Senin, 19 Februari 2018

Komunitas Terumbu Karang


Bab I
Pembentukan, Pertumbuhan, Migrasi dan Keragaman Terumbu Karang


Pembentukan Terumbu Karang

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa arsitek dan pembangun terumbu karang adalah banyak jenis organisme dan proses kimia yang bergabung untuk membentuk struktur karbonat yang mungkin bisa sedalam ribuan meter. Organisme pembangun karang yang paling penting adalah karang hermatipik yang meliputi beberapa genus, rhodophyta (alga merah) koralin yang membentuk hamparan kurang padat, serta foraminifera, hydrocoral dan banyak jenis moluska yang juga menyumbangkan materi berkapur bagi pembentukan terumbu. Kumpulan berbagai jenis organisme ini tumbuh di atas dan terus-menerus meluaskan massa berkapur yang berasal dari gabungan materi rangka. Batu karang yang terkikis akan digantikan melalui pengendapan kalsium karbonat dari air laut yang menembus struktur berpori, dan melalui penghanyutan ke dalam terumbu serpihan-serpihan kecil materi karang, sehingga pengikisan dan penimbunan materi berlangsung seimbang. Pertumbuhan karang ke arah vertikal dikendalikan oleh kenaikan tinggi muka laut, sedang kerusakan bagian depan terumbu akibat hantaman gelombang dipulihkan melalui pertumbuhan terumbu secara horizontal.

Peranan Halimeda Dalam Pembentukan Karang

Longhurst dan Pauly (1987), berdasarkan laporan beberapa peneliti, menyatakan bahwa Halimeda dan alga hijau lain yang berkapur (Penicillus di Karibia, Thydemania di Indo-Pasifik) mengendapkan sejumlah besar kristal-kristal kalsium karbonat yang saling bertautan dalam bentuk mineral aragonit di dalam thalus. Dengan demikian mereka memberikan sumbangan yang sangat penting bagi pembentukan pasir, terutama laguna terumbu. Hamparan Halimeda ditemukan di lokasi di mana semburan kuat air pasang yang memasuki terumbu membawa sejumlah kecil tetapi teratur massa air subtermoklin yang kaya zat hara ke dalam laguna.

Cacing Polikhaeta Pembangun Terumbu

Nishi (1992) mengamati polikhaeta pembangun terumbu, yaitu cacing sabellariidae (Annelida, Sedentaria). Sabellariidae bersifat dioecious tanpa kecuali. Mereka tidak melakukan reproduksi aseksual. Telurnya dibuahi secara eksternal. Larvanya harus memilih substrat yang paling sesuai, yakni rumah tabung miliki spesies yang sama. Beberapa asam lemak bebas spesifik telah diisolasi dari bahan pembuat tabung sebagai faktor perangsang. Larva spesies soliter (hidup sendirian) pada kelompok yang sama, sebaliknya, tidak menunjukkan perilaku hidup berkelompok dengan spesies yang sama.

Pertumbuhan Karang Porites dan Favia

Fang dan Chou (1992) meneliti laju pertumbuhan karang dan konsentrasi fulvic acid dalam jalur-jalur pertumbuhan karang hermatipik Porites lutea Edwards & Haime dan Favia maxima Veron dalam sampel yang diambil pada tahun 1986 sampai 1988 di perairan selatan Taiwan (22° 05’ – 36’ Lintang Utara, 120° 24’ – 50’ Bujur Timur). Dilakukan analisa terhadap curah hujan tahunan lokal, lokasi sampling, aktivitas pembangunan di daratan di dekatnya dan spesies karang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tahunan Porites lutea adalah 1,08 ± 0,12 cm sedangkan untuk Favia maxima adalah 0,83 ± 0,09 cm. Jumlah asam fulvik yang diserap ke dalam jalur pertumbuhan adalah berkorelasi positif dengan curah hujan tahunan lokal. Bagaimanapun, koefisien korelasi bervariasi dari setinggi 0,9519 sampai serendah 0,0921 akibat perbedaan topografi lokasi sampling, faktor pegenceran dari samudra dan aktivitas pembangunan sepanjang pesisir. Favia maxima lebih peka daripada Porites lutea dalam hal penyerapan asam fulvic dari air sekitarnya. Studi fluoresensi terhadap rangka karang hermatipik merupakan pendekatan yang masuk akal untuk melakukan biomonitor lingkungan dengan memperhatikan faktor-faktor lokal.

Migrasi Karang Fungiidae

Chadwick-Furman dan Loya (1992) mempelajari dampak 7 spesies karang jamur (Fungiidae) yang dapat berpindah tempat terhadap struktur komunitas di lereng terumbu karang yang terlindung; dampak tersebut dibatasi dalam lingkup pola migrasi, pemanfaatan habitat dan persaingan dengan organisme bentik lain. Pada terumbu tepi di Eilat, Laut Merah, polip melepaskan diri ketika panjangnya 1 sampai 6 cm dan tumbuh menjadi sepanjang 11 – 55 cm. Karang jamur yang melekat berorientasi secara vertikal di dalam rongga-rongga terumbu karang. Karang yang melepaskan diri bermigrasi ke bawah pada lereng terumbu dan pada puing-puing karang atau substrat lunak di dasar terumbu, dengan laju 29 sampai 71 cm/tahun. Daya gerak berkurang sejalan dengan bertambahnya ukuran koral dan kisaran ornamentasi bawah-permukaan. Dalam akuarium, karang kecil menempatkan dirinya sendiri dan bermigrasi sampai 6 cm/hari pada malam hari dengan menggelembungkan dan mendorong jaringan tubuhnya di atas substrat. Perilaku karang dan gerakan air akibat-badai tampaknya bertanggung jawab atas sebagian besar gerakan fungiidae di Eilat.

Perbedaan Keragaman Fauna Karang Atlantik dan Pasifik

Longhurst dan Pauly (1987), dengan mengulas beberapa laporan hasil pengamatan, menyatakan bahwa batas distribusi terumbu hermatipik di daerah tropis mungkin adalah Atlantik timur di mana terumbu hanya terdapat di perairan dangkal lepas pantai tiga pulau di Teluk Guinea timur (Sao Thome, Principe dan Annobon) di mana hanya ada sangat sedikit genus karang, terutama Porites, Sclerastrea, Favia, Montastrea dan Oculina yang hidup bersama dengan beberapa jenis karang non hermatipik Astrangia, Phyllangia, dan Tabastrea. Namun demikian, fauna Atlantik hanya mengandung 35 spesies dalam 26 genus karang, dibandingkan dengan 700 spesies Indo-Pasifik yang tergolong dalam 80 genus; pusat keragaman karang saat ini adalah di Pasifik Barat yang berkaitan dengan kolam air permukaan tropis hangat yang paling luas, paling dalam dan paling kurang bervariasi yang ada di samudra saat ini. Selain pengurangan fauna karang, organisme lain berkurang atau tidak ada dalam ekosistem terumbu Atlantik : alga berkapur, kimah raksasa dan anemon, “coral-gall crab” (kepiting kantong-karang), gastropoda cypraeidae dan conidae, alcyonaria dan karang lunak. Gorgonia merupakan salah satu dari beberapa kekecualian fenomena ini, yang menjadi jauh lebih penting pada terumbu Atlantik dibandingkan pada terumbu Pasifik. Sepon karang (Sclerospongiae) menyumbangkan banyak formasi kapur bagi lereng terumbu-depan di beberapa terumbu Karibia, dan tampaknya merupakan sisa-sisa fauna stromatoporoidae dari terumbu jaman Ordovician.

Perbandingan Karang Tropis Dengan Karang di Daerah Beriklim-Sedang

Ebeling dan Hixon (1991) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa struktur substrat karang pada tertumbu daerah beriklim-sedang kurang kompleks tetapi seringkali meliputi daerah batuan yang relatif kontinyu sepanjang tanjung pesisir. Dibandingkan dengan ikan terumbu berbatu di daerah beriklim-sedang, ikan terumbu karang tropis seringkali menghuni susbtrat terumbu berbercak dan lebih heterogen dengan keragaman yang lebih besar dalam hal tempat berlindung dan mikrohabitat. Pada terumbu daerah beriklim-sedang, bagaimanapun, upwelling musiman masa air yang kaya zat hara mendukung kehidupan tumbuhan kelp yang rapat serta makroalga lainnya. Tidak seperti terumbu karang tropis, di mana dedaunan sangat terbatas pada hamparan sea grass (lamun) di sekitar dataran pasir, terumbu daerah beriklim-sedang menyediakan tempat tambahan sumber makanan dan tempat berlindung yang berupa kanopi tumbuhan, terutama untuk ikan juvenil. Perairan tropis sering hangat dan jernih dengan fluktuasi musiman relatif kecil. Perubahan musiman yang lebih besar yang dialami oleh ikan penghuni terumbu berbatu di daerah beriklim-sedang mencerminkan puncak-puncak kelimpahan yang lebih tajam dalam hal tingkah laku migrasi lepas pantai – dekat pantai. Variasi musiman yang lebih kuat di daerah lintang tinggi lebih lanjut menyebabkan respon yang lebih besar, tetapi lebih dapat diramalkan, oleh ikan penghuni.

Meskipun kondisi El Nino-Southern Oscillation secara periodik mengganggu hamparan tumbuhan kelp, angin badai merupakan sumber utama gangguan fisik baik pada terumbu di daerah beriklim-sedang maupun terumbu tropis. Pada lokasi-lokasi tertentu, angin badai mungkin lebih sering terjadi di daerah lintang tinggi, tetapi biasanya kurang parah dibandingkan dengan angin hurricane dan typhoon di daerah tropis yang kadang-kadang terjadi. Di daerah-daerah lintang rendah, gangguan yang sangat parah menyebabkan kekacauan struktur komunitas dengan periode pemulihan yang tak pasti. Meskipun kumpulan ikan yang aktif bergerak kurang dipengaruhi oleh gerakan air yang kuat dibandingkan tumbuhan dan makroinvertebrata yang tidak aktif bergerak, pengaruh gangguan lingkungan dapat mempengaruhi seluruh komunitas (Ebeling dan Hixon, 1991, dalam Sale, 1991).

