Minggu, 18 Februari 2018

Manajemen Wilayah Pesisir


Bab I
Strategi Untuk Manajemen Perairan Pesisir


Daratan sampai ke batas perairan di daerah pesisir (coastal) memiliki pasokan air melimpah yang berguna bagi industri, pantainya menarik untuk tempat rekreasi, sumber makanan alami dan sumberdaya hayati laut yang rentan terhadap pencemaran minyak dari laut atau pencemaran limbah dari daratan, serta menarik untuk dijadikan pertamanan. Strategi manajemen yang efektif harus memperhatikan ciri-ciri khusus ini. Pada tingkat daerah individual, strategi cenderung mengarah ke konservatif dan seringkali tidak memperhatikan fenomena-fenomena seperti kecepatan pengendapan lumpur di estuaria atau siklus perkembangan bukit pasir pada daerah pesisir yang terbuka. Pada tingkat regional, seperti yang dipelajari di Morecambe Bay, Wash dan Essex serta North Kent, diperlukan pengetahuan mengenai fungsi dan sumberdaya pantai. Mereka membutuhkan survei yang ekstensif serta penanganan data komputer dan studi yang lebih mendalam mengenai mekanisme kerja sistem pesisir. Strategi manajemen tradisional memerlukan pengetahuan tentang potensi sumberdaya habitat pesisir dan hal ini dapat diperoleh dengan mudah bila tersedia foto udara dan peta terbaru. Data terinci mengenai sumberdaya binatang liar membutuhkan survei yang ekstensif. Pelaksanaan penelitian, yang penting bagi strategi perencanaan manajemen, terhambat akibat kekurangan dana. Setiap ahli ekologi dapat memberikan sumbangan dalam penyusunan strategi manajemen nasional dengan mempelajari dan memperkenalkan spesies-spesies yang kurang dikenal, kemudian mengusulkan teknik untuk memanajemennya. Sejenis perdu yang biasa tumbuh di bukit pasir, Hippophae, dan sejenis herba Acaena serta rumput laut Sargassum merupakan contoh-contoh spesies seperti ini.

Pengantar

Masalah umum yang berkenaan dengan manajemen sistem pesisir baik di Eropa maupun di Amerika Utara adalah :
1. Pertentangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan lingkungan.
2. Penentuan landasan umum oleh administrator dan pakar ekologi.
3. Pengumpulan dan penanganan sejumlah besar data perencanaan dan data ilmiah.
4. Penerapan hasilnya di lapangan.

Ada masalah-masalah komunikasi yang penting dan harus diatasi sebelum menerapkan strategi manajemen untuk sistem pesisir.

Kondisi-kondisi khusus di pantai yang berhubungan dengan pertentangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan lingkungan mencakup (a) pasokan air dingin yang melimpah untuk stasiun pembangkit tenaga dan pengaruhnya yang tampak terhadap daerah yang luas, (b) garis pantai di mana minyak yang berasal dari lepas pantai dapat terakumulasi dan merusak komunitas intertidal, (c) limbah cair dari darat yang kaya akan nitrat sehingga menyebabkan ledakan populasi alga dan meningkatnya kebutuhan oksigen pada komunitas bentik di estuaria, dan (d) daya tarik pesisir sebagai tempat rekreasi alam yang menyebabkan pemusatan kegiatan turisme yang sangat potensial dalam merusak lingkungan.

Pesisir juga menghadapi masalah yang terlalu khusus untuk dibicarakan bersama-sama oleh para administrator dan ahli ekologi karena administratif jarang ditentukan dalam membuat hubungan batas-silang (seperti perembesan nitrat ke dalam tanah) yang membuat habitat pesisir menarik perhatian para ahli ekologi. Aktivitas pasang-surut melahirkan masalah khusus dalam pengumpulan data, dan untuk mengetahui kecepatan perubahan di habitat pesisir yang tak stabil membutuhkan pengumpulan dan analisa data dalam jumlah besar bila proses-proses kompleks yang terjadi di habitat tersebut telah dipahami. Penerapan hasilnya di lapangan terbentur oleh masalah hak kepemiikan di zona pesisir dan kenyataan bahwa kegiatan manajemen di suatu bagian pesisir (misal pemecahan gelombang) bisa berpengaruh negatif terhadap proses lain (misal berkurangnya pasokan sedimen pantai).

Kebanyakan daerah di wilayah pesisir Eropa tidak dikelola dengan strategi manajemen yang tepat kecuali untuk wilayah laut luas yang bertujuan untuk perencanaan zonasi dan pertahanan. Studi kasus yang dilaporkan dalam naskah lain menunjukkan bahwa hal ini juga terjadi di negara-negara lain. Sementara masalah tumpahan minyak timbul di Laut Utara, pengelola belum mendapat gagasan bagaimana strategi manajemen dapat dikoordinasi dengan lebih baik di wilayah-wilayah pesisir Eropa.

Dalam memilih strategi manajemen adalah berguna untuk memperhatikan tiga pertanyaan ini : (a) Apa tujuannya ?, (b) Apa konteks lingkungan dan historisnya ?, (c) Apa pilihannya ?. Pilihan manajemen untuk wilayah pesisir dan daratan meliputi perbaikan, perlindungan, penyesuaian (modifikasi), penambahan, pengurangan atau penganekaragaman spesies-spesies yang ada di wilayah tersebut.

Strategi untuk manajemen sistem pesisir harus memperhatikan dinamika alam dan kerentanannya terhadap gangguan-gangguan dari tenaga erosi. Sebagai contoh, siklus temporal dan spasial yang berhubungan dengan pembentukan bukit pasir dan mobilitasnya seringkali tidak diketahui, namun setiap orang bisa menyusun rencana manajemen bagi wilayah pesisir yang memiliki bukit pasir. Siklus bukit pasir ini memakan waktu seumur manusia, 50 sampai 100 tahun, dan tampaknya data siklus ini tidak akan dapat dihubungkan bila tidak tersedia data dari satu generasi ke generasi lain.

Meskipun sistem pesisir mengalami perubahan yang periodik dan cepat, bekas perubahan ini jarang hilang. Yang lebih sering adalah bahwa proses yang terjadi beberapa ribu tahun yang silam masih meninggalkan bekas pada lingkungan hingga saat ini. Pengaruh kejadian-kejadian kecil bertumpang tindih membentuk “patina” di mana sisa-sisa kehidupan tumbuhan dan hewan membentuk suatu pola tertentu. Sebagai contoh, dataran lumpur seluas 6.000 are di Bridgewater Bay, Somerset yang dicirikan oleh adanya rawa asin berumur 50 tahun merupakan dataran bawah-air yang berusia 5 atau 6 ribu tahun ketika ia berubah menjadi hutan. Lubang-lubang lumpur bekas penggalian tanah liat untuk batu-bata bahan bangunan di London masih dapat dikenali di estuaria Midway Kent. Pada rangkaian bukit pasir Hebridean, permukaan tanah yang berumur 4000 tahun atau lebih bisa tersingkap kembali oleh erosi tenaga angin yang mengikis lapisan tanah di atasnya.

Kebanyakan ahli perencana sangat dipengaruhi oleh pandangan historis sampai-sampai pendirian bangunan diperhatikan, dan beberapa di antaranya memiliki pandangan historis ekologis yang berkaitan dengan pertamanan. Ahli-ahli ekologi dan arkeologi bisa bekerja sama untuk membahas pandangan historis pertamanan ini yang berguna bagi perencana, meskipun tidak realistik untuk mendukung pendapat bahwa strategi manajemen yang ditekankan pada pemeliharaan historis itu sendiri dapat dilakukan dengan ekstensif.

Tingkat-Tingkat Operasi

Ada tiga tingkat operasi : (1) tingkat dearah individual, (2) tingkat regional, dan (3) tingkat nasional. Mereka didefinisikan sebagai berikut. Daerah individual dalam konteks pesisir Inggris melingkupi daerah seluas sampai 500 hektar atau lebih (seringkali lebih sempit) dan biasanya dicirikan oleh satu tipe habitat pesisir yang dominan, misalnya sistem bukit pasir, dataran lumpur atau rawa asin. Tempat ini merupakan daya tarik utama daerah itu dan pemanfaatanya disesuaikan dengan faktor-faktor politik dan sosio-ekonomi. Pada tingkat regional jalur-jalur ekstensif dari garis pantai yang seringkali memiliki tipe yang sangat beranekaragam dilibatkan dalam, dan faktor-faktor politik serta sosio-ekonomi diatur dengan, tata guna lahan dan struktur administratif dengan peraturan perpajakan dan kebijakan politik yang langsung ditangani pemerintah pusat. Tingkat nasional tampaknya sudah jelas dan berhubungan dengan sumberdaya pesisir seluruh negara, dan pemanfaatannya dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan sosio-ekonomi baik internal maupun eksternal.

Daerah Individual

Strategi manajemen untuk daerah lokal cenderung dititikberatkan ke arah perbaikan dan perlindungan pada saat itu. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan pembangunan terhadap garis pesisir Eropa, selain itu juga disebabkan oleh keengganan untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Kadang-kadang perlu dilakukan kegiatan mendadak untuk memperbaiki lingkungan, seperti terjadi di Camber, Sussex, di mana pesisir yang sifatnya labil dan mudah-longsor bila diinjak-injak kaki manusia, harus dibuat kontour sebelum ditanami kembali. Hal ini patut dipertimbnagkan dalam menganekaragamkan obyek-obyek wisata di daerah pesisir ini, namun strategi semacam ini belum diterapkan.

Bukti-bukti nyata menunjukkan bahwa erosi pesisir menimbulkan tekanan kuat terhadap strategi manajemen yang bertujuan menstabilkan wilayah pesisir tersebut. Dalam hal ini strategi manajemen tadi tidak hanya memakan biaya besar, tetapi juga tak perlu dilakukan. Sebagai contoh usaha menstabilkan bukit pesisir yang tererosi hebat mungkin tidak berhasil bila tidak ada jalan lalu lintas atau bangunan di belakangnya. Strategi yang masuk akal adalah membiarkan ia tererosi dan mengusahakan agar terbentuk bukit pasir baru di daerah pesisir tersebut. Strategi semacam ini harus memperhatikan sifat-sifat dinamika tipe habitat pesisir tersebut dan menyadari bahwa tipe komunitas sesaat (misal komunitas garis pantai, bukit pasir bagian depan dan bukit pasir primer yang masih mudah berubah) hanya ada pada waktu tertentu dalam siklus perkembangannya. Ini merupakan strategi untuk melindungi lebih banyak binatang liar dari pada strategi yang ada di daerah itu pada waktu-waktu sebelumnya.

Bergerak dari strategi manajemen daerah lokal ke sistem manajemen pesisir secara keseluruhan maka ada kecenderungan perubahan pengelola dari individu ke lembaga dengan perhatian utama pada jaminan keselamatan lingkungan dan keanekaragaman sudut pandang. Sebagian besar pertentangan dalam studi manajemen dan perencanaan, baik pada tingkat awal maupun tingkat profesional, dan pada skala individu maupun kelembagaan, merupakan efek negatif dari perbedaan persepsi dalam memahami masalah.

Bagi pemilik lahan pesisir, rumput rawa asin Spartina anglica membantu perluasan dataran lumpur tapi bagi atlet perahu layar rumput ini mempersempit daerah pelayaran. Tumbuhan sea buckthorn (Hippophae rhamnoides) merupakan penstabil bukit pasir bagi seorang insinyur teknik pesisir, sumber makanan burung di musim dingin bagi ahli burung (ornitologis), tempat berlindung bagi wisatawan, dan pedoman bagi pengawas cagar alam dalam mempertahankan keragaman flora bukit pasir.

Kompleks kerikil bervegetasi hanya terakumulasi pada tingkat tepat di atas garis air tinggi. Pertimbangan yang berlebihan terhaddap pertahanan laut membuatnya perlu untuk memindahkan kerikil ke dalam lubang-lubang dengan tujuan memperkecil kerusakan bila terjadi angin badai.

Dengan demikian perhatian khusus terhadap pantai kerikil bervegetasi yang luas dan tak terganggu oleh ulah manusia, seperti di Dungeness, Inggris, perlu diberikan, dan strategi manajemen umumnya ditekankan pada preservasi/pemeliharaan daerah semacam ini dari gangguan sejauh mungkin. Bagaimanapun, pertentangan yang baru-baru ini terjadi dan berhubungan dengan stasiun pembangkit tenaga dan penambangan kerikil menunjukkan bahwa strategi manajemen yang realistik harus diterima agar preservasi tidak menjadi pertimbangan utama. Penekanan ekologis dalam strategi manajemen dengan demikian mungkin bergeser ke arah pendekatan yang lebih dinamis yang berkaitan dengan rancangan habitat baru dalam menyelesaikan pembuatan habitat burung pantai, seperti yang dilakukan oleh organisasi Masyarakat Kerajaan Untuk Perlindungan Burung di Dungeness.

