseca, Honduras. Estuaries and Coasts, Vol. 29, No. 5, pp. 751 – 764

Chen, R. and Twilley, R. R. 1998. A gap dynamic model of mangrove forest development along gradients of soil salinity and nutrient resources. Journal of Ecology, Vol. 86; pp. 37–51. doi: 10.1046/j.1365-2745.1998.00233.

Chen, R. and Twilley. , R.R. 1999. Patterns of mangrove forest structure and soil nutrient dynamics along the Shark River estuary, Florida. Estuaries and Coasts, Vol. 22, No. 4, pp. 955-970, DOI: 10.2307/1353075

Feller, I. C., Whigham, D.F., O’Neill, J.P. and McKee, K.L. 1999. Effects of Nutrient Enrichment on Within-Stand Cycling in a Mangrove Forest. Ecology Vol. 80; pp. 2193–2205

Fenchel, T., and Blackburn, T.H., 1979. Bacteria and Mineral Cycling. Academic Pres. pp. 211-213

Junk, W.F. and Furch, K. 1993. A general review of tropical South American floodplains. Wetlands Ecology and Management. Volume 2, Number 4, pp. 231-238

Kathiresan, K. 1992. Foliovory in Pichavaram Mangroves. Environmental Ecology, vol. 10, no. 4, pp. 988 – 989

Lahiri, A.K. 1991. Aerial Seeding in Mangrove Swamps. Indian Forest, vol. 117, no. 3, pp. 159 – 161

Lee, S.Y. 1993. The Management of Traditional Tidal Ponds for Aquaculture and Wildlife Conservation in Southeast Asia Problems and Prospects. Biology and Conservation, Vol. 63, No. 2, pp. 113 - 118

Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the In do-West-Pacific region. Advances in Marine Biology. Vol. 6, pp. 73 – 270

Krumholz , J. ,T. Barber and C. Jadot. 2010. Avoiding "Band-Aid" Solutions in Ecosystem Restorations. Ecological Restoration. Vol. 28, No. 1, pp. 17-19. E-ISSN: 1543-4079 Print ISSN: 1543-4060

Primavera, J.H. 1995. Mangroves and Brackishwater Pond Culture in The Philippines in Wong, Y.S. and N.F.Y. Tam (Eds.). 1995. Asia-Pacific Symposium on Mangrove Ecosystems. Kluwer Academic Publishers. Belgia. pp. 303 - 309

Rasowo, J. 1990. Mariculture Development in Kenya : Alternatives to Siting Ponds in The Mangrove Ecosystem in Jaccarini, V. and E. Martens. (Eds.). 1992. The Ecology of Mangrove and Related Ecosystems, pp. 209 – 214

Reef, R., Feller, I.C. and Lovelock, C.E. 2010. Nutrition of mangroves. Tree Physiology. Vol. 30, no. 10, pp. 1148-1160. Online ISSN 1758-4469 - Print ISSN 0829-318

Savio, E.D. and William, S.J. tanpa tahun. The Natural Bio Wall - Mangroves. Department of Biology and Fisheries Science. Republic of Maldives. 11 pp.

Tam, N. F. Y. and Wong, Y. S. 1993. Retention of nutrients and heavy metals in mangrove sediment receiving wastewater of different strengths. Environmental Technology. Vol. 14, pp. 719-729.

Weinstock, J.A. 1994. Rhizophora Mangrove Agroforestry. Economic Botany, Vol. 48, No. 2, pp. 210 - 213

Zhang, J-E. Liu, J.-L., Ouyang, Y., Liao, B.W. and Zhao, B.-L. 2010. Removal of nutrients and heavy metals from wastewater with mangrove Sonneratia apetala Buch-Ham. Ecological Engineering, Volume 36, Issue 6, June 2010, pp. 807-812

Tidak ada komentar:

Posting Komentar