Ebeling dan Hixon (1991) dalam Sale (1991) menambahkan bahwa energi makanan aloktonus (dari luar sistem) diimpor ke dalam sistem terumbu tropis maupun sistem terumbu daerah beriklim sedang dalam bentuk plankton oseanik yang dikonsumsi oleh sejumlah besar ikan pemakan plankton. Energi autoktonus (dari dalam sistem) yang dihasilkan melalui rantai makanan kaya-detritus mendukung komunitas bentik yang berasosiasi dengan hamparan alga, yang menjadi habitat invertebrata kecil makanan ikan karnivora kecil. Penimbunan detritus jauh lebih banyak pada terumbu daerah beriklim sedang, di mana, tidak seperti terumbu karang di daerah tropis, produksi tumbuhan jauh melebihi yang dikonsumsi. Aktivitas memakan alga bentik di daerah beriklim sedang lebih banyak dilakukan oleh makroinvertebrata daripada ikan. Bulu babi bisa menciptakan “daerah gundul”yang berkaitan dengan penurunan kelimpahan ikan bila, sebagai contoh, gangguan angin badai besar merusak kelp dewasa dan sumber makanan detritus lain bagi bulu babi. Bulu babi bisa juga bersaing langsung dengan ikan memperebutkan sumber makanan bentik baik pada terumbu tropis maupun terumbu daerah beriklim sedang. Bintang laut bulu seribu (Acanthaster) dapat membinasakan sebagian besar karang hidup serta mempengaruhi distribusi ikan.



Bab II
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan


Pengaruh Karang Hidup Terhadap Komunitas Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mengulas sejumlah literatur mengenai pengaruh karang hidup terhadap komunitas ikan penghuninya. Hubungan antara kekomplekan topografi terumbu karang dan keragaman komunitas ikannya menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kekomplekan fisik substrat. Jelas bahwa meningkatnya luas permukaan meningkatkan keragaman tempat berlindung dan/atau tempat mencari makan, sehingga meningkatkan keragaman spesies. Bagaimanapun, beberapa penelitian mengenai hubungan antara parameter-parameter komunitas ikan dan keragaman biologis substrat serta keragaman spesies karang memberikan hasil bahwa hubungan tersebut tidak berkorelasi nyata. Dalam penelitian lain ditemukan adanya perbedaan spesies ikan yang berasosiasi dengan karang hidup dan spesies ikan yang berasosiasi dengan kapur koralin yang dihuni beberapa koloni karang kecil, tetapi disimpulkan bahwa perbedaan kedua komunitas ini tidak nyata. Laporan lain mengenai pengaruh persentase penutupan karang hidup terhadap stuktur komunitas ikan disimpulkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara penutupan karang hidup dan jumlah spesies penghuni tetap dan spesies ikan tersembunyi (cryptic) yang berasosiasi dengan kuadrat 9 m2. Bagaimanapun, data mereka berasal dari daerah dengan nilai “vertical rugosity” (kekerutan vertikal; suatu ukuran kekomplekan topografi) berkisar dari 1,1 sampai 4,6 pada berbagai kedalaman (10 – 40 m).

Bell dan Galzin (1984) melaporkan bahwa rangka karang yang mati dengan cepat kehilangan strukturnya akibat pengikisan, sedangkan struktur karang hidup tetap kompleks. Dari data yang dikumpulkan selama survei ikan di Mataira Atoll, peneliti menguraikan situasi alami berskala relatif besar di mana pengaruh perbedaan penutupan karang hidup (berkisar dari 0 sampai 10 %) terhadap struktur komunitas ikan dipelajari dengan meniadakan pengaruh heterogenitas ruang. Peneliti menemukan perbedaan nyata dalam hal keragaman spesies ikan dan kepadatan individunya akibat perubahan luas penutupan karang hidup pada terumbu yang secara topografi sama dan peneliti menduga bahwa kehadiran (dan jumlah) karang hidup mungkin lebih penting dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Pengaruh Intensitas Penangkapan Terhadap Komunitas Ikan Karang

Pet-Soede et al. (2001) mempelajari komposisi spesies dan ukuran struktur komunitas ikan dengan melakukan sensus visual bawah-air di terumbu karang Indonesia yang mengalami berbagai derajat intensitas penangkapan ikan. Perbandingan dibuat di antara terumbu-terumbu di Kepulauan Spermonde di lepas pantai barat-daya Sulawesi, antara terumbu di dalam dan di luar taman laut Komodo di lepas pantai Flores Barat, dan antara daerah-daerah terumbu Spermonde dan Komodo. Di Spermonde, komposisi spesies dan ukuran hasil tangkap ikan komersial di lokasi dengan intensitas perikanan tinggi dan rendah dicatat untuk menentukan bagaimana hasil tangkapan tersebut mencerminkan pergeseran struktur komunitas ikan. Intensitas penangkapan total di Spermonde adalah 557 hari kapal/km2 terumbu/tahun, delapan kali lebih tinggi daripada di Komodo (65 hari kapal/km2 terumbu/tahun), tetapi laju penangkapannya adalah delapan kali lebih rendah di Spermonde (5,6 kg per trip) daripada di terumbu di Komodo (48 kg per trip). Total hasil tangkapan adalah sama di Spermonde (3,2 ton/km2 terumbu) dan di Komodo (3,1 ton/km2 terumbu). Rata-rata panjang ikan hasil tangkapan sangat berkaitan dengan intensitas perikanan. Pola-pola ruang (spatial pattern) pada komunitas ikan di Spermonde sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah tidak berkaitan secara nyata dengan pola intensitas perikanan. Di Komodo, total biomas ikan dan biomas pemangsa-ikan sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah secara nyata lebih tinggi di dalam taman daripada di luar taman tersebut. Komunitas ikan di terumbu sangat berbeda antara di Spermonde dan di Komodo dalam hal rata-rata panjang individual dan total biomas tetapi kepadatannya sama.

Pet-Soede et al. (2001) menyimpulkan bahwa hasil pengamatan ini menunjukkan pengaruh tekanan penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dapat dideteksi dengan sensus visual bawah-air hanya ketika membandingkan daerah-daerah yang intensitas penangkapannya sangat berbeda (Spermonde dan Komodo) atau ketika membandingkan lokasi-lokasi dengan intensitas penangkapan rendah dan sedang (di dalam dan di luar taman laut). Komposisi spesies dan ukuran hasil tangkapan komersial masih menunjukkan perbedaan pengaruh intensitas penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dan dengan demikian menunjukkan juga hasil tangkapan total di daerah terumbu Spermonde dengan intensitas penangkapan rata-rata.

Pengaruh Taman Laut dan Pembatasan Perikanan Terhadap Pemulihan Ikan Karang

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menduga jumlah ikan dan berat basahnya di laguna-laguna tujuh terumbu karang di Kenya selama 6 tahun. Dua lokasi dilindungi dari penangkapan selama 20 tahun, sedangkan lima lokasi lainnya mengalami intensitas perikanan yang tinggi dalam tahun-tahun terakhir ini. Satu lokasi dengan intensitas perikanan tinggi telah diubah menjadi sebuah taman laut (Mombasa Marine National Park, sekitar 10 km2, penangkapan ikan dilarang), dan jumlah nelayan yang diijinkan perlahan-lahan berkurang antara Agustus 1991 dan Agustus 1992. Daerah di sekitar taman ini diubah menjadi "marine reserve" (hanya perangkap ikan, pancing dan gill net yang diijinkan) yang menyediakan fishing ground di luar taman nasional bagi nelayan. Data dari lokasi pendaratan ikan di dekat taman nasional baru ini dikumpulkan selama 3 tahun dan dianalisis untuk menentukan pengaruh taman nasional terhadap hasil tangkapan ikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penangkapan ikan di "marine reserve" mengurangi berat basah ikan kira-kira senilai faktor 10 serta mengurangi jumlah dan keragaman sesies ikan senilai faktor dua. Baik studi lapang maupun data pendaratan ikan menunjukkan bahwa pemanenan terjadi pada keseimbangan bionomik. Sebagai contoh, sekitar 65 % daerah penangkapan dilindungi dengan dibentuknya taman laut, dan 65 % nelayan keluar dari lokasi pendaratan ikan yang dipelajari, menyisakan sejumlah nelayan dengan kepadatan hampir sama di daerah lainnya (sekitar 12 nelayan/km2). Selain itu, nelayan yang menggunakan jaring tarik (pull seine) dilarang beroperasi di daerah "marine reserve", dan jumlah nelayan ini digantikan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap lain (terutama keranjang perangkap). Meskipun hasil tangkapan total per unit upaya meningkat sekitar 110 % setelah adanya taman laut, total ikan yang didaratkan berkurang 35 % dan tangkapan per unit upaya menurun ke arah akhir periode penelitian padahal kelimpahan ikan meningkat di dalam taman tersebut (McClanahan dan Kaunda-Arara, 2002).