Dalam kasus sistem pesisir yang dapat-dipanen, misalnya rawa asin, strategi manajemen dapat didasarkan pada pemisahan kegiatan secara spasial (ruang) dan temporal (waktu). Di Bridgewater Bay National Nature Reserve, Somerset, sebagai contoh, telah diputuskan lebih dari 20 tahun yang lalu untuk membiarkan domba memakan rumput di bagian ujung rawa asin (sebagai daerah grazing/merumput) dan mencegahnya memasuki bagian tengah rawa (sebagai daerah non grazing). Hal ini menghasilkan dua komunitas rawa yang sangat berbeda, rawa-rawa rumput bertangkai panjang dan padang rumput asin bertangkai pendek akibat grazing. Masalahnya adalah Agropyron pungens (sejenis rumput dengan rasa kurang enak) memencar memasuki rawa daerah grazing melalui benih yang diproduksi di daerah non grazing. Cara yang mungkin untuk memelihara padang rumput asin agar Agropyron tidak menyebar luas adalah dengan memotong rumpun tumbuhan ini, tetapi menyabit rumput ini merupakan cara yang lebih praktis untuk mengendalikan penyebaran Agropyron yang tumbuh di padang rumput asin. Pada musim panas domba memakan rumput dan pada musim dingin burung liar menggantkan domba memakan rumput di padang rumput rawa asin yang subur ini, dan telah dibuktikan secara eksperimental bahwa pemanenan rumput dapat dilakukan setiap lima tahun atau lebih tanpa merusak daerah grazing kecuali secara sementara dan setempat. Ini merupakan strategi manajemen yang bagus dan melibatkan pertanian serta perlindungan binatang liar yang dioperasikan serentak dengan zonasi ruang dan waktu.

Bukit-bukit pasir di Teluk St. Quen’s, Jersey, Channel Islands, merupakan salah satu di antara sepuluh sistem bukit pasir tunggal terbesar di British Isles, dan nomor empat terkaya dalam hal keragaman tumbuhan berpembuluh. Daerah ini memiliki sejarah tata guna lahan yang sangat bervariasi namun sebagian relatif tak terganggu selama berabad-abad walaupun kebanyakan pulau tersebut telah sangat dipengaruhi oleh manusia. Rangsangan dalam mengembangkan strategi manajemen yang rasional untuk daerah ini berasal dari kerjasama yang baik antara perencana dan pihak yang berkepentingan dengan binatang liar. Di sini strategi manajemen diusahakan untuk mencoba mengeksploitasi sumberdaya mineral, pengembangan rekreasi, pembuangan sampah, tempat grazing bagi herbivora, penanaman pohon-pohonan dan perlindungan binatang liar dengan zonasi ruang dan waktu. Keberhasilan strategi semacam ini bergantung pada pandangan terhadap lanskap historis dan kesadaran untuk menyesuaikan semua bagian yang terkait.

Tingkat Regional

Studi ekologis di seluruh daerah British Isles seperti di Teluk Morecambe, Lancashire, Wash dan pantai Essex serta North Kent telah disempurnakan pada tahun-tahun terakhir ini. Masing-masingnya diberi dana sebagai hasil keputusan kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya air atau kebutuhan transport (pengembangan pelabuhan udara). Tak satu pun menghasilkan strategi manajemen, tetapi dasar informasi yang dipakai untuk membentuk strategi disusun dengan segera, sebelum perubahan besar terjadi.

Pelajaran apa yang dapat diperoleh dari studi skala besar ini dan apa implikasinya bagi strategi manajemen ? Baik studi di Teluk Morecambe maupun di Wash berkaitan dengan pendugaan pengaruh yang dialami oleh binatang liar akibat pembangunan bendungan air tawar di zona intertidal pada saluran pemasukan air pesisir besar ke dalam mana sungai-sungai besar menyalurkan airnya. Studi di Teluk Morecambe bertujuan mengamati pola sirkulasi sedimen dan distribusi binatang serta tumbuhan intertidal. Mereka menunjukkan tiga aspek yang berkaitan dengan efektivitas perencanaan strategi manajemen :
1. Kebutuhan akan survei yang ekstensif untuk menghasilkan berbagai informasi sehingga perubahan di masa datang dapat diketahui.
2. Kebutuhan untuk mengembangkan teknik komputer dalam menangani sejumlah besar data.
3. Kebutuhan akan studi proses tentang bagaimana sistem pesisir bekerja.

Studi di Wash diorganisir oleh Dr. Gray yang mencakup pengamatan di daerah antara dataran lumpur dan rawa asin di mana penelitian ini membantu memahami fungsi dan struktur khas zona perbatasan yang meliputi gundukan lumpur, mikro alga dan penimbunan sedimen. Batas antara tipe habitat utama tidak semata-mata merupakan penurunan dari satu ke yang lain, tetapi batas antara juga memiliki biologi dan fisik tertentu serta hubungan fungsional yang khas. Daerah semacam ini merupakan daerah perubahan yang penting ketika terjadi fase perkembangan tertentu di permukaan tanah pada waktu tertentu. Pada daerah dan waktu tertentu habitat mengalami perubahan alami, dan mungkin bisa dimanipulasi dengan paling efektif melalui manajemen.

Studi rawa asin yang dikembangkan oleh Dr. Randerson di pantai Norfolk dan Wash menghasilkan model pendugaan yang tepat dan dapat diuji dengan data dari Teluk Bridgewater. Arti penting model ini kurang tampak pada apa yang akan diduga tetapi tampak nyata pada kemampuannya menjelaskan fakta-fakta yang ada dan membandingkan hubungan-hubungan atau interaksi ekologis serta mampu menunjukkan penelitian apa yang harus dilakukan kemudian. Komponen dasar model mencakup faktor-faktor fisik tertentu seperti akresi (penimbunan sedimen) standar per seribu jam, ketergenangan pasang, perbandingan pasir dalam sedimen yang dihanyutkan air pasang-surut dan kecepatan akresi sedimen yang dibawa angin. Komponen biologis meliputi zonasi (batas-batas pertumbuhan bagi spesies-spesies yang hidup di daerah pasang surut), biomas (akar dan tunas dipisah), pertumbuhan (maksimum dan minimum) serta faktor grazing.

Studi rawa asin di Wash juga membantu memperkuat kesimpulan Kestner bahwa rawa asin tidak dapat meluas terus menerus ke arah laut akibat pembatasan-diri. Peningkatan kecepatan arus air surut tergantung pada peningkatan volume air pasang yang membanjiri rawa asin sehingga perluasan rawa ini akhirnya mencapai keadaan di mana efek erosi akibat arus air surut seimbang dengan efek penimbunan sedimen akibat arus banjir sedemikian hingga perluasan lebih lanjut rawa asin ke arah laut berhenti kecuali bila terjadi perubahan kondisi hidrolik atau diubah oleh reklamasi (penimbunan pantai).

Survei populasi binatang liar dan habitat pesisir Essex dan North Kent diorganisir oleh Dr. Boorman untuk mengetahui efek yang mungkin timbul akibat pembangunan pelabuhan udara di mulut estuaria Sungai Thames (pelabuhan udara Maplin) dan apa yang bisa dilakukan untuk memperkecil pengaruhnya terhadap pesisir dan binatang liar yang ada di sekitarnya. Studi ini difokuskan pada pendugaan kuantitatif populasi Zostera dan Enteromorpha. Hal ini memungkinkan untuk melakukan pendugaan kuantitatif sumberdaya makanan beserta nilai kalorinya yang tersedia bagi angsa Brent . Kemungkinan memanam kembali Zostera (makanan utama angsa Brent) telah dilakukan tetapi tampaknya bahwa daerah yang cocok untuk melakukannya tidak ada, mungkin akibat kegiatan reklamasi di masa silam.

Studi-studi ini menghasilkan banyak informasi berskala besar serta menarik perhatian akan arti penting tingkah laku burung. Studi pelabuhan udara Maplin juga menunjukkan adanya penyesuaian tingkah laku mencari makan angsa Brent yang dilakukan dengan sangat cepat ketika tingkat populasinya melebihi kapasitas normal yang bisa didukung oleh sumberdaya makanannya.

Strategi untuk manajemen pada tingkat regional tidak hanya membutuhkan banyak informasi untuk tujuan perbandingan, tetapi juga membutuhkan kesadaran yang tinggi akan arti penting fungsional daerah perbatasan, ambang batas, dan karakteristik tingkah laku baik unsur-unsur fisik maupun biologi suatu lingkungan. Penggunaan model matematika dan model konseptual dalam mengeksplorasi strategi regional tampaknya merupakan pendekatan yang rasional. Juga konsep unit lingkungan fungsional seperti “coastal cell” atau sel pesisir tampaknya merupakan basis yang berguna dalam menyusun model.

Re-organisasi pemerintahan regional yang dilakukan belum lama ini telah membuka jalan untuk mengembangkan strategi manajemen regional. Hal ini memungkinkan untuk merancang strategi yang lebih baik misalnya dengan menunjuk bagian tertentu pesisir East Anglian sebagai “feeder zone” untuk memungkinkan terjadinya akresi, dengan hasil yang lebih baik daripada strategi yang ada yaitu mendirikan bangunan-bangunan teknik yang memakan biaya besar untuk membangun dan memeliharanya. Strategi ini bisa dilakukan bersama-sama dengan meregenerasi tumbuhan pesisir yang sanggup mempertahankan sedimen agar tetap ada di tempatnya sementara akresi terjadi.

Tingkat Nasional

Adalah tidak mungkin untuk memberi contoh strategi manajemen pesisir nasional. Sebagai gantinya, dua aspek yang berkaitan dengan strategi ini, yakni survei nasional sumberdaya habitat dan masalah spesies yang menyebar luas di seluruh pesisir suatu negeri akan dibahas.

Sumberdaya Habitat

Dalam manajemen sistem pesisir harus diketahui ukuran di mana sistem-sistem yang berbeda diwakilkan dalam sebuah area tertentu. Di negara Inggris, sebagai contoh, diduga bahwa dataran pasang surut, rawa asin, bukit pasir dan pantai kerikil bervegetasi, menempati daerah dengan rasio hampir 5 : 1 : 1: 0,5 dengan luas dataran pasang surut 500.000 are dan pantai kerikil bervegatasi hanya 40.000 are. Untuk memperoleh gambaran ini kita harus cermat menjumlah semua unit unit individual dan selain itu kami mengetahui bahwa lebih dari separoh bukit pasir di Inggris Raya terletak di Skotlandia, lebih dari seperempat rawa asin di Inggris Tenggara, dan dimana unit area terbesar dari setiap tipe habitat di temukan. Bahwa dataran lumpur Maplin yang terletak di mulut Estuaria Thames merupakan dataran lumpur terluas di Inggris adalah berhubungan dengan kenyataan bahwa ia menyokong populasi terbesar Zostera noltii, makanan utama seperlima populasi angsa Brent di seluruh dunia. Juga kami mengetahui bahwa Dungeness, Kent, itu sendiri memiliki luas seperlima dari luas total pantai kerikil bervegetasi di Inggris. Fakta-fakta semacam ini adalah, atau seharusnya, sangat diperhatikan dalam perencanaan strategi manajemen pada tingkat nasional. Tidak mahal untuk memperoleh foto udara dan peta seluruh pesisir Eropa.

Untuk memperoleh informasi mengenai distribusi spesies individual memakan banyak waktu dan biaya. Sebagian orang mengusulkan untuk mendaftar flora dan fauna serta komunitas sistem pesisir, sedangkan yang lain ingin mengetahui di mana dan dalam jumlah berapa spesies individual serta komunitas sistem pesisir dapat ditemukan. Institut of Terrestrial Ecology telah mengusahakan untuk mensurvei flora yang ditemukan di 94 daerah (terutama bukit pasir) di Skotlandia bagi kepentingan Nature Conservancy Council (Dewan Perlindungan Alam). Hal ini tidak hanya mencakup tumbuhan berbunga, tetapi juga lumut kerak (lichenes) dan bryophyta (lumut) darat. Selain itu juga mencatat rona lingkungan secara luas. Tujuan survei ini adalah mencatat sampel dengan tepat pada waktu tertentu ketika sampel itu ada di daerah pengamatan, sehinga analisa komputer dapat dilakukan untuk membandingkan berbagai daerah bagi kepentingan perencanaan dalam hubungannya dengan pengaruh aktivitas manusia terhadap garis pesisir Skotlandia. Pengetahuan tentang flora dan dampak manusia diperluas dengan membuat penafsiran subyektif terhadap hasil-hasil yang diperoleh. Survei pada skala ini mahal, tetapi mereka menyumbangkan banyak informasi mengenai basis kuantitatif yang dapat diulang dan rasional, serta membantu menemukan latar belakang fakta yang menjadi dasar pemilihan strategi manajemen. Mekipun demikian, ada masalah serius dalam menafsirkan data yang dikumpulkan pada suatu saat mengenai suatu fenomena yang berfluktuasi. Sebagai contoh ada laporan bahwa jumlah liang kelinci dalam daerah seluas 200 x 200 meter persegi adalah 4..000 buah. Orang dapat menduga bahwa nilai ini lebih menunjukkan lahan yang dapat digali daripada menunjukkan kepadatan populasi kelinci.