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menambahkan bahwa meskipun pembentukan taman-taman kecil di tempat-tempat lain menyebabkan peningkatan total tangkapan, taman laut besar yang diteliti ini tidak berdampak demikian; salah satu alasannya mungkin adalah lebih kecilnya rasio keliling (atau tepi) terhadap luas taman untuk taman laut besar. Ada kemungkinan tepi taman bisa menjadi daerah penangkapan yang baik, sehingga upaya penangkapan menjadi paling tinggi di sepanjang tepian taman laut. Oleh karena itu penghalang mungkin harus dibuat untuk membatasi pemencaran ikan ke luar taman. Dengan demikian, daerah dengan hasil tangkap meningkat adalah kecil (< 1 sampai 2 km dari tepi) dan tidak dapat mengimbangi penyempitan daerah penangkapan. Kebanyakan spesies ikan di dalam taman menunjukkan pemulihan setelah nelayan dilarang beroperasi di daerah tersebut. Total berat basah ikan 3 tahun setelah aktivitas nelayan dilarang berkurang 25 % dibandingkan ketika belum ada taman laut. Lemahnya pemulihan ikan pisau-pisau dan ikan kakaktua herbivora mungkin menjadi penyebab utama hal ini. Kompetisi memperebutkan sumber daya dengan bulu babi tampaknya memperlambat pemulihan kedua kelompok ini. Sebuah lokasi studi yang berjarak 2,5 km dari tepi selatan taman, di dalam daerah "marine reserve" yang dilindungi, tidak menunjukkan perubahan kelimpahan ikan selama periode penelitian, meskipun ada peraturan yang menyebabkan perubahan alat tangkap.

Dampak Intensitas Perikanan dan Seleksi Hasil Tangkap Terhadap Terumbu Karang

McClanahan (1995) telah mengembangkan sebuah model simulasi terumbu karang berdasarkan energi agregat; model ini digunakan untuk menjalankan eksperimen penangkapan di mana intensitas perikanan dan seleksi hasil tangkapan bervariasi. Model ini tersusun dari dua kelompok produsen primer (karang dan alga), herbivora (ikan herbivora dan bulu babi) serta karnivora (pemangsa ikan dan predator invertebrata). Produksi perimer kotor dan neto dihitung dari parameter-parameter produksi dan respirasi karang dan alga, sedangkan keseimbangan kalsium karbonat dihitung dari pengendapan oleh karang dan alga serta erosi oleh bulu babi dan ikan herbivora. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penangkapan ikan mempengaruhi ekologi terumbu karang dan keuntungan hasil perikanan harus memperhatikan dampak terhadap struktur dan proses-proses terumbu. Model ini meramalkan bahwa penyingkiran semua kelompok ikan akan menyebabkan bulu babi mendominasi terumbu karang begitu predatornya disingkirkan. Hal ini menyebabkan penurunan secara cepat dan dramatis dalam hal hasil perikanan serta mengurangi produktivitas dan biomas alga dan karang.

Pengendapan neto kalsium karbonat sangat dipengaruhi oleh aktivitas bulu babi atau nelayan terhadap karang hidup. Penangkapan predator ikan saja menyebabkan hasil perikanan rendah tetapi laju akresi (pertambahan) terumbu adalah tinggi sebagai akibat tak langsung dari hilangnya alga yang bersaing dengan karang. Strategi manajemen perikanan dengan hanya menangkap ikan herbivora dan pedator ikan menyebabkan hasil perikanan mencapai nilai tertinggi dan paling stabil. Bagaimanapun, di bawah strategi managemen seperti ini, tingginya aktivitas perikanan menyebabkan peningkatan jumlah alga yang, melalui persaingan, bisa menyingkirkan karang dan menyebabkan penurunan pengendapan kalsium karbonat secara sementara. Tetapi, pada biomas alga tertinggi, pengendapan kalsium karbonat adalah tinggi dan menjadi satu-satunya penyumbang pengendapan alga. Namun demikian, bentuk endapan kalsium karbonat ini mungkin tidak menyediakan struktur terumbu yang dibutuhkan bagi perlindungan habitat ikan dan garis pantai. Jadi hal ini membuktikan keuntungan dalam jangka panjang untuk mempertahankan aktivitas perikanan di bawah level ini (McClanahan, 1995).

Perikanan Laut Tropis dan Masa Depan Terumbu Karang

McManus (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan ketimpangan ekonomi menyebabkan meningkatnya permintaan akan produk perikanan laut tropis. Perikanan terumbu karang menyumbangkan sumber makanan penting dan mata pencaharian yang penting pula dalam skala global. Bagaimanapun, perikanan yang merusak menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang dan hal ini sering dikaitkan dengan teori Malthus dalam hal overfishing, yakni suatu kondisi yang berhubungan dengan kemiskinan dan padatnya penduduk di pesisir. Studi berdasarkan model bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan bahwa untuk banyak daerah terumbu karang, agar pemanfaatan sumber daya alam optimal maka membutuhkan pengurangan upaya penangkapan sebesar kira-kira 60 %. Penangkapan ikan dan udang dengan trawl menjadi penyebab kerusakan komunitas karang secara luas di paparan benua tropis. Prinsip-prinsip pencegahan dan manajemen perikanan dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti ini.

Konservasi Terumbu Karang dan Ikan Karang Secara Tradisional

McClanahan et al. (1997) melaporkan bahwa banyak tradisi penduduk pesisir yang bisa dipandang sebagai bentuk tradisional konservasi laut karena, seperti manajemen perikanan modern, mereka membatasi alat tangkap, waktu dan tempat penangkapan, tetapi pengaruhnya dalam praktek belum banyak dipelajari. Sebuah studi telah dilakukan mengenai kebudayaan dan sumber daya perikanan di sebuah daerah di Kenya selatan, yang dirancang sebagai taman laut nasional, untuk menentukan efek manajemen tradisional terhadap hasil perikanan dan kondisi ekologis terumbu karang. Daerah ini memiliki salah satu tradisi tertua yang masih berlaku mengenai tempat-tempat keramat dan ritual pengorbanan di sepanjang pesisir Kenya. Tujuan tradisi ini, bagaimanapun, adalah untuk menghormati arwah leluhur bukannya untuk mengatur stok ikan yang secara tradisional tampaknya berfluktuasi tanpa terpengaruh oleh upaya penangkapan. Banyak tradisi ini sekarang ditinggalkan akibat Islamisasi kebudayaan, dan kekuasaan bergeser ke arah organisasi nasional sehingga melemahkan efektivitas pemimpin tradisional. Pada waktu yang sama, nelayan mengadopsi alat tangkap baru atau asing serta tradisi asing. Dua lokasi pendaratan yang berdekatan (Mvuleni dan Mwanyaza), bagaimanapun, berhasil menghentikan operasi nelayan jaring tarik (pull seine) di daerah mereka selama lebih dari 20 tahun dengan argumen yang berdasarkan tradisi. Lokasi-lokasi pendaratan lainnya mengadopsi pull seine. Kedua lokasi pendaratan yang melarang pull seine memiliki hasil tangkap ikan per kapita lebih besar daripada lokasi pendaratan yang tidak melarang alat tangkap itu. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan yang tampak dalam hal kondisi ekologis terumbu karang di dua daerah manajemen tersebut; kedua daerah termasuk di antara terumbu karang yang paling rusak di Afrika Timur. Keragaman biologis dan luas penutupan karang berkurang banyak di semua daerah ini bila dibandingkan dengan taman laut.

Menurut McClanahan et al. (1997) saat ini manajemen tradisional tidak efektif dalam melindungi keragaman spesies atau fungsi ekologi, yang mungkin tidak pernah diperhatikan penduduk. Konflik antara organisasi nasional dan nelayan lokal muncul karena nelayan berpendapat bahwa yang diusulkan oleh organisasi nasional akan menyebabkan mereka tidak dapat mengakses dan mengendalikan sumberdaya tersebut. Dengan demikian dibutuhkan pemecahan konflik terkait penggunaan dan pengaturan alat tangkap, dan juga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya program manajemen. Banyak bentuk manajemen tradisional yang sesuai dengan kebijakan organisasi nasional, tetapi kesalah pahaman dan konflik sering terjadi berkaitan dengan pemaksaan pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan konflik maka dibutuhkan diskusi antara pemimpin tradisional dan pemimpin nelayan nasional untuk mengembangkan kebijakan manajemen yang diterima kedua belah pihak.

Interaksi Multispesies Dalam Stok Ikan

Teluk St. Lawence bagian selatan merupakan daerah pemijahan utama bagi ikan hering (Clupea harengus harengus) dan tenggiri (Scomber scombrus), dan interaksi antara kedua spesies ini telah dipelajari. Pada akhir tahun 1950-an stok ikan hering ada pada tingkat rendah, tampaknya sebagai akibat penyakit jamur. Mereka meningkat sampai mencapai biomas dugaan 1,9 x 106 ton pada tahun 1964, dan ini mendorong meningkatnya tekanan penangkapan yang hebat sehingga kembali menurunkan stok menjadi 0,36 x 106 ton. Tengiri juga berkurang jumlahnya oleh serangan jamur, tetapi stoknya tetap rendah sampai tahun 1967, setelah itu mereka mulai bertambah dengan cepat. Jelas bahwa saling-hubungan antara kedua biomas ikan ini memberikan dasar dugaan adanya interaksi kompetitif antara kedua spesies ikan pelagis tersebut yang memijah di daerah yang sama. Winters (1976) meneliti perubahan panjang dan berat rata-rata kelompok-kelompok pemijahan (umur 3 – 7 tahun) dan menunjukkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara biomas total hering dan tengiri di bagian selatan teluk tersebut (koefisien korelasi r = 0,94 untuk panjang dan 0,98 untuk berat). Saat meningkatnya biomas ikan tengiri diperkirakan ditentukan oleh suhu. Tenggiri adalah ikan pemijah pelagis yang membutuhkan suhu permukaan 11 – 18 oC dan periode setelah tahun 1965 merupakan musim-musim panas yang hangat yang sesuai bagi pemijahan dan kelangsungan hidup ikan tengiri. Plot logaritme rekruitmen terhadap logaritme suhu menunjukkan korelasi positif kuat dengan r = 0,82. Disimpulkan bahwa carrying capacity (daya dukung lingkungan) Teluk St. Lawrence bagian selatan untuk ikan pelagis adalah terbatas. Dan bahwa pertumbuhan ikan hering berespon dengan cara yang tergantung kepadatan terhadap biomas total hering dan tengiri sedangkan biomas tengiri ditentukan terutama oleh suhu pada tahun pertama kehidupannya.

Lett dan Kohler (1976) memperhatikan secara cermat interaksi kompetitif antara spesies-spesies ini, terutama interaksi larva, dan mengamatinya dengan bantuan model simulasi. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan ikan hering umur 2–10 tahun dapat dijelaskan secara cukup memuaskan dengan persamaan regresi :

Loge Ga = -4,701 loge Ya – 0,161 loge MY + (0,827 loge Ya) x (loge Tm) + 6,028

Di mana Ga adalah laju pertumbuhan sesaat (instantaneous growth rate) untuk kelas tahun Ya, MY adalah ukuran kelas-umur untuk tengiri kelompok-umur 0 x 106, dan Tm adalah suhu rata-rata bulanan maksimum pada suatu tahun. Dengan demikian, hanya kompetisi interspesifik nyata memperebutkan makanan pada kelompok-umur 0 saja yang didukung oleh data lapangan.

Dengan menggunakan laju pertumbuhan sesaat yang dihitung seperti di atas dan jumlah-jumlah untuk setiap kelas tahun, produksi P populasi ikan dewasa untuk setiap tahun bisa dihitung, dan diketahui bahwa kelimpahan larva dapat disesuaikan dengan persamaan regresi antara produksi ikan dewasa dan suhu sedemikian hingga bila suhu dipertahankan konstan pada 10 oC maka akan diperoleh korelasi yang sangat erat antara produksi ikan dewasa dan kelimpahan larva.

Ukuran kelas tahun untuk ikan hering YR bisa dihubungkan dengan kelimpahan larva LR dan total biomas pelagis BTP oleh persamaan :

Loge YR = 2,679 Loge LR – 5,000 x 10-5 (Loge LR)2 x BTP – 0,165 (Loge LR)2

Yang berarti bahwa pemangsaan oleh ikan tengiri dan kanibalisme oleh hering yang lebih tua merupakan factor utama yang mempengaruhi ukuran kelas tahun juvenil hering.

Hubungan antara larva hering dan kompetitornya (ikan tengiri kelompok umur 0) dan predatornya (ikan hering dan tengiri) serta suhu air dapat digunakan dalam model simulasi stokastik untuk menduga biomas hering pada bagian selatan Teluk St. Lawrence. Telah ditunjukkan bahwa tanpa kehadiran tengiri, populasi hering dapat diharapan berfluktuasi di sekitar nilai 2,0 x 106 ton, tetapi dengan adanya 1 x 106 ton tengiri maka akan ada dua perbedaan : populasi hering menjadi lebih stabil, dan biomasnya akan menjadi kira-kira 0,8 x 106 ton. Plot biomas hering terhadap biomas tengiri menunjukkan bahwa nilai riil dan nilai hasil simulasi mengikuti kecenderungan yang sama, mekipun ada gangguan akibat upaya penangkapan yang berubah-ubah.

Telah ditunjukkan bahwa ikan tengiri kelas umur 0 berkompetisi dengan hering. Bila tengiri dieksploitasi dengan cara yang optimal maka ukuran tengiri kelas tahun 0 meningkat, dan kompetisinya dapat menyebabkan kegagalan peremajaan dalam stok hering. Lett dan Kohler (1976) menyimpulkan bahwa bila modelnya benar, tengiri sebaiknya dieksploitasi-kurang (under-exploitation) atau dieksploitasi-lebih, dengan tujuan melindungi hering. Hal ini mungkin kedengarannya aneh, hingga orang menyadari bahwa stok ikan-ikan tersebut berkembang bersama-sama sebagai spesies yang tak dieksploitasi, sampai baru-baru ini. Pandangan seperti ini hanya dapat diperoleh dari pertimbangan yang sangat mendetail mengenai interaksi antar spesies, dan sama sekali tidak dari studi intensif spesies yang diisolasi.

Akhir-akhir ini, Lett (1980) mengamati dengan cermat interaksi antara ikan tengiri dan cod di Teluk St. Lawrence. Larva cod melimpah ketika tengiri sedang memulihkan diri dari pemijahan dan makan dengan rakus, sehingga hal ini menjadi alasan yang baik bagi anggapan bahwa kepadatan populasi tengiri merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan cod. Rincian model ini, yang disusun dengan cara yang serupa dengan yang diuraikan di atas untuk hering dan tengiri, terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini. Bagaimanapun, salah satu penemuan utama adalah bahwa ketika biomas tengiri bervariasi antara 0,5 dan 1,5 x 106 ton timbul pengaruh besar terhadap perkiraan hubungan antara biomas dan tangkapan ikan cod. Faktor-faktor ini diyakini paling tidak ikut bertanggung jawab sebagian atas hubungan terbalik antara biomas ikan cod dan tengiri di teluk tersebut antara tahun 1950 dan 1980.

Pengaruh Perikanan Terhadap Reproduksi Ikan Karang, Chrysoblephus

Dampak eksploitasi terhadap berbagai karakteristik hidup spesies ikan sparidae penghuni karang telah dipelajari oleh Buxton (1993) dengan membandingkan populasi yang terlindungi di sebuah wilayah reservasi laut yang luas dengan populasi ikan di daerah sekitarnya. Seperti ikan sparidae lainnya, Chrysoblephus laticeps dan Chrysoblephus cristiceps tumbuh lambat dan berumur panjang hingga mencapai umur 17 dan 21 tahun, berturut-turut. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal laju pertumbuhan C. laticeps, tetapi pertumbuhan C. cristiceps secara nyata lebih lambat pada populasi yang dieksploitasi. Data pengamatan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin di luar wilayah reservasi laut adalah miring ke arah betina, yang merupakan akibat eksploitasi selektif-ukuran. Panjang pada saat perubahan jenis kelamin juga secara nyata lebih kecil untuk C. cristiceps di daerah yang dieksploitasi, tetapi tidak untuk C. laticeps. Perbedaan antara kedua spesies ini berhubungan dengan ukuran pada saat rekruitmen ke dalam stok perikanan dan perbedaan derajat perlindungan untuk ikan jantan dan betina besar. Dengan mempertimbangkan bahwa reproduksi bisa terganggu akibat perubahan struktur populasi, maka taktik perlindungan melalui reservasi laut disarankan sebagai upaya mencegah kegagalan rekruitmen.

Bab III
Terumbu Karang :
Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino


Kerusakan Terumbu Karang Oleh Kegiatan Manusia

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa terumbu karang saat ini terancam kerusakan di seluruh daerah distribusinya, terutama di tempat-tempat yang penduduk pesisirnya banyak, seperti di Afrika Timur, atau di daerah di mana pariwisata (dan penjualan karang hias) merupakan kegiatan ekonomi penting dan tidak diatur. Di Filipina, sebagai contoh, yang dekat dengan pusat keragaman karang, lebih dari 60 % luas terumbu karang asli telah dirusak dalam waktu 20 tahun oleh penangkapan ikan yang menggunakan dinamit, racun ikan dan muroami.

Guzman et al. (1991) menyajikan data mengenai umur, kelimpahan dan distribusi terumbu karang di Wildlife Refuge, Pulau Iguana, Panama. Total luas penutupan oleh karang hidup sebesar 30,6 % telah ditemukan dan terdiri dari 11 spesies. Pocilloporidae merupakan karang utama pembangun terumbu, yang mewakili 95 % dari luas penutupan oleh karang hidup. Daerah-daerah terumbu karang yang luas di sini telah rusak dengan laju yang lebih cepat selama tiga tahun terakhir akibat aktivitas manusia.

Pengikisan Karang oleh Aktivitas Makan Ikan

Longhurst dan Pauly (1987), berdasarkan laporan beberapa peneliti, menyimpulkan bahwa grazing (aktivitas memakan tumbuhan) oleh ikan herbivora di terumbu karang memasok serpihan batu kapur hingga menjadi endapan pasir putih di sekeliling terumbu karang tersebut. Di terumbu karang Pasifik dan Karibia, diduga bahwa produksi pasir halus oleh erosi karang akibat grazing ikan herbivora bisa mencapai 200 – 600 ton/km2/tahun.

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa ada sedikit spesies ikan yang secara khusus menyerang karang secara langsung, bahkan beberapa jenis ikan pipa (misal Oxymonacanthus), ikan bleni (misal Exallius) serta ikan kupu-kupu (misal Chaetodon) mengkhususkan diri memakan polip karang individual dan menggigit ujung-ujung cabang karang. Secara umum pemangsaan terhadap karang terbatas pada sedikit spesies ikan, dan potongan karang biasanya hanya merupakan bagian kecil dari material yang dimakan oleh ikan-ikan ini. Bagaimanapun, karena gigitan bisa menimbulkan kerusakan yang memungkinkan alga untuk masuk ke dalam rangka karang dan mencegah pertumbuhan-kembali jaringan karang hidup, kerusakan yang lebih parah bisa terjadi daripada sekedar penyingkiran jaringan tubuh karang sederhana. Beberapa ikan buntal kotak, seperti Ostracion, juga memakan polip karang. Ikan Monacanthidae menggunakan moncongnya yang kecil untuk memotong polip karang individual, sedangkan ikan Balistidae dengan gigi geligi yang lebih kuat dan moncong yang lebih pendek mampu menggigit potongan besar karang.