Dilengkapi dengan informasi mengenai sistem bukit pasir Skotlandia, maka mudah untuk merencanakan strategi manajemen nasional berskala luas di mana kebutuhan akan – sebagai contoh penggalian pasir, pertanian, arkeologi, perlindungan binatang liar, rekreasi dan tata guna perkotaan atau industri – sebegitu jauh dikaitkan dengan pengelolaan sistem bukit pasir. Strategi aktual harus disesuiakan karena tata guna lahan yang ada akan terus berpengaruh paling tidak selama beberapa waktu. Terakhir mungkin kita harus belajar untuk bertindak hati-hati agar kerusakan lingkungan minimum sedemikian hingga kita dapat memanfaatkan secara maksimum potensi lahan yang ada.

Spesies Yang Menyebar Luas (Invasive Species)

Berikut akan ditunjukkan bagaimana seorang ahli ekologi dapat mempengaruhi strategi manajemen nasional, setidaknya dalam skala kecil. Sebagai contoh adalah kelompok studi yang dibentuk oleh Nature Conservancy untuk mengusulkan kebijakan manajemen nasional bagi tumbuhan Sea Buckthorn (Hippophae rhampoides) pada bukit pasir di Inggris Raya. Setelah informasi yang terkumpul diulas dengan cermat oleh satu kelompok kecil dengan kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda akhirnya diusulkan untuk memanajamen spesies ini di 45 daerah (terutama cagar alam), usul ini diterima dan dilaknasakan di banyak daerah. Strategi ini meliputi berbagai pilihan berbasis nasional mulai dari pencegahan penstabilan pertumbuhan, pembasmian, kontrol parsial sampai tanpa kontrol.

Untuk mencegah penstabilan tumbuhan ini maka penerapan manajemen sumberdaya harus diawasi dengan teratur dan dilakukan terus menerus. Sulit untuk menjelaskan kebutuhan akan hal ini kepada pengelola bukit pasir yang tidak melihat dengan mata kepala sendiri pengaruh Hippophae rhampoides terhadap sistem bukit pasir (hampir semua flora yang ada di bawah kerimbunan Hippophae rhampoides akan musnah sama sekali), sehingga kunjungan langsung ke daerah yang terserang berat harus dilakukan dengan teratur. Hippophae rhampoides menyebar luas di suatu daerah ketika – dengan sedikit kekecualian – musim dingin mendorong burung seperti Fieldfare (Turdus plilaris) aktif memakan buah dan menyebarkan benih-benihnya. Pengawasan khusus diperlukan bila kondisi semacam ini terjadi bersamaan dengan rendahnya populasi kelinci akibat penyakit jamur myxomatosis.

Pembasmian hanya layak dilakukan bila Hippophae rhampoides ada dalam jumlah relatif sedikit (misal kurang dari 2 hektar) seperti di Whiteford Burrow, South Wales di mana kombinasi pembasmian benih dan pemotongan serta pembabatan tumbuhan dewasa merupakan cara yang efektif menyingkirkan semak belukar ini. Keraguan dalam memutuskan kebijakan pembasmian pada awal waktu sudah cukup untuk menyebabkan populasi tumbuhan ini sangat sulit dan memakan biaya besar untuk dikendalikan dalam waktu satu atau dua dekade. Populasi di Spurn Head, Yorkshire menjadi dua kali lipat lebih dalam waktu tujuh tahun dan mengubah bukit pasir yang ditumbuhi berbagai jenis flora dengan flora yang dominan Ammophila arenaria menjadi bukit pasir yang lebat ditumbuhi semak belukar Hippophae rhampoides.

Kontrol parsial (atau kontrol-sebagian) membutuhkan usaha yang terus menerus dalam mempertahankan suatu daerah agar bebas dari Hippophae rhampoides, jalur bebas- Hippophae rhampoides dibuat melalui hamparan padat tumbuhan ini seperti di ujung Gibraltar, Lincolnshire, dengan lebar sedemikian hingga kelinci yang makan rumput pada kedua batas jalur tadi dapat membantu mempertahankannya bebas dari semak pengganggu ini. Bagaimanapun timbul masalah baru di daerah di mana dilakukan pembatasan terhadap Hippophae rhampoides yang telah lama tumbuh di situ. Hippophae rhampoides mempunyai bintil-bintil akar dengan bakteri pengikat nitrogen sehingga pertumbuhan semak ini menambah kadar zat hara di dalam tanah sehingga Urtica dioicia dan Chamaenerion angustifolium tumbuh sangat lebat di dalam komunitas bukit pasir alami yang tumbuhannya telah dibabat.

Laporan Hippophae rhampoides beserta usulan praktisnya mempengaruhi strategi manajemen untuk spesies tersebut di beberapa daerah di luar daerah yang diusulkan.

Kita tidak mempunyai strategi manajemen yang efektif untuk mengenal, memonitor tingkah laku dan mengendalikan masalah potensial suatu spesies. Tampak bagi kita adanya daerah di mana para ahli ekologi mempunyai suatu kekuatan tetapi peranannya kurang dikenal.

Sebagai contoh sebenarnya mungkin untuk mengenal dan menduga (sebelum mereka muncul) karakteristik khusus spesies yang bisa menjadi gulma yang mampu menyebar luas dan tumbuh subur di suatu negara. Sesungguhnya hal ini telah dilakukan ketika terjadi kasus rumput laut Sargassum muticum, salah satu pendatang yang paling baru dan menyebar sangat luas di pantai-pantai Eropa.

Bab II
Program Manajemen dan Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir


Struktur Administratif Untuk Manajemen Pesisir

Perhatian telah lama ditujukan pada fakta bahwa berbagai aspek oembangunan dikendalikan oleh agen bertujuan-tunggal dan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mengkoordinasi dan memperkuat badan-badan perencana regional. Selain itu, ada kebutuhan untuk membentuk suatu organisasi yang akan berperanan dalam manajemen berjangka panjang. Cara yang paling efektif untuk melaksanakannya adalah mendirikan pusat manajemen sumberdaya dataran rawa yang multidisipliner. Pusat-pusat semacam ini harus diarahkan pada tata guna hutan, penghutanan kembali, perikanan, dan akuakultur serta semua bentuk kegiatan pertanian. Pembentukan unit-unit ini mungkin berlawanan dengan stasiun penelitian bertujuan-tunggal dan dinas-dinas provinsi yang tidak mempunyai rencana teknik khusus untuk diterapkan pada kondisi lingkungan dataran rawa yag tak lazim.

Manajemen lingkungan membutuhkan adanya suatu sistem untuk menjamin bahwa kegiatan masyarakat berlangsung sedemikian hingga memungkinkan kita mempertahankan ekosistem yang sehat dan produktif. Kebutuhan ini mencakup sistem pengatur yang membatasi kegiatan individu dan sekelompok orang. Peraturan seperti ini harus berdasarkan pada landasan resmi yang kuat.

Hukum lingkungan yang saat ini telah dilaksanakan dengan baik di negara-negara industri baru diberlakukan di negara-negara sedang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Di negara-negara ini, pengawasan lingkungan resmi, biasanya didasarkan pada model-model asing, dan kadang-kadang kurang cocok dengan realitas politik, ekonomi dan budaya negara tersebut. Dengan alasan ini dan alasan lainnya, hukum ini sering dilanggar dan masalah-masalah lingkungan tidak dapat diatasi dengan hukum tersebut sama sekali.

Negara-negara Asia Tenggara mengembangkan apa yang disebut “environmental jurisprudence” (undang-undang lingkungan), dan sangat sedikit ahli hukum yang telah dilatih untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungan. Dengan meningkatnya tantangan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut maka dibutuhkan peralatan resmi yang baru dan efektif untuk mengelola sumberdaya lingkungan. Negara-negara Asia Tenggara memiliki perbedaan derajat pembentukan struktur formal bagi pengelolaan lingkungan dan perbedaan derajat pengaturan aktivitas oleh undang-undang. Dalam hal ini Indonesia tertinggal di belakang negara-negara lain.

Akhirnya keberhasilan pembuatan undang-undang lingkungan tergantung pada luas kisaran kepekaannya pada sikap masyarakat terhadap hukum dan pemaksaan hukum. Adalah penting untuk mengetahui apakah masyarakat tersebut memiliki kesadaran hukum tinggi ataukah mereka dicirikan oleh derajat kelonggaran hukum (permissiveness). Shane (1979) mengajukan rangkaian pertanyaan berikut : “Bila mereka merupakan masyarakat berkesadaran hukum, apakah hukum itu berdasarkan peraturan resmi ataukah lebih berdasarkan pada adat dan tradisi moral ? Berapa banyak sistem hukum – hukum adat, hukum umum, undang-undang – beroperasi pada saat yang bersamaan ? Adakah oerbedaan penting antara prinsip hukum tradisional dan norma-norma hukum Barat yang mungkin akan membentuk bagian terkecil dari basis bagi pendekatan baru yang dibutuhkan dalam pengaturan lingkungan yang efektif ? Pertimbangan khusus apa yang diperhatikan dalam menerapkan hukum nasional baru di lingkungan kelompok agama atau etnik minoritas yang ada di negara tersebut ? Apa peranan yang dapat dilakukan oleh pengadilan dalam hal peraturan yang berlaku di kalangan swasta dan diawasi oleh pemerintah ?

Pendekatan Sistem Bagi Manajemen dan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Pemahaman sistem lingkungan hanya dapat diperoleh dengan melakukan sampling secara cermat terhadap proses-proses dan elemen-elemen tertentu untuk menyusun sebuah model (idealnya model simulasi matematik atau analitik). Penyusunan model merupakan bagian terpadu dalam studi ini, karena ia membantu pelaksanaan sampling dan evaluasi. Model yang disusun dari tipe ini tidak bisa digunakan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir Asia Tenggara.

Salah satu masalah dalam mengelola sistem ekologi adalah bahwa istilah “stabilitas” sangat sering disalah-artikan. Stabilitas tidak sama dengan kostan, ekosistem selau berubah dengan konstan. Ada empat faktor yang menentukan bagaimana sistem ekologi memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi, dan dengan demikian juga menentukan bagaimana kebijakan harus ditentukan dan bagaimana dampak harus diperkirakan : (1) Bagian-bagian suatu sistem ekologi berhubungan satu sama lain dengan cara tertentu di mana dampaknya harus diketahui. (2) Peristiwa-peristiwa yang terjadi di semua tempat tidaklah seragam, yang harus diketahui adalah seberapa kuat dampak yang akan timbul dan di mana dampak tersebut akan terjadi. (3) Perubahan tingkah laku secara mendadak adalah alami bagi banyak eksosistem; metode monitoring dan prakiraan tradisional dapat salah menafsirkannya sehingga menyebabkan perubahan ini tampak tidak diharapkan atau tampak berpengaruh buruk. (4) Variabiitas , tapi tidak selalu, merupakan ciri sistem ekologi yang berperan dalam mempertahankan kekekalan dan kemampuan memonitor-diri serta kapasitas mengoreksi-diri yang dimiliki ekosistem tersebut.

Sistem ekologis tidaklah statis tetapi senantiasa mengalami perubahan – perubahan jumlah, kondisi keseimbangan, perubahan komposisi spesies – dan dinamika perubahan ini menentukan struktur, keragaman serta variablitas sistem ekologi. Paradigma tradisional mengenai ekologi yang sering muncul adalah bahwa dunia adalah atau seharusnya dirancang agar statis atau konstan. Konsep semacam ini tidak sesuai dengan ekologi.

Pelajaran yang dapat diambil dari keempat sifat di atas adalah : (1) Karena tidak semua benda berhubungan erat dengan sesuatu yang lain, maka tidak perlu untuk mengetahui semua benda. Bagaimanapun, ada kebutuhan untuk menentukan hubungan-hubungan yang penting. (2) Ciri-ciri struktural (ukuran, distribusi, yang saling berhubungan) lebih penting untuk diukur daripada jumlah. (3) Perubahan suatu variabel (misal, suatu populasi) bisa membawa dampak yang tak diharapkan di tempat yang sama dan mungkin memutuskan beberapa macam hubungan. (4) Peristiwa yang terjadi di suatu tempat dapat muncul kembali sebagai dampak di tempat yang lain. (5) Monitoring variabel yang sebenarnya tidak perlu dimonitor tampaknya dapat menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan walaupun sebenarnya perubahan drastis akan segera terjadi. (6) Dampak tidak harus segera terjadi dan berlangsung pelan-pelan; mereka dapat muncul mendadak beberapa kali setelah suatu peristiwa. (7) Variabilitas sistem ekologi, yang mencakup perusakan besar yang kadang-kadang terjadi, memberikan semacam sistem monitoring-diri yang mempertahankan daya lenting (resilience). Kebijakan yang menyebabkan penurunan variabitias dalam ruang dan waktu, sekalipun dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan, harus dicegah. (8) Banyak metode prakiraan dampak (misal, cost-benefit analysis/analisa manfaat-biaya, input-output, matriks dampak silang, metode linier) berasumsi bahwa tak satu pun dari hal-hal di atas yang terjadi atau, paling tidak, tak satu pun yang penting.

Prakiraan lingkungan seharusnya berdasarkan penelitian, jadi bukan ramalan satu-waktu terhadap input. Prakiraan seharusnya dilanjutkan selama dan sesudah proyek berlangsung.

Lembaga manajemen lingkungan harus mempertahankan korespondensifannya terhadap perubahan. Bila tidak dilakukan maka akan sulit menduga dengan tepat apa yang akan terjadi dan apa yang harus disiapkan untuk menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan.

Semua keputusan yang berkaitan dengan oembangunan akan merubah lingkungan di masa datang sementara apa yang akan dilakukan terhadap lingkungan di masa datang tersebut sudah diputuskan sekarang. Prakiraan yang adaptif harus diajukan untuk mengidentifikasi secara de facto keputusan mendatang yang dipengaruhi oleh kegiatan pada masa kini. Fleksibilitas merupakan hal pokok yang harus diperhatikan agar pembangunan proyek dapat memberikan respon yang sesuai terhadap faktor-faktor ekologi. Keputusan permanen yang tak dapat diubah harus segera ditolak bila tak tersedia data dalam jumlah cukup.

Kita harus memilih sebuah analisa adaptif yang memanfaatkan berbagai teknik sehingga kita dapat memahami semua faktor secara menyeluruh.

Orang tidak dapat menerima suatu model, tatapi hanya dapat menolaknya dengan menguji kebenaran asumsi yang dipakainya serta menguji seberapa jauh hasil dugaan menyimpang dari kenyataan.

Seharusnya ada interaksi terus-menerus antara ilmuwan dan manajer. Dialog diperlukan pada langkah awal untuk mengidentifikasi masalah kunci yang muncul dalam program manajemen atau pembangunan baru – apa yang bisa dilakukan di sana dan dalam skala waktu berapa lama ? Dialog pendahuluan seperti ini menjadi pedoman dalam studi lapang, analisa, penyusunan model, dan prakiraan dampak yang mungkin timbul akibat pembangunan atau alternatif lain strategi manajemen. Dialog harus terus dilanjutkan selama proses pembangunan berlangsung karena prakiraan dampak ketika proyek baru berjalan mengandung ketidakpastian. Komunikasi yang efektif adalah penting bila analisa lingkungan mempengaruhi pembuatan keputusan.

Holling (1978) mengusulkan prosedur yang mencakup serangkaian tahap yang melibatkan ahli-ahli khusus dan manajer. Tahap pertama adalah menentukan dan memfokuskan masalah dengan cermat. Dalam tahap ini, kategori dampak diklasifikasikan, informasi kunci ditentukan, tindakan alternatif diuraikan, dan kerangka serta penyusunan model secara kasar dikembangkan. Jadi pada tahap studi yang sangat awal, semua unsur – variabel, aksi manajemen, tujuan, indikator, rentang waktu dan kisaran ruang – dipertimbangkan bersama-sama dan dipadukan. Model kemudian diperbaiki dan diuji oleh sekelompok ahli khusus. Tahap selanjutnya menentukan tujuan manajemen, menyusun kebijakan alternatif, dan mengurangi ketidakpastian.

Model-model menyediakan “dunia laboratorium”, yang membuatnya mungkin untuk menerapkan serangkaian teknik dalam menggunakan dan mengevaluasi model tersebut, dengan kata lain teknik tersebut memungkinkan hal-hal berikut ini :
- Perluasan tujuan.
- Rancangan kebijakan yang efektif untuk mencapai tujuan lain.
- Penganekaragaman indikator (sosial, ekonomi, sumberdaya dan lingkungan) yang berkaitan dengan keputusan.
- Evaluasi setiap kebijakan dari segi tingkah laku indikator sepanjang waktu.
- Penekanan sebagian informasi indikator untuk membantu mencari kebijakan yang paling sesuai; komunikasi dan interaksi antara dan antar pihak-pihak yang merancang, memilih dan melaksanakan kebijakan (staf, pembuat keputusan, penduduk).

Teknik-teknik tertentu yang dipilih untuk mewakili atau model dinamika sistem tidak harus berupa model simulasi bilangan. Banyak teknik yang tersedia : model kualitatif (GSIM & KSIM, matriks Leopold, dan model simulasi.

Elemen Kunci Dalam Program Manajemen dan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Ada beberapa kunci dalam menyusun sistem manajemen sumberdaya secara ekologis terpadu. Kisaran pengembangannya bervariasi di seluruh daerah Asia Tenggara dan bervariasi secara regional di dalam negara yang bersangkutan; sebagai contoh, beberapa negara lebih maju daripada negara lainnya dalam hal penelitian, prakiraan sumberdaya, dan pengembangan kebutuhan administratif serta basis resmi bagi manajemen wilayah pesisir dan sumberdayanya. Banyak organisasi internasional seperti IUCN, UNESCO, UNDP, UNEP, FAO, the United Nations University, serta Bank Dunia dan sejumlah organisasi nasional seperti USAID, terlibat dalam berbagai aspek pengembangan sumberdaya wilayah pesisir. Tidak semua organisasi ini mempunyai tujuan atau pandangan yang sama terhadap masalah yang dihadapi.

Patut diperhatikan bahwa usaha untuk menyusun suatu sistem manajemen sumberdaya secara ekologis terpadu sebagai studi pilot atau serangkain studi pilot untuk menyusun sebuah metodologi dapat diterapkan untuk proyek-proyek lain. Elemen-elemen penting dari sistem semacam ini adalah :

Pendataan sumberdaya. Pengumpulan informasi dasar mengenai sumberdaya wilayah pesisir dan pemanfaatannya serta masalah yang sedang timbul dan antisipasi masalah lingkungan. Salah satu komponen penting akan menjadi penentu dasar demografis yang menjadi landasan usulan pemanfaatan sumberdaya. Perhatian khusus harus diberikan kepada orang-orang yang ada di daerah itu, cara mereka memanfaatkan sumberdaya, dan kebutuhan khusus bagi pengembangan masyarakat. Dampak potensial dari pembangunan yang akan dilaksanakan terhadap orang-orang ini harus dipertimbangkan secara cermat.

Strategi penganekaragaman manfaat sumberdaya. Banyak proyek diarahkan pada pengembangan sebuah sumberdaya utama, misal, budidaya padi. Adalah penting bahwa filosofi penganekaragaman manfaat sumberdaya menjadi dasar semua proyek pembangunan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan mekanisme penentuan kombinasi optimum berbagai kegiatan pengembangan sumberdaya – perikanan, budidaya perairan, produksi hutan, aktivitas pertanian (perkebunan dan peternakan), dll. Pada hutan rawa mangrove perhatian khusus harus diberikan untuk menggabungkan kegiatan budidaya air payau dan budidaya hutan mangrove. Kegiatan non-pemanfaatan harus dimasukkan ke dalam kumpulan alternatif karena mungkin ia merupakan pilihan terbaik dalam beberapa kasus; sebagai contoh, adalah penting untuk menentukan luas hutan magrove yang harus dipertahankan untuk menunjang perikanan pesisir.

Prakiraan lingkungan. Prosedur dan metodologi untuk prakiraan dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat kegiatan pembangunan tertentu harus dilakukan dengan memperhatikan seluruh sistem yang perlu untuk dikembangkan. Kegiatan prakiraan harus dilakukan terus selama dan sesudah proyek pembangunan berlangsung; program harus disusun untuk melakukan hal ini.

Identifikasi strategi manajemen yang efektif. Strategi manajemen dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumberdaya individual dalam hubungannya dengan kombinasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat.

Penentuan standar lingkungan bagi sumberdaya individual. Standar lingkungan dan peraturan pemanfaatan sumberdaya perlu disusun untuk semua penggunaan sumberdaya di samping metode pemaksaan hukum yang efektif.

Pembentukan pusat-pusat manajemen dataran rawa (pesisir) interdisipliner. Ada kebutuhan mendesak untuk mendirikan sebuah organisasi yang akan memegang peranan manajemen berjangka panjang. Cara yang paling efektif untuk melaksanakannya adalah mendirikan pusat-pusat manajemen dataran rawa khusus. Pusat-pusat semacam ini akan menghimpun ahli-ahli dari berbagai bidang seperti ekologi, ilmu tanah, pertanian, kehutanan, perikanan, budidaya perairan, ekonomi, sosiologi dan analis sistem. Mereka juga membutuhkan latihan khusus keahlian agar dapat beroperasi secara bersama-sama. Selain itu, mereka juga akan mengkader orang-orang dari berbagai bidang. Pusat-pusat ini berkaitan secara khusus dengan pengembangan potensi produksi maksimal dan keterpaduan seluruh sistem secara lestari. Mereka harus bekerja sama dengan universitas dan pusat penelitian pemerintah, sekalipun untuk menyesuaikan kerja tim peneliti dengan dalil yang dipakai. Pembentukan unit seperti ini mungkin berlawanan dengan agen bertujuan-tunggal dan dinas-dinas provinsi, yang tidak mempunyai cukup peralatan teknis untuk digunakan dalam kondisi dataran rawa yang tak lazim.

Bab III
Konsep-Konsep Ekologi Berkenaan Dengan Manajemen Ekosistem Pesisir



Biota ekosistem pesisir mencakup berbagai jenis tumbuhan, burung, ikan, mamalia dan invertebrata. Dalam kondisi alaminya, ekosistem merupakan suatu kumpulan hubungan biotik yang membentuk jaringan kerja yang seimbang di mana semuanya itu mudah dirusak oleh polusi dan gangguan manusia. Untungnya teori dan pemgetahuan ekologi yang ada telah cukup maju untuk mendasari program perlindungan.

Di dalam ekologi terdapat sejumlah konsep yang berhubungan langsung dengan manajemen perlindungan ekosistem pesisir. Konsep-konsep ini menyajikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana organisme berinteraksi dengan tekanan dan kondisi lingkungannya hingga dapat bertahan hidup atau menemui kematian. Pembahasan berikut ini diharapkan dapat menjelaskan secara ringkas konsep-konsep tersebut.

Daya Dukung Lingkungan dan Standing Crop

Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah batas jumlah mahluk hidup yang dapat dterima oleh suatu habitat tertentu; pengertian paling sempit adalah jumlah individu suatu spesies tertentu. Ia selalu digunakan dalam pengertian potensial. Jumlah (atau massa) aktual suatu spesies yang ada di suatu daerah pada suatu saat disebut standing crop (panenan tetap). Dalam pengertian yang lebih luas daya dukung menggambarkan jumlah (atau massa) total organisme yang dapat hidup layak yang dapat didukung oleh suatu organisme atau subsistem.

Jadi, dalam pengertian ekologis, carrying capacity adalah pembatasan terakhir terhadap biota akibat ingkungan yang terbatas, misalnya ketersediaan makanan, ruang, tempat berkembang biak, atau akibat penyakit, predator, suhu, cahaya matahari maupun salinitas. Daya dukung suatu sistem dapat sangat dikurangi oleh aktivitas manusia yang mengurangi ketersediaan pasokan energi atau mencampuri pemanfaatan energi.

Istilah daya dukung sering digunakan oleh para perencana, dalam pengertian yang lebih umum, bukan dalam pengertian ekologis, misalnya mereka mengartikan istilah tersebut sebagai kapasitas sumber daya suatu daerah untuk menyokong secara layak aktivitas atau populasi manusia. Sebagai tambahan, istilah ini dipakai juga dalam iumu sosial dan ekonomi. Jadi penting untuk memahami konteks spesifik di mana istilah daya dukung digunakan.

Pengertian daya dukung secara umum adalah potensi ekosistem untuk menyediakan produk yang berguna bagi masyarakat manusia. Jadi, daya dukung mengukur kondisi dasar sumber daya alam.

Produktivitas

Konsep produktivitas primer mengacu pada kapasitas sebuah ekosistem untuk menghasilkan materi dasar tumbuhan. Secara teknik, produktivitas primer adalah jumlah energi yang diubah dari cahaya, zat hara dasar dan karbon dioksida menjadi jaringan tumbuhan dalam satu satuan luas selama satu satuan waktu, contoh, diukur dalam gram karbon yang diikat setiap meter persegi per hari. Dalam pengertian produktivitas primer, badan air estuaria mungkin menghasilkan 20 kali produktivitas primer laut-dalam, dan 10 kali yang dihasilkan di perairan pantai atau sebuah danau yang dalam. Karena produktivitas primer merupakan kapasitas total ekosistem dalam mendukung kehidupan, estuaria pada umumnya lebih produktif daripada lautan.