Kerusakan Terumbu Karang Oleh Bulu Babi

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa bulu babi Diadema antillarum, yang tersebar dari Florida sampai Suriname, bisa mencapai kepadatan lebih dari 50 individu per meter persegi dan mengikis kalsium dari terumbu karang pada saat memakan alga, bahkan memakan karang hidup. Bulu babi ini merupakan herbivora yang sangat kompetitif dan bisa menyebabkan daerah terumbuh karang yang luas menjadi gundul, dengan cara yang sama seperti bagiamana hamparan kelp diubah menjadi “padang bulu babi” oleh bulu babi Atlantik Utara Strongylocentrotus.

Kerusakan Karang Oleh Alga dan Peranan Bulu Babi

Coyer et al. (1993) meneliti interaksi antara bulu babi, alga dan karang scleractinia selama 10 tahun di lepas pantai Pulau Anacapa, California. Kelimpahan karang mangkok soliter (hidup sendirian) Balanophyllia elegans Verril dan persen penutupan oleh alga berkorelasi terbalik. Karang dapat terbunuh bila tertutup oleh holdfast (semacam akar pada makro alga), alga berfilamen atau alga koralin keras yang tumbuh dengan cepat. Penutupan karang akibat cepatnya pertumbuhan alga berfilamen dan alga koralin semakin parah bila selalu ada spesies alga yang lebih besar yang menyebabkan karang menarik polipnya kembali. Pengamatan jangka pendek maupun jangka panjang dan percobaan manipulasi menunjukkan bahwa secara nyata makin banyak karang yang menarik polipnya kembali , dan mortalitas karang meningkat di zona yang ditumbuhi alga alami maupun alga buatan daripada di zona tanpa alga. Selain itu, kisaran penarikan polip bervariasi tergantung spesies alga dan derajat gerakan air. Efek negatif alga terhadap karang diperantarai oleh aktivitas makan bulu babi. Bulu babi dengan kepadatan tinggi bisa menyingkirkan alga, sehingga mengurangi mortalitas karang akibat cepatnya pertumbuhan alga dan memungkinkan karang untuk meningkatkan kelimpahannya.

Kerusakan Terumbu Karang Oleh El Nino

Guzman et al. (1987) menyimpulkan bahwa terumbu karang di Isla del Cano, Costa Rica, tampaknya dipengaruhi oleh penghangatan akibat El Nino Southern Oscillation (ENSO) 1982/1983. Pada bulan Januari 1984 survei terhadap daerah sekitar pulau ini menunjukkan nilai rata-rata luas penutupan oleh karang hidup dan karang mati adalah 5,4 % dan 30,26 %, berturut-turut. Berdasarkan data transek tahun 1980 (sebelum El Nino) dan 1984 (setelah El Nino) luas penutupan oleh karang hidup berkurang 50 %. Kelimpahan sebagian besar karang dan keragaman spesies karang pada tahun 1984 lebih rendah dibandingkan pada tahun 1980, dan dua spesies karang (Gardinerosis planulata dan Porites panamensis) hampir hilang sama sekali. Hamparan terumbu luas di pantai utara dan timur Pulau Cano sekarang mempunyai sedikit karang hidup dan didominasi oleh alga koralin hidup yang keras.

Bab IV
Ekologi Ikan Karang


Peranan Persaingan Dalam Distribusi Ikan Karang

Sale (1991) dalam Sale (1991) melaporkan bahwa sebuah eksperimen terhadap masalah apakah penguasaan wilayah oleh sekelompok ikan meningkatkan kesesuian hidup kelompok ikan tersebut ternyata memberi hasil negatif. Mengurangi ruang yang tersedia bagi sekelompok ikan Stegastes planifrons sampai sekitar 50 % ternyata tidak berpengaruh selama setahun terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan maupun kondisi reproduksi ikan tersebut.

Sale (1991) dalam Sale (1991) mengutip laporan mengenai interaksi dua ikan pomacentridae penghuni karang yang terjadi dalam kelompok-kelompok kecil yang menempati ujung cabang karang di Great Barrier Reef. Dascyllus aruanus dan Dascyllus reticulatus secara bersama-sama mempertahankan karang sarangnya dari ikan lain yang berusaha mendekat. Telah dilakukan penelitian yang difokuskan pada kemungkinan pengaruh pertahanan aktif ini terhadap peremajaan ikan juvenil yang baru tiba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan juvenil ini lebih menyukai karang yang dihuni oleh ikan dari spesies yang sama, dan menghindari karang yang dihuni oleh ikan dari genus yang sama. Penelitian juga menunjukkan bahwa ikan dari genus yang sama lebih kuat terpisah di dalam distribusinya di antara karang-karang sekitarnya. Disimpulkan pula bahwa spesies-spesies ikan tertentu lebih suka untuk melakukan peremajaan di ujung karang yang kosong daripada di bagian karang yang dihuni oleh ikan lain. Bagaimanapun, karena proses yang bekerja tampaknya lebih berupa pemilihan habitat oleh juvenil yang sedang menetap daripada pengusiran oleh ikan dewasa (mereka melakukan peremajaan pada malam hari ketika ikan dewasa sedang tidur), pemisahan kedua spesies ini secara teknis bukan merupakan akibat langsung persaingan.

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Struktur Komunitas Ikan Karang

Hixon (1991) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa secara keseluruhan bukti-bukti tidak cukup untuk menyimpulkan secara jelas bahwa piscivora (pemangsa ikan) sangat mempengaruhi kelimpahan relatif, kelimpahan mutlak dan struktur komunitas ikan karang dalam banyak sistem. Bukti-bukti tak langsung menunjukkan bahwa pemangsaan ikan merupakan agen penseleksi kuat yang menentukan morfologi dan perilaku ikan karang secara beragam dan meyakinkan. Semua spesies melewati masa dewasa dengan mengalami mortalitas yang tinggi tak lama setelah menetap, tampaknya disebabkan oleh tingginya tingkat pemangsaan terhadap individu yang baru melakukan peremajaan. Dengan memperhatikan pengaruh piscivora terhadap keragaman ikan mangsa lokal, disimpulkan bahwa ada hubungan terbalik yang nyata antara kelimpahan piscivora dan keragaman spesies mangsa.

Pengaruh Luas Penutupan Karang Hidup Terhadap Keragaman Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mempelajari pengaruh persentase penutupan (oleh) karang hidup terhadap jumlah spesies dan individu ikan dengan mensensus ikan dari serangkaian karang, yang kekomplekan strukturnya dapat disamakan tetapi proporsi karang hidupnya berbeda, di laguna Mataiva Atoll, Kepulauan Tuamotu. Analisa regresi menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata (P < 0,001) antara penutupan karang hidup dan jumlah total spesies, jumlah spesies dan jumlah individu. Perubahan luas penutupan karang hidup yang diduga sekecil 0 % sampai < 2 %, dan < 2 % sampai < 5 %, menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah total spesies dan jumlah individu. Perubahan luas penutupan 0 % menjadi 2 sampai < 5 % menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah spesies ikan karang. Keragaman spesies ikan Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae, Scaridae, Acanthuridae dan Gobiidae naik dengan meningkatnya luas penutupan karang hidup, sementara keragaman spesies ikan Apogonidae relatif konstan. Banyak di antara 115 spesies ikan tercatat melakukan diskriminasi terhadap lokasi-lokasi dengan luas penutupan karang hidup berbeda; 68 % hanya ditemukan pada lokasi dengan beberapa karang hidup, sementara 29 % umum ditemukan pada lokasi dengan atau tanpa karang hidup, dan 3 % hanya ada pada lokasi di mana semua karang telah mati. Komposisi spesies pada lokasi dari zona penutupan karang hidup yang sama lebih serupa satu sama lain dibandingkan pada lokasi dari zona-zona yang berbeda.

Keragaman Makanan Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mengulas beberapa literatur mengenai pengaruh karang hidup terhadap komunitas ikan karang. Hubungan antara kekomplekan topografi terumbu karang dan keragaman komunitas ikannya menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kekomplekan fisik substrat. Meningkatnya luas permukaan meningkatkan keragaman tempat berlindung dan/atau tempat mencari makan, sehingga meningkatkan keragaman spesies. Ikan Pomacentridae merupakan pemakan plankton sedangkan Lutjanus fulvus memakan bentos pada substrat lunak. Ikan gobi, Amblygobius phalaena dan Amblygobius nocturnus, hidup dan diduga mencari makan pada substrat lunak di sekitar tepian terumbu. Di antara anggota kelompok ini yang memakan organisme yang berasosiasi dengan terumbu, apogonidae Cheilodipterus quinquelineatus merupakan predator generalis yang memangsa krustasea besar dan ikan kecil, sedang Chaetodon auriga dan Chaetodon ephippium memakan makanan yang paling beragam di antara famili chaetodontidae. Apogonidae, yang menunjukkan diskriminasi lemah dalam hal keragaman spesies antar zona karang, mencakup spesies generalis yang sangat bersifat makrofagik (pemakan makro) yang bermigrasi dari terumbu pada malam hari untuk mencari makan.

Perbandingan Komunitas Ikan Karang di Terumbu Alami dan Terumbu Ban

Chou et al. (1992) dalam Silvestre et al (1992) mengamati komunitas ikan karang di terumbu alami dan terumbu yang terbuat dari ban di perairan pesisir Brunei Darussalam. Terumbu ban terdiri dari 100 sampai 300 unit ban yang diikat longgar bersama-sama oleh seutas tali (sehingga membentuk profil rendah) dan kedua ujung tali diberati blok-blok beton. Terumbu ban ini kira-kira seluas 35.000 m2 yang menutupi basin berpasir dan dikelilngi oleh beberapa terumbu bercak alami kecil. Terumbu ban tampaknya menjadi semacam perluasan terumbu alami di sekitarnya, dikoloni oleh spesies terumbu alami dalam jumlah agak banyak. Rendahnya profil modul ban membuat lingkungannya mirip seperti terumbu alami, dengan sumber makanan dan tempat perlindungannya. Bagaimanapun, komunitas ikan, meskipun sama, tidak persis sama dengan terumbu alami seperti terlihat dari rendahnya kelimpahan dan keragaman ikan karang kecil penghuni-tetap seperti damselfish, ikan wrasse, dan ikan indikator butterfly fish.