Energi dan Makanan

Energi langsung yang dibutuhkan ekosistem pantai diperoleh melalui dua cara : (1) dari pasokan internal yng terdaur-ulang di dalam sistem tersebut, (2) dari luar sistem. Secara internal, rantai makanan, rantai kehidupan atau jaring-jaring makanan berawal dari energi yang diasimilasi tumbuhan, atau produktivitas primer, untuk membentuk jaringan tumbuhan (bentuk lain energi), yang kemudian tersedia bagi hewan sebagai dasar bahan makanannya. Tumbuhan dimakan, dilewatkan melalui jaring-jaring makanan yang kompleks, dan kembali sebagai zat hara dasar.

Tenaga luar utama yang memasok energi bagi ekosistem pesisir adalah pasang-surut, arus laut, aliran masuk dari sungai, angin, cahaya matahari, dan zat hara anorganik dasar (mineral) yang memberi gizi kepada tumbuhan dan hewan. Karena semua makanan hewan berasal dari tumbuhan, maka setiap organisme sangat tergantung pada faktor utama yang membatasi pembentukan jaringan tumbuhan, seperti pengisian kembali zat-zat hara pokok dari luar, jumlah ketersediaan CO2, dan kelimpahan cahaya matahari. Prinsip ekologi yang berlaku adalah : aliran dan jumlah ketersediaan energi mengendalikan proses-proses kehidupan dan membatasi daya dukung ekosistem pesisir.

Rantai Makanan

Makanan hewan dipasok oleh tumbuhan yang membusuk dengan cepat menjadi partikel-partikel kecil (detritus) setelah jatuh ke dalam air. Koloni mikroorganisme mikroskopik beraksi terhadap partikel-partikel ini, dan material yang dihasilkan dimakan oleh spesies-spesies penghuni estuaria seperti kerang, ikan, udang, dan jenis-jenis krustasea kecil yang menjadi makanan bagi burung dan ikan predator.

Meski beberapa material tumbuhan tersedia di perairan pesisir yang dikonsumsi secara langsung oleh ikan dan kerang-kerangan, namun lebih sering dimakan pertama kali oleh zooplankton (hewan-hewan kecil yang hidup melayang-layang di dalam air) yang selanjutnya menjadi makanan ikan, dan ikan ini menjadi santapan burung atau manusia. Transfer energi makanan ini dari yang terendah ke yang tertinggi membentuk rantai makanan (atau jaring-jaring makanan) yang melibatkan sejumlah komponen yang terpisah.

Tumbuhan adalah produsen. Hewan pemakan tumbuhan (herbivora) dinamakan konsumen (seperti zooplankton, kerang). Konsumen ini memakan fitoplanton (sel-sel tumbuhan yang melayang-layang dalam air, misal alga renik) atau memakan tumbuhan tingkat tinggi. Forager (pemangsa) adalah hewan yang memakan langsung konsumen. Beberapa spesies, termasuk ikan pancingan yang paling rakus melahap umpan, merupakan super predator yang memburu dan memangsa predator-predator yang lebih kecil. Akhirnya, dekomposer (pembusuk, pengurai) seperti bakteri menguraikan sisa-sisa mahluk hidup kembali menjadi mineral-mineral dasar.

Banyak spesies mengubah kebiasaan makannya secara dramatis, memanfaatkan bagian-bagian rantai makanan yang berbeda ketika mereka tumbuh dari larva menjadi post larva lalu menjadi juvenil (hewan muda) dan kemudian menjadi individu dewasa. Ikan trout laut memakan berturut-turut larva krustasea, kopepoda, udang kecil, ikan umpan, dan kadang-kadang memakan ikan besar, kepiting serta invertebrata lain.

Storage (Cadangan Makanan)

Storage adalah kemampuan suatu sistem alam untuk menyimpan pasokan energi di dalam satu atau beberapa unit komponennya. Secara teoritis, unit storage semacam ini dapat berupa serumpun rumput rawa, satu gerombolan ikan, sebutir benih, sedimen organik di dasar perairan, atau fitoplankton di dalam air. Bagaimanapun, istilah storage di sini digunakan untuk menggambarkan unit-unit yang secara fisik nyata dan besar. Unit-unit ini semuanya memperoleh dan menyimpan pasokan energi sebagai cadangan pada saat kekurangan energi. Jadi storage merupakan penstabil penting bagi daya dukung lingkungan.

Komunitas tumbuhan estuaria seperti paya-paya, rawa mangrove dan hamparan rumput belut (eel grass) berperanan penting sebagai unit-unit storage. Sebagai contoh, rumput rawa secara keseluruhan – akar, daun, bunga, batang – menyediakan cadangan energi di mana rantai makanan estuaria tergantung padanya. Standing stock (cadangan tetap) rumput, baik yang hidup maupun yang mati, mengandung sejumlah besar cadangan materi zat hara yang berpotensi sebagai bahan makanan semua organisme mulai dari bakteri sampai ikan bila dihanyutkan oleh air pasang surut ke basin air pesisir. Karena rumput diuraikan pelan-pelan, maka pasokan material zat hara tersedia sepanjang tahun. Storage dalam jaringan tumbuhan sangat penting karena cadangan zat hara menstabilkan sistem dan menjadi penyangga (buffer) bagi kebutuhan energi yang mendesak dalam jumlah banyak atau menjadi penyangga selama periode paceklik musiman (misalnya selama musim dingin).

Di samping itu, paya-paya (marsh) sangat kaya akan mineral zat hara yang tersimpan di dalam tanahnya sehingga menyediakan sumberdaya zat hara bagi rumput paya-paya; sebagai contoh, beberapa rawa asin di Georgia memiliki cadangan zat hara yang cukup untuk selama 500 tahun tanpa memerlukan pemulihan. Bagaimanapun, pemulihan sebenarnya berlangsung terus-menerus.

Storage merupakan pelindung alami terhadap fluktuasi yang mendadak antara kelimpahan dan kelangkaan. Hasilnya adalah ekosistem yang produktif dan stabil. Prinsip ekologi yang berlaku adalah : kapasitas storage yang tinggi menghasilkan fungsi ekosistem yang optimal.

Selain ditujukan untuk komponen hidup, prinsip perlindungan storage diterapkan juga untuk komponen tak hidup, komponen struktural suatu ekosistem yang menjalankan fungsi ekosistem penting. Sebagai contoh, bukit pasir merupakan gudang raksasa cadangan pasir yang berfungsi memasok kembali dan menstabilkan secara periodik front pantai yang telah diobrak-abrik badai hebat.

Konsep Ekologi : Distribusi Umur Populasi

Menurut Odum (1971) distribusi umur merupakan salah satu sifat populasi yang penting karena mempengaruhi natalitas maupun mortalitas. Rasio berbagai kelompok umur dalam populasi menentukan arah status reproduki populasi dan memberi petunjuk tentang apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Biasanya populasi yang akan meningkat cepat adalah populasi yang memiliki individu-individu muda dalam proporsi yang besar. Bagaimanapun, semua populasi akan mengalami semua perubahan struktur umur tanpa mengalami perubahan ukuran. Distribusi umur cenderung mengarah ke distribusi umur yang stabil atau normal. Sekali distribusi umur yang stabil tercapai, peningkatan natalitas atau mortalitas yang tidak wajar hanya akan menyebabkan perubahan sementara dan keadaan akan kembali menjadi stabil lagi secara spontan.

Seorang ahli ekologi, Bodenheimer, mengelompokkan umur ekologis menjadi tiga macam : pra reproduksi, reproduksi dan pasca reproduksi. Lamanya ketiga macam umur reproduksi ini sangat bervariasi tergantung pada jenis organismenya. Pada manusia modern, lamanya ketiga macam umur tersebut relatif panjang, yaitu masing-masing sepertiga dari umur manusia. Manusia primitif, sebagai perbandingan, mempunyai periode pasca reproduksi yang lebih singkat. Kebanyakan tumbuhan dan binatang memiliki periode pra reproduksi yang sangat panjang. Beberapa binatang, terutama serangga, menjalani periode pra reproduksi yang sangat lama dengan periode reproduksi yang sangat singkat dan tanpa periode pasca reproduksi. “Lalat sehari” (mayfly = ephemeridae) dan “belalang tujuh belas tahun” merupakan contoh-contoh klasik. Yang pertama menghabiskan waktu satu sampai beberapa tahun sebagai larva di perairan dan hidup hanya beberapa hari sebagai serangga dewasa. Sedangkan yang terakhir membutuhkan waktu yang sangat lama (tetapi tidak harus 17 tahun) untuk menjadi serangga dewasa, namun fase dewasanya sendiri hanya berumur kurang dari satu musim. Jadi lamanya umur ekologis harus dipertimbangkan dalam menfasirkan data distribusi umur (Odum, 1971).

Ekoton

Ekoton adalah daerah peralihan, atau daerah tepi atau perbatasan, antara dua komunitas ekologi yang berbeda, misalnya antara ekosistem rawa dan ekosistem hutan. Suatu ekoton memiliki karakteristik gabungan dari dua komunitas yang berbeda dan seringkali mempunyai kelimpahan dan keragaman mahluk hidup yang sangat tinggi. Dengan demikian ekoton memiliki fungsi yang menguntungkan bagi ekosistem.

Bab IV
Konservasi Untuk Wilayah Pesisir Yang Kritis


Wilayah Lingkungan Yang Peka

Perencanaan kerangka kerja untuk pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan sistem klasifikasi dan evaluasi yang melingkupi wilayah lingkungan luas yang peka, atau daerah rawan, maupun wilayah sempit yang mempunyai nilai ekologis penting dan esensial bagi ekosistem sekitarnya, atau daerah vital. Konsep pengelolaan wilayah darat menjadi tiga daerah memungkinkan kita membuat rencana pengelolaan wilayah sesuai dengan kepekaan ekologisnya. Meskipun konsep ini sebenarnya sama, namun kita menggunakan istilah-istilah yang berbeda untuk ketiga kategori tadi. Secara umum mereka dapat dinyatakan sebagai preservasi (pemeliharaan atau pengawetan), konservasi (perlindungan) dan pemanfaatan.

Sebagai contoh, Florida Coastal Coordinating Council telah menetapkan batas-batas penggunaan wilayah pesisir sesuai dengan klasifikasinya : preservasi, tidak cocok untuk pembangunan; konservasi, boleh dilakukan pembangunan asal harus hati-hati dan terkendali, pengembangan (development), bisa dilakukan pembangunan besar-besaran. Ada enam faktor yang dipakai dalam memanfaatkan daerah-daerah yang dikategorikan di atas :
- Arti penting ekologis daerah tersebut dan teloransinya terhadap perubahan.
- Klasifikasi air dari badan air di sekitarnya.
- Kecocokan tanah daerah yang dimaksud.
- Kerentanan daerah terhadap banjir, di mana airnya berasal dari hujan maupun dari limpasan.
- Arti penting arkeologis dan historis daerah tersebut.
- Ciri-ciri lingkungan yang unik dan harus dilindungi.

Sistem tersebut telah disempurnakan dan diadaptasi untuk Collier County, Florida, kemudian lahan diklasifikasikan menjadi preservasi, konservasi atau pengembangan sesuai dengan kategori berikut :

a. Daerah preservasi adalah daerah yang memberikan keuntungan yang tak ternilai harganya bagi masyarakat, seperti rekreasi, keindahan, nilai ekonomis, dan perlindungan terhadap banjir serta tidak toleran terhadap pembangunan. Ia merupakan daerah yang diusulkan untuk dipelihara agar tidak tersentuh oleh pembangunan serta dilindungi dari kerusakan. Daerah preservasi mencakup jalur air, mangrove dan rawa-rawa yang semuanya membentuk bagian kritis komunitas rawa pesisir.

b. Daerah pengembangan (development) adalah daerah yang , karena fisiografis, drainase, atau faktor lain, lebih cocok untuk pembangunan, dan daerah tersebut kurang penting bagi ekologis, rekreasi dan masyarakat. Lahan yang dapat dikembangkan langsung atau hanya diubah sedikit dapat digolongkan sebagai daerah pengembangan.

c. Daerah konservasi mencakup lahan selain di atas, yang bagian tepinya cocok untuk pembangunan dan memiliki arti ekologis penting tetapi tidak kritis. Daerah ini berfungsi sebagai penyangga antara daerah preservasi dan daerah pengembangan. Karena masalah banjir dan drainase, pembangunan di daerah konservasi ini umumnya sangat mahal, baik biaya awal maupun biaya perawatan selanjutnya. Pembangunan di daerah ini mempunyai resiko yang besar baik terhadap kehidupan maupun terhadap hasil pembangunan itu sendiri serta terus-menerus menelan biaya masyarakat dan biaya swasta untuk mengurangi, mencegah atau memperbaiki kerusakan akibat banjir.

Konsep-konsep yang digambarkan ada contoh di atas dapat digabungkan dengan konsep daerah kritis dan daerah vital. Kesejajaran sistem-sistem ini ditunjukkan pada perbandingan berikut.

Daerah vital atau daerah preservasi : unsur-unsur ekosistem penting dan kritis serta bernilai tinggi hingga mereka dipelihara dari kerusakan, bebas dari segala bentuk pemanfaatan yang akan merubahnya, dan dilindungi dari tenaga luar yang merusak; biasanya termasuk dalam wilayah lingkungan yang rawan.

Daerah lingkungan rawan (areas of environmental concern) atau daerah konservasi : wilayah lingkungan rawan yang luas (seringkali terdiri dari satu atau lebih daerah vital), pengembangan atau pemanfaatan daerah ini harus dikendalikan dengan hati-hati untuk melindungi ekosistem ini.

Daerah pemanfaatan atau daerah pengembangan : daerah di mana aktivitas pemanfaatan dan pengembangannya tidak perlu terlalu hati-hati.

Daerah Kritis

Daerah lingkungan rawan kritis (areas of critical concern) menentukan perencanaan klasifikasi di mana aktivitas manusia harus dikendalikan, namun tidak berarti harus dilarang, untuk melindungi lingkungan. Daerah yang lebih sempit dengan preservasi ketat - daerah vital – tegolong sebagai daerah rawan.

Konsep wilayah rawan kritis dikembangkan dalam studi perencanaan lahan di berbagai negara federal dan negara bagian selama bertahun-tahun. Meskipun konsep ini dilaksanakan dalam berbagai cara dan memberikan berbagai hasil, konsep dasar tetap sama – ada wilayah lingkungan kritis tertentu yang, karena sifat-sifat alamnya, memerlukan perhatian khusus dalam hal pengelolaannya. Kebanyakan sifat-sifat ini berkenaan dengan lingkungan, termasuk resiko alam, dan kadang-kadang mencakup pula nilai budaya (berhubungan dengan aktivitas manusia). Wiayah kritis semacam ini diidentifikasi sebagai wilayah yang bila dilakukan pembangunan tak terkendali bisa terkena dampak penting yang merusaknya. Jadi diperlukan pembatasan pemanfaatan dan pengendalian kegiatan.

Berikut adalah empat contoh penerapan konsep wilayah rawan kritis :

1. Florida Environmental Land and Water Management Act, 1972. “Wilayah rawan kritis” mencakup daerah yang memiliki, atau yang mempunyai dampak penting terhadap, sumberdaya lingkungan, historis, alam, atau arkeologis, atau daerah yang sangat dipengaruhi oleh fasilitas masyarakat utama dan sangat dipengaruhi oleh daerah yang akan dikembangkan secara besar-besaran.

2. California Coastal Zone Conservation Act, 1972. “Areas of special biological significance” (daerah yang mempunyai arti penting biologis khusus) diidentifikasi untuk tujuan perlindungan tanpa memperhatikan nilai ekonomi karena mereka mengandung komunitas biologis yang tak ternilai, meskipun nilainya tidak dapat dinyatakan dengan angka, sehingga tidak boleh terkena resiko perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia.

3. U.S. Senate Hearing on Coastal Zone Management Act. “Areas of critical environmental concern” (daerah rawan kritis) mencakup daerah di mana pembangunan tak terkendali dapat (1) menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki terhadap nilai historis, budaya, keindahan, sistem alam atau proses-proses alam, atau (2) sangat membahayakan kehidupan sebagai akibat kerusakan lingkungan.

Yang termasuk daerah pesisir adalah :
a. Paya-paya (marshland), rawa pesisir, dan daratan lain yang terendam oleh air pasang.
b. Pantai (beach) dan bukit pasir.
c. Estuaria, daratan pantai (shoreland) serta dataran banjir di sekitar sungai, danau, dan kali.
d. Ekosistem yang langka dan penting.

4. Nort Carolina Coastal Zone Management Act, 1973. “Areas of particular public concern” (daerah khusus rawan masyarakat) bisa meliputi :
a. Paya-paya (marshland) dan perairan estuaria.
b. Daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sumberdaya lingkungan, historis, atau alam baik secara regional maupun lebih luas lagi.
c. Daerah yang mempunyai ekosistem yang unik atau mudah rusak sehingga tidak sanggup bertahan terhadap pengaruh pembangunan yang tak terkendali.
d. Daerah semacam jalur air dan daratan yang dilalui air pasang atau perairan yang dapat dilayari, yang dikuasai oleh negara untuk dipelihara, dikonservasi atau dilindungi.
e. Daerah semacam dataran banjir, pantai, dan dataran bukit pasir di mana perubahan atau pembangunan tak terkendali bisa meningkatkan kerusakan akibat banjir dan erosi sehingga memaksa masyarakat mengeluarkan biaya yang besar untuk memperbaikinya.
f. Daerah yang sangat dipengaruhi oleh, atau memiliki pengaruh penting terhadap, adanya fasilitas masyarakat atau daerah lain di mana masyarakat menanam modalnya.

Pada Coastal Zone Management Act digunakan istilah “areas of particular concern” dengan maksud agar dapat melingkupi daerah yang membutuhkan pengelolaan khusus. Sebagai pedoman dasar bagi federal coastal zone programme maka faktor-faktor berikut dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan “areas of particular concern” yang dibutuhkan oleh Akta tersebut :
1. Habitat alam yang unik, langka, mudah rusak atau sangat rentan dengan ciri-ciri fisik, nilai sejarah dan budaya serta keindahan yang penting dan tinggi.
2. Daerah dengan produktivitas alam tinggi atau habitat yang penting bagi sumber daya mahluk hidup seperti ikan, binatang liar dan berbagai komponen jaring-jaring makanan agar dapat hidup sebagai mana mestinya.
3. Daerah rekreasi penting yang potensinya sudah atau belum dimanfaatkan.
4. Daerah di mana pembangunan dan pengadaan fasilitas tegantung pada pemanfaatan, atau harus dilakukan di dekat, perairan pesisir.
5. Daerah yang secara geologis atau topografis unik dan penting bagi pengembangan industri atau perdagangan.
6. Daerah pemusatan penduduk kota di mana pemanfaatan garis pantai dan penggunaan air dilakukan dengan bersaing ketat.
7. Daerah beresiko tinggi bila dikembangkan, karena hujan badai, tanah longsor, erosi, pengendapan, dll.

Daerah-daerah yang ditunjuk sebagai daerah rawan disusun menjadi daftar untuk dipreservasi atau diperbaharui untuk tujuan konservasi, rekreasi, ekologis, keamanan atau keindahan. Di sini tidak tampak maksud untuk membedakan antara daerah yang vital dan daerah rawan pada program federal di atas. Pembedaan semacam ini sebenarnya perlu agar tujuan lebih spesifik dan pengelolaan lebih fleksibel. Jadi daerah rawan pada program manajemen pesisir federal harus diartikan sebagai daerah kritis dalam pengertian umum. Istilah darah vital seharusnya digunakan untuk daerah yang secara ekologis sangat penting.

Daerah kritis berhubungan dengan fungsi ekosistem pesisir yang meliputi (1) semua jalur drainase di seluruh daerah aliran sungai pesisir, (2) semua dataran banjir dan front pantai, dan (3) semua daerah pesisir estuaria, yang membentang dari saltfront (front garam; salinitas 0,5 ppt) ke arah laut hingga samudra luas di mana pengaruh estuaria masih terasa.

Sistem perairan daratan pantai (danau, kolam, rawa, teluk, dll) merupakan daerah kritis karena daerah aliran sungai pesisir yang melintasinya mempunyai pengaruh besar terhadap ekosistem perairan pesisir. Jalur drainase mencakup semua kolam, danau, teluk, rawa dan unsur sistem perairan daratan pantai lain yang menampung, memurnikan, atau menyalurkan air dari daerah aliran sungai pesisir ke basin air pesisir. Untuk tujuan manajemen mungkin berguna untuk menentukan semua bagian daerah aliran sungai pesisir yang paling kritis (yaitu yang memiliki tingkat erosi tinggi, berpengaruh besar terhadap drainase, dll) sebagai daerah kritis yang harus diberi perhatian khusus untuk melindungi kualitas, volume dan kecepatan arus air yang mengalir dari daratan pesisir ke basin air pesisir.

Bab V
Kebijakan Wisata Bahari Dalam Kaitannya Dengan Manajemen Wilayah Pesisir


Pengantar



Konservasi seringkali tampak sebagai sesuatu yang statis. Di Indonesia ada bukti-bukti bahwa konservasi merupakan komponen pembangunan yang dinamis. Dalam hal ini ia berkenaan dengan konservasi laut di Provinsi Maluku sebagai langkah pertama bagi usaha berskala nasional untuk mendesak disusunnya undang-undang tentang lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan.

Bentuk konservasi laut yang paling murni adalah manajemen zona pesisir yang layak. Sesungguhnya semua pencemaran laut berasal dari darat, sedangkan sumber pencemar yang berasal dari laut sendiri adalah pelayaran dan pengeboran lepas pantai. Sekitar 65 % dari seluruh penduduk Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai, yang membentang hampir 82.000 km secara geografis dan mungkin lebih dari 100.000 km bila pengaruh pasang-surut terhadap pesisir ikut diperhitungkan. Sebagian besar polusi darat berasal dari sini, dengan kesalahan manajemen daerah aliran sungai di dataran tinggi sebagai kekecualian.

Latar belakang resmi bagi gerakan konservasi di indonesia adalah pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang RI no 4 tahun 1982. Latar belakang ini juga ditemukan dalam sejumlah ordonansi dari jaman sebelum kemerdekaan, keputusan menteri, hukum, peraturan dan persetujuan serta uraian internasional, misalnya CITES (Conference on The International Trade in Endagered Species).

Berlawanan dengan latar belakang ini, Indonesia – sebuah negara kepulauan besar dengan tidak kurang dari 13.667 pulau besar dan kecil yang dikelilingi laut luas, total 7 juta km persegi – hanya mempunyai delapan buah cagar alam laut yang berukuran kecil dan pengelolaannya kurang memadai. Namun dalam Repelita IV, sekitar seratus daerah telah diusulkan agar dijadikan daerah yang dilindungi, sementara kurang lebih 30 juta hektar atau sekitar 10 % luas wilayah perairan Indonesia ditunjuk sebagai daerah konservasi.

Konservasi laut dan manajemen wilayah pesisir merupakan disiplin-disiplin yang relatif baru dan di Indonesia sebagai negara yang sangat besar nampaknya kedua disiplin ini tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini berlawanan dengan fakta yang melatarbelakangi, bahwa usaha mengelola laut dan pesisir harus dilakukan.


Gerakan Konservasi



Ada beberapa faktor penting yang mendesak perlunya usaha konservasi. Berkurangnya pendapatan dari minyak menyebabkan makin giatnya usaha memperoleh devisa – yang menyolok adalah pariwisata.

Pariwisata di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain di sekitarnya. Pemerintah Pusat telah memprioritaskan pariwisata sebagai “batu pondasi bagi strategi pembangunan negara dan ekonomi kita selama sisa abad ini dan di tahun-tahun mendatang”, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan (Wardhana, 1986).

Presiden Suharto, dalam Rancangan Anggaran Belanjanya yang terbaru, menyatakan bahwa pengeluaran anggaran belanja negara akan terus diprioritaskan pada pembangunan pariwisata, meskipun pembelanjaan semua sektor harus dikurangi.

Daya tarik utama pariwisata di Indonesia terutama terletak pada aset alam Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan atau daerah yang dikelilingi laut, yakni maritim. Eksploitasi yang layak terhadap aset alam ini harus didasarkan pada kelestariannya. Konsep Wisata Bahari dengan konservasi sebagai intinya merupakan langkah logis selnjutnya.

Wisata bahari adalah bentuk wisata yang paling sering dicari para turis di Indonesia. Bila dikembangkan dan dikelola dengan tepat ia akan memberikan sumbangan penting bagi perolehan devisa. Ia tidak hanya menciptakan daya tarik hebat bagi pengelola pariwisata dalam mempertahankan dan melindungi aset alam ini, tetapi lebih dari itu.


Wisata bahari sebagai bentuk pariwisata tidak dapat ada atau berkembang dalam keadaan vakum. Ia tidak akan pernah ada kecuai kalau ia menjadi bagian infrastruktur. Dengan kata lain, di sana harus ada jalan yang melaluinya, ada jembatan yang membentang di atas sungai, harus ada petugas yang terlatih, ada fasilitas medis dalam jumlah cukup, harus ada telekomunikasi yang efektif, dll. Pendeknya, infrastruktur terpadu secara horizontal dan vertikal harus dibangun di tempat di mana wisata bahari mempunyai niche, menurut istilah ekologi. Di sana harus ada kerangka kerja lembaga pendukung, program pelatihan ekstensif, sikap legislatif yang responsif, sistem perangsang resmi, dan, yang paling penting, dukungan serta partisipasi dari penduduk setempat.

Ini semua merupakan garis besar program, tetapi tidak tanpa hambatan.


Hambatan dan Dorongan



Pendanaan yang cukup merupakan hambatan yang umum bagi hampir semua program. Namun ada hal yang meringankan hambatan tersebut di Indonesia. Ada dorongan untuk menciptakan infrastruktur yang akan bertahan lama dan mampu berdiri sendiri. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam sekejap mata dan membutuhkan tambahan dana serta bantuan lain untuk mendorong melahirkan rangsangan awal. Aspek tersebut kini digalakkan oleh Pemerintah Pusat.