Terumbu ban tampaknya menyediakan habitat bagi lebih banyak spesies ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, ikan pisang-pisang dan sweetlip berukuran lebih besar, dibandingkan pada terumbu alami. Celah-celah besar yang disediakan oleh ban tampaknya menarik spesies-spesies besar, terutama kerapu dan kakap. Pergerakan alga dan organisme laut lain pada ban, besarnya jumlah ikan-ikan kecil (terutama Apogon spp., demselfish, wrasse kecil dan juvenil ikan lain) serta invertebrata lain yang hidup bebas menyediakan sumber makanan penting bagi ikan herbivora (ikan kakak tua dan beronang) maupun karnivora (kakap, carangidae dan kerapu). Bisa dilihat bahwa ada perbedaan kecil dalam hal komposisi spesies ikan karang di kedua habitat tersebut. Ikan sweetlip (Plectorhynchus) lebih melimpah di terumbu ban, sedangkan spesies kakap dan beronang yang banyak terdapat pada terumbu alami tampaknya digantikan oleh spesies lain di terumbu ban. Ikan pisang-pisang, bagaimanapun, tetap menjadi ikan ekonomis yang paling melimpah.

Pergantian Ikan Siang dan Ikan Malam Pada Komunitas Ikan Karang Di Daerah Tropis dan Daerah Beriklim-Sedang

Ebeling dan Hixon (1991) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa pada terumbu tropis maupun terumbu di daerah beriklim-sedang, ikan karang menunjukkan siklus harian dalam hal aktivitas. Periode senja yang tenang menandai peralihan antara penghunian kolom air oleh spesies ikan khusus karnivora kecil dan herbivora yang aktif siang hari yang digantikan oleh spesies umum karnivora berukuran sedang yang aktif malam hari. Ikan pemakan-ikan (piscivora) berukuran besar paling aktif pada dan sekitar periode tenang ini ketika ikan-ikan kecil sangat mudah ditangkap. Struktur pola tingkah laku harian ini tampaknya paling baik pada komunitas ikan terumbu karang daerah tropis, dan struktur tingkah laku ini melemah pada komunitas ikan karang daerah beriklim sedang-hangat dan sedang-dingin, yang kurang beragam dan mencakup lebih sedikit spesies ikan karang dibandingkan daerah tropis.

Kondisi Ikan Karang Setelah Kerusakan Terumbu Karang

Sale (1991) dalam Sale (1991) mengumpulkan informasi mengenai kondisi ikan karang setelah terumbu habitatnya mengalami gangguan. Angin badai dapat menyebabkan perubahan mendadak dan dramatis dalam hal karakteristik suatu terumbu, meskipun perubahan ini dapat juga sangat terbatas dalam kisaran setempat. Angin badai yang hebat dapat melenyapkan, bahkan membunuh, ikan karang dan gangguan ini sudah pasti menyebabkan perubahan lokal yang nyata dalam hal ciri-ciri habitat. Di daerah sub tropis seperti Florida, suhu yang lebih dingin daripada suhu musim dingin normal dapat menyebabkan kematian hebat ikan karang sehingga ada habitat yang kosong. Ikan karang tampaknya lambat memanfaatkan peningkatan ketersediaan habitat atau makanan setelah badai atau gangguan lain. Kematian karang yang luas, dengan sebab apapun, biasanya diikuti oleh perkembangan hamparan alga yang menumbuhi reruntuhan karang. Namun, perkembangan hamparan alga ini tidak mempengaruhi kepadatan spesies ikan herbivora di terumbu tersebut. Ledakan populasi bulu babi herbivora, Diadema antillarum, bisa menyebabkan kerusakan karang yang luas. Kematian akibat penyakit pada bulu babi tersebut di seluruh Karibia selama awal tahun 1980-an menyebabkan hamparan alga mengalami peningkatan kelimpahan yang cukup besar. Namun, peningkatan kelimpahan hamparan alga tersebut hanya memberikan sedikit peningkatan kelimpahan ikan herbivora lokal.

Bab V
Struktur Komunitas Ikan Karang


Kemiripan dan Keragaman Di Antara Komunitas Ikan Karang

Gladfelter et al (1980) melaporkan bahwa kumpulan ikan penghuni terumbu bercak alami berukuran besar di samudra Pasifik dan Atlantik barat tropis telah disensus secara visual selama musim panas 1976 dan 1978. Tiga puluh satu terumbu karang ada di Laut Karibia timur-laut (25 di St. Croix dan 6 di Anegada) dan 15 terumbu terletak di ujung selatan Atol Enewetak, Kepulauan Marshall. Derajat kemiripan (degree of similarity) di antara fauna-fauna dalam setiap grup terumbu (dihitung dengan indeks kemiripan yang berdasarkan logaritma kelimpahan individu) berkorelasi dengan parameter-parameter lingkungan terumbu di kedua daerah (kekomplekan topografi permukaan, ketinggian terumbu, luas terumbu, dan posisi terhadap terumbu utama, arus serta hamparan lamun). Rata-rata derajat kemiripan di antara semua fauna ikan dalam setiap daerah adalah sama di dua lokasi utama (0,61 di Enewetak dan 0,62 di St. Croix) seperti halnya kemiripan di antara fauna-fauna di kebanyakan terumbu yang seragam di setiap daerah (0,68 di Enewetak dan 0,73 di St. Croix).

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kemiripan yang bernilai sama, berbeda dengan studi terdahulu di terumbu buatan dan terumbu alami yang sangat kecil, yang menunjukkan rendahnya akurasi di antara terumbu Pasifik. Perbedaan antara hasil-hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya di Pasifik disebabkan sebagian oleh perbedaan ukuran terumbu yang dipelajari; terumbu dalam penelitian ini beberapa kali lebih luas dibandingkan dalam penelitian terdahulu. Keragaman ikan karang adalah lebih besar di Enewetak (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 93; H' = 5,38) daripada di St. Croix (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 64; H' = 4,58) tetapi "equitability value" (nilai kesetaraan) adalah sama di kedua daerah itu (0,82 dan 0,81, berturut-turut). Pada kedua lokasi keragaman spesies ikan berkorelasi positif dengan kekomplekan permukaan terumbu, luas permukaan terumbu yang menonjol dan ketinggian terumbu, tetapi korelasi ini lebih tinggi di St. Croix untuk semua parameter. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya kemiripan struktural terumbu karang Enewetak. Di Enewetak juga ada korelasi antara H' dan jarak ke terumbu penghalang (barrier reef) utama. Perbedaan utama dalam hal komposisi makanan fauna ikan-ikan ini menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua lokasi tersebut bertanggung jawab atas proporsi pemakan plankton siang hari dan pemakan invertebrata malam hari. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan lingkungan utama antara kedua lokasi; pengaruh kondisi yang bersifat samudra di Enewetak, yang menyebabkan zooplankton melimpah, dan keberadaan hamparan tumbuhan laut yang rapat (sehingga kaya akan invertebrata penempel) yang mengelilingi terumbu di St. Croix (Gladfelter et al., 1980).

Pengaruh Berbagai Faktor Terhadap Kelimpahan dan Keragaman Spesies Ikan Karang

Pereira et al. (2014) melakukan studi di terumbu Tamandare, utara Brazil dengan bertujuan menganalisis arti penting berbagai faktor (aktivitas turisme, perikanan, kelimpahan karang dan kelimpahan alga) terhadap kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Dua daerah terumbu yang berbeda (A ver o mar dan Caieiras) dengan berbagai derajat pengaruh dipelajari. Total 8.239 ekor ikan karang telah didaftar, yang mencakup 59 spesies. Lokasi 1 (A ver o mar) memiliki kelimpahan dan keragaman spesies ikan yang lebih tinggi, yang didominasi oleh ikan herbivora penjelajah (29,9 %) dan ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (28,7 %). Sebaliknya, di lokasi 2 (Caieiras) ikan herbivora teritorial (40,9 %) dominan, diikuti oleh ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (24,6 %). Berkaitan dengan komunitas bentik, di lokasi 1 makroalga dilaporkan menjadi komponen utama (49,3 %); bagaimanapun, lokasi 2 didominasi oleh alga berkapur (36,0 %). Variabel terpenting yang bertanggung jawab atas lebih dari 90 % variasi kelimpahan dan keragaman spesies adalah kelimpahan makroalga, diikuti oleh aktivitas perikanan. Pergeseran fase pada terumbu karang menyebabkan penggantian karang oleh makroalga dan sangat mempengaruhi komunitas ikan karang.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Komunitas Ikan Karang

Jones (1988) membahas faktor-faktor utama yang menyebabkan pola-pola ruang (spatial pattern) dan pola waktu (temporal pattern) dalam hal kelimpahan dan struktur populasi ikan karang di New Zealand timur-laut. Juga dilakukan penelitian mengenai dampak potensial aktivitas makan ikan terhadap populasi dan struktur habitat mangsanya. Ciri-ciri biologis utama yang dimiliki habitat, seperti distribusi makroalga dan echinoid, tampaknya mempengaruhi populasi ikan pada berbagai skala ruang. Pola-pola ruang ini tampaknya tetap sepanjang waktu meskipun ada variasi temporal dalam hal kepadatan populasi, yang tidak terpengaruh oleh struktur habitat. Studi demografik belum dapat menjawab pertanyaan apakah proses pra- ataukah pasca-menetap yang paling mempengaruhi struktur populasi ikan karang. Kategori makan, dan rincian makanan, seleksi mangsa, dan pemanfaatan mikrohabitat dibahas sebagai langkah penting untuk memahami dampak ikan sebagai pemangsa. Studi eksperimental tidak dapat menunjukkan apakah karnivora ataukah herbivora yang memegang peranan utama dalam menentukan struktur biologi suatu habitat, atau dalam memodifikasi komunitas mangsa. Pengamatan menunjukkan bahwa habitat memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap populasi ikan daripada dampak populasi ikan terhadap habitat. Perlu ditekankan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola-pola distribusi dan kelimpahan sangat mungkin bersifat spesifik spesies, tidak seperti dampak umum ikan pada komunitas terumbu karang dangkal.