Bila dilakukan usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri, peranan investor swasta, nasional atau internasional, memiliki arti penting. Untuk menarik investor semacam ini, prosedur harus dipermudah dan potongan pajak serta repatriasi profit (pajak keuntungan) perlu dipertimbangkan. Hal ini juga perlu digiatkan, bila tidak berskala nasional maka bisa berskala provinsi.

Pada wisata bahari, pembangunan infrastruktur akan menyebabkan pergeseran distribusi pendapatan. Dari sudut pandang kebijakan pembangunan nasional, penekanan geografis mungkin perlu dilakukan. Pemerintah telah berusaha merangsang pembangunan di Indonesia Bagian Timur.

Peningkatan taraf hidup regional melalui penambahan infrastruktur seperti dalam kasus wisata bahari, akan cenderung menarik orang dari negara lain, juga melibatkan orang-orang dari dalam negeri iru sendiri. Wisata bahari dengan demikian dapat medukung konsep Wawasan Nusantara, Konsep Kepulauan.

Pembangunan cenderung meningkatkan biaya lingkungan. Sebaliknya, konservasi, bila dilakukan dengan ketat, mengalami kemajuan sedikit. Pendekatan yang agak filosofi mungkin bisa memberikan jalan keluar bagi dilema ini.


Di negara-negara maju, komponen masyarakatnya kurang lebih stabil dan hanya berubah sedikit dalam jangka waktu lama. Di negara-negara sedang berkembang, komponen masyarakatnya mirip potongan-potongan es yang mengapung di atas permukaan sungai - di sini mengumpul tetapi di tempat lain pecah berantakan - dan selalu berubah. Suatu saat unsur pembangunan yang demikian akan berubah. Konservasi yang ketat dan kekal dengan demikian sulit dilaksanakan. Kerusakan lingkungan juga tidak dapat diterima. Dan, di sini konsep “ecological minima” mungkin berguna.

Hardin (1968) mengemukakan pernyataan matematika bahwa dua atau lebih variabel tidak dapat dimaksimalkan pada saat yang bersamaan. Namun perlu diingat bahwa manajemen sumberdaya bukanlah matematis melainkan ekonomis. Tragedi yang sering terjadi karena kegagalan dalam menerapkan ilmu ekonomi yang, secara kebetulan menjadi dasar ekologi, meskipun kebetulan bahwa ekologi dan ekonomi tidak dapat bersatu. Berikut adalah contoh-contoh nyata :

Stok ikan regional cenderung berfluktuasi, suatu saat melimpah tetapi pada saat lain hampir tidak ada. Kita meyebut fenomena ini sebagai “pulsa” yang terjadi secara alami. Pada saat yang sama, stok ikan spesies-tunggal membentuk bagian terpadu dari suatu sistem kompleks, yang berinteraksi dengannya, ketika sistem berinteraksi dengan pulsa-pulsa tadi. Metode penangkapan ikan tradisional lebih berdasarkan pada model statis di mana model ini sendiri didasarkan pada mortalitas, pertumbuhan dan reproduksi, dengan apa yang disebut “mortalitas selektif-ukuran” diletakkan di atasnya. Metode penangkapan ikan yang stabil, atau kurang responsif, mendorong pulsa alami negatif sehingga hasil yang diperoleh menurun tajam atau bahkan sama sekali tanpa hasil. Bila orang menggunakan “ecological minima” di dalam model ini, hasil akan meningkat dengan jelas selama pulsa positif atau tidak menyebabkan perhentian total selama pulsa negatif.

Contoh lain dijumpai dalam upaya mengubah dataran rendah pasang surut menjadi daerah pertanian yang subur. Hal ini sering menyebabkan penurunan besar-besaran pada komunitas mangrove dan spesies-spesies yang ada di dalamnya. Meskipun pada saat ini terjadi perdebatan mengenai lebar jalur mangrove yang harus dipertahankan, tampaknya hanya ada sedikit argumen yang berkaitan dengan pelestarian beberapa komunitas mangrove ini. Penerapan prinsip ecological minima di sini akan melibatkan penentuan aspek atau spesies yang dilindungi, jika jenis spesies memang harus ditentukan, bila sistem ekoton yang layak bisa direncanakan dan pengubahan daerah bisa dilakukan di sekitarnya.

Dalam pandangan wisata bahari, pemilihan pendekatan yang akan diterapkan harus melalui beberapa fase. Fase I adalah identifikasi daerah yang sangat sesuai bagi konservasi dan dengan demikian juga sesuai bagi daerah wisata bahari. Fase II mencakup penunjukkan daerah konservasi di sekitar daerah wisata. Fase III adalah pengalokasian komponen infrastruktur dan kemudian diikuti dengan tahap pelaksanaan.


Meskipun semua usaha ini relatif sederhana, sebenarya tidak demikian. Tujuan pengelolaan pembangunan regional tidak pernah ada. Aspek perdagangan harus dipertimbangkan, data cuaca harus dipelajari, harga-harga barang harus dipertimbangkan, dll. Masih ada pertanyaan mendasar : karena ia kompleks, apakah kita akan menelantarkan usaha-usaha untuk mengembangkan daerah tertentu, ataukah kita mencoba dan mencari modalitas yang paling cocok.

Di Provinsi Maluku usaha telah dimulai. Alasan logis bagi program pembangunan regional adalah sebagai berikut. Persetujuan para ahli telah diperoleh. Partisipasi dari masyarakat telah terjamin. Aset alam tersedia. Investor yang tertarik sudah ada. Tetapi bila orang melihat ke daerah lain – karena Maluku hanyalah pelopor – ditemukan banyak hambatan dan rintangan.

Saat ini usaha serupa telah dimulai di Papua dengan orientasi ke arah konservasi-dan-pembangunan. Ini merupakan hal yang menarik. Tanda awal telah muncul dan respon terhadapnya cukup menggembirakan. Rencana ini akan berbeda dalam skala dan pelaksanaan, tetapi seperti di Maluku, dibutuhkan undang-undang untuk menyejajarkan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan yang layak sebagai intinya. Dan kita telah melakukannya lebih jauh bersama Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam. Rencana telah disusun untuk mengetahui profil lingkungan secara luas di Indonesia Bagian Barat, dengan tujuan mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi untuk dijadikan kawasan konservasi/wisata.

Bab VI
Program Pengelolaan Wilayah Pesisir


Undang-undang di negara bagian tertentu berkaitan dengan perencanaan tata guna lahan adalah berskala regional atau hanya mencakup suatu wilayah negara bagian saja. Pola yang lebih khas mungkin terlihat dalam peraturan yang melindungi sumber daya tertentu yang sangat penting, seperti perikanan, daerah rawa (wetland) dan dataran pantai. Program negara bagian yang relevan diatur dengan Coastal Zone Management Act (CZMA) yang dikeluarkan oleh pemerintah federal, yang menyediakan kesempatan, sumberdaya kekuasaan serta dana bagi manajemen dan perencanaan wilayah pesisir. Banyak negara bagian sangat menyadari kebutuhan akan konservasi ekosistem; banyak yang memiliki sistem-sistem yang telah disurvei dan diidentifikasi yang diperlukan dalam perlindungan dan perbaikan eksosistem.

Satu program nasional di bawah naungan Coastal Zone Management Act (CZMA) tahun 1972 ditangani oleh The Office of Coastal Zone Management (OCZM) dari Departemen Perdagangan. Kepentingan mendasarnya terletak pada dorongan dan kebutuhannya akan pertimbangan menyeluruh dan luas terhadap tata guna air serta tata guna lahan yang penting dalam mempertahankan keutuhan ekologi pesisir. Pada dasarnya, OCZM menyediakan dana untuk kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan rencana oleh negara bagian. Ia juga menyediakan dana untuk menciptakan dan mengoperasikan “cagar alam estuaria” serta memungkinkan dan memudahkan negara bagian dalam memperoleh ijin dari badan-badan federal untuk melaksanakan kebijakan pesisir yang disusun negara bagian tersebut.


Tujuan OCZM adalah “merangsang kepemimpinan dalam perencanaan dan manajemen wilayah pesisir, serta membawa ke arah keharmonisan aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari keputusan tentang tata guna lahan dan tata guna air selain arti penting bagi daerah setempat”. Selanjutnya “melalui serangkaian insentif yang dipusatkan pada program induk federal dengan bantuan teknis, Akta ini mendorong terjalinnya kerja sama baru di antara berbagai tingkat pemerintahan, di mana melalui kerja sama ini masing-masing pihak bisa menguji kemampuan manajemen yang dimiliki”. Pedoman federal memberikan kerangka kerja bagi pengembangan program pesisir negara bagian. Karena program ini tidak mempunyai kekuatan hukum federal dan tanpa ada sanksi finansial, maka keberhasilannya tergantung pada partisipasi masyarakat pesisir dan negara bagian secara suka rela, di mana harus ditegaskan bahwa tujuan progam nasional ini adalah sejalan dengan tujuan manajerial lokal.

Tiga tipe perijinan federal dikeluarkan untuk mendorong pelaksanaan program-program wilayah pesisir secara luas di daerah dan di negara bagian yang memiliki pesisir. Perijinan pertama adalah untuk pengembangan program – fase perencanaan. Kemudian diikuti perijinan untuk program manajemen federal. Untuk melengkapi perencanaan dan pelaksaan program, ijin dikeluarkan untuk membantu negara bagian menciptakan “cagar alam estuaria” sebagai laboratorium lapangan alami bagi kegiatan-kegiatan penelitian dan pendidikan. Semua pengelola danau-danau besar dan wilayah pesisir ikut berpartisipasi dalam fase pengembangan program ini.


Setiap gubernur menunjuk sebuah badan negara bagian untuk mengurus perijinan dan melengkapi rencana kerja. Dalam merencanakan programnya, negara bagian harus memperhatikan enam hal :
1. Identifikasi daerah perbatasan wilayah pesisir.
2. Penentuan dan pendaftaran daerah tertentu yang rawan.
3. Pedoman dalam memprioritaskan tata guna daerah tertentu, dan mencakup secara khusus tata guna prioritas terakhir.
4. Penentuan tata guna air dan tanah yang memiliki dampak penting dan langsung terhadap perairan pesisir.
5. Cara yang diusulkan agar dipakai negara bagian untuk mengendalikan berbagai tata guna ini.
6. Struktur organisasi yang akan melaksanakan program manajemen.

Sebagai tambahan, negara bagian diharuskan agar berusaha sungguh-sungguh untuk berkonsultasi dengan badan-badan federal, negara bagian dan badan lokal serta pihak-pihak terkait lainnya. Kebutuhan khusus berkenaan dengan tujuan ini meliputi pertimbangan yang dilakukan pihak-pihak nasional dalam menyediakan fasilitas bagi daerah yang bersangkutan, tata guna regional (selain lokal) dan pengesahan standar pengendalian pencemaran air dan udara federal.


Akta mengajukan tiga tipe pengendalian yang beraksi bila perencanaan telah disempurnakan : (1) peraturan negara bagian langsung, (2) peraturan lokal yang sesuai dengan standar yang ditetapkan negara bagian, dan (3) peraturan lokal yang telah diulas oleh negara bagian. Untuk menjamin pelaksanaan ijin federal tentang pendanaan fase manajemen, gubernur harus mengabulkan program tersebut dan negara bagian harus mengembangkan kekuatan, peraturan, dan kekuasaan yang dibutuhkan dalam menerapkan program ini.

OCZM memberi kekuasaan tinggi kepada setiap negara bagian untuk melaksanakan peraturan khusus, kebijakan dan prosedur manajemen pesisir bersama-sama dengan unit-unit pemerintahan lokal yang ada di bawahnya. Sebagian besar pekerjaan ini dilaksanakan melalui masyarakat, atau, negara bagian memegang peranan lebih besar, tergantung pada situasi. OCZM terutama berkaitan dengan kelayakan pelaksanaan program, dan kurang memperdulikan hasilnya. Pendek kata, program tersebut tidak menetapkan standar dan tujuan khusus yang harus dicapai oleh negara bagian. Tetapi harus disadari oleh negara bagian bahwa mereka harus melaksanakannya dengan baik, memiliki kemampuan dan kekuasaan yang cukup dalam mengatasi masalah-masalah manajemen pesisir.

Keinginan negara bagian untuk mengkoordinasikan pemerintahan – dari tingkat lokal sampai federal – selama melaksanakan program dimaksudkan untuk menjamin agar kedua tujuan peraturan di atas tercapai. Tujuan tersebut adalah agar setiap negara bagian menyusun rencana program untuk mencapai tujuan umum Akta ini, dan rencana negara bagian ini secara bersama-sama digunakan untuk membantu pihak-pihak di tingkat nasional.