Pengaruh Kelimpahan Ikan Mangsa Terhadap Ekologi Ikan Pemangsa di Terumbu Karang

Beukers-Stewart dan Jones (2004) melaporkan bahwa, dengan mempertimbangkan arti penting pemangsaan dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan karang, beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari bagaimana ikan pemangsa-ikan (piscivora fish) berespon terhadap fluktuasi kelimpahan mangsanya. Studi ini difokuskan pada dua spesies rock-cod, Cephalopholis cyanostigma (Valenciennes, 1828) dan Cephalopholis boenak (Bloch, 1790) (Serranidae), dan memantau makanannya di dua habitat yang berbeda, yaitu "patch reef" (terumbu bercak/sempit) dan "contiguous reef" (terumbu berdampingan/luas), di Pulau Lizard, Great Barrier Reef utara, Australia, selama periode 2 tahun. Kelimpahan ikan rock-cod serta kelimpahan dan komposisi famili mangsanya dipantau pada saat yang sama. Informasi makanan dkumpulkan terutama dari sampel muntahan, yang mewakili hampir 60 % mangsa yang dikonsumsi dan komposisinya tidak menyimpang.

Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa ikan dicerna hampir 4 kali lebih cepat daripada krustasea, yang berarti bahwa arti penting krustasea sebagai makanan ikan tersebut diduga secara berlebihan. Bila hal ini dipertimbangkan maka ikan menyusun lebih dari 90 % makanan kedua spesies itu. Ikan mangsa dari famili Apogonidae, diikuti oleh Pomacentridae dan Clupeidae, mendominasi makanan kedua spesies ikan rock-cod. Efek interaksi fluktuasi kelimpahan mangsa dan pola-pola seleksi mangsa menyebabkan komposisi makanan bervariasi baik secara temporer (waktu) maupun spasial (ruang). Gerombolan mangsa tengah-air yang termasuk famili Clupeidae dan - sampai kisaran yang lebih kecil - Caesionidae dipilih, sedangkan famili-famili lainnya disingkirkan. Jika tipe mangsa ini tidak ada, maka ikan famili apogonidae dipilih, sedangkan pomacentridae yang lebih berasosiasi dengan terumbu disingkirkan. Percobaan laboratorium mendukung hipotesis bahwa pola-pola seperti ini disebabkan terutama oleh perilaku mangsa. Laju makan kedua spesies ikan rock-cod jauh lebih besar pada musim panas dibandingkan pada musim dingin, dan pada musim panas mereka berkonsentrasi pada ikan-ikan kecil yang melakukan rekruitmen. Bagaimanapun, ada sedikit vasiasi laju makan antar habitat, namun tampaknya disebabkan oleh perbedaan kelimpahan mangsa. Sebagai ringkasan, penelitian terhadap bagaimana ekologi makan pada ikan pemangsa yang berespon terhadap variasi kelimpahan mangsa menyediakan mekanisme potensial mengenai bagaimana pemangsaan mempengaruhi struktur komunitas ikan terumbu karang (Beukers-Stewart dan Jones, 2004).

Pola dan Sebab-Akibat Variasi Regional Ekologi dan Sejarah Hidup Ikan Karang

Menurut Ruttenberg et al. (2005) banyak spesies bervariasi dalam hal ekologinya sepanjang kisaran geografisnya sebagai respon terhadap perbedaan kondisi lingkungan. Variasi seperti ini, yang dapat mempengaruhi sifat sejarah hidup dan selanjutnya mempengaruhi demografi populasi, biasanya terjadi pada skala ruang yang luas. Bagaimanapun, deskripsi dan pemahaman faktor-faktor penyebab variasi ini sulit dilakukan dengan tepat karena terjadi pada skala ruang yang demikian luas. Dalam penelitian ini, telah didokumentasi variasi ruang dalam hal ekologi spesies ikan karang yang umum, Stegastes beebei, di Kepulauan Galápagos dan menguji sejumlah mekanisme penyebab potensial. Pola yang mirip dengan ini terlihat dalam variasi lintang : individu yang lebih besar terdapat dalam kepadatan yang lebih tinggi dan hidup lebih lama di daerah-daerah terdingin di kepulauan ini daripada di daerah terhangat. Bagaimanapun, dalam sistem ini, demografi bervariasi antar populasi regional yang dipisahkan oleh jarak kurang dari 150 km. Alga makanan yang lebih disukai adalah yang paling tersedia di daerah dingin. Per gram upaya reproduktif tampaknya sangat berkaitan dengan suhu, walaupun ada perbedaan dalam hal waktu dan derajat reproduksi di berbagai daerah. Sebuah model output reproduktif menunjukkan bahwa ikan di daerah terhangat mengalokasikan lebih banyak energi untuk reproduksi, yang menyebabkan perubahan sejarah hidup regional. Data kami menunjukkan bahwa perbedaan demografi regional pada Stegastes beebei mungkin disebabkan oleh kombinasi variasi ketersediaan makanan dan perubahan sejarah hidup yang diperantarai oleh lingkungan

Bab VI
Terumbu Karang Buatan :
Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan


Ban dan Struktur Pengeboran Minyak Sebagai Habitat Buatan Untuk Ikan

Chou et al. (1992) dalam Silvestre et al (1992) melaporkan bahwa terumbu buatan di Brunei Darussalam terdiri dari terumbu ban dan struktur terkait-minyak, seperti stasiun pengeboran dan jaringan pipa bawah-laut. Pada tahun 1987 dilakukan pengamatan bawah-air terhadap fauna ikan di terumbu ban di Two Fathom Rock dan “oil well-jacket” (kerangka logam minyak) di Champion Oilfield. Hasilnya memberi petunjuk adanya komunitas laut yang mengerak dan fungsi struktur buatan ini sebagai habitat ikan. Selanjutnya dilakukan upaya pemantauan melalui pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan dengan “hook and line” dan perangkap ikan (bubu). Data yang diperoleh menunjukkan peningkatan hasil tangkapan pada struktur tersebut. Total 144 spesies ikan dari 31 famili dicatat di terumbu alami, terumbu ban, perlengkapan pengeboran minyak dan tali pelampung. Kebanyakan ikan ini merupakan spesies yang berasosiasi dengan terumbu karang, termasuk beberapa spesies tengah-air. Ikan damselfish (Pomacentridae) dan wrasse (Labridae) merupakan contoh famili yang paling melimpah dan beragam, dengan 26 dan 22 spesies, berturut-turut. Empat belas famili ikan dilaporkan pada struktur terumbu buatan (ban dan perlengakapan pengeboran minyak) yang merupakan ikan konsumsi yang sering dijual di pasar Brunei Darussalam. Famili-famili lain ikan konsumsi yang ditemukan pada terumbu buatan ini adalah ikan seachub (Kyphosidae), ikan kakaktua (Scaridae) dan ikan pisau-pisau (Acanthuridae).

Terumbu Buatan Untuk Meningkatkan Keberhasilan Budidaya Laut

Yakanovsky et al. (1992) melaporkan bahwa di Laut Azov ikan gobi laut (gobiidae) merupakan spesies yang penting bukan saja sebagai sasaran penangkapan tetapi juga merupakan bagian penting dari jaring-jaring makanan bagi fauna ikan. Saat ini stok ikan tersebut jatuh ke kondisi yang mengkhawatirkan; guna meningkatkan keberhasilan pemijahan ikan gobi komersial di Laut Azov, pembangunan terumbu karang buatan sebagai daerah pemijahan telah disarankan sebagai bagian proyek “Mariculture (budidaya laut)”. Rincian diberikan mengenai penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1984 tentang produktivitas terumbu buatan ini. Disimpulkan bahwa penggunaan terumbu karang buatan sebagai daerah pemijahan banyak meningkatkan kelimpahan ikan gobi Azov dan memungkinkan pembukaan-kembali perikanan komersial spesies ikan tersebut.

Keragaman dan Kelimpahan Ikan Dalam Komunitas Karang Buatan

Chou et al. (1992) dalam Silvestre et al (1992) mengamati komunitas ikan dalam struktur terumbu buatan di perairan pesisir Brunei Darussalam melalui perbandingan hasil dari sensus visual terhadap populasi ikan di terumbu karang alami dan terumbu yang terbuat dari ban bekas di Two Fathom Rock, dua struktur “oil rig” (peralatan pengeboran minyak) di Champion Oilfield dan terumbu yang terbuat dari tali pelampung pengenal (marker buoy). Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur karang buatan mendukung keragaman dan kelimpahan yang lebih besar ikan-ikan konsumsi bernilai ekonomis tinggi dengan ukuran yang lebih besar dibanding terumbu karang alami. Struktur ini, dengan demikian, memainkan peranan potensial penting dalam meningkatkan produksi ikan di negara ini. Pengelolaan yang tepat diperlukan untuk mengefektifkan karang buatan tersebut agar memenuhi tujuannya selama jangka waktu yang panjang.