Salah satu hal yang paling penting dari campur tangan pihak nasional berkaitan dengan Akta ini adalah penyediaan fasilitas. Menteri Perdagangan, sebelum menyetujui rencana manajemen negara bagian, harus memastikan bahwa negara bagian telah memasukkan ke dalam programnya suatu proses yang “memungkinkan untuk mempertimbangkan dengan cermat keterlibatan pihak nasional dalam menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada selain yang sudah tersedia di alam di daerah setempat”. Tujuannya adalah menjamin bahwa fasilitas pembersihan, instalasi pembangkit tenaga, dan fasilitas utama lainnya (yang seringkali tidak umum atau tampak mengganggu) yang mungkin berguna secara nasional telah dipertimbangkan dengan cermat dan ditempatkan pada lokasi yang tepat.

Pihak federal menyusun pedoman untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam semua fase pengembangan rencana pada tingkat negara bagian. Manajemen program federal dikoordinasi dengan National Environmental Policy Act, dan usul masyarakat ditampung oleh pemerintah federal sebelum ia menyetujui program manajemen negara bagian. Keputusan untuk melibatkan masyarakat dalam manajemen sumberdaya pesisir secara tidak langsung berarti harus mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Akta menghendaki agar pandangan dan pendapat-pendapat ini diulas dengan berdasarkan “ilmu dan politik”.

Akta terutama dijadikan patokan/ukuran perlindungan lingkungan. Pertemuan Konggres, deklarasi Konggres, dan sejarah perundangan Akta ini menghendaki agar semua keputusan yang menyangkut wilayah pesisir harus memperhatikan nilai-nilai keindahan, sejarah, budaya dan ekologi sedikitnya sama dengan perhatian yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi.


Unsur-unsur program lingkungan yang paling langsung adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan/tata guna yang dibolehkan. Penentuan tata guna air dan lahan yang mempunyai pengaruh/dampak “langsung dan penting” terhadap perairan pesisir dan identifikasi tata guna tersebut yag diperbolehkan. Negara bagian harus mengembangkan metode untuk menjamin bahwa keputusan yang menyangkut tata guna dibuat dengan cara yang obyektif/menurut kenyataan, serta metode untuk menerapkan informasi yang paling banyak tersedia yang berkaitan dengan kemampuan dan kecocokan air dan lahan. Pengembangan indikator dalam penentuan dampak ekonomi dan dampak lingkungan (dampak yang menguntungkan, netral, dapat ditolerir, maupun dampak merusak) merupakan langkah analitik penting yang diperlukan untuk membuktikan dan menjelaskan bahwa tata guna atau kegiatan tersebut diperbolehkan. Bila negara bagian melarang suatu kegiatan di dalam wilayah pesisir, maka ia harus menjelaskan alasannya.

2. Daerah rawan (area of particular concern). Pendataan dan penunjukkan daerah-daerah yang unik, habitat yang mudah rusak atau daerah yang mempunyai nilai sejarah atau daerah yang memiliki pemandangan yang menarik; daerah dengan produktivitas alami tinggi atau habitat yang penting bagi mahluk hidup; daerah bernilai rekreasi; daerah di mana pembangunan dan penyediaan fasilitas tergantung pada pemanfaatan perairan pesisir; daerah yang memiliki nilai geologis unik; daerah pemusatan penduduk kota; daerah yang mudah diserang badai, tanah longsor, erosi atau banjir; daerah yang penting dalam melindungi, mempertahankan atau menyokong lahan pesisir yang mencakup dataran banjir pesisir, daerah pengisian aquifer (lapisan air bawah-tanah), bukit pasir, karang dan terumbu lain, pantai, endapan pasir lepas pantai, dan hutan mangrove.

3. Daerah perawatan dan perlindungan (area of preservation). Penunjukkan daerah-daerah yang berkaitan erat dengan daerah rawan di atas. Negara bagian harus menentukan standar dan kriteria dalam menentukan daerah pesisir bagi kepentingan perlindungan atau perbaikan lingkungan karena nilai keindahan, ekologis, rekreasional atau konservasi yang dimilikinya. Kenyataan bahwa negara bagian mungkin tidak bisa memanfaatkan sifat-sifat khusus ini karena kesulitan dana, untuk itu negara bagian bisa menyusun daftar daerah berdasarkan urutan prioritas.

4. Prioritas kegiatan. Pedoman prioritas menunjukkan derajat kepentingan negara bagian dalam preservasi, konservasi dan pembangunan secara teratur daerah-daerah tertentu di seluruh wilayah pesisir. Penentuan prioritas ini akan menjadi dasar bagi pengaturan tata guna air dan lahan di wilayah pesisir dan berfungsi sebagai pedoman umum dalam memecahkan konflik. Negara bagian harus mampu menunjukkan bahwa suatu metode telah dikembangkan untuk (1) menganalisis kebutuhan negara bagian yang dapat dipenuhi dengan paling efektif dan paling efisien melalui pemanfaatan air dan lahan yang ada di wilayah pesisir dan (2) menentukan kemampuan dan kesesuaian pemenuhan kebutuhan ini di lokasi-lokasi tertentu di wilayah pesisir.

Bab VII
Kebijakan Lingkungan Nasional dan Peran Masyarakat


Undang-Undang Lingkungan Hidup

Ciri yang menyolok dari sistem pemerintahan Amerika Serikat adalah derajat keterlibatan resmi penduduk dalam kegiatan dan kebijakan masyarakat umum. Partisipasi ini meliputi hak dan kewajiban penduduk ketika mereka berkepentingan dengan masyarakat umum atau unsur-unsur masyarakat.

Baik badan pengadilan maupun pembuat undang-undang cenderung membeberkan tindakan masyarakat umum dan pemerintah dalam mengawasi lingkungan dengan cermat dan menghendaki partisipasi langsung penduduk dalam membuat keputusan pemerintah. Meskipun kebijakan ini menghambat pembangunan proyek, namun dalam banyak kasus ia merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk membeberkan tindakan-tindakan yang merusak, keliru dan salah arah. Meskipun beberapa pemerintah daerah dan negara bagian telah mengadopsi peraturan-peraturan lingkungan lain, sumber utama bagi kebijakan lingkungan adalah National Environmental Policy Act (NEPA: Akta Kebijakan Lingkungan Nasional).

NEPA tahun 1969 adalah sangat penting, meskipun ia tidak mengendalikan kegiatan pembangunan secara langsung. Persyaratan prosedural utamanya adalah bahwa semua badan pemerintah federal harus memperhatikan dampak lingkungan dan mengawasi agar setiap peraturan federal serta kegiatan badan-badan federal utama yang sangat mempengaruhi lingkungan harus dinyatakan secara terperinci (disebut “environmental impact statement” atau pernyataan dampak lingkungan) yang meliputi :
1. Dampak lingkungan akibat kegiatan yang diusulkan.
2. Pengaruh buruk terhadap lingkungan yang tak dapat dihindari akibat pelaksanaan suatu proyek.
3. Alternatif lain bagi kegiatan yang diusulkan.
4. Hubungan antara tata guna lingkungan lokal jangka-pendek dan peningkatan produktivitas jangka-panjang.
5. Kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan akibat pelaksanaan proyek yang diusulkan.


Proses NEPA sesuai dengan tujuan utamanya bersifat memaksa badan-badan federal agar membuat perencanaan lingkungan dengan cermat. Kewajiban suatu badan federal adalah memperhatikan semua alternatif yang mungkin untuk mencapai tujuan dan memilih bentuk pendekatan yang mampu mengurangi dampak seminimum mungkin. Bagaimanapun, proses ini mencapai tujuannya hanya pada departemen-departemen pemerintah, dan sangat sering pernyataan dampak lingkungan semata-mata merupakan akibat keputusan di masa lalu yang kurang sesuai dengan lingkungan. Yang menggembirakan adalah bahwa departemen mampu memutuskan apakah suatu tindakan adalah “penting’ dan apakah penyiapan suatu pernyataan dibutuhkan. Tahap termudah adalah memutukan bahwa tidak ada pernyataan yang dibutuhkan sehingga tidak perlu menyusun laporan tentang lingkungan akibat suatu tindakan yang diusulkan. Sebelum melengkapi laporan, badan federal terkait harus mengumpulkan tanggapan dari badan federal lain yang diperkuat oleh pengadilan setempat atau para ahli.

Meskipun banyak hambatan yang dialami, NEPA berhasil meningkatkan kesadaran akan arti penting perlindungan lingkungan. Karena ia dapat diterapkan untuk semua proses perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah federal, NEPA sering dilibatkan dalam program wilayah pesisir. Sebagai contoh, ijin pembuangan limbah, yang dibutuhkan oleh EPA, dan ijin pengerukan atau penggalian, yang dibutuhkan oleh Corps of Engineer, harus berdasarkan NEPA.


Peran Masyarakat Dalam Pencegahan Pencemaran

Peraturan yang mengatur partisipasi penduduk secara langsung dalam program-program pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan bersifat lebih bebas daripada program-program di bidang lain. Beberapa program lingkungan di antaranya adalah peraturan pengawasan pencemaran air, Coastal Zone Management Act dan Ocean Dumping Act serta NEPA. Undang-undang yang mengatur campur tangan penduduk tampaknya diperlukan untuk melaksanakan berbagai program yang berkaitan dengan masyarakat umum.

Sebagai contoh, partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dampak NEPA sangat sedikit. Seringkali badan-badan pemerintah tampak menghendaki keterlibatan peduduk sekecil-kecilnya dalam program-programnya. Bagaimanapun, NEPA secara resmi memberi hak kepada penduduk untuk menentang (siap mencampuri) keputusan pemerintah dalam forum resmi dan di pengadilan. Proses campur tangan resmi terbukti merupakan saringan terakhir yang paling efektif dalam mencegah persekongkolan antara badan federal dengan pihak-pihak tertentu yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah.

Dalam Coastal Zone Management Act dijelaskan bahwa keputusan penting tidak boleh dibuat oleh sekelompok kecil perencana negara bagian saja. Terlalu besar resikonya. Selama proses penyusunan rencana, pihak negara bagian harus aktif melibatkan pemerintah lokal, badan-badan regional, badan-badan federal, masyarakat umum dan berbagai organisasi terkait. Proses pembuatan keputusan harus memberikan kesempatan yang cukup bagi pihak-pihak yang terkait untuk menyumbangkan komentar atau saran tentang bagaimana arah program manajemen seharusnya dijalankan. Pendapat umum diperlukan dan saran-saran mengenai partisipasi masyarakat dalam pengembangan program harus diperhatikan.


Undang-Undang Spesies Yang Terancam Punah

US Fish and Wildfish Service merupakan penanggung jawab utama The Endangered Species Act (Undang-Undang Spesies Yang Terancam Punah) 1973, Public Law 93-205. Badan federal lain yang berperanan dalam menjalankan Akta ini adalah Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan The Smithsonian Institution . The Fish and Wlldfish Service menentukan apakah suatu spesies atau kelompok binatang harus ditambahkan atau disingkirkan dari daftar binatang yang terancam punah dan spesies langka atau diubah statusnya dari satu kategori ke kategori lain.

Akta menyediakan konservasi bagi semua spesies tumbuhan dan binatang yang tergolong “endangered” (terancam punah) atau “threatened” (langka). “Endengered species” adalah spesies yang terancam bahaya kepunahan di seluruh habitat atau sebagian habitat yang penting. “Threatened species” adalah spesies yang diramalkan akan terancam punah di masa mendatang di seluruh habitat atau di sebagian habitat penting Tujuan resminya adalah ‘menyediakan cara untuk mengkonservasi ekosistem yang sangat penting bagi spesies yang terancam punah dan spesies langka, menyediakan program konservasi bagi kedua kategori spesies tersebut, dan untuk mengambil langkah-langkah di atas sebagai pendekatan yang mungkin dalam mencapai tujuan ini.” Konggres menekankan dalam Akta ini bahwa salah satu akibat yang tidak menyenangkan dari pertumbuhan dan pembangunan di Amerika Serikat dan negara lain adalah musnahnya spesies dan subspesies flora dan fauna tertentu; bahwa kepunahan spesies berikut nilai pendidikan, sejarah, rekreasi dan ilmiah terus berlanjut hingga sekarang; dan bahwa kunci untuk lebih mengefektifkan konservasi fauna asli yang terancam punah dan langka adalah mendorong dan membantu berbagai negara dalam mengembangkan program konservasi bagi binatang liar.

Akta 1973 mengandung unsur perlindungan habitat yang dilaksanakan secara bertahap oleh The Fish and Wlldfish Service. Unsur ini memberikan kekuasaan bagi dinas tersebut (melalui The Interior Department) untuk mengidentifikasi habitat yang penting dalam melestarikan spesies yang terancam punah atau spesies langka ini dan untuk mendesak badan-badan federal lain agar mencegah semua tindakan yang dapat merusak habitat tersebut – yang mencakup ijin yang dikeluarkan pemerintah federal bagi developer swasta.



Referensi :

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders. Philadelphia. 574 spp.

Ranwell, D.S. 1979. Strategies for The Management of Coastal Systems in R.L. Jefferies and A.J. Davy. (Eds.). 1979. Ecological Processes in Coastal Environments. Blackwell Scientific Publications. Oxford. Pp. 515 - 527

Tidak ada komentar:

Posting Komentar