Faktor Fisik Yang Mempengaruhi Komunitas Ikan Penghuni Karang Buatan

Chou et al. (1992) dalam Silvestre et al (1992) membuat daftar beberapa faktor fisika yang bisa mempengaruhi komposisi (spesies, ukuran dan kelimpahan) ikan pada habitat karang buatan sebagai berikut :

- Kedalaman. Daerah yang lebih dalam dari 16 meter cenderung mengumpulkan lebih banyak spesies sasaran.

- Tempat perlindungan. Ukuran dan derajat penutupan yang disediakan oleh struktur buatan serta perbedaan profil (tinggi/rendah) bisa juga mempengaruhi ukuran dan tipe ikan yang menghuninya.

- Makanan. Ketersediaan dan kelimpahan makanan (alga, organisme yang membentuk kerak, invertebrata kecil dan ikan kecil) berperan menentukan komunitas ikan karang buatan.

- Lokasi. Produktivitas daerah di sekitar struktur terumbu buatan adalah penting. Penempatan terumbu buatan di daerah yang lebih tidak subur akan menarik lebih banyak spesies penghuni tetap untuk mendiaminya lebih dari sekedar sebagai tempat perlindungan sementara.

- Termoklin. Pengaruh termoklin terhadap distribusi ikan dalam perairan ini tidak jelas. Termoklin yang terlihat pada terumbu buatan mencegah sedimen naik ke lapisan air yang lebih tinggi sehingga memungkinkan lapisan air di atas termoklin tetap jernih. Sementara sebagian ikan (barakuda, ikan pisang-pisang, batfish dan carangidae) selalu ditemukan di atas termoklin, ikan-ikan lain (kakap, kerapu, sweetlip, damselfish dan wrasse) tidak terpengaruh oleh termoklin.

Pemulihan Karang Yang Rusak Dengan Karang Buatan

Clark dan Edwards (1999) melaporkan bahwa di Maldives, penambangan karang untuk industri bahan bangunan menyebabkan kerusakan yang luas terhadap daerah hamparan terumbu karang perairan dangkal. Akibat kehilangan sumber daya pesisir ini dan masalah-masalah yang berkaitan dengan erosi pesisir, maka sangat dibutuhkan metode praktis untuk merehabilitasi terumbu karang yang ditambang tersebut. Lambatnya laju pemulihan alami terumbu karang yang ditambang mendorong dimanfaatkannya terumbu karang buatan untuk merehabilitasi habitat-habitat yang rusak tersebut. Sebuah percobaan program terumbu karang buatan telah dimulai pada tahun 1990 guna mengetahui apakah layak menggunakan pendekatan rekayasa biologi untuk mendorong pemulihan terumbu karang alami. Tujuan utama proyek ini adalah memulihkan terumbu karang yang telah rusak agar kembali memiliki kemampuan melindungi sumber daya laut dan menarik ikan. Sebanyak 360 ton struktur beton dengan berbagai kekomplekan topografi serta efek kestabilan dan biaya bervariasi telah ditenggelamkan di lokasi penelitian yang karangnya sangat rusak di pulau Male. Dalam waktu satu tahun, struktur karang buatan telah memilki keragaman spesies dan kepadatan ikan karang yang sama atau lebih besar daripada hamparan terumbu karang kontrol asli. Bagaimanapun, struktur komunitas ikan di terumbu karang buatan berbeda nyata dengan struktur komunitas di terumbu karang yang tidak ditambang. Hasil-hasil awal program pemantauan menunjukkan bahwa rekruitmen karang terjadi pada struktur karang berukuran besar yang masing-masing mendukung sekitar 500 koloni, beberapa di antaranya berdiameter hampir 25 cm setelah 3,5 tahun.

Referensi :

Bell, J.D. and R. Galzin. 1984. Influence of Live Coral Cover on Coral-Reef Fish Communities. Marine Ecology – Progress Series, Vol. 15, pp. 265 - 274

Beukers-Stewart, B.D. and G.P Jones. 2004. The Influence of Prey Abundance on The Feeding Ecology of Two Piscivorous Species of Coral Reef Fish. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, Volume 299, Issue 2, pp. 155 – 184

Chadwick-Furman, N. and Y.Loya. 1992. Migration, Habitat Use, and Competition Among Mobile Corals (Scleractinia : Fungiidae) in The Gulf of Eilat, Red Sea. Marine Biology, vol. 114, no. 4, pp. 617 – 623, ISSN 0025-3162

Chou, L.M., G.S.Y. Lim and C.B. Leng. 1992. Fish Communities in Natural Reef and Artificial Habitats in The Coastal Waters of Brunei Darussalam, p. 75 – 90 dalam Silvestre, G., H.J.H. Matdanan, P.H.Y. Sharifuddin, M.W.R.N. De Silva and T.-E. Chua (eds.). 1992. The Coastal Resources of Brunei Darussalam : Status, Utilization and Management. ICLARM Conference Proceedings 34, 214 pp.

Clark, S. and A.J. Edwards. 1999. An Evaluation of Artificial Reef Structures as Tools for Marine Habitat Rehabilitation in The Maldives. Aquatic Conservation : Marine and Freshwater Ecosystems, vol. 9, issue 1, pp. 5–21

Coyer, J.A., R.F. Ambrose, J.M. Engle and J.C. Carroll. 1993. Interactions Between Corals and Algae on A Temperature Zone Rocky Reef : Mediation by Sea Urchins. Journal of Experiment in Marine Biology and Ecology, vol. 167, no. 1, pp. 21 – 37, ISSN 0022-0981

Ebeling, A.W. and M.A. Hixon. 1991. Tropical and Temperate Reef Fishes : Comparison of Community Structures in Sale, P.F. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. New York. 754 pp.

Fang, L.-S. and Y.-C. Chou. 1992. Concentration of Fulvic Acid in The Growth Bands of Hermatypic Corals in Relation to Local Precipitation. Coral Reefs, vol. 11, no. 4, pp. 187 – 191, ISSN 0722-4028

Gladfelter, W.B., J.C. Ogden and E.H. Gladfelter. 1980. Similarity and Diversity Among Coral Reef Fish Communities : A Comparison Between Tropical Western Atlantic (Virgin Islands) and Tropical Central Pacific (Marshall Islands) Patch Reefs. Ecology, Vol. 61, No. 5, pp. 1156 - 1168

Guzman, H.M., J. Cortez, R.H. Richmond and P.W. Glynn. 1987. Effecs of The El Nino Southern Oscillation, 1982/1983 on Coral Reefs of The Cano Island, Costa Rica. Review of Biology of Tropica, vol. 35, no. 2, pp. 325 - 332

Guzman, H.M., D. Ross Robertson and M.L. Diaz. 1991. Distribution and Abundance of Corals at The Refugio de Isla Iguana Reef, Panama Pacific. Review of Biology of Tropica, vol. 39, no. 2, pp. 225 - 231

Hixon, M.A. 1991. Predation as a Problem Structuring Coral Reef Fish Communities in Sale, P.F. 1991. Reef Fish Communities Open Nonequilibril Systems in P.F. Sale. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. San Diego. 754 pp.

Jones, G.P. 1988. Ecology of Rocky Reef Fish of North-Eastern New Zealand : A Review. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, Volume 22, Issue 3, pp. 445 - 462

Longhurst, A.R. and D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical Oceans. Academic Press, Inc., California, 407 pp.

McClanahan, T.R. 1995. A Coral Reef Ecosystem-Fisheries Model : Impacts of Fishing Intensity and Catch Selection on Reef Structure and Processes. Ecological Modelling, Vol. 80, Issue 1, pp. 1 – 19

McClanahan, T.R. and B. Kaunda-Arara. 2002. Fishery Recovery in a Coral-Reef Marine Park and Its Effect on the Adjacent Fishery. Conservation Biology, Vol. 10, Issue 4, pp. 1187 – 1199

McClanahan, T.R., H. Glaesel, J. Rubens and R. Kiambo. 1997. The Effects of Traditional Fisheries Management on Fisheries Yields and The Coral-Reef Ecosystems of Southern Kenya. Environmental Conservation, Vol. 24, Issue 2, pp. 105 - 120

McManus, J.W. 1997. Tropical Marine Fisheries and The Future of Coral Reefs : A Brief Review With Emphasis on Southeast Asia. Coral Reefs, Vol. 16, Issue 1 Supplement, pp. S 121 - S 127

Nishi, E. 1992. Reef Building Polychaetes, Sabellariids (Annelida, Sedentaria). Bulletin of College of Science of University of Ryukyus, no. 53, pp. 41 - 48

Pereira, P.H.C., R.L. Moraes, M.V.B. dos Santos, D.L. Lippi, J.L.L. Feitosa and M. Pedrosa. 2014. The Influence of Multiple Factors Upon Reef Fish Abundance and Species Richness in A Tropical Coral Complex. Ichthyological Research, Volume 61, Issue 4, pp. 375 – 384

Pet-Soede, C., W.L.T van Densen, J.S Pet and M.A.M. Machiels. 2001. Impact of Indonesian Coral Reef Fisheries on Fish Community Structure and The Resultant Catch Composition. Fisheries Research, Vol. 51, Issue 1, pp. 35 – 51

Ruttenberg, B.I., A.J. Haupt, A.I. Chiriboga and R.R. Warner. 2005. Patterns, Causes and Consequences of Regional Variation in The Ecology and Life History of a Reef Fish. Oecologia, Vol. 145, Issue 3, pp. 394.-.403

Sale, P.F. 1991. Reef Fish Communities : Open Nonequilibril Systems in Sale, P.F. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. New York. 754 pp.

Yakanovsky, E.G., L.V. Izergin, N.S. Miroshnikov, G.G. Grout, V.A. Getmanenko and L.E. Pshenichnaya. 1992. Artificial Reefs as a Branch of Mariculture in The Azov Sea. Aquaculture of Europe, vol. 16, no. 4, pp. 29 - 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar